Anda di halaman 1dari 3

Samaria Mansel

1770750021

Politik Luar Negeri

Kebijakan Amerika Serikat dan China dalam Perang Dagang

Istilah Foreign Policy Analysis (FPA) menunjukkan subbidang teori IR (International


Relations), yang dengan sendirinya tumbuh dari subbidang Comparative Foreign Policy (CFP).
Konstitusi CFP sebagai anteseden terhadap FPA penting untuk memahami mengapa Marxisme
tidak pernah mengembangkan pendekatan FPA. CFP lahir ke dunia hubungan internasional
Anglo-Amerika yang terbentuk pada periode awal Perang Dingin dan diilhami oleh cita rasa
intelektual pada masanya. Yang sangat penting di sini adalah dominasi pendekatan politik
kekuasaan "realis", dan metode "positivistik" dalam ilmu sosial Amerika pada saat itu.

Konstitusi teori IR sebagai "realisme" selama periode ini menciptakan ruang bagi CFP (dan
kemudian FPA), karena hubungan realisme dengan praktik pembentukan kebijakan luar negeri
bersifat ambivalen. Dengan kata lain, ketegangan antara dimensi realisme normatif dan deskriptif
berarti bahwa selalu tidak jelas apakah realis harus dalam bisnis menawarkan saran kepada
negara-orang dalam merumuskan kebijakan (Waever, 2011, hal. 112). Ini berarti bahwa ruang
konseptual ada untuk bidang penyelidikan sebagian otonom ke dalam pembentukan kebijakan
luar negeri untuk dikembangkan.

Dalam konteks global, sejak China resmi bergabung menjadi salah satu anggota WTO pada
tahun 2001 dengan dukungan Amerika Serikat mampu membuat pertumbuhan ekonomi China
yang sangat cepat semakin berkembang.1 Masuknya China ke dalam WTO memberi dampak
yang cukup positif bagi perekonomian China. Keuntungan perdagangan yang semakin besar
berdampak untuk memperkuat perekonomian China sehingga China mampu mengintegrasikan
ekonominya ke dalam WTO. Dengan bergabungnya China dengan organisasi besar di dunia
maka pintu perdagangan China semakin terbuka luas.

Neraca perdagangan Amerika Serikat mengalami ketimpangan yang salah satunya disebabkan
oleh meningkatnya ekspor China ke Amerika Serikat pada tahun 2008. Dimana hal tersebut
merupakan salah satu dampak yang dialami oleh China akibat dari adanya krisis ekonomi global
terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Dampak krisis ekonomi global tersebut
mempengaruhi jumlah penanaman modal asing yang masuk ke China karena banyak perusahaan
terutama perusahaan Amerika Serikat, baik skala besar maupun kecil yang menutup pabriknya di
China.

Dalam perkembangannya terdapat dua komponen yang tidak dapat terpisahkan yaitu negara dan
pasar. Hal tersebut merujuk pada sektor ekonomi yang direpresentasikan melalui pasar
sedangkan sektor politik yang dapat direpresentasikan melalui negara, yang tentu akan saling
berhubungan satu dengan yang lainnya. Ekonomi merupakan suatu hal yang berkaitan dengan
pencapaian sebuah kekayaan, sedangkan politik sangat erat kaitannya dengan pencapaian
kekuatan atau kekuasaan. Ekonomi Internasional didukung pula oleh beberapa kelompok
kepentingan yang ada di sebuah negara. Interest Group (Kelompok Kepentingan) dan New
Social Movement (Gerakan Sosial Baru) merupakan sebuah kelompok organisasi berpengaruh
sebagai sebuah kelompok yang terorganisir dan sistematis yang mana kelompok ini senantiasa
memiliki tujuan secara kolektif untuk mempengaruhi dari setiap kebijakan-kebijkan yang akan
dibuat atau yang sedang dijalankan dari sebuah state atau government.

Setelah terpilih menjadi Presiden AS ke-45 Trump mulai mengeluarkan kebijakan. Pada Januari
2017, dia meneken perintah eksekutif untuk menarik AS dari kesepakatan dan negosiasi Trans-
Pacific Partnership (TPP) dan mengatakan akan mengenakan tarif impor terhadap produk China
hingga 45%. Jika diklasifikasikan berdasarkan ruas waktu, Trump baru melancarkan serangan
tarif ke mitra dagang utamanya, terutama China, pada tahun 2018. Sebelumnya pada 2017,
pemerintah Trump hanya melakukan kajian dan menyusun daftar barang yang akan dikenakan
tarif. Pada April 2017 Trump meminta Departemen Perdagangan AS menginvestigasi apakah
impor baja dari China dan negara lain melukai kepentingan AS.

AS pada tahun lalu mengimpor produk China senilai total US$540 miliar. Sejauh ini tarif sebesar
25% secara efektif telah dikenakan terhadap produk impor China senilai US$250 miliar, atau
setara dengan 46,3% dari nilai total impor tersebut. Trump mengincar pengenaan tarif sebesar
25% untuk produk sisanya (sebesar US$290 miliar). Di sisi lain, China hanya mengimpor produk
AS senilai US$120 miliar pada tahun 2018. Negeri Tirai Bambu sejauh ini mengenakan tarif
tambahan untuk produk AS senilai US$110 miliar atau 91,7% dari total impor mereka dari AS.
AS sejauh ini mengubah kebijakan tarifnya terhadap produk China sebanyak enam kali. Lima
kali pada 2018, dan sekali pada 2019 yang merupakan penaikan tarif untuk produk yang sudah
dinaikkan tarifnya pada 2018. Di sisi lain, China membalas sebanyak tiga kali; dua kali pada
2018, dan sekali pada 2019, yang juga merupakan penaikan tarif untuk produk yang pada 2018
sudah dibidik tapi belum dilaksanakan. Siklus perang dagang ini terus berlangsung hingga pada
awal Desember 2018 kedua negara menyetujui perdamaian sementara di sela makan malam
forum G20 di Argentina. Keduanya sepakat untuk menahan pemberlakuan tarif hingga 1 Maret
2019 sembari terus bernegosiasi.

Setelah perjanjian perdamaian sementara pada akhir tahun 2018, Amerika Serikat dan China
mengadakan pertemuan sebanyak tiga kali, namun dari ketiga pertemuan tersebut tidak
menemukan titik terang antara kedua belah pihak. Hingga pada Mei 2019 AS mengancam akan
mengenakan tarif baru 25% untuk produk China senilai US$200 miliar yang sebelumnya telah
terkena tarif sebesar 10%, dan d China membalasnya dengan kenaikan tarif sebesar 5-25% untuk
produk impor AS senilai US$60 miliar.

Anda mungkin juga menyukai