Anda di halaman 1dari 5

Pembuatan Latar Belakang, Diambil dari 4 Jurnal :

(Cahyani, 2020; Gunawan & Arfah, 2019; Ilhamsyah & Arisyahidin, 2019; Sonny, 2020)

Amerika Serikat telah melakukan sikap kontradiktif sebagai negara penganut sistem
ekonomi liberal, dan ini telah memberi hambatan ekonomi terhadap China baik dalam bentuk
hambatan tarif maupun non-tarif, sehingga menyebabkan perang dagang. Hal ini menjadi suatu
kontradiksi, karena metode yang dipilih Amerika Serikat dapat membuat hambatan atas
terjadinya proses perdagangan bebas Amerika Serikat telah mengklaim bahwa China melakukan
kecurangan dalam praktek perdagangan, yaitu pencurian kekayaan atas hak intelektual. Selain
itu, Amerika Serikat juga ingin mengubah kebijakan ekonomi China yang dianggap Amerika
Serikat hanya menguntungkan satu pihak saja, yaitu China, dan hal ini menjadi alasan Amerika
Serikat untuk melakukan tindakan dengan memberi tarif maupun non-tarif terhadap China.
Tujuan dari Amerika Serikat memilih kebijakan ini adalah uuntuk memiliki power di atas China
dalam sistem internasional, terutama dalam hal ekonomi. Tindakan memberi tarif atau non-tarif
ini bisa dikatakan sebagai tindakan yang cukup agresif. Namun Amerika Serikat beranggapan
bahwa tindakan agresif ini akan membuat Amerika Serikat terlihat lebih kuat, bahkan jika
Amerika Serikat mampu merubah kebijakan ekonomi yang digunakan oleh China. Jika Amerika
Serikat mendapatkan tujuannya, tentu saja Amerika Serikat akan memperoleh keuntungan yang
besar untuk kepentingan negaranya. Selain Amerika Serikat memberi tarif impor yang tinggi
terhadap produk China, Amerika Serikat juga memberi hambatan non-tarif berupa standarisasi
produk, prosedur perizinan industri, kebersihan produk, dan anti dumping. Meski hambatan non-
tarif tidak separah hambatan tarif yang diberikan Amerika Serikat terhadap China, kedua bentuk
hambatan ini diharapkan Amerika Serikat akan mampu menekan China untuk merubah
kebijakan ekonomi yang dianggap telah banyak melakukan kecurangan. Meski hambatan yang
dilakukan Amerika Serikat ini hanya terhadap China, tindakan agresif ini pasti akan berdampak
pada sistem perdagangan internasional secara global. Dengan adanya upaya Amerika Serikat
yang ingin menghegemoni perekonomian China ini, Amerika Serikat ingin mengubah kebijakan
ekonomi China agar tidak merugikan perekonomian Amerika Serikat, Amerika Serikat juga akan
terus memberi tarif pada China, dan Amerika Serikat akan terus mengabaikan peringatan dari
pihak eksternal agar tujuannya tercapai.
Sebenarnya, kebijakan yang diambil oleh Amerika Serikat ini tidak seharusnya dilakukan
karena Amerika Serikat merupakan negara yang menganut sistem ekonomi liberal. Dampak
utama dari pemberlakuan kebijakan tarif adalah dapat menghambat tingkat penjualan suatu
barang, dan konsekuensinya akan jelas menghambat terjadinya perdagangan bebas. Faktanya,
Amerika Serikat tidak sama sekali melibatkan World Trade Organization (WTO) dalam
menangkan China, dan yang mengherankan adalah karena seharusnya Amerika Serikat
menggunakan forum untuk melawan China. Ironisnya, organisasi internasional yang dipelopori
oleh Amerika Serikat ini malah berusaha untuk menghentikan tindakan yang dilakukan Amerika
Serikat terhadap China melalui jalur mediasi.

Perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang bermula pada tanggal 22 Maret
2018 ketika Trump mengumumkan pengenaan bea masuk sebesar US $50 miliar untuk barang-
barang dari China yang mengacu pada Pasal 301 UU Amerika Serikat Tahun 1974 tentang
perdagangan. Kebijakan ini tentu saja mendapat reaksi yang keras dari pemerintah China yang
membalas dengan menerapkan bea masuk untuk lebih dari 128 produk Amerika Serikat,
termasuk kedelai yang menjai andalan utama ekspor Amerika Serikat AS ke China. Dengan ini,
aksi saling balas pengenaan tarif masuk terus berlanjut hingga menyebabkan kekhawatiran
global. Sistem perdagangan multilateral telah ditantang oleh keputusan unilateral Amerika
Serikat. Alasan Amerika Serikat menaikkan tarif impor untuk mitra dagangnya terhadap China
adalah karena meningkatnya defisit perdagangan di China beberapa tahun terakhir. Menilik dari
Comtrade (2018), pada tahun 2017, defisit perdagangan Amerika Serikat dengan China telah
meningkat hingga $363 miliar, dan ini merupakan defisit perdagangan bilateral tertinggi yang
pernah tercatat. Perang perdagangan Amerika Serikat dan China merupakan gejala dari banyak
masalah yang lebh mendasar. Hal ini menjadi bagian dari kebangkitan proteksionisme dan
nasionalisme yang mengarah ke Brexit, dan pemilihan banyak pemimpin politik seperti Presiden
Trump. Dalam gilirannya, telah terjadi perubahan kebijakan yang besar di dalam negeri, dan
dalam aturan-aturan keterlibatan internasional. Dalam kasus Amerika Serikat dan China ini, akar
dari permasalahannya adalah manfaat globalisasi yang tidak merata, dan upah menengah yang
stagnan, dan yang disalahkan pada perdagangan bebeas, karena adanya perubahan teknologi dan
kurangnya penyesuaian.
Perang dagang ini telah memberi imbas negatif terhadap perekonomian China. Hal ini
dikarenakan penjualan ritel di China pada Juli 2018 jadi mengalami penurunan menjadi 7,6%
lebih rendah dari ekspektasinya yaitu 8,6%. Sedangkan tingkat pengangguran pada bulan Juli
mengalami kenaikan menjadi 5,3% dibanding bulan Juni yang hanya 5,1%. Dengan demikian,
tidak bisa dipungkiri bahwa Amerika Serikat dan China merupakan dua negara dengan
perekonomian terbesar di dunia. Jadi, dengan perselisihan dua negara yang merupakan negara
dengan perekonomian terbesar di dunia ini terjadi, tentu akan berpengaruh besar terhadap
kondisi perekonomian negara-negara lainnya, khususnya bagi negara mitra dagang utama kedua
negara tersebut. Selain itu, hal yang juga sangat dikhawatirkan adalah peningkatan
ketidakpastian ekonomi global, hingga meningkatkan resiko bisnis dan memperburuk prospek
perekonomian di masa depan. Setelah konflik perang dagang terjadi, pergerakan indeks global
menjai lebih berfluktuasi. Hal ini mengindikasikan bahwa perang dagang telah meningkatkan
ketidakpastian global dan berdampak pada penurunan optimisme investor dalam masa depan
perekonomian. Pasar modal yang menggambarkan kondisi perekonomian suatu negara akan
sangat berkaitan dengan kondisi perekonomian negara-negara mitra daganganya, maka dari itu
perubahan perekonomian pada mitra dagang akan berpengaruh secara langsung maupun secara
tidak langsung terhadap kondisi perekonomian negara tersebut.

Disadari atau tidak, skema dalam geopolitik dan geoekonomi mengalami perkembangan
yang pesat. Dampak dari adanya perang dagang Amerika Serikat dan China ini dirasakan oleh
banyak negara, teramasuk Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia
Tenggara ini memang memiliki posisi yang strategi karena memiliki posisi silang yang diapit
dua benua Asia dan Australia, serta diapit dua samudera yaitu Hindia dan Pasifik. Jika melihat
dari sisi letak, Indoensia sudah pasti menjadi rebutan sebagai negara pangsa pasar / negara
market place dari seteru perang dagang kedua negara yang sama-sama ingin merebut klaim
“negara super power.” Dengan posisi demikian, Indonesia dapat dianggap sebagai epicentrum
global. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan satu-satunya negara cincin api atau negara
yang dilalui garis khatulistiwa, sehingga memiliki kelengkapan sumber daya alam dan sumber
energi yang berlimpah. Di dalam Indonesia juga terdapat kekayaan sosial budaya seperti
keragaman etnis, bahasa, agama, dan budaya. Kelebihan yang dimiliki Indonesia ini telah
membuat Indonesia memilki istilah sebagai “Raw Material” yang khususnya bagi sektor
industri-industri dunia. Indonesia yang memiliki dominan negara perairan, jalur perdagangan
akan 40 persen melalui laut dan pelayaran akan melintasi bentangan laut Indonesia, dan ini
berarti Indonesia telah masuk dalam rute “Sealane of Communication” (SLOCs). Dengan
kelebihan Indonesia ini, jika negara-negra yang bekepentingan seperti penetrasi pasar dan
ekspansi ekonomi dapat menguasai Indonesia, dapat dipastikan negara itu bisa mengendalikan
geopolitic chokepoints di tingkat global. Negara yang menguasai jalur pelintasan di Indonesia,
maka negara itu akan menguasai pasar.

Jika melihat retrorika kampanye yang seringkali diterjemahkan ke dalam kebijakan yang
lebih nasionalis, proteksioneis, dan padat penduduk, hal ini merupakan realitas politik dan
kebijakan yang sedang dihadapi saat ini. Sering juga menjadi pertanyaan penting bahwa
kenaikan proteksionisme nantinya akan diikuti oleh negara lain, seperti Indonesia. Dalam tiga
dekade terakhir, Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara telah berkembang, dimana
perkembangan ini didasarkan pada keterbukaan dan reformasi struktural, dan juga semakin
terintegrasi. Sebagian besar perkembangan ini disebabkan oleh integrasi yang didorong pasar
karena reformasi unilateral, tapi juga telah dibingkai dan dikunci oleh komitmen dalam
perjanjian regional di ASEAN, dan dalam perjanjian multilateral di bawah WTO. Maka dari itu,
melihat kasus di Indonesia, nasionalisme dan proteksionisme tidak terlalu banyak memiliki
keterkaitan dengan masalah ketimpangan seperti di negara maju dan Indonesia telah melekat
dalam retorika politik serta kebijakannya.

Dengan adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan China ini, Indonesia tentu
mendapat imbas atas konflik ini. Kekhawatiran Indonesia dengan adanya konflik ini adalah
bahwa pasar Indonesia akan dibanjiri oleh produk-produk dari Amerika Serikat dan China.
Namun, jika Indonesia mampu untuk memanfaatkan konflik ini, akan terbuka peluang yang
besar bagi Indonesia untuk menjalankan pasar yang terbuka di Amerika Serikat dan China. Hal
ini dapat terjadi karena pangsa pasar China tertutup di Amerika Serikat, juga pangsa pasar
Amerika Serikat tertutup di China. Namun, bukan berarti perang dagang tidak memiliki efek
positif. Indonesia yang berada ditengah himpitan perang dagang antara Amerika Serikat dan
China sendiri tidak mendapat dampak eprang dagang yang signifikan. Hal ini dikarenakan
produk yang dikenakan tarif perang dagang tidak berfokus pada produk ekspor Indonesia di
kedua negara. Hal positifnya adalah perang dagang Amerika Serikat dan China ini telah memberi
peluang pasar untuk memenuhi kekosongan pasar dari dua negara, dan Indoensia jadi memiliki
potensi untuk menjadi negara yang diperhitungkan sebagai kekuatan besar dalam rivalitas major
power dalam eskalasi geopolitik atau pun geoekonomi. Hal ini disebabkan oleh Indonesia yang
memiliki sumber daya alam yang berlimpah, dan ini akan mampu menciptakan sumber-sumber
invesatsi baru. Selanjutnya, Indonesia harus bisa lebih memaksimalkan dan memperjuangkan
kepentingannya ketika negara-negara lain mencoba untuk mengambil manfaat dari perang
dagang Amerika Serikat dan China. Indonesia juga harus mulai memprioritaskan peningkatan
produk-produk nasional. Perang dagang yang juga menyebabkan penurunan dominasi Amerika
Serikat di Asia, terutama pada perekonomian Indonesia dan Singapura. Sayangnya Indonesia
tidak mampu memanfaatkan perang dagang ini untuk mengambil peluang. Akhirnya setelah
terjadinya perang dagang ini, guncangan perekonomian China jadi memberi dampak lebih lama
pada negara-negara mitra dagang China.

Referensi

Cahyani, R. A. (2020). Analisis Kebijakan Tarif maupun Non tarif Amerika Serikat terhadap
Tiongkok dalam Perang Dagang. Journal of International Relations, 6(1), 47–55.
http://ejournal.s1.undip.ac.id/index.php/jihi

Gunawan, D., & Arfah, Y. (2019). Dampak Perang Dagang Amerika-Tiongkok Terhadap
Integrasi Pasar Modal Global. Proseding Seminar Nasional Kewirausahaan, 1(1), 76–85.
https://doi.org/10.30596/snk.v1i1.3584

Ilhamsyah, & Arisyahidin. (2019). Analisis Perang Dagang Amerika Serikat dengan China
terhadap Pertumbuhan Nilai Tukar Rupiah. REVITALISASI : Jurnal Ilmu Manajemen, 8(2).

Sonny. (2020). INDONESIA DI TENGAH HIMPITAN PERANG DAGANG AMERIKA


SERIKAT DAN CHINA. Jurnal Renaissance, 5(01), 617–623.

Anda mungkin juga menyukai