Anda di halaman 1dari 3

Yogyakarta di Masa Malaise

Pada pertengahan abad 19 terdapat kerajaan Mataram yang wilayahnya terpisah pisah
menjadi 4 daerah yaitu Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Mangkunegara dan pakualaman. Di
bawah Sultan Agung (1619 – 1642) Mataram membentang dari ujung timur pulau Jawa sampai
pedalaman tanah Priangan. Daerah kekuasaannya meliputi tanah pertanian di pedalaman dan
kota – kota atas pulau Madura pula. Kegagalan Sultan Agung dalam serbuannya ke Batavia pada
tahun 1929 serta sifat pemerintahannya yang tidak stabil menyebabkan hadirnya kekuatan dari
luar yang besar di tengan situasi politik yang amat rapuh dan akibatnya pada saat itu kejayaan
Mataram mengalami kemerosotan.

Penyebabnya adalah pemberontakan yang sering terjadi akibat untuk memperebutkan


tahta. Hal ini memberikan peluang kepada orang Belanda untuk ikut campur tangan didalam
urusan dalam negeri Mataram yang membuatnya mendapat imbalan tanah dari pihak yang
dibantu. Pemberontakan tersebut perang diponegoro dan berlangsung pada 1825 hingga 1830.

Karesidenan Yogyakarta yang luanya 1100 mill persergi mencakup kasultanan


Yogyakarta dan Pakualaman. Didaerah ini walaupun penduduknya semakin padat namun
Belanda masih juga mendirikan perkebunan dan mengeruk untung besar.

Keadaan sosial daerah swapraja :

 Terpeliharanya kesenian dan adat istiadat


 Perilaku tadisonal dalam lingkungan istana
 Rasa hormat terhadap penguasa/raja didasarkan oleh kekuatan magis religious

Sistem Pertanian

1. Penguasa
2. Bangsawan
3. Bekel/lurah
4. Petani

Hasil Panen 20% untuk bekel, 40% untuk pihak yang berhak atas atanah dan 40% untuk
petani yang bersangkutan. Selain petani juga dibebani kewajiban.
 Membangun, memperbaiki dan memelihara jalan
 Melakukan ronda
 Menggarap pertanian
 Menyediakan bahan makanan kepada penguasa atau bangsawan pada peristiwa –
peristiwa tertentu

Komoditas Pertanian/perkebunan Belanda di Yogyakarta

 Nila
 Tembakau
 Tebu = gula

Masuknya perkebunan tebu membuat ketidaksenangan dari para petani karena alasan tanah,
tenaga kerja dan modal yang lebih besar dan petani di beri imbalan yang tidak sepadan.

Jika dilihat Tatkala bagian Jawa yang lain telah meninggalkan masa liberal dan memasuki zaman
politik etis, Yogyakarta dan Surakarta masih belum beranjak dari masa sebelumnya itu masa
Cultuurstetsel.

Sistem tanah di Yogyakarta pada tahun 1912 diubah oleh sultan sendiri. Sistem hak gaduhnya
yang lama dihapus. Sultan mengambil kembali semua tanah ke tangannya.

Krisis Malaise tahun 1930 membawa dampak yang luas bagi negaranegara di dunia, tak
terkecuali Indonesia yang saat itu masih di bawah penjajahan Belanda. Seperti diketahui bahwa
saat itu di Jawa banyak didirikan pabrik yang mengolah hasil perkebunan rakyat,contohnya gula.
Jawa saat itu merupakan penghasil gula terbesar kedua di dunia sesudah Kuba, tetapi akibat
adanya krisis malaise produksi gula dari Hindia Belanda mengalami kehancuran di pasaran dunia

Anda mungkin juga menyukai