Anda di halaman 1dari 15

MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

DALAM BIDANG POLITIK

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan keputusan politik tertinggi yang


melahirkan bangsa dan negara Republik Indonesia. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
merupakan titik puncak perjuangan fisik dalam membangun bangsa dan negara merdeka,
keputusan politik yang menandai kemerdekaan Republik Indonesia secar de facto segera disusul
oleh beberapa keputusan penting yang melengkapi persyaratan formal sebuah negara yang
merdeka dan berdaulat.
Meskipun secara formal persyaratan sebagai negara merdeka telah dipenuhi sejak 10 Agustus
1945, namun dalam operasionalnya tidak berjalan mulus. Hal ini disebabkan oleh masih adanya
campur tangan kekuatan asing terutama sekutu.
Sebagai pihak yang memenangkan perang dunia kedua. Sekutu mencoba menggugat
kemerdekaan Indonesia. Semua bekas jajahan negara-negara yang tergabung dalam sekutu yang
direbut agresor perang dunia II harus dikembalikan kepada mereka. Penyebab lainnya adalah
masih lemahnya kualitas intelektual, ekonomi, dan politik masyarakat sehingga masih mudah
dipengaruhi oleh kekuatan politik yang ada.
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut, selama 64 tahun
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ternyata bahwa masalah poko yang kita hadapi
ialah bagaimana dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat
ekonomi disamping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Pada pokonya
masalah ini berkisar pada menyusun suatu sistem politik dimana kepemimpinan cukup kuat
untuk untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation buliding, dengan partisipasi
rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktator apakah diktator ini bersifat perorangan, partai
atau militer.
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, indonesia telah banyak menganut sistem
demokrasi mulai sistem demokrasi parlementer sampai demokrasi liberal.
Pada tanggal 05 Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi
di bawah dekrit presiden. Soekarno juga membubarkan Dewan Konstituante yang ditugasi untuk
menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan diberlakukannya
kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semoyan “Kembali ke UUD 1945” Soekarno
memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi-
posisi penting.
Demokrasi terpimpin lahir dalam suatu zaman yang sukar, persoalan yang muncul pada
tahun 1957 itu itu sangan runyam dan komplek. Ada ketakutan terhadap tentara , ketakutan
terhadap PKI, terhadap Islam, terhadap pemberontakan-pemberontakan panglima-panglima di
daerah. Lalu ada lagi campur tangan dari luar negeri.
A. Sejarah Politik Masa Demokrasi Terpimpin
Pada permulaan pertumbuhannya demokrasi telah mencakup beberapa azas dan
nilai yang diwariskan kepadanya dari masa yang lampau, yaitu gagasan mengenai
demokrasi dari kebudayaan Yunani kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama
yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perang-perang agama yang menyusulnya.
Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota (city-state) Yunani kuno
merupakan demokrasi langsung yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk
membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga
negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi
Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang
sederhana, wilayahnya terbatas serta jumlah penduduknya sedikit. Lagipula ketentuan-
ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang hanay
merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas yang teridiri dari budak
belian dan pedagang asing demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi bersifat
demokrasi berdasarkan perwakilan.
Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia barat waktu
bangsa Romawi, yang sedikit banyak masih kenal kebudayaan Yunani dikalahkan oleh
suku bangsa Eropa Barat dan benua Eropa memasuki abad pertengahan (600-1400).
Masyarakat abad pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feodal. Dilihat dari
sudut perkembangan demokrasi Abad pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang
penting, yaitu Magna Charta (Piagam Besar). Magna Charta merupakan semacam
kontrak antara beberapa bangsawan dan raja John dari Inggris dimana untuk pertama kali
seorang raja yang mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dari
bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan
sebagainya. Biarpun piagam ini lahir dalam suasana feodal dan tidak berlaku untuk
rakyat jelata, namun dianggap tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi.
Demokrasi di Indonesia telah banyak mengalami perubahan sistem demokrasi itu
sendiri, sejak diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945
Indonesia menggunakan sisitem demokrasi parlementer yang menonjolkan peranan
parlemen serta partai-partai, dalam periode ini yang dipakai sebagai pegangan adalah
UUD 1945 tetapi sudah barang tentu belum dapat dijalankan secara murnidan konsekuen
oleh karena bangsa Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya.
Kemudian pada periode berikutnya (27 Desember-17 Agustus 1950) negara
Republik Indonesia menjadi negara serikat. Sebetulnya bukan kehendak seluruh bangsa
Indonesia untuk memakai bentuk negara dan sisitem pemerintahan, politk dan adminitrasi
negara seperti tersebut di atas, tetapi keadaan yang memaksa demikian.
Sejak Gubernur Jenderal DR. Van Mook dikirim ke Indonesia, ia memang
ditugasi untuk memporak-porandakan keutuhan persatuan dan kesatuan Republik
Indonesia yang baru merdeka, politik devide et impera memang dimilikinya. Ia
mengusulkan untuk disetujuinya pembentukan negara dalam negara.
Pada periode berikutnya (1950-1959) dengan memperhatikan keadaan negara-
negara bagian yang semakin sukar untuk diperintah sedangkan kewibawaan pemerintah
Negara Federal semakin berkurang selama penyelenggaraan Konstitusi RIS, apalagi
didukung kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari berbagai ragam suku bangsa, adat
istiadat, agama, pulau-pulau, bahasa daerah, maka rakyat di daerah-daerah sepakat untuk
kembali kebentuk negara kesatuan.
Pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia resmi kembali menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia walaupun konstitusinya adalah Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) tahun 1950. oleh karenanya sistem pemerintahan tetap dalam bentuk kabinet
parlementer, yaitu para menteri (kabinet) bertanggungjawab kepada parlemen dan
parlemen dapat menjatuhkan kabinet melalui mosi tidak percaya.
Walaupun sudah kembali kepada bentuk negara kesatuan namun perbedaan antara
daerah yang satu dengan daerah yang lain masih terasa, ada yang menyesali keadaan ini
tetapi ada pula yang menyetujuinya namun tetap memiliki ketidakpuasan kepada
pemerintah pusat. Oleh karenanya pada era ini seringkali terjadi berbagai jenis
pemberontakan seperatis seperti Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA),
Pemberontakan Andi Azis, Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan), dan lain-
lain.
Oleh karena itu menurut pengamatan Presiden Soekarno, demokrasi liberal tidak
semakin mendorong Indonesia mendekati tujuan revolusi yang berupa masyarakat adil
dan makmur, sehingga pada gilirannya pembagunan ekonomi sulit untuk dimajukan,
karena setiap pihak baik sipil (pegawai negeri sipil dan parpol) dan militer saling berebut
keuntungan dengan mengorbankan yang lain.
Sebaliknya Prsiden Soekarno ingin melihat bangsa Indonesia yang kuat dan
bersatu padu sebagaimana pada awal-awal kemerdekaan dulu, dari Sabang sampai
Merauke. UUDS 1950 dianggap selama ini memang sudah melakukan penyimpangan-
penyimpangan dari cita-cita luhur proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Dengan dalih seperti itu Presiden Soekarno mencanangkan Demokrasi Terpimpin
dan politik dalam negeri Republik Indoensia.

B. Kondisi/Situasi Politik Masa Demokrasi Terpimpin


a. Kondisi politik dalam negeri
Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia jatuh pada
masa demokrasi terpimpin. Dalam demokrasi terpimpin Soekarno bertindak seperti
seorang diktator, hampir semua kekuasaan negara baik eksekutif, legislatif dan
yudikatif berada pada kekuasaannya. Sutan Takdir Alisyahbana menyamakan
Soekarno dengan raja-raja kuno yang mengklaim dirinya sebagai inkarnasi tuhan atau
wakil tuhan di dunia.
Dekrit tersebut dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan
keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat.
Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk
bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No.
III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah
membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini. Selain itu banyak lagi tindakan yang
menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 Ir.
Soekarno sebagai Prseiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan
Umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit
ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti Dewan Perwakilan
Rakyat pilihan ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah sedangkan
fungsi kontrol di tiadakan. Lagipula pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan
menteri dan dengan demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu presiden
disamping fungsi sebagai sebagai wakil rakyat. Hal terakhir ini mencerminkan telah
ditinggalkannya doktrin trias politica. Dalam rangka ini harus pula dilihat beberapa
ketentuan lain yang memberi wewenang kepada presiden sebagai badan eksekutif.
Misalnya presiden diberi wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif
berdasarkan Undang-Undang No. 19/1964 dan di bidang legislatif berdasarkan
Peraturan Tata Tertib Peraturan Presiden No. 14/1960 dalam hal anggota Dewan
Perwakilan Rakyat tidak mencapai mufakat.
Hal tersebut kemudian menjadikan kaburnya batas-batas wewenang antara
badan eksekutif dan legislatif, keduanya seolah-olah dirangkap oleh presiden.
Akibatnya fungsi dan peranan MPRS dan DPR-GR hilang. Apalagi pada waktu itu
menteri-menteri diperbolehkan menjabat sebagai ketua MPRS, DPR-GR, DPA dan
MA.
MPRS dan DPR-GR yang seharusnya menjadi lembaga perwakilan rakyat
yang bertugas sebagai lembaga negara yang mengawasi jalannya pemerintahan pada
akhirnya tunduk kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan presiden.
Demokrasi terpimpin ialah hypen pendek demokrasi yang tidak didasarkan
atas paham liberalisme, sosialisme-nasional, facisme, dan komunisme, tetapi suatu
faham demokrasi yang didasarkan keinginan-keinginan luhur bangsa Indonesia
seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, menuju satu tujuan yaitu
mencapai masyarakat adil dan makmur yang penuh dengan kebahagiaan material dan
spiritual sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Akan tetapi dalam prakteknya, apa yang dinamakan dengan demokrasi
terpimpin yang mempunyai tujuan yang luhur ini tidak pernah dilaksanakan secara
konsekuen. Sebaliknya sistem ini sangat jauh dan menyimpang dari arti yang
sebenarnya. Dalam prakteknya yang memimpin demokrasi ini bukan pancasila
sebagaiman dicanangkan tetapi sang pemimpinnya sendiri. Akibatnya demokrasi
yang dijalankan tidak lagi berdasarkan keinginan luhur bangsa Indonesia tetapi
berdasarkan keinginan-keinginan atau ambisi-ambisi politik pemimpinnya sendiri.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi telah membawa jalannya
pemerintahan jauh dari mekanisme yang ditetapkan dalam UUD 145. kondisi ini
diperburuk dengan merosotnya keadaan ekonomi negara. Sebagai akibatnya, keadaan
politik dan keamanan sudah sangat membahayakan keselamatan negara. Situasi ini
dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan mengadakan
pemberontakan pada tanggal 30 September 1965. tujuan utama pemberontakan ialah
untuk mengganti falsafah pancasila dengan falsafah lain.
Dalam periode demokrasi terpimpin pemikiran ala demokrasi barat banyak
ditinggalkan. Presiden Soekarno sebagai Pimpinan Nasional tertinggi ketika itu
menyatakan bahwa demokrasi liberal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan
negara Indonesia. Prosedur pemungutan suara dalam lembaga perwakilan rakyat
dinyatakan sebagai tidak efektif dan Bung Karno kemudian memperkenalkan apa
yang kemudian disebut dengan “musyawarah untuk mufakat”.
Banyaknya partai oleh Bung Karno disebut sebagai salah satu penyebab tidak
adanya pencapaian hasil dalam pengambilan keputusan, karena dianggap terlalu
banyak debat bersitegang urat leher. Untuk merealisasikan demokrasi terpimpin ini,
kemudian dibentuk yang dikenal dengan nama Front Nasional.
b. Kondisi politik luar negeri
Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), politik luar negeri Indonesia
Bersifat high profile, flamboyan dan heroik, yang diwarnai sikap anti imperialisme
dan kolonialisme serta bersifat konfrontatif. Politik luar negeri Indonesia pada era ini,
diabadikan pada tujuan nasional Indonesia. Pada saat itu kepentingan nasional
Indonesia adalah pengakuan kedaulatan politik dan pembentukan identitas bangsa.
Kepentingan nasional itu diterjemahkan dalam suatu kebijakan luar negeri yang
bertujuan untuk mencari dukungan dan pengakuan terhadap kedaulatan Indonesia,
dan untuk menunjukan karakter yang dimiliki pada bangsa-bangsa lain di dunia
internasional.
Politik luar negeri Indonesia pada masa ini juga bersifat revolusioner.
Presiden Soekarno dalam era ini berusaha sekuat tenaga untuk mempromosikan
Indonesia ke dunia internasional melalui slogan revolusi nasionalnya yakni Nasakom
(nasionalis, agama dan komunis) dimana elemen-elemen ini diharapkan dapat
beraliansi untuk mengalahkan Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Dari
sini dapat dilihat adanya pergeseran arah politik luar negeri Indonesia yakni condong
ke Blok komunis, baik secara domestik maupun internasional. Hal ini dilihat dengan
adanya kolaborasi politik antara Indonesia dengan China dan bagaimana Presiden
Soekarno mengijinkan berkembangnya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia.
Alasan Soekarno mengijinkan perluasan PKI itu sendiri adalah agar komunis mampu
berasimilasi dengan revolusi Indonesia dan tidak merasa dianggap sebagai kelompok
luar .
Ketidaksukaan Presiden Soekarno terhadap imperialisme juga dapat dilihat
dari responnya terhadap keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan militer diambil
untuk mengambil alih kembali Irian Barat ketika diplomasi dianggap gagal.
Dukungan Amerika Serikat yang kemudian didapatkan Soekarno muncul sebagai
akibat konfrontasi kedekatan Jakarta dengan Moskow. Taktik konfrontatif ini
kemudian digunakan kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara
Indonesia dan Malaysia akibat pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap
Indonesia pro terhadap imperialisme Barat. Puncak ketegangan terjadi ketika
Malaysia ditetapkan sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB. Hal ini
menyulut kemarahan Indonesia. Hingga akhirnya pada 15 September 1965 Indonesia
keluar dari PBB karena Soekarno beranggapan bahwa PBB berpihak pada Blok Barat.
Mundurnya Indonesia dari PBB berujung pada terhambatnya pembangunan dan
modernisasi Indonesia karena menjauhnya Indonesia dari pergaulan Internasional.
Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru berkaitan dengan
sikap konfrontasi penuhnya terhadap imperialisme dan kolonialisme. Doktrin itu
mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old Established
Forces) dan “Nefos” (New Emerging Forces). Soekarno menyatakan bahwa
ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari pertentangan antara
kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru bangkit
atau negara-negara progresif (Nefos). Imperialisme, kolonialisme, dan
neokolonialisme merupakan paham-paham yang dibawa dan dijalankan oleh negara-
negara kapitalis Barat. Dalam upayanya mengembangkan Nefos, Presiden Soekarno
melaksanakan Politk Mercusuar bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang mampu
menerangi jalan bagi Nefos di seluruh dunia. Salah satu tindakan usaha penguatan
eksistensi Indonesia dan Nefos juga dapat dilihat dari pembentukan poros Jakarta –
Peking yang membuat Indonesia semakin dekat dengan negaranegara sosialis dan
komunis seperti China.
Faktor dibentuknya poros ini antara lain, pertama, karena konfrontasi dengan
Malaysia menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan militer dan logistik,
mengingat Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris, Indonesia pun harus
mencari kawan negara besar yang mau mendukungnya dan bukan sekutu Inggris,
salah satunya adalah China. Kedua, Indonesia perlu untuk mencari negara yang mau
membantunya dalam masalah dana dengan persyaratan yang mudah, yakni negara
China dan Uni Soviet.
Politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin juga ditandai dengan
usaha keras Presiden Soekarno membuat Indonesia semakin dikenal di dunia
internasional melalui beragam konferensi internasional yang diadakan maupun diikuti
Indonesia. Tujuan awal dari dikenalnya Indonesia adalah mencari dukungan atas
usaha dan perjuangan Indonesia merebut dan mempertahankan Irian Barat. Namun
seiring berjalannya waktu, status dan prestis menjadi faktor-faktor pendorong
semakin gencarnya Soekarno melaksanakan aktivitas politik luar negeri ini. Efek
samping dari kerasnya usaha ke luar Soekarno ini adalah ditinggalkannya masalah-
masalah domestik seperti masalah ekonomi. Soekarno beranggapan bahwa
pertumbuhan ekonomi pada fase awal berdirinya suatu negara adalah hal yang tidak
terlalu penting. Beliau beranggapan bahwa pemusnahan pengaruh-pengaruh asing
baik itu dalam segi politik, ekonomi maupun budaya adalah hal-hal yang harus
diutamakan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi domestik. Soekarno dengan
gencar melancarkan politik luar negeri aktif namun tidak diimbangi dengan kondisi
perekonomian dalam negeri yang pada kenyataannya morat-marit akibat inflasi yang
terjadi secara terus-menerus, penghasilan negara merosot sedangkan pengeluaran
untuk proyek-proyek Politik Mercusuar seperti GANEFO (Games of The New
Emerging Forces) dan CONEFO (Conference of The New Emerging Forces) terus
membengkak. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab krisis
politik dan ekonomi Indonesia pada masa akhir pemerintahan Demokrasi Terpimpin.
C. Kebijakan Pemerintah Dalam Masa Demokrasi Terpimpin Bidang Politik
Kebijakan politik yang dilakukan Soekarno pada masa demokrasi terpimpin
terkesan otoriter atau bisa dikatakan sudah otoriter. Banyak kebijakan yang ditetapkan
bertentangan dengan konstitusi mulai dibubarkannya DPR hasil Pemilu tahun 1955
hingga penetapan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Bahkan Soekarno membuat
poros tersendiri dengan menjauh dari politik luar negeri bebas aktif.
Politik atau kebijakan luar negeri pada hakikatnya merupakan “perpanjangan
tangan” dari politik dalam negeri sebuah negara. Politik luar negeri suatu negara
sedikitnya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kondisi politik dalam negeri, pengambil
keputusan, kemampuan ekonomi dan militer, dan lingkungan internasionalnya (Coplin
1992, 165-175; dan Sihbudi 2002). Sejak Bung Hatta menyampaikan pidatonya berjudul
“Mendajung Antara Dua Karang” (1948), Indonesia menganut politik luar negeri bebas-
aktif yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu
blok negara-negara super power, menentang pembangunan pangkalan militer asing di
dalam negeri, serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar.
Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan
di dunia internasional (Pembukaan UUD 1945).
Seperti diamanatkan dalam konstitusi, Indonesia juga menentang segala bentuk
penjajahan di atas muka bumi ini, dan menegaskan bahwa politik luar negeri harus
diabdikan untuk kepentingan nasional. Oleh sebab itu, pelaksanaan politik bebas-aktif
dapat bergerak ke kiri dan ke kanan, sesuai dengan kepentingan nasional pada masa-masa
tertentu. Dengan kata lain, kebijakan luar negeri merupakan cerminan dari politik dalam
negeri dan dipengaruhi perubahan dalam tata hubungan internasional baik dalam bentuk
regional maupun global.
Namun, pada masa Demokrasi Terpimpin terlihat ada beberapa penyimpangan
dari politik luar negeri bebas-aktif yang menjadi cenderung condong pada salah satu
poros. Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada
negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik
Konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan
Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul
yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara
komunis pada umumnya) yang anti-imperialisme dan kolonialisme, sedangkan Oldefo
merupakan kekuatan lama yang telah mapan, yakni negara-negara kapitalis yang
neokolonialis dan imperialis (Nekolim). Untuk mewujudkan Nefo tersebut maka
dibentuklah poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. Dampaknya ruang
gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman ke
negara-negara komunis.
Selain itu, Indonesia juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal
ini disebabkan karena pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara federasi
Malaysia yang dianggap sebagai proyek neo-kolonialisme Inggris yang membahayakan
Indonesia dan negara-negara blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden
mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya
adalah perhebat ketahanan revolusi Indonesia dan bantu perjuangan rakyat Malaysia
untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris. Pelaksanaan Dwikora dengan
mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat menunjukkan adanya campur
tangan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.
Hal berikutnya adalah Politik Mercusuar. Politik Mercusuar dijalankan oleh
presiden sebab beliau menganggap bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat
menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Untuk mewujudkannya maka
diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan dapat
menempatkan Indonesia pada kedudukan yang ter-kemuka di kalangan Nefo. Proyek-
proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran rupiah
diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang
membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga Senayan (Gelora Bung Karno), serta
biaya perjalanan bagi delegasi asing.
Kemudian pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB
sebab Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Tampak bahwa politik luar negeri bebas-aktif Indonesia pada masa Soekarno
condong ke blok Sosialis dan lebih pada isu-isu high politic dan perjuangan bangsa
Indonesia dalam membangun image sebagai negara besar dan berpengaruh di level baik
regional maupun internasional untuk setara dengan negara-negara lain. Hal ini tak lepas
dari kondisi bangsa Indonesia yang saat itu baru merdeka dan sedang membangun nation-
dan state-building-nya. Kesatuan politik lebih penting bagi Soekarno pada waktu itu
daripada membangun basis ekonomi rakyat. Tak heran, semua itu telah tercermin dalam
aksi dan reaksi serta interaksi politik luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan
Soekarno.
Namun, kebijakan-kebijakan politik luar negeri Indonesia yang sema-kin
menyimpang pun semakin berdampak pada kondisi di dalam negeri. Salah satu dampak
dalam hal ekonomi adalah kenaikan laju inflasi yang disebabkan oleh penghasilan negara
berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan, nilai mata uang rupiah
mengalami kemerosotan, anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar,
pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada, upaya likuidasi semua
sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil, penertiban adminis-trasi dan manajemen
perusahaan guna mencapai keseimbangan keuangan tak memberikan banyak pengaruh,
dan penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan
rakyat dan pembangunan me-ngalami kegagalan. Dari sisi politik, inflasi pun terjadi
karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam
melakukan pengeluaran, serta karena pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek
mercusuar seperti GANEFO (Games of the New Emerging Forces) dan CONEFO
(Conference of the New Emerging Forces) yang memaksa pemerintah untuk
memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya. Hal ini berdampak bagi kehidupan di
dalam negeri. Inflasi semakin bertambah tinggi, harga-harga semakin bertambah tinggi,
kehidupan masyarakat semakin terjepit, Indonesia pada tahun 1961 secara terus menerus
harus membiayai kekeurangan neraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa,
ekspor semakin buruk dan pembatasan impor karena lemahnya devisa, dan pada tahun
1965, cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjuk-kan saldo negatif sebesar
US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat.
D. Akhir Perjalanan Politik Masa Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin adalah sebuah pemerintahan demokrasi dengan
meningkatkan otokrasi.Dalam system demokrasi ini, seluruh keputusan berpusat pada
pemimpin Negara yaitu Presiden Soekarno.Konsep ini pertama kali diumumkan oleh
Presiden dalam pembukaan Sidang Konstituante pada tanggal 10 November 1956.
Demokrasi Terpimpin memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Dominasi Presiden. Presiden Soekarno berperan besar dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
2. Terbatasnya peran partai politik.
3. Meluasnya peran militer sebagai unsur politik.
4. Berkembangnya pengaruh Partai Komunis Indonesia.
Pada Pemilihan Umum 1955 terjadi ketegangan-ketegangan yang membuat situasi
politik Indonesia tidaka menentu. Selain itu, penyebab lainnya karena kegagalan Dewan
Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru.Menurut
pengamatan Soekarno, Demokrasi Liberal tidak semakin mendorong Inddonesia menjadi
masyarakat adil dan makmur.Oleh sebab itu, Presiden Soekarno kemudian memandang
memberlakukan Demokrasi Terpimpin. Adapun pokok-pokok Demokraasi Terpimpin
yang diungkapkan Presiden Soekarno kepada konstituante tanggal 22 April 1959 antara
lain :
1. Demokrasi Terpimpin bukanlah dictator.
2. Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan
dasar hidup bangsa Indonesia.
3. Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan
kemasyarakatan yang meliputi bidang politik, ekonomi, dan sosial.
4. Inti daripada pimpinan dalam Demokrasi Terpimpin adalah permusyawaratan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
5. Oposisi dalam arti melahirkan pendapat yang sejati dan yang membangun
diharuskan dalam Demokrasi Terpimpin.

Dari pokok pikiran di atas, dapat dilihat bahwa tidak ada yang bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945.Namun , dalam prakteknya pokok-pokok yang
disampaikan tidak direalisasikan sebagaimanana mestinya, sehingga terjadi
penyelewengan terhadap nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Penyebab penyelewengan
tersebut, selain terletak pada Presiden, juga karena kelemahan legislatif sebagai
pengontrol eksekutif.Serta situasi sosial politik yang tidak menentu saat itu.
Dengan diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ternyata UUD 1945 tidak
dilaksanakan secara murni dan konsekuen.UUD 1945 hanya menjadi dasar hokum
konstitusional.Penyelenggaraan pemerintah hanya menjadi slogan kosong belaka.Dalam
Undang-Undang Dasar telah dijelaskan bahwa presiden berada dibawah MPR.Namun,
MPRS tunduk kepada presiden.Presiden memutuskan sesuatu yang seuntuk terus bekerja
berdasarkan UUD 1945.
Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kabinet Juanda menyerahkan
mandat kepemimpinan kepada Presiden Soekarno melalui kepemimpinan kepada
Presiden Soekarno melalui pemberlakuan kembali Proklamasi dan Undang-Undang
Dasar 1945.Presiden langsung memimpin pemerintahan.Bahkan bukan sajasebagai
kepala Negara, tetapi juka kepala pemerintahan yang membentuk kabinet dan menteri-
menterinya tanpa terikat kepada partai politik.
Demokrasi Terpimpin diberlakukan di Indonesia sebagai usaha untuk mencari
jalan keluar kebuntuan politik melalui pembentukan kepemimpinan personal yang
kuat.Meskipun UUD 1945 memberi peluang seorang presiden untuk memimpin
pemerintahan selama 5 tahun, ketetapan MPRS No.III/1963 mengangkat Soekarno
sebagai presiden seumur hidup. Dengan adanya ketetapan MPRS ini, secara otomotis
telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun sebagaimana ketetapan UUD 1945.
Kepemimpinan tanpa batas ini terbukti melahirkan tindakan dan kebijakan yang
menyimpang dari ketentuan-ketentuan UUD 1945.Misalnya, pada tahun 1960, Presiden
Soekarno membubarkan DPR hasil pemilihan umum.Padahal, dalam penjelasan UUD
1945, secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak memiliki wewenang untuk berbuat
demikian. Dengan kata lain, sejak diberlakukan Dekrit Presiden 1959, telah terjadi
penyimpangan konstitusi.
Dengan demikian, penyimpangan yang terjadi pada Demokrasi Terpimpin adalah
pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi, yakni lahirnya absolutism dan terpusatnya
kekuasaan pada diri p emimpin. Pada saat yang sama, hilanglah control sosial
dakeseimbangan dari legislatif terhadap eksekutif. Adapun penyimpangan-penyimpangan
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dari UUD 1945 adalah sebagai berikut :
1. Kedudukan Presiden Berdasarkan UUD 1945
Kedudukan presiden berada di bawah MPR.Namun, kenyataannya nertentangan
dengan UUD 1945.Sebab.MPRS tunduk kepada presiden dan presiden menetukan
sesuatu yang diputuskan oleh MPRS.
2. Pembentukan MPRS
Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden NO.2 Tahun
1959.Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena pengangkatan
anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi Negara harus melalui pemilihan
umum.Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh presiden dengan syarat setuju
kembali kepada UUD 1945, setia kepada perjuangan Republik Indonesia, dan setuju
pada manifesto politik.
3. Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR-GR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 diberlakukan karena
DPR menolak RAPBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah. Presiden selanjutnya
menyatakan pembubaran DPR.Sebagai gantinya, presiden membentuk Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).Semua anggotanya ditunjuk oleh
presiden dan peraturan DPR-GR juga ditentukan presiden.Sehingga, DPR_GR harus
mengikuti kehendak serta kebijakan pemerintah.
4. Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan
Presiden No.3 tahun 1959.Lembaga ini diketuai oleh presiden. Keanggotaaan DPAS
terdiri atas 1 orang wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah,
dan 24 orang wakil golongan. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pertanyaan
presiden dan mengajukan usul pemerintah.Pelaksanaannya, kedudukan DPAS juga
berada di bawah pemerintah/presiden.
5. Pembentukan Front Nasional
Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 13 Tahun 1959.
Front Nasional merupakan organisasi massa yang bertujuan untuk menyatukan segala
bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan.
6. Pembentukan Kabinet Kerja
Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk Kabinet Kerja.Sebagai wakil presiden
diangkatlah Ir. Juanda.Hingga tahun 1964, Kabinet Kerja mengalami tiga kali
perombakan.Kabinet ini bertujuan mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan
menciptakan keamanan Negara.
7. Keterlibatan PKI dalam Ajaran NASAKOM
Karena adanya perbedaan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan
bernegara yang mengancam persatuan di Indonesia, maka pemerintah mengambil
langkah untuk menyamakan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan
bernegara dengan menyampaikan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan
Komunis).NASAKOM merupakan cerminan paham berbagai golongan dalam
masyarakat. Presiden Soekarno yakin bahwa dengan menerima dan melaksanakan
NASAKOM maka persatuan Indonesia akan terwujud.
8. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
TNI dan Polri disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI) yang terdiri atas empat angkatan, yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan
Laut, TNI Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian.Masing-masing angkatan
dipimpin oleh Menteri Panglima Angkatan yang kedudukannya berada di bawah
presiden.ABRI menjadi salah satu golongan fungsional dan kekuatan sosial poltik
Indonesia.
Akhir dari pemerintahan Demokrasi terpimpin ini setelah dikeluarkannya
Supersemar (Surat Perintah 11 Maret).Surat ini berisi perintah kepada Soeharto
selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib),
untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi
keamanan yang buruk pada saat itu.Inilah penyebab runtuhnya pemerintahan Orde
Baru pada tahun 1966, maka Indonesia berada di bawah kekuasaan rezim yang baru,
yakni rezim Orde Baru Soeharto.

Anda mungkin juga menyukai