Sejak awal kemerdekaan hingga masa Orde Lama, landasan operasional dari politik luar
negeri Indonesia yang bebas aktif sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidatopidato Presiden Soekarno. Beberapa saat setelah kemerdekaan, dikeluarkanlah Maklumat
Politik Pemerintah tanggal 1 November 1945 yang isinya adalah; politik damai dan hidup
berdampingan secara damai; tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain;
politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara di bidang ekonomi, politik dan
lain-lain; serta selalu mengacu pada piagam PBB dalam melakukan hubungan dengan negara
lain.
Selanjutnya pada masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 landasan operasional politik luar
negeri Indonesia adalah berdasarkan UUD 1945 yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945
alinea pertama, pasal 11 dan pasal 13 ayat 1 dan 2 UUD 1945, Amanat Presiden yang
berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita pada 17 Agustus 1959 atau dikenal sebagai
Manifesto Politik Republik Indonesia.
Amanat Presiden itu sendiri kemudian dijadikan sebagai Garis Besar Haluan Negara.
Berkaitan dengan kebijakan politik luar negeri, Manifesto tersebut memuat tujuan jangka
panjang dan tujuan jangka pendek, yaitu :
Tudjuan djangka pendek jaitu melandjutkan perdjuangan anti imperialisme ditambah
dengan mempertahankan kepribadian Indonesia di tengah-tengah tarikan-tarikan ke
kanan dan ke kiri jang sekarang sedang berlaku kepada negara kita dalam
pergolakan dunia menudju kepada suatu imbangan baru. Sementara dalam djangka
pandjang di bidang luar negeri, Revolusi Indonesia bertudjuan melenjapkan
imperialisme di mana-mana, dan mentjapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia
jang kekal dan abadi. Menurut Manipol, diplomasi jang sesuai dengan fungsinja
sebagai art jang berhubungan dengan tjara melaksanakannja harus tidak mengenal
kompromi, harus radikal dan revolusioner.
Tujuan jangka pendek dan jangka panjang tidak terlepas dari sejarah Indonesia, sebagai
bangsa yang pernah mengalami penjajahan. Walaupun Indonesia sudah merdeka, perjuangan
untuk melenyapkan imperialisme belum berakhir, sebab negara-negara yang dianggap
imperialis dan kolonialis (Barat), masih ada dan berusaha menanamkan pengaruhnya.
Indonesia berusaha pula menghindari dari keberpihakan pada dua blok yang bersengketa dan
masuk menjadi anggota Non Blok.
Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik/Manipol Indonesia berdasarkan pada amanat
Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama Djalanja Revolusi Kita, yang
menetapkan penegasan mengenai cara-cara pelaksanaan Manipol di bidang politik luar
negeri. Politik luar negeri Indonesia tidak netral, tidak menjadi penonton dan tidak tanpa
prinsip. Politik bebas tidak sekedar cuci tangan, tidak sekedar defensif, tapi aktif dan
berprinsip serta berpendirian.
Manipol, Djarek (Djalanja Revolusi Kita), merupakan embrio kelahiran serta doktrin baru,
yaitu dunia tidak terbagi dalam Blok Barat , Blok Timur dan Blok Asia Afrika/Blok ketiga.
Akan tetapi dunia terbagi menjadi dua Blok yang saling bertentangan yaitu New Emerging
Forces /Nefos dan Old Established Forces/Oldefos.
Nefos merupakan kekuatan-kekuatan baru yang sedang bangkit. Sementara Oldefos
merupakan kekuatan-kekuatan lama yang sudah mapan. Doktrin Nefos dan Oldefos menjadi
dasar politik luar negeri anti imperialis dan kolonialis yang lebih militan. Soekarno
mewujudkan gagasan Nefos dan Oldefos itu dengan suatu strategi diplomasi yang agresif dan
konfrontatif dengan negara-negara Barat.
Pada masa Orde Baru, landasan operasional politik luar negeri Indonesia kemudian semakin
dipertegas dengan beberapa peraturan formal, diantaranya adalah Ketetapan MPRS no. XII/
MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang penegasan kembali landasan kebijaksanaan politik
luar negeri Indonesia. TAP MPRS ini menyatakan bahwa sifat politik luar negeri Indonesia
adalah:
1. Bebas aktif, anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk manifestasinya
dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
2. Mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat.
Selanjutnya landasan operasional kebijakan politik luar negeri RI dipertegas lagi dalam
Ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973, yang berisi:
1. Terus melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan mengabdikannya
kepada kepentingan nasional, khususnya pembangunan ekonomi;
2. Mengambil langkah-langkah untuk memantapkan stabilitas wilayah
Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, sehingga memungkinkan negara-negara di
wilayah ini mampu mengurus masa depannya sendiri melalui pembangunan ketahanan
nasional masing-masing, serta memperkuat wadah dan kerjasama antara negara anggota
perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara;
3. Mengembangkan kerjasama untuk maksud-maksud damai dengan semua negara dan
badan-badan
internasional
dan
lebih
meningkatkan
peranannyadalammembantubangsa-bangsayangsedangmemperjuangkan
kemerdekaannya tanpa mengorbankan kepentingan dan kedaulatan nasional.
Ketetapan-ketetapan MPR era Orde Baru dijabarkan dalam pola umum pembangunan jangka
panjang dan pola umum pelita dua hingga enam, pada intinya menyebutkan bahwa dalam
bidang politik luar negeri yang bebas dan aktif diusahakan agar Indonesia dapat terus
meningkatkan peranannya dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta menciptakan
perdamaian dunia yang abadi, adil dan sejahtera. Namun demikan, menarik untuk dicatat
bahwa TAP MPR RI No. IV/MPR/1973 berbeda dengan TAP MPRS tahun 1966. Perbedaan
ini seiring dengan pergantian pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, sehingga konsep
perjuangan Indonesia yang selalu didengung-dengungkan oleh Soekarno sebagai antikolonialisme dan anti-imperialisme tidak lagi memunculkan dalam TAP MPR tahun 1973 di
atas. selain itu, sosok politik luar negeri Indonesia juga lebih difokuskan pada upaya
pembangunan bidang ekonomi dan peningkatan kerjasama dengan dunia internasional.
Selanjutnya TAP MPR RI No. IV/MPR/1978, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia juga
telah diperluas, yaitu ditujukan untuk kepentingan pembangunan di segala bidang. Realitas
ini berbeda dengan TAP-TAP MPR sebelumnya, yang pada umumnya hanya mencakup satu
aspek pembangunan saja, yaitu bidang ekonomi. Pada TAP MPR RI No. II/MPR/1983,
sasaran politik luar negeri Indonesia dijelaskan secara lebih spesifik dan rinci.
Perubahan ini menandakan bahwa Indonesia sudah mulai mengikuti dinamika politik
internasional yang berkembang saat itu.
Pasca-Orde Baru atau dikenal dengan periode Reformasi yang dimulai dari masa pemerintahan
B.J. Habibie sampai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono secara substansif landasan
operasional politik luar negeri Indonesia dapat dilihat melalui: ketetapan MPR No. IV/MPR/1999
tanggal 19 Oktober 1999 tentang garis-garis besar haluan negara dalam rangka mewujudkan
tujuan nasional periode 1999-2004. GBHN ini menekankan pada faktor-faktor yang
melatarbelakangi terjadinya krisis ekonomi dan krisis nasional pada 1997, yang kemudian dapat
mengancam integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diantaranya adanya
ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang demokratis dan
berkeadilan. Oleh karena itu, GBHN juga menekankan perlunya upaya reformasi di berbagai
bidang, khususnya memberantas segala bentuk penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan
nepotisme serta kejahatan ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Selanjutnya ketetapan ini juga menetapkan sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam
pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri, yaitu:
1. menegaskan kembali pelaksanaan politik bebas dan aktif menuju pencapaian
tujuan nasional;
2. ikut serta di dalam perjanjian internasional dan peningkatan kerja sama untuk
kepentingan rakyat Indonesia;
mengintensifkan
kesiapan
Indonesia
memasuki
era