Anda di halaman 1dari 8

KEBANGKITAN CHINA DALAM KERJASAMA EKONOMI DI ASIA TIMUR

Rizka Rahmatillah1;

1
Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Kampus Terpadu UMY, Jl. Lingkar Barat,


Tamantirto, Kasihan, Bantul, DIY 55183

Email: rizka.rhmtillah99@gmail.com

Abstract

East Asia is a vast and diverse region demographically and ideologically. Discovered
some of the economic cooperation strategy opportunities that had been developed before
in East Asia. These opportunities also add to political options that have provisions for the
economic sector. After the Cold War, East Asian economic cooperation was colored by
incorporating regionalism. The regionalism is built up in different contexts that are used as
the core of cooperation that still exists in a controlled position as a controller. Similarly,
the concept of Southeast Asia, such as the concept of East Asia is called a relatively new
area, as well as with leadership in the region. Economic development is a step backwards
slowly from uncontrolled economic policy, where the state regulates the market, and the
market set up enterprises. This policy is realized in the organization of trade, investment,
and special zone companies in the coastal provinces.

Keywords: China, East Asia, Economic

Pendahuluan

Pada abad ke-20, China mulai mengalami berbagai revolusi yang membuat
stabilitas ekonomi domestiknya bergejolak, sehingga China melalui kepemimpinan
sentralistiknya berupaya memodernisasi perekonomiannya dan menghasilkan kebijakan
yang pragmatis. Pada masa pasca pemerintahan Mao Zedong, China mulai tumbuh sebagai
kekuatan ekonomi yang terbuka bagi kerja sama internasional. Pada masa pemerintahan
Deng Xiaoping setelahnya, keterbukaan ini semakin longgar, utamanya untuk
merekonstruksi krisis ekonomi yang disebabkan oleh isolasi perdagangan pada masa Mao.
Keterbukaan ini juga disertai dengan perlahan masuknya unsur demokrasi dalam tata
kelola hubungan internasionalnya.
Pada abad-21, keterbukaan ini semakin menjurus pada tujuan kebijakan ekonomi
politik internasional China yang ekspansif dan hegemonik. Hu Jintao mewujudkan tujuan
ini dengan mencanangkan The Peaceful Rise of China, yakni kebangkitan China yang
damai, pada 22 Desember 2005 dalam dokumen China Peaceful Development Road (yang
dikenal dengan istilah heping fazhan dalam bahasa Mandarin). Oleh Amerika Serikat
(AS), dalam dokumen tersebut China dipersepsikan memiliki lima strategi untuk meraih
keunggulan ekonomi dalam kerangka pembangunan yakni a) Pembangunan yang
berkedamaian merupakan cara yang tidak terhindarkan dalam menuju modernisasi China;
b) mempromosikan perdamaian dan pembangunan dunia seiring dengan pertumbuhan
China sendiri; c) reformasi dan inovasi dalam pencarian keuntungan bersama dan
pembangunan umum dengan negara-negara lain; d) pengembangan dengan bergantung
pada kekuatan sendiri; serta e) membangun dunia yang harmonis dalam perdamaian yang
berkesinambungan dan kesejahteraan bersama.
China mulai memasuki era perdagangan multilateral setelah memasuki World
Trade Organization (WTO) secara resmi pada tahun 2005. Hal ini merupakan manuver
penting bagi China, karena China secara penuh telah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi
pasar. Namun pada praktiknya, China ditengarai tengah membangun keunggulan untuk
menyaingi kekuatan ekonomi AS. Lini pertama untuk membangun persaingan itu ialah di
kawasan Asia Timur, karena secara geopolitis menguntungkan bagi China, akumulasi
modal AS yang cukup besar di kawasan tersebut, dan juga faktor beberapa negara penting
yang menjadi aliansi AS. Untuk itu China berusaha mendefinisikan ulang tentang identitas
Asia Timur seiring pula dengan kepentingan ekonominya. Bagi negara, akan sangat
menguntungkan apabila dapat memanfaatkan kedekatan geografis dengan negara-negara
besar di sekitarnya, karena akan mengurangi biaya perdagangan dan pembangunan.
Namun tidak selalu demikian dengan aliansi politik yang relatif sulit dibangun, khususnya
karena faktor karakteristik yang telah dibahas sebelumnya. Untuk itu, sangat wajar jika
China memiliki beberapa strategi integrasi ekonomi yang memberi warna politik baru
dalam pembentukan Asia Timur dari kacamatanya sendiri sebagai suatu cara untuk
mempromosikan kebangkitan China ini.

Permasalahan

Asia Timur merupakan kawasan yang sangat luas secara geografis dan beragam
secara demografis dan ideologis. Terdapat beberapa peluang strategi kerja sama ekonomi
yang telah terbangun sebelumnya di Asia Timur. Peluang-peluang ini juga mencerminkan
opsi-opsi politik yang memiliki konsekuensi bagi sektor ekonomi. Pasca Perang Dingin,
kerja sama ekonomi Asia Timur banyak diwarnai dengan kerangka regionalisme.
Regionalisme tersebut terbangun dalam konteks bahwa keberadaan negara tertentu
berperan sebagai inti dari kerjasama yang masih mengarahkan strategi pembangunan yang
berbasis pada negara pemegang posisi terkuat sebagai pengendali. Terdapat beberapa
pendapat mengenai konsep Asia Timur, misalnya sejatinya konsep Asia Timur sebagai
suatu kawasan merupakan pemikiran yang relatif baru, demikian juga dengan
kepemimpinan di kawasan tersebut. Konsep East Asia Economic Caucus (EAEC) yang
dicetuskan Mahathir Mohammad pada era 1990-an, Perdana Menteri Malaysia ketika itu,
gagal dalam realisasi.
EAEC mengarahkan kerja sama ekonomi Asia Timur yang dimotori oleh Jepang,
karena Jepang sebagai negara anggota G7 dan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar
kedua di dunia. Karena orientasi politik luar negerinya yang koheren dengan AS, usulan
Mahathir menjadi tidak berjalan, walaupun Malaysia sangat membutuhkan tampilnya
Jepang karena kesamaan orientasi kebijakan ekonomi kedua negara. Jepang juga enggan
untuk kembali memimpin secara politik atau militer di Asia Timur, utamanya karena faktor
sejarah Perang Pasifik yang secara politis tidak akan menguntungkan bagi Jepang. Jepang
banyak mengarahkan kepentingannya dalam sektor ekonomi dan teknologi inovasi.
Integrasi Asia Timur harus dimulai dengan menganggap bahwa Asia Timur adalah sebuah
pabrik Factory Asia, yang setiap sub-wilayahnya berfungsi baik sehingga menghasilkan
produk yang bermutu. Namun Asia Timur menghadapi kerentanan dalam pandangan
tersebut, jika meninjau beberapa faktor yakni, (a) daya saing tiap negara yang hanya akan
meningkat jika perdagangan intra-regional di Asia Timur juga meningkat; (b) masing-
masing negara tidak dapat memotong tarif perdagangan secara unilateral karena terikat
dengan peraturan WTO; (c) tidak hadirnya sebuah manajemen tingkat atas selain dalam
kerangka WTO, yang nantinya dapat mencegah konflik perdagangan menyebar ke seluruh
kawasan.
Gagasan mengenai ASEAN+3 tersusun berdasarkan konteks tatanan resistensi
tehadap resiko krisis. ASEAN+3 diharap mampu menjadikan dirinya wadah bagi
pertukaran budaya, bisnis, dan bahkan praktik diplomasi ekonomi dan diplomasi
komersial. Pasca krisis Asia 1997-1998, Chiang Mai Initiatives (CMI) muncul sebagai
alternatif menghadapi gelombang krisis yang mungkin akan menyerang kembali, dalam
kerangka kerja ASEAN+3 tahun 2000. Kerja sama ini baru diperbarui menjadi Chiang Mai
International Initiatives (CMII) pada 2010 CMI adalah usulan kerja sama currency swap
atau pertukaran mata uang dalam konteks finansial, terutama mengenai cadangan devisa
suatu negara. Jika mata uang suatu negara sedang lemah karena krisis, maka mekanisme
konversi mata uang dalam cadangan devisa ini menjadi pilihan yang bijak untuk tidak
mengurangi kuantitas nilai cadangan devisa. Melalui salah satu contoh tersebut, masalah
finansial merupakan masalah makro-ekonomi yang tak terhindarkan lagi untuk
dipertimbangkan kala menghadapi krisis.
Terdapat wacana pembentukan East Asian Economic Community (EAEC), yang
sekiranya diprediksikan akan terjadi pada tahun 2050. Kerangka East Asian Economic
Caucus terdahulu yang hanya berbasiskan negara-negara Asia Timur, lebih
menguntungkan bagi negara-negara kecil. Pasalnya, jika harus membentuk sebuah kerja
sama regional, bentuk East Asian Cooperation akan lebih diutamakan, karena lebih
bernuansa “Asia” daripada “Pasifik” yang diusung oleh APEC. Karena agenda liberalisasi
ekonomi yang dikemukakannya, tentu akan berujung pada pembukaan pasar bebas yang
luas. Sementara jika AS dan Kanada juga telah tergabung dalam North American Free
Trade Area (NAFTA) yang telah mantap sebagai suatu pasar bebas regional. Hal tersebut
akan mungkin menjadikan posisi tawar negara Asia Timur lain menjadi tersubordinasi.
Keempat peluang tersebut merupakan peluang bagi China untuk mengembangkan
dominasi di Asia Timur, karena secara perlahan China menjaditolok ukur kebijakan luar
negeri sektor ekonomi di kawasan. Uni Eropa (UE) dan AS diramalkan akan tetap menjadi
pasar terbesar, namun China akan mampu mengimbangi Jerman pada dekade berikut
dalam gross domestic products (GDP) nominal nya. Salah satu indikator GDP ialah
kemampuan suatu negara meraup keuntungan perdagangan.Grafik di bawah ini
merupakan cerminan perkembangan GDP pada 2020.

Analisis
Pembangunan ekonomi merupakan langkah mundur perlahan dari kebijakan
ekonomi terkendali, dimana negara mengatur pasar, dan pasar mengatur badan-badan
usaha. Kebijakan ini terwujud dalam penyelenggaraan perdagangan, investasi, dan zona
khusus perusahaan di provinsi-provinsi pesisir. Namun terdapat beberapa kondisi yang
harus diperhatikan perkembangannya sebagai barometer ambisi China untuk mengejar
posisi sentral di sektor ekonomi Asia Timur. Pertama, China yang sedang bangkit juga
mengejar strategi institusional dan multilateral di luar kawasannya untuk mendesain
kembali keteraturan orderdi bidang ekonomi-politik. Kerja sama multilateral tersebut
menempatkan pemerintah Beijing sebagai titik sentralnya, misalnya China–Africa
Cooperation, the China–Caribbean Economy and Trade Cooperation Forum, dan juga
China–Arab Nations Cooperation Forum. Sebagai pendukung pengaruh, China bahkan
terlibat dalam pemberian konsultasi politik pada Andean Community, Rio Group, dan
mercosur. Terlihat bahwa China lebih memilih untuk membuka kerja sama baru daripada
mengandalkan yang telah terbangun. Hal ini juga mencerminkan mentalitas great power
dan exceptionalism China sebagai negara yang melihat negara lain beroperasi dibawah
pengaruhnya, sehingga segala kebijakan luar negerinya pun betul-betul diarahkan ke
dalam negeri. Sementara itu, China melihat wilayah Asia sebagai saluran strategis untuk
merangkul masyarakat internasional, dengan prinsip hexie yazhou yakni “Asia yang
Harmonis” baik secara multilateral, sub-regional, maupun bilateral. China membidik Asia
Selatan, Asia Tengah dan wilayah timur laut Asia, dengan menawarkan konsep
kesejahteraan bersama di kawasan dengan pendekatan bilateral
Kedua, China juga memainkan peranan penting dalam stabilitas perdagangan dan
finansial pasca krisis ekonomi global tahun 2008. Cadangan devisanya yang besar
memudahkan China bermanuver dalam hal ini. Pilihan antara China dan Asia Timur untuk
kerja sama kawasan ialah dengan mengukuhkan new regionalism. Beberapa alasan yang
dikemukakan antara lain a) motivasi negara-negara Asia Timur untuk tidak terlarut dalam
krisis finansial, b) negara-negara Asia Timur cenderung ingin bekerja sama lebih erat
dengan China, c) kepentingan bisnis masing-masing negara untuk lebih terintegrasi ke
pasar internasional, dan d) pergerakan ekonomi skala sedang berkembang untuk
meningkatkan daya saing. Sementara itu, China lebih memilih untuk bermain aman dalam
setiap gelaran East Asia Summit karena masalah keanggotaan East Asia Community
(EAC), dimana negara-negara seperti India, Australia, dan Pasifik selalu terlihat
dibendung oleh China dalam upaya mereka untuk dimasukkan menjadi anggota. Pasca
krisis ekonomi global seputaran 2007-2008, negara anggota G3 yakni Uni Eropa, Jepang,
dan AS mengalami perlambatan ekonomi. Padahal pertumbuhan ekonomi agregat di Asia
Timur saja telah mencapai rata-rata 8% per tahun, sementara pertumbuhan ekonomi dunia
hanya 4% per tahun pada 2010. Momentum perlambatan ekonomi AS juga merupakan
peluang besar bagi China untuk menumbuhkan kepercayaan Korea Selatan dan Jepang
sebagai sekutu utama di kawasan.
Ketiga, Pasca krisis finansial global, China juga mendapat kepercayaan yang lebih
baik untuk menanamkan modal asing, demikian pula dengan jumlah investasi asing yang
masuk ke dalam negeri. Berikut ini sebaran aliran investasi asing langsung di kawasan
Asia Timur. Manuver China untuk menarik investasi pasca krisis perlu dicermati sebagai
upaya untuk menjadi hegemon ekonomi-politik di kawasan, bukan hanya sebagai aksi
profit-taking belaka, China memberikan pinjaman lunak kepada negara-negara Asia
Tenggara, sementara AS masih bersikukuh mempertahankan kebijakan neoliberalnya
untuk mendevaluasi mata uangnya. Kepemimpinan China didominasi oleh soft-power
utamanya sejak 1990-an, dengan menampilkan kebijakan luar negeri yang merangkul dan
lebih konstruktif.
Keempat, rivalitas China-Jepang dalam mendominasi kawasan Asia Timur. Jepang
sebagai perpanjangan kepentingan AS sangat mendominasi dalam hal perkembangan
teknologi, perindustrian, dan bantuan pembangunan di kawasan ini pasca Perang Dingin.
China mengadopsi model East Asian Developmental State dengan meniru karakter kunci
dari pembangunan di Jepang pada tahun 1950-1960an dan Korea pada tahun 1970an.
Kedua negara itu utamanya menerapkan kebijakan transformasi industri. Situasi ekonomi
di Asia Timur selama kurang lebih 20 tahun belakangan, di mana pola kerja sama ekonomi
industrial dipimpin oleh Jepang. Selama itu pula Jepang bertindak sebagai aktor terdepan
dalam formasi V atau the flying geese formation dalam pola pembangunan.
Namun, hal tersebut menjadi kurang relevan di era kontemporer, karena China
perlahan muncul sebagai aktor strategis baru. Secara bertahap, pola interaksi antar wilayah
industri di Asia Timur menjadi berubah, fokusnya adalah pada kebangkitan wilayah pantai
China dalam mengarahkan ekonomi regional. ASEAN dan Asia Tenggara menjadi medan
perebutan pasar antara kedua negara, sehingga ASEAN juga menjadi prioritas politik luar
negeri China. Pada tahun 2000, ACFTA diimplementasikan, dan satu dekade kemudian,
China telah menyumbangkan jumlah simpanan yang sama dengan Jepang (38,4 juta Dolar
AS) kepada Asian Currency Crisis Fund (120 milyar Dolar AS) di bawah Chiang Mai
Initiative Multilateralisation Agreement. China juga berupaya menyeimbangkan posisi
tawar dengan Jepang di berbagai forum multilateral. Tabel di bawah ini berusaha
menunjukkan kecenderungan tersebut.
Kesimpulan

Pertumbuhan ekonomi China akan semakin pesat di masa depan, karena kawasan
pesisir China mendominasi keseimbangan kekuatan (power balance) di Asia Timur. Akan
terjadi restrukturisasi dan penyesuaian terhadap segala pergerakan kawasan ekonomi
pesisir China sebagai motor ekonomi-politik di kawasan Asia Timur. Penyesuaian tersebut
juga akan terasa berat di sisi Chubu, Seoul, dan Yeongnam yang mengharuskan reposisi
dan mengkondisikan wilayah mereka untuk aktivitas ekonomi trans-border. Namun
memasuki abad ke-21, pergerakan globalisasi, perjanjian perdagagan bebas, serta aktivitas
transnasionalisme dalam politik global berperan signifikan dalam membentuk perilaku
para aktor di dalamnya, terutama para pengambil keputusan. Untuk itu, Kim memberi
spekulasi bahwa pemenang dalam persaingan ekonomi regional ini adalah para aktor yang
memiliki “bakat” atau talent, serta teknologi. Hal tersebut dirasanya lebih penting bagi
pertumbuhan ekonomi daripada sekedar memerhatikan pembagian kerja atau division of
labor.
China memang menjadi aktor yang tangguh dalam bidang ekonomi dengan
meminimalisasi biaya produksi dan segala macam efisiensi yang terkait. Sejak tahun 1978
pada masa pemerintahan Deng Xiaoping, China mulai terbuka bagi perdagangan luar
negeri yang tidak ekslusif walaupun hanya dalam beberapa konteks. Hal tersebut
kemudian diikuti oleh doktrin politik luar negeri The Peaceful Rise of China yang
dicanangkan pada tahun 2000-an untuk memberi kesan pada dunia bahwa China bukan
berdiri sebagai ancaman, melainkan sebagai mitra negara-negara di dunia. Dengan
mengedepankan soft power diplomacy, China mengembangkan konsep negara yang
bersahabat dan turut bertanggung jawab terhadap perdamaian dunia.
Peningkatan ekonomi China maupun perkembangnya China menyebabkan
terjadinya dominasi dan hubungan luar negeri yang asimetrik antar negara di Asia Timur,
bahkan di belahan dunia lain. Perilaku aktor lain di dalam kerangka delapan wilayah
ekonomi regional inti, sangat ditentukan oleh kebijakan yang diambil China. Pertanyaan
besarnya adalah, apakah dominasi ekonomi China akan semakin mengintegrasikan
kawasan Asia Timur, ataukah sebaliknya. Hal ini bisa menjadi paradoks yang rentan
berbalik pada China setiap waktu, jika tidak diimbangi dengan kalkulasi perilaku di bidang
keamanan regional yang diharapkan tidak agresif.
Referensi

Katra, Ahmad YA. 2016. Upaya Pemerintahan China Menigkatkan Perekonomian


Melalui Pembentukan Kerjasama Asean-China Free Trade Area (ACFTA) 2002-2014.
Jurnal Ilmu Hubunga Internasional. http://hi.umy.ac.id/jurnal/ . diakses 18 Mei 2018.

Wishanti, Dewa APE. 2011. Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional
di Kawasan Asia Timur. Diakses dari file:///C:/Users/WINDOWS10/Downloads.pdf pada
tanggal 18 Mei 2018.

Anda mungkin juga menyukai