Anda di halaman 1dari 5

TUGAS 3

ANALISIS PEMBANGUNAN EKONOMI (ESPA4424)

1. Berikut nilai ekspor dan impor Industri Pengolahan Indonesia Tahun 2018 (kemenperin.go.id)

Mengapa nilai impor Indonesia lebih besar dari nilai ekspor pada tahun 2018

2. Apakah Indonesia sudah siap menghadapi Asean-China Free Trade Area (ACFTA)
3. Apakah pembangunan sektor industri Indonesia sudah sesuai dengan pembangunan ekonomi
yang berkelanjutan (sustainable economic development)

Jawaban :

1.

Meningkatnya nilai impor sebesar 11,28% menjadi US$16,09 miliar pada April 2018 diyakini
lebih konsumsi dan kebutuhan bahan baku dan barang modal menjelang Ramadan. Kepala
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan Kasan
Muhri menuturkan selain karena permintaan kebutuhan konsumsi menjelang Ramadan, kenaikan
impor bahan baku dan modal menandakan industri sedang tumbuh di dalam negeri. Setidaknya
ada dua faktor yang menyebabkan kenaikan impor, yakni permintaan konsumsi masyarakat,
pemenuhan bahan baku untuk industri dan barang modal untuk proyek infrastruktur. Sementara
faktor eksternal, pihaknya memprediksi akibat adanya dampak pengalihan pasar ekspor.
Sedangkan faktor nilai tukar belum dapat dilihat. Kenaikan impor bahan baku tersebut tentu
sebagai respon terhadap investasi dan operasional industri manufaktur baik yang orientasi ekspor
maupun untuk pasar dalam negeri, Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik nilai impor Indonesia
pada April 2018 mencapai US$16,09 miliar atau naik 11,28% dibanding Maret 2018. Angka ini
juga lebih baik jika dibandingkan April 2017 lebih baik 34,68% dibanding April ini. Adapun
produk impor nonmigas mencapai US$13,77 miliar pada April atau naik 12,68% dibanding
bulan sebelumnya. Sementara jika dibanding April 2017, angka ini meningkat 33,69%. Lain lagi
dengan impor migas yang mencapai US$2,32 miliar atau naik 3,62% dibanding Maret 2018 serta
naik 40,89% dibanding April 2017. Menurut data yang sama, China menempati urutan teratas
sebagai negara pemasok barang impot non migas dengan nilai US$13,92 miliar atau
berkontribusi terhadap impor sebesar 27,28%, disusul Jepang sebesar US$5,98 miliar (11,72%)
dan Thailand US$3,45 miliar (6,77%). Secara kawasan, impor non migas dari Asean mencapai
20,50% serta Uni Eropa berkontribusi untuk impor 9,21%.

Sementara itu, peningkatan impor nonmigas terbesar terjadi pada golongan mesin dan peralatan
listrik sebesar US$315,3 juta atau meningkat 20,87% dibanding bulan sebelumnya, sedangkan
penurunan terbesar adalah golongan kapal laut dan bangunan terapung sebesar mencapao
US$47,7 juta atau naik 36,55%. Nilai impor semua golongan penggunaan barang baik barang
konsumsi, bahan baku penolong dan barang modal selama Januari-April 2018 mengalami
peningkatan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Adapun barang konsumsi naik
sebesar 26,09%, bahan baku penolong meningkat 21,86% dan barang modal tertinggi
kenaikannya mencapai 31,04%. Kenaikan impor migas dan non migas disebabkan oleh naiknya
nilai impor keduanya, peningkatan impor migas disebabkan oleh naiknya impor minyak mentah
menjadi US$1.076,9 juta, meskipun impor hasil minyak dan gas turun masing-masing
US$215,0juta (4,11 persen) dan US$33,6 juta (3,65 persen).

2.

Indonesia siap menghadapi ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), meskipun ada
protes dari pelaku usaha yang merasa dirugikan, kata Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian
Luar Negeri RI Djauhari Oratmangun.

"Pemerintah siap menghadapi perdagangan bebas itu karena menganggap ACFTA lebih banyak
memberi keuntungan bagi Indonesia. Kami menyayangkan jika banyak pelaku usaha
menyatakan tidak siap menghadapi ACFTA," katanya di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia pada temu media perkembangan kerja sama ASEAN, ACFTA sebenarnya justru
menggairahkan para pelaku usaha untuk lebih kreatif dan efisien. Selama ini banyak pelaku
usaha selalu mengatakan tidak siap, padahal kenyataannya siap.

Ia mengatakan jumlah "tariff lines" produk yang berhasil diberlakukan dalam perdagangan bebas
tersebut jauh lebih banyak ketimbang yang bermasalah, karena dari 8.000 total "tariff lines" yang
ada, yang mengalami masalah hanya 238 "tariff lines".
Ke-238 "tariff lines" itu adalah mereka yang merasa rugi dengan adanya persaingan dalam
ACFTA. Artinya, ada 7.000 lebih "tariff lines" yang diuntungkan dengan adanya ACFTA.

"Mereka yang diuntungkan itu cenderung diam dan tidak mempermasalahkan ACFTA,
ketimbang mereka yang merasa dirugikan," katanya.

Ia mengatakan keyakinan ACFTA akan memberi keuntungan juga didasarkan pada posisi
Indonesia sebagai pemain utama dalam perdagangan bebas di kawasan ASEAN, yang dibuktikan
dengan terpilihnya Indonesia sebagai anggota G21.

Hal itu sebenarnya menimbulkan kecemburuan luar biasa dari negara ASEAN yang lain,
sehingga disayangkan jika Indonesia tidak mengambil kesempatan berkompetisi dalam ACFTA.

"Jika Indonesia mundur dari ACFTA, kesempatan itu akan diambil negara anggota ASEAN
lainnya, terutama Malaysia dan Singapura. Apalagi, saat krisis ekonomi kembali melanda dunia,
hanya ada tiga negara yang mengalami pertumbuhan positif, yakni Indonesia, China, dan India,"
katanya.

Namun demikian, menurut dia, pemerintah juga perlu melakukan pembenahan di sejumlah
sektor dalam menghadapi ACFTA, di antaranya menurunkan bunga perbankan yang saat ini
dinilai sangat tinggi, yakni 15 persen.

Selain itu, pemberlakuan nilai pajak untuk para pelaku usaha juga perlu dipertimbangkan agar
tidak memberatkan mereka dalam mengekspor produknya.

Dalam waktu dekat, menurut dia pemerintah juga akan mengkaji ulang pemberlakuan ACFTA
bagi Indonesia.

3.

Indonesia tengah melihat konsep ekonomi keberlanjutan sebagai peluang untuk meningkatkan
pertumbuhan dan daya saing sektor manufaktur. Upaya yang dilakukan, misalnya melalui
pelestarian lingkunganserta peggunaan teknologi bersih, biokimia, dan energi terbarukan.

Oleh karenanya, pemerintah akan berusaha memenuhi persyaratan keberlanjutan di masa


mendatang, dengan membangun iklim usaha yang kondusif melalui pemberian insentif baik
fiskal maupun non-fiskal untuk investasi yang ramah lingkungan

Dalam hal ini, Kemenperin telah mengeluarkan kebijakan industri hijau sesuai amanat Undang-
Undang Nomor 3 tahun 2015 tentang Perindustrian. Program kerja yang mendukung konservasi
lingkungan ini juga dituangkan di dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
(RIPIN) 2015-2035.
Industri manufaktur berperan penting dan memberikan dampak luas dalam mewujudkan circular
economy di Indonesia, Konsep circular economy juga dinilai berkontribusi besar dalam
menerapkan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan yang menjadi tujuan ke-12 pada
Sustainable Development Goals (SDGs).Untuk itu, Kemenperin memberikan apresiasi terhadap
pelaksanaan acara “Coca Cola Amatil Indonesia Bali’s Big Eco Weekend 2018” yang
merupakan bentuk dukungan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Contohnya, dengan
mendirikan pusat pelatihan di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Seminyak serta
menjalankan program Kolaborasi Bali Beach Clean Up 2018-2019.

Bagi masyarakat dan ekonomi inklusif seperti Indonesia maupun di negara lainnya,
keseimbangan antara pembangunan ekonomi, keadilan sosial dan kemajuan serta keberlanjutan
ekologi harus dirumuskan secara jelas. Proses transformasi ini harus dibentuk secara politis serta
mengakar di dalam masyarakat. Isu-isu seperti kebijakan dan hubungan industri, sistem
pendidikan, perpajakan yang adil serta ketimpangan ekonomi memainkan peranan penting dalam
hal ini.

Sejak awal 1990-an, Indonesia telah menjadi negara berpendapatan menengah (bawah). Tingkat
pertumbuhan Indonesia, meskipun lebih tinggi dibandingkan mayoritas negara berkembang
lainnya, masih berada di bawah negara-negara Asia Timur yang tumbuh amat dinamis selama
beberapa tahun terakhir, sementara ketimpangan ekonomi meningkat secara signifikan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dua tahun terakhir berfluktuasi sekitar 5 persen.
Menurunnya pertumbuhan ekonomi di pasar ekspor utama serta melemahnya harga komoditas
baru-baru ini semakin menambah tantangan bagi kinerja ekonomi Indonesia. Namun, beberapa
pengamat mengatakan bahwa hal ini juga memberikan peluang untuk meningkatkan kualitas dan
keragaman investasi di Indonesia. Dalam satu dekade terakhir, tingginya harga komoditas telah
mendorong insentif investasi yang menguntungkan sektor sumber daya dan non-perdagangan
(khususnya sektor real estate), serta merugikan sektor manufaktur dan perdagangan. Sejak 2005,
komoditas telah menggantikan manufaktur sebagai ekspor terbesar Indonesia. Namun ke depan,
melemahnya harga komoditas harus meningkatkan keuntungan relatif dan daya tarik sektor
manufaktur Indonesia. Hal ini dapat membantu Indonesia untuk mengembangkan basis
industrinya, menciptakan lebih banyak lapangan kerja, serta memajukan hubungan industri yang
baik sehingga mengurangi ketimpangan ekonomi dan sosial.

Melalui kerjasama erat dengan mitra kami dari Kemenko PMK, lembaga-lembaga pemerintah
terkait lainnya, serta masyarakat sipil, FES berkomitmen untuk berkontribusi mendukung proses
transformasi ini dengan mempromosikan tiga dimensi keberlanjutan dalam pembangunan
Indonesia baik di tingkat nasional maupun lokal serta dengan meningkatkan akses perempuan,
anak muda, orang lanjut usia, penyandang disabilitas, serta kelompok rentan lainnya untuk
mendapatkan peluang yang setara dalam hidup.

Hal ini tercermin dalam kegiatan Ekonomi masa depan (Economy of Tomorrow); pada debat
mengenai bagaimana menghindari jebakan pendapatan menengah (middle income trap) dengan
mengatasi dampak bergabungnya Indonesia ke Kemitraan Trans-Pasifik; mendukung fondasi
ekonomi hijau; melakukan berbagai road show tentang peranan anak muda dan perempuan
dalam pembangunan karakter bangsa; penelitian terkait akses perempuan kepada program-
program pro rakyat miskin; kamp pemuda nasional; serta pelatihan penyusunan anggaran pro
rakyat miskin dalam pelaksanaan Undang-Undang Desa bagi kepala desa dan aktor lokal
lainnya.

Anda mungkin juga menyukai