Anda di halaman 1dari 12

Historiografi Kolonial dan Karakteristiknya

Oleh Ahmad Khalwani1

I. Pendahuluan

Masa kolonial di Indonesia dimulai dengan kedatangan bangsa barat atau Eropa ke
Nusantara, pada awalnya kedatangan mereka hanya untuk mencari komoditas perdagangan
yang laku keras di dunia internasional yaitu rempah-rempah, setelah menemukan bahwa
sumber komoditas itu melimpah ruah di bumi Nusantara kemudian mereka membuat kongsi-
kongsi perdagangan yang bertujuan untuk memonopoli perdagangan tersebut. Salah satu
kongsi dagang tersebut adalah VOC milik pemerintah Belanda. karena sering terjadi
perlawanan oleh rakyat karena merasa dirugikan oleh sistem monopoli VOC, maka kemudian
VOC membuat pasukan keamanan. berawal dari sinilah penjajahan Belanda atau kolonial
Belanda mulai ditancapkan di Indonesia.

Belanda merupakan negara yang menjajah Indonesia yang sangat lama, tiga setengah
abad Indonesia telah dijajah Belanda. Untuk memenuhi kebutuhan administrasi antar VOC
dan pemerintah Belanda dan juga untuk mencatat aktifitas para pekerja Belanda dan kejadian-
kejadian yang terjadi di daerah jajahannya maka para pekerja VOC banyak membuat arsip-
arsip tulisan. Hingga banyak arsip-arsip nasional pun menggunakan bahasa Belanda.

Meskipun berbahasa Belanda penulisan sejarah dalam bentuk arsip tersebut memiliki
peranan penting dalam sejarah Indonesia. Karena didalamnya menggambarkan hubungan
politik antar daerah, diplomasi bahkan perdagangan. Arsip Nasional yang berbahasa Belanda
pun tidak hanya berada di Indonesia, akan tetapi juga berada di negara Belanda, disimpan
dalam Arsip Negara Den Haag sebanyak 12.050 jilid arsip2. Begitu juga sebaliknya arsip
Belanda juga berada di Indonesia. nah dari arsip tulisan inilah yang kemudian menjadi awal
dari historiografi kolonial di Indonesia.

Penulisan sejarah kolonial tentunya tidak lepas dari kepentingan penguasa kolonial,
kepentingan itu mewarnai interpretasi mereka terhadap suatu peristiwa sejarah yang tentunya

1
Ahmad Khalwani adalah mahasiswa pascasarjana jurusan Sejarah Peradaban Islam di Universitas Nahdlatul
Ulama Indonesia.
2
Graham Irwin, Sumber-Sumber Sejarah Belanda dalam Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar.
Penerjemah Soedjatmoko dkk, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1995), h. 208.
berbeda dengan penafsiran penulis sejarah nasional Indonesia.

Tidak dapat disangkal bahwa historiografi kolonial turut memperkuat proses


historiografi Indonesia, historiaografi kolonial dengan sendirinya menonjolkan peran bangsa
Belanda dan memberi tekanan pada aspek politik dan ekonomi. Hal ini merupakan
perkembangan logis dari situasi kolonial ketika penulisan sejarah bertujuan utama
mewujudkan sejarah dari golongan yang berkuasa.

II. Pengertian Historiografi Kolonial

Historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah bangsa-bangsa asing di Indonesia.


Bangsa-bangsa tersebut tentunya pernah menjajah Indonesia, seperti Portugis, Belanda,
Inggris, dan Jepang. Historiogrofi kolonial tidak terlepas dari kepentingan penguasa kolonial
untuk mengokohkan kekuasaan di Indonesia. Kepentingan itu mewarnai interpretasi mereka
tehadap suatu peristiwa sejarah yang tentunya akan berlawanan dengan historiografi sejarah
nasional. 

Historiografi Kolonial adalah karya  sejarah yang ditulis  pada masa pemerintahan
kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia, yaitu sejak zaman VOC (1600) sampai masa
Pemeritahan Hindia Belanda yang berakhir ketika tentara pendudukan Jepang datang di
Indonesia (1942). Historiografi kolonial adalah karya tulis sejarah yang ditulis oleh para
sejarawan kolonial ketika pemerintahan kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia3.

Historiografi kolonial merupakan produk penulisan sejarah Indonesia selama di bawah


pemerintahan Kolonial Belanda dan merupakan antitesis sejarah tradisional yang telah
berkembang sebelumnya4. Sama dengan hal tersebut, historiografi kolonial merupakan
penulisan sejarah yang membahas masalah penjajahan Belanda atas bangsa Indonesia.
Penulisan tersebut dilakukan oleh orang-orang Belanda dan banyak di antara penulis-
penulisnya yang tidak pernah melihat Indonesia, sumber-sumber yang dipergunakan adalah
dari arsip negara di negeri Belanda dan di Jakarta, namun pada umumnya tidak menggunakan
atau lebih menggabaikan sumber-sumber Indonesia.

3
Jayusman, Historiografi Tadisional dan Modern, h. 2.
4
Warto, Dekolonisasi Historiografi Indonesia dan Kesadaran Dekonstruktif, (Surakarta: UNS Press, 2014), h.
20.
Sartono Kartodirdjo5 mengemukakan bahwa historiografi kolonial yang sudah
mendasarkan pada tradisi studi sejarah kritis, namun demikian perspektif yang menonjol
masih menunjukan Neerlandosentris sebagai penyempitan wawasan Eropasentris. Penulisan
historiografi kolonial juga mendasarkan pada tradisi penulisan historiograpi konvensional
yang lebih berupa riwayat orang-orang berkuasa, antara lain Gubernur Jendral, raja-raja,
panglima dan sebaginya. Sebagai contoh karya-karya sejarawan Belanda biasanya
mengisahkan perjalanan pelayar-pelayar Belanda serta perkembangan VOC dilanjutkan
dengan pemerintah kolonial serta penguasa- penguasanya berdasarkan catatan atau arsip yang
dibuat oleh pejabat VOC.

Historiografi kolonial banyak dipengaruhi tradisi penulisan sejarah di Eropa abad ke-
19 di bawah tokoh Leopold von Ranke, yang di anggap sebagai “bapak historografi modern”.
Historiografi kolonial yang bersadar pada sumber-sumber arsip resmi negara mempengaruhi
konstruk sejarah yang dihadirkan. Para sejarawan sejarah kolonial sepenuhnya mengandalkan
studi arsip resmi yang dihimpun oleh pemerintah Kolonial Belanda yang sebagian besar
merupakan laporan para pejabat baik dipusat maupun di daerah. Mudah diduga bahwa
laporan-laporan resmi tersebut cenderung disusun untuk menyenangkan atasan dan di
manupulasi untuk kepentingan karir mereka masing-masing.

Sesuai dengan namanya yaitu sejarah kolonial, maka sebenarnya kuranglah tepat bila
disebut dengan penulisan sejarah Indonesia. Lebih tepat disebagai sejarah Bangsa Belanda di
Hindia Belanda (Indonesia) mengapa demikian, hal ini tidaklah mengherankan sebab fokus
pembicaraan adalah bangsa Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah bangsa Indonesia
di masa penjajahan Belanda. Itulah sifat pokok dari Historiografi Kolonial ialah Eropasentris
atau Belanda sentris yang dibentangkan atau diuraikan secara panjang lebar di dalam aktivitas
bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni (orang-orang kulit
putih) seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam menjalankan aktivitasnya ditanah
jajahan, dan mengabaikan segala aktivitas, kejadian yang dialami oleh rakyat dan Bangsa
Indonesia.

5
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif, (Jakarta:
Gramedia, 1982), h. 2.
Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa hisoriografi kolonial merupakan
penulisan sejarah bangsa-bangsa asing di Indonesia. Bangsa-bangsa tersebut tentunya pernah
menjajah Indonesia, seperti Portugis, Belanda, Inggris, dan juga Jepang, yang dimulai sejak
penjajahan pertama kali di Indonesia sampai Indonesia merdeka tahun 1945.

III. Karakteristik Historiografi Koloniol

Historiografi kolonial memiliki beberapa ciri-ciri diantaranya:

1. Belanda Sentrisme atau Neerlando Sentrismus artinya sejarah Indonesia di tulis dari
sudut pandang kepentingan orang-orang Belanda yang sedang berkuasa (menjajah) di
Nusantara Indonesia saat itu.

2. Eropasentrisme, artinya selain ditulis dari sudut pandang kepentingan orang Belanda,
ditulis juga sesuai dengan kepentingan bangsa Eropa pada umumnya.

3. Mitologisasi artinya banyak kejadian yang tidak didasarkan pada kejadian yang
sebenarnya6. Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk membuat mitologisasi dari
dominasinya, dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi daerah-
daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan untuk pertahanan masyarakat serta
kebudayaannya.

4. Ahistoris  artinya Orang Belanda dianggap sebagai manusia paliang sempurna dalam
berbagai kehidupan di Nusantara, peran mereka ditulais dalam historiografi Kolonial
sampai berlembar-lembar sementara peran rakyat pribumi sebagai pemilik sangat
sederhana dan dituangkan dalam halaman yang sangat minim.

5. Sejarawan kolonial menganggap bahwa rakyat pribumi sebagai non-faktor dalam sejarah.
Contoh historiografi kolonial dalam buku Sejarah Hindia Belanda sebagai berikut:
Zaman Purbakala dan Hindu, Penyiaran Islam dan Bangsa Portugis di Indonesia, VOC
(Kongsi Dagang Belanda) dan Pemerintah Belanda.

IV. Historiografi Kolonial Di Indonesia

Historiografi gaya kolonial awalnya ditulis dari pergerakan Orang Eropa yang sangat

6
Dasuki, Historiografi dan Penggunaan Sejarah dalam Pendidikan. Dalam H. Sjamsuddin, & A. Suwirta,
Historia Magistra Vitae:Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Hj. Rochiati Wiriaatmadja, (Bandung: Historia Utama
Press, 2003), h. 337-369.
terdorong untuk mengetahui bagaimana tradisi, mentalitas, kebudayaan serta sejarah dari
Dunia Timur, termasuk Nusantara. Semakin mereka memahami seluk beluk suatu daerah
termasuk bahasanya, maka akan semakin mudah mereka melapangkan pengaruhnya sehingga
dapat menuai manfaat dari kerjasama dengan penguasa lokal dan penduduk setempat, seperti
di bidang ekonomi, politik dan sosial.

Latar belakang guna menuai kepentingan di atas agaknya juga turut mewarnai cara
pandang mereka menulis catatan-catatan mengenai aktivitas orang Nusantara. Tidak jarang,
mereka tampil sebagai bangsa yang tercerahkan, sehingga kedatangan mereka ke tempat-
tempat di luar Eropa adalah untuk memberadabkan penduduk setempat. Oleh sebab itulah,
dalam tulisannya, mereka kerapkali mendudukkan bangsa pribumi sebagai “yang di bawah”,
uncivilized (tidak berperadaban), bahkan hingga sematan pembuat onar, pemberontak dan
pengganggu keamanan publik (rust en orde).

M Dien Madjid7 menyatakan bahwa secara garis besar terdapat tiga jenis historiografi
Kolonial di Indonesia, berdasarkan pada bangsa eropa yang pernah atau sempat mendirikan
suatu pemerintahan cabang atau kerajaan pusatnya yaitu historiografi kolonial Portugal,
Inggris dan Belanda.

A. Portugal

Portugal menjadi salah satu bangsa Eropa masa awal yang datang dan berinteraksi
dengan penduduk Eropa. Perkembangan maritim yang sebelumnya diupayakan Pangeran
Henry Sang Navigator, seorang keluarga kerajaan Portugal, berbuah manis. Atas
dukungannya itu, Portugis pada abad 16 menjadi salah satu bangsa yang merajai wilayah
perairan dunia, terutama wilayah samudera Hindia dengan pelabuhan - pelabuhan
sekitarnya. Mereka menyadari bahwa penulisan atau catatan terhadap wilayah-wilayah
yang mereka singgahi adalah penting.

Dalam khazanah historiografi Nusantara, Joao de Barros (sekitar 1496-1570) menjadi


satu nama yang layak diperhitungkan dalam jajaran penulis Portugis tentang sejarah
Nusantara. Ia merupakan orientalis perintis yang mendalami masalah-masalah
pemerintahan. Kecuali perjalanannya ke Guinea pada 1522, ia sama sekali tidak pernah
meninggalkan Portugal, namun mempunyai perhatian yang besar terhapa negara-negara

7
M Dien Madjid dalam diktat III matakuliah Historiografi Indonesia
dan bangsa-bangsa Asia. Ketika ia ditunjuk menjadi factor (feitor), semacam wakil
kerajaan di tanah jajahan Portugis, ia menghabiskan waktu luangnya mmebaca surat-surat
resmi dan tidak resmi dari kerajaan Portugal kepada penguasa-penguasa lokal Dunia
Timur. Ia juga menyempatkan diri bertemu pegawai tinggi, pedagang, pelancong yang
pernah menginjakkan kaki di berbagai wilayah di Asia.

Kebiasaan di waktu senggangnya itu kemudian berlanjut pada penyusunan karya


sejarah monumental berjudul Perbuatan-Perbuatan yang dilakukan Bangsa Portugis
Ketika Menemukan dan Menaklukkan Lautan-Lautan dan Negara-Negara Timur, yang
kemudian diterbitkan sebagai edisi bundel berjudul Decadas de Asia. Jilid pertama buku
ini diterbitkan pertama kali pada 1552, jilid kedua dicetak setahun berikutnya, jilid ketiga
pada 1563, dan jilid ke 4 dan rancangan Barros yang belum dirampungkan terbit pada
tahun 1615.8 Termasuk pula dalam jajaran historiografi Portugis adalah catatan perjalanan
Tome Pires9 dan Marcopolo.10

B. Inggris

Meskipun Inggris menjadi bangsa Eropa yang paling sebentar menduduki Nusantara,
kurang lebih hanya sekitar kurang dari 20 tahun, sebelum menginjak tahun 1820, beberapa
officer mengabadikan namanya dalam penulisan sejarah Nusantara. Sekitar abad 17, para
pelaut Inggris seperti John Davis ,yang menjadi kru kapal Cornelis de Houtman,
menuliskan komentarnya terkait kedatangannya ke Aceh. Sir James Lancaster, orang
Inggris lainnya, menuliskan laporan keduanya tatkala mengunjungi Nusantara pada 1601-
1603, terutama mengenai keterkaitan Aceh dengan negeri Melayu tetangganya serta
Portugis di Malaka.11

Di samping itu, terdapat dua karya mantan pegawai Inggris yang lebih dikenal
dibanding dua di atas, yakni tulisan William Marsden (The History of Sumatra) dan
Thomas S. Raffles (The History of Java). Kedua karya tersebut kini bisa diakses versi

8
C. R. Boxer, Beberapa Sumber Portugis untuk Historiografi Indonesia, dalam Soedjatmoko dkk, ed,
Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia, 1995) h. 190.
9
Sudah terbit edisi bahasa Indonesia, Tome Pires, Suma Oriental (Yogyakarta: Ombak, 2014).
10
Manuel Komroff, ed, The Travel of Marco Polo The Venetian (New York: W.W. Norton, 1930).
11
Lebih lanjut lihat A.H. Markham, ed, The Voyages and Works of John Davis The Navigator (London: Hakluyt
Society, 1880); C.R. Markham, ed, The Voyages of Sir James Lancaster, Kt, to The East Indies (London:
Hakluyt Society, 1877), seri pertama jilid LVI; W. Foster, ed, The Voyages of Sir James Lancaster to Brazil and
The East Indies, 1591-1603 (London: Hakluyt Society, 1940), seri kedua jilid LXXXV.
terjemahan bahasa Indonesia. Penjelasan yang dipaparkan Marsden mengenai hal ihwal
alam dan kehidupan Sumatera bisa dikatakan cukup memadai. Gaya penulisan berupa
laporan, menjadi kekuatan tersendiri betapa Marsden begitu jeli melihat bukan hanya
tradisi dan sejarah melainkan juga suasana alamnya. Raffles lebih kaya lagi. Selain
mengulas sejarah Jawa sejak masa Hindu-Budha sampai masa Islam, Rafles juga
menyertakan keadaan geografis Jawa, karakteristik orang Jawa dan Sunda sampai pada
potensi ekonomi di Jawa di sektor pertanian, kerajinan tangan hingga perkapalan.

C. Belanda

Belanda menjadi bangsa yang terlama beraktivitas di Nusantara. Belanda dikenal


karena strategi ekonomi dan politiknya yang licin, sehingga kerap berhasil memperdaya
bahkan mengadu domba raja – raja Nusantara. Keliahain ini berkenaan pula dengan minat
besar terhadap kajian Nusantara. Para cendikiawan Belanda dikenal karena kepakarannya
selain pula berkat keseriusan mereka dalam membina bidang pendidikan di Indonesia.
Warisan ini belakangan masih bisa dirasakan, betapa kajian hukum dan sejarah, bangsa
kita masih banyak yang menjadikan buku serta tulisan orang Belanda, seperti Snouck
Hurgronje, van Vollenhoven, Van den Berg serta yang lainnya, sebagai rujukan utamanya.

Beberapa karya orang Belanda yang bagus dalam uraian, kaya informasi dan sumber
yang bisa dipertanggungjawabkan di antaranya adalah karya besar J. Paulus,
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie. Di dalamnya menghimpun banyak entri tentang
sejarah, budaya, tradisi, geografi orang Nusantara terhintung sampai masa kolonial
Belanda. Selain itu karya ilmuwan Belanda lainnya adalah H.J. De Graaf mengenai
Mataram (sekitar 6 jilid). Itu merupakan salah satu rujukan utama tentang Mataram. Yang
lain, misalnya adalah F. W. Stapel berjudul Geschiedenis van Nederlandsch Indie.

Sebagian besar karya sejarah Belanda, sebelum 1957, masihlah diselimuti oleh cara
pandang subjektif tentang Nusantara. Terasa betul bahwa orang Belanda derajatnya berada
di atas orang Nusantara. Satu contoh sederhananya, jika orang kita menyebut orang yang
menentang Belanda sebagai pejuang, maka penulis atau sejarawan Belanda melabelinya
dengan pemberontak atau pembuat onar.

Historiografi kolonial Belanda sering menciptakan berbagai mitos untuk menonjolkan


superioritas bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia12. Inti cerita sejarah dari
Historiografi Kolonial ini adalah bangsa Belanda, oleh sebab hanya Belandalah yang
dipandang penting di Indonesia. Bangsa Belanda sebagai penjajah memandang diri
pribadinya sebagai yang dipertuan dan sebagai bangsa yang termulia, sehingga bangsa
Indonesia hanya mendapat gelar “bumi putera” atau orang negeri. Indonesia tidak
dipandang sebagai suatu bangsa, tetapi hanya sebagai sejenis manusia yang berguna bagi
Belanda. Dalam mitos Hindia Belanda dibuat fiksi bahwa seakan-akan kekuasaan kolonial
Belanda di Indonesia secara apriori sudah dimulai pada tahun 1596. Perang-perang
kolonial pada abad ke-19 terhadap daerah-daerah yang menentang untuk mempertahankan
kehidupan masyarakat dan kebudayaan dimitoskan dengan disebut “pasifikasi”.

Historiografi kolonial ini dengan sendirinya menonjolkan peran bangsa Belanda dalam
memberi teks pada aspek politis, ekonomis dan institusional. Hal ini merupakan
perkembangan secara logis dari situasi kolonial di mana penulisan sejarah dari golongan
yang dominan beserta lembaga-lembaganya. Interprestasi dari zaman kolonial cenderung
untuk membuat mitologisasi dari dominasi itu, dengan menyebut perang-perang kolonial
sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan
untuk survival masyarakat serta kebudayaannya. Apabila kita mengingat banyaknya
perlawanan selama abad 19, baik yang berupa dalam skala besar seperti perang padri dan
perang di negara atau perang Aceh, atau maupun yang bersekala kecil, yang oleh rakyat
juga di sebut rusuh atau brandalan, seperti pemberontakan Cilegon, Gedangan, Jambi,
Cimareme, maka apa disebut Pax Neerlandica lebih merupakan mitos daripada kenyataan
sejarah. Sejarah perang kolonial itu terutama menguraikan pelbagai operasi militer secara
mendetail. Sedang bangsa Indonesia hanya disebut sebagai objek dari aksi militer
Belanda, tidak diterangkan organisasi intern dari pemberontakan itu, siapa dan termasuk
golongan apakah golongan itu, serta apakah yang sesungguhnya menjadi tujuannya.

Menurut Abdul Syukur Historiografi kolonial Belanda terbagi menjadi tiga mazhab
perkembangan yaitu Mazhab Batavia, Mazhab Leiden dan Mazhab Utrech13.
12
Dasuki, Historiografi dan Penggunaan Sejarah dalam Pendidikan. Dalam H. Sjamsuddin, & A. Suwirta,
Historia Magistra Vitae:Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Hj. Rochiati Wiriaatmadja, (Bandung: Historia Utama
Press, 2003), h. 348.

13
Abdul Syukur, Hitoriografi Belandasentris: Pembentukan dan Perkembanganya, Jurnal Sejarah Lontar, Vol.
7, No. 2 (Juli – Desember), h. 43.
a. Mazhab Batavia (Membentuk Visi Masa Lalu)

Keberhasilan Belanda memba- ngun koloni di Hindia Timur membuat mereka


sangat membutuhkan pembentukan visi masa lalu yang mengukuhkan kekuasaannya.
Berdasarkan kepentingan inilah mereka mendorong pembentukan historiografi
Belandasentris yang dikembangkan pertama kali oleh sekelompok sejarawan yang
bekerja sebagai arsiparis.

Pelopor utamanya J.K.J. De Jonge (1828-1879) yang bekerja pada Arsip Kerajaan
Belanda sejak tahun 1854. Setelah 8 tahunbekerja, ia menerbitkan 10 jilid seri
dokumen pertumbuhan kekuasaan Belanda di Hindia Timur14. Keberhasilan De Jonge
memberikan inspirasi Kepala Arsip Negara di Batavia, F. de Han (1863-1938) untuk
menyusun sejarah Batavia dan Priangan dengan memanfaatkan arisparsip yang ditulis
oleh para pejabat VOC15.

Karya De Jonge dan De Han menjadi semacam panduan bagi penulis-penulis


sejarah lainnya pada masa kolonial. Mereka kemudian dikenal sebagai sejarawan
mahzab Batavia, yakni sebuah kelompok sejarawan yang mencurahkan perhatiannya
untuk menerbitkan sumber-sumber sejarah berupa arsip. Di antara anggotanya yang
terkemuka adalah Mr. J.A. van der Chijs, Ds. J.Mooij, dan Mr. P.C. Bloys van
Treslong Prins16.

Mereka menolak karya sejarah yang menggunakan sumber non arsip seperti buku
harian para pelancong Eropa dan sumber sumber historiografi Bumiputera. Sebelum
karya De Jonge terbit, penulisan sejarah berdasarkan sumber Bumiptera pernah
dilakukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggris untuk Pulau
Jawa dan sekitarnya yang berkuasa dari tahun 1811 hingga 1816. Ia menyusun buku
sejarah Jawa berdasarkan informasi dari Panembahan Sumenep dan mengabaikan
sumber-sumber dari arsip VOC17.

b. Mazhab Leiden (Intermezo Max Havelar)

14
H.J. De Graaf, Historiografi Hindia Belanda, (Djakarta: Bhratara, 1971), h. 13.
15
Ibid., h. 24.
16
Ibid., h. 23.
17
Karya Raffles ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2008 oleh Eko Prasetyaningrum ,
Nuryati Agustin, dan Idda Qoryati Mahmudah. Lihat Thomas Stamford Raffles, 2008, The History of Java,
Yogyakarta: NARASI.
Sejumlah perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah colonial dilancarkan para
tokoh Bumiputera di beberapa daerah sehingga menguras dana pemerintah untuk
memadamkannya. Di antara yang terbesar adalah perlawanan Pangeran Diponegoro
(1825-1830). Akibatnya pemerintah kolonial mengalami krisis keuangan. Untuk
mengatasinya, pemerintah belanda menerapkan kebijakan culturstesel (tanam paksa).
Kebijakan cultuurstelsel dihentikan setelah terbitnya konstitusi colonial yang baru,
Regeering Reglement pada tahun 1848 yang sangat dipengaruhi gagasan liberalisme
seperti kebebasan individu dan persaingan bebas yang membatasi campur tangan
pihak Kerajaan.

Kehancuran Cultuurstelsel semakin sempurna setelah terbitnya novel berjudul


Max Havelaar of dekoffie-veilingen der Nederlandsche Handelmaatschappij (Max
Havelaar atau pelanggaran-pelanggaran kopi perusahaan Belanda) pada tahun 186018.
Novel ini ditulis Multatuli, sebuah nama samaran Eduard Douwes Dekker (1820-
1887). Ia mantan pejabat pemerintah kolonial Hindia Belanda pada saat Cultuurstelsel
diterapkan. Dengan hancurnya Cultuurstelsel maka munculah politik etis.

Politik etis merupakan kebijakan yang bertujuan melebarkan kekuasaan nyata


Belanda atas seluruh wilayah kepulauan Indonesia dan mengembangkan negeri dan
bangsa wilayah ini menuju pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Belanda dan
menurut model Barat19. Politik etis memberikan harapan baru bagi para elite politik di
Hindia Belanda dan mendorong tumbuhnya gagasan Hindiasentris dalam
pemerintahan maupun ekonomi. Gagasan ini disebarkan majalah De Stuw, sebuah
majalah yang terbit dua minggu sekali. Majalah ini didirikan pad 15 Maret 1930 oleh
sebuah perkumpulan untuk memajukan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan
Hindia-Belanda. Di negeri Belanda, politik etis mengubah perspektif sejarawan Leiden
terhadap masa lalu kebijakan kolonial pemerintah Belanda di Hindia. Tokoh utamanya
adalah H.T. Collenbrander, seorang guru besar sejarah di Universiteit Leiden yang
menganut liberalisme20. Ia dan sejarawan mazhab Leiden lainnya memberikan
18
Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Andi Tenri W pada tahun 2008. Lihat Multatuli, 2008,
Max Havelaar, Yogyakarta: NARASI.
19
Elsbeth Locher-Scholten, Politik Etis, Gambaran Yang Sudah Berkeping-Keping, dalam Elsbeth Locher-
Scholten, h. 270.
20
Di antara karya sejarah Colenbrander; 1918, Nederland’s Betrekking tot Indië in Verleden en toekomst
(Leiden: tp); 1919-1953, Jan Pieterszoon Coen, bescheiden omtrent zijn bedrijf in Indië (s’Gravenhage), 7 jilid;
gambaran yang sangat negatif terhadap kebijakan Culturrstelsel21

c. Mazhab Utrech

Perspektif negative mazhab Leiden terhadap periode Cultuurstelsel dikritik pada


tahun 1925 oleh C. Gerretson, guru besar sejarah dari Utrecht. Ia memberikan
interpretasi positif terhadap periode Cultuurstelsel sebagai ‘grote segen’ (berkas besar)
dan tindakan Jan Pieterszoon Coen, pendiri Batavia sebagai ‘eerherstel’ (pemulihan
kehormatan). Penilaiannya sangat bertolak belakang terutama dengan Collenbrander
yang menerbitkan sisi gelap.

Coen di Hindia Timur22 Pandangan Geretson mendapat dukungan para sejarawan


dari Universitas Utrecht sehingga pandangannya dikenal sebagai mazhab Utrecht.
Fokus perhatian mereka adalah masalah-masalah kolonial, sementara mazhab Batavia
lebih memperhatikan manusia-manusia kolonial23.

V. Kesimpulan dan Penutup

Historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah bangsa-bangsa asing di Indonesia.


Bangsa-bangsa tersebut tentunya pernah menjajah Indonesia, seperti Portugis, Belanda,
Inggris, dan Jepang. Historiogrofi kolonial tidak terlepas dari kepentingan penguasa kolonial
untuk mengokohkan kekuasaan di Indonesia. Kepentingan itu mewarnai interpretasi mereka
tehadap suatu peristiwa sejarah yang tentunya akan berlawanan dengan historiografi sejarah
nasional. 

Hisoriografi kolonial merupakan penulisan sejarah bangsa-bangsa asing di Indonesia.


Bangsa-bangsa tersebut tentunya pernah menjajah Indonesia, seperti Portugis, Belanda,
Inggris, dan juga Jepang, yang dimulai sejak penjajahan pertama kali di Indonesia sampai
Indonesia merdeka tahun 1945.

M Dien Madjid menyatakan bahwa secara garis besar terdapat tiga jenis historiografi
kolonial di Indonesia, berdasarkan pada bangsa eropa yang pernah atau sempat mendirikan
suatu pemerintahan cabang atau kerajaan pusatnya yaitu historiografi kolonial Portugal,

1925-1926, Koloniale Geschiedenis (s’Gravenhage), 3 jilid.


21
Klooster, 1985, h. 15-16.
22
Colenbrander; 1919-1953, Jan Pieterszoon Coen, bescheiden omtrent zijn bedrijf in Indië (s’Gravenhage), 7
jilid.
23
H.J. De Graaf, 1971, h. 27.
Inggris dan Belanda.

VI. Daftar Pustaka

Dasuki. Historiografi dan Penggunaan Sejarah dalam Pendidikan. Dalam H. Sjamsuddin, &
A. Suwirta. Historia Magistra Vitae: Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Hj.
Rochiati Wiriaatmadja. Bandung: Historia Utama Press. 2003.
Elsbeth Locher-Scholten. Politik Etis, Gambaran Yang Sudah Berkeping-Keping, dalam
Elsbeth Locher-Scholten.
Graham, Irwin. Sumber-Sumber Sejarah Belanda dalam Historiografi Indonesia: Sebuah
Pengantar. Penerjemah Soedjatmoko dkk. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
1995.
H.J. De Graaf. Historiografi Hindia Belanda. Jakarta: Bhratara. 1971.
Jayusman. Historiografi Tadisional dan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. 1995.
Kartodirdjo, Sartono. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu
Alternatif. Jakarta: Gramedia. 1982.
Manuel Komroff, ed, The Travel of Marco Polo The Venetian. New York: W.W. Norton,
1930.
Multatuli. Max Havelaar. Yogyakarta: Narasi. 2008.
Pires, Tome. Suma Oriental. Yogyakarta: Ombak. 2014.
R. Boxer. Beberapa Sumber Portugis untuk Historiografi Indonesia. dalam Soedjatmoko dkk,
ed. Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. 1995.
Raffles, Thomas Stamford. The History of Java. Yogyakarta: Narasi. 2008.
Syukur, Abdul. Hitoriografi Belandasentris: Pembentukan dan Perkembanganya. Jurnal
Sejarah Lontar. Vol. 7. No. 2 (Juli – Desember).
Warto. Dekolonisasi Historiografi Indonesia dan Kesadaran Dekonstruktif. Surakarta: UNS
Press. 2014.

Anda mungkin juga menyukai