Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kota-kota besar yang ada di Indonesia yang saat ini kita huni dapat dikatakan
semuanya dibentuk dan dikembangkan pada periode 200 – 300 tahun yang lalu, yaitu
pada periode kolonial. Elemen-elemen utama pembentuk struktur kota yang
diletakkan pada periode kolonial telah membuat kota-kota ini terhubung dengan
jaringan regional dan global dan terus mengembangkan vitalitasnya hingga saat ini.
Kajian-kajian pengaruh periode kolonial pada perkembangan perkotaan di Indonesia
banyak dilakukan oleh para ahli antropologi (Lombard, 1996); sejarah (a.l. Ricklefs,
2008; Colombijn dkk, 2005; Basundoro, 2012; Margana & Nursam, 2010; Soekiman,
2011), studi perkotaan (Roosmalen, 2008; Gill,1995; Handinoto, 2010;
Wiryomartono, 1995) dan arsitektur (Akihary, 1998; Sumalyo, 1988; Handinoto,
1996).
Secara umum kajian-kajian tersebut mengarah pada pemahaman bahwa
periode kolonial merupakan periode yang menentukan, sebagai awal pembentukan
karakter kota dan ruang kota di Indonesia. Meskipun demikian, kajian spasial yang
dapat menggambarkan secara komprehensif pengaruh kolonialisme dalam
pembentukan struktur perkotaan di Indonesia masih terbatas. Kajian perkotaan di
Indonesia pada periode kolonial secara umum didominasi disiplin sejarah, budaya,
politik, antropologi dengan penekanan pada aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi.
Penelitian yang dilakukan sebagai latar tulisan ini mencoba lebih mengangkat aspek
spasial, terutama transformasi dan struktur perkotaan Jawa yang terbentuk pada
periode kolonial. Melalui kajian eksplorasi di beberapa kota terpilih diharapkan
ditemukan gambaran pengaruh kolonialisme pada proses pembentukan struktur
perkotaan

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yaitu;
1) Bagaimana perkembangan kota di Indonesia pada masa kolonial
2) Bagaimana konsep kota yang diterapkan di Indonesia pada masa kolonial?
3) Bagaimana pola kota di Indonesia pada masa kolonial?
4) Apa saja isu-isu perkotaan yang terjadi pada masa kolonial di Indonesia?
C. TUJUAN
1)
BAB II
PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG MASUKNYA KOLONIALISME DI INDONESIA


Pada mulanya para penjelajah (explorer) bagsa Eropa bertujuan untuk
berdagang dan mencari sumber rempah-rempah. Namun demikian, akhirnya mereka
melakukan penjajahan dan pendudukan terhadap wilayah-wilayah yang
disinggahinya. Tampak pada peta jalur pelayaran para penjajah Eropa yang melintas
di kepulauan Nusantara.

Jatuhnya konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani, maka berakhirlah


kekuasaan kerajaan Romawi Timur. Berakibat tertutupnya perdagangan di Laut
Tengah bagi orang-orang Eropa. Bangsa Turki menjalankan politik yang mempersulit
pedagang Eropa yang beroperasi di daerah kekuasaanya yang menyebabkan
perdagangan antara dunia timur dengan Eropa menjadi mundur, sehingga barang-
barang yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang Eropa menjadi berkurang di pasaran
Eropa, terutama rempah-rempah.
Pada akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16, pelaut-pelaut bangsa Eropa
berhasil menjelajahi samudra yang luas dan sampai ke negeri-negeri yang baru seperti
Amerika, Afrika, Asia Timur termasuk Indonesia. Faktor-faktor yang mendorong
orang-orang Eropa mengadakan penjelajahan Samudra
pada akhir abad ke-16, antara lain:
a. Jatuhnya kota Konstantinopel tahun 1453 ke tangan penguasa Turki Usmani.
b. Kisah perjalan Marcopolo ke dunia timur, yaitu perjalan kembalinya Marcopolo
dari negeri Cina melalui pelayaran atau lautan.
c. Penemu Copernicus didukung oleh Galileo, yang menyatakan bahwa bumi ini
bulat.
d. Penemuan kompas
e. Semangat Reconcuesta

1) Kedatangan Bangsa Belanda di Indonesia


Perdagangan rempah-rempah yang dilakukan bangsa Portugis ini sangat
besar pengaruhnya terhadap bangsa Belanda. Terlebih lagi para pedagang
Belanda tidak diperkenankan lagi untuk melakukan kegiatannya di bandar
perdagangan Lisboa (Lisabon, Portugis). Para pedagang Belanda berusaha sendiri
untuk mencari dan menemukan sumber rempah-rempah yang ada di dunia timur.
Tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman, para pedagang
bangsa Belanda tiba di Banten (Indonesia). Dari bandar Banten pelaut Belanda
melanjutkan pelayarannya ke arah timur dan mereka kembali dengan membawa
rempah-rempah dalam jumlah yang cukup banyak. Belanda semakin ramai datang
ke Indonesia. Keadaan seperti ini telah menyebabkan timbulnya persaingan di
antara para pedagang sendiri. Pemerintah Belanda membentuk badan usaha atau
kongsi dagang yang diberi nama Vereenigde Oost Indiche Compagnie (VOC)
yaitu persekutuan dagang hindia timur. VOC berdiri pada tahun 1602 yang juga
lebih sering disebut oleh bangsa Indonesia dengan sebutan Kompeni Belanda.
Para petualang Belanda beruntung karena mereka memperoleh informasi
perjalanan bangsa Portugis ke Asia dan Indonesia dari Jan Huygen Van
Linschoten, seorang penjelajah Belanda yang ikut pelayaran Portugis sampai di
Indonesia. Ia menulis buku yang berjudul “Itinerario, Voyage Ofte Schipvert naer
Oost ofte Portugaels Indiens “ (catatan perjalanan ke Timur, atau Hindia
Portugis).
Pada tahun 1596, Cornelis de Houtman dengan empat buah kapal berawak
kapal 249 orang mendarat di Banten. Kehadiran Belanda di Nusantara mengawali
penjajahan di Indonesia ditandai dengan terbentuknya VOC (Verenigde Oost
Indische Compagnie) tahun 1602.
2) Kedatangan Jepang di Indonesia
Gubernur Jenderal Hindia Belanda jhr. Mr. A. W. L. Tjarda mengumumkan
perang melawan Jepang. Hindia Belanda termasuk dalam font ABCD (Amerika
Serikat, Brittana/Inggris, Cina, Ducth/Belanda) dengan Jenderal Wavel (dari
Inggris) sebagai panglima tertinggi yang berkedudukan di Bandung. Jatuhnya
Singapura ke tangan Jepang pada tanggal 15 Pebruari 1941, yaitu dengan
ditenggelamkannya kapal induk Inggris yang bernama Prince of Wales dan HMS
Repuls, sangat mengguncangkan pertahanan Sekutu di Asia. Secara kronologis
serangan-serangan pasukan Jepang di Indonesia adalah sebagai berikut: diawali
dengan menduduki Tarakan (10 Januari 1942), kemudian Minahasa, Sulawesi,
Balikpapan, dan Ambon. Kemudian pada bulan Pebruari 1942 pasukan Jepang
menduduki Pontianak, Makasar, Banjarmasin, Palembang dan Bali.

B. PERKEMBANGAN KOTA PADA MASA KOLONIALISME

Arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia


Dua nama menonjol sebagai arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia.
Pertama, Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal 1808-1811 ketika Belanda
dikuasai oleh Perancis dan, kedua, Letnan Inggris Stamford Raffles, Gubernur
Jenderal 1811-1816 ketika Jawa dikuasai Inggris. Daendels mereorganisasi
pemerintahan kolonial pusat dan daerah dengan membagi pulau Jawa dalam distrik
(yang juga dikenal sebagai residensi) yang dipimpin oleh seorang pegawai negeri sipil
Eropa - yang disebutkan residen - yang secara langsung merupakan bawahan dari -
dan harus melapor kepada - Gubernur Jenderal di Batavia. Para residen ini
bertanggung jawab atas berbagai hal di residensi mereka, termasuk masalah hukum
dan organisasi pertanian.
Raffles melanjutkan reorganisasi pendahulunya (Daendels) dengan mereformasi
pengadilan, polisi dan sistem administrasi di Jawa. Dia memperkenalkan pajak tanah
di Jawa yang berarti bahwa petani Jawa harus membayar pajak, kira-kira nilai dua-
perlima dari panen tahunan mereka, kepada pihak berwenang. Raffles juga sangat
tertarik dengan budaya dan bahasa Jawa. Pada tahun 1817 ia menerbitkan bukunya
The History of Java, salah satu karya akademis pertama yang topiknya pulau Jawa.
Namun, reorganisasi administrasinya yang diterapkan Raffles juga berarti
meningkatnya intervensi pihak asing di masyarakat dan ekonomi Jawa, yang
tercermin dari meningkatnya jumlah pejabat peringkat menengah Eropa yang bekerja
di residensi-residensi di pulau Jawa. Antara tahun 1825 dan tahun 1890 jumlah ini
meningkat dari 73 menjadi 190 pejabat Eropa.
Sistem pemerintahan kolonial Belanda di Jawa adalah sistem yang direk
(langsung) maupun dualistik. Bersamaan dengan hirarki Belanda, ada hirarki pribumi
yang berfungsi sebagai perantara antara petani Jawa dan layanan sipil Eropa. Bagian
atas struktur hirarki pribumi ini terdiri dari para aristokrasi Jawa, sebelumnya para
pejabat yang mengelola pemerintahan Mataram. Namun, karena dikuasai penjajah
para priyayi ini terpaksa melaksanakan kehendak Belanda.

Meningkatnya dominasi Belanda atas pulau Jawa tidak datang tanpa


perlawanan. Ketika Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan untuk membangun
jalan di tanah yang dimiliki Pangeran Diponegoro (yang ditunjuk sebagai wali tahta
Yogyakarta setelah kematian mendadak saudara tirinya), ia memberontak dengan
didukung oleh mayoritas penduduk di Jawa Tengah dan ia menjadikannya perang
jihad. Perang ini berlangsung tahun 1825-1830 dan mengakibatkan kematian sekitar
215,000 orang, sebagian besar orang Jawa. Tapi setelah Perang Jawa selesai - dan
pangeran Diponegoro ditangkap - Belanda jauh lebih kuat di Jawa dibanding
sebelumnya.

1. PERIODESASI ARSITEKTUR KOLONIAL

 Abad 16 sampai tahun 1800 – an


Waktu itu Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia
Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda, VOC. Arsitektur
Kolonial Belanda selama periode ini cenderung kehilangan orientasinya pada
bangunan tradisional di Belanda. Bangunan perkotaan orang Belanda pada
periode ini masih bergaya Belanda dimana bentuknya cenderung panjang dan
sempit, atap curam dan dinding depan bertingkat bergaya Belanda di ujung
teras. Bangunan ini tidak mempunyai suatu orientasi bentuk yang jelas, atau
tidak beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat. Kediaman Reine de
Klerk (sebelumnya Gubernur Jenderal Belanda) di Batavia.
 Tahun 1800-an sampai tahun 1902
Pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari VOC. Setelah
pemerintahan tahun 1811-1815 wilayah Hindia Belanda sepenuhnya dikuasai
oleh Belanda. Pada saat itu, di Hindia Belanda terbentuk gaya arsitektur
tersendiri yang dipelopori oleh GubernurJenderal HW yang dikenal engan the
Empire Style, atau The Ducth Colonial Villa: Gaya arsitektur neo-klasik yang
melanda Eropa (terutama Prancis) yang diterjemahkan secara bebas. Hasilnya
berbentuk gaya Hindia Belanda yang bercitra Kolonial yang disesuaikan
dengan ingkungan lokal, iklim dan material yang tersedia pada masa itu.
Bangunan-bangunan yang berkesan grandeur (megah) dengan gaya arsitektur
Neo Klasik dikenal Indische Architectuur karakter arsitektur seperti : 1. Denah
simetris dengan satu lantai, terbuka, pilar di serambi depan dan belakang
(ruang makan) dan didalamnya terdapat serambi tengah yang mejuju ke ruang
tidur dan kamar-kamar lainnya. 2. Pilar menjulang ke atas (gaya Yunani) dan
terdapat gevel atau mahkota di atas serambi depan dan belakang. 3.
Menggunakan atap perisai.
 Tahun 1902 sampai tahun 1920-an
Secara umum, ciri dan karakter arsitektur kolonial di Indonesia pada
tahun 1900-1920-an : 1. Menggunakan Gevel (gable) pada tampak depan
bangunan 2. Bentuk gable sangat bervariasi seperti curvilinear gable, stepped
gable, gambrel gable, pediment (dengan entablure). 3. Penggunaan Tower pada
bangunan 4. Tower pada mulanya digunakan pada bangunan gereja kemudian
diambil alih oelh bangunan umum dan menjadi mode pada arsitektur kolonial
Belanda pada abad ke 20. 5. Bentuknya bermacam-macam, ada yang bulat,
segiempat ramping, dan ada yang dikombinasikan dengan gevel depan. 6.
Penggunaaan Dormer pada bangunan 7. Penyesuaian bangunan terhadap iklim
tropis basah -> Ventilasi yang lebar dan tinggi. -> Membuat Galeri atau
serambi sepanjang bangunan sebagai antisipasi dari hujan dan sinar matahari.
 Tahun 1920 sampai tahun 1940-an
Gerakan pembaharuan dalam arsitektur baik di tingkat nasional maupun
internasional. Hal ini mempengaruhi arsitektur kolonial Belanda di Indonesia.
Pada awal abad 20, arsitek-arsitek yang baru datang dari negeri Belanda
memunculkan pendekatan untuk rancangan arsitektur di Hindia Belanda.
Aliran baru ini, semula masih memegang unsur-unsur mendasar bentuk klasik,
memasukkan unsur-unsur yang terutama dirancang untuk mengantisipasi
matahari hujan lebat tropik. Selain unsur-unsur arsitektur tropis, juga
memasukkan unsur-unsur arsitektur tradisional (asli) Indonesia sehingga
menjadi konsep yang eklektis. Konsep ini nampak pada karya Maclaine Pont
seperti kampus Technische Hogeschool (ITB), Gereja Poh sarang di Kediri.

C. KONSEP KOTA YANG DITERAPKAN PADA MASA KOLONIALISME

D. POLA KOTA PADA MASA KOLONIALISME DI INDONESIA


Kedatangan bangsa Eropa terutama Belanda sangat berperan dalam membawa
berbagai perubahan di Indonesia. Salah satunya adalah munculnya kota-kota baru
dengan berbagai dinamikanya. Misalnya kota pelabuhan, kota sebagai pusat
pemerintahan/administrasi dan pusat perdagangan.
Di kala VOC sampai Negeri Samurai Jepang tahun 1945,menjajah negeri ini ,
hanya zaman penjajahan belanda yang sampai saat ini masih membekas hasil
bangunan dan tata kota yang baik, jalan, dan pembebasan lahan untuk kegiatan
mereka saat itu sangat mencerminkan suatu pemikiran dalam membangun tempat
yang nyaman untuk mereka berdiam diri di negeri ini, walaupun banyak masyarakat
indonesia yang dipekerjakan secara paksa oleh penjajah di waktu itu, namun
terorganisir dengan sangat baik dan membuat tempat daerah jauh dari bencana seperti
banjir, dan lainnya.
Dari kejadian itu pemikiran seorang arsitek belanda sangat artistik dan
mengacu untuk membangun suatu daerah yang nyaman untuk di tempati dan di huni
oleh penduduk .
Yang paling sederhana adalah ketatnya aturan dan segala bentuk pemikiran
dalam membangun sebuah tempat atau kota , di lihat dari letak dan daerah itu untuk
jadi pusat kota dan hiruk pikuk kehidupan ekonomi di zaman penjajahan sangat baik .
itu bisa di buktikan dari hasil dokumentasi sejarah , begitu mengagumkan dalam
membangun sebuah tempat yang nyaman dan jauh dari masalah perkotaan selama ini.
Dimulai dari pemanfaatan sungai sebagai jalur transportasi ,dan bangunan
yang artistik dengan melihat tata ruang yang baik , juga perniagaan dan hiburan
sangat tertata dengan baik.
Yang jelas, karena peraturan di waktu zaman penjajahan sangat disiplin dan
tegas, sehingga berjalan dengan sangat baik.
Berbagai inovasi yang mendukung untuk membangun suatu tempat ,di
lakukan dengan penataan yang maksimal , walaupun pengerjaan memaksakan rakyat
kita secara paksa untuk membangun tempat atau daerah yang mereka inginkan.
Inti dari penataan infrastruktur yang baik itu pula ,di tunjang dengan peraturan
yang tegas dan disiplin ,mulai dari kebersihan dan kenyamanan tempat di utamakan ,
sehingga roda kehidupan para penjajah tersebut berjalan lancar,tanpa ada masalah
seperti banjir ,macet, bangunan liar, buang sampah dan limbah yang tak terkontrol

E. ISU PERKOTAAN PADA MASA KOLONIALISME DI INDONESIA


Kedatangan Bangsa Belanda ke Indonesia sangat berpengaruh terhadap
pembangunan kota-kota di Indonesia dan hal ini tentunya memberikan dampak positif
mengingat pembangunan dilakukan berdasarkan pemikiran arsitek arsitek Belanda
yang sangat artistik dan juga dipengaruhi peraturan yang tegas dan disiplin.
Akan tetapi, kedatangan Bangsa Belanda ke Indonesia juga memberikan
dampak negatif yang secara tidak langsung telah mempengaruhi pertumbuhan dan
pembangunan kota di kalangan masyarakat atau rakyat jelata.
Salah satu dampak munculnya kota ini adalah keperluan akan tenaga kerja.
Tenaga kerja tersebut ada yang bersifat tetap tetapi ada pula yang bersifat musiman.

Sebagai bangsa yang terjajah dan belum terdidik, masyarakat pribumi


kebanyakan bekerja sebagai buruh atau pekerjaan nonformal lain. Misal sebagai
buruh angkut atau bongkar muat barang di pelabuhan atau stasiun kereta api,
pembantu rumah tangga pada keluarga elit Belanda atau Eropa lainnya. Kedudukan
mereka biasanya lemah sehingga majikan bisa “seenaknya” memperlakukan
buruhnya.

Upah yang rendah, itu pun masih dipotong oleh mandor atau perantara saat
mencari pekerjaan, harus diterima oleh para pekerja itu. Dengan upah yang rendah
tentu saja kesejahteraan mereka juga rendah. Mereka harus benar-benar berhemat
dengan upah yang diterima agar cukup untuk memenuhi kebutuhan, termasuk untuk
keluarganya baik yang ikut tinggal di kota maupun di desa. Akibatnya mereka
memilih makan seadanya, tinggal di rumah-rumah yang sangat sederhana yang tidak
memenuhi syarat kesehatan. Padahal kalau sakit tidak memperoleh uang untuk
berobat, demikian juga bila tidak bekerja tidak mendapatkan upah. Mereka juga tidak
mendapat cuti yang memadai. Kondisi mereka berbeda dengan buruh dari Eropa,
yang mendapat perlakuan lebih baik.
Hal tersebut tentu menjadi masalah dalam pembangunan kota. Sebagaimana
yang kita ketahui bahwa Isu-isu utama pembangunan perkotaan mencakup urbanisasi,
kemiskinan, kualitas lingkungan hidup, kapasitas daerah untuk pengelolaan kota,
pertumbuhan antar kota yang belum seimbang, dan globalisasi.

Dapat disimpulkan bahwa isu-isu utama yang terjadi pada masa kolonial
Belanda adalah kemiskinan yang membuat masyarakat tinggal di perumahan yang
kumuh dan menyebabkan kualitas lingkungan hidup yang kurang baik.

Anda mungkin juga menyukai