Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan salah satu industri paling penting di
dunia. Produk yang dihasilkan oleh industri TPT merupakan salah satu kebutuhan sandang
(kebutuhan pokok) setiap manusia. Oleh sebab itu industri TPT mempunyai pasar yang sangat
luas. Industri TPT merupakan salah satu bentuk industri manufaktur yang memberikan
kesempatan besar bagi suatu negara untuk mencapai industrialisasi ekonomi. Industri TPT
memberikan sumbangan cukup besar kepadaIndonesia. Perkembangan tekstil di Indonesia sudah
ada pada komunitas lokal di berbagai wilayah, bentuknya mulai dari pembuatan benang dengan
kaas, pembuatan tenun dan batik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah
perusahaan tekstil dan produk tekstil merupakan yang tertinggi kedua setelah perusahaan
makanan. Terdapat 2.555 perusahaan tekstil dan 2.141 perusahaan pakaian jadi. Pada tahun 2014
jumlah tenaga kerja di sektor tekstil jumlah tenaga 546.946 dan sektor pakaian jadi sejumlah
636.684. pada tahun 2014 dan 2015 terjadi penurunan ekspor industri pakaian sejumlah 1,1%.
Penurunan juga terjadi pada industri tekstil terbesar 7,05%. Pada saat yang sama, nilai impor
tekstil dan produk tekstil juga menurun. Pada tahun 2014 dan 2015 penurunan nilai impor
industri tekstil sebesar 3,43%. Selanjutnya impor industri pakaian juga menurun cukup tinggi
yaitu 10,19%. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian kontribusi industri ini terhadap GDP
pada tahun 2015 yaitu 6,65%. Akan tetapi angka itu merupakan penurunan karena pada tahun
2014 kontribusi tekstil dan produknya terhadap GDP yaitu 7,37%1. Di tahun 2017 sektor padat
karya berorientasi ekspor ditargetkan tumbuh sekitar 1,6 – 1,8 persen atau naik dibanding dengan
tahun 2016 yang mencapai 1,2 persen. Industri TPT mampu menyumbang devisa negara sebesar
USD 11,87 miliar atau 8,2 persen dari total ekspor nasional pada tahun 20162. Sementara itu,
nilai ekspor sektor tekstil pada periode Januari-Mei 2017 sekitar USD 5,11 juta atau naik 3,40
persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Industri TPT dinilai dapat menjadi
jari pengaman sosial dengan menyerap tenaga kerja. Pada Januari-Mei 2017 terserap sebanyak
2,69 juta tenaga kerja disektor TPT atau 17,03 persen dari total tenaga kerja indsutri manufaktur.

1
https://forbil.org/id/article/9/telaah-produk-tekstil-dan-produk-tekstil-di-masa-industri-40
2
http://www.kemenperin.go.id/artikel/17776/Sumbang-Devisa-USD-12-Miliar,-Industri-TPT-Ditargetkan-Tumbuh
Pada tahun 2016, nilai investasi TPT mencapai Rp 7,54 triliun. Nilai investasi industri TPT
sampai triwulan 1 tahun 2017 untuk penanaman modal asing, mencapai USD 174,51 ribu atau
naik 17,98 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar USD 147,92
ribu3.Sepanjang Januari-Juli 2018, nilai pengapalan produk TPT Indonesia sudah mencapai USD
7,74 miliar dan ditargetkan hingga akhir tahun 2018 bisa menembus sebesar USD 14 miliar4.

Asean China Free Trade Area (ACFTA) dimulai ketika pada tahun 2001 di gelar ASEAN-
China Summit5di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Pertemuan kelima antara ASEAN
dengan China ini menyetujui usulan China untuk membentuk ACFTA dalam waktu 10 tahun.
Lima bidang kunci yang disepakati untuk dilakukan kerjasama yaitu pertanian, telekomunikasi,
pengembangan sumberdaya manusia, investasi antar negara dan pembangunan. selanjutnya
pertemuan ini ditindaklajuti dengan diselenggarakannya pertemuan antar Menteri Ekonomi
negara-negara anggota Asean dengan Menteri Ekonomi China dalam pertemuan ASEAN- China
Summit tahun 2002 di Phnom Penh, Vietnam6. Kerjasama ACFTA ini sangat penting mengingat
tujuan-tujuan yang ingin dicapai bisa memberikan keuntungan yang begitu besar bagi negara-
negara yang terlibat apabila dapat dimanfaatkan dengan baik. Salah satu tujuan yaitu
memperkuat dan meningkatkan kerjasama perdagangan yang dapat menguntungkan tanpa
menjatuhkan satu sama lain.

Indonesia yang termasuk dalamnegara anggota ASEAN yang memiliki populasi dan potensi
pasar besar serta memiliki hubungan perdagangan dengan China. ASEAN-China Free Trade
Area (ACFTA) merupakan kelanjutan dari kesepakatan antara negara-negara ASEAN dengan
Republik Rakyat China mengenai Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-
operation between the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of
China (“Framework Agreement”), yang ditandatangani di Phnom Penh, pada 6 November 2002.
Hubungan diplomatik Indonesia dengan China sejak 65 tahun silam merupakan komitmen nyata
dalam penerapan kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Hubungan Indonesia dengan

3
http://www.kemenperin.go.id/artikel/17776/Sumbang-Devisa-USD-12-Miliar,-Industri-TPT-Ditargetkan-Tumbuh
diakses pada tanggal 6 Mei 2018 pukul 10.21 WIB
4
http://www.kemenperin.go.id/artikel/19693/Industri-Tekstil-Bidik-Ekspor-USD-14-Miliar-Tahun-2018? Diakses
pada tanggal 6 Mei 2018 pukul 12. 52 WIB
5
http://www.asean-cn.org/index.php?m=content&c=index&a=show&catid=267&id=84 diakses pada tanggal 30
Mei 2018 pukul 15.06 WIB
6
http://www.asean.org/storage/images/2015/October/outreach-document/Edited%20ACFTA.pdf diakses pada
tanggal 30 Mei 2018 pukul 16.34 WIB
China telah dijalin dari era Presiden Soekarno yang sempatterhenti dan mulai terjalin kembali era
Presiden Soeharto sampai dengan era Presiden Jokowi. Keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA
merupakan upaya pemerintah dalam hubungan diplomatik dibidang ekonomi untuk
mensejahterakan rakyat.

Dalam perkembangan hubungan perdagangan Indonesia dengan China banyak mengalami


perubahan. Naik turunnya hubungan dagang kedua negara dikarena adanya beberapa
permasalahan yang dapat mempengaruhi seperti halnya faktor social, ekonomi dan politik.
Dengan negara China mulai mengubah haluan menjadikan negaranya terbuka. Dengan demikian
Indonesia memiliki kepentingan ekonomi antara lain dengan melakukan investasi dan kerjasama
perdagangan dengan negara China. Jalinan diplomatik ekonomi dan perdagangan ini kemudian
diterapkan melalui bentuk kerjasama ekonomi baik bilateral maupun regional. Salah satu
diantaranya adalah kerjasama regional ASEAN dengan China. Dengan diadakannya kerjasama
membuat China mengalami perkembangan yang sangat pesat saat ini menjadi sebuah peluang
dan tantangan khususnya bagi Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya. Dengan adanya
ACFTA pemerintah Indonesia berharap bahwa iklim perdagangan di dalam negeri akan jauh
lebih baik karena terdapatnya persaingan khusus bagi variasi harga yang dapat menguntungkan
konsumen. Adanya ACFTA membuat para pengusaha terdorong untuk lebih produktif, inovatif,
dan kompetitif agar para konsumen dapat memilih beragam variasi barang yang diproduksi.
Begitu juga dengan kegiatan ekspor barang-barang ke luar negeri dengan penghapusan tariff dan
hambatan non tariff dalam perdagangan internasional berpeluang memberi manfaat bagi masing-
masinng negara.Dengan disepakatinya Perjanjian ACFTA tanpa diimbangi dengan persiapan
yang matang maka dapat menimbulkan permasalahan bagi industri lokal yang hasil produksinya
kalah bersaing dengan produk China bukan karena faktor kualitas melainkan karena faktor harga.
Disamping itu rendahnya nilai ekspor Indonesia dibandingkan impornya cukup
mengkhawatirkan ketika Indonesia masuk ke area pasar bebas. Industri manufaktur, merupakan
sektor industri yang paling terancam. Industri seperti tekstil, garmen, dan alas kaki dikenal
sebagai sektor padat karya yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. Adanya gempuran
produk China yang cenderung lebih murah, hal itu dikhawatirkan akan mematikan produk lokal.
Biaya produksi di Indonesia tergolong tinggi sehingga harga pasar pun lebih tinggi dibandingkan
dengan harga produk China.
Pada tahun 2013 banyak pelaku pasar yang menilai perjanjian tersebut merugikan Indonesia
karena hanya menjadikan Indonesia sebagai pasar barang impor China lantaran pemerintah
dinilai belum siap untuk menyambut pasar bebas dan juga karena minimnya daya saing produk
dalam negeri. Indonesia menjadi incaran pasar bebas ACFTA selain memiliki populasi sekitar
40% dari seluruh penduduk di kawasan Asia Tenggara juga tingkat konsumsi dari masyarakatnya
yang besar ditengah pertumbuhan ekonomi yang positif.

No Hasil 2012 2013 2014 2015 2016 Trend


Industri

1. Industri 2.228.694,3 2.316.214,9 2.425.628,8 2.472.522,1 2.710.879,9 4,68%


Tekstil

Tabel 1.1 Perkembangan Impor Hasil Industri Tekstil dari China ke Indonesia (Sumber :
http://www.kemenperin.go.id/statistik/query_negara.php?negara=116&jenis=idiakses
pada tanggal 03 Juni 2018 pukul 12.45 WIB)

No Hasil 2012 2013 2014 2015 2016 Trend


Industri

1 Industri 373.777,2 455.382,6 480.497,8 498.589,2 447.801,6 4,62%


Tekstil

Tabel 1.2Perkembangan Ekspor Hasil Industri Tekstil dari Indonesia ke China (Sumber :
http://www.kemenperin.go.id/statistik/query_negara.php?negara=116&jenis=ediakses
pada tanggal 03 Juni 2018 pukul 13.03 WIB)

Kedua Tabel impor dan eskpor diatas menunjukkan pertumbuhan Impor-Ekspor Tekstil
China ke Indonesia setelah diberlakukannya ACFTA (2012-2016) sebesar 4,68% per tahun untuk
barang impor yang masuk ke Indonesia sedangkan 4,62% per tahun barang ekspor Indonesia ke
China hal ini menunjukkan bahwa kemampuan penetrasi produk China ke pasar Indonesia
relative lebih tinggi dibandingkan kemampuan penetrasi produk Indonesia ke pasar China.
Tekstil China sendiri tidak hanya menjadi importir yang besar bagi Indonesia, tetapi juga bagi
dunia. Tekstil China mengekspor produk mereka sebesar 30% ke seluruh dunia, sedangkan
Indonesia hanya mengekspor produk tekstil sebesar 2% ke seluruh dunia7.

Berlakunya perjanjian dagang ASEAN-China atau Asean China Free Trade Agreement
(ACFTA) pada akhirnya menjadi biang banjirnya produk impor khususnya asal China karena
kurangnya pemahaman terhadap kesepakatan perdagangan bebas tersebut. ancaman ini dirasakan
oleh industri tekstil besar maupun industri kecil menengah karena masyarakat akan cenderung
lebih memilih tekstil dari China yang harganya relatif murah.Tetapi karena biaya produksi yang
tinggi dan tariff listrik yang masih tinggi menyebabkan harga produk kita masih lebih mahal
dibandingkan dengan produk China.

Menurut data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) pada tahun 2015 jumlah pabrik tekstil di
Indonesia meningkat sebanyak 30 unit dari 2.886 pabrik menjadi 2.916. saat ini Indonesia
merupakan salah satu pemasok TPT yang mampu memenuhi 1,8% kebutuhan dunia dengan nilai
ekspor mencapai 12,46 miliar dollar USD atau setara dengan 10,7% dari total ekspor non migas.
Disisi lain industri TPT Indonesia mempunyai banyak kendala dan hambatan dalam peningkatan
daya saing tersebut. Terdapat 10 masalah utama yang menjadi pemicu rendahnya daya saing TPT
di Indonesia. Masalah tersebut antara lain adalah rendahnya teknologi, ketergantungan impor
bahan baku, minimnya industri pendukung, rendahnya sumber daya manusia keterbatasan modal
kerja, pasokan listrik, agresif dan dinamisnya produk TPT, lemahnya kinerja ekspor dan
persoalan transportasi, serta persoalan perpajakan.

Pemerintah harus menyadari banyaknya tantangan yang harus dihadapi dan dibenahi
secepatnya agar Indonesia dapat meraih peluang dan manfaat dari ACFTA secara maksimal
karena disisi lain ACFTA akan menimbulkan ancaman dengan adanya serbuan produk asing
terutama dari China dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu dan
membuat perekonomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah. stabilitas ekonomi
yang baik idealnya didukung oleh langkah-langkah penguatan dalam sektor keuangan yang
mendorong kegiatan ekonomi8.

7
http://industri.bisnis.com/read/20180314/12/749684/ekspor-garmen-jateng-kebut-kenaikan-perdagangan-tpt
8
http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2012/12/21/asean-china-fta-id0-1356076310.pdf diakses pada tanggal 06
Juni 2018 pukul 18.54 WIB
Kondisi yang telah diuraikan diatas tentu saja memberikan dampak kepada perekonomian
Indonesia dan Industri lokal yang ada di Indonesia, salah satunya UMKM. UMKM merupakan
sektor yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Peranan
UMKM menjadi bagian yang diutamakan dalam setiap perencanaan tahapan pembangunan yang
dikelola Kementerian Perindustrian dan Perdagangan serta Kementerian Koperasi dan UKM.
Akan tetapi usaha pengembangan yang dilakukan hasilnya belum memuaskan karena pada
kenyataannya kemajuan UMKM sangat kecil dibandingkan kemajuan yang dicapai oleh usaha
besar. Kondisi ini juga dikarenakan kurangnya dukungan pasar. Secara structural pasar tidak
berpihak pada ekonomi rakyat atau usaha kecil. Ketidakberpihakan pasar antara lain karena
mereka tidak mempunyai jaringan usaha yang luas dalam menghadapi persaingan usaha dengan
usaha menengah dan usaha besar. Bahkan mereka sudah langsung “bermain” dalam mekanisme
pasar bebas apabila melakukan kegiatan ekspor ke luar negeri yang tidak dapat dilindungi atau
diawasi langsung oleh pemerintah. Pada kegiatan ekonomi dalam negeri, pemerintah sebagai
regulator masih memungkinkan melakukan pengaturan terhadap mekanisme pasar dengan
melakukan intervensi. Ketidakberpihakan ini diperparah dengan adanya Krisis Keuangan Global
diakhir 2008, yang saat itu sudah mereda, tetapi UMKM langsung dihadapkan pada berlakunya
perjanjian ACFTA.

Dengan sudah menyetujui Perjanjian ACFTA ini maka perdagangan Internasional antara
Indonesia dengan Negara-Negara ASEAN dan China mengalami liberalisasi yang artinya
mengurangi atau meniadakan hambatan perdagangan yang ada, sehingga tariff (bea masuk) dari
produk Negara peserta ACFTA ini diturunkan atau bahkan ditiadakan. Berdasarkan penelitian
World Trade Organization (WTO) tahun 1995, disimpulkan bahwa regionalism perdagangan,
termasuk free trade area, ternyata mendorong liberalism perdagangan yang
memberikankeuntungan pada Negara-Negara anggota oleh integrasi ekonomi yang terjadi9.

9
World Trade Organization, Trading into the Future : Introduction to the WTO. Beyond the Agreements
Regionalism-Friends or Rivals?hlm 1 (https://www.wto.org/english/res_e/doload_e/tif.pdf) diakses pada tanggal
22 Agustus 2018 Pukul 13.21 WIB
Liberalisasi perdagangan ini menguntungkan untuk negara yang siap dan kuat industrinya
sehingga bisa mengembangkan ekspor dengan cepat dengan memanfaatkan minimalisasi
hambatan perdagangan yang ada. Akan tetap saat industri dan pelauk usahanya belum siap maka
yang ada negara tersebut hanya akan menjadi pasar penjualan bukan tempat produksi.
Bagaimana dengan Indonesia yang terlihat justru banyak produk China yang membanjiri sebagai
dampak Perjanjian ACFTA sehingga industri, terutama UMKM Indonesia dibuat kewalahan atas
ini. Melihat kondisi ini diperlukan peran pemerintah melalui hukum yang dibuatnya untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri. Khusunya UMKM karena
mereka yang mendapatkan dampak yang cukup besar dari adanya ACFTA ini. Di Indonesia
UMKM berskala kecil dijalankan oleh perorangan atau pegawainya tidak sampai 100 orang
jumlahnya. Sehingga diperhatikan perlindungan hukumnya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :

• Bagaimana dampak terbentuknya Asean China Free Trade Area bagi bisnis Usaha
Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

• Menganalisis hubungan kerjasama perdagangan Indonesia dengan China setelah


penerapan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) dan mengetahui dampak
terbentuknya kawasan perdagangan bebas ASEAN-China terhadap pelaku bisnis Usaha
Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

• Menjadi literature tambahan bagi Pengembangan Studi Hubungan Internasional.


Khususnya peminat masalah-masalah Hubungan Internasional dalam bidang
Ekonomi Politik Internasional khususnya soal dinamika pasar bebas ACFTA.
• Meningkatkan pemahaman dengan memperdalam pengetahuan sehubungan
dengan dampak hubungan bilateral Indonesia-China setelah penerapan ASEAN
China Free Trade Agreement (ACFTA) dalam menciptakan integrasi ekonomi
Indonesia di kawasan Asia Timur.
• Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Jurusan
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas
Kristen Satya Wacana

1.5. Konsep dan Batasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan konsep mengenai hubungan bilateral. Yaitu keadaan yang
menggambarkan hubungan timbal balik antara kedua belah pihak yang terlibat dan aktor utama
dalam pelaksanaan hubungan bilateral itu adalah negara. konsep ini akan digunakan penulis
untuk melihat hubungan bilateral Indonesia-China beserta dampak hubungan bilateral kedua
negara khususnya setelah diterapkannya ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA).
Sedangkan batasan penelitian ini adalah dampak dari hubungan bilateral Indonesia China setelah
penerapan ACFTA dan bagaimana dampak terbentuknya Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-
China bagi bisnis Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) tekstil di Indonesia era pemerintahan
presiden Joko Widodo.

Anda mungkin juga menyukai