Soekarno (1945-1967)
Soeharto (1967-1998)
MASA kekuasaan Soeharto adalah yang terpanjang dibandingkan presiden lain Indonesia
hingga saat ini. Pasang surut perekonomian Indonesia juga paling dirasakan pada eranya.
ia menjadi presiden di saat perekonomian Indonesia tak dalam kondisi baik. Pada 1967, ia
mengeluarkan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing. UU
ini membuka lebar pintu bagi investor asing untuk menanam modal di Indonesia.
Tahun berikutnya, Soeharto membuat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)yang
mendorong swasembada. Program ini mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga
tembus 10,92 persen pada 1970. Kejikana repelita tersebut selama kepemimpinana soeharto ada
sebanyak 6 ( Repelita I –VI)
Dengan segala kelemahan dan kekurangan yang baru dapat diketahui secara
retrospektif, dapat dikatakan bahwa secara umum pembangunan nasional yang
dilakukan dari 1969 hingga 1998 hasilnya sangat mengagumkan. Dengan ukuran apa
pun dan oleh pengritik yang paling tajam sekalipun harus diakui bahwa pembangunan
nasional berhasil dilaksanakan dengan baik. Produksi pangan, khususnyaa beras, yang
merupakan bahan pokok makanan rakyat terus meningkat dari tahun ke tahun.
Swasembada beras dicapai pada 1984 dan pada November 1984, Indonesia menerima
penghargaan dari FOA, sebagai Negara yang berhasil meningkatkan produksi beras
dan mencapai swasembada, dari Negara yang sebelumnya pernah menjadi importir
beras yang terbesar di dunia. Sektoir industri juga mengalami pertumbuhan yang
signifikan. Bahkan peran industri berat telah mulai meningkat. Apabila pada 1975
peranan industri ringan dan industri berat masing-masing sebesar 20,6 persen dan 10
persen, maka pada 1980 peranan industri ringan menurun dan industri berat meningkat,
masing-masing mejadi 18,6 persen dan 37,3 persen.
ERA REFORMASI
BJ Habibie (1998-1999)
PEMERINTAHAN Presiden Baharuddin Jusuf Habibie dikenal sebagai rezim transisi. Salah satu
tantangan sekaligus capaiannya adalah pemulihan kondisi ekonomi, dari posisi pertumbuhan
minus 13,13 persen pada 1998 menjadi 0,79 persen pada 1999.
Habibie menerbitkan berbagai kebijakan keuangan dan moneter dan membawa perekonomian
Indonesia ke masa kebangkitan. Kurs rupiah juga menguat dari sebelumnya Rp 16.650 per dollar
AS pada Juni 1998 menjadi Rp 7.000 per dollar AS pada November 1998.
Pada masa Habibie, Bank Indonesia mendapat status independen dan keluar dari jajaran eksekutif.
Pada tanggal 15 januari 1998 (masih orde baru ) Indonesia telah menandatangani 50
butir kesepakatan (letter of intent atau Lol) dengan IMF. Salah satunya adalah
memberikan bantuan (pinjaman) kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas.
Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi
masalah krisis. Pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan
konsekuensi diterbitkannya kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Kepres
No.26/1998 dan Kepres No.55/1998. Keppres itu terbit setelah sebelumnya didahului
munculnya Surat Gubernur BI (Soedradjad Djiwandono, ketika itu) tertanggal 26
Desember 1997 kepada Presiden dan disetujui oleh Presiden Soeharto sesuai surat
Mensesneg No.R 183/M.sesneg/12/19997. Atas dasar hukum itulah Bank Indonesia
melaksanakan penyaluran BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) kepada perbankan
nasional. Total BLBI yang dikucurkan hingga program penyehatan perbankan nasional
selesai mencapai Rp144,5 triliun, dana itu tersalur ke 48 bank. Pada tahun 1999 di
zaman Presiden BJ Habibie sebanyak 48 Bankir penerima BLBI melakukan
penyelesaiaan settlement aset atas BLBI yang diterimanya melalui berbagai macam
perjanjian dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang terdiri dari lima
bankir mengikat perjanjian dengan skema Master of Settlement Acquisition Agreement
(MSAA) dimana nilai aset yang diserahkan kepada pemerintah sama dengan total
hutang BLBI yakni sebesar Rp89,2 triliun, tiga bankir menyelesaikan utang dengan
mengikat perjanjian Master of Refinancing and Notes Issuence Agreement (MRNIA)
dimana nilai aset lebih kecil dibandingkan hutang BLBI yang diterima sehingga harus
ditambah personal guarantee dengan total utang BLBI sebesar Rp22,7 triliun.Selain itu
terdapat 25 bankir mengikat perjanjian penyelesaian hutang melalui skema Akte
Pengakuan Utang (APU) sebesar Rp20.8 triliun, sementara 15 bankir semua asetnya
langsung ditangani oleh Bank Indonesia yang sampai hari ini belum jelas pertanggung
jawabannya sebesar Rp11,8 triliun. Jadi untuk MSAA dan MRNIA saja sudah 77 %
mewakili penyelesaain BLBI. Khusus untuk perjanjian APU tidak semua
menandatanganinnya di era Presiden Habibie, sebagian di era Presiden Abdurahman
‘Gusdur’ Wahid, sebagian lagi dimasa Presiden Megawati. Sementara sebagian yang
tidak kooperatif dan diserahkan kepolisi pada masa pemerintahan Megawati jumlahnya
delapan orang, diantarannya Atang Latief (Bank Bira), James Januardy (Bank Namura),
Ulung Bursa (Lautan Berlian).
Beberapa keberhasilan ekonomi di era Habibie sebenarnya tidak lepas dari usaha kerja
keras para kabinetnya yang reformis. Namun, perlu disadari bahwa Habibie bukanlah
presiden yang benar-benar reformis dalam menolak kebijakan ekonomi ala IMF.
Dengan keterbatasannya, beliau terpaksa menjalani 50 butir kesepakatan (LoI) antara
pemerintah Indonesia dengan IMF, sehingga penangganan krisis ekonomi di Indonesia
pada hakikatnya lebih pada penyembuhan dengan “obat generik”, bukan penyembuhan
ekonomi “terapis” ataupun “obat tradisional”. Sehingga ketika meninggalkan tampuk
kekuasaan, Indonesia masih rapuh. Disisi lain, Habibie masih sangat mempercayai
tokoh-tokoh Orde baru duduk di kabinetnya, padahal masyarakat
menuntut reformasi. Dan tampaknya, Habibie memang menempatkan dirinya sebagai
Presiden Transisi, bukan Presiden yang Reformis.
Abdurrahman Wahid
(1999-2001)
ABDURRAHMAN Wahid alias Gus Dur meneruskan perjuangan Habibie mendongkrak
pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1998. Secara perlahan, ekonomi Indonesia tumbuh 4,92 persen
pada 2000.
Gus Dur menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Pemerintah membagi
dana secara berimbang antara pusat dan daerah. Kemudian, pemerintah juga menerapkan pajak
dan retribusi daerah. Meski demikian, ekonomi Indonesia pada 2001 tumbuh melambat menjadi
3,64 persen.
Megawati Soekarnoputri
(2001-2004)
PADA masa pemerintahan Megawati, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara bertahap terus
meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2002, pertumbuhan Indonesia mencapai 4,5 persen dari 3,64
persen pada tahun sebelumnya.
Kemudian, pada 2003, ekonomi tumbuh menjadi 4,78 persen. Di akhir pemerintahan Megawati
pada 2004, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03 persen.
Tingkat kemiskinan pun terus turun dari 18,4 persen pada 2001, 18,2 persen pada 2002, 17,4 persen
pada 2003, dan 16,7 persen pada 2004.
"Saat itu mulai ada tanda perbaikan yang lebih konsisten. Kita tak bisa lepaskan bahwa proses itu
juga dipengaruhi politik. Reformasi politik juga mereformasi ekonomi kita," kata Lana.
Perbaikan yang dilakukan pemerintah saat itu yakni menjaga sektor perbankan lebih ketat hingga
menerbitkan surat utang atau obligasi secara langsung.
Saat itu, kata Lana, perekonomian Indonesia mulai terarah kembali. Meski tak ada lagi repelita
seperti di era Soeharto, namun ekonomi Indonesia bisa lebih mandiri dengan tumbuhnya pelaku-
pelaku ekonomi.
1. Pada pemerintahan SBY kebijakan yang dilakukan adalah mengurangi subsidi Negara
Indonesia, atau menaikkan harga Bahan Bahan Minyak (BBM),
2. kebijakan bantuan langsung tunai kepada rakyat miskin akan tetapi bantuan tersebut
diberhentikan sampai pada tangan rakyat atau masyarakat yang membutuhkan.
3. kebijakan menyalurkan bantuan dana BOS kepada sarana pendidikan yang ada di
Negara Indonesia. Akan tetapi pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam
perekonomian Indonesia terdapat masalah dalam kasus Bank Century yang sampai
saat ini belum terselesaikan bahkan sampai mengeluarkan biaya 93 miliar untuk
menyelesaikan kasus Bank Century ini.
4. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh pesat di tahun 2010 seiring pemulihan
ekonomi dunia pasca krisis global yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2009.
5. Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat
mencapai 5,5-6 persen pada 2010 dan meningkat menjadi 6-6,5 persen pada 2011.
Dengan demikian prospek ekonomi Indonesia akan lebih baik dari perkiraan semula.
pemulihan ekonomi global berdampak positif terhadap perkembangan sektor eksternal
perekonomian Indonesia. Kinerja ekspor nonmigas Indonesia yang pada triwulan IV-
2009 mencatat pertumbuhan cukup tinggi yakni mencapai sekitar 17 persen dan masih
berlanjut pada Januari 2010. Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian
Indonesia adalah efektifnya kebijakan pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal
yang tinggi dan pengurangan utang Negara.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY-JK selama lima tahun menjadi
6,4%, angka yang mendekati target 6,6%. Kebijakan Kenaikan harga BBM tersebut
telah mendorong tingkat inflasi Oktober 2005 mencapai 8,7% (MoM) yang merupakan
puncak tingkat inflasi bulanan selama tahun 2005 dan akhirnya ditutup dengan angka
17,1% per Desember 30, 2005 (YoY). Penyumbang inflasi terbesar adalah kenaikan
biaya transportasi lebih 40% dan harga bahan makanan 18%.Core inflation pun naik
menjadi 9,4%, yang menunjukkan kebijakan Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang
otoritas moneter menjadi tidak sepenuhnya efektif. Inflasi yang mencapai dua digit ini
jauh melampaui angka target inflasi APBNP II tahun 2005 sebesar 8,6%. Inflasi sampai
bulan Februari 2006 (YoY) masih amat tinggi 17,92%, bandingkan dengan Februari
2005 (YoY) 7,15% atau Februari 2004 (YoY) yang hanya 4,6%. yang menjadi referensi
suku bunga simpanan di dunia perbankan.