NIM : 14040118140077
Diplomasi Komersial
Diplomasi komersial China di ASEAN pasca keanggotaan China di WTO.
Maksud dari diplomasi komersial dalam tulisan ini adalah usaha dan peran pemerintah
dalam mengatur perdagangannya dengan negara mitra. Wujud dari diplomasi komersial
ini sendiri terbagi dalam empat bentuk. Yang pertama adalah pembuatan kebijakan
perdagangan asing China agar sesuai dengan ketentuan WTO dan sekaligus dapat
menguntungkan China dalam menjalankan kerja sama perdagangan dengan mitranya.
Kedua, strategi yang dilakukan pemerintah China terkait hubungan perdagangan barang
dan investasinya dengan ASEAN agar hasilnya sesuai dengan kepentingan nasional
China. Ketiga, kebijakan pemerintah China terhadap perusahaan negara (SOE) China
yang mempengaruhi ekspansi perusahaanperusahaan tersebut di ASEAN. Keempat,
kebijakan pemerintah China dan pihak swasta terhadap perusahaan swasta China dalam
meningkatkan dan menjaga harmonisasi hubungan perdagangan dengan ASEAN.
Selanjutnya diplomasi komersial China ini menjadi alasan peningkatan hubungan
ekonomi China dan ASEAN dalam kurun waktu delapan tahun (2002-2010)
Salah satu diplomasi terpenting yang mendorong kebangkitan China adalah diplomasi
ekonomi dan komersialnya. Diplomasi ini dimulai dengan China membuka pasarnya
yang besar bagi investor yang datang. China berhasil menumbuhkan kepercayaan
masyarakat internasional mengenai keuntungan berbisnis dengan China dengan
menyediakan lingkungan bisnis yang prospektif, kondusif, dan visioner. Tidak hanya
berhasil memenangkan kepercayaan negara-negara maju, China juga berhasil menarik
negara-negara berkembang untuk berinvestasi dan melakukan berbagai kerjasama
perdagangan. Dalam rangka menyukseskan pembangunan citra China yang ramah, China
pun menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan yang lebih erat dan bersahabat
dengan negara-negara tetangganya di Asia, yakni dengan Jepang, Korea, dan Asia
Tenggara.
Penting bagi China untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan Asia Tenggara,
yakni negara anggota ASEAN, mengingat hubungan keduanya telah lama terjalin.
Sebelum negara-negara barat melirik China sebagai sasaran investasi dan target pasar,
hubungan perdagangan China dan Asia Tenggara telah dimulai. Setelah ASEAN
didirikan hubungan China dan Asia Tenggara mengalami pasang surut tetapi tidak pernah
benar-benar putus dan terus berlanjut dengan menyebarnya masyarakat China perantauan
yang memilih untuk pindah ke negara-negara di Asia Tenggara. Ditambah lagi, setelah
Partai Komunis China memegang tampuk kekuasaan, China mengalami hubungan yang
sulit dengan negara-negara barat yang menentang komunisme. Runtuhnya Uni Soviet
yang juga menandai berakhirnya Perang Dingin memaksa China untuk mencari startegi
baru untuk mengatasi kelemahan-kelemahan sistem ekonomi sosialis. Pada tahun 1993,
China mengumumkan diri sebagai ekonomi pasar sosialis.
Sistem ekonomi pasar memaksa China untuk merangkul negara-negara lain sebagai target
pasar dan sumber investasi, salah satunya adalah Asia Tenggara yang telah menjadi mitra
dagang China sejak lama. Setelah China bergabung dengan WTO, terjadi kenaikan
signifikan pada volume perdagangan antara China dan ASEAN. Peningkatan hubungan
ekonomi keduanya juga terlihat dari kenaikan investasi asing yang masuk dan keluar dari
kedua belah pihak. Dalam tataran global peningkatan hubungan perdagangan keduanya
memang tidak terlalu menonjol, tetapi pada level yang lebih rendah, yakni regional
maupun domestik, peningkatan hubungan ekonomi keduanya secara nyata dirasakan oleh
masyarakat ASEAN. Pasar ASEAN yang besar mulai merasakan serbuan produk-produk
China yang murah, tidak hanya yang masuk ke dalam kategori industri ringan, tetapi juga
teknologi tinggi seperti alat transportasi seperti pesawat terbang buatan China.
Dalam tataran lebih rendah, masyarakat awam ASEAN yang sebelumnya tidak
menyadari kebangkitan China mulai bangun dan mendapati diri mereka dikelilingi oleh
produk-produk buatan China yang mengisi hari-hari mereka mulai dari matahari terbit
hingga terbenam. Dari sudut pandang masyarakat kecil yang tidak hidup dari berdagang
kehadiran produk-produk China sangat menguntungkan. Mereka dapat menjangkau
barang-barang kebutuhan sehari-hari yang dulunya tidak mampu mereka beli. Tetapi dari
perspektif pedagang, membanjirnya produk China adalah sebuah ancaman karena produk
dalam negeri sulit bersaing dengan produk China yang murah. Pemerintah negara
anggota ASEAN pun mulai cemas akan kebangkitan China.
China menyadari ketakutan ASEAN, terutama negara anggotanya yang masuk kategori
negara berkembang, dalam menghadapi persaingan dengan China. Jika ASEAN
ketakutan, maka hubungan ekonominya dengan China tidak akan berjalan dengan lancar.
Untuk mengatasi kecemasan ASEAN atas kebangkitan China, China pun melancarkan
diplomasi komersialnya di ASEAN. Diplomasi komersial China di ASEAN dilakukan
dengan mengajukan proposal kerjasama perdagangan bebas pada tahun 2000, menarik
dan mendorong investasi dari dan ke ASEAN, dan melalui kebijakan pemerintah China
terhadap perusahaan negara dan swastanya untuk berekspansi ke ASEAN.
Skema ACFTA diajukan China tidak hanya semata untuk mengurangi kecemasan
ASEAN, namun juga membantu China mendapatkan kepercayaan ASEAN akan
perkembangan ekonomi China yang pesat dan damai. Dalam skema ini, China membantu
mendorong ekspor pertanian ASEAN ke China dengan memberikan program EHP dan
fasilitas perdagangan lainnya bagi anggota ASEAN. Peran negara sangat dominan karena
seluruh bentuk bantuan yang ditawarkan China ke ASEAN selalu mengacu kepada
hukum dan peraturan perdagangan asing dan ekspor impor yang dibuat dan diawasi oleh
negara. Pada level atas, pemerintah China terjun langsung dalam diplomasi komersialnya
yang menekankan kepada sikap China yang kooperatif dalam melakukan hubungan
dagang dengan ASEAN dalam skema ACFTA. Berulang kali pemerintah China
menegaskan niat baiknya untuk membantu ASEAN meningkatkan ekspornya ke China
dan bahwa China juga mendorong perdagangannya ke ASEAN.
Dalam sektor investasi, pemerintah China menyerukan kepada perusahaan negara dan
pengusaha swasta untuk berinvestasi di ASEAN. Pemerintah juga menandatangani
perjanjian kerjasama investasi dengan ASEAN yang diharapkan dapat mendorong
investasi masuk dan keluar di kedua pihak. Kebijakan dalam negeri China yang banyak
memberikan banyak kemudahan bagi iklim bisnis mampu menarik kelompok swasta dari
ASEAN untuk menanamkan modal dengan China. Kelebihan China yang sangat menarik
bagi ASEAN adalah infrastruktur yang baik, birokrasi yang mudah dan sederhana, serta
etos kerja buruh yang tinggi dan produktif. Untuk investasi ke luar, peran negara tidak
hanya dengan seruan langsung untuk menjadikan ASEAN sebagai tempat investasi
China, China juga berinvestasi besarbesaran dalam bidang infrastruktur dan transportasi
yang menghubungkan China dengan wilayah Asia Tenggara untuk mendorong
perpindahan modal, tenaga kerja, dan distribusi barang.
Diplomasi komersial ketiga China di Asia Tenggara tertuang dalam bentuk kebijakan
pemerintah China terhadap perusahaan negara (SOE) dan perusahaan swastanya (PE).
Peran SOE dalam peningkatan hubungan ekonomi China dengan ASEAN lebih dominan
dibandingkan dengan peran perusahaan swasta China. Umumnya SOE China bergerak di
ASEAN dengan tujuan mengamankan ketahanan energi China dan kebutuhan China akan
bahan mentah dari ASEAN. SOE-SOE ini berekspansi dalam wujud perusahaan China
ataupun menjalin kerjasama dan membentuk usaha gabungan dengan perusahaan lokal di
negara-negara ASEAN. Kelebihan SOE adalah kuatnya dukungan dana dari pemerintah
China yang memiliki power dan pengaruh yang sangat kuat di kawasan. Hal ini membuat
perusahaan swasta China tidak mampu bersaing dengan perusahaan negara sehingga
ASEAN belum dilihat sebagai tujuan investasi yang sangat menguntungkan.
Secara keseluruhan, tulisan ini menunjukkan bahwa peran pemerintah China dalam
menetapkan kebijakan perdagangan China di ASEAN telah menjadi faktor penting dalam
peningkatan kerjasama ekonomi dan perdagangan China dan ASEAN terutama sejak
keanggotaan China di WTO. Kebijakan ini tertuang dalam bentuk diplomasi komersial
China di ASEAN terutama dalam kerjasama perdagangan barang, investasi dan ekspansi
perusahaan negara dan swastanya. Benang merah dari kebijakan di tiga bidang kerjasama
tersebut adalah karakteristik kebijakan perdagangan China yang sifatnya lebih integratif
dan visioner jika dibandingkan dengan diplomasi komersial China di ASEAN sebelum
keanggotaannya di WTO. Selain itu, peran negara dalam diplomasi komersial China di
ASEAN lebih dominan dibandingkan dengan peran pihak swasta China. Peran
pemerintah China tidak sebatas sebagai pembuat kebijakan atau melakukan negosiasi
dengan pemerintah ASEAN dalam perjanjian kerjasama, melainkan juga sebagai
penyokong dana utama, fasilitator perdagangan dan aspekaspek terkait, pengawas, dan
pengambil keputusan-keputusan penting. Hubungan kerjasama yang semakin erat
ditandai dengan kenaikan signifikan volume perdagangan dan investasi antara kedua
mitra terutama sejak China menjadi anggota WTO pada akhir tahun 2001.
Terlepas dari besarnya peran China dalam meningkatnya hubungan ekonomi China dan
ASEAN, Diplomasi komersial China di Asia Tenggara tetap memiliki beberapa
kelemahan. Pertama, China menemukan kesulitan dalam mendorong perusahaan
swastanya berinvestasi di ASEAN. Masalah ini sebenarnya lebih cenderung bersumber
dari ASEAN sendiri. Kondisi negara anggota ASEAN yang sebagian besar negara
berkembang dan masih harus berjuang dengan masalah internal seperti infrastruktur yang
buruk, birokrasi yang rumit, serta etos kerja buruh yang kurang efisien, membuat
perusahaan swasta China enggan menanamkan modal atau memperluas usahanya di
wilayah ini. Pemerintah China lebih banyak memberikan dukungan kepada perusahaan
negaranya dibandingkan kepada pihak swastanya. Padahal, inti dari perjanjian investasi
di bawah skema ACFTA bagi China dan ASEAN adalah untuk sama-sama mendorong
investasi yang bisa datang baik dari perusahaan negara maupun perusahaan swasta.
Pemerintah China perlu memberikan stimulus lebih kepada perusahaan swastanya untuk
berinvestasi di ASEAN, misalnya dengan memberikan bantuan dana untuk biaya
distribusi barang sehingga mengurangi beban perusahaan swasta dalam mendistribusikan
produknya di negara-negara ASEAN khususnya yang merupakan negara kepulauan
seperti Indonesia dan Filipina.
Kedua, China juga masih harus menghadapi beberapa masalah lain terkait hubungan
dagangnya dengan ASEAN. Pemerintah China harus lebih tegas menanggapi keluhan-
keluhan ASEAN mengenai dumping yang mereka tuduhkan kepada China. Selain kasus
dumping, pemerintah juga perlu menindak produsen atau distributor barang-barang China
yang masuk ke ASEAN melalui jalur ilegal karena ini dapat mengurangi tingkat
kepercayaan ASEAN terhadap komitmen China untuk mempromosikan perdagangan
yang adil dan transparan. ACFTA baru dimulai tahun 2010, jalan menuju realisasi penuh
kerjasama perdagangan bebas antara kedua pihak masih panjang, oleh karena itu
pemerintah China masih memiliki waktu untuk mengatasi hambatan-hambatan yang
ditemui dalam implementasi diplomasi komersialnya di ASEAN.
Anggota ASEAN, khususnya negara berkembang, seharusnya dapat belajar banyak dari
China. China tidak berangkat dari negara yang kaya akan sumber daya alam yang
berlimpah seperti seperti Indonesia, tetapi China memiliki determinasi yang kuat untuk
membangun negerinya dan menyejahterakan rakyatnya. China berhasil memajukan
ekonominya dengan menyusun kebijakan-kebijakan perdagangan yang sesuai dengan
tuntutan WTO tanpa perlu mengubah tatanan politiknya. RRC juga berhasil maju dengan
seperangkat kebijakan yang revolusioner, visioner, dan total dengan memperhitungkan
penuh sumber daya yang dimilikinya serta resiko-resiko yang harus diambil. China
berhasil menggunakan kekuatan diplomasi ekonomi dan komersialnya dengan sangat
berani dan seringkali tidak terpikirkan oleh negara-negara lain demi mencapai
kepentingan nasionalnya.
ASEAN juga harus belajar tentang bagaimana campur tangan pemerintah China dalam
memenangkan persaingan dagang dengan negara mitra. Jika ASEAN ingin bersaing
dengan China maka ASEAN harus membenahi persoalan-persoalan domestiknya terlebih
dahulu. Misalnya dengan membuat perencanaan kebijakan ekonomi yang lebih matang
yang dapat menarik investasi asing, memastikan kejelasan hukum demi lingkungan bisnis
yang lebih kondusif, membangun industri strategis yang dapat mendorong pertumbuhan
produksi barang manufaktur dalam negeri, serta meningkatkan kualitas sumber daya
manusianya agar dapat memenangkan persaingan.
Diplomasi Demokratik
Diplomasi demokratis adalah sebutan bagi diplomasi Amerika Serikat (AS) yang baru
pada abad ke-20 tahun 1919 dan ikut berkecimpung dalam percaturan politik
internasional melalui kehadiran Presiden Woodrow Wilson di Konggres Versailles untuk
menyelesaikan persoalan Perang Dunia I. Dalam pertemuan itu Presiden Woodrow
Wilson mengusulkan gagasan 14 Pasal untuk perdamaian dunia (dikenal dengan Wilson
Fourteen Points) dan salah satunya adalah gagasan untuk mewujudkan “open covenant
openly arrived at” alias “perjanjian terbuka yang dicapai secara terbuka.” Pengertian
demokratik di sini merujuk kepada pola pertanggungjawaban pelaksanaan politik luar
negeri yang berlaku di AS, atau proses politik yang berlaku di AS berkaitan dengan
keterlibatan internasional pemerintahnya. Mengingat Amerika adalah negara dengan
sistem pemerintahan demokratis, maka semua kebijakan luar negeri harus
dipertanggungjawabkan kepada rakyat melalui Konggres (DPR-nya Amerika) karena
lembaga ini memiliki hak ratifikasi (persetujuan). Ketika Presiden Woodrow Wilson
menandatangani Piagam Liga Bangsa-bangsa (League of Nations) maka ia harus
mempertanggungjawabkannya kepada Konggres, yang ternyata menolak meratifikasinya.
Karena Piagam LBB tidak diratifikasi oleh Konggres, maka dengan sendirinya AS tidak
berkewajiban melaksanakan alias tidak menjadi anggota Liga.
Sumber :
https://www.kompasiana.com/mrasyaaditya/550067cfa33311fb6f510ed2/diplomasi-
demokratis.
Penulis : Muhammad Aditya
Diplomasi Totaliter
Diplomasi totaliter terkenal pada masa Fasisme Italia. Italia Fasis adalah era
pemerintahan Partai Fasis Nasional dari tahun 1922 hingga 1943, di bawah pimpinan
Benito Mussolini. Kaum fasis memberlakukan pemerintahan totaliter dan
menghancurkan oposisi politik dan intelektual, sambil mempromosikan modernisasi
ekonomi dan nilai-nilai sosial tradisional, serta melaksanakan pemulihan hubungan
dengan Gereja Katolik Roma. Menurut Payne (1996), "Pemerintahan Fasis melewati
beberapa tahap yang relatif berbeda". Tahap pertama (1923-1925) adalah kelanjutan
nominal sistem parlementer, meskipun dengan "kediktatoran eksekutif yang
diselenggarakan secara legal". Kemudian datang tahap kedua, "pembangunan
kediktatoran fasis yang sebenarnya, dari 1925 sampai tahun 1929". Tahap ketiga, dengan
aktivisme yang lebih sedikit, berjalan dari tahun 1929 ke tahun 1934. Tahap keempat,
1935-1940, berisi kebijakan luar negeri yang agresif: perang melawan Etiopia, yang
dijalankan dari Eritrea dan Somaliland; konfrontasi dengan Liga Bangsa-bangsa, yang
berujung pada sanksi; pertumbuhan autarki ekonomi, serta penandatanganan Pakta Baja.
Perang itu sendiri (1940-1943) adalah tahap kelima, berakhir dengan bencana dan
kekalahan, sementara Pemerintah Salo, sebuah negara boneka di bawah kendali Jerman
Nazi, adalah tahap akhir (1943-1945).
Italia adalah anggota penting kekuatan Poros pada Perang Dunia II, sampai pada akhirnya
berganti pihak kepada Sekutu pada bulan September 1943 setelah mengusir Mussolini
dan mematikan Partai Fasis di daerah selatan Roma yang dikendalikan oleh penjajah
Sekutu. Negara fasis di Italia utara yang tersisa dan terus berperang melawan Sekutu
adalah negara boneka dari Jerman, Republik Sosial Italia, masih dipimpin oleh Mussolini
dan loyalis Fasis. Tak lama setelah perang, ketidakpuasan sipil menimbulkan referendum
konstitusi 1946, yang mempertanyakan bentuk negara Italia, apakah tetap monarki atau
menjadi republik. Italia memutuskan untuk meninggalkan monarki dan membentuk
Republik Italia, negara Italia yang ada saat ini.
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Italia_di_bawah_Fasisme_(1922-1943)
Sumber :
http://pintar.jatengprov.go.id/uploads/users/rusyanto/materi/SMP_Perjuangan_Merebut_I
rian_Barat_2014-10-28/Perjuangan_Merebut_Irian_Barat.pdf
Diplomasi diam-diam
Pembebasan Siti Aisyah, diplomasi diam-diam Yassona Laoly
Warga Negara Indonesia bernama Siti Aisyah akhirnya dapat menghirup udara segar usai
bebas dari kasus dugaan pembunuhan terhadap Kim Jong-nam, saudara tiri pemimpin
Korea Utara. Pembebasan Siti Aisyah merupakan keberhasilan pemerintah melakukan
diplomasi diam-diam terhadap pemerintah Malaysia.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, diketahui aktif melobi Jaksa Agung
Malaysia, Tommy Thomas, untuk membebaskan WNI asal Serang, Banten, tersebut.
Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, mengatakan langkah pemerintah melakukan
silent diplomacy atau diplomasi diam-diam pilihan yang tepat. Sebab, diplomasi
dilakukan saat kasus Siti Aisyah sedang berproses di pengadilan.
“Pemerintah sudah lama melakukan silent diplomacy kepada pemerintah Malaysia, tapi
dengan tetap menghormati kedaulatan hukum dan sistem peradilan di Malaysia,” kata
Arsul berdasarkan keterangan resminya di Jakarta pada Selasa, (12/3).
Karena itu, Arsul berharap langkah pembebasan Siti Aisyah dari dakwaan pembunuhan
ini harus bisa menjadi acuan dalam memberikan perlindungan hukum bagi WNI lain di
luar negeri. Adapun pemerintah dan DPR selama ini peduli terhadap perlindungan TKI
yang bekerja di luar negeri, terutama yang sedang menjalani peradilan.
“Ke depannya prinsip perlindungan seperti ini akan diterapkan kepada WNI lainnya yang
bermasalah. Prinsip perlindungan ini wajib hukumnya diterapkan untuk semua, akan
tetapi kasus per kasusnya harus dilihat dan dipahami terlebih dulu,” ujarnya.
Pengamat Politik Universitas Islam Negeri, Adi Prayitno, menilai keberhasilan lobi yang
dilakukan Menkumham Yasonna Laoly membebaskan Siti Aisyah akan berdampak
positif pada psikologis TKI secara keseluruhan. Pasalnya, mereka jadi yakin pemerintah
hadir dan memperhatikan permasalahan TKI yang kerap mendapat perlakuan tak
manusiawi di luar negeri.
“Ya prinsipnya tidak mungkin para pekerja Indonesia datang jauh-jauh dari kampung ke
sana bertujuan untuk melakukan kejahatan. Jadi saya rasa apa yang sudah dilakukan
Menkumham, lobi-lobi pemerintah Malaysia untuk tidak mengeksekusi ini sudah sangat
bagus. Sudah sangat maksimal ,” ujar Adi.
Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, mengatakan pembebasan Siti Aisyah
dari ancaman hukuman mati di Malaysia ini menunjukkan upaya pemerintah melindungi
tenaga kerja Indonesia di luar negeri tak pernah berhenti.
“Pemerintah harus lebih serius lagi melaksanakan diplomasi semacam ini pada warga
negara Indonesia yang bernasib seperti Siti Aisyah,” ujar Wahyu.
Tak hanya itu, Wahyu menambahkan, pemerintah juga perlu memberikan upaya
pemulihan nama baik dan reintegrasi social terhadap Siti Aisyah. Namun demikian,
pihaknya tetap mengapresiasi atas langkah pemerintah sehingga Siti Aisyah menerima
putusan bebas.
Sementara Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar, Supardji Ahmad,
mengatakan pembebasan Siti Aisyah dari jerat hukum di Pengadilan Malaysia adalah
langkah kongkret. Kasus ini pun menjadi perhatian publik. Karena itu, menurut Supardji,
hal ini layak jadi acuan langkah pemerintah selanjutnya untuk menghadapi persoalan
serupa.
“Putusan itu merupakan langkah konkret dari diplomasi hukum. Apakah melalui
Presiden, Kemenlu, ataupun Kemenkumham. Kalau saya berpandangan, dakwaannya itu
dicabut dengan alasan kepentingan umum. Dan itu sangat baik untuk diplomasi kita,”
kata Supardji.
Siti Aisyah sebelumnya dituntut hukuman mati karena dianggap terlibat dalam
pembunuhan berencana bersama seorang perempuan Vietnam bernama Doan Thi Huong
terhadap Kim Jong-nam, yang diketahui memiliki hubungan kekerabatan dengan
pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un. (Ant)
Sumber : https://www.alinea.id/nasional/pembebasan-siti-aisyah-diplomasi-diam-diam-
yassona-laoly-b1XcJ9ikt.
Diplomasi preventif
Contoh selama krisis di Suez, pengiriman pasukan perdamaian PBB ke negara tersebut
merupakan upaya untuk mencegah keterlibatan negara-negara besar. Masalah yang
menyebabkan pementukan dan pengiriman pasukan PBB ke Mesir adalah terjadinya
pergolakan di Teursan Suez. Terusan Suez dinasionalisasi oleh Presiden Mesir, Gamal
Abdul Nasser pada tanggal 26 Juli 1956. Nasionalisasi Terusan Suez yang dilakukan oleh
pihak Mesir mengakibatkan negara-negara yang mempunyai kepentingan atas terusan
suez seperti Inggris dan Perancis menolak nasionalisasi tersebut. Pendekatan-pendekatan
untuk jalan damai terus dilakukan namun Mesir menolak dengan kukuh mengatakan
bahwa Terusan Suez adalah bagian dari wilayhnya. Perjanjian damai yang diupayakan
buyar ketika tentara Israel menyerbu pada tanggal 30 oktober 1956 hingga melewati garis
perbatasan Mesor dengan bertujuan menduduki Gurun Siani hingga Terusan Suez.
Pergolakan yang terjadi di wilayah Terusan Suez itu mengundang perhatian PBB untuk
mencarikan jalan keluar dan mendamaikan negara yang bersengketa, oleh karena itu PBB
mengirimkan pasukan perdamaian ke Mesir. Pemerintah Indonesia menyatakan
kesediannya ikut serta dalam pasukan PBB dengan mengirimkan pasukan Garuda. Pada
tanggal 31 Desember 1956, pasukan Garuda I dibawah pimpinan Mayor Sudiyono
mengadakan apel persiapan di Istana Merdeka.
Pasukan garuda I yang dikirim ke mesir selanjutnya bergabung dengan UNEF (United
Nations Emergency Force) di Abu Suweir, Mesir. Pasukan garuda I berhasil
melaksanakan tugasnya dnegan baik dan kembali ke tanah air pada tangga 12 september
1957.
Contoh lain
Dewasa ini dunia telah menjadi sebuah global village. Telekomunikasi membuat
perbatasan negara semakin memudar, polusi tidak mengenal perbatasan laut atau batas
daratan, dan perekonomian negara bergantung sepenuhnya pada sistem perekonomian
dunia. Iklim tidak didasarkan atas batas-batas teritorial negara. Keuangan dunia dan
sistem pasar bursa tidak dibatasi kedaulatan nasional dan batas geografis. Interdepedensi
merupakan ciri dunia saat ini. seperti yang diajarkan oleh para ekonom, bahwa kejadian
di suatu wilayah akan mempengaruhi wilayah dunia lainnya. Tidak ada negara yang
dapat hidup menyendiri sekarang. Semua negara sekarang bertetangga. Kenyataan-
kenyataan di atas harus disikapi oleh diplomasi preventif kontemporer, baik melalui
motivasi, tujuan, maupun tindakan. Data mendasar dlam masalah-masalah internasional
secara radikal berubah, sehingga diplomasi preventif harus memperluas cara pandang
masyarakat. Diplomasi seperti ini lebih sulit dan rapuh. Diplomasi kontemporer yang
tujuan dasarnya adalah untuk mewujudkan perdamaian dunia secara global, universal,
dan kolektif, tidak secara khusus memotivasi negara yang tidak menghadapi ancaman
nyata baik secara geografis maupun politis, inilah yang menyebabkan diplomasi preventif
kontemporer terkadang masih diragukan kegunaannya (Djelantik, 2008). Ada sebuah
peristiwa pertama yang menunjukan pentingnya diplomasi preventif, yaitu laporan
Departemen Luar Negeri AS yang dipublikasikan sejak tahun 1991 mengenai
pembersihan etnis di bekas negara Yugoslavia. Konflik antar etnis dan agama di Bosnia
dan Herzegovia terjadi selama empat tahun. Negara-negara Eropa tidak mampu
melakukan diplomasi preventif untuk membatasi akibat yang lebih parah. Di Kosovo,
republik keenam dari bekas negara Republik Federal Yugoslavia, tanda-tanda sudah
tampak selama tiga tahun sampai konflik meluas menjadi konflik terbuka. Tidak ada
tindakan yang diambil untuk mencegah konflik antara kaum minoritas Serbia dan
kelompok mayoritas Muslim sampai dibom dijatuhkan oleh NATO dan menelan banyak
korban ratusan ribu pengungsi. Setelah perang saudara di Rwanda yang menelan korban
lebih dari satu juta orang, konflik internal yang hampir sama mulai mengancam negara
tetangganya, Burundi. Kampanye diplomasi preventif dijalankan setengah hati oleh PBB,
sementara masyarakat internasional tidak peduli. Padahal masalah dunia, masalah
internasional. memang diplomasi preventif tradisional telah dilakukan, tapi tindakan
tersebut belum mencukupi.
Sumber : http://diplomasiiisip.blogspot.com/2016/09/tipe-tipe-diplomasi-dan-
instrumen_60.html.
Perang Yom Kippur tahun 1973 pada saat negara-negara Arab melakukan embargo
ekspor minyak. Dilakukan untuk menghukum negara-negara Barat. Negara Arab dan non
Arab yang memproduksi minyak menaikkan harga mereka secara drastis dan karenanya
memperparah krisis energy dan menciptakan suatu perubahan besar dalam hubungan
ekonomi antara negara-negara maju dengan negara-negara penghasil minyak yang sedang
berkembang. Sekarang ini negara-negara OPEC menguasai lebih dari Sembilan puluh
dua persen penambangan bahan bakar minyak di wilayah mereka dibandingkan dengan
dua puluh dua persen pada tahun 1973. Negara-negara OPEC menaikkan harga minyak
dengan cukup tinggi sehingga meningkatkan pendapatan tahunan mereka dengan pesat.
Negara-negara OPEC juga menanamkan modal mereka dalam jumlah besar di negara-
negara berkembang atau memberi mereka pinjaman dengan jumlah besar. Dengan begitu
minyak, emas cair, memainkan peran vital dalam diplomasi internasional. Inilah
sebabnya mengapa dalam arena diplomatik dunia sekarang minyak memainkan peranaan
penting dan diplomasi minyak telah menjadi bagian proses diplomatik yang terkenal.
Oleh sebab itu, perlu sekali untuk kita melihat seberapa jauh negara-negara ini, mengikuti
contoh OPEC, bisa bergabung tawar menawar secara kolektif untuk menaiki harga
komoditi ini.
Sumber : http://diplomasiiisip.blogspot.com/2016/09/tipe-tipe-diplomasi-dan-
instrumen_60.html