Nim: G000200224
Kelas : PAI D
(Martin van BruinessenDiterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit
Gading, 2013, Yogyakarta)
Pada tahun 1983-1984 saya melakukan penelitian saya yang pertama di Indonesia; selama
hampir satu tahun saya hidup dalam sebuah kampung miskin di kota Bandung, dan saya
berusaha mengambil bagian dalam kehidupan sehari-hari tetangga-tetangga saya. Penelitian ini
diilhami oleh bacaan dan pengalaman saya sebelumnya di Turki dan Iran, di mana saya
menyaksikan kebangkitan Islam sebagai gerakan politik dan revolusi Islam.
Sukapakir, sebuah kampung miskin di kota Bandung, merupakan lokasi Bagian Pertama
buku ini. Hampir semua penduduknya adalah pendatang, yang sebagian besar berasal dari dua
wilayah dengan budaya agak berbeda: Priangan dan pesisir utara (Indramayu-Cirebon- Brebes-
Tegal). Riwayat hidup mereka mirip riwayat hidup penduduk kawasan kumuh lainnya di negara
Asia, Afrika dan Amerika Selatan, tetapi juga mencerminkan peristiwa-peristiwa besar sejarah
nasional Indonesia: Revolusi, Darul Islam, Demokrasi Terpimpin dan larangan Masyumi,
Konfrontasi Malaysia, “G30S” dan demo-demo Angkatan ’66, jatuhnya Sukarno dan
penumpasan komunis dan kiri lainnya, konsolidasi Orde Baru dengan kebijakan
pembangunannya serta depolitisasi Islam.
BAGIAN PERTAMA
Bab 1
Artikel berikut pernah dimuat di dalam Majalah Tempo, 27 Oktober 1984.Ini adalah
bagian dari hasil penelitian lapangan pertama di sebuah kampung perkotaan yang paling
miskin di Bandung. Kehidupan sehari-hari di Sukapakir pada waktu itu sarat diwarnai
operasi “tibum“(penertiban umum), yaitu pembatasan ruang gerak bagi becak dan
pedagang kaki lima, demi kelancaran lalu lintas dan keindahan kota. Melalui artikel ini,
kami berusaha menunjukkan sisi lain dari kebijakan “penertiban” tersebut yang
berlangsung selama 10 bulan menetap di sini.Dalam penelitian lapangan ini, saya dibantu
oleh Lies M. Marcoes, sarjana Ushuluddin IAIN Ciputat, dan Titi Haryanti, sarjana
Antropologi Universitas PadjadjaranInilah kisah kehidupan yang fakir di Sukapakir.
Sukapakir merupakan sebuah kampung di Kotamadya Bandung bagian selatan, yang hanya
bisa Anda jangkau dengan jalan kaki atau sepeda motor. Dari Jalan Pagarsih, Anda
berjalan terus ke selatan, masuk lorong dan gang sempit. Di mulut gang, gerobak, motor,
dan pejalan kaki terkadang harus antre, lalu bergiliran dari arah yang saling
berlawananmeniti jalan yang dipersempit oleh sebuah selokan di sisi yang lain. Muatan
selokan itu: air comberan hitam pekat, sampah, dan kotoran dari WC.
Sepanjang gang anak-anak asyik bermain, sementara para ibu mereka sibuk
bekerja.Mereka berjualan makanan kecil, mencuci baju dan perabotan rumah tangga,
keramas, menyikat gigi, atau mengangkut air dari MCK (mandi, cuci, kakus). Karena satu-
satunya tempat yang lowong hanya gang itu, hampir semua kesibukan berlangsung di sana.
Di sanalah “nadi” daerah yang dinamakan Sukapakir itu.Sukapakir termasuk daerah miskin
dan terpadat di Bandung.Menurut sensus 1980, tingkat kepadatannya 900 orang lebih per
hektar, berarti 90.000 orang per km2.Bandingkan dengan seluruh Bandung yang rata-rata
kepadatannya 18.061 orang per km2 atau Jakarta yang kepadatannya 11.023 per km2.
Bab 2
Manakala kita ingin menunjuk pada proses yang dianggap paling sentral di antara
sekian banyak proses transformasi sosial, ekonomi, dan budaya yang saling berkaitan di
dunia ketiga, maka pilihan yang paling mungkin adalah pada perpindahan penduduk yang
semakin besar dari desa dan kota kecil ke kota-kota besar. Hampir semua proses perubahan
itu terkait dengan perpindahan penduduk dari desa ke kota ini, baik sebagai penyebab atau
faktor pendorong (pertumbuhan penduduk, modernisasi pertanian, dan polarisasi ekonomi
yang menyertainya), maupun sebagai akibat (bertambahnya lingkungan kumuh di
perkotaan, “sektor informal” yang berkembang cepat dalam perekonomian, partisipasi
politik masyarakat, dan munculnya berbagai jenis gerakan politik baru).
Artikel ini mendiskusikan perpindahan penduduk dan beberapa dampaknya dari satu
sudut pandang tertentu: Perubahan-perubahan dalam kehidupan sosial dan kebudayaan di
kalangan sebuah komunitas pendatang miskin di Bandung di mana saya pernah tinggal
hampir setahun bersama mereka, Tiga kata: Duit, Jodoh, Dukun, yang menjadi judul artikel
ini menunjuk kepada tiga pokok persoalan yang paling sering muncul dalam percakapan di
komunitas tersebut yaitu ekonomi, seksualitas, dan dunia supernatural.
Migrasi ke Bandung
Indonesia dalam banyak hal lebih beruntung dibandingkan dengan negera-
negara Asia lainnya.Masalah-masalah perkotaan di Indonesia, meski cukup besar,
belum separah yang dihadapi India, Pakistan, dan negeri-negeri lainnya. Namun
demikian, kemiskinan di perkotaan di Indonesia tampaknya sedang mengarah ke
sana, baik dalam hal besarnya jumlah orang yang sangat miskin maupun tingkat
kemiskinannya, Salah satu alasan kenapa pemukiman-pemukiman kumuh di sini
tidak berkembang secepat di tempat lain adalah karena sebagian besar migrasi desa-
kota di Indonesia adalah migrasi bolak-balik (circulatory migration), yakni banyak
pendatang ke kota besar untuk kemudian kembali ke desa dalam jangka waktu yang
relatif pendek (Hugo, 1977; lihat juga Hugo, 1978).
Jakarta merupakan satu-satunya kota besar di Jawa yang memperlihatkan
pertumbuhan penduduk dengan cepat sebagai akibat migrasi. Pertumbuhan penduduk
di Surabaya dan Bandung rata-rata 3,0% per tahun antara sensus 1971 dan 1980,
tidak jauh di atas pertumbuhan seluruh penduduk yang rata-rata sebesar 2,3% selama
periode yang sama. Karena itu, kontribusi migrasi netto (jumlah yang datang
dikurangi jumlah yang pergi) di kota-kota besar terhadap angka pertumbuhan
penduduk hanyalah sekitar 0,7%.
Sukapakir
Desa yang diceritakan di sini, memiliki nama yang sangat cocok dengan
keadaannya, Sukapakir. Daerah ini adalah bagian dari kelurahan Jamika, yang
merupakan salah satu kelurahan berpenduduk paling padat di Bandung. Pada tahun
1980, 32.000 orang tercatat sebagai penduduk yang menempati wilayah seluas 0,35
km2. Jumlah ini belum termasuk penduduk sementara yang resminya terdaftar
sebagai penduduk tempat lain. Dengan demikian, tingkat kepadatan penduduknya
mencapai lebih dari 900 jiwa/ha, yang barangkali salah satu yang tertinggi di
Indonesia.Namun kepadatan Jamika tidaklah merata, dan kepadatan Sukapakir
berada di atas kepadatan rata-rata di kelurahan tersebut.Untuk tujuan penelitian ini,
saya memilih dua Rukun Tetangga (RT) di Sukapakir.Salah satunya saya sebut RT
B, berada di Sendawa, sedangkan yang lainnya saya sebut RT A, letaknya
bersebelahan dengan Sendawa yaitu di selatannya. Saya menyewa sebuah rumah di
RT A dan tinggal di sana selama 11 bulan.
Sukapakir adalah nama sebenarnya (namun tepat) untuk sebuah kampung perkotaan
yang miskin di sebelah barat daya Bandung, Saya menetap di Sukapakir selama hampir
satu tahun pada tahun 1983-84, dalam rangka melakukan studi mikroskopik mengenai
perubahan sosial dan budaya, dan sejak itu saya berulang kali mengunjunginya kembali.
Bab 4
Tidak ada banyak ulama yang merasa telah dapat mengatasi dilema yang inheren
dalam hubungan ulama-ulama secara memuaskan. Sebagian besar para ulama merasa
bahwa ada banyak hal yang berjalan tidak sebagaimana mestinya, misalnya korupsi,
kemiskinan dan ketidakadilan, pergaulan bebas remaja, merajalelanya perjudian dan
narkoba, kegiatan gereja dan misi Kristen konon semakin sukses, atau tidak adanya
demokrasi dalam kehidupan politik dan ekonomi. Namun, mereka tidak tahu bagaimana
cara bertindak. Menarik diri dari kehidupan politik dalam semua bentuknya berarti
menolak menerima tanggung jawab sosial yang berada di pundaknya, sementara menjalin
hubungan yang dekat dengan kekuasaan akan menjauhkannya dari sikap independen.
Melakukan oposisi terang-terangan terhadap pemerintah dicela dalam tradisi Sunni, karena
hal itu akan menimbulkan kekacauan (fitnah). Dalam pandangan ulama banyak, cara
terbaik adalah mengambil sikap kritis moderat, agar dapat mencapai perbaikan kecil tanpa
konflik, namun banyak umara yang tidak toleran sama sekali terhadap kritik, betapapun
moderatnya dia. Kritik terbuka umat Islam terhadap pemerintah telah dibungkam secara
efektif. Suara ulama yang blak-blakan mengoreksi kejanggalan-kejanggalan sosial pun
jarang lagi terdengar.Bahkan, di tengah-tengah gencarnya aksi protes atas penyitaan tanah
dan penggusuran tani yang banyak terjadi pada akhir dasawarsa 1980-an, ulama tetap
membisu.
Barangkali tepat untuk menutup tulisan ini dengan sebuah hadis lain yang sering saya
dengar dikutip ulama dalam konteks ini:Barangsiapa menyaksikan kemungkaran,
hendaklah ia mengoreksinya dengan tindakan; jika dia tidak dapat berbuat demikian,
hendaklah dia melakukannya dengan kata-kata (yakni memberi peringatan atau
menyampaikan protes); dan jika hal ini pun tidak dapat dilakukan, hendaklah ia
melakukannya dengan hatinya (yakni, penolakan dengan diam atau, menurut sebagian,
dengan berdoa kepada Allah). Kebanyakan dari mereka tampaknya merasa terbebaskan
karena adanya alternatif ketiga ini, walaupun hadis ini ditutup dengan peringatan bahwa
“cara yang terakhir ini adalah pertanda dari lemahnya iman seseorang”
Bab 5
istilah “fundamentalisme” dulu (dan hingga sekarang) memiliki makna yang lebih
tepat: penegasan kembali keyakinan akan kebenaran Perjanjian Lama secara harfiah, di
tengah gempuran ilmu pengetahuan modern, terutama teori evolusi. Wujudnya yang paling
mencolok adalah kreasionisme, pembelaan atas kepercayaan mengenai penciptaan yang
berlawanan dengan teori evolusi Darwin. Gerakan-gerakan di dunia Muslim yang disebut
“fundamentalis” memiliki latar belakang intelektual dan politik
Bab 6
Istilah “gerakan sempalan” beberapa tahun terakhir ini menjadi populer di Indonesia
sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap “aneh”, alias
menyimpang dari aqidah, ibadah, amalan, atau pendirian mayoritas umat. Istilah ini,
agaknya, terjemahan dari kata “sekte” atau “sektarian”,1 kata yang mempunyai berbagai
konotasi negatif, seperti protes terhadap dan pemisahan diri dari mayoritas, sikap eksklusif,
pendirian tegas tetapi kaku, klaim monopoli atas kebenaran, dan fanatisme. Di Indonesia
ada kecenderungan untuk melihat gerakan sempalan terutama sebagai ancaman terhadap
stabilitas keamanan dan untuk segera melarangnya.Karena itu, sulit membedakan gerakan
sempalan dengan gerakan terlarang atau gerakan oposisi politik.Hampir semua aliran,
paham dan gerakan yang pernah dicap “sempalan”, ternyata memang telah dilarang atau
sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia. Beberapa contoh yang
terkenal adalah: Islam Jama’ah, Ahmadiyah Qadian, NII/TII, Mujahidin-nya Warsidi
(Lampung), Syi’ah, Baha’i, Inkarus Sunnah, Darul Arqam (Malaysia), jama’ah Imran,
gerakan usroh, aliran-aliran tasawuf berfaham wahdatul wujud,Berbicara tentang “gerakan
sempalan” berarti bertolak dari suatu pengertian tentang “ortodoksi” atau “mainstream”
(aliran induk) karena gerakan sempalan adalah gerakan yang menyimpang atau
memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku.
Timbulnya segala macam sekte dan aliran “mistisisme” juga bukan sesuatu
yang khas untuk negara berkembang.Justru di negara yang sangat maju, seperti
Amerika Serikat, fenomena ini sangat menonjol.Jadi, hipotesis bahwa gerakan
sempalan di Indonesia timbul sebagai akibat situasi khusus umat Islam Indonesia
masa kini tidak dapat dibenarkan.Saya mengira juga, bahwa jumlah aliran baru yang
muncul setiap tahun (sekarang) tidak jauh lebih tinggi ketimbang tiga dasawarsa
yang lalu.
Sejauh yang sempat saya amati, gerakan sempalan Islam di Indonesia biasanya
tidak muncul di tengah-tengah kalangan umat, tetapi di pinggirannya. Sebagian
mungkin bisa dilihat sebagai reaksi terhadap proses pengislaman yang sudah mulai
berlangsung enam atau tujuh abad yang lalu dan masih terus berlangsung. Sebagian
lagi (terutama gerakan yang “radikal”) bisa dilihat sebagai “komentar” terhadap
ortodoksi yang telah ada, dengan usul koreksi terhadap hal-hal yang dianggapnya
kurang memadai. Selama dialog antara ortodoksi dan gerakan sempalan masih bisa
berlangsung, fenomena ini mempunyai fungsi positif. Terputusnya komunikasi serta
semakin terasingnya gerakan sempalan tadi mengandung bahaya.Kalau ortodoksi
tidak responsif dan komunikatif lagi serta hanya bereaksi dengan melarang-larang
(atau dengan diam saja), ortodoksi sendiri merupakan salah satu sebab
penyimpangan “ekstrem” ini.Terlepas dari hubungan ortodoksi dengan umat
“pinggiran”, aliran-aliran agama mempunyai suatu fungsi sosial yang cukup penting
untuk para penganutnya, yaitu sebagai pengganti ikatan keluarga dan pemberi
perlindungan, keamanan psikologis, dan spiritual. Peran ini tidak dapat dimainkan
oleh organisasi agama besar, justru karena yang diperlukan adalah hubungan intim
dalam sebuah komunitas yang terpisah dari masyarakat atau umat yang luas.
Bab 7
Dalam sebuah peristiwa yang tampak seperti pembalikan dramatis atas kebijakan-
kebijakan Orde Baru sebelumnya terhadap kelompok-kelompok Islam, Presiden Soeharto
pada bulan Desember 1990 memberikan dukungan pribadinya kepada pembentukan Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), sebuah perhimpunan yang melibatkan orang-
orang yang sebelumnya merupakan pengkritik pemerintah dan punya hubungan dengan
partai Islam terlarang, Masyumi. Di bawah pimpinan seorang menteri yang yakin bahwa
dirinyalah orang yang direstui Soeharto untuk menggantikannya, B.J. Habibie, ICMI selalu
menjadi pusat perhatian dan memelopori berbagai kegiatan yang mempunyai makna
simbolik bagi banyak umat Islam. Organisasi ini mendirikan bank Islam (Bank Muamalat
Indonesia) dan sebuah surat kabar bermuatan Islam (Republika) yang dimaksudkan untuk
merebut publik pembaca dan genggaman surat-surat kabar terkemuka milik kalangan
Kristen.
Dilihat dari jumlah penduduknya yang beragama Islam saja, Indonesia adalah
negeri Muslim terbesar di dunia (diikuti India dan Pakistan, yang merupakan negeri
berpenduduk Muslim terbesar kedua dan ketiga).Umat Islam mencapai 88% dari
seluruh penduduk (yang mencapai 200 juta pada tahun 1995).3 Namun, umat Islam
dan Islam memainkan peranan yang jauh lebih kecil dalam kehidupan publik negeri
ini, baik politik maupun ekonominya, ketimbang yang mungkin diduga orang ketika
memperhitungkan jumlah belaka.Sebagian besar kehidupan ekonomi dikuasai oleh
kelompok minoritas etnik Cina, yang kebanyakan beragama Kristen dan Katolik;
perusahaan-perusahaan yang dimiliki orang Islam, meski bukannya tidak ada, relatif
tidak signifikan.
Bab 8
Wacana tentang Yahudi dan konspirasi untuk menguasai dunia, dengan Protokol-
Protokol Para Sesepuh Zion sebagai sumber utama, berasal dari Eropa dan masih
mencerminkan pertentangan sosial di Eropa pada masa laju modernisasi berlangsung
begitu cepat. Wacana tersebut sampai ke Indonesia melalui Timur Tengah (terutama Arab
Saudi) setelah menjadi bagian dari pandangan dunia Islam yang dipropagandakan Rabithah
Al-`Alam Al-Islami. Di Indonesia, wacana ini telah mendapat fungsi baru dan diterapkan
untuk membicarakan pertentangan yang sesungguhnya kasat mata namun tidak bisa
dibicarakan secara terbuka. Wacana ini tidak membantu untuk memahami apa yang terjadi
di sekitar kita, tetapi mungkin saja lebih memuaskan sebagai penjelasan dan pembenaran
kegagalan orang daripada sebuah analisa yang sungguh-sungguh. Sejarah Eropa abad
terakhir ini menunjukkan betapa berbahaya wacana ini.
BAGIAN KETIGA
Bab 9
Dalam bukunya yang cukup berpengaruh, The Failure of Political Islam (Kegagalan
Islam Politik), ahli ilmu politik Perancis Olivier Roy mengklaim bahwa gerakan Islam,
terutama yang di Timur Tengah, menunjukkan pergeseran dari “Islamisme” ke “Neo-
Fundamentalisme.”Islamisme, dalam pengertian Roy, merupakan gerakan atau ideologi
politik yang punya konsep dan agenda tentang perubahan tatanan masyarakat, sedangkan
Neo-Fundamentalisme hanya berfokuskepada perbaikan ketaqwaan dan akhlaq individu.
Salafisme Wahhabi, agaknya, contoh paling jelas tentang apa yang Roy namakan “Neo-
Fundamentalisme”, karena keengganannya mengkritik pemerintah dan obsesinya dengan
aspek-aspek ibadah yang paling terperinci. Sedangkan “Islamisme” dalam pandangan Roy
barangkali paling jelas terwakili oleh pemikiran Maududi, Sayyid Qutb dan Ali Syariati,
dan masa awal gerakan revolusi Islam di Iran dan Afghanistan. Dalam pengamatan Roy,
para Islamis itu gagal karena gerakan-gerakan Islam cenderung berpaling dari politik dan
menyibukkan diri dengan kesalehan pribadi tanpa mempedulikan perjuangan demi
keadilan politik dan ekonomi.
Sejauhmana pengamatan Roy itu juga relevan untuk dinamika Islam di Indonesia?
Munculnya berbagai gerakan Islam radikal pada masa peralihan pasca Orde Baru seolah-
olah bertentangan dengan tesis Roy. Namun sebagian besar gerakan radikal yang dibahas
dalam bab ini sebetulnya lebih bersifat Neo-Fundamentalis daripada Islamis. Gerakan
Islam politik yang lama, yaitu Masyumi dan Darul Islam, mungkin tidak merupakan contoh
terbaik Islamisme karena pada masa jayanya mereka belum punya visi jelas tentang Islam
sebagai sistem (nidham) politik dan ekonomi. Konsep yang lebih sistematis tentang
pemerintahan dan perekonomian Islami mulai berkembang ketika pemikiran Maududi, As-
Siba’i, Sayyid Qutb dan sebagainya disebarluaskan melalui Dewan Dakwah.Revolusi Iran
dan pemikiran Ali Syariati telah merangsang diskusi mengenai sistem politik Islam,
pemberdayaan mustadh’afin dan perlawanan terhadap kezaliman.Namun setelah Arab
Saudi merasa terancam oleh semangat Revolusi Iran dan mengambil peran aktif dalam
menyebarkan faham Salafi, Dewan Dakwah dan jaringannya semakin dipengaruhi
Salafisme dan berpaling dari pemikiran Islam revolusioner.Bahkan di kalangan orang-
orang yang beralih ke Syiah karena kekaguman mereka terhadap Revolusi Iran, juga
terlihat peralihan minat dari pemikiran politik Syiah kepada kecintaan kepada keluarga
Nabi, atau kepadafalsafah dan tasawwuf.
Namun terdapat juga perkembangan yang bertentangan dengan klaim Roy.Pada masa
Soeharto, gerakan dakwah di kampus kelihatannya Neo-Fundamentalis, dengan
penekanannya pada kesalehan pribadi dan sikap apolitiknya. Namun pada masa Reformasi,
gerakan itu yang melahirkan partai politik Islamis, yaitu PK. Gerakan Darul Islam/NII,
Jama’ah Islamiyah dan Majelis Mujahidin, yang masing-masing punya visi politik Islam
walaupun juga dipengaruhi doktrin Salafi, sulit dipahami dengan kerangka analisa Roy.
Dan pemikiran politik Islam tidak terbatas pada gerakan radikal saja.
Bab 10
Bab 11
Dewasa ini terdapat berbagai macam pesantren dan madrasah di Indonesia, yang
berafiliasi dengan semua arus utama dalam Islam Indonesia.Persamaan semua pesantren
dan madrasah ini adalah sama-sama mengajarkan teks agama berbahasa Arab, sebagian
besar berbarengan dengan kurikulum non-agama. Kebanyakan pesantren, dan sudah jelas
kebanyakan pesantren besar, berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama atau mempunyai
pandangan kegamaan yang sama. Inti kurikulum pendidikan agama mereka terdiri dari
fikih mazhab Syafi’i, yang sering kali digabungkan dengan akhlak tasawuf.Banyak di
antara pesantren ini dipimpin oleh guru-guru karismatik, yang punya otoritas besar di
kalangan masyarakat umum.Karena itulah, pada waktu pemilu mereka didekati oleh para
politisi. Sebelum pemilu 2004, para pemimpin sebagian besar partai melakukan kunjungan
yang penuh publisitas ke pesantren, berharap mempengaruhi para pemilih dengan cara itu.
Politisi mencari kiai, dan kiai juga merasa memerlukan hubungan baik dengan politisi.
Pernah ada masa ketikapesantren-pesantren ini bergabung menentang kebijakan
pemerintah, misalnya RUU Perkawinan yang dianggap bertentangan dengan syariah,
namun pesantren-pesantren tradisional ini lebih sering bersikap akomodatif terhadap
pemerintah dan berupaya mendapat dukungan darinya.
Bab 12
Syu’un Ijtima’iyah dan Kiai Rakyat: Islam Tradisionalis, Masyarakat Sipil, dan
Permasalahan Sosial
Menurut sebuah survei baru-baru ini (dilaporkan dalam Mujani dan Liddle 2004),
lebih dari 40 persen penduduk Indonesia kurang lebih mengidentifikasi diri dengan NU
dan 17 persennya sangat kuat mengidentifikasi diri dengan NU. Sebagian besar dari jumlah
ini berasal dari pedesaan dan secara ekonomi kekurangan, dicirikan oleh kesenjangan
sosial dan ekonomi serta hubungan patron-klien yang meluas. Pelbagai upaya
pembangunan dan pengembangan masyarakat dari bawah oleh LSM-LSM yang mencoba
menjangkaukomunitas-komunitas ini melalui pesantren mungkin tidak seberhasil yang
diharapkan para pemrakarsanya, dan kiai mungkin dalam banyak kasus bahkan
memperkokoh kekuasaan mereka terhadap masyarakat melalui proyek-proyek ini, tetapi
cerita tidak berhenti sampai di sini.
Sementara generasi pertama aktivis LSM yang aktif dalam lingkaran-lingkaran ini
adalah orang luar secara budaya, sejak pertengahan 1980-an semakin banyak anak muda
didikan pesantren (sebagian besar lulusan IAIN) menjadi aktif di beraneka LSM, dan lebih
banyak lagi yang mengiktui program-program pelatihan dengan berbagai tema yang
diberikan oleh LSM-LSM ini. Dampak nyata dari aktivitas-aktivitas ini bagi emansipasi
dan perkembangan ekonomi komunitas-komunitas terbelakang ini mungkin sangat kecil,
tetapi memiliki efek menciptakan imbangan elite di tengah kaum Nahdliyyin.Banyak lelaki
dan perempuan muda yang peduli terhadap kemiskinan dan ketidakadilan telah
mempelajari keterampilan-keterampilan praktis berguna (dari menyelenggarakan rapat dan
memimpin diskusi hingga menyusun perundangan dan menerbitkan serta memasarkan
buku) dan memperluas cakrawala melalui keterlibatan di dalam LSM-LSM ini.Gagasan
tentang keterlibatan kritis dengan tradisi dan tentang pluralitas penafsiran yang absah telah
mendapat penerimaan luas di kalangan lulusan pesantren yang mendapat pendidikan lebih
baik, dan bentuk-bentuk kesenjangan gender serta kelas yang telah mapan mendapat
tantangan secara terbuka.
Islam tradisionalis lingkungan pesantren, yang dahulu konservatif secara sosial dan
budaya, secara paradoksal telah menelurkan gerakan progresif untuk menuju reformasi
sosial dan keagamaan, yang lebih dekat dengan akar rumput ketimbang sebagian besar
gerakan lain. Aspek paling menonjol dari gerakan progresif ini adalah peran kiai rakyat,
yang gagasan, cita-cita, serta intervensi sosialnya mencerminkan pengalaman dengan dunia
LSM tetapi mengandalkan legitimasi tradisional (yang sebagian besar diwariskan) agar
bisa berhasil dengan baik.