Anda di halaman 1dari 7

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 2

Nama Mahasiswa : Angela


………………………………………………………………………………………..............

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 042892698


………………………………………………………………………………………..............

Kode/Nama Mata Kuliah : ADBI432/ BISNIS INTERNASIONAL


………………………………………………………………………………………..............

Kode/Nama UPBJJ : 21/ Jakarta


………………………………………………………………………………………..............

Masa Ujian : 2019/2020 (2020.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN

KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TERBUKA


Praktek Proteksionisme

Perang dagang antara Amerika dan Tiongkok akan semakin memanas dan
memberikan kejutan bagi seluruh negara dalam pusaran ekonomi dan politik, setelah
berpaling dari ekonomi dunia menjadi “America First”, akhirnya Amerika menarik semua
projek ekonomi mereka di luar negeri yang tidak memberikan keuntungan yang nyata bagi
Amerika. Perang dagang antara Amerika dan Tiongkok akan semakin memanas dan
memberikan kejutan bagi seluruh negara dalam pusaran ekonomi dan politik, setelah
berpaling dari ekonomi dunia menjadi “America First”, akhirnya Amerika menarik semua
projek ekonomi mereka di luar negeri yang tidak memberikan keuntungan yang nyata bagi
Amerika.

Kebijakan “America First” sudah sejak lama di ganyangkan oleh Trump, dimana
slogan ini pertama kali digunakan Trump ketika diwawancarai oleh New York Times pada
Maret 2016 diikuti oleh oleh kalimat “Setiap kebijakan (Perdagangan, Perpajakan, Imigrasi,
dan Kebijakan Luar Negeri) yang diambil oleh pemerintahannya harus berlandaskan pada
America First, harus memiliki manfaat untuk rakyat Amerika.

Namun, apakah kebijakan ini masih kondusif untuk perdagangan internasional saat
ini?

Pandemi COVID-19 juga menimbulkan banyak kerugian ekonomi. Sementara para


menteri keuangan dan gubernur bank sentral di setiap negeri bekerja keras untuk
mengoordinasikan stimulus dan memberikan pinjaman kepada ekonomi yang sedang
kesulitan, Departemen Luar Negeri AS harus mendorong negara-negara untuk mengurangi
hambatan perdagangan pada makanan dan pasokan medis. Pembatasan ekspor hanya akan
mengundang pembalasan satu sama lain terhadap impor-impor penting, yang membahayakan
lebih banyak nyawa rakyat Amerika. Tindakan semacam itu akan menghasilkan kekurangan
pasokan kebutuhan nasional, mempromosikan penimbunan, dan melambungkan harga secara
tidak proporsional yang membahayakan negara berkembang.

Kini slogan “America First” harus diuji dengan Pandemi COVID-19 yang memporak-
porandakan ekonomi global. Hanya dalam waktu 3 minggu jumlah tunjangan pengangguran
di Amerika Serikat naik drastis hingga 15 juta jiwa dan ditakutkan Amerika akan kehilangan
20 juta pekerjaan karena resesi COVID-19. Fenomena ini membuat Federal Reserve
meluncurkan dana sebesar 2,3 triliun dollar Amerika Serikat untuk membantu pemerintahan
daerah serta usaha kecil.

Kantor anggaran kongres Amerika Serikat bulan lalu meramalkan defisit anggaran
akan mencapai 3,7 triliun dollar Amerika Serikat disamping utang nasional yang melonjak
diatas 100% dari PDB. Pandemi belum berakhir kini Amerika harus dihadapkan dengan
kasus rasisme yang telah mengakar pada negeri paman sam ini. Bukan hanya sekedar krisis
demokrasi namun juga krisis ekonomi. Kini Amerika Serikat mengalami degradasi ekonomi
dimana perdagangan global yang basisnya multilateralisme dianggap merugikan bagi
Amerika. Sebagai contoh ketika Trump keluar dari Paris Agreement.

Maka, upaya Trump melalui kebijakan America First tidak menjamin timbulnya


ketergantungan yang absolut  terhadap AS karena kemunculan Tiongkok juga harus
diperhitungkan. Terlebih, pada masa sulit seperti saat ini, solidaritas antarnegara sangat
dibutuhkan untuk bahu-membahu untuk mewujudkan kondisi dunia yang lebih baik.
Alangkah baiknya apabila saat ini kepentingan untuk tujuan bersama menjadi prioritas,
terutama dalam upaya penemuan vaksin supaya korban jiwa tidak terus berjatuhan.
Sementara itu, terjadinya kontraksi ekonomi dan melonjaknya jumlah pengangguran
menyebabkan implikasi dari wabah ini semakin kompleks.  Oleh karena itu, selama pandemi
Covid-19 masih belum mereda, upaya kerja sama yang sifatnya multilateral sudah
sepatutnya  lebih diutamakan.

Apa dampak yang mungkin terjadi dari negara-negara yang bekerjasama dengan AS?

Hal ini memberikan dampak yang besar bagi negara-negara lain, Bahkan perang
dagang keduanya memberikan ketegangan di Timur Tengah, alhasil Bank Sentral Amerika,
Federal Reserve menurunkan suku bunganya. Trump juga mengambil kebijakan pembatasan
ekspor teknologi canggih keluar negeri, yang bertujuan agar Amerika menjadi unggul serta
tidak terjadi duplikasi di negara lain. Trump juga nekat memberlakukan kebijakan tarif untuk
menekan dan membatasi impor sehingga produk-produk Amerika dapat diprioritaskan.

Serangkaian ulah Trump di ranah ekonomi global membuat IMF harus turun tangan
dengan memberikan peringatan kepada kebijakan tarif yang diterapkan Amerika Serikat,
dimana kebijakan tersebut berisiko menurunkan pertumbuhan global sebesar 0,5% atau
sekitar 430 miliar dollar Amerika Serikat akan sirna dari PDB dunia pada tahun 2020.
Selain itu beberapa negara berkembang kehilangan fasilitas Generalize System of
Preference (GSP) atau kehilangan keringanan bea masuk impor barang ke AS dan fasilitas
bantuan Official Development Assistance (ODA) atau bantuan pembiayaan dari eksternal
untuk pembangunan sosial dan ekonom.

Tiongkok, Afrika Selatan dan Brasil juga kehilangan fasilitas GSP. India dan Turki
juga telah dikeluarkan dari status fasilitas GSP oleh AS pada 2019. GSP merupakan sistem
tariff preferensial yang membolehkan satu negara secara resmi memberikan pengecualian
terhadap aturan umum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kehilangan fasilitas GSP di
AS akan diikuti juga hilangnya fasilitas impor di beberapa Negara lain seperti Eropa dan
anggota OECD lainnya.

Terdapat 157 negara di dunia yang dinyatakan sebagai Negara berkembang, namun
mereka yang mendapatkan fasilitas GSP harus mendapat persetujuan Kongres AS. Kini
Presiden Trump mencabut fasilitas GSP terhadap banyak Negara sebagai konsekuensi politik
ekonomi Trump yang bermotto “American First”. Pencabutan fasilitas GSP terhadap India
pada 2019 didasarkan karena India adalah penerima manfaat terbesar dari pembebasan impor
AS, yaitu sebesar US$ 5,6 miliar per tahun menurut BBC.

Sedangkan terhadap Turki lebih kepada alasan politik karena Turki berani membeli
alat pertahanan negara dari Rusia, pesaing utama perlengkapan militer AS. Selain itu, Turki
mendukung Venezuela melalui pembelian emasnya. Tujuan pencabutan GSP dengan tujuan
trade war diberlakukan terhadap Tiongkok, yang mana Trump menginginkan keseimbangan
dalam perdagangan ASTiongkok. Negara penerima GSP dituduh melakukan upah rendah dan
mengobral fasilitas investasi lainnya (seperti tax evasion dan tax holiday). Hal itu membuat
pemilik modal AS lebih tertarik melarikan modalnya ke negara tersebut, sehingga AS
kehilangan banyak pekerjaan dan keuntungan di pasar internasional.

Dan keuntungan apa yang didapat dari negara pesaing Tiongkok atas kebijakan
tersebut?

Faktanya, kebijakan “America First” di satu sisi sukses membuat ekonomi berjalan dengan
baik pada periode kepemimpinan Trump, namun tidak cukup hanya dengan berjalan dengan
baik tanpa adanya peningkatan dan penguatan ekonomi.
Contohnya ketika 2019 pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yaitu pertumbuhan rata-rata
tahunan 2,3% dan berakhir dengan 2,1% untuk kuartal keempat. Sedangkan jika kita
bandingkan dengan periode Obama, 2014 kuartal kedua berhasil menembus angka 5,5%
.Selain itu, Trump juga mengeluarkan kebijakan Trump Tax Reform atau pemangkasan
pajak, dimana pada 2018 Amerika Serikat melakukan pemangkasan pajak penghasilan dari
35% menjadi 21%.

Tiongkok juga mempunyai slogan “China Dream” yaitu bukan hanya impian rakyat
China yang akan memberi mereka kehidupan yang lebih baik dan sejahtera, tetapi juga
impian orang-orang lain di dunia yang akan menawarkan “perdamaian, pembangunan, kerja
sama, dan saling menguntungkan” kepada mereka. Tiongkok tidak ragu-ragu
menghubungkan batas-batas nasional dan internasional melalui kerja sama dan saling
menghormati, dalam aturan dan norma internasional.

Kepemimpinan Tiongkok dapat diberikan "kesempatan untuk meningkatkan posisi


globalnya sebagai juara globalisasi, multilateralisme, dan kerja sama internasional karena
Trump telah menarik AS dari kesepakatan komersial Asia-Pasifik yang luas dan perjanjian
iklim, memberlakukan tarif miliaran dolar untuk barang-barang Tiongkok, dan menarik AS
dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saat puncak pandemi global.

Di saat AS mundur, Tiongkok dinilai telah melangkah maju. Dia telah


mempresentasikan negaranya sebagai juara perdagangan bebas dan pemimpin dalam perang
melawan perubahan iklim, serta berjanji untuk membagikan vaksin COVID-19 yang
potensial ke negara-negara miskin

Apakah akan ada dampaknya terhadap perdagangan dengan Indonesia, sebagai salah satu
negara berkembang,?

Konsekuensi status Indonesia yang oleh Amerika Serikat (AS) tidak lagi dimasukkan sebagai
negara berkembang adalah Indonesia kehilangan fasilitas Generalize System of Preference
(GSP) atau kehilangan keringanan bea masuk impor barang ke AS dan fasilitas bantuan
Official Development Assistance (ODA) atau bantuan pembiayaan dari eksternal untuk
pembangunan sosial dan ekonom. Konsekuensi kehilangan fasilitas GSP adalah harga produk
Indonesia di luar negeri, baik di AS maupun di negara lainnya, akan menjadi lebih mahal dari
biasanya. Tentu saja ini merugikan neraca perdagangan RI. Oleh karena itu, Indonesia sedang
mencari jalan bagaimana mendapatkan fasilitas serupa tanpa payung GSP. Jalannya melalui
limited free trade agreement (LFTA) antara Indonesia dan Amerika. Fasilitas LFTA ini dapat
disamakan sebagai GSP previllage Indonesia. Melalui LFTA Indonesia akan mendapatkan
fasilitas dari AS sekitar US$ 2,4 miliar per tahun.

Bahwa defisit neraca perdagangan yang dialami AS diantisipasi melalui investasi yang masuk
ke AS. Mekanisme ini membuat AS perlu memberikan kepastian pada pihak investor, yang
kemudian membuat Bank Sentral AS, The Fed Reserve, menaikkan federal fund rate (FFR)
hingga mencapai 2% pada Juni 2018 silam. Kenaikan FFR ini telah terjadi untuk yang kedua
kalinya di tahun 2018 dan disinyalir akan ada peningkatan FFR hingga 2 kali lagi pada tahun
ini. Meningkatnya suku bunga AS ini membuat para investor berbondong-bondong
mengalihkan kekayaannya ke dalam bentuk USD, yang selanjutnya membuat nilai USD
menjadi terapresiasi. Hal ini tentu berpengaruh kepada nilai mata uang negara-negara lain
yang menjadi terdepresiasi, tidak terkecuali dengan nilai mata uang Rupiah.

Dengan terdepresiasinya nilai mata uang Rupiah, membuat utang negara Indonesia kian
meningkat karena sebagian besar utang dalam bentuk USD. Selain itu, pelemahan mata uang
Rupiah membuat banyak investor beranggapan bahwa perekonomian Indonesia masih rentan,
sehingga banyak investor asing yang menarik dananya dan keluar dari Indonesia. Akibatnya,
indeks harga saham Indonesia (IHSG) menjadi kian menurun. Di samping itu, penguatan
USD ini membawa keuntungan pada pihak eksportir Indonesia. Harga barang komoditas
ekspor mereka menjadi lebih murah di pasar internasional dibandingkan dengan komoditas
lainnya yang sejenis, dan cenderung menjadi lebih diminati. Nilai ekspor Indonesia pun dapat
kian meningkat.

http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/politik-internasional/1242-genderang-perang-
dagang-as-dan-dampaknya-bagi-indonesia

https://investor.id/opinion/american-first-penghapusan-gsp-dan-dampaknya-terhadap-
ekonomi

https://www.matamatapolitik.com/persetan-america-first-pandemi-covid-19-tak-kenal-batas-
negara-analisis/

https://mahasiswaindonesia.id/dampak-kebijakan-america-first-trump-di-tengah-pusaran-
ekonomi-global/
https://pinterpolitik.com/america-first-ala-trump-kala-corona

https://news.detik.com/internasional/d-5222112/china-senang-jika-donald-trump-menang-
pilpres-as-ini-alasannya

Anda mungkin juga menyukai