Anda di halaman 1dari 8

NAMA : WELDA LUKITA

NIM : A1A218068

RESUME : SEJARAH KONTEMPORER

PERKEMBANGAN EKONOMI BANGSA INDONESIA

Indonesia adalah ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Indonesia memiliki potensi ekonomi yang tinggi;
potensi yang mulai diperhatikan dunia internasional dan memiliki sejumlah karakteristik yang
menempatkan negara ini dalam posisi yang bagus untuk mengalami perkembangan ekonomi yang pesat.
Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir ada dukungan kuat dari pemerintah pusat untuk mengekang
ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas (mentah), sekaligus meningkatkan peran industri
manufaktur dalam perekonomian. Pembangunan infrastruktur juga merupakan tujuan utama
pemerintah, yang menyebabkan efek multiplier dalam perekonomian.

Perusahaan milik negara (BUMN) dan kelompok usaha swasta besar (konglomerat) memainkan peran
penting dalam ekonomi pasar. Ada ratusan kelompok swasta yang terdiversifikasi yang berbisnis di
Indonesia, namun mereka merupakan sebagian kecil dari jumlah total perusahaan yang aktif di
Indonesia. Bersama dengan para BUMN mereka mendominasi perekonomian domestik. Ini juga berarti
bahwa kekayaan terkonsentrasi di bagian atas masyarakat (dan biasanya ada kaitan erat antara elit
korporat dan elite politik di negara ini).

Sebelumnya, Indonesia sering disebutkan sebagai kandidat yang tepat untuk dimasukkan ke dalam
kelompok negara BRIC (Brazil, Rusia, India dan China). Kelompok lain yang sering disebutkan
sebelumnya - yang tergabung dalam akronim CIVETS (yaitu Colombia, Indonesia, Vietnam, Mesir, Turki
dan Afrika Selatan) - juga mendapat perhatian karena anggotanya memiliki sistem keuangan yang cukup
canggih dan populasi yang tumbuh cepat. Beberapa tahun yang lalu produk domestik bruto (PDB) dari
CIVETS itu diperkirakan berkontribusi sekitar setengah dari ekonomi global pada 2020. Namun, karena
perlambatan ekonomi global yang berkepanjangan setelah tahun 2011 kita jarang mendengar istilah
BRIC dan CIVETS lagi.

Contoh lain yang menggambarkan pengakuan internasional akan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
kuat adalah kenaikan peringkat dari lembaga pemeringkat kredit internasional seperti Fitch Ratings,
Moody's dan Standard & Poor's. Pertumbuhan ekonomi yang tangguh, utang pemerintah yang rendah
dan manajemen fiskal yang bijaksana dijadikan alasan untuk kenaikan penilaian tersebut. Hal itu juga
merupakan kunci dalam masuknya arus modal keuangan yang berupa dana asing ke Indonesia: baik
aliran portofolio maupun investasi asing langsung (foreign direct investment, FDI) yang meningkat
secara signifikan. Arus masuk FDI ini, yang sebelumnya relatif lemah selama satu dasawarsa setelah
Krisis Keuangan Asia, menunjukkan peningkatan tajam setelah krisis keuangan global pada 2008-2009
(namun derasnya FDI melemah kembali setelah tahun 2014 waktu Indonesia mengalami perlambatan
ekonomi yang berkepanjangan di antara tahun 2011 dan 2015).

Krisis Keuangan Asia dimulai pada tanggal 2 Juli 1997 ketika pemerintah Thailand yang saat itu dibebani
utang luar negeri yang besar, memutuskan untuk mengambangkan mata uang baht setelah serangan
yang dilakukan para spekulan mata uang terhadap cadangan devisa negaranya. Pergeseran moneter ini
bertujuan untuk merangsang pendapatan ekspor namun strategi ini terbukti sia-sia. Sehingga dengan
cepat hal ini menimbulkan efek penularan ke negara-negara Asia lainnya karena investor asing - yang
telah menanamkan uang mereka di 'Asian Economic Miracle countries' ('Ekonomi-Ekonomi Asia yang
Ajaib') sejak satu dekade sebelum 1997 - kehilangan kepercayaan di pasar Asia dan membuang mata
uang dan aset-aset Asia secepat mungkin.

Krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an adalah salah satu kejadian terpenting dalam sejarah
Indonesia. Dimulai dengan krisis keuangan (Krismon), krisis ini dengan cepat meluas menjadi krisis sosial
dan politik yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan Suharto yang dilegitimasi oleh perkembangan
ekonomi. Indonesia menjadi negara yang paling terpukul oleh krisis ini sehingga sebagian kemajuan
ekonomi yang tercapai waktu rezim Orde Baru menjadi sia-sia.

Pada pertengahan tahun 1960an, kondisi ekonomi Indonesia telah mencapai keadaan yang sangat
buruk. Perekonomian Indonesia menderita karena kekacauan politik yang dipicu oleh Presiden
Soekarno, presiden pertama Indonesia. Masalah-masalah ekonomi tidak menjadi perhatian utama bagi
Soekarno yang menghabiskan masa hidupnya untuk berjuang di arena politik. Beberapa contoh dari
kebijakannya yang memberikan dampak negatif pada perekonomian adalah pemutusan hubungan
dengan negara-negara Barat (dan karenanya mengisolir Indonesia dari ekonomi dunia dan mencegah
negara ini dari menerima bantuan-bantuan asing yang sangat dibutuhkan) dan deficit spending melalui
pencetakan uang, yang menyebabkan hiperinflasi yang berada di luar kendali. Namun, setelah Suharto
mengambil alih kekuasaan dari Soekarno di pertengahan 1960an, kebijakan-kebijakan ekonomi
mengalami perubahan arah yang radikal.

Pembangunan ekonomi Indonesia selama pemerintahan Orde Baru Suharto bisa dibagi dalam tiga
periode, setiap periode dikenali dengan kebijakan-kebijakan spesifiknya yang ditujukan untuk konteks
ekonomi spesifik. Periode-periode ini adalah:
* Pemulihan ekonomi (1966-1973)

* Pertumbuhan ekonomi secara cepat dan intervensi Pemerintah yang semakin kuat (1974-1982)

* Pertumbuhan didorong oleh ekspor dan deregulasi (1983-1996)

Pemulihan Ekonomi (1966-1973)

Yang menjadi misi dasar pemerintahan Orde Baru Suharto adalah pembangunan ekonomi; langkah
pertama adalah reintegrasi Indonesia ke dalam ekonomi dunia dengan cara bergabung kembali dengan
International Monetary Fund (IMF), Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia dalam pertengahan
akhir tahun 1960an. Ini memulai aliran bantuan keuangan dan bantuan asing dari negara-negara Barat
dan Jepang masuk ke Indonesia. Permusuhan dengan Malaysia (politik konfrontansi Soekarno) juga
dihentikan. Langkah kedua adalah memerangi hiperinflasi. Suharto mengandalkan sekelompok
teknokrat ekonomi (sebagian besar dididik di Amerika Serikat) untuk membuat sebuah rencana
pemulihan ekonomi. Di akhir 1960an stabilitas harga diciptakan melalui sebuah kebijakan yang melarang
pendanaan domestik dalam bentuk hutang domestik ataupun pencetakan uang. Kemudian sebuah
mekanisme pasar bebas dipulihkan dengan tindakan-tindakan membebaskan kontrol pasar, diikuti
dengan implementasi Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing (1967) dan UU Penanaman Modal
Dalam Negeri (1968). Kedua udang-undang ini mengandung insentif-insentif yang menarik bagi para
investor untuk berinvestasi di negara ini dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi lebih dari 10% di
tahun 1968.

Pertumbuhan Ekonomi Cepat dan Intervensi Pemerintah yang Makin Kuat (1974-1982)

Sampai tahun 1982, pertumbuhan ekonomi tahunan yang cepat di atas minimum 5% dijaga. Fakta lain
yang juga penting adalah Indonesia diuntungkan secara siginifikan dari dua oil boom yang terjadi di
tahun 1970an. Oil boom yang pertama terjadi di tahun 1973/1974 ketika Organization of Petroleum-
Exporting Countries (OPEC), yang anggotanya termasuk Indonesia, memotong ekspornya dengan drastis
dan menyebabkan kenaikan harga minyak yang besar. Oil boom kedua terjadi di tahun 1978/1979 ketika
Revolusi Iran mengganggu produksi minyak dan kembali terjadi kenaikan harga yang besar. Karena
kedua oil boom ini, pendapatan ekspor Orde Baru dan pendapatan Pemerintah meningkat tajam.
Barang-barang modal dan bahan-bahan mentah bisa diimpor karena pendapatan devisa yang makin
membesar. Hal ini membangkitkan sektor manufaktur yang berkembang. Namun, kemudian terjadi
kerusuhan besar saat kunjungan Perdana Menteri Jepang di tahun 1974 karena anggapan bahwa ada
terlalu banyak proyek-proyek investasi asing di negara ini. Masyarakat Indonesia merasa frustasi karena
orang-orang pribumi tampaknya diabaikan dari menikmati buah-buah perekonomian. Pemerintah
merasa terguncang karena kerusuhan ini (yang dikenal sebagai Peristiwa Malari) dan memperkenalkan
aturan-aturan yang lebih ketat mengenai investasi asing dan menggantinya dengan kebijakan-kebijakan
yang memberikan perlakukan khusus yang menguntungkan penduduk pribumi. Meningkatnya
pendapatan pemerintah yang didapat dari oil boom pertama berarti Pemerintah tidak lagi bergantung
pada investasi-investasi asing, dan karenanya pendekatan intervensionis bisa dimula

Pertumbuhan Ekonomi Didorong Ekspor dan Deregulasi (1983-1996)

Pada awal 1980an, harga minyak mulai jatuh lagi dan reposisi mata uang di tahun 1985 menambah
hutang luar negeri Indonesia. Pemerintah harus melakukan usaha-usaha baru untuk memulihkan
stabilitas makroekonomi. Nilai rupiah didevaluasi di tahun 1983 untuk mengurangi defisi transaksi
berjalan yang bertumbuh, UU pajak yang baru diterapkan untuk menambah pendapatan dari pajak non
minyak dan tindakan-tindakan deregulasi perbankan dilakukan (credit ceilings untuk suku bunga
dihapuskan dan bank diizinkan untuk menentukan tingkat suku bunga dengan bebas). Terlebih lagi,
perekonomian telah diarahkan ulang dari perekonomian yang tergantung kepada minyak kepada sebuah
perekonomian yang memiliki sektor swasta yang kompetitif yang berorientsi pada pasar ekspor. Ini
menyebabkan adanya tindakan-tindakan deregulasi baru untuk memperbaiki iklim investasi bagi para
investor swasta. Waktu harga minyak jatuh lagi di pertengahan 1980an, Pemerintah meningkatkan
tindakan-tindakan untuk mendukung pertumbuhan yang didorong oleh ekspor (seperti pembebasan bea
cukai-bea cukai impor dan pengulangan devaluasi rupiah). Perubahan kebijakan-kebijakan ini
(dikombinasi dengan paket deregulasi di tahun 1990an) juga mempengaruhi investasi asing di Indonesia.
Investasi asing yang berorientasi pada ekspor disambut secara khusus.

Sektor lain yang juga terpengaruh oleh tindakan-tindakan deregulasi yang mendalam adalah sektor
keuangan Indonesia. Bank-bank swasta baru diizinkan untuk didirikan, bank-bank yang sudah ada bisa
membuka cabang-cabang di seluruh negeri dan bank-bank asing bebas beroperasi di luar Jakarta.
Reformasi finansial ini kemudian akan menjadi masalah yang memperkuat krisis di Indonesia pada akhir
1990an. Namun sebelumnya, tindakan-tindakan ketat ini memiliki dampak positif pada perekonomian
Indonesia. Ekspor produk-produk manufaktur mulai menjadi mesin perekonomian Indonesia. Antara
1988 dan 1991 produk domestik bruto (PDB) Indonesia bertumbuh rata-rata 9% setiap tahunnya,
melambat menjadi 'hanya' rata-rata 7,3% pada periode 1991-1994 dan meningkat lagi di dua tahun
selanjutnya.

Meski pemerintah Indonesia ingin mengurangi ketergantungan tradisional pada ekspor komoditas
mentah dan meningkatkan peran industri manufaktur (misalnya melalui Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara), itu adalah jalan yang sulit terutama karena
sektor swasta masih tetap ragu-ragu untuk berinvestasi. Tetapi transformasi ini penting karena
penurunan harga komoditas setelah tahun 2011 (yang sebagian besar disebabkan melemahnya
pertumbuhan ekonomi Cina) telah berdampak drastis pada Indonesia. Kinerja ekspor Indonesia
melemah signifikan, menyiratkan penerimaan devisa yang lebih sedikit dan daya beli masyarakat jadi
berkurang, sehingga menyebabkan perlambatan ekonomi.

Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo (yang dilantik sebagai presiden Indonesia
yang ketujuh pada bulan Oktober 2014) telah menerapkan beberapa reformasi struktural yang
bertujuan pertumbuhan ekonomi jangka panjang tetapi menyebabkan rasa sakit jangka pendek.
Misalnya, sebagian besar subsidi bahan bakar minyak (BBM) telah berhasil diberhentikan, prestasi yang
luar biasa (karena sebelumnya pemotongan subsidi BBM itu selalu menyebabkan kemarahan besar
dalam masyarakat) dibantu oleh harga minyak mentah rendah dunia. Selain itu, pemerintah
menempatkan prioritas tinggi pada pembangunan infrastruktur (dibuktikan dengan anggaran
infrastruktur pemerintah yang meningkat tajam) dan investasi (dibuktikan dengan program-program
deregulasi yang dirilis dan insentif fiskal yang ditawarkan kepada para investor).

Usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia, yang bersama-sama berkontribusi 99 persen dari jumlah
total perusahaan yang aktif di Indonesia, tidak kalah pentingnya. Mereka menyumbang sekitar 60
persen dari PDB Indonesia dan menciptakan lapangan kerja untuk hampir 108 juta orang Indonesia. Ini
berarti bahwa usaha mikro, kecil dan menengah merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.

Ikhtisar Struktur Ekonomi

Bagian ini memberikan paparan terperinci mengenai struktur dan keadaan ekonomi Indonesia saat ini
yang mendasarkan pada indikator makroekonomi serta perkembangan dan kinerja terakhir. Paparan ini
juga berisikan pengantar pada tiga sektor ekonomi utama di Indonesia (pertanian, industri dan jasa) dan
menjelaskan kontribusi ketiga sektor tersebut terhadap kinerja dan struktur ekonomi nasional
Indonesia.

Struktur ekonomi sebuah Negara dapat dilihat dari berbagai sudut tinjauan. Dalam hal hal ini, struktur
ekonomi dapat dilihat dari empat macam sudut pandang, yaitu :

1. Tinjauan makro-sektoral

Perkembangan Ekonomi Indonesia

29 Desember 2018 15:09 Diperbarui: 29 Desember 2018 15:09 7888 0 0


2. Tinjauan keruangan

3. Tinjauan penyelenggaraan kenegaraan

4. Tinjauan birokrasi pengambilan keputusan

Tinjauan makro -- sekoral dan tinjauan keruangan merupakan tinjauan ekonomi murni. Sedangkan
Tinjauan penyelenggaraan kenegaraan dan Tinjauan birokrasi pengambilan keputusan merupakan
tinjauan politik.

Berdasarkan tinjauan makro -- sektoral sebuah perekonomian dapat berstruktur agraris, industrial, atau
niaga. Berdasarkan tinjauan keruangan perekonomian dapat dinyatakan berstruktur kedesaan /
tradisional dan berstruktur kekotaan / modern.

Berdasarkan tinjauan penyelenggaraan kenegaraan, menjadi perekonomian yang berstruktur etatis,


egaliter, atau borjuis.Tergantung pada siapa / kalangan mana yang menjadi peran utama dalam
perekonomian yang bersangkutan.

Berdasarkan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan, dapat dibedakan antara struktur ekonomi yang
sentralistis dan desentralistis.

Ada tanda-tanda bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai mempercepat lagi setelah perlambatan
ekonomi di tahun 2011-2015. Dengan demikian kita mungkin berada pada awal sebuah masa yang
dicirikhaskan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, juga harus digarisbawahi bahwa Indonesia
adalah negara yang kompleks dan berisi risiko tertentu untuk investasi. Lagipula, dinamika dan konteks
negara ini ikut membawa risiko. Untuk menyadari risiko yang terlibat kami menyarankan Anda untuk
membaca bagian Risiko Investasi di Indonesia dan melacak perkembangan ekonomi, politik dan sosial
terbaru di Indonesia melalui bagian Berita, bagian Bisnis dan bagian Keuangan.
Menarik untuk menanyakan apakah krisis seperti itu dapat terjadi lagi di Indonesia di masa yang akan
datang. Kemungkinannya kecil. Pertama, perlu ditekankan bahwa krisis keuangan Asia paling buruk
melanda Indonesia dibandingkan semua negara lain yang terkena dampaknya karena yang terjadi di
Indonesia tidak hanya krisis ekonomi. Awalnya yang terjadi adalah krisis finansial namun berkembang
dan akhirnya diperparah menjadi krisis politik dan sosial yang sangat buruk di mana pemerintah tidak
bersedia untuk melaksanakan reformasi ekonomi yang sangat dibutuhkan melainkan justru berusaha
untuk melindungi kekuasaan mereka. Mengingat bahwa iklim politik yang tertib dan kondusif sangat
penting untuk membangun kepercayaan investor, ketidakpastian dan ketegangan dalam perpolitikan di
Indonesia membuat banyak investor pergi. Demikian juga setelah Suharto jatuh, ketidakpastian politik
membuat banyak investor (baik asing maupun domestik) untuk tidak atau belum masuk kembali ke
pasar Indonesia.

Akan tetapi saat ini, Indonesia sedang menuju demokrasi yang benar, meskipun ini adalah suatu proses
yang juga disertai dengan berbagai hambatan. Pemerintahan otoriter yang pernah berkuasa selama
beberapa decade telah mematikan aktivitas politik masyarakat dan lembaga-lembaga politik hingga
batas-batas tertentu. Butuh waktu sebelum negara ini dapat meninggalkan sebutan negara 'demokrasi
cacat' ('flawed democracy') yang diukur oleh Unit Kecerdasan Ahli Ekonomi untuk Indeks Demokrasinya.
Akan tetapi pemilihan umum yang adil dan bebas memberikan kepastikan bahwa ada dukungan yang
lebih besar bagi pemerintah selama periode Reformasi dibandingkan masa sebelumnya. Keputusan
untuk memilih presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia merupakan salah satu keputusan yang
penting secara psikologis. Meskipun demikian, perlu digaris bawahi bahwa iklim politik di Indonesia lebih
rapuh (dengan kata lain kurang stabil) dibandingkan dengan demokrasi yang sudah lama dibangun
karena banyak kelompok (yang visinya berbeda) mencoba membangun posisi mereka pada demokrasi
yang masih belum matang.

Faktor penting yang sangat memperburuk krisis keuangan di Indonesia adalah sektor keuangan
Indonesia yang sudah dalam keadaan yang sangat buruk sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh budaya
patronase dan korupsi yang tidak memiliki model pengawasan yang baik. Bahkan Bank Indonesia tidak
tahu tentang arus uang (sehingga menyebabkan timbulnya utang swasta jangka pendek yang sangat
besar) yang masuk ke Indonesia dan menyebabkan terjadinya 'ekonomi gelembung' ('bubble economy').
Budaya patronase dan korupsi (serta kurangnya kepastian hukum) sangat menghambat fungsi ekonomi
yang efisien dan merupakan bom waktu yang bisa meledak setiap saat.

Namun setelah krisis berakhir, pemerintah-pemerintah Indonesia berikutnya telah membuat langkah-
langkah keuangan yang bijak untuk memastikan agar krisis serupa tidak terjadi kembali. Pengawasan
terhadap likuiditas sektor perbankan sekarang ketat dan transparan, 'uang panas' ('hot money')
ditangani secara lebih hati-hati (misalnya dengan membatasi utang jangka pendek), dan rasio utang
pemerintah terhadap PDB lebih rendah (sekitar 25 persen dan menunjukkan tren menurun)
dibandingkan kebanyakan negara-negara ekonomi maju. Pada saat krisis tahun 2008 melanda, Indonesia
terkena kembali arus keluar kapital yang besar namun mampu menjamin ekonomi yang stabil karena
fundamental ekonomi yang baik. Bahkan selama krisis 2008-2009 Indonesia menunjukkan pertumbuhan
yang kuat dengan pertumbuhan PDB sebesar 4.6 persen terutama didukung oleh konsumsi domestik.
Tetapi skandal-skandal korupsi di Indonesia masih tetap lanjut mengisi halaman surat kabar. Korupsi dan
pengelompokan modal pada sekelompok elit kecil masih menjadi masalah serius di negeri ini dan dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi yang efisien, baik dan adil. Terutama korupsi politik menyebar luas
dan sering kali digunakan politisi untuk mencari keuntungan dalam sektor bisnis nasional.

Penulis:

Agnes Dwi Astriani

Jurusan S1 Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Sultan Agung, Semarang

Anda mungkin juga menyukai