Anda di halaman 1dari 6

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/330511826

Politik Perdagangan Donald Trump Dalam Kebijakan


Perdagangan Internasional

Article · January 2019

CITATIONS
READS
0
1,687

1 author:

Gagan Gandara
Bogor Agricultural University
1 PUBLICATION 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Ethical overview in Indonesia E-Commerce Industry View project

International Business View project

All content following this page was uploaded by Gagan Gandara on 21 January 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Politik Perdagangan Donald Trump Dalam Kebijakan Perdagangan Internasional

Kebijakan politik perdagangan Donald Trump dalam rangka mewujudkan slogan


kampanyenya, make America great again, seakan menjadi sumber permasalahan perdagangan
internasional dan ekonomi dunia, khususnya di pertegahan tahun 2018. Kebijakan Donald Trump
telah memicu perang dagang antara 3 (tiga) kekuatan besar ekonomi dunia yaitu Amerika Serikat,
China dan Uni Eropa.
Dikutip dari Wikipedia, Kebijakan Tarif Trump adalah serangkaian tarif yang dikenakan
selama kepresidenan Donald Trump sebagai bagian dari kebijakan ekonominya. Pada Januari 2018,
Trump memberlakukan tarif pada panel surya dan mesin cuci sebesar 30% hingga 50%. Kemudian
pada tahun yang sama ia mengenakan tarif impor atas baja 25% dan aluminium 10% dari sebagian
besar negara. Pada 1 Juni 2018, pengenaan tarif ini diperluas kepada Uni Eropa, Kanada, dan
Meksiko. Satu-satunya negara yang tetap dikecualikan dari tarif baja dan aluminium adalah Australia
dan Argentina. Secara terpisah, pada 6 Juli, administrasi Trump menetapkan tarif 25% pada 800
kategori barang yang diimpor dari China senilai 50 miliar USD. Morgan Stanley memperkirakan
bahwa tarif Trump untuk baja, aluminium, mesin cuci, dan panel surya, pada Maret 2018, mencakup
4,1% impor AS.
Kebijakan Tarif Trump membuat marah mitra dagang, yang kemudian membalas dengan
menerapkan tarif pembalasan atas barang-barang AS. Kanada memberlakukan tarif pembalasan
pada tanggal 1 Juli 2018. China menuduh AS memulai perang dagang dan pada 6 Juli menerapkan
tarif yang setara dengan 34 miliar USD yang dikenakan padanya oleh AS. India berencana untuk
mengganti denda perdagangan sebesar 241 juta USD dengan baja dan aluminium India senilai 1,2
miliar USD. Negara-negara lain, seperti Australia, khawatir akan konsekuensi perang dagang ini.
Tindakan proteksionisme Trump, tidak diterima dengan baik oleh sebagian besar ekonom,
hampir 80% dari 60 ekonom yang disurvei oleh Reuters percaya bahwa tarif impor baja dan
aluminium akan menjadi kerugian bersih bagi perekonomian AS, dengan sisanya percaya bahwa tarif
akan memiliki sedikit atau tidak berpengaruh. Tidak ada ekonom yang disurvei percaya bahwa tarif
akan menguntungkan perekonomian AS. Pada Juli 2018, administrasi Trump mengumumkan akan
menggunakan program era Depresi Besar, Commodity Credit Corporation, untuk membayar petani
hingga 12 miliar USD. Program bantuan pemerintah ini bertujuan untuk membantu kekurangan
karena petani kehilangan penjualan di luar negeri karena perang dagang dengan Cina, Uni Eropa,
dan negara lainnya. Kebijakan Trump telah memicu perang dagang dan menimbulkan sentimen
negatif terhadap perekonomian global.
Menelaah lebih dalam, ada beberapa hal yang melatarbelakangi kebijakan kontroversial dari
Donald Trump sebagai Kepada Negara super power yang menguasai perekonomian terbesar di dunia
atau sebesar 25,6 % dari total Produk Domestik Bruto dunia (IMF 2018, World Economic Outlook
Database, June 6, 2018). Adalah sebagai berikut:
Pertama, menurut Matthew Bey dalam opininya: How to understand Trump’s trade policy:
It’s about restricting imports - www.marketwatch.com, dari sejak 1988 pada saat produk-produk
Jepang dari mulai mobil sampai barang-barang elektronik membanjiri Amerika, Trump berpendapat
bahwa perdagangan Amerika dengan Jepang adalah tidak adil. Karena pada saat itu menurutnya
hampir tidak mungkin Amerika bisa mengekspor barang-barang ke Jepang. Sehingga hal ini
menyebabkan terjadinya defisit ekspor-impor antara Amerika dan Jepang. Bagi Trump perdagangan
yang adil adalah ketika volume ekspor-impor dengan suatu negara adalah seimbang atau bahkan
menang yang berarti volume ekspor-impor mengalami surplus. Selama ia menjadi figur publik, jauh
sebelum ia menjadi seorang politikus, Trump mengeluh tentang kebijakan perdagangan Amerika
dengan negara-negara dari seluruh dunia. Selalu ada dua ide inti yang mendasari keyakinannya pada
perdagangan. Yang pertama adalah bahwa perdagangan adalah kontes zero-sum di mana satu-
satunya tujuan adalah mengekspor barang. Jika kita mengimpor sesuatu dari negara lain, bahkan jika
keunggulan komparatif membuatnya sangat masuk akal bagi kita untuk melakukannya, maka negara
lain telah "menang" dan Amerika Serikat telah "hilang."
Kedua, Menurut Trump perdagangan adalah mewakili semacam kontes kebanggaan, bahkan
kedewasaan. Ketika dia berbicara tentang perdagangan, dia hampir selalu mengatakan bahwa
negara- negara lain, terutama China, “menertawakan kita.” Ketika Amerika, katakanlah, membeli
barang- barang konsumen murah dari luar negeri, itu berarti Amerika adalah pengisap dan curang.
(Paul Waldman, 2018. Reff: https://www.washingtonpost.com/blogs/plum-line/wp/2018/03/02/the-
real- reason-trump-wants-to-start-a-trade-war/?noredirect=on&utm_term=.7164e2a5b2c8).
Selain itu, Trump secara jelas menganut aliran Mercantilism. John J. Wild dan Kenneth L.
Wild dalam bukunya International Business – The Challenges of Globalization, Global Edition - 2016,
menyatakan bahwa dalam teori Mercantilism negara-negara harus mengumpulkan kekayaan
finansial, biasanya dalam bentuk emas, dengan mendorong ekspor dan mengurangi impor. Praktek
mercantilism bertumpu pada tiga pilar penting yaitu: surplus perdagangan (1), intervensi pemerintah
(2), dan kolonialisme (3).
Melalui surplus perdagangan yang besar mereka percaya bahwa mereka dapat
meningkatkan kekayaan dengan mempertahankan surplus perdagangan, yaitu kondisi yang terjadi
ketika nilai ekspor suatu negara lebih besar daripada nilai impornya. Dalam mercantilism, surplus
perdagangan berarti bahwa suatu negara mengambil lebih banyak emas pada penjualan ekspornya
daripada membayar untuk impornya. Defisit perdagangan adalah kondisi sebaliknya, yang terjadi
ketika nilai impor suatu negara lebih besar daripada nilai ekspornya. Dalam mercantilism, defisit
perdagangan harus dihindari dengan segala cara. Inilah yang saat ini Donald Trump terapkan,
khususnya kepada China, Kanada dan Uni Eropa dimana Amerika Serikat mengalamai defisit
perdagangan yang dalam, untuk melakukan politik perdagangan proteksionisme dengan
mengenakan tarif impor pada berbagai produk.
Menurut mercantilism, akumulasi kekayaan bergantung pada peningkatan surplus
perdagangan suatu negara, tidak perlu memperluas nilai total atau volume perdagangannya.
Pemerintah negara-negara mercantilist melakukan ini dengan melarang impor tertentu atau
memberlakukan berbagai pembatasan pada mereka, seperti tarif atau kuota. Pada saat yang sama,
negara-negara mensubsidi industri yang berbasis di negara asal untuk memperluas ekspor.
Pemerintah juga biasanya melarang terjadinya capital flight ke negara lain.

Kebijakan Trump Memicu Pembalasan


Ketika ketegangan perdagangan meningkat antara AS dan China, IMF dan bank sentral telah
meningkatkan peringatan bahwa konfrontasi dapat mencederai pemulihan global. Sejauh ini IMF
masih berpegang pada perkiraan bahwa ekonomi dunia akan tumbuh 3,9 % tahun ini dan proyeksi
berikutnya yang belum berubah sejak April. Tetapi telah memperingatkan bahwa eskalasi
ketegangan dapat menekan pertumbuhan dalam jangka menengah. Sementara itu, Bank Sentral
Eropa telah memperingatkan bahwa pertempuran tit-for-tat (Tit for tat adalah strategi yang
didasarkan pada konsep pembalasan. Strategi Tit for Tat diperkenalkan oleh Anatol Rapoport pada
1981), atas sanksi antara AS dan China dapat merusak pertumbuhan di kawasan Euro dan
meninggalkan tarif AS di level tertinggi mereka selama setengah abad.
Financial Times melihat konsekuensi ekonomi dari perang dagang Donald Trump dan
konfrontasi lainnya. Washington dan Beijing memberlakukan tarif hukuman pada 34 Miliar USD
impor dari satu sama lain bulan lalu - untuk China, setara dengan 7% dari ekspor ke AS - dan
ditetapkan untuk memberlakukan bea pada tambahan 16 Miliar USD pada 23 Agustus. Mereka telah
mengancam untuk meningkatkan perang lebih lanjut, dengan presiden AS Donald Trump
menyarankan bahwa AS mungkin memperkenalkan bea atas total tahunannya 500 miliar USD dalam
impor dari China.
Selain itu, AS mengenakan tarif untuk impor baja dan aluminium, yang memicu tegas
pembalasan dari Kanada, Meksiko, dan UE. Meskipun ketegangan dengan Eropa telah berkurang
setelah pertemuan antara Trump dan Jean-Claude Juncker, tetapi Trump belum bisa menindaklanjuti
ancaman untuk memberlakukan tarif pada mobil Eropa.

Pengaruh Perang Tarif Terhadap Ekonomi Dunia


Sejauh ini, hambatan tarif baru untuk perdagangan memiliki dampak yang sangat kecil
terhadap kegiatan ekonomi dunia. Tarif baru yang diumumkan mempengaruhi sebagian kecil dari
ekonomi dunia.
Gabriel Sterne, kepala penelitian makro di konsultan Oxford Economics, menghitung bahwa,
jika tarif baru berlaku hanya akan mempengaruhi 4 % dari impor dunia. Namun demikian, Mark
Carney, Gubernur Bank of England, menyatakan bahwa bukti sementara tentang perang tarif
berberdampak pada arus perdagangan. Dia menambahkan ada perlambatan dalam pesanan barang
modal dalam perdagangan.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah ada ancaman terhadap kepercayaan bisnis yang lebih
luas dan memukul harga aset, yang mengarah ke kondisi keuangan yang lebih ketat? Bukti yang
paling jelas berasal dari survei manufaktur, menunjukkan kelemahan yang meluas dalam pesanan
ekspor di banyak negara, meskipun kegiatan secara keseluruhan masih ringan. Pada bulan Juli,
indeks manufaktur ISM AS tergelincir ke level terendah dalam 12 bulan, di zona euro pesanan ekspor
baru jatuh ke level terendah dalam dua tahun terakhir, dan survei lain menunjukkan laju ekspansi
yang lebih lambat di Cina dan tempat lain di Asia. Lebih tidak menyenangkan lagi, adalah terjadi
penurunan tajam di bulan Juni dalam output manufaktur Jerman. Sebagian besar karena penurunan
pesanan dari luar zona euro. Ada juga beberapa tanda-tanda pesanan barang-barang impor yang
kemungkinan akan terpengaruh oleh tarif. Arus perdagangan bisa turun tajam.
Menurut para ekonom, banyak yang melihat hanya sedikit penurunan dalam ekonomi
global, bahkan jika ada kehilangan pekerjaan dan harga yang lebih tinggi untuk konsumen. Ini
sebagian karena AS telah melakukan stimulus fiskal. China memiliki perangkat kebijakan lain untuk
mendukung pertumbuhan, dan depresiasi baru-baru ini dalam renminbi akan melunakkan pengaruh
tarif pada eksportirnya.
Mr Sterne di Oxford Economics memperkirakan bahwa eskalasi konflik perdagangan dapat
menyebabkan kerugian kumulatif 0,7 % dalam produk domestik bruto global pada tahun 2020. Tapi
Barry Eichengreen, seorang profesor di Berkeley, memperingatkan bulan lalu bahwa "model
ekonomi standar terkenal buruk dalam menangkap efek ketidakpastian ekonomi makro, yang
menciptakan perang perdagangan dengan pembalasan."
Faktor lain yang krusial adalah perang dagang menciptakan putaran pembalasan dan
putaran tanggapan yang akan menciptakan iklim yang sama sekali berbeda. Harus menilai kedua
efek langsung, yang mungkin signifikan. (Delphine Strauss, 2018. Reff:
https://www.ft.com/content/ec8f616e-9fd9-11e8-85da-eeb7a9ce36e4 ).

Politik Perdagangan Amerika Serikat


Kalo kita cermati lebih dalam kebijakan proteksionisme Trump disebabkan oleh dua faktor
utama, yaitu janji politik domestik dan faktor ekternal perebutan hegemoni internasional. Kalo kita
cermati data IMF menunjukan sejak tahun 2014 China dari segi GDP PPP telah melebihi Amerika
Serikat, sebagai kekuatan ekonomi nomor datu dunia, meskipun dari segi GDP nominal, sesuai
prediksi IMF di tahun 2018 ini masih terpaut 4.000 triliyun USD dimana Amerika Serikat 19.000
Triliyun dan China 15.000 Trilyun USD. Namun yang paling menonjol perbedaan dari Amerika dengan
China adalah China mengalami surplus yang cukup besar dengan Amerika, dari total nilai
perdagangan kedua negara selama 2017, China export 80% sedangkan Amerika export 20%. Kalo
tidak dibatasi, bukan tidak mungkin suatu saat dalam waktu yang cepat China akan menyalip
Amerika sebagai kekuatan ekonomi nomor 1 dania dari segi GDP nominal.
Sebagai penguasa ekonomi dunia, Amerika Serikat saat ini diuntungkan dengan mata uang
dollar Amerika Serikat sebagai Foreign Reserve Currency. Sehingga meskipun trade balance negatif,
tidak berpengaruh terhadap Foreign exchange reserve atau cadangan devisa. Apalagi perdagangan
jasa yang positif serta net factor payment dan capital account yang masih positif. Sehingga
sebenarnya Current Account Deficit (CAD) Amerika masih 2.5% dari GDP dan masih tergolong aman.
Angka ini mirip dan hampir sama dengan CAD Indonesia yang diprediksi sebesar 2.5% di tahun 2018.
Bahkan laporan terakhir setelah kebijakan Trump Tarif ini CAD Amerika Serikat turun menjadi
sebasar 2% dari GDP. Disini menunjukan bahwa CAD adalah bukan ancaman bagi ekonomi AS.
Tetapi peningkatan GDP China bisa menyebabkan jarak yang semakin sempit dengan AS dan
ketakuan yang paling dalam adalah apabila Foreign Reserve Currency berubah dari USD menjadi
Yuan. Bukan tidak mungkin ketika China menjadi kekuatan ekonomi nomor satu dunia, negara-
negara yang berafiliasi dan yang memiliki ketergantungan besar menjadikan cadangan devisa beralih
ke Yuan. Pada saat ini lah maka USD akan bergantung kepada Yuan China, dan harus mengendalikan
cadangan devisa dalam Yuan.
Namun demikian, sebelum yuan dapat menjadi mata uang global, ia harus terlebih dahulu
berhasil sebagai mata uang cadangan devisa. Itu akan memberi China lima manfaat berikut. Yuan
akan digunakan untuk menetapkan harga lebih banyak kontrak internasional (1). China mengekspor
banyak komoditas yang secara tradisional dihargai dalam dolar AS. Jika mereka diberi harga dalam
yuan, China tidak perlu khawatir tentang nilai dolar (2). Semua bank sentral harus memegang yuan
sebagai bagian dari cadangan devisa mereka. Yuan akan memiliki permintaan yang lebih tinggi. Itu
akan menurunkan suku bunga untuk obligasi dalam mata uang yuan (3). Eksportir China akan
memiliki biaya pinjaman yang lebih rendah (4). China akan memiliki pengaruh ekonomi yang lebih
besar dalam hubungannya dengan Amerika Serikat. Itu akan mendukung reformasi ekonomi
Presiden Xie Jinping.

Gagan Gandara
E66. K15181232
Mahasiswa Magister Manajemen Sekolah Bisnis IPB
Tulisan merupakan tugas akhir mata kuliah Internasional Bisnis
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai