Anda di halaman 1dari 2

Nama: Shinta Aisyah Balqis Maulani

Kelas: 5A Ilmu Politik


NIM: 11211120000096
RESUME TUGAS TAMBAHAN
“POLITIK LIBERALISASI DAN INTEGRASI KEUANGAN GLOBAL"

Liberalisasi politik adalah sebuah pendorong tumbuhnya partai-partai politik baru,


mendorong kemajuan dalam demokrasi elektoral dan mengakhiri sistem kepartaian yang
hegemoni. Liberalisasi memiliki pengertian sebagai suatu faham yang berkaitan dengan
tradisi politik yang memiliki tujuan untuk lebih memfokuskan terhadap kebebasan dan
kesamaan, kebebasan hak individu sebagai warga negara. Liberalisasi politik merupakan
suatu kebebasan yang dimiliki seseorang untuk berpolitik dan menggunakan hak suaranya
secara bebas untuk menciptakan keadaan yang adil bagi masyarakat luas.
Dengan banyaknya partai politik yang tumbuh dapat memicu suatu persaingan ketat
antara partai yang berpengaruh dalam beberapa hal, yaitu: pertama, kekuatan modal (uang)
dalam persaingan politik akan menjadi semakin meluas. Kedua, melonjaknya pembiayaan
suatu kegiatan politik yang semakin mahal sehingga membuat adanya keterbatasan finansial
partai. Ketiga, di tengah persaingan politik yang sedang marak, akan bermunculan aliansi
politik didalamnya.
Maraknya politik liberal saling berkaitan dengan keadaan perekonomian yang
menjadikan uang sebagai suatu kekuatan dan persaingan sejak dibentuknya ASEAN sebagai
organisasi regional pada tahun 1967. Apabila membahas tentang integrasi perekonomian
global yang didefinisikan sebagai penghapusan diskiriminasi dan penyatuan politik dalam
bentuk kebijaksanaan seperti norma, peraturan, prosedur. Sistem keuangan di Negara-negara
Asia, termasuk Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup serius. Sistem keuangan
memegang peran yang sangat penting yaitu memiliki fungsi untuk menyalurkan dana dari
pihak yang memiliki kelebihan dana. Integrasi keuangan global juga merupakan bentuk
kerasama untuk memelihara kestabilan keuangan dan nilai tukar termasuk juga mencegah
adanya krisis keuangan, menghapuskan hambatan lalu lintas arus keuangan antar negara di
kawasan serta mengembangkan infatruktur keuangan regional.
Peningkatan intensitas kerjasama keuangan di kawasan Asia (ASEAN) sejak
pertengahan tahun 1990 dilatar belakangi oleh 3 faktor, yaitu:
1. Krisis keuangan dan moneter di Asia Timur pada tahun 1997.
Krisis ini menyadarkan negara-negara di kawasan tersebut mengenai
kerentanan terhadap efek tular dari krisis ekonomi yang terjadi pada suatu negara di
beberapa kawasan. Hal ini menumbuhkan suatu kesadaran betapa pentingnya
pertahanan terhadap kerjasama dalam bidang keuangan sekaligus mengambil inisiatif
untuk melakukan pelembagaan atas kerjasama keuangan dan moneter tersebut.
2. Kelemahan Arsitektur Keuangan Internasional
IFA dianggap kurang mengakomodasi kepentingan dari negara-negara sedang
berkembang. Manfaat IFA sangat terbatas khususnya dalam mendukung pertumbuhan
dan pembangunan di tengah tantang globalisasi keuangan dunia yang bisa ditandai
dengan perkembangan aliran modal swasta dalam jumlah besar. Beberapa fungsi IFA
yang pada nyatanya tidak berjalan yaitu gagal dalam mencegah krisis Asia sehingga
membuat negara-negara di kawasan Asia untuk bekerjasama.
3. Peningkatan interdepensi ekonomi regional
Membentuk kebijakan yang didasari oleh kepentingan yang sama dalam
bidang keuangan dan moneter di kawasan Asia. Kepentingan tersebut diperkuat oleh
adanya faktor empiris dengan adanya peningkatan intensitas proses integrasi regional
melalui jalur perdagangan di Asia

Krisis keuangan yang bermula terjadi di Thailand dimana mata uang baht jatuh dan
berdampak kepada negara Indonesia dan Korea Selatan membuat permintaan dan
kepercayaan investor turun di seluruh Asia. Upaya menghambat krisis ekonomi global serta
mestabilkan situasi di Indonesia pun gagal sehingga membuat Presiden Soeharto terpaksa
mundur pada tanggal 21 Mei 1998 akibat tekanan demonstran NKRI yang mengeluh
kebijakan kenaikan harga melonjak karna devaluasi rupiah. Kemudian, tahun 1998
pertumbuhan negara Filipina jatuh sampai 0%, Singapura mulai tertekan karna letak
geografisnya yang diantara Malaysia dan Indonesia. Hingga akhirnya krisis ini mulai pulih di
tahun 1999. Ada beberapa strategi dalam mengatasi krisis di Asia, yaitu:
1. Pembiayaan
Dukungan keuangan IMF sebesar $35 miliar diberikan untuk program
penyesuain dan reformasi di Indonesia, Korea, dan Thailand. Bantuan yng
ditingkatkan untuk Indonesia mencapai US $85 miliar pada tahun 1998-1999 yang
telah diberikan dari sumber multiteral dan bilateral.
2. Kebijakan makroekonomi
Kebijakan moneter diperketat dengan tahapan yang berbeda di berbagai
negara yang bertujuan untuk menghentikan jauhnya nilai tukar mata uang negara yang
melampaui batas fundamentalnya dan untuk mencegah depresiasi mata uang yang
mengarah ke inflasi yang berkelanjutan. Kebijakan moneter yang diperketat ini
bersifat hanya sementara dengan jangka waktu sampai kepercayaan mulai pulih dan
kondisi pasar mulai stabil.
3. Reformasi struktural
Langkah-langkah yang diambil ini untuk mengatasi kelemahan yang terjadi di
sektor keuangan dan korporasi. Adanya Reformasi yang lain dilakukan semata-mata
hanya untuk meringankan dampak sosial dari krisis yang terjadi dan diharapkan dapat
membuka jalan untuk memulai kembali pertumbuhan perekonomian.
Dapat disimpulkan, bahwa krisis Asia sangat berpengaruh bagi negara Indonesia
seperti ke mata uang, aset, pasar saham dan menyebabkan kekacauan politik dimana terjadi
kemunduran kekuasaan Soeharto, ada peningkatan Anti-Barat dengan George Soros serta
IMF yang djadikan kambing hitam. Krisis finansial Asia mengakibatkan kemunduran
terhadap ide “Asian Value” yang berarti Asia Timur memiliki struktur ekonomi dan politik
yang lebih superior dibanding Barat.

Anda mungkin juga menyukai