Anda di halaman 1dari 7

CHINA SEBAGAI KEKUATAN ASIA TIMUR

Thariq Rasyid
Faculty of Social and Political Science, International Relations
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

ABSTRACT
This paper aims to examine the rise of China as an East Asian power in the 21st
Century. This power is based on the idea of a peaceful rise and economic
development which emphasizes soft power diplomacy in order to cooperate with
various international actors. This can be seen in the development of the BRI or Belt
Road Initiative as a form of China's support to countries in economic development in
order to realize and spread the aspirations of China's national Idea, namely a strong
and prosperous socialist state in 2050.

Keywords : China East Asian, Diplomacy, Soft Power, Idea

ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk meneliti kebangkitan negara China sebagai kekuatan Asia
Timur di Abad 21. Kekuatan tersebut didasarkan pada ide kebangkitan damai dan
pembangunan ekonomi yang menitikberatkan diplomasi soft power guna kerjasama
dengan berbagai aktor internasional. Hal ini terlihat pada pembangunan BRI atau Belt
Road Initiative sebagai bentuk dukungan China kepada negara-negara dalam
pembangunan ekonomi guna mewujudkan dan menyebarkan ide cita-cita nasional
negara China, yakni negara sosialis yang kuat dan makmur pada tahun 2050.

Kata Kunci : China, Asia Timur, Diplomasi, Soft power, Ide

1
PENDAHULUAN
Setiap negara memiliki ide uniknya sendiri dalam mengejar dan memuaskan
kepentingan atau kebutuhan. Suatu gagasan yang diciptakan oleh kesadaran,
kepercayaan, dan interpretasi simbolik bahasa orang atau kelompok orang seperti
bangsa dan kaum. Gagasan dan interaksi sosial akan membentuk kekuatan material,
identitas dan kepentingan negara, dan kemudian interaksi antar negara lain, yang akan
menciptakan struktur baru dari proses pembentukan ide. Dunia di belahan Asia Timur
merupakan wilayah perjuangan strategis untuk pengaruh geopolitik, bahkan sebagai
the grand chessboard for geopolitical struggles, dan kunci stabilitas wilayah pasifik
(Soghe, 2022). Negara-negara Asia Timur terdiri dari China, Jepang, Korea Utara,
Korea Selatan, Mongolia, dan Taiwan. Masing-masing negara tersebut mengalami
pergulatan ideologis untuk mempengaruhi dan membentuk identitasnya hingga
menjadi negara modern, seperti kekaisaran Jepang yang berubah menjadi demokrasi
kapitalis pasca Perang Dunia II, serta menjadi mitra dekat Amerika Serikat dan
Jerman. China yang dahulu merupakan kesatuan kerajaan dinasti Qing mengalami
revolusi dengan perang saudara dan terbagi menjadi dua, yakni Partai Komunis China
yang menguasai daratan menjadi negara Republik Rakyat China dan Partai Nasionalis
Kuomintang yang mundur ke pulau Taiwan menjadi negara Republik Taiwan.

ANALISIS
Asia Timur dalam hal keamanan sangat rentan, dengan seringnya insiden
terorisme, sengketa wilayah, dan proliferasi nuklir. Selama Perang Dunia II, negara
Jepang menciptakan hegemoni yang sangat kuat, menginvasi dan menaklukkan
beberapa negara Asia Timur. Pasca Perang Dunia II, terjadi perubahan sifat hegemoni
ketika Jepang kalah perang dan mulai mengembangkan ekonominya dengan bantuan
Amerika Serikat, dengan mengutamakan soft power diplomacy. Sementara China
yang berideologi komunis mendekonstruksi sistem ekonominya dengan program
revolusi budaya dan pendekatan diplomasi yang keras. Namun pada akhirnya kedua
negara memutuskan untuk melakukan modernisasi ala Barat dengan mengutamakan
kekuatan ekonomi guna menciptakan hegemoni “balance of power”. Stabilisator
utama di kawasan Asia Timur dan Pasifik adalah Cina dan Jepang. Di antara negara-
negara Asia Timur, China adalah yang paling kuat dan menjadi simbol kekuatan baru
Asia di abad 21.

2
Infrastruktur ekonomi merupakan sumber kekuatan negara untuk mengakses
aset-aset suprastruktur lainnya seperti fasilitas pendidikan, penelitian, dan militer.
Strategi pembangunan ekonomi China dipengaruhi oleh ideologi Deng Xiaoping.
Sebagai pemimpin Cina, ia mengubah sistem ekonomi dan politik menjadi lebih
terbuka. Pola pikir inilah yang membuat Tiongkok bangkit dan menjadi bangsa yang
kuat (Stanzel, 2017). Kebangkitan ekonomi era Deng Xiaoping telah menyebabkan
kecemasan dan kecurigaan di negara lain, berpotensi merusak tatanan dunia dan
mendistorsi keseimbangan kekuatan. Selama era Hu Jintao sebuah konsep baru visi
ekonomi diciptakan untuk melawan merek diskriminasi dan intimidasi Tiongkok,
yaitu kebangkitan damai ‘Zhongguo Heping Jueqi’ dan pembangunan damai
‘Zhongguo Heping Fazhan’. Konsep tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan
kepada masyarakat internasional bahwa China mendukung soft power diplomacy dan
kerjasama sehingga tidak menjadi ancaman bagi globalisasi dan tatanan dunia.
Pemerintah Tiongkok juga menekankan tujuannya dengan konsep pencapaian
egalitarianisme dalam hubungan internasional dengan berbagai aktor internasional
(Okuda, 2016). Bahkan Xi Jinping menciptakan konsep “hubungan kekuatan besar”
yang menekankan egalitarianisme dalam kerjasama dengan negara Paman Sam.

China dalam geopolitik sangat terpaut oleh dinamika politik domestik dan
intelektualisme domestik. Sempat muncul “Westernization Movement” atau gerakan
westernisasi di akhir Dinasti Qing (Liu, 2020). Pendekatan China secara geopolitik
cenderung mengutamakan ekonomi politik dan menggunakan diplomasi softpower,
walaupun peningkatan dan pengembangan militer dilakukan untuk penjagaan karena
pertemuan perbatasan teritorial China dengan beberapa negara asing. Hal ini
dilakukan untuk menjaga stabilitas negara dalam mencapai kesejahteraan masyarakat
secara tertutup dan damai, dipengaruhi oleh pepatah “Sembunyikan Bakat dan Hidup
dalam Ketidakjelasan” yang diperkenalkan oleh Deng Xiao Ping dan “Lima Prinsip
Koeksistensi Damai” yang dikembangkan oleh Zhou Enlai (Yadav, 2022). Strategi
dagang China adalah bagian dari strategi ekonomi yang saat ini sedang panas, yakni
perang dagang dengan Amerika Serikat. Di tingkat regional China mempunyai
strategi kerja sama ekonomi dengan mempromosikan kerja sama ekonomi Asia Timur
sebagai jalan untuk mencapai fokus utama China, yakni mempertahankan
pertumbuhan ekonomi. Prasyarat China untuk menjadi lebih kuat dalam urusan dunia
adalah mempromosikan integrasi ekonomi dan keamanan bersama di Asia,

3
membangun kerja sama dan kemitraan yang konstruktif dengan kekuatan besar
lainnya, dan memperkuat kemampuan manajemen krisis (Wang, 2004). Dalam
perannya hubungan internasional, China berprinsip bahwa mereka ingin mencapai
kerja sama yang saling menguntungkan dengan semua negara dan menjadi mitra yang
setara dengan semua masyarakat internasional. Selain itu, kontribusi pembangunan
dengan negara-negara lain juga menjadi prinsip untuk mengedepankan softpower
diplomacy dan membangun images baik seperti kebijakan BRI atau Belt Road
Initiative untuk mendukung proses pembangunan bangsa-bangsa. Xi Jinping
menggagas bahwa BRI merupakan strategi China untuk mempraksiskan cita-cita
nasional, yakni China sebagai negara sosialis yang kuat dan makmur pada 2050
(Escobar, 2017).

Fokus Cina pada ekonomi politik Asia Timur memiliki pengaruh besar pada
negara-negara sekitarnya. Pembangunan ekonomi dengan diplomasi soft power sangat
penting yang berpengaruh baik terhadap posisi China di kawasan. Kerja sama
ekonomi mau tidak mau terjalin antara China dan negara-negara yang berbatasan
langsung dengan kawasan tersebut. China memiliki segala kekuatan ekonomi seperti
modal, sumber daya energi, wilayah perdagangan antar negara, harga produk yang
murah, penggunaan teknologi tinggi, tenaga ahli, kekuatan militer dan tenaga kerja
yang murah, sehingga semua ini membuat negara-negara sekitarnya takut akan
dominasi China. kekuatan yang dapat menghancurkan tatanan dunia. Dominasi
ekonomi terkait erat dengan stabilitas kawasan, terutama bagi China yang memiliki
kemampuan ekonomi untuk meningkatkan alutsista dan kekuatan militernya. Upaya
modernisasi militer China menimbulkan ancaman bagi negara-negara Asia Timur, dan
efek mengerikannya telah mendorong negara-negara tetangga untuk terlibat dalam
membangun angkatan bersenjata mereka dalam upaya pertahanan diri. Hal ini tentu
saja membuat suasana menjadi panas, meskipun stabilitas suatu kawasan menjadi
kunci percepatan pertumbuhan ekonomi kawasan.

Hubungan antara Cina dan Jepang sebagai dua aktor kunci Asia Timur benar-
benar mengalami pasang surut, melambangkan dinamika geopolitik yang dinamis
dengan pertanyaan siapa yang akan mendominasi Asia Timur Asia Timur? Hal ini
terlihat dari dinamika yang terjadi di berbagai forum multilateral seperti ASEAN Plus
Three, Six Party Talks dan ASEAN Regional Forum (Soghe, 2022). Pada 2012 terjadi

4
ketegangan antara China dan Jepang ketika pemerintah Jepang berencana membeli
tiga pulau di kepulauan Senkaku, Uotsuri-jima, Kita-kojima, dan Minami-kojima dari
kontraktor swasta di Saitam. Pada tanggal 9 September 2012, Presiden Hu Jintao
bertemu dengan Perdana Menteri Noda di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-
Pasifik di Vladivostok untuk membahas masalah tersebut. Hu mengeluarkan
peringatan keras bahwa China dengan tegas menentang proposal pembelian, karena
China juga mengklaim Kepulauan Diaoyu sebagai miliknya. Keesokan harinya 10
September, perusahaan Jepang menandatangani perjanjian jual beli properti terpisah
senilai 2,05 miliar yen (Ivy Lee, 2012).

Jika Jepang terancam oleh China, maka Amerika Serikat mau tidak mau harus
mempertahankan Jepang sebagaimana kedua negara telah menjadi mitra dekat dan
strategis dalam geopolitik Indo-Pasifik. Di sisi lain China akan menggunakan
pengaruh untuk mempertahankan wilayah, bahkan bisa saja menggunakan ancaman
nuklir yang membawa ke suasana perang panas. Bagaimanapun juga China dan
Jepang harus menjaga hubungan bilateral guna stabilitas wilayah Asia Timur dan
Pasifik. Memang kontrol hegemoni masih menjadi perebutan antara kedua negara,
terutama dalam aspek ekonomi local. Secara historis kedua negara tersebut memang
mempunyai sejarah pergulatan wilayah dan pengaruh seperti Perang Tiongkok-Jepang
I dan ke-II, penjajahan dan perebutan Manchuria dan sebagainya. Pada konteks
perekonomian lokal China lebih mengungguli Jepang dari segi infrastruktur-produksi,
adapun faktor pendukungnya ialah wilayah yang besar, jumlah buruh yang besar dan
ekonomi yang kuat dan stabil. Ketika infrastuktur kuat maka pembangunan
suprastruktur juga kuat, pembangunan dan pengembangan institusi pendidikan,
penelitian dan militer akan lebih kuat dan modern. Ide esensial geopolitik yang
diperankan China cenderung mengunggulkan kerja sama dan utilitarianisme,
bagaimana kerjasama baik antar negara-negara internasional akan membawa
kebahagiaan dan kesejahteraan internasional.

5
KESIMPULAN
Negara China dari sudut pandang konstruktivis adalah negara merdeka atau
independen, tidak seperti negara Jepang yang dibatasi oleh kekuatan negara Paman
Sam, China menciptakan konsep identitas dan ruang lingkup visi misi menggunakan
faktor pembangunan ekonomi dan diplomasi soft power. Selain itu, dalam konteks
perimbangan kekuatan, China merupakan kekuatan utama yang mampu membendung
pengaruh negara-negara Barat di Asia Timur melalui Jepang. Akibatnya, muncul
berbagai stigma dan label bahwa China dapat merusak tatanan dunia internasional dan
menjadi ancaman bagi dunia, padahal sebenarnya tidak. Label ini diberikan dengan
faktor pendukung bahwa China selalu menggunakan ideologi komunis dan semangat
sosialis dalam perkembangannya, sehingga masyarakat internasional akan mengingat
sejarah perang dingin dimana ideologi Komunis menghancurkan kebebasan dan
kemanusiaan.

Faktor lain yang terlihat adalah kedekatan China dengan Korea Utara, negara
komunis dan bersenjata nuklir lainnya. Kisah pelabelan China digunakan untuk
menjatuhkan China dari segi ekonomi, perlu diingat bahwa sumber kekuatan China
adalah ekonomi. Namun, bagi penulis lain, Cina tetap menjadi kekuatan besar Asia
Timur, bahkan seluruh Asia, dalam perjuangannya melawan dominasi Barat dengan
Westernisasi dan gerakan kapitalis dalam arti neoliberal.

6
REFERENSI

Cipto, Bambang. (2018). “Strategi China Merebut Status Super Power”, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.

Escobar, Pepe. (2017). “Xi’s road map to the Chinese Dream”,


https://asiatimes.com/2017/10/xis-road-map-chinese-dream/

Ivy Lee, Fang Ming. (2012). "Deconstructing Japan's Claim of Sovereignty over the
Diaoyu/Senkaku Island." The Asia-Pacific Journal 2-5.

Jackson, Robert, Georg Sorensen. (2013). “Pengantar Studi Hubungan Internasional”,


Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Liu, Yungang, Fenglong Wang, and Ning An. (2020). “The Duality of Political
Geography in China: Integration and Challenges”. Geopolitics 25, 4.

Okuda, Hiroko. (2016). China’s “Peaceful Rise/Peaceful Development”: Case Study


of media Frames of the Rise of China. Global Media and China 1, 1-2.

Soghe, Patricia. (2022). “Keamanan Kawasan Asia Timur dalam Dinamika


Persaingan China dan Jepang” ,
https://www.kompasiana.com/patriciasoghe1413/61e4daa980a65a20b4017262/ke
amanan-kawasan-asia-timur-dalam-dinamika-persaingan-china-dan-jepang

Stanzel, Angela. (2017). “Grand Designs: Does China have a ‘Grand Strategy’?” ,
https://ecfr.eu/publication/grands_designs_does_china_have_a_grand_strategy/

Wang, J. (2004). “China’s Changing Role in Asia. Japan Center for International
Exchange”, 3–21.

Yadav, Abhiram Singh. (2022). “Indo-Pasifik: Sebuah Konstruksi Geopolitik”, PT


Elex Media Komputindo, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai