Anda di halaman 1dari 10

Pengetahuan dan Kuasa Kolonial: Jambi Abad 19 dalam Sejarah Indonesia (I)

Reporter : 
Kategori : Jejak

Sungai Batanghari. D.D.Veth. Midden Sumatra Expeditie 19877-1879

Oleh: Bondan Kanumuyoso*

Sejarah Jambi belum mendapat perhatian yang memadai jika dibandingkan dengan sejarah daerah lain
di Sumatra. Aceh dan Minangkabau misalnya telah menjadi bahan kajian sejarah dari masa masuknya
dan berkembangnya Islam (abad 13 sampai abad 17) di kedua wilayah itu sampai ke masa revolusi
kemerdekaan. Sejarah kolonial daerah-daerah lainnya seperti Sumatra Timur, Palembang, Kepulauan
Riau, Bengkulu dan Lampung juga telah banyak diteliti.

Sementara itu sejarah Jambi praktis belum mendapat perhatian yang serius. Dalam kurun waktu tiga
puluh tahun terakhir paling tidak hanya ada dua buku yang membahas sejarah Jambi secara mendalam
(1) . Hal ini cukup mengejutkan, mengingat Jambi telah memainkan peran yang penting dalam sejarah
Sumatra dan Kepulauan Indonesia bagian barat dari masa pra modern. Bukti dari peran penting itu
dapat ditemukan pada kompleks percandian Muara Jambi yang merupakan kompleks percandian yang
terluas di Asia Tenggara.

Di abad ke-19 wilayah kesultanan Jambi tidaklah seluas kesultanan-kesultanan lain di Sumatra.
Meskipun wilayahnya hanya berukuran sedang, tetapi wilayah Jambi berada di tengah pulau Sumatra
dengan daerah pantai yang menghadap ke pantai timur pulau itu. Secara keseluruhan wilayah Jambi
membentang sejauah 350 km dari timur ke barat dan 220 km dari utara ke selatan.

Urat nadi utama kehidupan masyarakat Jambi adalah Sungai Batanghari. Sungai ini adalah sungai yang
terpanjang di Sumatra (panjangnya sekitar 800 km) dan memiliki banyak anak sungai. Perkambangan
sejarah Jambi banyak terjadi di kawasan yang ada di sekitar sungai. Selain menjadi sarana utama
transportasi antara wilayah pesisirdan pedalaman, daerah yang ada di tepian sungai menjadi tempat
pemukiman penduduk. Para penduduk itu tinggal dalam dusun-dusun yang di abad 19 jumlah masing-
masing populasinya beragam antara 500 sampai 800 orang.

Pada paruh kedua abad ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai meluaskan pengaruhnya ke
luar Jawa. Keberhasilan pelaksanaan Tanam Paksa di Jawa dan beberapa daerah lain di Sumatra dan
Sulawesi telah menyediakan basis ekonomi untuk ekspansi teritorial negara kolonial. Suatu perluasan
wilayah hanya dapat dilakukan dengan baik jika pengetahuan tentang kondisi geografis dan penduduk
wilayah itu telah dikuasai dengan baik pula.

Salah satu wilayah  di Sumatra yang mulai mendapat perhatian serius dari pemerintah kolonial Belanda
adalah Jambi. Sebagai bagian dari upaya menguasai wilayah Jambi pada pada tahun 1877-1879 Belanda
mengirimkan ekspedisi ke Jambi. Ekspedisi yang terkenal dengan sebutan Midden Sumatra
expeditie adalah ekspedisi yang bertujuan untuk mengumpulkan pengetahuan tentang kondisi geografi
dan masyarakat Jambi. Meskipun memiliki latar belakang untuk mengumpulkan pengetahuan, namun
ekspedisi ke Jambi juga merupakan bagian krusial dari perkembangan kekuasaan kolonial di Pulau
Sumatra. Ekspedisi ke Jambi hingga sejauh ini belum banyak diungkap dalam historiografi Indonesia

Ekspansi Kolonial

Awal abad 19 di Nusantara dibuka dengan masa transisi yang ditandai dengan diluidasinya VOC
(Verenigde Oost-Indische Compagnie atau Maskapai dagang Hindia Timur) pada tahun 1799 yang diikuti
dengan pemerintahn peralihan yang berlangsung selama kurang lebih tiga puluh tahun. Dalam tiga
dekade awal abad 19tersebut terjadi berbagai macam reorganisasi dan restrukturasi dalam negara
kolonial terutama dalam masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels (1808-1811),
Letnan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang memerintah atas nama Inggris, dan
Gubernur Jendral Baron Van der Capellen (1816-1826).

Di masa berkuasa sebagai gubernur jendral, Daendels melakukan penataan ulang administrasi kolonial
dengan memperkuat kedudukan pemerintah pusat (2). Sementara itu, dalam masa pemerintahannya
Raffles membentuk pemerintahan residensi yang dikepalai oleh residen dan memiliki kewenangan
militer (3). Sedangkan Van der Capellen melanjutkan berbagai reformasi birokrasi yang sudah dimulai
oleh Daendels dan Raffles.
Kebijakan reformasi yang berlangsung antara tahun 1808 sampai tahun 1826 telah berhasil
mentrasformasi birokrasi VOC yang didasarkan pada prinsip-prinsip dagang menjadi pemerintahan
terpusat dengan birokrasi yang modern. Ide-ide pembaharuan yang dihasilkan oleh revolusi Perancis
telah dibawa masuk ke Hindia Belanda oleh Daendels dan dilanjutkan oleh berbagai gagasan
modernisasi di koloni-koloni Inggris yang diperkenalkan oleh Raffles.  Meski telah terjadi berbagai
pembaharuan, namun masa penjajahan yang sesungguhnya di Hindia Belanda baru dimulai pada tahun
1830, yaitu ketika ketika Gubernur Jendral Johannes van den Bosch menerapkan Cultuur Stelsel (Sistem
Tanam Paksa). Hingga saat itu kekuasaan kolonial Hindia Belanda terutama terpusat di Jawa. Hal ini yang
menjelaskan mengapa pelaksanaan sistem Tanam Paksa dan dampaknya terutama dirasakan oleh
penduduk Jawa. Namun demikian, Tanam Paksa tidak hanya dilaksanakan di Jawa, tetapi juga di
beberapa daerah lain seperti di Sumatra Barat dan Minahasa.

Suatu momentum baru bagi perkembangan negara kolonial terjadi ketika Tanam Paksa telah
dilaksanakan kurang lebih dua puluh tahun. Keuntungan besar yang didapat dari sistem agraria ini
menyebabkan perekonomian negeri Belanda menjadi stabil. Hutang-hutang yang diakibatkan oleh
pengeluaran yang sangat besar dalam Perang Jawa (1825-1830) dapat dilunasi. Keuntungan Tanam
Paksa juga menyebakan pajak yang diterapkan di negeri induk dapat diturunkan. Bersama dengan itu
negeri Belanda mulai melakukan industrialisasi. Pada tahun 1850 terjadi kecenderungan yang negatif
berupa bencana kelaparan di Hindia Belanda, stagnasi produksi dan konsumsi, serta melambatnya
peningkatan populasi Eropa. Semua itu merupakan indikasi bahwa dorongan terhadap produksi yang
diberikan oleh Tanam Paksa sedang mengalami penurunan.

Tetapi perkembangan baru di negeri Belanda dalam perkapalan, perniagaan, dan manufaktur
menunjukkan bahwa pihak swasta sudah siap untuk mengambil alih posisi pemerintah dalam
pengelolaan tanah jajahan. Sistem tanam paksa sedang memudar, bukan karena gagal tetapi karena
perimbangan kekuasaan yang baru di negeri Belanda. Di Hindia Belanda hanya sedikit orang yang berani
mengkritik tanam paksa, namun di negeri Belanda sudah muncul kelas menengah liberal yang secara
politik semakin kuat dan berani dalam melancarkan kritik terhadap praktek ekonomi di tanah jajahan.
Kaum liberal yang baru muncul bertujuan mendapatkan kekuatan politik dan ekonomi di dalam negeri
dan kemudian memperoleh kendali atas keuntungan-keuntungan dari koloni.

Sementara itu perkembangan internal di Hindia belanda menunjukkan, bahwa sejak tahun 1840 dan
selanjutnya, pemerintah kolonial semakin banyak terlibat dalam berbagai permasalahan yang terjadi di
luar Jawa. Keterlibatan yang semakin besar itu terutama didorong oleh berbagai motif ekonomi.
Eksploitasi terhadap Jawa telah mencapai puncaknya melalui sistem Tanam Paksa. Karena itu diperlukan
wilayah-wilayah baru yang dapat dieksploitasi di luar Jawa untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi
dari pengelolaan negara kolonial. Dengan itu dimulailah ekspansi territorial negara kolonial yang tadinya
hanya terpusat di Pulau Jawa ke seluruh wilayah Hindia Belanda dalam rangka menegakkan Pax
Neerlandica.

Ada dua alasan utama yang melatari ekspansi kolonial tersebut, pertama: dalam rangka menjaga
kedaulatan wilayah-wilayah yang telah dikuasainya, Belanda merasa perlu untuk melakukan pasifikasi
terhadap daearh-daerah yang memiliki potensi untuk mendukung atau membangkitkan gerakan
perlawanan. Kedua: Belanda merasa penting untuk memastikan hak mereka terhadap seluruh wilayah
Hindia Belanda sebagai cara untuk mencegah penetrasi kolonial dari bangsa-bangsa Barat lainya. Kedua
alsan utama itu menyebabkan perluasan territorial Belanda sejak paruh kedua abad 19 ke seluruh
Nusantara tidak hanya wilayah-wilayah yang mereka minati sejak lama, tetapi juga daerah-daerah yang
tidak mereka minati sebelumnya (4).

Salah satu pulau di Nusantara yang telah lama menarik perhatian Belanda adalah Sumatra. Sumatra
menjadi daerah tujuan ekspansi territorial utama karena letaknya yang sangat strategis, yaitu di bagian
barat kepulauan Nusantra, dimana ujung utaranya menjadi gerbang masuk ke Selat Malaka dan ujung
selatannya menjadi pintu masuk ke Selat Sunda. Selain letaknya yang strategis, Sumatra adalah juga
pulau penghasil berbagai komoditi berharga yang dapat dijual ke pasar dunia seperti lada, emas, dan
kemudian juga batubara. Sebelum abad ke-19, VOC telah memiliki beberapa wilayah koloni di Sumatra
yang tersebar di pantai barat maupun timur pulau Sumatra.

Koloni-koloni itu lebih merupakan penanda kehadiran Belanda yang ketika itu direpresentasikan oleh
VOC daripada wilayah kekuasaan terirorial yang sebenarnya. Dengan semakin kuatnya negara kolonial
akibat dari keuntungan yang didapat dari Tanam Paksa, maka Belanda mulai melakukan upaya-upaya
yang lebih serius untuk secara bertahap menguasi seluruh Pulau Sumatra. Salah satu wilayah di pulai ini
yang dikuasai paling akhir oleh Belanda, selain Aceh, adalah Jambi.

*Dr. Bondan Kanumuyoso adalah pengajar sejarah di Universitas Indonesia. Tulisan di atas merupakan
makalah penulis yang disampaikan dalam “Diskusi Sejarah Midden Sumatra Expeditie 1877-1879:
Eksplorasi Sejarah Jambi” yang diadakan oleh Media Online Kajanglako.com di Jambi Tanggal 4 Oktober
2018.

                                                 

Catatan kaki:

(1). Kedua buku itu ditulis oleh para ahli sejarah dari luar Indonesia yang mencakup periode abad 17-19,
yaitu Barbara Watson Andaya, To Live as Brother: Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth
Centuries, Honolulu, University of Hawaii Press, 1993 dan Elsbeth Locher Scholten, Sumatran Sultanate
and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830-1907, Ithaca, New York: Southeast
Asia Program Publications, 2003.

(2). Masa pemerintahan Daendels sangat singkat, hanya tiga tahun, tetapi Ia adalah tokoh yang
meletakkan dasar bagi sebuah birokrasi dan pemerintahan yang modern di Hindia Belanda. Lihat Peter
Carey, The Power of Propechy: Prince Dipanegara and the end of an old order in Java, 1785-1855, Leiden:
KITLV Press, 2007, hlm. 131.

(3). Selain membentuk pemerintahan residensi, Raffles juga memperkenalkan ke Hindia Belanda sistem
Pajak Tanah (land rent) yang telah diterapkan oleh Inggris di koloni mereka di India. Pajak tanah
diutamakan dalam bentuk uang sehingga mengakibatkan meluasnya monetisasi (ekonomi uang) di
Hindia Belanda. Tentang penerapan sistem Pajak Tanah lihatJan Luitan van Zanden dan Daan
Marks, Ekonomi Indonesia, 1800-2010: Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan, Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2012, hlm. 84-85.

(4)    Tentang latar belakang ekspansi teritorial negara kolonial Hindia Belanda lihat M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 1200-2008, Jakara: Serambi, 2008, hlm. 289-290.

Pengetahuan dan Kuasa Kolonial: Jambi Abad 19 dalam Sejarah Indonesia (II)

Reporter : 
Kategori : Jejak

ilustrasi. sumber: tropenmuseum (1931)

Keterlibatan Belanda di Jambi

Hubungan Belanda dengan Jambi telah terjadi pada tahun 1616. Pada tahun itu Sultan Jambi Al Qahar
memberi izin kepada VOC untuk membangun pos dagang dan benteng di Muara Kumpeh. Dengan
dibangunnya benteng Belanda tersebut dimulailah suatu babak baru dalam sejarah Jambi, dimana
kekuatan kolonial berusaha untuk menancapkan pengaruhnya di wilayah Sumatra Tengah.
Sebagai maskapai dagang VOC tidak memiliki ketertarikan untuk melakukan penguasaan teritorial. Bagi
perusahaan swasta Belanda ini kemungkinan untuk meraih keuntungan dari kegiatan perdagangan jauh
lebih menarik daripada perluasan wilayah kekuasaan (1). Hal ini karena penguasaan wilayah
memerlukan birokrasi dan birokrasi harus digaji yang artinya adalah pengeluaran. Sebagai sebuah
perusahaan VOC berusaha sejauh mungkin menghindari pengeluaran yang tidak perlu.

Dalam kasus Jambi, VOC merasa berkepentingan untuk menanamkan pengaruhnya di wilayah ini karena
Jambi adalah salah satu daerah penghasil lada di Pulau Sumatra. Wilayah peisir Jambi adalah daerah
rawa-rawa yang tidak cocok untuk kegiatan perkebunan. Karena itu lada yang diproduksi di Jambi
berasal dari daerah pedalaman. Belanda bukanlah satu-satunya pedaganag Eropa yang terlibat dalam
kegiatan perdagangan lada di Jambi.

Selain Belanda ada juga Inggris. Persaingan dagang antara VOC dengan maskapai dagang Inggris EIC
(East India Company) menyebabkan harga lada menjadi tinggi. Tingginya harga lada mendorong orang-
orang di pedalaman untuk lebih banyak menanam lada dan membawanya melalui Sungai Batanghari ke
daerah hilir. Hubungan antara wilayah hulu dan hilir adalah penggarak utama dari sejarah Jambi.
Tercatat bahwa di pertengahan abad ke-17 Jambi adalah penghasil utama lada di pesisir timur Sumatra.

Setelah berakhirnya kekuasaan VOC dimulai suatu babak baru hubungan antara Jambi dengan Belanda.
Berbagai upaya dilakukan Belanda untuk menguasai wilayah pesisir timur Sumatra. Pengaruh Belanda
menguat di Jambi ketika Sultan Muhammad Fakhruddin (1829-1841) menyerang wilayah-wilayah
Palembang tetapi berhasil dipukul mundul oleh Palembang. Momentum kekalahan Jambi ini
dimanfaatkan Belanda untuk memaksa Sultan mengakui kekuasaan Belanda (1834).

Sebagai penanda kekuasaanya Belanda membangun pos militer di muara sungai di Muara Kumpeh.
Penentangan terhadap kehadiran Belanda terjadi ketika Thaha Saifuddin (1855-1904) diangkat sebagai
sultan Jambi. Sultan Thaha menolak untuk menandatangani perjanjian dengan Belanda. Akibatnya
Belanda melakukan serangan militer terhadap kedudukan sultan pada tahun 1858. Peristiwa
penyerangan ini menyebabkan Sultan Thaha mengungsi ke wilayah pedalaman. Dari pedalaman Jambi Ia
dan para pengikutnya terus membangkitkan perlawanan. Perjuangan Sultan Thaha untuk mengusir
Belanda keluar dari Jambi terhenti pada tahun 1904, yaitu ketika terbunuh oleh patrol militer Belanda di
wilayah pedalaman Jambi (2).

Ketika Sultan Thaha melakukan perlawanan di wilayah pedalaman, Belanda mengangkat sultan baru
beberapa kali untuk menggantikan Thaha. Para sultan pengganti itu mendapat dukungan Belanda
karena mengakui kekuasaan pemerintah kolonial. Meskipun mereka secara resmi berkuasa di Jambi,
tetapi dukungan rakyat Jambi yang sebenarnya tetap diberikan kepada Sultan Thaha.
Situasi inilah yang menyebabkan Belanda tidak pernah benar-benar bisa menegakkan kekuasaannya di
Jambi di sepanjang abad ke-19. Mereka melakukan berbagai upaya untuk menguasai Jambi sepenuhnya,
baik secara militer maupun melalui kewenangan Sultan yang mereka dukung.

Tidak berhenti sampai disitu, pemerintah kolonial juga berusaha untuk menguasai Jambi dengan jalan
mendapat pengetahuan sebanyak-banyaknya tentang wilayah Jambi dan rakyatnya. Upaya terakhir
inilah yang menjadi latar belakang dari dilaksanakannya Ekspedisi Sumatra Tengah

Ekspedisi Sumatra Tengah         

Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan kolonial dalam sejarah dunia maupun dalam konteks
Hindia Belanda terdokumentasikan dengan baik dalam sumber-sumber sejarah. Sebagaimana kekuatan
kolonial lainnya di Eropa, Belanda memanfatkan Ilmu Pengetahuan untuk menunjang kekuasaan
kolonial meraka di Asia maupun di Amerika.

Di Sumatra, selain di Jambi, Belanda telah menggunakan ilmu pengetahuan dalam mengungkap budaya
masyarakat Aceh dalam rangka menanamkan kekuasaan kolonialnya di wilayah ujung utara Pulau
Sumatra tersebut.

Melalui seorang tokoh ilmuwan ahli Islam, yaitu Snouck Hurgornje, Belanda mendapat pengetahuan
tentang berbagai aspek yang melatar belakangi perlawanan rakyat Aceh. Hurgonje tidak meneliti secara
khusus tentang bagaimana cara menaklukkan rakyat Aceh. Apa yang dilakukannya adalah menelusuri
pengaruh Islam dalam budaya Aceh. Berdasarkan karya-karya akademis yang ditulis oleh Hurgronje
Belanda mendapat pemahaman yang lebih baik tentang rakyat Aceh dan pada akhirnya bisa
menemukan cara untuk memadamkan perlawanan mereka.

Ekspedisi Sumatra tengah yang dilaksanakan Belanda di pedalaman Jambi berlangsug kurang lebih
bersamaan dengan pecahnya Perang Aceh di tahun 1877 (3). Kedua peristiwa ini saling terkait erat dan
dengan jelas menggambarkan terjadinya ekspansi negara kolonial di Sumatra. Wujud ekspansi itu tidak
hanya dalam bentuk kekuatan politik, tetapi juga dalam bidang ilmu pengetahuan.

Ekspedisi Sumatra Tengah dipelopori oleh lembaga Masyarakat Geografi di Belanda. Lembaga ini berdiri
pada tahun 1873 dan sekitar satu dekade kemudian resmi menggunakan nama Masyarakat Geografi
Kerajaan Belanda. Di abad 19 Ilmu geografi telah digunakan oleh negara-negara kolonial untuk
memastikan wilayah kekuasaan mereka. Kemampuan Geografi dalam mendeskripsikan bentuk fisik dari
permukaan bumi dan batas-batas wilayah telah sangat membantu pemerintantahan-pemerintahan
negara kolonial di Asia, Amerika dan Afrika dalam memastikan teritori wilayah kekuasaan meraka dan
potensi kekayaan alam yang ada di dalamnya.

Setahun setelah berdirinya Masyarkat Geografi, dewan pengelola lembaga ini memutuskan untuk
melakukan suatu ekpsedisi ke Hindia Belanda. Tujuan dari ekspedisi geografi itu adalah spesifik, yaitu
mengeksplorasi wilayah Jambi dan Kerinci. Ekspedisi yang sudah direncanakan sejak tahun 1874, tetapi
tidak dapat segera dilaksanakan. Dibutuhkan waktu selama tiga tahun untuk melakukan berbagai
persiapan dan mendapatkan persetujuan, baik dari pemerintah pusat di Den Haag maupun pemerintah
kolonial di Batavia, sebelum akhirnya ekspedisi benar-benar dapat dijalankan.

Pada bulan Januari 1877 Ekspedisi Sumatra Tengah dengan resmi dimulai. Ekspedisi ini dipimpin oleh
Letnan J. Schouw Santvoort dengan dibantu dua orang lainnya, yaitu D.D. Veth dan J.F. Snelleman. Pada
saat itu telah diputuskan untuk menghapus bagian misi untuk mengeksplorasi kerinci. Keputusan ini
diambil sebagai akibat dari perkembangan perang Aceh yang semakin memburuk. Dampak dari Perang
Aceh menyebabkan sikap permusuhan rakyat Sumatra terhadap Belanda semakin menguat. Suatu
ekspedisi ke Kerinci akan dianggap oleh rakyat di wilayah itu sebagai suatu misi militer untuk
pengintaian.

Ekspedisi Sumatra Tengah tidak berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Agar dapat berlayar sampai
ke wilayah hulu Sungai Batanghari tim ekspedisi harus menunggu datangnya puncak musim hujan di
bulan Desember 1877. Dalam masa penantian untuk bisa berlayar ke hulu, tepatnya pada bulan tanggal
22 November, pimpinan ekspedisi Schouw Santvoort mendadak jatuh sakit dan kemudian meninggal
dunia. Posisinya sebagai pimpinan ekspedisi segara digantikan oleh residan Belanda di Palembang, yaitu
Abraham Pruys van der Hoeven. Bagi pimpinan ekspedisi yang baru perjalanan melayari Batangari dari
hilir ke hulu Sungai Batanghari memiliki tiga tujuan utama, pertama: menyelidiki kemungkinan Sungai
Batanghari untuk dilayari secara regular, kedua: untuk menyelidiki keadaan di wilayah pedalaman Jambi,
dan ketiga: sebagai konsolidasi kekuasaan belanda di Jambi. Ekspedisi Sumatra Tengah berakhir pada
tahun 1878.

Beberapa tahun kemudian berbagai temuan yang didapat dari Ekspedisi Sumatra Tengah diterbitkan
oleh Masyarakat Geografi Kerajaan Belanda dalam empat jilid buku besar dan beberapa buku lepas
lainnya. Hasil-hasil ekspedisi itu dijadikan landasan untuk mendapakan izin untuk melanjutkan ekspedisi
ke wilayah-wilayah lain di Hindia Belanda, yaitu ke Bornoe, Papua, Kepualuan Aru dan Kepulauan Obi.

Semua usulan ekspedisi itu ditolak oleh pemerintah pusat. Satu-satunya ekspdisi yang dizinkan untuk
dilaksankan adalah perjalanan ke Indonesia timur, yaitu ke Kepulauan Kei (1887), Flores (1888) dan ke
Papua.  Meskipun secara keseluruhan Ekspedisi Sumatra Tengah hanya berdampak secara
terbatasterhadap ekaspnasi kolonial secara keseluruhan ke Hindia Belanda, tetapi hasil-hasil laporan
dari ekspedisi ini menjadi sumber sangat penting yang dapat digunakan untuk menuliskan sejarah Jambi
di abad ke-19.

Kesimpulan

Sejarah Jambi di abad ke-19 adalah bagian dari sejarah Indonesia yang ketika itu secara teritorial mulai
mengalami penyatuan sebagai dampak dari ekspansi kolonial ke luar Jawa. Sebagaimana wilayah-
wilayah lain di Sumatra dan di pulau-pulau lain, Jambi dalam periode ini menglmi suatu periode sejarah
yang sangat dinamis, dimana kekuasaan kolonial yang berusaha menanamkan hegemoninya mendapat
tanggapan berupa resistensi yang kuat dari para elit lokal yang didukung oleh rakyatnya.
Di Jambi sosok Sultan Thaha menjalankan peranan yang menentukan dalam membentuk identitas rakyat
Jambi sebagai salah satu kelompok masyarakat di Indonesia yang paling gigih mempertahankan
kedaulatannya. Upaya Belanda untuk menaklukkan Jambi tidak berjalan dengan lancar. Karena itu
mereka kemudian menempuh cara lain. Jalan lain itu adalah dengan mempelajari karakter alam dan
masyarakat Jambi untuk dapat memahami secara lebih baik potensi alam dan kekuatan rakyatnya. Pada
aspek ini terlihat kaitan jelas bahwa pengetahuan telah digunakan dengan baik oleh kekuatan kolonial
dalam rangka memperkuat hegemoninya di Jambi dan Hindia Belanda secara umum.

Ekspedisi Sumatra Tengah merupakan episode menentukan dalam sejarah Jambi. Arti penting ekspedisi
ini tidak terlihat secara langsung. Pemerintah kolonial sangat mungkin telah menggunakan hasil laporan
ekspedisi ini untuk bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan meraka terhadap Jambi. Tetapi
tampaknya secara keseluruhan pemerintah kolonial beranggapan bahwa hasil-hasil yang dicapai oleh
ekspedisi ini kurang sepadan dengan berbagai upaya dan pengorbanan yang telah dilakukan dalam
persiapan dan pelaksanaannya. Sikap itu terutama terlihat dari penolakan pemerintah kolonial terhadap
sebagaian besar usulan untuk melakukan kegiatan semacam Ekspedisi Sumatra Tengah di wilayah-
wilayah lain di Hindia Belanda.

Berbagai dokumen dan buku-buku yang menyimpan informasi tentang Jambi dan masyarakatnya telah
dihasilkan oleh Ekspedisi Sumatra Tengah. Semua bahan-bahan itu ketika ditulis tentu ditujukan untuk
kepentingan pemerintah kolonial dan masyarakat Belanda. Namun demikian, berbagai laporan yang
dihasilkan oleh Ekspedisi Sumatra Tengah tetap memiliki kandungan informasi sejarah yang tinggi. Data-
data tersebut adalah tentang berbagai aspek dari kekayaan alam dan karakter masyarakt Jambi di abad
ke-19. Adalah sangat mungkin untuk memanfaatkan sumber-sumber itu untuk kepentingan penulisan
sejarah Jambi. Dengan memanfaatkan laporan-laporan Ekspedisi Sumatra Tengah dapat diharapkan
akan muncul berbagai kajian sejarah mengenai berbagai aspek dalam masyarkat Jambi yang bertumpu
kepada sumber-sumber primer.

*Dr. Bondan Kanumuyoso adalah pengajar sejarah di Universitas Indonesia. Tulisan di atas merupakan
makalah penulis yang disampaikan dalam “Diskusi Sejarah Midden Sumatra Expeditie 1877-1879:
Eksplorasi Sejarah Jambi” yang diadakan oleh Media Online Kajanglako.com di Jambi Tanggal 4 Oktober
2018.                        

Catatan kaki:

(1). Kegiatan perdagangan VOC di Asia di abad ke-18 dibahas dalam Els M. Jacobs, Merchant in Asia: The
Trade of the Dutch East India Company during the Eighteenth Century, Leiden, CNWS Publications, 2006.

(2).Dengan melihat akhir dari perlawanan Sultan Thaha maka dapat dikatakan bahwa Jambi sama seperti
Aceh dan Bali, yaitu baru jatuh sepenuhnya ke tangan kekausaan kolonial di awal abad ke-20. Tentang
perlawanan Sultan Thaha lihat Rusdi Sufi, “Perlawanan Rakyat Jambi” dalam Taufik Abdullah dan A.B.
Lapian (editor), Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 4: Kolonisasi dan perlawanan, Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2012, hlm. 452-454.
(3).  Tentang jalannya Perang Aceh lihat Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912,
Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016.

(4).  Scholten, Sumatran Sultanate and Colonial State, hlm. 142.

 Daftar Pustaka

Alfian, Ibrahim,Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016.

Andaya, Barbara Watson, To Live as Brother: Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth
Centuries, Honolulu, University of Hawaii Press, 1993. 

Carey, Peter, The Power of Propechy: Prince Dipanegara and the end of an old order in Java, 1785-1855,
Leiden: KITLV Press, 2007.

Jacobs, Els M., Merchant in Asia: The Trade of the Dutch East India Company during the Eighteenth
Century, Leiden, CNWS Publications, 2006. 

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, 1200-2008, Jakara: Serambi, 2008.

Scholten, Elsbeth Locher, Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch
Imperialism, 1830-1907, Ithaca, New York: Southeast Asia Program Publications, 2003.

Sufi, Rusdi, “Perlawanan Rakyat Jambi” dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (editor), Indonesia dalam
Arus Sejarah Jilid 4: Kolonisasi dan perlawanan, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012.

Zanden, Jan Luitan van, dan Daan Marks, Ekonomi Indonesia, 1800-2010: Antara Drama dan Keajaiban
Pertumbuhan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012.

Anda mungkin juga menyukai