Anda di halaman 1dari 10

ERA SEBELUM REFORMASI

Soekarno (1945-1967)

Pada masa presiden soekarno kebijakan prekeonomian dalam mengatasi


permasalahan dari tahun ke tahun terus dilakukan untuk merubah perekonomian
Indonesia sedikit demi sedikit
Beberapa kebijakan yang diambil dibawah pemerintahan Soekarno diantaranya:

1. Nasionalisasi Bank Java menjadi Bank Indonesia


Dalam menghadapi”watak kolonial”yang masih bercokol terutama di lapangan
ekonomi, pemerintah berupaya mengambil langkah untuk menyelamatkan
sektor yang dianggap strategis, terutama perbankan. Pada tahun 1953,
dilakukan nasionalisasi terhadap Bank Java dan kemudian namanya berubah
menjadi ”Bank Indonesia”. Serta membentuk dua Financial Bank yaitu: Bank
Industri Negara (BIN) yang akan membiayai proyek-proyek indutri; dan Bank
Negara Indonesia (BNI) yang menyediakan foreign-exchange sekaligus
membiayai kegiatan impor.

2. Mengamankan Aset yang menyangkut harkat hidup orang banyak


Langkah pemerintah berikutnya adalah mengamankan usaha-usaha yang
menyangkut harkat hidup orang banyak, seperti: balai gadai, beberapa wilayah
pertanian yang penting, pos, telepon, listrik, pelabuhan, pertambangan batu
bara dan rel kereta. Selanjutnya pemerintah membiayai perusahan negara
melalui BIN di sektor produksi semen, tekstil, perakitan mobil, gelas, dan botol.

3. Berusaha memutuskan kontrol Belanda dalam bidang perdagangan


ekspor-impor
Langkah terakhir pemerintah adalah berusaha memutuskan kontrol Belanda
dalam bidang perdagangan ekspor-impor dengan mendirikan Pusat Perusahaan
Perdagangan pada tahun 1948 untuk mengekspor produk pertanian Indonesia.
Pemerintah juga mendirikan USINDO pada tahun 1956 untuk mengekspor
industri manufaktur -yang dibiayai oleh BIN- dan mengimpor bahan mentah
untuk keperluan industri mereka.

4. kebijakan lainya yang ditujukan untuk memajukan perekonomian


indonesia
Hampir seluruh program ekonomi pemerintahan Soekarno kandas di tengah
jalan. sistem ekonomi terpimpin menuntut seluruh unsur perekonomian
Indonesia menjadi alat revolusi. Dalam ekonomi terpimpin, kegiatan
perekonomian ditekankan pada konsepsi gotong royong dan kekeluargaan
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam perkembangan
selanjutnya, kegiatan ekonomi pada masa terpimpin juga dilandaskan atas
strategi dasar ekonomi Indonesia yang diamanatkan dalam Deklarasi Ekonomi
(DEKON) oleh Presiden Soekarno pada tanggal 28 Maret 1963

Soeharto (1967-1998)
MASA kekuasaan Soeharto adalah yang terpanjang dibandingkan presiden lain Indonesia
hingga saat ini. Pasang surut perekonomian Indonesia juga paling dirasakan pada eranya.
ia menjadi presiden di saat perekonomian Indonesia tak dalam kondisi baik. Pada 1967, ia
mengeluarkan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing. UU
ini membuka lebar pintu bagi investor asing untuk menanam modal di Indonesia.
Tahun berikutnya, Soeharto membuat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)yang
mendorong swasembada. Program ini mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga
tembus 10,92 persen pada 1970. Kejikana repelita tersebut selama kepemimpinana soeharto ada
sebanyak 6 ( Repelita I –VI)

Pembangunan Ekonomi (dari Repelita I hingga Repelita VI)


Rencana Pembangunan Jangka Panjang Dua Puluh Lima Tahun Pertama bukanlah
merupakan rencana pembangunan yang muluk-muluk. Rencana Pembangunan tersebut
merupakan rencana yang didasarkan kepada situasi objektif dan bisa diwujudkan. Secara singkat
arah dari rencana pembangunan ekonomi tadi, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Repelita I (tahun 1969/70-1973/74) pembangunan difokuskan pada stabilitas ekonomi
dengan melakukan pengendalian inflasi dan penyediaan kebutuhan pangan dan
sandang dalam jumlah yang cukup.
2. Repelita II (Tahun 1974/75-1978/79) difokuskan kepada peningkatan kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui upaya peningkatan ketersediaan
lapangan kerja. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu prioritas
utamanya, guna mendorong terciptanya lapangan kerja.
3. RepelitaIII (tahun 1970/80-1983/84) diletakkan kepada swasembada pangan,
peningkatan ekspor nonmigas dan pengupayaan terjadinya pemerataan hasil-hasil
pembangunan. Pada Repelita III ini dilakukan berbagai upaya untuk memperlancar
proses transisi ekonomi, dari sektor pertanian ke industri.
4. Repelita IV (tahun 1984/85-1988/89) ditujukan kepada upaya peningkatan
kemampuan ekonomi dalam negeri dengan mengurangi ketergantungan pada sektor
migas dan mendorong ekspor nonmigas. Hal ini juga merupakan reaksi atas
memburuknya perekonomian dunia dan neraca pembayaran Indonesia pada Repelita
III. Disamping itu, diupayakan juga peningkatakan industri manufaktur dengan tetap
memperhatikan peningkatan kesempatan kerja. Dalam periode ini dilakukan
perbaikan di sektor riil maupun moneter, melalui berbagai kebijakan seperti
melakukan evaluasi untuk mendorong ekspor, deregulasi perbankan untuk
memobilisasi dana masyarakat melalui tabungan domestik, deregulasi sektor riil untuk
mengurangi hambatan tarif dan memacu infestasi.
5. Repelita V (tahun 1989/90-1993/94) tidak jauh berbeda dengan fokus Repelita IV,
yakni mengupayakan peningka tan kemampuan dalam negeri. Pemerintah juga
berupaya meningkatkan kemampuan berusaha bagi seluruh warga dengan
menghilangkan berbagai kendala yang dapat menghambat keikut sertaan masyarakat
dalam pembangunan. Deregulasi sektor riil dan sektor moneter terus dilakukan untuk
mendorong tercapainya perekonomian yang lebih efisien.
6. Repelita VI (tahun 1994/95-1998/99) ditujukan kepada pemantapan dan penataan
industri nasional, peningkatan diversifikasi usaha dan hasil pertanian serta
peningkatan ekstensifikasi dan intesifikasi pertanian yang didukung oleh industri
pertanian. Peningkatan dan pemantapan koperasi, peningkatan peran pasar dalam
negeri serta perluasan pasar luar negeri. Disamping itu dilakukan pula peningkatan
pemerataan yang meliputi peningkatan kegiatan ekonomi rakyat, kesempatan usaha,
lapangan kerja serta peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rakyat. Yaitu
merupakan Repelita yang mempe rkuat landasan sebelum tinggal landas.

Hasil-Hasil Pelaksanaan Pembangunan dari Repelita I sampai Repelita VI

Dengan segala kelemahan dan kekurangan yang baru dapat diketahui secara
retrospektif, dapat dikatakan bahwa secara umum pembangunan nasional yang
dilakukan dari 1969 hingga 1998 hasilnya sangat mengagumkan. Dengan ukuran apa
pun dan oleh pengritik yang paling tajam sekalipun harus diakui bahwa pembangunan
nasional berhasil dilaksanakan dengan baik. Produksi pangan, khususnyaa beras, yang
merupakan bahan pokok makanan rakyat terus meningkat dari tahun ke tahun.
Swasembada beras dicapai pada 1984 dan pada November 1984, Indonesia menerima
penghargaan dari FOA, sebagai Negara yang berhasil meningkatkan produksi beras
dan mencapai swasembada, dari Negara yang sebelumnya pernah menjadi importir
beras yang terbesar di dunia. Sektoir industri juga mengalami pertumbuhan yang
signifikan. Bahkan peran industri berat telah mulai meningkat. Apabila pada 1975
peranan industri ringan dan industri berat masing-masing sebesar 20,6 persen dan 10
persen, maka pada 1980 peranan industri ringan menurun dan industri berat meningkat,
masing-masing mejadi 18,6 persen dan 37,3 persen.

ERA REFORMASI
BJ Habibie (1998-1999)
PEMERINTAHAN Presiden Baharuddin Jusuf Habibie dikenal sebagai rezim transisi. Salah satu
tantangan sekaligus capaiannya adalah pemulihan kondisi ekonomi, dari posisi pertumbuhan
minus 13,13 persen pada 1998 menjadi 0,79 persen pada 1999.
Habibie menerbitkan berbagai kebijakan keuangan dan moneter dan membawa perekonomian
Indonesia ke masa kebangkitan. Kurs rupiah juga menguat dari sebelumnya Rp 16.650 per dollar
AS pada Juni 1998 menjadi Rp 7.000 per dollar AS pada November 1998.
Pada masa Habibie, Bank Indonesia mendapat status independen dan keluar dari jajaran eksekutif.

Perekonomian Masa BJ Habibie


1. Merekapitulasi perbankan dan menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih
fokus mengurusi perekonomian.
Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independent berdasarkan UU No. 30
Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Dalam rangka mencapai tujuan untuk mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia didukung oleh 3 (tiga) pilar
yang merupakan 3 (tiga) bidang utama tugas Bank Indonesia yaitu :
a) Menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan moneter
b) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
c) Mengatur dan mengawasi Bank
2. Melikuidasi beberapa bank bermasalah.
Likuiditas adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka
pendeknya. Pengertian lain adalah kemampuan seseorang atau perusahaan untuk
memenuhi kewajiban atau utang yang segera harus dibayar dengan harta lancarnya.
Banyaknya utang perusahaan swasta yang jatuh tempo dan tak mampu membayarnya
dan pada akhirnya pemerintah mengambil alih bank-bank yang bermasalah dengan
tujuan menjaga kestabilan ekonomi Indonesia yang pada masa itu masih rapuh.
3. Menaikan nilai tukar rupiah
Selama lima bulan pertama tahun 1998, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS
berfluktuasi. Selama triwulan pertama, nilai tukar rupiah rata-rata mencapai sekitar
Rp9200,- dan selanjutnya menurun menjadi sekitar Rp8000 dalam bulan April hingga
pertengahan Mei. Nilai tukar rupiah cenderung di atas Rp10.000,- sejak minggu ketiga
bulan Mei. Kecenderungan meningkatnya nilai tukar rupiah sejak bulan Mei 1998 terkait
dengan kondisi sosial politik yang bergejolak. nilai tukar rupiah menguat hingga Rp.
6500 per dollar AS di akhir masa pemerintahnnya.

4. Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.

Pada tanggal 15 januari 1998 (masih orde baru ) Indonesia telah menandatangani 50
butir kesepakatan (letter of intent atau Lol) dengan IMF. Salah satunya adalah
memberikan bantuan (pinjaman) kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas.
Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi
masalah krisis. Pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan
konsekuensi diterbitkannya kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Kepres
No.26/1998 dan Kepres No.55/1998. Keppres itu terbit setelah sebelumnya didahului
munculnya Surat Gubernur BI (Soedradjad Djiwandono, ketika itu) tertanggal 26
Desember 1997 kepada Presiden dan disetujui oleh Presiden Soeharto sesuai surat
Mensesneg No.R 183/M.sesneg/12/19997. Atas dasar hukum itulah Bank Indonesia
melaksanakan penyaluran BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) kepada perbankan
nasional. Total BLBI yang dikucurkan hingga program penyehatan perbankan nasional
selesai mencapai Rp144,5 triliun, dana itu tersalur ke 48 bank. Pada tahun 1999 di
zaman Presiden BJ Habibie sebanyak 48 Bankir penerima BLBI melakukan
penyelesaiaan settlement aset atas BLBI yang diterimanya melalui berbagai macam
perjanjian dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang terdiri dari lima
bankir mengikat perjanjian dengan skema Master of Settlement Acquisition Agreement
(MSAA) dimana nilai aset yang diserahkan kepada pemerintah sama dengan total
hutang BLBI yakni sebesar Rp89,2 triliun, tiga bankir menyelesaikan utang dengan
mengikat perjanjian Master of Refinancing and Notes Issuence Agreement (MRNIA)
dimana nilai aset lebih kecil dibandingkan hutang BLBI yang diterima sehingga harus
ditambah personal guarantee dengan total utang BLBI sebesar Rp22,7 triliun.Selain itu
terdapat 25 bankir mengikat perjanjian penyelesaian hutang melalui skema Akte
Pengakuan Utang (APU) sebesar Rp20.8 triliun, sementara 15 bankir semua asetnya
langsung ditangani oleh Bank Indonesia yang sampai hari ini belum jelas pertanggung
jawabannya sebesar Rp11,8 triliun. Jadi untuk MSAA dan MRNIA saja sudah 77 %
mewakili penyelesaain BLBI. Khusus untuk perjanjian APU tidak semua
menandatanganinnya di era Presiden Habibie, sebagian di era Presiden Abdurahman
‘Gusdur’ Wahid, sebagian lagi dimasa Presiden Megawati. Sementara sebagian yang
tidak kooperatif dan diserahkan kepolisi pada masa pemerintahan Megawati jumlahnya
delapan orang, diantarannya Atang Latief (Bank Bira), James Januardy (Bank Namura),
Ulung Bursa (Lautan Berlian).
Beberapa keberhasilan ekonomi di era Habibie sebenarnya tidak lepas dari usaha kerja
keras para kabinetnya yang reformis. Namun, perlu disadari bahwa Habibie bukanlah
presiden yang benar-benar reformis dalam menolak kebijakan ekonomi ala IMF.
Dengan keterbatasannya, beliau terpaksa menjalani 50 butir kesepakatan (LoI) antara
pemerintah Indonesia dengan IMF, sehingga penangganan krisis ekonomi di Indonesia
pada hakikatnya lebih pada penyembuhan dengan “obat generik”, bukan penyembuhan
ekonomi “terapis” ataupun “obat tradisional”. Sehingga ketika meninggalkan tampuk
kekuasaan, Indonesia masih rapuh. Disisi lain, Habibie masih sangat mempercayai
tokoh-tokoh Orde baru duduk di kabinetnya, padahal masyarakat
menuntut reformasi. Dan tampaknya, Habibie memang menempatkan dirinya sebagai
Presiden Transisi, bukan Presiden yang Reformis.

Abdurrahman Wahid
(1999-2001)
ABDURRAHMAN Wahid alias Gus Dur meneruskan perjuangan Habibie mendongkrak
pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1998. Secara perlahan, ekonomi Indonesia tumbuh 4,92 persen
pada 2000.
Gus Dur menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Pemerintah membagi
dana secara berimbang antara pusat dan daerah. Kemudian, pemerintah juga menerapkan pajak
dan retribusi daerah. Meski demikian, ekonomi Indonesia pada 2001 tumbuh melambat menjadi
3,64 persen.

Rangkuman keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden


Abdurahman Wahid memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah,
sehingga kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai stabil.
2. Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik,
yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank
Indonesia, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri)
dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
3. Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi tidak
berminat untuk menanamkan modal di Indonesia.
4. Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih
banyaknya kegiatan penjualan dari pada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di
dalam negeri.
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup
berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan
ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme), pemulihan ekonomi,kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan
kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di
mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.

Megawati Soekarnoputri
(2001-2004)

PADA masa pemerintahan Megawati, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara bertahap terus
meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2002, pertumbuhan Indonesia mencapai 4,5 persen dari 3,64
persen pada tahun sebelumnya.
Kemudian, pada 2003, ekonomi tumbuh menjadi 4,78 persen. Di akhir pemerintahan Megawati
pada 2004, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03 persen.
Tingkat kemiskinan pun terus turun dari 18,4 persen pada 2001, 18,2 persen pada 2002, 17,4 persen
pada 2003, dan 16,7 persen pada 2004.
"Saat itu mulai ada tanda perbaikan yang lebih konsisten. Kita tak bisa lepaskan bahwa proses itu
juga dipengaruhi politik. Reformasi politik juga mereformasi ekonomi kita," kata Lana.
Perbaikan yang dilakukan pemerintah saat itu yakni menjaga sektor perbankan lebih ketat hingga
menerbitkan surat utang atau obligasi secara langsung.
Saat itu, kata Lana, perekonomian Indonesia mulai terarah kembali. Meski tak ada lagi repelita
seperti di era Soeharto, namun ekonomi Indonesia bisa lebih mandiri dengan tumbuhnya pelaku-
pelaku ekonomi.

Kebijakan ekonomi di era Megawati

1. Secara faktual, pemerintahan Megawati menjalankan kebijakan privatisasi berdasarkan


desakan dari luar, khsusunya IMF dan bank dunia. Bedanya, jika Megawati hanya melanjutkan
kesepakatan yang dibuat pemerintahan sebelumnya, Habibie, melalui stuctrual adjustment
program (SAP).
2. pertimbangan melakukan privatisasi dijaman megawati adalah untuk mencari pendanaan
untuk menutupi deficit APBN. Seperti diketahui, Megawati mewarisi sebuah kondisi ekonomi yang
compang camping akibat krisis ekonomi 1997.
3. Periode 1991-2001, pemerintah Indonesia 14 kali memprivatisasi BUMN. Yang terprivatisasi
12 BUMN.
4. kerjasama ekonomi dan politik luar negeri tidak begitu determinis di bawah kendali sebuah
negara.
5. kerjasama ekonomi dan politik juga dilakukan diluar blok AS dan sekutunya, seperti kerjasama
pembelian pesawat Sukhoi dengan Rusia dan kerjasama perdagangan dengan China.
6. pemerintahan Megawati berusaha keras untuk keluar dari jebakan IMF. Hanya saja, usaha itu
dibiaskan oleh Budiono, menteri keuangan waktu itu, dengan menandatangi post program
monitoring (PPM) yang berarti melanjutkan campur tangan IMF secara sembunyi-sembunyi.
7. Untuk perlindungan terhadap perempuan dan TKI di luar negeri, pemerintahan megawati
pernah mengajukan tiga RUU, yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan
Terhadap Korban Kekerasan di Lingkungan Kerja dan Rumah Tangga, RUU Pekerja di Luar
Negeri, dan RUU Tindak Pidana Perdagangan Oran

Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)

MESKI naik-turun, pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinan Soesilo Bambang


Yudhoyono (SBY) relatif stabil. Pertumbuhan Indonesia cukup menggembirakan di awal
pemerintahannya, yakni 5,69 persen pada 2005.
Pada 2006, pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit melambat jadi 5,5 persen. Di tahun
berikutnya, ekonomi Indonesia tumbuh di atas 6 persen, tepatnya 6,35 persen.
Lalu, pada 2008, pertumbuhan ekonomi masih di atas 6 persen meski turun tipis ke angka 6,01
persen. Saat itu, impor Indonesia terbilang tinggi. Namun, angka ekspor juga tinggi sehingga
neraca perdagangan lumayan berimbang.
Pada 2009, di akhir periode pertama sekaligus awal periode kedua kepemimpinan SBY, ekonomi
Indonesia tumbuh melambat di angka 4,63 persen.
Meski begitu, Indonesia masih bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi walaupun
melambat. Pada tahun itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masuk tiga terbaik di dunia.
Lalu, pada 2010, ekonomi Indonesia kembali tumbuh dengan capaian 6,22 persen. Pemerintah
juga mulai merancang rencana percepatan pembangunan ekonomi Indonesia jangka panjang.
Pada 2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,49 persen, berlanjut dengan pertumbuhan di atas 6
persen pada 2012 yaitu di level 6,23 persen. Namun, perlambatan kembali terjadi setelah itu,
dengan capaian 5,56 persen pada 2013 dan 5,01 persen pada 2014.

1. Pada pemerintahan SBY kebijakan yang dilakukan adalah mengurangi subsidi Negara
Indonesia, atau menaikkan harga Bahan Bahan Minyak (BBM),
2. kebijakan bantuan langsung tunai kepada rakyat miskin akan tetapi bantuan tersebut
diberhentikan sampai pada tangan rakyat atau masyarakat yang membutuhkan.
3. kebijakan menyalurkan bantuan dana BOS kepada sarana pendidikan yang ada di
Negara Indonesia. Akan tetapi pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam
perekonomian Indonesia terdapat masalah dalam kasus Bank Century yang sampai
saat ini belum terselesaikan bahkan sampai mengeluarkan biaya 93 miliar untuk
menyelesaikan kasus Bank Century ini.
4. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh pesat di tahun 2010 seiring pemulihan
ekonomi dunia pasca krisis global yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2009.
5. Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat
mencapai 5,5-6 persen pada 2010 dan meningkat menjadi 6-6,5 persen pada 2011.
Dengan demikian prospek ekonomi Indonesia akan lebih baik dari perkiraan semula.
pemulihan ekonomi global berdampak positif terhadap perkembangan sektor eksternal
perekonomian Indonesia. Kinerja ekspor nonmigas Indonesia yang pada triwulan IV-
2009 mencatat pertumbuhan cukup tinggi yakni mencapai sekitar 17 persen dan masih
berlanjut pada Januari 2010. Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian
Indonesia adalah efektifnya kebijakan pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal
yang tinggi dan pengurangan utang Negara.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY-JK selama lima tahun menjadi
6,4%, angka yang mendekati target 6,6%. Kebijakan Kenaikan harga BBM tersebut
telah mendorong tingkat inflasi Oktober 2005 mencapai 8,7% (MoM) yang merupakan
puncak tingkat inflasi bulanan selama tahun 2005 dan akhirnya ditutup dengan angka
17,1% per Desember 30, 2005 (YoY). Penyumbang inflasi terbesar adalah kenaikan
biaya transportasi lebih 40% dan harga bahan makanan 18%.Core inflation pun naik
menjadi 9,4%, yang menunjukkan kebijakan Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang
otoritas moneter menjadi tidak sepenuhnya efektif. Inflasi yang mencapai dua digit ini
jauh melampaui angka target inflasi APBNP II tahun 2005 sebesar 8,6%. Inflasi sampai
bulan Februari 2006 (YoY) masih amat tinggi 17,92%, bandingkan dengan Februari
2005 (YoY) 7,15% atau Februari 2004 (YoY) yang hanya 4,6%. yang menjadi referensi
suku bunga simpanan di dunia perbankan.

Joko Widodo (2014-Sekarang)


PADA masa pemerintahannya, Joko Widodo atau yang lebih akrab disapa Jokowi merombak
struktur APBN dengan lebih mendorong investasi, pembangunan infrastruktur, dan melakukan
efisiensi agar Indonesia lebih berdaya saing.
Namun, grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia selama empat tahun masa pemerintahan Jokowi
terus berada di bawah pertumbuhan pada era SBY.
Pada 2015, perekonomian Indonesia kembali terlihat rapuh. Rupiah terus menerus melemah
terhadap dollar AS. Saat itu, ekonomi Indonesia tumbuh 4,88 persen.
"Defisit semakin melebar karena impor kita cenderung naik atau ekspor kita yang cenderung
turun," kata Lana.
Di era Jokowi kata Lana, arah perekonomian Indonesia tak terlihat jelas. Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) seolah hanya sebagai dokumen tanpa pengawasan dalam
implementasinya.
Dalam kondisi itu, tak diketahui sejauh mana RPJMN terealisasi. Ini tidak seperti repelita yang
lebih fokus dan pengawasannya dilakukan dengan baik sehingga bisa dijaga.
Pada 2016, ekonomi Indonesia mulai terdongkrak tumbuh 5,03 persen. Dilanjutkan dengan
pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,17.
Berdasarkan asumsi makro dalam APBN 2018, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomis
2018 secara keseluruhan mencapai 5,4 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2018
ternyata tak cukup menggembirakan, hanya 5,06 persen.
Sementara pada kuartal II-2018, ekonomi tumbuh 5,27 persen dibandingkan periode yang sama
tahun lalu. Hanya ada sedikit perbaikan dibandingkan kuartal sebelumnya.
Pada Senin (5/11/2018), BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-
2018 sebesar 5,17 persen, malah melambat lagi dibandingkan kuartal sebelumnya.
Untuk kuartal IV-2018, pertumbuhan ekonomi diprediksi meleset dari asumsi APBN. Bank
Indonesia, misalnya, memprediksi pertumbuhan Indonesia secara keseluruhan pada 2018 akan
berada di batas bawah 5 persen.

Selama pemerintahan jokowi telah mengeluarkan 14 paket kebijakan antara lain


sebagai berikut
Paket Kebijakan Jilid I
Memiliki tiga fokus, pertama mendorong daya saing industri nasional melalui
deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha. Kedua,
mempercepat proyek strategis nasional dengan menghilangkan berbagai hambatan,
sumbatan dalam pelaksanaan dan penyelesaian proyek strategis nasional, dan yang
ketiga meningkatkan investasi di sektor properti.
Paket Kebijakan Jilid II
Berupa deregulasi dan debirokratisasi peraturan untuk mempermudah investasi, baik
PMDN maupun PMA. Seperti kemudahan lahayan investasi 3 jam, tax allowance dan
tax holiday lebih cepat, pembebasan PPN untuk alat transportasi, insentif fasilitas di
kawasan pusat logistik berikat, insentif pengurangan pajak bunga deposito,
perampingan izin sektor kehutanan.
Paket Kebijakan Jilid III
Isinya melengkapi paket kebijakan I dan II. Namun paket ini mencakup penurunan
tarif listrik dan harga BBM serta gas. Kedua, perluasan penerima KUR. Ketiga,
penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal.
Paket Kebijakan Jilid IV
Mengatur mengenai penetapan formulasi penetapan UMP yang bertujuan untuk
membuka lapangan kerja seluas-luasnya dan meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Paket Kebijakan Jilid V
Berisi mengenai revaluasi aset untuk perusahaan BUMN serta individu. Selain itu
juga menghilangkan pajak berganda untuk REIT.
Paket Kebijakan Jilid VI
Memuat soal insentif untuk kawasan ekonomi khusus (KEK), pengelolaan sumber
daya air dan penyederhanaan izin impor bahan baku obat dan makanan oleh BPOM.

Paket Kebijakan Jilid VII


Mengatur soal kemudahan mendapatkan izin investasi, keringanan pajak untuk
pegawai industri padat karya, dan kemudahan mendapatkan sertifikat tanah.
Pakat Kebijakan Jilid VIII
Mencakup 3 paket, yang pertama one map policy, kedua mempercepat pembangunan
kilang minyak untuk meningkatkan produksi kilang nasional, yang ketiga adalah
pemberian insentif bagi jasa pemeliharaan pesawat.
Paket Kebijakan Jilid IX
Mengatur soal percepatan pembangunan infrastruktur tenaga listrik, stabilisasi harga
daging, dan peningkatan sektor logistik desa-kota
Paket Kebijakan Jilid X
Terdapat 10 poin penting yang diharapkan mampu memperbaiki peringkat kemudahan
berbisnis Indonesia (EODB). Pertama kemudahan dalam memulai usaha, kemudahan
pendirian bangunan, ketiga pendaftaran properti, keempat pembayaran pajak, kelima
akses perkreditan, keenam penegakan kontrak dengan mengatur penyelesaian gugatan
sederhana, ketujuh penyambungan listrik, kedelapan perdagangan lintas negara,
kesembilan penyelesaian permasalahan kepailitan, dan sepuluh perlindungan terhadap
investor minoritas.
Paket Kebijakan Jilid XI
Mengatur soal KUR yang diorientasikan ekspor dan dana investasi real estate,
prosedur waktu sandar dan inap barang di pelabuhan (dwelling time) dan
pengembangan industri farmasi serta alat kesehatan.
Paket Kebijakan Jilid XII
Mengatur soal mendorong pertumbuhan UKM dengan memberikan kemudahan
memulai usaha.
Paket Kebijakan XIII
Menitik beratkan pada mempercepat penyediaan rumah untuk masyarakat
berpenghasilan rendah dengan harga yang terjangkau. Caranya dengan
menyederhanakan sekaligus mengurangi regulasi dan biaya pengembangan untuk
membangun rumah.
Paket Kebijakan XIV
Mengenai peta jalan (roadmap) mengenai perdagangan berbasis elektronik (e-
commerce). Roadmap ini diterbitkan guna mencapai tujuan sebagai negara digital
ekonomi terbesar di Asia Tenggara di 2020. Ada delapan aspek pengaturan
mengenai roadmap e-commerce meliputi pendanaan, perpajakan, perlindungan
konsumen, pendidikan dan SDM, logistik, infrastruktur komunikasi, kemanan siber
dan pembentukan manajemen pelaksana.

Anda mungkin juga menyukai