Anda di halaman 1dari 9

Trade War Impact on Vietnam: One of the Biggest Winner

Disusun Oleh:
Adnan Yasir (1906387221)

Dosen Pengajar:
Mohamad Dian Revindo, Ph.D.
Tanggal Pengumpulan:
Minggu, 26 Desember 2021

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS INDONESIA
2021
STATEMENT OF AUTHORSHIP

Dalam ujian mata kuliah Ekonomi Internasional ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Adnan Yasir


NPM : 1906387221

menyatakan dengan sejujurnya bahwa:

1. Saya tidak menerima dan/atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dari/
kepada mahasiswa lain dalam pengerjaan soal ujian.

2. Saya tidak melakukan plagiat atau mengambil sebagian/seluruh hasil kerja orang lain
dan mengakuinya sebagai hasil kerja saya.

3. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman


sesuai dengan aturan akademik yang berlaku pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia

Tangsel, 26 Desember 2021

(Adnan Yasir)

A. Pendahuluan dan Latar Belakang


Pada kuartal pertama 2018, Presiden Amerika Serikat (AS) saat itu, Donald Trump,
mengumumkan kebijakan perdagangan luar negeri berupa pengenaan pajak tinggi terhadap impor
barang besi (25%), alumunium (10%), panel surya (30%), dan mesin cuci (20%) kepada negara
pengimpor (York, 2021). Keputusan yang ditetapkan secara sepihak tersebut dianggap sebagai titik awal
terjadinya perang dagang (Nguyen, 2021). Pasalnya, beberapa negara merespon kebijakan tersebut
dengan turut meningkatkan tarif dagang terhadap barang ekspor AS, terutama Tiongkok. Seperti contoh
pada April 2018, Tiongkok mengenakan pajak sebesar 15% terhadap 120 produk impor dari AS seperti
babi dan buah. Namun setelah itu AS pun kembali membalas hingga kemudian dibalas kembali oleh
Tiongkok. Kejadian saling membalas penetapan tarif secara terus-menerus itulah yang menjadi runtutan
peristiwa terjadinya perang dagang.

Selama kurang lebih dua tahun, kedua belah pihak sudah banyak melakukan penetapan tingkat
tarif di berbagai jenis atau volume barang termasuk juga melakukan perjanjian seperti phase-one
agreement. Intensifikasi perang dagang AS-Tiongkok disebut akan mulai mereda setelah era
pemerintahan Donald Trump digantikan Joe Biden pada awal tahun 2021. Hal itu seperti yang dikatakan
Joe Biden saat wawancara dengan The New York Times pada Desember 2020: “I’m not going to make
any immediate moves, and the same applies to the tariffs,”.

Adapun hasil dari perang dagang antar dua negara tersebut berpotensi terhadap penurunan
PDB AS sebesar 0.2% dan penurunan PDB Tiongkok sebesar 0.5% (Abiad et al., 2019). Tercatat pada
periode 2020, neraca perdagangan AS terhadap Tiongkok mengalami defisit sebesar 310,263 juta USD,
sedangkan neraca perdagangan Tiongkok tehadap AS mengalami surplus sebesar 307,061 juta USD
(Mullen, 2021; US Cencus Bureau, 2021). AS yang mayoritas mengenakan tarif tinggi terhadap produk
bahan input mengakibatkan industri AS mengalami kesulitan karena supply menjadi menurun dan harga
supply domestik naik (Nguyen, 2021). Dari sisi Tiongkok, pengenaan tarif yang tinggi membuat mereka
mengurangi ekspor ke AS dan kehilangan banyak konsumen, sehingga mereka terpaksa mencari negara
lain sebagai pengganti AS (Nguyen, 2021).

Perang dagang antar dua negara ekonomi terbesar tersebut juga memberikan dampak secara
global, termasuk negara-negara Uni Eropa dan Asean. Perdagangan global kemungkinan terus melambat
selama kedua negara tersebut saling menghambatan akses perdagangan melalui kenaikan tarif. Namun
yang menarik perhatian adalah dampaknya terhadap negara-negara berkembang di ASEAN-5 (Indonesia,
Malaysia, Philippines, Thailand, dan VietNam) yang justru cukup memberi dampak positif. Asian
Development Bank (2019) mencatat, negara-negara Asean mendapat potensi keuntungan seperti
kenaikan GDP, kenaikan ekspor, kenaikan tenaga kerja, dan neraca pembayaran akibat adanya trade
war yang dilakukan AS-Tiongkok. Hal tersebut diakrenakan mereka memproduksi dan mengeskpor
barang yang lebih kompetitif dibandingkan produk yang dikenakan tarif. Diantara negara ASEAN-5,
Vietnam merupakan yang paling banyak menerima benefit dibanding lainnya.

Studi dari Abiad et al. (2019) menunjukkan Vietnam mendapatkan benefit paling tinggi baik
dibanding negara Asean lainnya dari segi peningkatan PDB, jumlah ketenagakerjaan, dan ekspor akibat
adanya perang dagang. Potensi kenaikan GDP Vietnam sebesar (2.2%), diikuti oleh Malaysia (0.5%);
Thailand (0.3%); Philipina (0.2%); dan Indonesia (0.1%). Dari sisi kenaikan ekspor Vietnam meningkat
7.3%, diikuti oleh Malaysia (1.9%); Philipina (1.6%); Thailand (1.1%); dan Indonesia (0.8%). Dari sisi
potensi kenaikan jumlah tenaga kerja Vietnam meningkat 652.000, diikuti oleh Indonesia (186.000);
Thailand (184.000); Malaysia (63.000); dan Philipina (33.000).

Sejak perang dagang AS-Tiongkok dimulai, pertumbuhan GDP Vietnam pada tahun 2018 dan
2019 mencapai angka 7% (WorldBank, n.d). Angka tersebut merupakan tingkat pertumbuhan ekonomi
tertinggi dalam dekade terakhir. Perekonomian Vietnam diperkirakan akan lebih besar dibandingkan
Singapura pada 2029 mendatang (DBS, 2019). Dari fakta tersebut, maka penulis mencoba menganalisis
lebih lanjut bagaimana dampak perang dagang AS-Tiongkok bisa mempengaruhi perekonomian
Vietnam. Apa saja faktor yang membuat Vietnam menjadi The Biggest Winner dari hasil perang dagang.
Apa saja dampak positif dan negatif terhadap Vietnam baik dari sisi ekonomi dan politik. Sebelum
beranjak lebih lanjut penulis akan memaparkan beberapa teori yang berkaitan dengan topik yang akan
dibahas.

B. Teori dan Tinjauan pustaka

Teori liberalisasi perdagangan

Liberalisasi adalah suatu ideologi, pandangan filosofis dan tradisi politik yang berprinsip pada
kebebasan dan persamaan. Filosofi liberalisme dicetuskan oleh Thomas Hobbes (1588–1679) dan John
Locke (1632–1704). Secara umum liberalisasi menekankan pada upaya pencapaian hak individu seperti
kebebasan berpikir, berpendapat, dan beragama. Dalam ruang lingkup ekonomi, menurut Adam Smith,
konsep liberalisme mencakup kebebasan individu dalam memiliki hak untuk memproduksi serta
menukar tenaga kerja dan modal, melakukan usaha sendiri dan membantu kepentingan dari orang lain,
serta bersaing dalam kegiatan produksi barang dan/atau jasa.

Liberalisasi perdagangan (trade liberalization) sendiri merupakan penghilangan atau


pengurangan hambatan pada arus barang dan jasa antar negara melalui kebijakan tarif dan non-tarif
yang bertujuan untuk mencapai kebebasan berdagang (Acharya, 2015). Berdasarkan teori Heckscher-
Ohlin, liberalisasi perdagangan terjadi atas dasar tindakan perdagangan internasional dimana suatu
negara memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) untuk mengekspor barang yang
menciptakan penggunaan secara intensif dari sumber daya yang berlimpah. Studi dari Wacziarg & Welch
(2008) menemukan bahwa negara yang meliberalisasi perdagangannya, terutama negara berkembang,
akan mendapatkan keuntungan seperti kenaikan pertumbuhan ekonomi, tingkat investasi, dan tingkat
keterbukaan. Liberalisasi perdagangan juga memberikan dampak buruk seperti ketimpangan
pendapatan dan ketidakstabilan sosial dan politik.

Teori proteksionisme

Proteksionisme merupakan kebalikan dari liberalisasi perdagangan, yang berarti menghambat


perdagangan internasional. Proteksionisme dilakukan untuk melindungi kepentingan di dalam negeri
seperti aspek kualitas, higenitas, pekerja, lingkungan, keselamatan, dan keaslian (Nguyen, 2021).
Kebijakan proteksionisme dilakukan untuk melindungi industri domestik dari persaingan luar negeri
melalui penetapan tarif bea masuk impor, pembatasan kuota, dan juga melalui non-tarif seperti subsidi
dan peraturan. Contoh dari tindakan proteksionisme diantaranya seperti anti-dumping, countervailing,
tax avoidance, dan safeguard measures (Lam Thanh Ha, 2019). Kebijakan ini biasa dilakukan oleh negara
yang sedang mengalami kesulitan ekonomi dan kehilangan pekerjaan yang diperparah oleh adanya
persaingan luar negeri (Britannica, 2020).

Kebijakan proteksionisme memberi beberapa keuntungan seperti: mengurangi persaingan


dengan barang impor, melinidungi dan memperkuat industri pasar domestik, dan membantu
meningkatkan daya saing sektor manufaktur untuk bersaing di pasar global. Di sisi lain proteksionisme
juga memberi kerugian seperti: membuat negara terisolasi dari tren globalisasi, menimbukan stagnasi
antar produsen, menurunkan kualitas barang sekaligus harga barang semakin mahal. Jika kebijakan ini
diterapkan, kemungkinan negara tersebut akan menerima tekanan dari luar maupun dalam. Oleh karena
itu, kebijakan proteksionisme akan sulit dilakukan karena tak ada yang tahu kemungkinan yang terjadi
khususnya saat perang dagang.

C. Analisis

Dampak Positif

Salah satu dampak positif bagi Vietnam dari adanya perang dagang yaitu meningkatnya ekspor
untuk produk-produk tertentu ke AS dan Tiongkok (Lam Thanh Ha, 2019). Selama beberapa tahun, AS
dan Tiongkok merupakan urutan pertama dan kedua pangsa pasar ekspor terbesar Vietnam. Pada 2019,
proporsi ekspor Vietnam ke AS mencapai 23% dan Tiongkok mencapai 15% dari total ekspor. Pada 2019
jumlah ekspor Vietnam-AS meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya sebesar 30%, dimana nilai
ekspor mencapai 61 Miliar USD. Neraca perdagangan Vietnam-AS di tahun yang sama juga mengalami
kenaikan surplus dimana nilai surplus mencapai 47 miliar USD (Lihat Grafik 3.1a). Sedangkan jumlah nilai
ekspor Vietnam ke Tiongkok pada tahun 2019 cenderung stagnan dibandingkan tahun sebelumnya
dimana masih berada di angka 41 miliar USD (Lihat Grafik 3.1b).

Gambar 3.1 Perdagangan Vietnam dengan AS dan Tingkok (2017-2019)

(a) Source: WITS, 2021 (diolah) (b)

Di sisi lain, nilai impor barang Vietnam dari Tiongkok justru meningkat sebesar 15% dimana pada
tahun 2019 mencapai 75 miliar USD. Neraca perdagangan Vietnam-Tiongkok juga mengalami kenaikan
defisit dimana pada 2019 mencapai 34 miliar USD. Seperti diketahui bahwa proporsi terbesar impor
Vietnam datang dari Tiongkok dan Korea Selatan (WITS, 2021). Pada grafik dibawah dapat dilihat bahwa
kenaikan ekspor Vietnam ke AS lebih tinggi dibandingkan ke Tiongkok dan kenaikan impor Vietnam dari
AS lebih rendah dibandingkan dari Tiongkok.

Jenis produk ekspor Vietnam ke AS didominasi oleh produk mesin/alat elektronik dan
tekstil/baju. Pada tahun 2019, proporsi ekspor produk mesin/alat elektronik ke AS sebesar 33% dan
tekstil/baju sebesar 25% dari semua jenis produk. Data dari WITS menunjukkan pada 2019 nilai impor
mesin/alat elektronik sebesar 20 miliar USD, meningkat dibanding tahun 2018 sebesar 12 miliar USD.
Menurut International Trade Commission, impor telepon genggam dari Vietnam ke AS meningkat dua
kali lipat pada 4 bulan pertama 2019 dibandingkan periode yang sama di tahun lalu, lalu impor
komputer juga meningkat 79% di periode yang sama. Di sisi lain, nilai ekspor mesin/elektornik dari
Tiongkok ke AS justru menurun dari sebesar 222 miliar USD pada tahun 2019 menurun ke 192 miliar
USD di tahun 2019.

Menurut Yasuyuki Sawada, pimpinan ekonomi Asian Development Bank, Vietnam utamanya
mendapat banyak keuntungan dari adanya perang dagang dikarenakan barang-barang Tiongkok yang
dikenakan tarif oleh AS ternyata juga dikonsumsi dan diproduksi di Vietnam. Dengan begitu, Vietnam
dapat mengekspor barang-barang tersebut langsung ke AS, dan mendapatkan lebih banyak pangsa pasar
karena harganya lebih kompetitif. Salah satu strategi yang dilakukan Vietnam adalah dengan membeli
barang dari Tiongkok – barang yang AS kenakan tarif terhadap Tiongkok – dengan harga murah, lalu
menjualnya kembali ke AS dengan harga yang lebih tinggi (Diabora, 2020). Sehingga dengan fakta bahwa
AS sebagai target ekspor terbesar dan Tiongkok sebagai supply impor terbesar, maka Vietnam sangat
diuntungkan pada situasi ini.

Dampak Negatif

Dampak negatif dari adanya perang dagang AS-Tiongkok bagi Vietnam muncul akibat
pemanfaatan Vietnam sebagai tempat transit barang (transshipment) (Lam Thanh Ha, 2019; (Nguyen,
2021). Hambatan tarif oleh AS membuat Tiongkok mencari jalur perdagangan perantara agar barang
Tiongkok tetap dapat masuk ke AS dan terhindar dari tarif. Hal itu dilakukan dengan transit barang lewat
Vietnam kemudian lanjut dikirim ke AS. Sebagai contoh, produk baja Tiongkok yang dibawa ke Vietnam
lalu dikemas ulang seakan-akan menjadi produk ekspor dari Vietnam. Tindakan tersebut tentu akan
menaikkan ketidakstabilan politik antara Vietnam dengan AS. Kenaikan tensi politik antara AS dengan
Vietnam seperti contoh tindakan AS yang menetapkan tarif sebesar 400% pada produk plat besi dan besi
gulung. Bahkan pada Juni 2019, Presiden AS Donald Trump menyebut Vietnam sebagai “ the single worst
abuser of everybody” dalam perang dagang (The Guardian, 2019).

Dampak negatif dari segi ekonomi yaitu defisit perdagangan terhadap Tiongkok yang semakin
meningkat akibat tingginya impor. Hal itu berimbas pada para pengusaha domestik Vietnam yang harus
menghadapi ancaman persaingan harga impor barang dari Tiongkok yang lebih kompetitif. Pasar
domestik Vietnam yang terdampak seperti industri besi, furnitur, dan pengolahan kayu (Nguyen, 2021).

D. Penutup dan Kesimpulan


Fenomena perang dagang AS-Tiongkok membuka wawasan yang lebih luas dalam perspektif
ilmu ekonomi internasional. Hal itu terkait erat dengan bagaimana suatu negara harus memutuskan
untuk mengambil langkah kebijakan perdagangan luar negeri baik secara liberalisme atau
proteksionisme. Pemilihan kebijakan diantara keduanya harus melalui berbagai pertimbangan mulai dari
aspek politik, sosial, dan geografis suatu negara. Selain itu, keputusan untuk lebih berpihak kepada AS
atau Tiongkok atau bahkan tidak memihak sama sekali harus dilihat cost and benefit dari masing-masing
pilihan. Dalam kasus ini, Vietnam mampu mengambil langkah tepat dalam rangka meningkatkan nilai
ekspor yang akhirnya mampur mendorong perekonomian.

Pemerintah Indonesia sebagai pengambil kebijakan perlu waspada dalam menyikapi adanya
perang dagang. Ketidakpastian dan ketidakstabilan ekonomi politik akibat dari perang dagang, ditambah
lagi adanya pandemi, tentu harus berhati-hati dalam mengambil langkah kebijakan. Terlebih kedua
negara adidaya tersebut merupakan mitra dagang utama Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia harus
bersikap netral dengan tidak mengambil kesempatan untuk meraup keuntungan semata. Sebaiknya
pemerintah terus berupaya menjaga kestabilan hubungan bilateral antara AS maupun Tiongkok. Adanya
perang dagang tentu menghambat pergerakan ekonomi yang pada akhirnya berimbas pada industri di
Indonesia. Oleh karena itu pemerintah perlu memberikan kebijakan proteksi untuk melindungi para
pelaku usaha domestik dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia sebaik mungkin.
Daftar Pustaka

Abiad, A., Baris, K., Bernabe, J. A., Bertulfo, D. J., Camingue, S., Feliciano, P. N., Mariasingham, M., &
Mercer-Blackman, V. (2019). The Impact of Trade Conflict on Developing Asia. SSRN Electronic
Journal, 566. https://doi.org/10.2139/ssrn.3339178

Iseas, R. A. T. (2019). The US-China Trade War : Impact on Vietnam. 102, 1–13.

Nguyen, H. T. (2021). China-US trade war and risks f or Vietnam ’ s economy. 2(January 2020), 86–91.

Seah, I. (2019). Understanding Vietnam: The rising star. Dbs, Chart 2, 1–11.
https://www.dbs.com.sg/sme/aics/templatedata/article/generic/data/en/GR/
052019/190528_insights_Vietnam_rising_star.xml

Acharya S. (2015) Trade Liberalization. In: Hölscher J., Tomann H. (eds) Palgrave Dictionary of Emerging
Markets and Transition Economics. Palgrave Macmillan, London. https://doi.org/10.1007/978-1-137-
37138-6_21

World Bank. (n.d). GDP growth (annual %) – Vietnam. Diakses melalui:


https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD.ZG?locations=VN

US Cencus Bureau. (2021). Trade in Goods with China. Diakses melalui: https://www.census.gov/foreign-
trade/balance/c5700.html

Mullen, Andrew. (2021). US-China relations: is there still a trade war under Joe Biden’s presidency?.
South China Morning Post. Diakses melalui:
https://www.scmp.com/economy/global-economy/article/3134191/us-china-relations-there-still-
trade-war-under-joe-bidens

Friedman, Thomas L. (2020). Biden Made Sure ‘Trump Is Not Going to Be President for Four More Years’.
New York Times. Diakses melalui: https://www.nytimes.com/2020/12/02/opinion/biden-
interview-mcconnell-china-iran.html

York, Eriaca. (2021). Tracking the Economic Impact of U.S. Tariffs and Retaliatory Actions. Taxfoundation.
Diakses melalui: https://taxfoundation.org/tariffs-trump-trade-war/#timeline

Statista. (2019). U.S. Imports From Vietnam Surge at China's Expense. Diakses melalui:
https://www.statista.com/chart/18483/change-in-us-goods-imports-from-top-partners/.

Development Bank of Singapore. (2019). “Understanding Vietnam: The rising star”. Diakses melalui:
https://www.dbs.com/aics/templatedata/article/generic/data/en/GR/052019/190528_insights_Vi
etnam_rising_star.xml
Wacziarg, R., & Welch, K. H. (2008). Trade liberalization and growth: New evidence. World Bank
Economic Review, 22(2), 187–231. https://doi.org/10.1093/wber/lhn007

Britannica, T. Editors of Encyclopaedia (2020, May 15). protectionism. Encyclopedia Britannica.


https://www.britannica.com/topic/protectionism

World Integrated Trade Solution (WITS). (2021). Vietnam Product exports and imports to United States
2017-2019. World Bank. Diakses melalui:
https://wits.worldbank.org/CountryProfile/en/Country/VNM/Year/2019/TradeFlow/EXPIMP/
Partner/USA/Product/all-groups

World Integrated Trade Solution (WITS). (2021). Vietnam Product exports and imports to China 2017-
2019. World Bank. Diakses melalui:
https://wits.worldbank.org/CountryProfile/en/Country/VNM/Year/2019/TradeFlow/EXPIMP/
Partner/CHN/Product/all-groups

Diabora, I. (2020). Vietnam’s Strategy in Taking Advantage Of Trade War Between Us-China In 2018-
2019. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogayakarta.

The Guardian. (2019). Trump warns China is 'ripe' for new tariffs and suggests Vietnam could be next.
Diakses melalui: https://www.theguardian.com/business/2019/jun/27/trump-warnschina-is-ripe-
for-new-tariffs-and-suggests-vietnam-could-be-next.

Anda mungkin juga menyukai