Anda di halaman 1dari 13

Analisis dampak ACFTA bagi indonesia

ASEAN - China Free Trade Agreement (ACFTA), yang ditandatangani pada 4 November
2004, sejak tanggal 1 Januari 2010 yang lalu telah masuk pada tahap pelaksanaan. Dengan
tujuan yang antara lain:
O emperkuat dan meningkatkan kerjasama perdagangan kedua pihak
O eliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan dan
penghapusan tariI.
O encari area baru dan mengembangkan kerjasama yang saling menguntungkan kedua
pihak.
O emIasilitasi integrasi ekonomi yang lebih eIektiI dengan Negara anggota baru
ASEAN dan menjembatani gap yang ada dikedua belah pihak.
Seperti pada prinsip dasarnya, liberalisasi atau membebaskan dan menyerahkan pada
mekanisme pasar selalu menjanjikan peluang untuk berkompetisi. Kawasan yang total
penduduknya hampir mencapai dua miliar dan total gabungan Gros Domestic Bruto (GDP)
hampir USD 6 triliun, menjadi zona perdaganan bebas dan arena kompetisi untuk
memasarkan barang hasil industri dari seluruh negara anggota ASEAN dan China yang telah
meratiIikasi ACFTA tersebut. Namun sejauh manakah tingkat resistensi Negara-negara
ASEAN (khususnya Indonesia) terhadap ACFTA..?.
Dengan segala peluang yang dijanjikan serta kemudahan yang diberikan, kompetisi atau
persaingan membutukan kekuatan dan ketahanan agar dapat bertahan dalam upaya
memperoleh keuntungan. Dalam hal liberalisasi perdagangan, ketahanan ekonomi menjadi
hal utama agar tetap berada dalam persaingan, dan tidak tumbang ketika sistem ekonomi
tengah dilanda badai kirisis atau gangguan. Dan, mampukah Indonesia memanIaatkan
ACFTA sebagai peluang untuk memajukan perekonomian, dengan bekal ketahanan ekonomi
dan kemampuan industri seperti sekarang..?, atau hanya menjadi pasar besar-besaran bagi
barang China yang masuk tanpa mampu bersaing sama sekali..?.
Indonesia memasuki perdagangan bebas ASEAN-China dengan pro-kontra yang
mengiringinya, terkait dampak positiI atau negative yang akan diraih. Ketidakmampuan
industri lokal untuk bersaing yang akan membuatnya semakin terpuruk dan mati secara
mengenaskan, merupakan dampak buruk yang menjadi ancaman. Tidak hanya itu,
diperkirakan akan meningkatnya pengangguran yang diperkirakan mencapai seperempat dari
dari keseluruhan jumlah tenaga kerja atau 7,5 juta jiwa, akibat gulung tikarnya perusahaan
karena tak mampu bersaing , umumnya industri kecil dan rumahan.
Seperti diketahui, lebih murahnya barang-barang China dibanding barang hasil industri dalam
negeri dikhawatirkan merebut pasar dalam negeri (umumnya barang-barang tekstil dan hasil
produksinya), karena bukan hanya konsumen yang akan beralih pada produk China tapi juga
para pedagang karena modal yang dikeluarkannya akan lebih sedikit. Dukungan dari
pemerintah berupa kebijakan-kebijakan pembiayaan perbankan seperti memberikan kredit
dengan bunga hanya 3 untuk pelaku industri atau pengusaha merupakan Iaktor utama
pendorong kelancaran bergulirnya kegiatan industri, selain itu pemerintah China juga
berusaha memposisikan diri sebagai pelayan yang menyediakan segala kebutuhan sarana dan
prasarana menyangkut kegiatan industri. ulai dari pengurusan surat izin usaha yang dapat
diperoleh dengan mudah, hingga penyediaan inIrastuktur penunjang guna meningkatkan
ekspor seperti jalan raya, pelabuhan angkut, dan ketersediaan tenaga listrik. Yang menjadi
pertanyaan kemudian, apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia terhadap dunia industri
dalam negeri untuk menghadapi perdagangan bebas ASEAN-China..?, dari sini perdebatan
pro-kontra berlanjut.
ari lihat apa yang membuat produk-produk dalam negeri lebih mahal dibanding produk
China, penyebabnya antara lain: banyaknya pungutan liar (pungli) yang harus dibayar oleh
para pengusaha, baik yang atas nama pemerintah ataupun tidak; sulitnya memperoleh
pinjaman atau kredit untuk modal atau pengembangan usaha, di Indonesia pengusaha
menengah-besar memperoleh kredit dengan bunga 12, sementara pengusaha kecil justru
mendapat bunga lebih besar, 15 . Seharusnya semakin kecil usaha, semakin kecil juga
bunga yang dikenakan, tapi lebih jauh, malah lebih banyak pengusaha kecil yang sama sekali
ditolak dalam pengajuan kredit; inIrastruktur yang belum memadai serta sarana dan prasarana
yang sulit diperoleh. Kesulitan dalam pengurusan surat izin usaha sudah menjadi ciri dari
birokrasi di Indonesia, mekanismenya yang mengharuskan melewati lebih dari satu meja
bukan hanya memperlambat waktu tapi juga lebih banyak uang yang dikeluarkan, lebih
tepatnya berbelit dan korup ciri birokrasi disini. Kemudian inIrastruktur yang belum memada
seperti jalan raya, pelabuhan angkut, dan listrik semua masih jauh dalam ketersediaanya
dibanding China. Kenaikan tariI dasar listrik (TDL) baru-baru ini juga membuat semakin
beratnya beban para pengusaha kecil, karena modal yang dikeluarkan akan lebih besar.
Semua berbanding terbalik dengan yang dilakukan pemerintah China terhadap para
pengusaha atau pelaku industri lainnya, yang memberikan dukungan sepenuhnya.
Upaya-upaya yang seharusnya dilakukan pemerintah bila ditinjau dari Iaktor-Iaktor yang
menghambat laju perkembangan sektor industri dalam negeri, antara lain: mengambil atau
merevisi kembali kebijakan proteksi dan pemberian Iasilitas pinjaman atau kredit dengan
bunga rendah atau sama sekali tanpa bunga kepada khususnya pemilik usaha kecil menengah
(UK), dan kemudahan untuk mengakses serta tepat sasaran; memangkas pungutan-
pungutan liar, baik yang dilakukan atas nama dinas terkait dipemerintahan ataupun pungutan
liar yang dilakukan oleh masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana dan inIastuktur
penunjang kegiatan industri. Perhatian pemerintah dalam hal ini sangat minim sekali,
misalnya pada penyediaan alat atau mesin produksi bagi para pegusaha industri kecil dan
rumahan untuk dapat meningkatkan produktivitas industri, kemudian pada kesediaan
inIrastruktur penunjang kegiatan distribusi, karena pada umumnya pengusaha industri kecil
dan rumahan berada diluar kota besar, dan upaya pemerintah seharusnya menyediakan segala
penunjang untuk kemudahan distribusi seperti jalan raya, jembatan, pelabuhan angkut muat,
dan terakhir ketersediaan dan kemudahan untuk penggunaan listrik.
Dukungan pemerintah bagi para pengusaha atau dunia industri (khususnya industri kecil)
sangat dibutuhkan, agar terhindar dari kemungkinan dampak buruk dari ACFTA. Seperti
diketahui pemberlakuan ACFTA nantinya akan diikuti dengan pemberlakuan seluruh tariI
impor menjadi 0, dan hal yang paling mungkin terjadi adalah serbuan besar-besaran
produk-produk barang China, kemudian bila industri dalam negeri tidak mampu bersaing,
maka ACFTA hanya akan membuat para pelaku industri gulung tikar dan angka
pengangguran akan meningkat. Bila pasar domestik tak mampu direbut, kecil kemungkinan
untuk menembus pasar internasional, Iaktor harga yang lebih tinggi menjadi masalah bagi
industri dalam negeri. Jadi keseriusan pemerintah dalam hal ini tidak bisa ditawar lagi.
Pembenahan besar-besaran memang diperlukan agar dampak buruk dari ACFTA dapat
dihindari. Dimulai dari struktur atas, para pengambil kebijakan dan birokrat. Para birokrat
harus mampu menciptakan kebijakan-kebijakan dan regulasi yang kreatiI, yang mendukung
dan memberi kemudahan bagi para pengusaha dalam menjalankan usahanya, juga
peningkatan produktivitas. Dimasyarakat, edukasi tentang penghargaan terhadap produk-
produk dalam negeri harus diberikan sejak dini, dalam hal ACFTA, agar masyarakat tidak
hanya menjadi alat pendukung pengembangan hegemoni ekonomi China di Indonesia. Dan
penegasan kembali sistem ekonomi Indonesia, agar tiadk terbawa arus liberalisasi yang
memang tidak sesuai dengan prinsip ekonomi kerakyatan yang dianut Indonesia seperti yang
tertuang dalam UUD 1945 pasal 33.
Sejatinya pemberlakuan ACFTA dapat mendatangkan keuntungan dari segi ekonomi.
Penyerahan perdagangan dan ekonomi pada mekanisme pasar sekilas memang memunculkan
nuansa untuk berkompetisi, tapi pada Iaktanya kompetisi selalu dipegang atau dikuasai oleh
Negara besar dan kuat serta memiliki ketahanan ekonomi. Kemandirian ekonomi menjadi
tuntutan utama untuk memiliki ketahanan ekonomi, dan kemandirian inilah yang tidak pernah
dimiliki oleh Negara Indonesia Hingga saat ini.
!engaruh Global China, ACFTA, &
!osisi Indonesia
Kesepakatan Perdagangan Bebas China-ASEAN (ACFTA) yang mulai berlaku Januari lalu
telah membentuk sebuah blok ekonomi 1,9 miliar orang. Perjanjian yang ditandatangani pada
2002 silam ini diyakini memberikan keuntungan yang seimbang bagi negara-negara di
dalamnya. Namun kenyataannya, kalangan dunia usaha di negara-negara ASEAN, khususnya
Indonesia, mengkhawatirkan dampak merugikan ACFTA bagi dunia industri, terutama
karena banjirnya barang murah asal China.
Kekhawatiran itu beralasan. Kemajuan pesat China memang membuat banyak negara di
dunia ketar-ketir, termasuk Amerika Serikat sekalipun. Pertumbuhan Negeri Tirai Bambu itu
selama lebih dari dua dekade memperlihatkan kegemilangan. Semenjak 'Empat odernisasi
diluncurkan pada 1978 di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, pertumbuhan China rata-
rata tercatat 9,8 persen per tahunnya. Bahkan pernah mencapai 11,4 persen untuk tahun 2007,
dan menjadi pertumbuhan tahunan tercepat sejak 1994.
Selama bertahun-tahun, booming ekonomi China telah menyentuh kehidupan keseharian di
Barat. Bukti yang paling nyata adalah masuknya barang-barang berlabel 'made in China ke
berbagai penjuru dunia, dari pakaian hingga peranti komputer. Lebih jauh dari itu, China juga
mengubah peta kekuatan dunia. Berbagai kalangan memprediksikan China bakal menjadi
negara adikuasa baru, melampaui Amerika Serikat.
PricewaterhouseCoopers (PwC), misalnya, memperkirakan China bakal mengambil alih
posisi AS sebagai negara dengan ekonomi terbesar dunia pada 2050, yang diukur berdasarkan
kesetaraan daya beli (purchasing power parity/PPP). Kemajuan pesat China tentu saja akan
memberikan dampak pada pertumbuhan global, alokasi sumber daya, perdagangan dan
investasi, serta keseimbangan geopolitik dunia. China pun berupaya untuk menanamkan
pengaruh kuatnya di kawasan Asia. Kesepakatan ACFTA bisa dikatakan merupakan salah
satu upaya China memperluas pengaruhnya, selain juga bertujuan untuk mewujudkan
integrasi Asia Timur.
Berdasar studi yang dirilis Institute oI Southeast Asian Studies, secara strategis ACFTA
merupakan aplikasi dari Konsep Keamanan Baru (ew Security Concept) China dalam
mendorong dunia yang multikutub, sebagai tandingan atas sikap unilateralisme Amerika
Serikat. Presiden China Jiang Zemin mengumumkan konsep tersebut pertama kali pada 1996.
Dengan demikian, ACFTA bisa dipahami sebagai bagian dari strategi China untuk
menyebarkan pengaruhnya secara ekonomi maupun politik.
!$I$I INDNE$IA
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono semenjak termin pertama pemerintahannya tahun
2004 terlihat berupaya meningkatkan peran diplomatik, dengan menjadikan Indonesia
sebagai bagian dari kekuatan dunia dengan pengaruh global. Upaya ini turut disokong dengan
kinerja perekonomian yang terus membaik. Dengan pertumbuhan 4,5 persen tahun 2009,
Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara di Asia yang menikmati pertumbuhan
ekonomi positiI di tengah-tengah krisis keuangan global. Angka itu merupakan yang tertinggi
ketiga di antara anggota G20 setelah China dan India.
Prestasi besar dengan masuknya Indonesia ke dalam G20, yang merupakan kelompok negara-
negara perekonomian maju, juga membuat Indonesia menempati posisi sangat strategis dalam
menentukan arah kebijakan perekonomian global. Semakin besarnya peran Indonesia di
kancah global sejalan dengan prediksi PwC bahwa peran negara-negara E7 (China, India,
Brasil, Rusia, Indonesia, eksiko, dan Turki) akan lebih besar G7 pada tahun 2050 hingga 25
persen. G7 sendiri terdiri atas Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, dan
Kanada, plus Spanyol, Australia, dan Korea Selatan. Pada 2050, Indonesia diperkirakan akan
menjadi kekuatan ekonomi terbesar keenam dunia di bawah AS, China, India, Jepang, dan
Brasil, dengan PDB per kapita mencapai USD23.000. Bandingkan dengan PDB tahun 2005
sebesar USD1.250.
Selain dalam sudut pandang ekonomi, Indonesia merupakan kekuatan yang nyata dari sisi
demograIis, geograIis, dan politis. ProIesor Aymeric Chauprade, pakar geopolitik asal
Prancis bahkan menilai Indonesia dapat menjadi salah satu kekuatan utama dunia, yang pada
gilirannya dapat menjadi penyeimbang politik dunia. Bersama Rusia dan India, Indonesia
dapat mencegah terjadinya bipolarisasi yang mungkin terjadi akibat pertentangan yang
semakin tajam antara AS dan China. Pendapat Chauprade itu didasarkan pada alasan bahwa
di masa mendatang keseimbangan global sangat bergantung kepada hubungan Barat-Islam-
China. Dan Indonesia, yang selalu mengedepankan soft power, memiliki hubungan baik
dengan berbagai pihak tersebut.
Namun Iakta-Iakta positiI tersebut nampaknya belum mampu meyakinkan berbagai kalangan
di Tanah Air untuk bersikap optimistis dalam menghadapi ACFTA. Kekhawatiran utama
adalah masuknya barang-barang berkualitas dengan harga murah asal China, yang
sebenarnya sudah membanjiri pasar-pasar Tanah Air sejak lama. Selain itu perjanjian tersebut
dianggap akan lebih menguntungkan China dengan menjadikan ASEAN sebagai pasar baru,
setelah sebelumnya berhasil menguasai pasar-pasar di negara-negara yang menjadi
saingannya.
erebut !eluang
Kesepakatan ACFTA yang resmi berlaku mulai 1 Januari 2010 lalu adalah Iakta yang tidak
bisa dihindarkan. Indonesia tidak bisa mundur kecuali menghadapi perdagangan bebas ini
dengan segala upaya agar tidak menjadi pihak yang terpinggirkan akibat kalah dalam
persaingan. Tantangan tersebut pun harus disikapi secara positiI. Sebab ACFTA bertujuan
untuk meningkatkan daya saing negara-negara yang terlibat di dalamnya, sekaligus
menghapus hambatan-hambatan perdagangan, baik tariI maupun non-tariI. Artinya, ACFTA
merupakan peluang sekaligus tantangan bagi kalangan industri Tanah Air untuk
meningkatkan kualitas produk untuk bisa disejajarkan dengan produk-produk asing.
Indonesia harus mengambil manIaat karena China merupakan motor penting bagi
pertumbuhan ekonomi dunia dengan jumlah penduduk mencapai 1,3 miliar jiwa.
Perlu dicatat pula, Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara memiliki posisi sangat
penting bagi China, selain karena Indonesia merupakan pemimpin inIormal ASEAN.
Perekonomian Indonesia telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir dan berhasil
melalui krisis ekonomi global 2008-2009 dengan baik. Indonesia juga diperkirakan akan
mencapai pertumbuhan ekonomi positiI di masa-masa mendatang. Selain menjalin kemitraan
dalam ASEAN 3, Indonesia dan China sama-sama menjadi anggota G20 yang merupakan
institusi terpenting yang menentukan arah perekonomian global.
emang mewujudkan harapan itu tak semudah yang diucapkan. Namun sebagaimana
diuraikan di atas, negeri ini memiliki banyak potensi dan melihat peluang yang terbuka luas
dari ACFTA. asyarakat diharapkan dapat memahami secara komprehensiI tujuan strategis
dari kesepakatan tersebut, sehingga nantinya bisa memberikan manIaat luas bagi
perekonomian nasional
!roduk China Lebih Disukai !edagang &
!embeli Domestik.
Hasil survei dan studi Tim Koordinasi Penanggulangan Hambatan Industri dan Perdagangan
terhadap pemberlakuan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) menyebutkan produk
dari China lebih disukai penjual & pembeli di dalam negeri.
Survei itu dilakukan secara swakelola oleh 457 staI Kementerian Perindustrian yang terbagi
lima kelompok kegiatan, yakni memantau perkembangan impor melalui ACFTA dari bulan
ke bulan, memonitor dampaknya terhadap kinerja industri dalam negeri, memonitor Iaktor
yang mempengaruhi keputusan masyarakat membeli/mengkonsumsi produk China,
meningkatkan pengetahuan awareness masyarakat terhadap manIaat dan kerugian CAFTA,
dan mengevaluasi kesiapan SNI untk menghadap produk China yangnon standar.
Waktunya dilakukan Oktober-Desember 2010 di Jabodetabek, edan, Surabya, Semarang,
Palembang, anadao, Padang, Bandung, Denpasar, Pontianak, Batam, Guangzhou, dan
Shanghai.
Produk yang disurvei terdiri 11 unit, yakni besi baja, tekstil, permesinan, elektronik, kimia,
petrokimia, Iurniture, kosmetik, jamu, alas kaki, produk industri kecil, maritim.
'Bila dilihat per cabang industri, dampak pemberlakuan ACFTA memiliki korelasi kuat
terhadap penurunan produksi, penjualan, keuntungan, tenaga kerja, serta peningkatan impor
bahan baku terjadi pada cabang industri elektronika, dan subsektor garmen industri TPT,
kata Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tja-
hajana Wirakusumah, saat menjelaskan perkembangan pelaksanan perdagangan ACFTA di
sektor industri dalam rapat panja Daya Saing dengan Komisi VI DPR di Jakarta, Kamis lalu.
Dikatakan, dari lima produk industri yang diimpor dari RRT yaitu, tekstil dan produksi tekstil
(TPT), Iurnitur, logam, mesin dan elektronika lebih dominan dibanding dari dunia yaitu,
produk mainan anak 73 persen, Iurnitur 54 persen dan elektronika 36 persen. Hal ini
menunjukkan tren ACFTA 2010 setiap bulannya cenderung meningkat, terutama pada sektor
industri Iurnitur, logam, mainan anak.
Dijelaskannya, survei yang dilakukan Kemenperin menunjukkan dampak ACFTA terhadap
industri diantaranya, sejumlah perusahaan produksi yang diteliti umumnya mengalami
penurunan produksi, penurunan penjualan, penurunan keuntungan, pengurangan tenaga kerja,
serta meningkatnya impor bahan baku dari China.
Sedangkan hasil survei dampak ACFTA terhadap masyarakat, pembeli menganggap meng-
konsumsi barang dari China menuntungkan karena harganya lebih murah, dan memiliki
desain yang menarik serta variatiI.
Konsentrasi penjualan produk China lebih banyak di pasar tradisional dengan segmentasi
masyarakat menengah ke bawah dan berpendidikan rendah. Hal ini dikhawatirkan akan me-
ningkatkan pangsa pasar barang China di Indonesia, sehingga harus dijadikan perhatian
khusus oleh pemerintah.
eskipun penjualan barang produk China lebih terbuka dalam memberikan pilihan, namun
hasil observasi di pasar China terdapat indikasi awal adanya praktek perdagangan tidak adil.
'Ditengarai adanya kemungkinan unsur /umping, jelasnya.
Diungkapkan, berdasarkan hasil survei harga barang China di Indonesia, paling tidak terdapat
190 barang yang perlu ditelaah lebih lanjut.
Dari 190 barang tersebut ditemukan 38 dari 155 barang RRT yang dijual di China harganya
lebih mahal dibandingkan dijual di Indonesia.
Bahkan, beberapa jenis produk China yang beredar di Indonesia sudah tidak laku lagi alias
tidak digunakan di China. 'Barang yang sudah tidak laku di China ternyata diimpor ke
Indonesia seperti TV tabung dan VCD, dan beberapa barang China yang beredar di Indonesia
memang khusus untuk pasar Indonesia seperti jilbab, baju muslim dan batik, tuturnya.
Diterangkan, berdasarkan hasil survei Kemenperin menyimpulkan, pemberlakuan ACFTA
mengindikasikan terjadinya penurunan produksi, penurunan penjualan, penurunan keuntung-
an, dan pengurangan jumlah tenaga kerja.
'Ditemukan kecenderungan penurunan pangsa pasar domestik untuk produk buatan dalam
negeri, karena pedagang Indonesia lebih menyukai menjual barang impor asal China yang
lebih murah dan menguntungkan, ungkapnya.
Anak Buah S Hidayat ini mengatakan, citra produk Indonesia di mata masyarakat yang
awet, kuat dan tahan lama sesuai dengan kualitasnya tetapi dianggap tidak inovatiI dan
kreatiI, berbeda dengan produk China yang lebih dianggap lebih murah, menarik tetapi cepat
rusak dan tidak memiliki layanan purna jual. 'Hal ini ditengarai sebagai penyebab terjadinya
penurunan produksi dan keuntungan industri dalam negeri, pungkasnya.
Dalam kesempatan sama, Direktur Jenderal Industri Kecil dan enengah Kementerian Perin-
dustrian, Euis Saedah mengatakan, untuk meningkatkan daya saing produk Industri Kecil
dan enengah (IK) dalam negeri, Kemenperin melakukan beberapa langkah antisipasi pe-
nanganan bahan baku diantaranya, memIasilitasi pembangunan terminal bahan baku IK,
dan kerjasama dengan instansi terkait dan dunia usaha.
Dalam upaya peningkatan teknologi Kemenperin juga melakukan beberapa langkah strategis
dengan meningkatkan optimalisasi peran Unit Pelayanan Teknis (UPT) dalam memIasilitasi
layanan teknologi IK, memIasilitasi penerapan teknologi tepat guna bekerjasama dengan
lembaga IPTEK dan lembaga riset lainnya, memberi insentiI berupa potongan harga bagi
IK yang melakukan restrukturisasi mesin peralatan sebesar 25 - 30 persen.
Selain itu, kata Euis, dalam peningkatan dan perluasan pasar, Kemenperin mengupayakan de-
ngan memberikan Iasilitas website sebagai media promosi produk IK dan memIasilitasi
pameran dalam dan luar negeri.
'Ada enam langkah untuk meningkatkan daya saing produk IK yaitu, penanganan bahan
baku, peningkatan teknologi, peningkatan SD, peningkatan mutu, perkuatan pembiayaan,
dan peningkatan perluasan pasar, kata Euis.
Ditambahkan Euis, untuk menghadapi dampak ACFTA terhadap produk IK, pihaknya juga
melakukan langkah penanganan berupa peningkatan kualitas mutu dan pelayanan serta harga
yang lebih kompetitiI, melakukan sosialisasi penggunaan produksi dalam negeri.
'Kami juga akan meminta China untuk melakukan investasi untuk mendukung dan menun-
jang produk IK, tandasnya.
Dorong !emerintah Tinjau Ulang
/hy Prabowo, Anggota Komisi JI DPR
Anggota Komisi VI DPR, Edhy Prabowo mengatakan, dampak dari kerjasama perdagangan
ACFTA akan menambah pengangguran, karena semakin banyak industri kecil tidak kuat
bersaing dengan produk China.
'Bagaimana barang produksi kita bisa laku di pasaran kalau ada produk yang lebih murah.
Setelah ACFTA kondisi kita semakin buruk, katanya, kemarin.
enurutnya, kalau kesepakatan perdagangan itu terus dilakukan tanpa dilakukannya pe-
ninjauan ulang, maka Indonesia akan terus menjadi negara konsumen.
Sekretaris Fraksi Gerindra menuturkan, ACFTA akan dijadikan media bagi China untuk terus
menyerang negara Indonesia dengan produknya. 'Dari laporan Kementerian Perindustrian,
terindikasi China melakukan dumping, ini merupakan kecurangan bisnis yang dilakukan
China, ungkapnya.
Padahal, kalau pemerintah mau bertindak bijaksana, seluruh industri kecil bisa berkembang
bantuan modal dan dukungan dari pemerintah. Tapi pada kenyataannya hal itu tidak ada.
'Semestinya sekarang pemerintah menitikberatkan antisipasi masuknya barang-barang dari
China, dan membantu menghadapi persaingan dunia dengan memberikan bantuan dalam
bidang peningkatan SD, inIrastruktur dan manuIaktur, tegasnya.
Anak buah Prabowo Subianto menyatakan Komisi VI DPR, kata dia, akan terus melakukan
kajian mendalam terhadap kebijakan pemerintah tersebut, salah satu usulannya supaya pe-
merintahn melakukan pemutusan kerjasama ACFTA. 'Kami akan mendorong pemerintah
untuk melakukan peninjauan ulang poin-poin kerjasamanya, tandasnya.

KATA PENGANTAR
asalah perekonomian merupakan masalah yang tiada batasnya. Indonesia merupakan salah
satu dari 3 negara Asia, disamping China dan India yang tetap tumbuh positiI saat Negara
lain terpuruk akibat krisis Iinansial global. Ini merupakan suatu prestasi dan optimisme bagi
masa depan perekonomian Indonesia. Dengan kondisi ini, pemerintah mengadakan Asean-
China Trade Agreement (ACFTA) guna menghadapi persaingan global.
akalah ini disusun untuk membahas mengenai dampak ACFTA terhadap perekonomian
Indonesia. Namun, selain itu penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia.
Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih atas pihak-pihak yang terkait
yang telah memberikan dukungan dan dorongan dalam bentuk apapun sehingga dapat
terlaksananya penyusunan makalah ini. Semoga makalah in dapat bermanIaat bagi para
pembaca.
Penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berterima kasih
atas saran dan kritik yang membangun agar dalam penyusunan makalah yang selanjutnya
dapat lebih disempurnakan. Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih.









PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persaingan global merupakan momok yang mengerikan bagi para pengusaha industri
terutama industri menengah dan kecil. Dengan adanya ACFTA, hal in menjadi monster yang
menyeramkan. Permasalahan ekonomi kerap kali muncul mengenai berbagai pemenuhan
kebutuhan masyarakat yang semakin beragam dan meningkat. aka dari itu, dampak akan
perekonomian Indonesia adanya perjanjian AFTA-China harus lebih diperhatikan. Hal ini
perlu adanya solusi, pemikiran dan sikap/ mental yang harus dipersiapkan dalam menghadapi
persaingan global ini.
B. aksud dan Tujuan
Tujuan diadakannya penyusunan makalah in adalah guna memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia.
aksud dari adanya penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
a) menilai dampak positiI dan negatiI dari adanya ACFTA
b) mengetahui sejauh mana persiapan Indonesia dalam menghadapi persaingan global.
c) enganalisis strategi persiapan Indonesia yang dilakukan sebelum
terlaksananyamperjanjian ACFTA

C. ISI
Dalam penyusunan makalah ini, penulis membahas mengenai :
a) BAB I Persiapan Indonesia Dalam enghadapi ACFTA; bab ini berisi mengenai langkah-
langkah yang dilakukan Indonesia sebelum terlaksananya Perjanjian Pasar global-China
sebelum awal Januari 2010. Absennya Strategi Indonesia dalam menghadapi ACFTA; dalam
bab ini dibahas mengenai kelemahan strategi Indonesia sebagai bentuk dari ketidaksiapan
Indonesia untuk bersaing dengan negara China.
b) BAB III Dampak ACFTA terhadap Perekonomian Indonesia; dalam pembahasan kali ini
penulis menganalisa mengenai dampak positiI dan negatiI dari adanya ACFTA.
c) BAB IV Testimoni dari para pelaku Ekonomi terhadap adanya ACFTA; bab ini
menjelaskan mengenai pendapat para produsen, pakar ekonomi dan pihak yang terkait akan
perekonomian Indonesia.
D. etode Penelaahan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode pustaka, berbagai reIerensi
dari atikel koran serta pencarian situs website

BAB I
PERSIAPAN INDONESIA DALA ENGHADAPI ACFTA
ACFTA merupakan salah satu bentuk kerja sama liberalisasi ekonomi yang banyak dilakuakn
Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini. Awal januari 2010 muai pemberlakuan mengenai
Asean China Free Trade Agreement. Ini merupakan perang mutu, harga, kuantitas akan suatu
pelayanan barang dan jasa serta industri pasar global China. engapa China? Seperti yang
kita ketahui, harga barang produksi China relatiI murah dan diminati konsumen Indonesia.
Hal in itidak terlepas dari kualitas barang yang dihasilkan oleh China. Dengan adanya
Ienomena ini, Indonesia perlu mempersiapkan tim yang diharapkan mampu memberi
kontribusi positiI memperkuat daya saing global.
Pemerintah bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Asosiasi Indonesia
(Apindo) membetuk tim bersama ASEAN-China Free Trade Agreement. Tim ini berperan
menampung keluhan terkait hambatan pengusaha menghadapi pelaksanaan ACFTA yang
dimulai awal Januari 2010. Tim yang dipimpin langsung oleh enko Perekonomian, Deputi
enko (Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan) Edi Putra ini menyoroti kebijakan,
potensi gangguan ekspor impor dan pemanIaatan peluang.
Dengan adanya tim ini dapat dipantau perbandingan seberapa besar kekuatan barang
kompetitor. Keluhan-keluhan dari para pengusaha bisa dipakai untuk mengidentiIikasi
berbagai masalah yang perlu ditangani demi memperkuat daya saing industri nasional di
ajang kompetisi ACFTA. Namun, pada kenyataannya, pembentukan tim tersebut kurang
cukup membantu dalam menghadapi persaingan global. Hal ini dikarenakan masih minimnya
daya saing produk Indonesia yang menjadi tombak perekonomian. Banyak Iaktor yang
menentukan tinggi rendahnya daya saing. Salah satunya adalah peran dari strategi
perdagangan dan industri. Tanpa strategi industri dan perdagangan, suatu negara tidak
mungkin membangun industri yang kompetitiI dan produktiI.
Apabila dilihat dari daya saing produk industri, indonesia masih minim dalam menghadapi
persaingan, sedikitnya ada 14 sektor usaha yang harus dirundingkan ulang (renegoisasi)
untuk penangguhan keikutsertaan dalam ACFTA selama 2-5 tahun kedepan(edia Indonesia,
edisi 19 Januari 2010). aka dari itu, kalangan industri harus melakukan pembenahan karena
persaingna terbuka tidak bisa dihindari.

BAB II
ABSENSINYA STRATEGI INDONESIA
Strategi merupakan hal pokok yang harus dilaksanakan oleh setiap kompetitor. Cara
menghadapi persaingan yang tepat dan eIisien diperlukan guna memenangkan persaingan
bebas. Namun, pada kenyataannya Indonesia absen strategi dibandingkan dengan China. Hal
ini dapat kita lihat dari 4 aspek, yakni sebagai berikut :
1) sebagai pusat industri di dunia, pemerintah China memilih untuk memprioritaskan
penyediaan listrik murah. Listrik merupakan Iaktor penting untuk menciptakan daya saing
dan menarik investasi. Karena itu dalam penyediaan listrik, China memilih memanIaatkan
batu bara yang melimpah. Sedangkan di Indonesia, rendahnya daya tarik industri manuIaktur,
antara lain akibat kegagalan PLN menjaga pasokan listrik dan tingkat harga. Tingginya biaya
produksi terjadi karena PLN tidak mendapat dukungan pasokan energi murah baik batu bara
maupuan gas dari pemerintah. Padahal Indonesia memiliki kekayaan energi alam yang tidak
kalah jika dibandingkan dengan China. Tetapi Indonesia lebih memilih menjadikan batu bara
dan gas sebagai komoditas ekspor, bukan modal untuk membangun Industri. Demikian juga
pada pengolahan timah, China tidak menjadikan komoditas ekspor yang didasarkan pada visi
dan strategi China untuk membangun struktur industri elektronik yang deep dan kompetitiI.
Sedangkan Indonesia dibiarkan untuk diolah negara lain.
2) Dalam kebijakan keuangan, kegigihan China untuk tetap menjga nilai tukar yang lemah
dilakukan sesuai strategi untuk menjaga daya saiang produk industri. Bahkan pada saat krisis,
China membantu negara lain lewat special credit Iacility yakni memberikan kemudahan
pembayaran bagi importir yang dilakukan untuk menjaga permintaan produk China.
Sedangkan kebijakan Indonesia untuk memilih nilai tukar rupiah yang kuat juga telah
menggeruk daya saing berbagai produk ekspor. Tanpa strategi industri, pilihan kebijakan
Iiskal dan moneter akhirnya memang tidak terarah dan akhirnya meguntungkan sektor
keuangan daripada riil.
3) Dalam hal sumber daya energi, Indonesia hanya memiliki industri perakitan (hulu) untuk
produk elektronika dan produksi. Namun, berbeda dengan China, dalam membangun industri
elektronika yang terintegrasi mulai dari pembangunan industri pendukung dengan mengolah
bahan baku.

BAB III
DAPAK ACFTA TERHADAP PEREKONOIAN INDONESIA
Dalam hal ini, terdapat dampak positiI dan negatiI dari adanya ACFTA yang diberlakukan
oleh Indonesia.
a) Dampak NegatiI
Pertama: serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-
sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami
proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri
(KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1 pada 2004
menjadi 27,9 pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor
industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh
penutupan sentra-sentra usaha strategis IK (industri kecil menegah). Jumlah IK yang
terdaItar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp
1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85 di antaranya akan mengalami
kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina (Bisnis Indonesia,
9/1/2010).

Kedua: pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat
bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai
sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga tekstil dan
produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15 hingga 25. enurut Wakil Ketua
Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, selisih 5 saja sudah
membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).
Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah bersikap
pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil Cina atau
setidaknya pedagang tekstil
Sederhananya, 'Buat apa memproduksi tekstil bila kalah bersaing? Lebih baik impor
saja, murah dan tidak perlu repot-repot jika diproduksi sendiri. Gejala inilah yang mulai
tampak sejak awal tahun 2010. isal, para pedagang jamu sangat senang dengan
membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang harganya murah dan dianggap lebih
manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya, produsen jamu lokal terancam gulung
tikar.

Ketiga: karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya
bergantung pada asing. Bahkan produk 'tetek bengek seperti jarum saja harus diimpor. Jika
banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor- sektor vital ekonomi
dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan
dari kekuatan ekonomi Indonesia?

Keempat: jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk
Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Data
menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004
hingga 2008 hanya 24,95, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesia mencapai
35,09. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah
ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil
industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yang memang sedang 'haus bahan
mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.

Kelima: peranan produksi terutama sektor industri manuIaktur dan IK dalam pasar nasional
akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin
menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang,
sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di Indonesia
mencapai 8,96 juta orang.

b) Dampak PositiI dari adanya ACFTA
Pertama: ACFTA akan membuat peluang kita untuk menarik investasi. Hasil dari
investasi tersebut dapat diputar lagi untuk mengekspor barang-barang ke negara yang
tidak menjadi peserta ACFTA

Kedua : dengan adanya ACFTA dapat meningkatkan voume perdagangan. Hal ini di motivasi
dengan adanya persaingan ketat antara produsen. Sehingga produsen maupun para importir
dapat meningkatkan volume perdagangan yang tidak terlepas dari kualitas sumber yang
diproduksi
Ketiga : ACFTA akan berpengaruh positiI pada proyeksi laba BUN 2010 secara agregat.
Namun disamping itu Iaktor laba bersih, prosentase pay out ratio atas laba juga menentukan
besarnya dividen atas laba BUN. Keoptimisan tersebut, karena dengan adanya AC-FTA,
BUN akan dapat memanIaatkan barang modal yang lebih murah dan dapat menjual produk
ke Cina dengan tariI yang lebih rendah pula( pemaparan enkeu Sri ulyani dalam Rapat
Kerja ACFTA dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR RI, Rabu (20/1). Porsi terbesar (91
persen) penerimaan pemerintah atas laba BUN saat ini berasal dari BUN sektor
pertambangan, jasa keuangan dan perbankan dan telekomunikasi. BUN tersebut
membutuhkan impor barang modal yang cukup signiIikan dan dapat menjual sebagian
produknya ke pasar Cina.

BAB IV
TESTIONI ACFTA
Dengan adanya ACFTA terjadilah Pros dan cons diantara para pelaku ekonom, maka dari itu
terdapat beberapa testimoni mengenai ACFTA yang berdampak bagi perekonomian
Indonesia.
1) Ketua Komisi VI DPR F-Partai Golkar, Airlangga Hartarto :
'Kita minta kepada pemerintah secepatnya membuat kebijakan yang tepat untuk menyambut
ACFTA, karena kita paham tak semua sektor riil itu siap menghadapi ACFTA, jadi memang
ada beberapa yang belum siap, bahkan tak siap, katanya,.
2) Jakarta, 19 Januari 2010 (Business News) :
Dengan dibukanya perdagangan ASEAN - China Free Trade Agreement (AC-AFTA) cukup
mengerikan bagi Indonesia, ujar Benny A. Kusbini selaku Ketua Harian Dewan Hortikultura
Indonesia, dalam perbincangannya dengan Business News, Senin (19/1) mengatakan, sebab
tanpa ada FTA saja, produk China sudah banyak melanglang buana di Indonesia.
3) Harga menentukan kualitas begitu bukan pak Erias, 'You Get What You Pay For.
Barang2 China mungkin cocok untuk masyarakat kita yang daya belinya rendah, sedangkan
dengan harga dan kualitas produk lokal yang tinggi bisakah kita 'menggempur pasar luar
yang memang memiliki selera tinggi? (Herdy FN, mahasiswa Trisakti)

4) Uki asduki ahasiswa STIE Ahmad Dahlan, Jakarta:
Dengan adanya kesepakatan perdagangan bebas dengan negara-negara lain, Indonesia
diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Bukan karena dilatarbelakangi
ketakutan terhadap dampak trade diversion, yaitu ketakutan kehilangan potensi ekspor ke
negara tertentu. Dengan jumlah penduduk China yang besar dan tingkat tariI relatiI rendah,
ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk memasuki pasar Negeri Tirai Bambu itu.

PENUTUP
Kesimpulan
1) ACFTA merupakan ajang persaingan global dalam bidang produksi barang maupun jasa
yang diadakan sesuai dengan perjanjian Indonesia dan China pada awal januari 2010.
2) Kalahnya strategi persaingan bangsa Indonesia terhadap China mendominasi
perekonomian semakin terpuruk. Sikap pesimisme para produsen indonesia mewarnai perang
industri ini dan dijadikan estimasi Indonesia untuk kalah bersaing.
3) ACFTA dipandang terlalu agresiI untuk melakukan liberalisasi ekonomi Indonesia yang
menjadikan keterpurukan Indonesia semakin dalam.
4) ACFTA menimbulkan dampak PositiI dan negatiI bagi perekonomian Indonesia. Namun
hal ini tidak bisa dipungkiri dampak negatiI dari adanya ACFTA mendominasi akan
keterpurukan perekonomian Indonesia yang menjadi Bom Bunuh Diri bagi industri negara
ini.
Saran
1) Pemerintah sepatutnya melakukan langkah antisipatiI untuk memberikan kesempatan
industri lokal berkembang, peningkatan kapasitas terpasang di seluruh cabang industri
manuIaktur, deregulasi perizinan, perbaikan inIrastruktur listrik, jalan, dan pelabuhan, serta
akses intermediasi perbankan yang menarik bagi investor dan peduli terhadap arket
Domestic Obligation (DO).

2) UK (usaha kecil menengah) perlu ditingkatkan guna memajukan daya saing produk yang
semakin ketat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan keringanan terhadap para
wirausahawan dalam memperoleh kredit usaha.

3) Pemerintah harus tetap konsisten dengan kewajiban penggunaan bahan baku lokal
untuk berbagai sektor inIrastruktur

DAFTAR PUSTAKA
- Koran edia Indonesia, edisi senin 21 Desember 2009
- Koran edia Indonesia, edisi senin 28 Desember 2009
- Koran edia Indonesia, edisi Selasa 19 Januari 2010-01-20
- Koran KOPAS, edisi Rabu 30 Desember 2009
- Situs www.bataviase. Com
- Situs www.okezone.com
- Situs pencarian www.google.com
- Situs www.Inilah.com
- Berbgai macam Blog

Anda mungkin juga menyukai