Anda di halaman 1dari 4

ABSTRAK

Pemerintahan orde baru yang


dipimpin oleh Presiden Soeharto,
mengawali jalannya pemerintahan
dengan tekad melaksanakan
Pancasila dan UUD RI Tahun 1945
secara murni dan konsekuen.
Namun, realita pelaksanaannya
dinilai nol oleh masyarakat.

Pelaksanaan Demokrasi KELOMPOK 5


(XI MIA 6)
Masa Orde Baru o Arlinda Surya (06)
o Hafizha Ulya N. (11)
Indonesia o M. Nabil Al Haidar (19)
Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia pada
Periode 1966-1998
1. Pengertian
Pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, mengawali
jalannya pemerintahan dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD RI Tahun
1945 secara murni dan konsekuen. Berdasarkan masa orde lama, pemerintahan orde
baru berupaya menciptakan stabilitas politik dan keamanan untuk menjalankan
pemerintahannya. Penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD RI Tahun 1945
adalah sebab utama kegagalan dari pemerintahan sebelumnya.
Orde baru menjalankan sistem demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila
merupakan demokrasi yang didasarkan atas nilai-nilai dari sila-sila yang terdapat
pada Pancasila. Namun, pada praktiknya, cita-cita luhur bangsa Indonesia untuk
menjadi negara yang demokratis tersebut justru runtuh dikarenakan penyalahgunaan
kekuasaan pemerintah, terutama oleh presiden.

2. Akuntabilitas Masa Orde Baru


Pemerintah masa orde baru melakukan berbagai banyak cara seperti stabilisasi
dan rehabilitasi ekonomi, membentuk kerja sama dengan luar negeri, dan
pembangunan ekonomi yang berorientasikan pada usaha penyelamatan ekonomi
nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan
negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Dan masalah-masalah itu mulai
bisa di atasi dengan cepat. Itu teraplikasi dengan program pembangunan, yaitu
PELITA (Pembangunan Lima Tahun) yang berjalan dengan lancar. Namun, masa
orde baru tetap memiliki sisi lain.
Akuntabilitas yaitu pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat
mempertanggungjawabkan kebijaksanaan, ucapan, perilaku yang hendak dan telah
ditempuhnya. Akuntabilitas di Pemerintahan Indonesia tidak mungkin
diselenggarakan di masa Orde Baru, sebab Soeharto memimpin Indonesia secara
sewenang-wenang dan korup.  Ini terbukti dari cara Soeharto berkuasa, yakni
dengan menyalahgunakan Surat Perintah Sebelas Maret untuk mengkudeta Presiden
sah waktu itu, Ir. Soekarno. Bukan itu saja, Soeharto menangkapi dan membunuh
jutaan orang tidak bersalah agar kekuasaannya dapat bertahan 31 tahun lamanya.
Partai Komunis Indonesia, dijadikan kambing hitam, anggotanya ditangkapi,
dibunuh, diburu dan partainya dibubarkan. Kejahatan Hak Asasi Manusia ini sampai
sekarang belum dituntaskan pengadilannya 
Pemerintah Orde Baru memberikan Sumber Daya Alam Indonesia semurah-
murahnya pada kapitalis asing dan kapitalis nasional. Pemerintah orde baru
memberikan kuasa pada perusahaan-perusahaan kayu di Kalimantan, yang
menggunduli hutan sesuka hatinya dan menguasai lahan jutaan hektar (seperti
Adindo di Kabupaten Tana Tidung). Pemerintah orde baru juga membiarkan
perusahaan asing sesuka hati mengeruk sumber daya alam lainnya di daerah seperti
minyak (tarakan dan Balikpapan), gas (bunyu), emas (Papua) dan batu bara (kutai,
berau, bontang). Padahal Pasal 33 UUD 45 telah menyatakan bahwa Sumber Daya
Alam harus dimiliki oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia juga dijadikan buruh-buruh yang berupah murah di
pabrik-pabrik asing yang beroperasi di kota-kota besar. Buruh-buruh juga dilarang
berorganisasi secara benar, menurut ilmu-ilmu keburuhan, sehingga organisasi buruh
sangatlah lemah daya tawarnya. Bahkan sampai sekarang, upah-upah buruh itu susah
untuk ditinggikan, walau undang-undang perburuhan sudah ada, karena organisasi-
organisasi buruhnya sudah dilemahkan puluhan tahun oleh seoharto.
Pemerintah Soeharto memperlakukan masyarakat di daerah-daerah bukan
sebagai bagian dari bangsa Indonesia, tapi melakukan mereka sebagai masyarakat
jajahan. Tenaga rakyatnya diperas, sumber daya alamnya dikuras, pendidikannya
ditindas dan hutannya ditebas. Tidak ada akuntabilitas di daerah. Bahkan kepala
daerah pun tidak dipilih rakyat, tapi dipilih oleh Pemerintah Pusat.
Hasil dari eksploitasi kekayaan alam di daerah-daerah tidak dibagikan
sebagaimana mestinya kepada masyarakat di daerah, sehingga pertumbuhan
ekonomi timpang dan pembangunan di daerah-daerah sangatlah tertinggal.
Pendidikan di Indonesia juga terpuruk. Ekonomi Indonesia juga dipenuhi dengan
warisan hutang.
Mereka yang melawan, dipecat, diburu dan ditangkap dengan tuduhan
subversive (memberontak).

3. Rotasi Kekuasaan
Rotasi kekuasaan berarti dalam demokrasi pergiliran kekuasaan harus ada dan
dilakukan secara teratur dan damai. Rotasi kekuasaan eksekutif tidak pernah terjadi
kecuali pada jajaran gubernur, bupati/walikota, camat, dan kepala desa. Selain itu,
rotasi kekuasaan juga terjadi pada wakil presiden.

4. Rekruitmen Politik Terbuka


Rekruitmen politik terbuka dijadikan sebagai media untuk melaksanakan rotasi
kekuasaan. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan
politik yang dipilih rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan
kompetisi untuk mengisi jabatan politik tersebut.
Dalam pemerintahan ini, rekruitmen politik bersifat tertutup kecuali anggota
DPR yang berjumlah 400 orang dipilih melalui Pemilihan Umum (100 diantaranya
dipilih melalui proses pengangkatan dengan surat keputusan Presiden). Pengisian
jabatan tinggi negara seperti Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung,
anggota badan legislatif lain dan jabatan-jabatan lainnya dalam birokrasi dikontrol
sepenuhnya oleh lembaga kepresidenan.
Ditambah lagi dalam rekruitmen politik lokal (gubernur, bupati/walikota),
masyarakat di daerah tidak mempunyai peluang untuk ikut menentukan pemimpin
mereka. Sistem ini sangat bertentangan dengan semangat demokrasi.

5. Pemilihan Umum
Pemilu merupakan sarana untuk melaksanakan rotasi kekuasaan dan
rekruitmen politik yang dilakukan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah
dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih, bebas menggunakan haknya
sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam
akitivitas pemilihan seperti kampanye dan menyaksikan penghitungan suara.
Pemilihan Umum telah dilangsungkan sebanyak tujuh kali dengan frekuensi
yang teratur setiap lima tahun sekali. Namun, kualitas pelaksanaan pemilihan umum
tersebut jauh dari kata demokrasi dan timbul banyak kecurangan.

6. Pemenuhan Hak-Hak Dasar


Pemenuhan hak-hak dasar memiliki pengertian bahwa setiap warga negara
dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk didalamnya hak
untuk menyatakan pendapat, hak untuk berkumpul dan berserikat serta hak untuk
menikmati pers yang bebas.
Dunia internasional seringkali menyoroti politik Indonesia berkaitan erat
dengan perwujudan jaminan hak asasi manusia. Masalah kebebasan pers sering
muncul ke permukaan. Selama pemerintahan orde baru, sejarah pemberangusan
surat kabar dan majalah terulang kembali seperti yang terjadi pada masa orde lama
seperti Tempo, Detik, dan Editor dicabut surat izin penerbitannya karena membahas
masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat negara.
Pemerintah melalui kepanjangan tangannya (aparat keamanan) memberikan
ruang yang terbatas kepada masyarakat untuk berpendapat. Pemberlakuan Undang-
Undang Subversif membuat posisi pemerintah kuat karena tidak ada kontrol dari
rakyat. Dan masih banyak lagi hak-hak dasar yang diabaikan tercantum dalam
pemerintahan masa orde baru dari segi akuntabilitas di atas.

Harapan rakyat yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik lagi tidak
sepenuhnya terwujud. Karena, sebenarnya tidak ada perubahan yang subtantif dari
kehidupan politik Indonesia antara Orde Baru dan Orde Lama (sama-sama otoriter).
Dalam perjalanan politik pemerintahan Orde Baru, kekuasaan Presiden merupakan
pusat dari seluruh proses politik di Indonesia. Dari uraian di atas, kita bisa mengetahui
bahwa pelaksanaan demokrasi Pancasila masih jauh dari harapan. Kenyataan yang
terjadi demokrasi Pancasila sama dengan kediktatoran.

Anda mungkin juga menyukai