Anda di halaman 1dari 9

Tugas EKONOMI

IGGI

Nama: Satria Gogo Prayoga


No Absen: 28
Kelas: XI MIA 2
BAB I
Kata Pengantar:
Kelompok Antarpemerintah bagi Indonesia (bahasa Inggris: Intergovernmental Group on Indonesia;
disingkat IGGI; adalah sebuah kelompok internasional yang didirikan pada tahun 1967, diprakarsai oleh
Amerika Serikat untuk mengkoordinasikan dana bantuan multilateral kepada Indonesia.

Latar Belakang:

Pergantian kekuasaan dari rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno menuju rezim Orde Baru
yang dipimpin Soeharto memberikan perubahan yang cukup mendasar dalam sifat diplomasi
Indonesia. Soekarno dengan haluan politik luar negeri yang revolusioner dan anti-imperialisme
bersifat sangat konfrontatif. Indonesia pada masa kepemimpinan Soekarno memperlihatkan sifat
– sifat militan dan cenderung konfrontatif terhadap segala unsur yang diidentifikasi sebagai
”antek imperialisme”. Dalam hal ekonomi, Soekarno mengatur segala rencana pembangunan
ekonomi dan memiliki semboyan ”berdiri di atas kaki sendiri” yang merefleksikan pendirian
anti-Barat. Karena inilah, secara umum hubungan Indonesia dengan negara – negara Barat bisa
dikatakan tidak harmonis.

Sebaliknya, setelah memasuki rezim Orde Baru, sifat politik luar negeri Indonesia yang
konfrontatif tersebut berganti dengan politik yang bersifat kooperatif. Indonesia yang selama
masa Demokrasi Terpimpin memiliki hubungan yang kurang baik dengan negara – negara Barat
mulai memperbaiki hubungan tersebut sesudah memasuki rezim Orde Baru. Hal ini dilakukan
terutama karena orientasi politik luar negeri Indonesia berubah haluan menjadi pembangunan
ekonomi dalam negeri melalui kerja sama dengan negara – negara lain. Hal ini terjadi karena
pemerintah Orde Baru menyadari bahwa untuk melakukan pembangunan Ekonomi, Indonesia
membutuhkan dana, sedangkan Indonesia yang baru merdeka memiliki kekurangan dana yang
sangat besar untuk melakukan pembangunan tersebut. Kerja sama dengan negara – negara lain
ini dibuka untuk mendapatkan bantuan luar negeri demi melaksanakan pembangunan ekonomi
dalam negeri. Diplomasi yang dilakukan oleh Orde Baru banyak disebut sebagai ”Diplomasi
Pembangunan” (Diplomacy For Development). Salah satu hasil diplomasi pembangunan Orde
Baru terkait dengan upaya untuk mendapatkan bantuan luar negeri adalah Inter-Governmental
Group on Indonesia (IGGI/Kelompok Antarpemerintah Mengenai Indonesia).
BAB II
ISI:
Kelompok Antarpemerintah bagi Indonesia (bahasa Inggris: Intergovernmental Group on
Indonesia; disingkat IGGI; adalah sebuah kelompok internasional yang didirikan pada
tahun 1967, diprakarsai oleh Amerika Serikat untuk mengkoordinasikan dana bantuan multilateral
kepada Indonesia.
Anggota IGGI adalah Bank Pembangunan Asia, Dana Moneter Internasional, UNDP, Bank
Dunia, Australia, Belgia, Britania Raya,Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Selandia
Baru, Swiss dan Amerika Serikat.
IGGI mengadakan pertemuan pertamanya pada 20 Februari 1967 di Amsterdam. Indonesia saat
itu diwakili Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dari 1967 hingga 1974, IGGI mengadakan dua
kali pertemuan setiap tahunnya, namun sejak 1975, pertemuan hanya diadakan sekali dalam
setahun karena perkembangan ekonomi Indonesia yang membaik. Bantuan awal IGGI adalah
dalam penyusunan program rencana lima tahun Indonesia, Repelita I (1969-1973) dan pendanaan
60% darinya.
Pada Maret 1992, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa dana bantuan IGGI akan ditolak
jika organisasi tersebut masih diketuai Belanda. IGGI kemudianpun digantikan Consultative
Group on Indonesia (CGI). Keputusan ini juga terjadi setelah Ketua IGGI, Jan Pronk, mengecam
tindakan Indonesia terhadap pembunuhan para pengunjuk rasa di Timor Timur pada
tahun 1991 (lihat Pembantaian Santa Cruz/Insiden Dili).
Usaha untuk membentuk IGGI tersebut mulai dilakukan pada bulan September 1966 dalam
pertemuan antara 12 negara kreditor yang dilaksanakan di Tokyo untuk mengetahui rencana
Indonesia dalam memperbaiki keadaan ekonomi dan evaluasi IMF akan rencana tersebut. Dalam
forum ini, Indonesia berhasil menggalang dukungan dan menegosiasikan utangnya kepada para
kreditur dalam forum Paris Club dan dirasakan perlunya forum antar pemerintah untuk membantu
pembangunan di Indonesia, baik berupa dana maupun pemikiran. Kesepakatan untuk membentuk
sebuah forum formal dalam rangka membantu perekonomian Indonesia dicapai pada pertemuan
ini. Hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah keberhasilan diplomasi pembangunan waktu itu. Pada
tanggal 20 Februari 1967, IGGI dibentuk melalui pertemuan formal di Amsterdam yang dihadiri
oleh sejumlah negara kreditor utama dan lembaga Internasional.
Sejak pendiriannya pada tahun 1967, IGGI memainkan peran yang krusial dalam mengatur
tanggapan komunitas keuangan internasional terhadap krisis finansial yang dihadapi Indonesia.
IGGI menrupakan forum Internasional yang menjadi perantara koordinasi antara Indonesia dan
bank – bank Internasional dalam hal ide – ide pembangunan dan program bantuan keuangan.
Diplomasi pembangunan Indonesia pada masa awal Orde Baru tersebut dapat dikatakan berhasil
dalam memperoleh bantuan luar negeri. Hal ini sesuai dengan tujuan dari diplomasi ekonomi, yaitu
mengamankan resources ekonomi yang berasal dari luar negeri untuk pembangunan ekonomi luar
negeri. Dalam hal ini, resources ekonomi utama yang berusaha diamankan adalah bantuan luar
negeri yang berasal dari negara – negara maju.
Namun, jika kita lihat kembali kondisi dunia pada masa terbentuknya IGGI, maka dapat kita lihat
kepentingan para negara kreditor tersebut dalam terbentuknya IGGI. Penulis setuju dengan
pendapat Zainuddin Djafar dalam Rethinking the Indonesian Crisis, yaitu adanya kepentingan
negara Barat untuk membendung pengaruh akomunisme. Seperti yang kita tahu, pada masa itu,
dunia sedang berada dalam era Perang Dingin. Pembentukan IGGI ini dapat kita anggap sebagai
pelaksanaan dari teori containment untuk mencegah Indonesia kembali memihak blok Timur
seperti pada masa Demokrasi Terpimpin. Indonesia dinilai sebagai sebuah negara yang sangat
strategis dalam pelaksanaan teori containment ini karena merupakan negara Asia Tenggara yang
cukup terkemuka. Karena itu, penanaman pengaruh blok Barat pada Indonesia dinilai sangat
penting untuk menjaga dan meningkatkan pengaruh blok Barat di kawasan Asia Tenggara.
Masuknya bantuan luar negeri tersebut juga bertujuan untuk mengendalikan berbagai kebijakan
dalam negeri Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mengamankan kepentingan para negara kreditor
tersebut di Indonesia, terutama kepentingan ekonomi. Sesuai dengan perspektif realis yang
menyatakan bahwa pemberian bantuan luar negeri pada dasarnya dilakukan atas dasar kepentingan
negara pemberi bantuan tersebut. Selalu ada kepentingan yang melatarbelakangi pemberian
bantuan. Sebagai contoh yang sangat jelas, dalam sebuah wawancara yang dilakukan John Spilger
terhadap Nicholas Stern sebagai pimpinan ekonom Bank Dunia, terungkap bahwa meskipun
World Bank dan negara kreditor memberi pinjaman 100%, namun sebenarnya sebagian besar uang
tersebut digunakan untuk membuka lapangan pekerjaan bagi negara kreditor dan hanya sekitar
separuh uang pinjaman tersebut yang benar-benar masuk ke negara miskin tersebut.
Pemberian bantuan dengan tujuan seperti ini membuat Indonesia terjebak dalam kondisi
dependensi. Indonesia menjadi sangat tergantung dengan bantuan asing tersebut, yang terlihat dari
dimasukkannya hutang luar negeri dalam daftar sumber dana APBN. Ketergantungan terhadap
sumber pendanaan asing ini memungkinkan intervensi pihak asing terhadap berbagai kebijakan
pemerintah. Dengan begitu, lewat bantuan luar negeri, maka negara – negara Barat dapat
mengontrol kehidupan politik dan ekonomi dalam negeri. Hal ini terlihat dari penguasaan pihak
asing terhadap sumber daya alam di Indonesia, kemudahan masuknya barang impor dari negara –
negara Barat, dan berbagai kebijakan Pemerintah yang selalu memihak terhadap perusahaan asing
jika terjadi konflik antara buruh lokal dan perusahaan asing tersebut. Indonesia dalam hal ini
berada dalam posisi sebagai negara perifer yang selalu bergantung pada negara – negara sentral.
Indonesia diposisikan sebagai pemasok tenaga kerja yang murah serta bahan mentah dalam
pembagian kerja global tersebut.
Kondisi dependensia ini menjadi sebuah ”bom waktu” bagi Indonesia. Terbukti, setelah Perang
Dingin berakhir dan nilai strategis Indonesia dalam teori containment hilang, maka berbagai akses
terhadap sumber pendanaan luar negeri tersebut menjadi sulit. Stabilitas ekonomi dan politik
dalam negeri menjadi terganggu dan akhirnya berpuncak pada terjadinya Krisis Moneter tahun
1998. Pihak asing pun telah menguasai banyak sumber daya strategis dalam negeri melalui
berbagai perusahaan multinasional.
Meski begitu, di luar berbagai efek negatif yang disebabkan oleh bantuan luar negeri yang masuk
ke Indonesia, terbentuknya IGGI tetap dapat dilihat sebagai keberhasilan diplomasi pembangunan
pertama Indonesia, karena merupakan bentuk kepercayaan luar negeri yang dilembagakan.
Sebagai kesimpulan, pergantian rezim membawa perubahan pada orientasi politik Indonesia dari
politik revolusioner menjadi pembangunan kembali ekonomi dalam negeri dan pemulihan
hubungan dengan negara-negara luar. Terbentuknya IGGI merupakan hasil dari diplomasi
pembangunan pertama Indonesia. Bantuan luar negeri yang diterima dari IGGI tersebut membawa
Indonesia pada kondisi dependensia atau ketergantungan terhadap pendanaan luar negeri tersebut
dan ketidakmandirian dalm penentuan kebijakan dalam negeri. Meski begitu, pembentukan IGGI
ini tetap dapat dilihat sebagai keberhasilan pertama dari diplomasi pembangunan dalam mencapai
sasarannya, yaitu mendapatkan mendapatkan bantuan luar negeri untuk membiayai pembangunan
ekonomi di Indonesia.
Hubungan Akrab
Hubungan Belanda–Indonesia semakin akrab. Pada tahun 1970, Presiden Soeharto melakukan
kunjungan kenegaraan ke Belanda. Dan pada tahun berikutnya, Ratu Juliana, melakukan
kunjungan balasan ke Indonesia. Sementara itu, makin banyak kalangan di Belanda mengikuti
perkembangan di Indonesia dengan kritis. Korupsi meraja lela. Pelanggaran hak azasi manusia
makin menjadi-jadi. Masyarakat internasional mulai mempertanyakan legalitas penahanan orang-
orang yang dicap sebagai anggota PKI di Pulau Buru.
Pada tahun 1979, atas desakan dunia internasional, pemerintah Orde Baru mengembalikan para
tahanan politik (tapol) ke daerah asal mereka, dan secara bertahap membebaskannya.

Pelanggaran HAM
Di luar negeri, suara kritis terhadap pelanggaran HAM di Indonesia makin gencar.Operasi
Pembunuhan Misterius (Petrus) pada tahun 1980-an membuat kecaman makin gencar. Ketika
Belanda mengecam keras peristiwa penembakan terhadap para demonstran di kompleks
pemakaman Santa Cruz Dilli, 12 November 1991, pada bulan Maret 1992 Jendral Soeharto
memutuskan membubarkan IGGI.

IGGI Dibubarkan
Indonesia membubarkan IGGI (lnterGovernmental Group on Indonesia) dan menolak bantuan
Belanda melalui surat Menteri Koordinator ekuin Radius Prawijo yang disampaikan kepada
perdana menteri Belanda. Ruud Lubbers. Hal ini terjadi karena Indonesia merasa sangat kesal oleh
berbagai ‘ancaman dan kritikan Belanda. baik atas pelaksanaan pembangunan maupun atas
sejumIah insiden yang teujadi di Indonesia. dan menilai bahwa Belanda telah menggunakan
bantuannya sebagai alat intimidasi.
BAB III
Kesimpulan:

Kelompok Antarpemerintah bagi Indonesia (bahasa Inggris: Intergovernmental Group on


Indonesia; disingkat IGGI; adalah sebuah kelompok internasional yang didirikan pada tahun
1967, diprakarsai oleh Amerika Serikat untuk mengkoordinasikan dana bantuan multilateral
kepada Indonesia.

Anggota IGGI adalah Bank Pembangunan Asia, Dana Moneter Internasional, UNDP, Bank
Dunia, Australia, Belgia, Britania Raya, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Selandia Baru,
Swiss dan Amerika Serikat.

IGGI mengadakan pertemuan pertamanya pada 20 Februari 1967 di Amsterdam. Indonesia saat
itu diwakili Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dari 1967 hingga 1974, IGGI mengadakan dua
kali pertemuan setiap tahunnya, namun sejak 1975, pertemuan hanya diadakan sekali dalam
setahun karena perkembangan ekonomi Indonesia yang membaik. Bantuan awal IGGI adalah
dalam penyusunan program rencana lima tahun Indonesia, Repelita I (1969-1973) dan pendanaan
60% darinya.

Pada Maret 1992, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa dana bantuan IGGI akan ditolak
jika organisasi tersebut masih diketuai Belanda. IGGI kemudianpun digantikan Consultative
Group on Indonesia (CGI). Keputusan ini juga terjadi setelah Ketua IGGI, Jan Pronk, mengecam
tindakan Indonesia terhadap pembunuhan para pengunjuk rasa di Timor Timur pada tahun 1991
(lihat Pembantaian Santa Cruz/Insiden Dili).

Ketua IGGI:
 1967-1972 - ?
 1973-1977 - Jan Pronk
 1978-1988 - ?
 1989-1992 - Jan Pronk
BAB IV
Daftar Pustaka:
https://blackswan313.wordpress.com/2009/07/14/iggi-sebuah-keberhasilan-
diplomasi-dan-jebakan-dependensi/

http://print.kompas.com/baca/2015/06/26/Selamat-Tinggal-IGGI%2c-
Selamat-Datang-CGI

http://www.sosbudpolhuk.info/2013/04/iggi-intergovermental-group-on.html

http://inal-iqbal.blogspot.co.id/2013/11/iggi-cgi-opec-apec-dan-oki_15.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Kelompok_Antarpemerintah_bagi_Indonesia

Lampiran:

Anda mungkin juga menyukai