Anda di halaman 1dari 10

REPELITA IV

Pada periode Pelita IV ini, letak titik beratnya hampir sama dengan periode Pelita III. Hanya saja
yang membedakan adalah kalau di Pelita III lebih menekankan pada industri yang mengolah
bahan baku menjadi bahan jadi. Sedangkan pada periode Pelita IV ini lebih ditekankan pada
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik industri
berat maupun ringan. Selain itu, yang ditargetkan dalam periode Pelita IV ini adalah
dilakukannya program KB dan rumah untuk keluarga.

Pada periode Pelita IV ini, swasembada pangan dalam sektor pertanian berhasil dicapai. Terbukti
dengan berhasilnya Indonesia memproduksi beras 25,8 ton pada tahun 1984 dan mendapatkan
penghargaan di FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985.

Berikut adalah beberapa contoh kebijakan pemerintah untuk periode ini :

1. Kebijakan INPRES no.5 tahun 1985 yaitu meningkatkan ekspor nonmigas dan
pengurangan biaya tinggi dengan :

Pemberantasan pungutan liar (pungli)

Memberantas dan menghapus biaya-biaya siluman

Mempermudah prosedur kepabeanan

2. Paket Kebijakan 6 Mei (PAKEM), yaitu mendorong sektor swasta di bidang ekspor dan
penanam modal.

3. Paket Devaluasi 1986, karena jatuhnya harga minyak dunia yang didukung dengan
kebijakan pinjaman luar negri.

4. Paket Kebijakan 25 Oktober 1986, deregulasi bidang perdagagan, moneter, dan penanam
modal dengan cara :

Penurunan bea masuk impor untuk komoditi bahan penolong dan bahan baku

Proteksi produksi yang lebih efisien

Kebijakan penanam modal

5. Paket Kebijakan 15 Januari 1987. peningkatan efisiensi,inovasi dan produktivitas beberapa


sektor industri menengah keatas untuk meningkatkan ekspor nonmigas.

Program KB dan swasembada pangan berhasil namun cenderung hanya terdapat di pulau Jawa
saja. Beban Hutang luar negeri membesar. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh
terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan
fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
Apa yang dialami pada periode Repelita III, ternyata masih dialami pada periode Repelita IV ini.
Bahkan pada periode ini harga minyak bumi turun sangat tajam. Masalah yang semakin nampak
dan dirasakan adalah masalah tenaga kerja yang melaju pada tingkat kurang lebih 2,7% per
tahun. Pada tahun 1983 jumlah tenaga kerja adalah 64 juta dan tahun 1988 diperkirakan akan
menjadi 73 juta. Sementara angka pertumbuhan direncanakan hanya 5% pertahun selama Pelita
IV. Di samping ciri-ciri pokok dan pola unit produksi juga merupakan hambatan bagi
berkembangnya ekspor Indonesia, bahkan menghambat pertumbuhan secara keseluruhan.

Suatu hal yang tidak dapat diabaikan dalam periode yang amat sulit ini adalah pada tahun 1984
Indonesia sudah tidak lagi mengimpor beras (tahun 1980 indonesia mengimpor beras sebanyak 2
juta ton, tahun 1981 mengimpor 0,54 juta ton, tahun 1982 mengimpor 0,31 juta ton, tahun 1983
mengimpor 0,78 juta ton). Dengan demikian devisa yang sebelumnya digunakan untuk
mengimpor beras dapat digunakan untuk keperluan pembangunan. Pedoman pembangunan pada
periode ini adalah GBHN tahun 1983 yang pada intinya tidak mengalami perubahan
dibandingkan dengan GBHN sebelumnya.

Usaha-usaha untuk melanjutkan deregulasi pada periode ini semakin ditingkatkan dengan tujuan
utama meningkatkan efisiensi mekanisme pasar, khususnya yang berkaitan dengan aspek
moneter, kelancaran arus barang yang ada pada giliran berikutnya diharapkan dapat
meningkatkan produksi (Inpres No.4/1985). namun dengan situasi Internasional yang tidak
menentu pada tahun1986/1987 Neraca Pembayaran Indonesia menghadapi tekanan berat. Lebih-
lebih karena turunnya harga minyak bumi. Untuk mengatasi ancaman itu, sekali lagi pemerintah
memberlakukan kebijaksanaan devaluasi rupiah terhadap dollar AS sebesar 31% pada 12
September 1986. Tujuan utama devaluasi ini pada dasarnya untuk mengamankan neraca
pembayaran selain untuk meningkatkan ekspor Indonesia, meningkatkan daya saing produk
Indonesia dan mencegah larinya rupiah ke luar negeri. Namun harus diingat bahwa dengan
devaluasi ini, jumlah hutang Indonesia semakin besar.

Untuk memperbaiki pola unit produksi yang membuat biaya ekonomi tinggi sehingga produk
Indonesia kurang dapat bersaing di luar negeri, pemerintah memberlakukan kebijaksanaan 6 Mei
1986. Kebijaksanaan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi produksi dalam negeri dan daya
saing barang ekspor bukan migas melalui pemberian kemudahan tata niaga, fasilitas pembebasan
dan pengembalian bea masuk serta pembentukkan kawasan berikat. Kemudian pada 30 Juni
1986 Sertifikat Ekspor dihapus. Kebijaksanaan 6 Mei ini kemudian disempurnakan dengan
kebijaksanaan 25 Oktober 1986, sekaligus sebagai penunjang kebijaksanaan devaluasi 12
September 1986 yang intinya mendorong ekspor non-migas melalui penggantian sistem bukan
tarif menjadi sistem tarif secara bertahap, juga penyempurnaan ketentuan bea masuk dan bea
masuk tambahan. Sejalan dengan itu bea fiskal ke luar negeri dinaikkan dari Rp 150.000,- per
orang menjadi Rp 250.000,- perorang. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1986 ekspor dalam
bentuk barang mentah (rotan, jangat, dan kulit) dilarang.
Pada tahun-tahun terakhir Repelita IV, perekonomian Indonesia semakin dibebani dengan
meningkatnya hutang luar negeri sebagai akibat depresiasi mata uang dollar Amerika Serikat
terhadap Yen dan DM kurang lebih sebesar 35%. Namun dalam situasi sulit seperti ini, APBN
tahun 1987/1988 naik kurang lebih 6,6% di bandingkan dengan anggaran sebelumnya.

Penyebab utamanya adalah bahwa negara minyak sudah meningkat pada tingkat rata-rata US$ 15
per barel. Yang juga sedikit menggembirakan adalah pada tahun 1987 ekspor non-migas telah
dapat melampaui ekspor migas. oleh para pengamat naiknya ekspor non-migas ini disambut
dengan dua pandangan. Di satu pihak beranggapan bahwa meningkatnya ekspor non-migas ini
disebabkan karena deregulasi yang selama ini secara intensif dilakukan, namun pengamat yang
lain berpendapat bahwa naiknya ekspor non-migas ini disebabkan karena depresiasi dollar
Amerika terhadap Yen dan DM, karena ternyata ekspor indonesia ke Jepang dan Jerman Barat
merupakan bagian tindakan kecil dari keseluruhan ekspor Indonesia. Pengamatan masih perlu
dilakukan untuk menyusun kebijakan. Namun yang pasti bahwa target pertumbuhan sebesar 5%
per tahun selama Repelita IV sangat sulit dicapai.
Tabel PDB dan Laju Pertumbuhannya Tahun 1985 - 1989

PDB (triliun)* Laju Pertumbuhan (%)

Tahu Harga Harga Harga Harga


n Berlaku Konstan Berlaku Konstan

1985 97,0 85,1 7,9 2,5

1986 102,7 90,1 5,9 5,9

1987 124,8 94,5 21,6 4,9

1988 142,0 99,9 13,8 5,8

1989 162,6 104,5 14,5 7,5

Analisis :

Peningkatan dan penurunan PDB pada repelita IV (1985-1989)


1985 = (85,1 83,0) : 83,0 = 2,5%
1986 = (90,1 85,1) : 85,1 = 5,9%
1987 = (94,5 90,1) : 90,1 = 4,9%
1988 = (99,9 94,5) : 94,5 = 5,7%
1989 = (104,5 99,9) : 99,9 = 4,6%

Jadi, peningkatan PDB harga konstan terbesar pada repelita IV terjadi pada tahun 1986 yakni
meningkat 5,9% dan peningkatan terendah terjadi pada tahun 1985 yakni sebesar 2,5%

PELAKSANAAN APBN DALAM PELITA IV (1985 1989)


(dalam milyar rupiah)
Tahun APBN
1985 19,252.8
1986 16,140.6
1987 20,803.3
1988 20,004.3
1989 28,739.8

Analisis :

Peningkatan dan penurunan APBN pada repelita IV (1985-1989)


1985 = (19.252,8 - 15.905,5) : 15.905,5 = 21%
1986 = (16.140,6 - 19.252,8) : 19.252,8 = -16,2%
1987 = (20.803,3 - 16.140,6) : 16.140,6 = 28,9%
1988 = (20.004,3 - 20.803,3) : 20.803,3 = -3,8%
1989 = (28.739,8 - 20.004,3) : 20.004,3 = 43,7%

Jadi, dari tabel diatas dapat kita simpulkan bahwa peningkatan APBN terbesar terjadi pada tahun
1989 yaitu 43,7% dan penurunan APBN terbesar pada repelita IV adalah pada tahun 1986 yaitu
-16,2%.

Tingkat Inflasi (%) Berdasarkan IHK 1985-1989


Tahun Inflasi
(%)
1985 4,31
1986 8,83
1987 8,90
1988 5,47
1989 5,97

Analisis :

Peningkatan dan penurunan Inflasi pada repelita IV (1985-1989)


1985 = (4,31 8,76) : 8,76 = -50,8%
1986 = (8,83 4,31) : 4,31 = 104,9%
1987 = (8,90 8,83) : 8,83 = 0,8%
1988 = (5,47 8,90) : 8,90 = -38,5%
1989 = (5,97 5,47) : 5,47 = 9,1%

Jadi, pada tabel diatas dapat kita simpulkan bahwa penurunan inflasi terbesar terjadi pada tahun
1985 yaitu -50,8% dan kenaikan inflasi terbesar pada repelita IV adalah terjadi pada tahun 1986
yaitu 104,9%. Jika inflasi mengalami penurunan seperti pada tahun 1985 dan 1988 itu
merupakan hal yang positive.

KOMPOSISI PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH, 1)


1982/83 1987/88
(nilai dalam juta US dollar)

Analisis :

Peningkatan dan penurunan pinjaman luar negeri pada repelita IV (1985-1988)


1985 = (4.579,1 4.528,6) : 4.528,6 = 1,1%
1986 = (5.289,8 4.579,1) : 4.579,1 = 15,5%
1987 = (4.916,8 5.289,8) : 5.289,8 = -7%
1988 = (3.771,5 4.916,8) : 4.916,8 = -23,3%

Jadi, dari tabel diatas dapat kita simpulkan bahwa pinjaman luar negeri terkecil pada repelita IV
terjadi pada tahun 1988 yaitu sebesar 3.771,5 juta US $ dan pinjaman luar negeri yang terbesar
terjadi pada tahun 1983 yaitu sebesar 5.289,8 juta US $.

RINGKASAN NERACA PEMBAYARAN,


1982/83 1987/88
(Juta US dollar)
Analisis :

PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI MODAL ASING


1984 1989
Tahun Jumlah (dalam US $)
1985 598.6
1986 490
1987 723.3
1988 576
1989 682

Analisis :
Peningkatan dan penurunan investasi modal asing pada repelita IV (1985-1989)
1985 = (598.6 - 2,405.6) : 2,405.6 = -75,1%
1986 = (490 - 598.6) : 598.6 = -18,1%
1987 = (723.3 - 490) : 490 = 47,6%
1988 = (576 - 723.3) : 723.3 = 20,4%
1989 = (628 - 576) : 576 = 9%

Jadi, dari tabel diatas dapat kita simpulkan bahwa investasi modal asing pada repelita IV tingkat
kenaikan investasi terbesar terletak pada tahun 1987 yaitu 47,6% dan tingkat penurunan investasi
pada repelita IV adalah pada tahun 1985 yaitu -75,1%.

Tabel Realisasi Pelita IV

Tahun GDP GDP Current APBN Hutang Luar Investasi Inflasi


(triliun) (%) Account (milyar) Negeri Asing (%)
(milyar) (juta dollar) (US $)
1985 85,1 2,53 -1968 19,252.8 4579,1 598.6 4,31
1986 90,1 5,87 -1852 16,140.6 5289,8 490 8,83
1987 94,5 4,88 -4051 20,803.3 4916,8 723.3 8,90
1988 99,9 5,71 -1685 20,004.3 3771,5 576 5,47
1989 104,5 4,60 -1859 28,739.8 6244,0 682 5,97

Analisis :

Rata-rata PDB pada repelita IV pada tahun 1984-1989 adalah sebesar 92,85 triliun pada
harga konstan.
Rata-rata APBN pada repelita IV pada tahun 1984-1989 adalah sebesar 20.141,05 miliar.
Rata-rata inflasi pada repelita IV (1984-1989) adalah sebesar 7,04%
Rata-rata utang luar negeri pada replita IV (1983-1988) adalah sebesar 5.222,5 juta US $
Rata-rata neraca pembayaran pada transaksi berjalan repelita IV adalah sebesar -3.323
juta US $.
Rata-rata investasi modal asing pada repelita IV (1984-1989) adalah sebesar 903,5 US $

Jika kita lihat dari rata-rata diatas, pada repelita ke IV indonesia masih banyak
mendapatkan sumber dana dari hutang luar negeri dan investasi asing.

Anda mungkin juga menyukai