Anda di halaman 1dari 22

SEJARAH DUNIA KONTEMPORER

“Munculnya Cina Sebagai Kekuatan Baru di Asia dan Dampaknya Bagi Indonesia”

Dosen Pengampu : Sri Martini, S.S., M.Hum.

Disusun Oleh : Kelompok 5

1. Adinda Rahmi Putri (1403617006)


2. Andhika Dwi Akbar (1403617119)
3. Ardhy Yuwono (1403617109)
4. Astri Aristiani (1403617092)
5. Harry Setyo Wibowo (1403617084)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Munculnya
Cina sebagai Kekuatan Baru di Asia” ini dengan baik dan mengumpulkannya tepat pada
waktunya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, teman-teman, dan
berbagai pihak lainnya yang telah memberikan dukungan kepada penulis dengan berbagai
bentuk.
Penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran
demi perbaikan makalah yang akan penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran dan kritik yang membangun.
Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat dipahami oleh semua orang, khususnya
bagi para pembaca. Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat kata-kata
yang kurang berkenan.
Jakarta, 10 Oktober 2020

Kelompok 5
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Setiap kawasan memiliki karaktersitik masing-masing, tapi bagi Asia, ekonomi adalah
raja. Hubungan antar negara di kawasan ini diwarnai dengan ketegangan dan perselisihan,
serta dibayangi sejarah pertarungan berdarah. Namun, hal tersebut dikesampingkan dan
lebih mengedepankan kerjasama perdagangan dan investasi demi integrasi ekonomi
negara masing-masing. Sebut saja Korea Selatan yang merupakan mitra dagang terbesar
keempat bagi Cina, meskipun Cina adalah aliansi utama Korea Utara sejak lebih dari
setengah abad lalu. Kemudian, meskipun belakangan ini, investasi perusahaan Jepang
kepada Cina merosot hingga 45% Cina adalah investor dan mitra dagang strategis bagi
Jepang, di samping perselisihan kedua negara terhadap Pulau Senkaku/Diaoyu. Jika
kawasan diperluas hingga Pasifik, kita mengetahui bahwa Amerika adalah mitra dagang
terbesar Cina sekalipun hubungan keduanya diwarnai persaingan.
Dalam teori ekonomi sendiri kita mengenal istilah The Asian Miracle yang
menandakan progres pertumbuhan ekonomi Asia yang begitu cepat. Sebelumnya, di
pertengahan abad ke-20, negara-negara di Asia menghadapi situasi yang benar-benar
kacau di mana peperangan, kemiskinan, kelaparan melanda negara-negara di kawasan
tersebut. Cina adalah salah satu negara yang tidak beruntung pada waktu itu karena
mengalami peperangan, revolusi, dan kelaparan sekaligus. Pada tahun 1960, penghasilan
satu orang Jepang sama dengan seperdelapan pendapatan satu orang Amerika, Korea
Selatan tidak lebih kaya daripada Sudan, Taiwan sama miskinnya seperti Zaire. Namun
pada empat dekade terakhir, ekonomi Asia bertranformasi. Asia kini ialah kawasan
dengan pertumbuhan ekonomi paling cepat dibandingkan seluruh kawasan di dunia.
Bahkan sekalipun dihantam oleh krisis finansial dan resesi pada akhir 90-an, Asia dengan
cepat bangkit dan kini merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi dunia.
Fenomena The Asian Miracle ini tidak terlepas dari peran Cina sebagai ekonomi
terbesar di Asia dan kedua di dunia setelah Amerika. Cina memperluas pengaruh dengan
memanfaatkan kekuatan ekonominya melalui kerjasama perdagangan, bantuan
infrastruktur, investasi, dan strategi ekonomi. Seiring dengan kekuatan ekonomi yang
terus berkembang, Cina kini juga ingin memainkan peran yang lebih dominan dalam
hubungan internasional. Sebagai emerging power, Cina mulai membuat inisiatif-inisiatif
tatanan baru di mana Cina tidak hanya ada di dalamnya, tetapi juga terlibat didalam
proses pembuatan aturan-aturan sistem global yang selama abad modern ini hampir tidak
pernah mengikutsertakan Cina.
Cina dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, banyak dianggap sebagai negara
dengan perekonomian terbesar di dunia akhir abad ini. Cina telah mengubah skala
prioritas dari negara pertanian menjadi negara industri. Pertengahan dekade 90-an, Cina
semakin meneguhkan eksistensi model perekonomiannya yang baru. Model
perekonomian Cina ditandai dengan mobilisasi modal dan tenaga kerja secara besar-
besaran, investasi asing, industri dalam skala besar, dan campur tangan pemerintah.
Kemampuan Cina dalam memobilisasi modal dan tenaga kerja telah meningkatkan
pendapatan per kapita hingga tiga kali lipat dalam satu generasi, dan mengurangi lebih
dari 300 juta kemiskinan.1 Banyak yang berpandangan dengan meningkatnya perubahan
ini serta perkembangan ekonomi Cina akan menjadi kekuatan hegemoni baru bukan
hanya di Asia, tetapi juga di dunia internasional.
Kebangkitan Cina tidak lepas dari peran Deng Xiaoping yang melakukan lompatan
jauh ke depan yang merupakan hasil pemikiran Mao Tse Tung atau kebijakan pintu
terbuka (open door policy) yang menggerakkan modernisasi di Cina lewat empat sektor
yang menjadi fokus utamanya, yaitu pada bidang pertanian, industri dan teknologi,
pendidikan, serta pertahanan. Khusus untuk bidang pertahanan, Cina mengalokasikan
dana yang sangat besar demi membangun armada militer yang kuat. Sejak awal tahun
2000, anggaran militer Cina yang semula berjumlah 14,6 miliar dollar Amerika terus
mengalami peningkatan hingga diperkirakan akan mencapai $44,9 miliar pada tahun
2009.2
Pertumbuhan ekonomi yang progresif selalu diikuti dengan kebutuhan untuk
meningkatkan kekuatan militer. Melalui perbaikan terus menerus, pada tahun 2000 saja,
Cina telah memiliki pesawat terbang, misil, dan kapal selam berteknologi canggih. Serta
17 rudal balistik antar benua, 70 rudal balistik menengah, dan 12 kapal selam yang
mampu meluncurkan rudal. Rudal antar benua Cina tersebut mampu menjangkau hingga
8000 km, atau dengan kata lain, mampu mencapai hingga Moskow dan pantai barat
Amerika. Sejak tahun 2010, Cina juga telah menyebarkan rudal balistik darat yang dapat
diluncurkan dengan menggunakan truk dan mampu mencapai jarak hingga 1500 km. Jika
dahulu Cina tidak menyadari bila ada kapal perang Amerika yang berlayar 5 km dari
negaranya, pada beberapa dekade terakhir, dengan menggunakan radar jarak jauh dan

1
Mas Wirgrantoro dan Roses Setiyadi. Di Balik Sukses Ekobomi Cina dan India.
2
Dahlan Nasution. 1991. Politik Internasional: Konsep dan Teori. Jakarta: Erlangga, hal. 33.
bentuk-bentuk pengintaian lainnya, Cina mampu secara jelas mengetahui apabila terdapat
kapal perang Amerika sedang bernavigasi tidak jauh dari garis pantainya.
Kekuatan ekonomi yang diiringi dengan pembangunan militer inikemudian
meningkatkan kepercayaan diri dan keinginan Cina untuk berperan lebih dominan dalam
hubungan internasional. Cina memperluas pengaruh tidak hanya di kawasan Asia, tetapi
juga Afrika, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Selatan. Hal ini terutama dilakukan
untuk menghindari Cina bergantung hanya pada satu kawasan sumber penyuplai energi.
Sehingga, jika salah satu kawasan mengalami instabilitas, pergerakan roda ekonomi Cina
tetap aman. Cina juga telah banyak terlibat dalam tatanan global yang selama ini
didominasi oleh Amerika, sekaligus berupaya membuat sebuah tatanan baru yang sesuai
dengan nilai-nilai dan kepentingan Cina. Salah satu indikasi tersebut terlihat dari sikap
Cina yang menginisiasi AIIB untuk menyaingi World Bank yang nilai-nilai dan aturannya
dikomandoi oleh Amerika.
Selain peningkatan dalam hal ekonomi dan pertahanan, Cina yang sebelumnya
cenderung bersikap pasif, berubah menjadi bersikap partisipatif dan proaktif terhadap
dinamika dan isu internasional. Hal ini terlihat dari keikutsertaan Cina di dalam Six
PartyTalks, pembentukan Shanghai Coorperation Organization (SCO) yang melibatkan
Rusia dan empat negara Asia Tengah, bahkan pembentukan dan intensifikasi perjanjian
kawasan perdagangan bebas, yaitu ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA).3
Berbicara mengenai perdagangan bebas antara ASEAN dengan Cina yang lebih
dikenal dengan nama ACFTA ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. Perjanjian
perdagangan bebas ini pertama kali ditandatangani tanggal 6 Januari 2001 oleh para
pemimpin 6 negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei
Darussalam) dan Cina di Bandar Seri Begawan. Kesepakatan ACFTA ditanggapi dengan
sikap yang berbeda-beda dari berbagai kalangan, khususnya oleh para pengusaha di
negara-negara ASEAN. Selain Singapura dan Malaysia, negara-negara ASEAN lainnya
merasakan dampak langsung dari perdagangan bebas. Di Thailand misalnya, para petani
mengeluhkan murahnya bawang putih dan bawang merah impor dari Cina, hal ini
menyebabkan 40% para petani Thailand tidak lagi bercocok tanam.

Para pelaku usaha di Indonesia banyak yang mengeluh minimnya informasi


kesepakatan ACFTA, baik sebelum maupun sesudah kesepakatan ini dilaksanakan.

3
Daniel Mockli. 2007. “The Rise of China: Regional and Global Power Shifts”, CSS Analyses in Security
Policy, Vol 2(8), hal. 2
Masyarakat Indonesia pun secara keseluruhan banyak yang tidak mengetahui mengenai
kesepakatan ACFTA tersebut. Ini dibuktikan dari hasil survei yang dilakukan Lingkaran
Survei Indonesia (LSI) pada bulan Mei 2010, menunjukkan hanya 26,7% saja masyarakat
yang pernah mendengar mengenai kesepakatan ACFTA. Sedangkan sisanya sebanyak
69,4% tidak mengetahui. Kurangnya informasi mengenai perdagangan bebas ASEAN-
China lebih disebabkan kurang aktifnya pemerintah Indonesia memberikan informasi,
baik kepada para pelaku usaha, maupun kepada masyarakat Indonesia.4
Cina juga mulai memasuki era perdagangan miltilateral setelah memasuki World
Trade Organization (WTO) secara resmi pada tahun 2005. Hal ini merupakan manuver
penting bagi Cina, karena Cina secara penuh telah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi
pasar. Namun pada prakteknya, Cina dtengarai tengah membangun keunggulan untuk
menyaingi kekuatan ekonomi Amerika Serikat. Lini pertama untuk membangun
persaingan itu ialah di kawasan Asia Timur, karena secara geopolitis menguntungkan
bagi Cina, akumulasi modal Amerika Serikat yang cukup besar di kawasan tersebut, dan
juga faktor beberapa negara penting yang menjadi aliansi Amerika Serikat. Untuk itu,
Cina berusaha mendefinisikan ulang tentang identitas Asia Timur seiring pula dengan
kepentingan ekonominya. Hal ini tercermin dari upaya-upaya Cina untuk menjadi
pemimpin dalam kerja sama ekonomi regional di Asia Timur.5
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah di atas, penulis mencoba untuk merumuskan
masalah serta batasan-batasan yang diperlukan agar pokok pembahasan yang ada tidak
melebar. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana kedudukan Cina sebagai kekuatan baru di Asia?
2. Bagaimana kondisi ekonomi dan politik di Indonesia pasca penandatanganan
ACFTA?
3. Bagaimana status ekonomi dan politik Cina di kawasan Asia Timur?
4. Bagaimana hubungan bilateral antara Cina dengan Korea Selatan?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui kedudukan Cina di kawasan Asia.

4
Elisabeth Karikasari. “Respon Indonesia Terhadap ACFTA: Pro Kontra Wacana Renegosiasi”. Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Komunikasi, UKSW-Salatiga, hal. 139
5
Dewa Ayu Putu Eva Wishanti. ”Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di Kawasan Asia
Timur”. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Brawijaya, hal. 2
2. Untuk mengetahui kondisi ekonomi dan politik di Indonesia pasca penandatanganan
ACFTA.
3. Untuk mengetahui status ekonomi dan politik Cina di kawasan Asia Timur.
4. Untuk hubungan bilateral antara Cina dengan Korea Selatan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedudukan Cina di Kawasan Asia


Kedudukan Cina di kawasan Asia ini diperkuat dengan naiknya Xi Jinping sebagai
presiden Cina pada tahun 2012 dengan mengusung slogan Chinese Dream pada
kampanyenya.6 Chinese Dream merupakan arah kebijakan luar negeri Cina yang
bertujuan untuk memperbaharui Cina dan mengembalikannya kepada masa kejayaannya
di masa lalu sebagai negara yang berpengaruh di Asia. 7 Hal ini diperkuat dengan pidato
Xi Jinping yang menyebutkan bahwa Cina harus mulai menerapkan diplomasi great
power berdasarkan kearifan Cina (you zhongguo tese de xinxing daguo waijiao).8
Diplomasi tersebut memiliki empat karakteristik utama, yaitu: 1) membentuk model
hubungan internasional baru dengan prinsip kerjasama saling menguntungkan, 2)
membangun jaringan global yang bersifat kemitraan, 3) mewujudkan mimpi Asia Pasifik,
dan 4) mewujudkan visi keamanan Asia. Berdasarkan hal tersebut, Cina tidak hanya
memiliki power yang memadai untuk menjadi negara yang mendominasi di Asia, namun
juga mengarahkan kebijakan luar negerinya untuk mencapai posisi tersebut.
Dalam upaya meningkatkan kedudukannya sebagai satu-satunya regional power di
Asia, keberadaan Amerika Serikat menjadi salah satu tantangan bagi Cina. Hal ini
disebabkan oleh hubungan erat yang dimiliki oleh Amerika Serikat dengan berbagai
negara di Asia, seperti aliansi militer dengan Jepang, Korea Selatan, Filipina, dan Taiwan,
yang dipandang oleh Cina akan digunakan oleh Amerika Serikat sebagai pembendung
Cina dalam upaya perluasan pengaruhnya.9 Berdasarkan keadaan tersebut, Cina berupaya
untuk meminimalisir pengaruh Amerika Serikat di Asia, salah satunya dengan melakukan
intensifikasi hubungan bilateral dengan negara-negara di Asia agar mulai memihak Cina.
Korea Selatan menjadi target utama yang diinginkan untuk menjadi mitra Cina di dalam
kawasan. Posisi Korea Selatan ini menjadi penting bagi Cina didasarkan atas dua alasan,
yaitu untuk menarik Korea Selatan dari Amerika Serikat dan menjadikan Korea Selatan

6
Camilla T. N. Sorensen. 2015. “The Significance of Xi Jinping’s “Chinese Dream” for Chinese Foreign
Policy: From “Tao Guang Yang Hui” to “Fen Fa You Wei”. Journal of China and International Relations. Vol.
3(1), hal. 55
7
Christopher K. Johnson. 2014. Decoding China’s “Emerging Great Power” Strategy in Asia. Maryland:
Rowman & Littlefield, hal. 18
8
Angela Poh & Mingjiang Li. 2017. “A China in Transition: The Rhetoric and Substance of Chinese Foreign
Policy under Xi Jinping. Asian Security, hal. 2
9
Kevin Rudd. 2015. U.S.-China 21: The Future of U.S.-China Relations Under Xi Jinping. United State of
America: Belfer Center for Science and International Affairs, hal. 11
sebagai mitra pengganti atas tidak lagi relevannya hubungan kemitraan Cina dengan
Korea Utara.10
B. Kondisi ekonomi dan politik di Indonesia pasca penandatanganan ACFTA
Dalam era globalisasi, perdagangan internasional merupakan hal yang sering
diperbincangkan karena diharapkan membawa perubahan penting bagi tatanan
perdagangan dunia. Salah satu perjanjian perdagangan yang ada saat ini adalah ASEAN-
China Free Trade Area (ACFTA). Perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan
China atau lebih dikenal ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), mulai berlaku
tanggal 1 Januari 2010. Perjanjian perdagangan bebas ini pertama kali ditandatangani
tanggal 6 Januari 2001 oleh para pemimpin enam negara ASEAN (Indonesia, Malaysia,
Singapura, Filiphina, Brunei Darussalam) dan China, di Bandar Seri Begawan. Perjanjian
Free Trade Area (FTA) ini menjadi yang terbesar yang pernah ada, karena total populasi
yang dilingkupi FTA tersebut mencapai 1,9 milliar orang.11
Kesepakatan ACFTA bertujuan untuk:
1. Memperkuat dan memperluas kerjasama ekonomi, perdagangan, dan
penanaman modal antara ASEAN dan China
2. Secara bertahap agar ASEAN dan China dapat secara maju meliberalisasi dan
meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan sebuah rezim
yang transparan, liberal dan fasilitatif terhadap penanaman modal asing.
3. Mengeksplorasi daerah baru dan mengembangkan langkah yang tepat bagi
kerjasama ekonomi yang lebih erat antara pihak-pihak yang bersangkutan.
4. Memfasilitasi penyatuan ekonomi yang lebih efektif dari negara-negara
anggota baru ASEAN dan menjembatani perbedaan pembangunan diantara
pihak-pihak yang bersangkutan.
ACFTA menggunakan prinsip perdagangan bebas. Perdagangan bebas tersebut
didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan perdagangan, yakni hambatan yang
diterapkan pemerintah dalam perdagangan antar individual dan atau perusahaan yang
berada di negara anggota perjanjian perdagangan bebas tersebut.12 Perjanjian tersebut juga
menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif
ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi,
10
Ellen Kim. 2014. “Common Misconceptions About the China-South Korea Relationship”. Georgetown
Journal of Asian Affairs, hal. 135
11
Kompas, “FTA China-ASEAN”
12
Ibnu Purna, dkk, ACFTA sebagai Tantangan Menuju Perekonomian yang Kompetitif, http://www.setneg.
go.id/index.php?option=comcontent&task=view&id=4375&Itemid=29, diakses 14 Oktober 2020 pukul 23.26
WIB.
sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan
perekonomian para Pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
ASEAN dan China.
Akibat dari Persetujuan Perjanjian ACFTA ini, perdagangan Indonesia dengan
negara-negara ASEAN dan China mengalami liberalisasi yang artinya mengurangi atau
meniadakan hambatan perdagangan yang ada, sehingga tarif (bea masuk) dari produk
negara peserta ACFTA ini diturunkan atau bahkan ditiadakan. Berdasarkan penelitian
World Trade Organization (WTO) tahun 1995, disimpulkan bahwa regionalisme
perdagangan, termasuk free trade area, ternyata mendorong liberalisme perdagangan yang
memberikan keuntungan pada negara-negara anggota oleh integrasi ekonomi yang
terjadi.13 Dengan dibentuknya ACFTA ini meresahkan pengusaha-pengusaha kecil
Indoonesia. Industri tekstil ataupun garmen produksi dari China memiliki harga yang
lebih murah dikarenakan adanya subsidi dari pemerintah. Hal ini tentu membahayakan
pengusaha Indonesia karena bidang tersebut merupakan sektor padat karya yang
menyerap banyak tenaga kerja.
Pada bidang perekonomian, kondisi perdagangan Indonesia semenjak disepakatinya
ACFTA menunjukkan peningkatan terhadap masuknya arus produk-produk non migas
China di Indonesia. Kondisi perdagangan Indonesia terhadap China pernah memperoleh
angka positif kurun waktu 4 tahun (2003- 2007), dimana nilai ekspor Indonesia ke China
lebih besar dibandingkan dengan nilai Impor barang-barang dari China yang masuk ke
Indonesia. Namun dalam kurun waktu lima tahun sejak pemberlakuan penurunan tarif
ACFTA (2004-2008), impor Indonesia dari China untuk non migas menunjukkan
peningkatan yang signifikan. Meski nilai ekspor Indonesia ke China juga mengalami
peningkatan, akan tetapi dalam neraca perdagangan Indonesia masih terdapat
ketimpangan yang cukup menonjol. Namun pada (2008-2009), neraca perdagangan
Indonesia dengan China terus mengalami defisit. Pada bidang investasi, kerjasama
ACFTA diharapkan dapat meningkatkan investasi China ke Indonesia, seperti yang telah
diprediksi negera-negara ASEAN lainnya. Akan tetapi kenyataannya sejak
diberlakukannya kesepakatan ACFTA arus investasi China ke Indonesia belum
menunjukkan peningkatan yang berarti.14

13
World Trade Organization, Trading into the Future : Introduction to the WTO. Beyond the Agreements.
Regionalism-Friendsor Rivals?, http://www.wto.org/english/ thewto_e/whatis_e /tif_e/bey_e.htm, diakses 8
Mei 2012 pukul 13.00 WIB.
14
Kartikasari Elisabeth, RESPON INDONESIA TERHADAP ACFTA: PRO KONTRA WACANA RENEGOSIASI
Segala sesuatu memang akan memberi dampak positif dan negarif. Begitu juga
dengan ACFTA. Dampak kesepakatan ini memang memiliki implikasi yang cukup luas di
bidang ekonomi, industri dan perdagangan. Dari sisi konsumen atau masyarakat,
kesepakatan ini memberikan angin segar karena membuat pasar dibanjiri oleh produk-
produk dengan harga lebih murah dan banyak pilihan. Dengan demikian akan berdampak
pada meningkatnya daya beli masyarakat sehingga diharapkan kesejahteraan pun dapat
ditingkatkan. Namun, kesepakatan tersebut justru membuat industri lokal gelisah. Hal ini
dikarenakan industri lokal dinilai belum cukup siap menghadapi serbuan produk-produk
China yang berharga murah. Produk-produk dalam negeri masih memiliki biaya produksi
yang cukup tinggi sehingga harga pasaran pun masih sulit ditekan. Keadaan ini
dikhawatirkan akan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dikarenakan tutupnya
perusahaan dalam negeri akibat kalah bersaing.
Maka dari itu, pemerintah harus cepat menangani masalah ini dengan tindakan yang
tepat agar tidak semakin banyak kasus UKM yang gulung tikar karena perjanjian ACFTA
ini. Jika hal ini terus dibiarkan oleh pemerintah maka akan terjadi PHK besar-besaran dan
tingkat pengangguran akan semakin tinggi, dampaknya tingkat kemiskinan akan semakin
tinggi. Masalah yang paling dikhawatirkan adalah pengaruh ACFTA terhadap
keberlangsungan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang berkonsentrasi pada pasar dalam
negeri. UKM tidak bisa menyaingi produk-produk dari China yang lebih murah dan lebih
berinovasi daripada produk-produk Indonesia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu:
Pertama, rendahnya penguasaan teknologi produksi oleh pelaku UKM. Hingga saat
ini masih banyak pengusaha UKM yang melakukan proses produksi secara manual
dengan sistem yang tradisonal. Hal ini membuat produktifitas menjadi rendahdan
sebaliknya biaya produksi menjadi tinggi. Akibatnya harga produk UKM di pasar
menjadi tidak kompetitif. Selain itu waktu pengerjaan juga menjadi lebih lama sehingga
seringkali tidak bisa memenuhi pesanan dalam jumlah besar. Kedua, lemahnya
penguasaan teknologi informasi. Hal ini membuat sistem administrasi dan manajemen
keuangan UKM menjadi lemah. Akibatnya operasional dan manajemen UKM tidak
berjalan efektif dan efisien. Ketiga, terbatasnya jaringan atau network yang dimiliki
UKM. Hal ini menyebabkan UKM tidak maksimal dalam melakukan promosi dan
pemasaran produk. Sehingga seringkali hasil produk UKM tidak dapat menembus pasar
padahal kualitas produknya cukup baik. Keempat, minimnya ketersediaan infrastruktur
pendukung. Pada sebagian besar klaster, penyediaan infrastruktur pendukung sangat
tergantung pada inisiatif dan kemampuan pengusaha UKM. Masalahnya, modal pelaku
UKM sangat terbatas. Sehingga seringkali pengusaha UKM tidak dapat membangun
infrastruktur baru dan hanya memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada meskipun
minim. Kelima, minimnya kreatifitas pelaku UKM untuk menciptakan berbagai bisnis
yang saling mendukung. Kebanyakan pelaku UKM melakukan duplikasi atas bisnis yang
sudah berkembang. Akibatnya timbul persaingan antar pelaku usaha di dalam klaster dan
cenderung saling mengalahkan. Keenam, ketergantungan terhadap trend dan munculnya
usaha besar. Pada sebagian klaster UKM, pembentukan klaster lebih disebabkan oleh
spontanitas akibat trend bisnis atau munculnya usaha besar yang memunculkan booming
produk tertentu. Pada saat terjadi booming, produktifitas klaster meningkat untuk
memenuhi tingginya pesanan produk. Akan tetapi sebaliknya, saat trend sebuah produk
mulai berkurang atau usaha besar mengurangi volume usahanya, produktifitas kegiatan
dalam klaster juga ikut menurun15
Salah satu solusi untuk menangani keterpurukan UKM dalam perjanjian ACFTA ini
adalah meningkatkan kualitas produknya dengan penuh inovasi dan harga yang bersaing
dengan produk dari China, agar produk Indonesia tidak kalah bersaing dengan produk
dari China. Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk bersaing dalam
perdagangan bebas ini, karena Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang cukup
besar untuk lebih digali dan lebih dimanfaatkan. Juga berbagai kebijakan memang harus
dibuat agar dampak ACFTA tidak menggerus perekonomian Indonesia. Hal yang paling
krusial adalah dalam menekan harga produk lokal sehingga dapat bersaing dengan
produk-produk murah dari China.
C. Status ekonomi dan politik Cina di kawasan Asia Timur
Asia Timur merupakan kawasan yang sangat luas secara geografis dan beragam
secara demografis dan ideologis. Definisi mengenai kawasan Asia Timur sangat beragam,
baik secara geografis maupun definisi sosial politiknya. Terdapat beberapa peluang
strategi kerja sama ekonomi yang telah terbangun sebelumnya di Asia Timur. Peluang-
peluang ini juga mencerminkan opsi-opsi politik yang memiliki konsekuensi bagi sektor
ekonomi. Pasca perang dingin, orientasi kerja sama Asia Timur mengarah ke bentuk
regionalisme, hal ini dibuktikan dengan konsep East Asian Economic Caucus yang
dibentuk oleh Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad, dengan Jepang sebagai

15
Dewitari, Sai’o. R., R. A., Erika, Andriyanto.T. 2009. “ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) Agreement as an
International Regime: The Impact Analysis on ASEAN”. Department Of International Relations Faculty of
Political and Social Science University of Indonesia.
pemimpin kerja sama regionalisme. Namun, jepang enggan untuk memimpin kembali
secara politik dan militer di kawasan Asia Timur, karena hal itu tidak menguntungkan
bagi Jepang. Jepang lebih memilih untuk mengembangkan pengaruhnya lewat sektor
ekonomi.
Negara Asia Timur juga merupakan wilayah dengan Factory based economic  yang
mana berfungsi menghasilkan produk-produk yang bermutu. Namun, Asia Timur
mengahadapi kendala dalam melakukan kerja sama antar negara kawasan dikarenakan
tidak adanya wadah regionalisme yang mumpuni dan manajemen yang efisien dalam
menangani konflik perdagangan yang akan terjadi. Akan sangat menguntungkan apabila
dapat memanfaatkan kedekatan geografis dengan negara-negara besar di sekitarnya,
karena akan mengurangi biaya perdagangan dan pembangunan. Namun tidak selalu
demikian dengan aliansi politik yang relatif sulit dibangun
Ini menjadi peluang bagi China untuk mengembangkan dominasinya di kawasan Asia
Timur, karena secara perlahan China menjadi tolak ukur kebijakan luar negeri sektor
ekonomi di kawasan Asia Timur. Selain itu, kebijakan politik luar negeri China yang
terbuka dan ramah dalam menjalin kerja sama mempengaruhi cara pandang negara-
negara Asia Timur yang sebelumnya memandang China sebagai ancaman. China
menitikberatkan pembangunan ekonomi sebagai upaya membendung unipolaritas AS
pasca Perang Dingin. Selain itu, penting bagi PKC untuk mempertahankan legitimasinya
melalui politik kesejahteraan setelah komunisme mulai luntur di China.16
Terdapat beberapa kondisi yang harus diperhatikan perkembangannya sebagai
barometer ambisi China untuk mengejar posisi sentral di sektor ekonomi Asia Timur.
Pertama, China yang sedang bangkit juga mengejar strategi institusional dan multilateral
di luar kawasannya untuk mendesain kembali keteraturan orderdi bidang ekonomi-politik.
Kerja sama multilateral tersebut menempatkan pemerintah Beijing sebagai titik
sentralnya. Kedua, China juga memainkan peranan penting dalam stabilitas perdagangan
dan finansial pasca krisis ekonomi global tahun 2008. Cadangan devisanya yang besar
memudahkan China bermanuver dalam hal ini. Pilihan antara China dan Asia Timur
untuk kerja sama kawasan ialah dengan mengukuhkan new regionalism 17 Ketiga, Pasca
krisis finansial global, China juga mendapat kepercayaan yang lebih baik untuk
menanamkan modal asing, demikian pula dengan jumlah investasi asing yang masuk ke
16
Wang, Yuan Kang. 2010. China's response to Unipolar World : The Strategic Logic of Peaceful Development.
Journal of Asian and African Studies vol 45 http://jas.sagepub.com/content/45/5/554
17
Pangestu, Mari dan Sudarshan Gooptu. 2003. New Regionalism, Options for China and East Asia. Jurnal East
Asia Integrates : A Trade Policy Agenda for Shared Growth. 2003. World Bank Site Source Publications.
dalam negeri. Keempat, rivalitas China-Jepang dalam mendominasi kawasan Asia Timur.
Jepang sebagai perpanjangan kepentingan AS sangat mendominasi dalam hal
perkembangan teknologi, perindustrian, dan bantuan pembangunan di kawasan ini pasca
Perang Dingin.
Kedua negara itu utamanya menerapkan kebijakan transformasi industri. Situasi
ekonomi di Asia Timur selama kurang lebih 20 tahun belakangan, di mana pola kerja
sama ekonomi industrial dipimpin oleh Jepang. Selama itu pula Jepang bertindak sebagai
aktor terdepan dalam formasi V atau the flying geese formation dalam pola
pembangunan. Namun, hal tersebut menjadi kurang relevan di era kontemporer, karena
China perlahan muncul sebagai aktor strategis baru. Secara bertahap, pola interaksi antar
wilayah industri di Asia Timur menjadi berubah, fokusnya adalah pada kebangkitan
wilayah pantai China dalam mengarahkan ekonomi regional. ASEAN dan Asia Tenggara
menjadi medan perebutan pasar antara kedua negara, sehingga ASEAN juga menjadi
prioritas politik luar negeri China.
China berkembang menjadi negara dengan ekonomi yang sangat signifikan dalam
perkembangannya. Ia merupakan negara dengan laju pertumbuhan ekonomi yang sangat
tinggi. Hal ini dikarenakan politik ekonominya yang tidak agresif dan ramah dalam
melakukan kerja sama internasional menyebabkan China mudah diterima di berbagai
kawasan khususnya kawasan asia timur. China memperluas ekonominya dengan maksud
untuk menyaingi AS sebagai kekuatan yang dominan di era abad 21.  Kebijakan tersebut
dilakukan dengan menanamkan investasi di negara yang sedang mengalami krisis dan
juga membentuk new regionalisme di kawasan asia timur yang mana merupakan solusi
penting untuk meningkatkan tingakt pertumbuhan ekonomi di kawasan. Dan
kemungkinan China akan mengejar pertumbuhannya dalam 20 tahun kedepan agar bisa
menyaingi AS dan menjadi aktor baru yang dapat memberikan pandangan baru di dunia
internasional
D. Hubungan Bilateral antara Cina dan Korea Selatan
Hubungan bilateral Korea Selatan dan Tiongkok sudah dibentuk sejak tahun 1992,
namun interaksi yang berlangsung diantara keduanya tergolong stagnan, terutama pada
tahun 2010 saat Tiongkok tidak memberikan pernyataan apapun terkait terjadinya
penyerangan kapal militer milik Korea Selatan oleh Korea Utara. Hubungan kedua negara
mulai dinamis sejak tahun 2013, bersamaan dengan naiknya Presiden Park Geunhye
sebagai presiden Korea Selatan. Hal ini ditandai dengan beberapa hal seperti: negara
pertama yang mengirimkan ucapan selamat atas pengangakatan Presiden Park Geunhye
adalah Tiongkok; Korea Selatan menolak permintaan Jepang untuk mengadili Liu Qiang
yang merupakan tersangka upaya pembakaran Kuil Yasukuni, kuil penghormatan atas
pejuang yang tewas saat Perang Dunia kedua, dan mengembalikan tersangka tersebut ke
Tiongkok; kunjungan Presiden Park Geunhye pada tahun 2013 yang menghasilkan
pernyataan bersama antara Korea Selatan dengan Tiongkok untuk memperkuat komitmen
kedua negara dalam kemitraan kerjasama strategis; dan lain-lainnya. Akan tetapi
perkembangan tersebut tidak bisa berlanjut karena pada akhirnya muncul friksi dalam
hubungan Tiongkok dengan Korea Selatan.
Friksi yang timbul pada hubungan Tiongkok dan Korea Selatan bersumber dari
permasalahan proliferasi dan agresivitas nuklir Korea Utara. Sejak percobaan peluncuran
pertama pada tahun 2006, Korea Utara telah menunjukkan perkembangan pesat atas
pembangunan senjata nuklirnya. Hal tersebut ditunjukkan melalui empat kali percobaan
peluncuran misil dan pengumuman keberhasilan produksi bom hidrogen. Hingga tahun
2017, proliferasi nuklir Korea Utara diprediksi sudah mencapai tahap dimana negara ini
sudah mampu mengembangkan dan mengonstruksi Intercontinental Ballistic Missile
(ICBM). Sebagai negara yangberbatasan langsung dengan Korea Utara, perkembangan
senjata nuklir tersebut memberikan efek yang signifikan kepada Korea Selatan.
Ketakutan Korea Selatan ini menjadi nyata dengan dikeluarkannya pernyataan bahwa
Korea Utara akan melakukan penyerangan dan pembebasan wilayah Korea Selatan
bersamaan denganpercobaan bom hidrogen yang dilaksanakan pada Januari 2016.
Melihat ancaman yang semakin meningkat dari sebelumnya ini, maka Korea Selatan
mengeluarkan respon melalui peningkatan keamanan dan pertahanan negaranya.
Akan tetapi, Tiongkok tidak menyambut baik kebijakan pertahanan Korea Selatan
tersebut. Hal tersebut tercermin dari penyampaian Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang
Yi, setelah Korea Selatan resmi mengumumkan keputusannya tersebut. Menurutnya
keberadaan sistem THAAD merupakan sesuatu yang melebihi kebutuhan pertahanan
Korea Selatan, sehingga akan berpotensi menimbulkan perlombaan senjata antar negara-
negara di sekitar Korea Selatan. Lebih lanjut, Hua Chunying, juru bicara Kementerian
Luar Negeri Tiongkok menyampaikan kekecewaannya atas pilihan Korea Selatan yang
tidak mempertimbangkan keamanan Tiongkok dan berpotensi merusak hubungan
bilateral antar kedua negara.
Tiongkok memiliki beberapa alasan yang mendasari diambilnya sikap kontra terhadap
penempatan sistem ini. Alasan pertama adalah bahwa keberadaan sistem THAAD akan
menjadikan keamanan di Semenanjung Korea tidak stabil karena menyebabkan
munculnya perlombaan senjata regional. Kedua, THAAD merupakan bagian dari sistem
pertahanan nuklir, yang berarti penempatannya akan menambah jumlah senjata nuklir dan
menghambat agenda global perlucutan senjata nuklir. Alasan terakhir adalah adanya
komponen radar di dalam sistem ini. Bagi Tiongkok, keberadaan radar di dalam THAAD
dengan jarak lacak yang mampu menjangkau wilayahnya adalah suatu fitur yang tidak
diperlukan Korea Selatan untuk mempertahankan dirinya. Tiongkok mengkhawatirkan
bahwa radar tersebut akan dimanfaatkan oleh Amerika Serikat, sebagai negara pemilik
induk dari sistem tersebut untuk melacak misil yang mereka miliki dan akhirnya mampu
memprediksi strategi pertahanan dan keamanan Tiongkok. Hal yang paling Tiongkok
kritisi sesungguhnya adalah keterlibatan Amerika Serikat dalam operasional sistem
tersebut. Tiongkok melihat bahwa ditempatkannya sistem THAAD tersebut akan
menguatkan pengaruh Amerika Serikat terhadap Korea Selatan sekaligus memberikan
Amerika Serikat kesempatan meningkatkan sistem pertahanan dan keamananya di
Kawasan Asia, yang tentu saja akan menjadi ancaman terhadap upaya pencapaian
kepentingan Tiongkok untuk menjadi regional power tunggal.
Bersamaan dengan pernyataan-pernyataan resmi yang dikeluarkan, Tiongkok juga
mengambil beberapa tindakan yang menunjukkan ketidaksetujuannya tersebut. Tindakan
pertama adalah pembatalan berbagai kunjungan bilateral seperti penangguhan pertemuan
tingkat tinggi pertahanan bilateral. Tindakan kedua adalah memberikan tekanan militer
dengan melakukan latihan penerbangan pesawat tempuryang melewati Zona Perbatasan
Pertahanan Udara Korea Selatan. Tindakan selanjutnya, Tiongkok menerapkan hambatan
pada sektor pariwisata dengan memberikan instruksi kepada biro perjalanan di Tiongkok
untuk tidak lagi menyediakan jasa perjalanan ke Korea Selatan yang menyebabkan
jatuhnya angka kunjungan turis dari Tiongkok sebanyak 40%. Tindakan terakhir adalah
pemberian hambatan di bidang perdagangan seperti mempersulit proses perizinan masuk
kosmetik Korea Selatan, melarang pengadaan konser dan pertunjukan artis asal Korea
Selatan di Tiongkok, memperlambat sertifikasi lulus uji baterai produksi Korea Selatan
yang akan digunakan oleh pabrik-pabrik perakit mobil Tiongkok, dan lain-lain. Seluruh
tekanan yang diberikan Tiongkok tersebut memberikan kerugian yang cukup besar bagi
Korea Selatan.
Melalui tindakan-tindakan tersebut, Tiongkok kemudian berusaha untuk menunjukkan
kerugian yang didapatkan Korea Selatan jika hubungan bilateral keduanegara tidak
dijaga. Tiongkok berusaha mempengaruhi keputusan Korea Selatan untuk
mempertimbangkan suara dan pandangannya atas penempatan sistem THAAD. Dengan
demikian, hambatan dan tekanan yang dikeluarkan oleh Tiongkok terhadap penempatan
THAAD di Korea Selatan tersebut merupakan respon yang dikeluarkan Tiongkok sebagai
strategi untuk mencegah adanya hambatan pencapaian kepentingannya untuk menjadi
regional power tunggal di Asia.
E. Dampak Munculnya China dan India sebagai Kekuatan Baru di Asia bagi Indonesia
Beberapa tahun terakhir, China dan India hadir sebagai kekuatan adidaya baru yang
mungkin saja dapat menggeser posisi Amerika Serikat. Kehadiran dan peran keduanya
semakin diperhitungkan di kawasan khususnya hubungan China dan India dengan negara-
negara di Asia Tenggara.
China dan India terus meningkatkan dan mendominasi perekonomian Indonesia serta
regional dalam beberapa tahun ke depan. Peran dan rivalitas asing di Indonesia juga
tampak dalam diplomasi ekonomi dan politik yang dilakukan pemerintah, Parlemen,
BUMN, swasta, serta pengamanan kebutuhan keamanan gas dan energi. Di bidang sosial,
kehadiran dan persaingan ketat negara-negara lain dapat dilihat dalam kegiatan
penanggulangan bencana alam, kebakaran hutan, banjir, tsunami, dan kecelakaan
pesawat.
Bagi Indonesia, dengan kehadiran China yang merambah berbagai sektor dan
mendominasi seperti serbuan berbagai produk manufaktur, industri strategis, tenaga kerja,
yang didukung dengan belanja militer yang semakin meningkat setiap tahun. Sehingga,
politik luar negeri yang dibangun untuk menjalin kerja sama dengan beberapa negara
dengan kekuatan besar di Asia harus bersifat pragmatis dan menyesuaikan dengan
kepentingan nasional Indonesia. Sebagai konsekuensinya, paradigma atau doktrin politik
luar negeri yang bebas aktif perlu disesuaikan dengan perkembangan keadaan dan
mengikuti kepentingan yang selama ini terancam.
Selain paradigma politik luar negeri yang masih bersifat tidak pragmatis, kesulitan
pemerintah dalam melindungi negara dari ancaman yang datang dari negara lain semakin
besar. Hal tersebut disebabkan karena konsep Minimum Essential Forces (MEF) yang
masih terus dipertahankan. Indonesia masih berada pada posisi yang sadar dan kaya akan
sumber daya tetapi tidak berusaha memaksimalkan peran serta dalam memperjuangkan
kepentingannya di saat negara besar seperti China, Jepang, dan India terus berkutat
memperbesar kemajuan di negara masing-masing. Konstruksi geopolitik Indonesia
berkenaan dengan proses memobilisasi pengetahuan geografis, gagasan tentang politik
dan identitas nasional menjadi pembangunan visi geopolitik Indonesia dalam kawasan
Indo-Pasifik.
BAB III

PENUTUP

Dengan Munculnya Cina sebagai kekuatan baru di kawasan Asia maka terdorong
dalam beberapa aspek seperti munculnya wacana renegosiasi dilatarbelakangi dari beberapa
isu sensitif yang merujuk pada perbedaan argumen dari masing-masing kelompok aktor yang
dikelompokkan menjadi tiga aspek yaitu ekonomi, politik, dan bidang sosial. Menilik
keadaan politik terkini di Asia Timur dan sekitarnya, berkembangnya China menyebabkan
terjadinya dominasi dan hubungan luar negeri yang asimetrik antar negara di Asia Timur,
bahkan di belahan dunia lain. Perilaku aktor lain di dalam kerangka delapan wilayah ekonomi
regional inti, sangat ditentukan oleh kebijakan yang diambil China. Pertanyaan besarnya
adalah, apakah dominasi ekonomi China akan semakin mengintegrasikan kawasan Asia
Timur, ataukah sebaliknya. Hal ini bisa menjadi paradoks yang rentan berbalik pada China
setiap waktu, jika tidak diimbangi dengan kalkulasi perilaku di bidang keamanan regional
yang diharapkan tidak agresif.

Pada bidang ekonomi meliputi isu-isu perekonomian di dalam ACFTA di antaranya


yaitu aspek Daya Saing Industri, Volume Perdagangan, Modifikasi Pos Tarif, Pertumbuhan
Ekonomi dan Investasi, Infrastruktur. Pada bidang Politik berkaitan dengan legalitas
perjanjian ACFTA sebagai suatu perjanjian perdagangan yang telah disepakati oleh negara-
negara ASEAN termasuk Indonesia di dalamnya dengan China dan posisi Indonesia yang
cukup menonjol di kawasan ASEAN. Pada bidang Politik terdiri dari beberapa aspek yaitu
Posisi Strategis Indonesia, aspek Legalitas, dan aspek Keterwakilan Pembuatan Kebijakan.
Sedangkan di bidang Sosial terdiri dari aspek Sosialisasi ACFTA, Ketenagakerjaan dan
Perlindungan Konsumen.

Aspek-aspek mengenai unggulnya China tak terbantahkan dalam tulisan tersebut,


namun pada kenyataannya negara-negara terbesar di Asia Timur seperti Jepang dan Korea
Selatan seakan terabsorpsi, selain karena krisis ekonomi global dan bencana alam telah
merenggut kemajuan ekonomi mereka. Intensitas perdagangan di wilayah Asia Timur cukup
besar sejalan dengan naiknya popularitas China di dunia. Tak pelak jika China menjadi sentra
dari perumusan kebijakan luar negeri berbagai negara. Pola interaksi dan kerja sama di Asia
Timur telah dalam kendali China. Dominasi wilayah zona industri inti ini menjadikan
konstelasi ekonomi-politik di Asia Timur menjadi statis, karena kekurangan warna kompetisi
terutama dalam menghadapi daya saing China.China memang fleksibel dalam pembangunan
ekonomi dengan mekanisme penyesuaian dirinya yang sangat cepat. Hal tersebut berarti
transformasi ekonomi juga mengalami penguatan. Namun berkaitan dengan ekonomi-politik,
cerminan sikap bandwagoning Jepang dan Korea mencerminkan kuatnya politik luar negeri
China dalam bidang ekonomi, terutama industri dan perdagangan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Johnson, Christopher K. 2014. Decoding China’s “Emerging Great Power” Strategy in Asia.
Maryland: Rowman & Littlefield
Nasution, Dahlan. 1991. Politik Internasional: Konsep dan Teori. Jakarta: Erlangga
Rudd, Kevin. 2015. U.S.-China 21: The Future of U.S.-China Relations Under Xi Jinping.
United State of America: Belfer Center for Science and International Affairs

Jurnal

Dewitari, Sai’o. R., R. A., Erika, Andriyanto.T. 2009. “ASEAN-China Free Trade Area
(ACFTA) Agreement as an International Regime: The Impact Analysis on ASEAN”.
Department Of International Relations Faculty of Political and Social Science
University of Indonesia.
Ellen Kim. 2014. “Common Misconceptions About the China-South Korea Relationship”.
Georgetown Journal of Asian Affairs,
Karikasari, Elisabeth. “Respon Indonesia Terhadap ACFTA: Pro Kontra Wacana
Renegosiasi”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, UKSW-Salatiga, hal. 139

Kartikasari Elisabeth, RESPON INDONESIA TERHADAP ACFTA: PRO KONTRA


WACANA RENEGOSIASI
Kim, Ellen. 2014. “Common Misconceptions About the China-South Korea Relationship”.
Georgetown Journal of Asian Affairs, hal. 135
Mockli, Daniel. 2007. “The Rise of China: Regional and Global Power Shifts”, CSS Analyses
in Security Policy, Vol 2(8), hal. 2
Pangestu, Mari dan Sudarshan Gooptu. 2003. New Regionalism, Options for China and East
Asia. Jurnal East Asia Integrates : A Trade Policy Agenda for Shared Growth. 2003.
World Bank Site Source Publications.
Poh, Angela & Mingjiang Li. 2017. “A China in Transition: The Rhetoric and Substance of
Chinese Foreign Policy under Xi Jinping. Asian Security, hal. 2
Sorensen, Camilla T. N. 2015. “The Significance of Xi Jinping’s “Chinese Dream” for
Chinese Foreign Policy: From “Tao Guang Yang Hui” to “Fen Fa You Wei”. Journal
of China and International Relations. Vol. 3(1), hal. 55
Wang, Yuan Kang. 2010. China's response to Unipolar World : The Strategic Logic of
Peaceful Development. Journal of Asian and African Studies vol 45
http://jas.sagepub.com/content/45/5/554
Wishanti, Dewa Ayu Putu Eva. Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional
di Kawasan Asia Timur. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas
Brawijaya, hal. 2

Internet

Ibnu Purna, dkk, ACFTA sebagai Tantangan Menuju Perekonomian yang Kompetitif,
http://www.setneg. go.id/index.php?
option=comcontent&task=view&id=4375&Itemid=29,
Kompas, “FTA China-ASEAN”
Mas Wirgrantoro dan Roses Setiyadi. Di Balik Sukses Ekobomi Cina dan India
World Trade Organization, Trading into the Future : Introduction to the WTO. Beyond the
Agreements. Regionalism-Friendsor Rivals?, http://www.wto.org/english/
thewto_e/whatis_e /tif_e/bey_e.htm

Anda mungkin juga menyukai