Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk
memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta
menghasilkan barang ekspor. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negaranegara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam
negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan
pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan
akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan
kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.
Disamping itu Suharto sejak tahun 1970-an juga menggenjot penambangan minyak dan
pertambangan, sehingga pemasukan negara dari migas meningkat dari $0,6 miliar pada tahun
1973 menjadi $10,6 miliar pada tahun 1980. Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang
memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia. Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah
Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi.
Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia mampu
berswasembada pangan pada tahun 1980-an diawali dengan pembenahan di bidang politik.
Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru,
dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras
untuk bertikai. Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde
Baru oleh Kwik Kian Gie diakui memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian
Indonesia yang berantakan di akhir tahun 1960.
Namun, dengan menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat
dipertahankan antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde
Baru kemudian tidak diberi tempat.
Ekspansi kegiatan ekonomi selama tahun-tahun 1989-1991 ada sangkut pautnya dengan
kebijaksanaan deregulasi pemerintah, yang sudah mulaid ilaksanakan secara bertahap sejak
tahun 1983. Rangkaian tindakan deregulasi di atas memberi dorongan kuat terhadap kegiatan
dunia swasta, yang beberapa tahun terakhir ini telah menjadi faktor penggerak dalam
ekspansi ekonomi.
Ekspansi ekonomi di atas telah disertai oleh ekspansi moneter yang besar, sebagai akibat
naiknya permintaan domestik (domestic demand) yang mencakup tingkat investasi maupun
tingkat konsumsi. Ekspansi ekonomi yang ditandai oleh laju pertumbuhan pesat selama tiga
tahun berturut-turut ini dianggap terlalu panas (overheated) dari sudut kestabilan keuangan
moneter (Soemitro Djojokusumo, 1993).
A. Masalah-masalah yang dihadapi
Laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat : 5,8% (1988), 7,5% (1989), 7,1 (1990)
Investasi dunia swasta yang meningkat : 15% (1983), 17% (1991). Pangsa investasi asing
berkisar 25% dari total nilai investasi swasta domestik.
b.
Indikator ekspansi Moneter
Defisit tahun berjalan meningkat : US$1.6 miliar (1989), US$3.7 miliar (1990) dan US$4.5
miliar (1991). (Soemitro Djojohadikusumo, 1993)
B. Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
Berlangsungnya proses pemulihan ekonomi sampai kegiatan ekonomi meningkat cepat
sehingga memanas (overheated) berlangsung selama tahun ke 4, ke 5 pelaksanaan PELITA
IV dan tahun ke 1 PELITA V (1987/1988 1989/1990) dan ekonomi memanas ini
berlangsung terus sepanjang PELITA V (1989/1990 1993/1994)
Kondisi ekonomi yang memanas perlu didinginkan dengan kebijaksanaan uang ketat.
Moneter / perbankan
C. Membatasi kredit bank melalui politik diskonto (suku bunga) didukung operasi pasar
terbuka dengan instrument SBI dan SBPU.
D. Mengawasi likuiditas bank melalui ketentuan LDR (Loan to Deposit Ratio) dann CAR
(Capital Adequacy Ratio).
Dampak TMP : pertumbuhan ekonomi menurun dari 6,6% (1991) menjadi 6,3% (1992) dan
inflasi menurun dari 9,5% (1991) menjadi 4,9% (1992). (Soemitro Djojohadikusumo, 1993:
angka-angka : Nota Keuangan dan Rancangan APBN 1994/1995).
Analisis :
Tahun
1989
253.597,5
7,46
1990
271.958,0
7,24
1991
290.859,1
6,95
1992
309.648,6
6,46
1993
329.775,8
6,50
1994
354.640,8
7,54
PELAKSANAAN
PELITA III (1989
(dalam milyar
Analisis :
Tahun
APBN
1989
28.739,8
1990
31.583,6
1991
41.584,8
1992
46.508,4
1993
47.452,5
1994
52.769,0
APBN DALAM
1994)
rupiah)
Analisis :
Inflasi
(%)
1989
5,97
1990
9,53
1991
9,52
1992
4,94
1993
9,77
1994
9,24
Analisis :
Analisis :
Tahun
Jumlah (dalam US $)
1989
682,0
1990
706,0
1991
1059,7
1992
1940,9
1993
5653,1
1994
3771,2
Analisis :
1989
1990
1991
1992
1993
1994
GDP
(Miliar)
GDP
253.597,
5
271.958,
0
290.859,
1
309.648,
6
329.775,
8
354.640,
8
Current
Account
(miliar)
-1859
7,24
-1590
6,95
-3741
6,46
-4352
6,50
-2561
7,53
-2940
Analisis :
(%)
APBN
(milyar)
28.739,8
31.583,6
41.584,8
46.508,4
47.452,5
52.769,0
Hutang Luar
Negeri
(juta dollar)
6244,0
6753,2
7267,1
9121,4
7018,8
8302,8
Investasi
Asing
(US $)
Inflasi
(%)
682,0
5,97
706,0
9,53
1059,7
9,52
1940,9
4,94
5653,1
9,77
3771,2
9,24