Salah satu faktor yang turut membantu Gowa dalam persaingan menarik patronase saudagar-
saudagar Melayu adalah peran Portugis dalam mengkristenkan penguasa Siang, yang kemungkinan
besar mendorong para pedagang Muslim untuk mencari sekutu di tempat lain. Faktor lainnya adalah
negara Tallo, ibukota Gowa terletak enam kilometer dari laut, sementara penguasa pertama Tallo
mendirikan ibukota di bandar pelabuhan kronik Tallo, Karaen Loe ri Sero pindah ke muara sungai
karena tempat lamanya dianggap tidak cocok karena berdekatan dengan laut dan juga tidak di
bawah kaki bukit.
Sejak pertama kali berdiri, Tallo tampaknya memang sebuah negara maritim, barangkali berkat
banyaknya para saudagar Melayu, Jawa, dan Bajau. Karaeng Lo sendiri dikatakan baru mendirikan
Tallo tidak lama setelah pulang dari Jawa. Tunipasuru hidup sezaman dengan Tumapa’Siri’ Kallona
dari Gowa. Setelah gagal menahan ekspansi militer dari Gowa Tunipasuru mengundan Tumapa ke
Tallo dan bersumpah setia bahwa jika ada yang berniat memecahbelah Gowa dan Tallo akan
mendapatkan laknat Tuhan. Keduanya saling berperan dalam ekonomi, Gowa menyumbangkan
militernya yang efektif dan Tallo memberikan jaringan saudagar-saudagar asing dan teknologi yang
maju.
Baik kronik Gowa maupun Tallo menaruh banyak tekanan pada kesakralan hubungan keduanya.
Kedua kronik ini barangkali sebaiknya dipahami sebagai bagian dari ungkapan harapan supaya
hubungan Gowa-Tallo selalu terjaga baik. Penguasa Tallo yang pertama kali memainkan peran besar
dalam kerajaan gabungan ini adalah Tumenanga ri Makkoyang. Karena dua penguasa Gowa tewas
dalam tempo tiga bulan pada 1566 selama peperangan melawan Bone, maka penguasa Tallo ini
dapat mengambil peran di kubu Makassar dan bisa mengatur suksesi. Setelah Makkoyang wafat,
anak perempuannya I Sambo menduduki takhta Tallo dan suaminya Tunijallo memegang takhta
Gowa. Menjadi sebuah persoalan ketika Tunijallo meninggal, dualisme kerajaan membuat karir
Sambo tidak berjalan mulus. Dia disebut Tunipasulu yang artinya “yang terusir”, I Sambo satu-
satunya penguasa yang dipandang negatid dan juga dianggap melanggar dualisme negara dengan
menjalankan pemerintahan secara sewenang-wenang.
Revolusi terhadap tunipasulu yang sempat berkuasa selama tiga tahun dipimpin olehh pangeran
Tallo yang bernama Matoaya. Dia mengambil takhta Tallo yang terancam bahaya dan menjadi
penasihat Kerajaan Gowa dengan menyandar gelar baru Pabicara Butta selama 45 tahun berikutnya.
Oleh karna itu, dualisme Gowa dan Tallo menjadi sebuah pasal suci tentang kesetiaan kepada
konstitusi.
PERDAGANGAN DAN PARA SAUDAGAR
Ketika orang-orang Portugis mengunjungi Siang pada tahun 1540-an, mereka menjumpai pedagang-
pedagang besar asal Ujung Tanah, Pahang, dan Patani yang telah berdagang di daerah ini sejak lima
puluh tahun sebelumnya. Saudagar Muslim-Melayu ini semula berpangkalan di Melaka sebelum
ditakhlukkan Portugis pada 1511, dan barangkalimereka ikut menyusuri rute yang dirintis
sebelumnya oleh orang-orang Bajau menuju Sulawesi Selatan. Kronik menceritakan bahwa penguasa
ini pernah didekati seorang kapten dagang dari Jawa bernama Nahkoda Bonang. Setelah
mempersembahkan berbagai hadiah, Bonang meminta izin kepada sang penguasa agar komunitas
Melayu bisa diperkenankan menetap di Makassar.
Komunitas Melayu tumbuh mantap khususnya ketika Makassar mulai menjadi pusat pengumpulan
utama barnag-barang ekspor kawasan sekitar. Jalur penting di sini adalah rute menuju arah timur.
Tumapa’risi’ Kallona dilaporkan telah menetapkan sejumlah kewajiban upeti kepada Bulukumba dan
Selayar, namun kendali lebih ketat terhadap seluruh pantai selatan baru bisa dilaksanakan pada
masa pemerintahan dua penerusnya. Daerah Bira di Bulukumba adalah pusat pembuatan kapal yang
sangat penting, bersama Selayar, daerah ini juga penghasil ekspor manufaktur utama Makassar, kain
katun putih dan kain berpola petak persegi.
Karaeng Matoaya menaruh seorang agen dagang di Banda menjelang dasawarsa pertama abad ke-
17, dan perdagangan beras serta kain Makassar untuk ditukar dengan rempah-rempah Maluku telah
berlangsung dengan baik. Pada 1625 Sihordt menaksir sekitar 40 jung dikirim setiap tahun ke
Maluku. Perjuangan gigih makassar dalam menegakkan supremasinya di Buton, melawan Ternate
dan kemudian belanda, adalah bagian dari upaya untuk mendominasi rute rempah-rempah itu.
Orang-orang Portugis kelihatan mulai berdatangan dalam jumlah besar pada permulaan abad ke-17,
ketika orang Belanda menghalang-halangi mereka untuk berdagang langsung dengan Maluku.
Setelah jatuhnya Melaka-Portugis ke Belanda tahun 1641, Makassar menjadi tempat pelabuhan
utama bagi orang-orang Portugis di Nusantara dengan lebih dari 3000 orang portugis menetap.