Anda di halaman 1dari 24

FILSAFAT

PENDIDIKAN

BAB 5
Filsafat Kegiatan Belajar
Siswa

1
Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti perkuliahan mahasiswa dapat:
1. Memahami hakikat kegiatan pembelajaran dan perkembangan
kurikulum terbaru.
2. Mendeskripsikan pendapat para ahli tentang hakikat siswa dalam
belajar dan paradigm baru proses pembelajaran.
3. Memahami diferensiasi instruksional yang menghendaki bahwa
cara belajar siswa yang berbeda.
4. Memahami Interaksi dipandang sebagai payung yang akan
menambah tingkat pemahaman dan penyerapan materi pada siswa.

2
A. Pendahuluan

3
Ketika kita membeli komputer, disitu sering ada label yang mengklaim
bahwa didalamnya terdapat “intel inside”. Sedangkan kita kebanyakan
tidak tahu apakah yang sebenarnya dimaksud dengan label tersebut.
Sebenrnya label tersebut menjamin bahwa apa yang sudah kita beli
dijamin mutunya dan dapat beroperasi dengan baik.
Demikian juga dalam berbagai hal, disekolahpun seharusnya ada
jaminan bahwa proses yang sedang berlangsung di sekolah juga
terjamin dan diakui baiknya oleh pihak ekternal.

4
Munculnya pertanyaan terkait dengan ukuran kelas, pengelompokan dalam
kelas, gaji, lingkungan sekitar sekolah, kurikulum, penilaian seharusnya
sudah tidak muncul ketika ada jaminan yang dilabelkan pada sekolah
tersebut sebagai penanda bahwa sekolah akan dan telah berjalan baik.

Label harus menjawab bahwa sekolah baik dan memiliki jaminan bahwa
siswa benar-benar dapat belajar dan berhasil meraih target yang
ditentukan. Jaminan harus memberikan garansi bahwa belajar akan
mungkin terjadi. Garansi akan memberikan peluang dan memastikan jelas
identifikasinya yang menunjukan bahwa siswa dalam kelas berhasil belajar.
Disinilah dibutuhkan filsafati kegiatan belajar yang terkait dengan how we
go about knowing and understanding and then doing something about
student learning.

5
B. Pemahaman Kegiatan Belajar

6
Pembelajaran sering dimaknakan sebagai kegiatan guru untuk
membantu siswa melakukan belajar secara layak. Dinamakan layak
karena banyak kasus menunjukan bahwa secara empirik sudah terjadi
pembelajarn tetapi tidak memungkinkan siswa untuk berkegiatan
belajar.
Kejadian ini bisa disebabkan karena peluang siswa untuk belajar
tertutup oleh kegiatan guru sehingga kesempatan siswa untuk belajar
tidak mendapat tempat. Peluang tertutup untuk siswa belajar karena
sebagian besar waktu saat tatap muka didominasi oleh guru yang tidak
menyisakan waktu untuk siswa berkegiatan belajar. Berarti siswa ikut
proses pembelajaran tetapi tidak bisa belajar.

7
Filsafat kegiatan belajar bukan dimulai dari teksbook tetapi diawali
dengan menerapkan apa yang disebut dengan backward design yaitu
perancangan belajar yang diidentifikasi dari siswa mengenai apa yang
ditargetkan kepada siswa (desires result) kemudian dilanjutkan dengan
mengetahui apa yang sudah tahu atau yang sudah dikuasai oleh siswa
atas materi pelajaran yang ditargetkan.
Tindakan mengetahui materi yang sudah dikuasai oleh siswa sebelum
diajar sangat penting agar tidak terjadi pengulangan materi diberikan
guru lagi di kelas. Sebab akan menyebabkan siswa menjadi bosan dan
prestasinya menurun (underachievement). Tujuan mengetahui materi
yang sudah dikuasai siswa sebelum diajar untuk mengurangi gap antara
start (awal berangkat mengajar) dan sukses belajar siswa.

8
C. Pendapat Ahli tentang
Bagaimana Siswa Belajar

9
Menurut Bransford and Cocking (2000) diidentifikasi ada 3 tahapan
utama pergeseran siswa itu belajar yang dimulai dari tahapan paling
sederhana sampai yang canggih.

Pembedaan ini sangat penting agar dalam guru mengajar asal mengajar
tetapi harus disesuaikan dengan tahap yang sudah dimiliki siswa.

10
Adapun pentahapan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Siswa datang ke kelas dengan modal pengetahuan dan dengan
modal potensi kompetensi awal, siswa membutuhkan belajar untuk
lebih mendalami pengetahuan karena miskin wawasan
2. Siswa datang ke kelas belum memiliki pengetahuan riil dan faktual
sebagai dasar pokok pendalaman keilmuan, siswa memerlukan
kerangka konseptual, penataan pengetahuan untuk kepentingan
penerapan ilmu.
3. Siswa sudah mempunyai bangunan kompetensi dan pengetahuan,
sehingga guru tinggal membantu untuk mengontrol belajar siswa
dengan mengarahkan dan menata target belajarnya menuju
pencapaian tujuan.

11
Filsafat kegiatan belajar memberikan kemaknaan bahwa sesungguhnya
mengajar tidak boleh dikenakan secara bersama dalam satu kelas yang
jelas-jelas masing-masing siswa memiliki perbedaan karena IQ,
kemampuan, pengalaman yang dimiliki maupun karena kebutuhan.
Itulah sebabnya filsafat kegiatan belajar mengarahkan kepada setiap guru
untuk melakukan diferensiasi (perbedaan) instruksional.

12
D. Diferensiasi Instruksional

13
Diferensiasi instruksional menghendaki bahwa belajar siswa yang
berbeda mendapat layanan pengajaran yang berlainan pula sehingga
tidak ada rumus satu kelas yang heterogin dilayani dengan cara mengajar
yang sama oleh satu guru. Filsafat ini sangat berbeda dengan
sebelumnya. Selama ini siswa yang hanya sama umurnya (sebaya)
mendapat layanan seorang guru yang sama. Penerapan homogin harus
dihindarkan dan menuju pada heterogin atau diferensiasi mengajar. Cara
mengajar yang sama hanya hasilnya merugikan siswa.
Mengajar bahan yang mudah akan menguntungkan siswa yang
berkemampuan rendah tetapi pada saat yang sama merugikan siswa
yang pandai begitu pula sebaliknya.

14
Tomlinson menunjukan empat karakteristik dari suatu tindakan mengajar
yang dianggap efektif dalam menjalankan diferensiasi.
1. Pertama, bahwa semua siswa memerlukan kesempatan untuk
mengekplor dan menerapkan konsep yang telah dikuasai dari bahan
ajar yang disampaikan oleh guru untuk mencapai sukses. Oleh karena
itu layanan yang adil harus diberikan tanpa sengaja menutup peluang
siswa lain akibat keteledoran guru dalam menggunakan strategi
mengajar dan menerapkan layanannya.

15
2. Seringnya melakukan penafsiran formative untuk melakukan
monitoring jalur dan kesempatan yang ditempuh oleh siswa menuju
keberhasilan belajar. Ini tidak sebatas sebuah kegiatan tetapi
merupakan pilihan aktivitas yang koherensi dengan siswa sebab
kegiatan akan lebih menghasilkan lebih tinggi peluang siswa untuk
berhasil belajar.
3. Membuat pengelompokan siswa secara fleksibel yang memungkinkan
siswa dapat bekerja secara mandiri, berkelompok dan secara klasikal
yang membuat terjadinya peluang siswa dapat bekerja secara sendiri
dan secara bersama.

16
4. Sedapat mungkin mendorong siswa untuk aktif untuk menggali
kesempatan untuk menuju sukses belajar.

Penciptaan diferensiasi belajar bagi sisiwa memiliki peluang untuk belajar


lebih sukses karena itu transparansi pemberian peluang kepada siswa
secara adil sangat diperlukan yang tidak diberlakukan secara general.
Dalam konteks ini disarankan untuk menuju diferensiasi dapat digunakan
metode Jigsaw.

17
E. Paradigma baru dalam mengajar

18
Perubahan baru dalam dalam paradigma mengajar berdasar pada cara
baru dalam memandang pedagogy dalam persekolahan, dalam cara
memandang proses dan hasil pembelajaran bukan bertumpu pada
content centered program. Perubahan baru tersebut lebih memandang
bahwa mengajar harus lebih banyak menciptakan hasil pembelajaran
bukan pengajaran oleh guru.
Paradigma baru ini menekankan apa yang diperoleh siswa dengan
diterapkan berbagai tipe mengajar. Hal ini dialaskan karena proses
pengajaran lebih dominan pada mengajar daripada belajar siswa yang
berkualitas. Kriteria sukses dalam mengajar adalah mewujudkan “quality
of exiting student” dengan hasil belajar yang spesific bukan mencover
materi ajar.

19
Sesuai dengan tujuan kurikulum 2013 yang menginginkan munculnya
lulusan yang kreatif produktif maka dikembangkan pula model
pembelajaran yang telah bergeser dari mementingkan guru menuju lebih
mementingkan siswa sehingga durasi waktu belajar siswa lebih banyak
dibandingkan dengan penggunaan waktu oleh guru.

20
Misalnya porsi durasi tatap muka sebanyak 90 menit untuk mata
pelajaran tertentu di SMA, maka waktu untuk guru melakukan
instruksional hanya paling lama 30 menit sedangkan sisanya sepenuhnya
waktu diperuntukan bagi siswa.
Waktu 30 menit bagi guru merupakan waktu yang difungsikan untuk
menstimuli siswa melalui tahapan asosiating atau yang dikenal dengan
M1 yaitu Mengkaitkan atau mengasosiasikan. Sedang 60 menit waktu
lainnya digunakan oleh siswa melakukan tahapan Mengamati, Menanya,
Mengkomunikasikan dan Mencoba. Selanjutnya model demikian
dinamakan dengan 5 M.

21
Mekanisme mengajar yang menggunakan 5 M membutuhkan
kemampuan dan penguasaan 5 tahapan dan menyediakan metode
mengajar yang masing-masing dapat mensupport terjadi Mengasosiasi,
Mengamati, Menanya, Mengkomunikasikan dan Mencoba.

22
Daftar Pustaka

Ann Tomlinson. 2008. Differentiating Classroom . Alexandria; ASCD).


Bransford and Cocking. 2000. How People learn: Bra in, mind, experience and School .
Woshington, DC, National Acedemy Press.
Huub Oattes. 2018. The Challenge of balancing content and languange: Perseption of Ducth
bilingual education history teacher, Journal Teaching and Teacher education 70 Irena
Kurboska. 2011. Teacher‟s decision making proceses when designing EAP reading material in
Luthianian University setting
Hattie, 2012. Visible Learning for Teachers, maximizing Impact on Learning . New York:
Rouledge.
L. Dee Fink. 2003. Creating Significant Learning Experiences, An Integrated Approach to
Designing College Courses . San Fransisco: Jossey Bass.

23
Terima Kasih

24

Anda mungkin juga menyukai