Anda di halaman 1dari 9

ASAL USUL HUTANG LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Usai mengambil alih kekuasaan dari Sukarno pada 1967, Soeharto dihadapkan kondisi
serba tak stabil, terutama di bidang ekonomi. Masalah paling pelik yang dihadapi
pemerintahan Soeharto adalah hiperinflasi (mencapai 650 persen) yang menyebabkan
melonjaknya harga barang-barang, termasuk kebutuhan pokok. Faktor utama penyebab
hiperinflasi adalah rezim Sukarno hanya mencetak uang untuk membayar utang dan
mendanai proyek-proyek mercusuar sejak awal 1960-an.

Hiperinflasi hanya satu dari sekian masalah ekonomi yang harus dihadapi Soeharto.
Indonesia Investments, lembaga pemerhati ekonomi Indonesia dari Belanda, dalam
laporan berjudul “History of Indonesia: Politics and the Economy Under Sukarno”
menyebutkan, pada masa itu Indonesia juga terbebani utang besar sementara di waktu
bersamaan ekspor melemah dan pendapatan per kapita menurun secara signifikan.

Pada 1960, melalui Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, Sukarno sempat mengeluarkan
Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 1961-1969 yang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam negeri. Tetapi, pada 1964, strategi
itu ditinggalkan sebab situasi ekonomi makin memburuk: inflasi masih tinggi, basis
pajak mengikis, arus pemindahan aset finansial ke riil begitu besar, hingga
konfrontasi dengan Malaysia yang menyerap sebagian besar anggaran pemerintah.

Sukarno boleh saja mahir dalam bahasa dan retorika, tapi ia gagal mengurus ekonomi.
Alih-alih peduli pada masalah ekonomi, ia malah mencurahkan waktunya untuk
berpetualang dalam demagogi politik. Reportase majalah The New Yorker (23 November
1968) menyatakan bahwa akibat Sukarno salah urus, Indonesia dihadapkan pada posisi
kebangkrutan dan diprediksi akan sangat bergantung pada bantuan luar negeri.

Baca juga: Jika Supersemar Palsu, Apakah Orde Baru Tidak Sah?

Soeharto menyiapkan beberapa langkah untuk membebaskan Indonesia dari belitan


krisis ekonomi. Mengutip Guy Fauker dalam makalahnya, “The Indonesian Economic and
Political Miracle” (1973), langkah pertama yang dilakukan Soeharto adalah mengubah
arah haluan ekonomi: dari pro-Timur menjadi pro-Barat.

Soeharto lantas membentuk Tim Ahli di Bidang Ekonomi dan Keuangan yang berisikan
ekonom dari Universitas Indonesia. Tim ini dipimpin Widjojo Nitisastro. Kelak,
kelompok tersebut dikenal dengan nama “Mafia Barkeley” dengan kebijakan-
kebijakannya yang berlandaskan liberalisasi ekonomi serta pasar bebas.

Heinz Wolfgang Arndt dalam The Indonesian Economy: Collected Papers (1984)
menjelaskan, rencana pemulihan ekonomi Indonesia dibagi menjadi tiga tahapan:
stabilisasi, rehabilitasi, dan pembangunan. Tiga tahapan tersebut lalu diwujudkan
ke dalam beberapa langkah seperti penghentian hiperinflasi dan memulihkan
stabilitas makroekonomi, penjadwalan utang luar negeri, hingga membuka pintu bagi
penanaman modal asing.
Pembentukan IGGI
Setelah keran investasi asing dibuka, langkah berikutnya ialah mencari bantuan luar
negeri. Namun, Indonesia mendapat halangan. Beban neraca pembayaran luar negeri
sebagai akibat utang yang diwariskan Orde Lama membuat Indonesia sulit memperoleh
kreditur maupun pendonor.

Dalam “Survey of Recent Developments” (1966) yang diterbitkan Bulletin of


Indonesian Economics Studies, Arndt dan J. Panglaykim menjelaskan, Indonesia tidak
mampu membayar cicilan maupun bunga utang luar negeri. Bank Indonesia, terang
mereka, bahkan tidak mampu membayar letters of credit serta terpaksa menunda
pembayaran kredit perdagangan luar negeri yang totalnya mencapai 177 juta dolar AS.

Dengan kondisi seperti itu, catat Radius Prawiro dalam Indonesia’s Struggle for
Economic Development-Pragmatism in Action (1998), Indonesia tidak memiliki
kualifikasi cukup untuk memperoleh bantuan kredit luar negeri. Sebagai solusinya,
Soeharto kemudian mengirimkan delegasi ke berbagai negara kreditor guna membahas
moratorium utang luar negeri. Yang dituju: London dan Paris Club—kelompok informal
kreditur di pentas internasional.

Melalui diplomasi yang intensif dalam forum London dan Paris Club, masih menurut
Radius, pemerintah Indonesia mengajukan gagasan pembentuk konsorsium negara-negara
kreditur untuk Indonesia. Pertemuan dengan Paris Club merupakan peluang pertama
bagi pemerintah untuk menjelaskan kebijakan ekonomi macam apa yang bakal ditempuh
guna keluar dari krisis.

Setelah berdiskusi panjang-lebar, forum tersebut akhirnya menyetujui adanya


moratorium bagi Indonesia. Forum juga sepakat membentuk konsorsium bernama IGGI
(Inter-Governmental Group on Indonesia) yang beranggotakan Australia, Belgia,
Jerman, Itali, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika, Austria, Kanada, Selandia Baru,
Norwegia, Swiss, Bank Dunia, IMF, Bank Pembangunan Asia (ADB), UNDP, serta OECD
pada 1967. Tujuan pembentukan konsorsium ini ialah untuk memberikan pinjaman ke
Indonesia.

Baca juga: Hantu Itu Bernama Neolib

Arndt menerangkan, IGGI memberi bantuan dalam wujud program untuk memperkuat neraca
pembayaran, baik berupa kredit valuta asing maupun bantuan pangan. Selebihnya,
bantuan disalurkan dalam bentuk proyek. Pertemuan pertama IGGI dilakukan pada 20
Februari 1967, tepat hari ini 51 tahun silam, di Amsterdam. Indonesia diwakili Sri
Sultan Hamengkubuwana IX.

Sejak diberlakukannya moratorium utang luar negeri dan pembentukan IGGI, catat John
Bresnan dalam Managing Indonesia: The Modern Political Economy (1993), kucuran
pinjaman terus berdatangan. Pada 1967, misalnya, Indonesia memperoleh pinjaman 200
juta dolar AS.

Dalam rentang 1967-1969, bantuan luar negeri menyumbang 28% pembiayaan pemerintah.
Data USAID 1972 menyebutkan, dari 1967-1969, Belanda memberikan bantuan paling
besar yakni 140 juta dolar AS. Kemudian disusul Jerman ($84,5 juta), Amerika
Serikat ($41,1 juta), dan Jepang ($10,6 juta). Uang tersebut lalu digunakan untuk
memperbaiki perekonomian hingga menggiatkan pembangunan.

Selain itu, saat Pertamina terlilit utang 40 juta dolar AS kepada The Republic
National Bank of Dallas pada 1976, IGGI, seperti ditulis Bresnan, berjanji
memberikan bantuan pembiayaan darurat sebanyak 1 miliar dolar AS. Uang itu
digunakan untuk melunasi utang sekaligus menutup biaya proyek Pertamina seperti
pabrik baja Krakatau Steel dan proyek LNG.

Baca juga: Sumitro Djojohadikusumo Pernah "Menghilang" karena Dituduh Korupsi

Cyrillus Harinowo dalam Utang Pemerintah: Perkembangan, Prospek, dan Pengelolaannya


(2002) menyebut, IGGI berfungsi sebagai kasir pemerintah Indonesia sekaligus
penasihat dalam pelaksanaan pembangunan. Lembaga ini mengadakan pertemuan rutin
tiap tahun untuk membahas serta mengevaluasi kinerja pemerintah di bidang ekonomi
maupun pembangunan.

Setelah mengalami masa kemesraan yang lama, Indonesia dan IGGI pecah kongsi pada
1992. Thomas Lindblad dalam Indonesia: A Country Study (2011) mengatakan, pemicu
putusnya hubungan IGGI dan Indonesia adalah tragedi Santa Cruz di Timor Timur pada
November 1991. Kala itu, tentara menembaki warga saat berlangsung upacara pemakaman
aktivis pro-kemerdekaan bernama Sebastiao Gomez. Korban tewas dalam tragedi itu,
menurut versi pemerintah Indonesia, “hanya” 50 warga sipil. Sementara versi laporan
lainnya, warga sipil yang tewas mencapai 273.

Baca juga: Mengenang 25 Tahun Kejahatan Indonesia di Santa Cruz

Imbasnya, Belanda yang saat itu jadi koordinator IGGI menangguhkan bantuan ke
Indonesia. Aksi Belanda lalu disusul Denmark dan Kanada sebagai wujud kecaman.
Soeharto yang melihat aksi cabut bantuan tersebut lantas berang. Ia merasa
tersinggung. Pada Maret 1992, Soeharto menegaskan sikap bakal menolak semua bantuan
ekonomi, terutama dari Belanda.

Akan tetapi, sikap tegas pemerintah tak berlangsung lama. Prawiro menyebutkan,
Indonesia masih membutuhkan bantuan luar negeri. Maka dari itu, dibentuklah CGI
(Consultative Group on Indonesia) yang diprakarsai Bank Dunia dan diketuai Jepang.

Anggota CGI, jelas Pranowo, merupakan bekas anggota IGGI kecuali Belanda. Fungsi
utama CGI adalah sebagai forum bagi Indonesia untuk bernegosiasi dengan lembaga
internasional dan negara-negara pendonor.

Sepak terjang CGI terlihat menonjol saat krisis ekonomi 1998. Sebagaimana ditulis
Lindblad, CGI berperan penting dalam memfasilitasi restrukturisasi utang
internasional selama krisis Asia dengan pinjaman sebesar 8 miliar dolar AS.

Kiprah CGI berhenti pada 2007 ketika presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang
Yudhoyono, meminta CGI dibubarkan. Alasannya, mengutip Thee Kian Wie dalam
Pembangunan, Kebebasan, dan ‘Mukjizat’ Orde Baru: Esai-Esai, ialah waktunya bagi
Indonesia untuk mampu merancang dan menjalankan sendiri program ekonomi secara
mandiri.
Ketergantungan dan Kepentingan
Relasi antara Indonesia dan IGGI menandakan dua hal. Pertama, ada kepentingan IGGI
di balik bantuan yang diberikan. Kedua, relasi dengan IGGI membuat Indonesia
terjebak dalam ketergantungan utang kepada negara-negara Barat.

Andrew Mack dalam tesisnya di University of Sydney berjudul Rethinking the Dynamics
of Capital Accumulation in Colonial and Post-Colonial Indonesia: Production
Regulation (2001) menjelaskan, terdapat tujuan tertentu di balik dukungan negara-
negara donor kepada Indonesia. Frasa “tujuan tertentu” yang dimaksud Mack ialah
negara-negara pendonor tersebut meminta timbal balik kepada Indonesia berupa
penguasaan sektor-sektor industri penting.

Mack menjelaskan, jatah yang diminta negara-negara pendonor berdampak pada tidak
diberikannya ruang bagi perusahaan lokal untuk mengelola industri ekstraktif dengan
produksi keuntungan yang tinggi. Kepentingan asing di Indonesia telah memaksa
perusahaan lokal tunduk pada status perusahaan asing sebagai produsen-korporat di
Indonesia serta agen pemasaran produk.

Baca juga: Ketika Indonesia Bertekuk Lutut kepada IMF

Selama masa pembangunan Orde Baru, tambah Mack, hubungan antara pemodal
internasional, pendonor, dan pemerintah telah menutup kemungkinan bagi pengusaha
atau perusahaan lokal menguasai sektor-sektor ekonomi penting.

Efek buruk ketergantungan terhadap utang luar negeri juga terasa ketika krisis
ekonomi melanda. Pada 15 Januari 1998, Indonesia meminta bantuan IMF untuk
menyelamatkan kondisi perekonomian. IMF pun setuju memberikan paket bantuan
keuangan multilateral yang diberikan secara bertahap dalam jangka waktu 3 tahun
senilai 43 miliar dolar AS. Namun, sejumlah syarat harus dipenuhi, di antaranya
keharusan pemerintah Indonesia melikuidasi 16 bank yang "sakit".
Kenyataannya, likuidasi bank malah memicu penarikan dana besar-besaran (rush) oleh
nasabah yang panik dan menciptakan situasi di mana tingkat kepercayaan investor
menurun. Hasilnya: utang domestik Indonesia membumbung sampai angka 80 miliar dolar
AS saat itu.

Baca juga: Kilas Balik Indonesia-IMF Selama Krisis Ekonomi Asia

Semenjak kejatuhan Orde Baru, pemerintah masih terus bergantung pada IMF.
Setidaknya, sepanjang periode 1997-2003, Indonesia sudah meneken 26 kali
kesepakatan dengan IMF. Berselang tiga tahun, saat pemerintahan SBY, utang
Indonesia kepada IMF dilunasi.

Lunasnya utang Indonesia kepada IMF bukan berarti menghentikan ketergantungan


Indonesia akan pinjaman dari negara donor. Ketergantungan tersebut diteruskan
pemerintahan Jokowi.

Berdasarkan data dari Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian


Keuangan, pada Juni 2017, Indonesia memiliki utang kepada pihak-pihak terkait
seperti Islamic Development Bank (Rp9,95 triliun), Jerman (Rp24,3 triliun),
Perancis (Rp24,3 triliun), Jepang (Rp196,98 triliun), Amerika (Rp8,26 triliun),
sampai Bank Dunia (Rp234,68 triliun).

Pada akhir 2016, jumlah total utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar 317,08
miliar dolar AS. Jumlah ini 2,04 persen lebih besar dari tahun sebelumnya (310,73
miliar).

Mengapa pemerintah terus berutang? Kementerian Keuangan dalam paparannya pernah


menjelaskan, utang merupakan konsekuensi dari APBN yang terus menerus mengalami
defisit. Angka defisit sendiri merupakan kesepakatan antara pemerintah dan DPR.
Defisit muncul karena pembiayaan tidak sebanding dengan pengeluaran.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya M Faisal
(tirto.id - Politik)

Utang Indonesia
Utang menurut kamus besar bahasa indonesia adalah uang yang dipinjam dari orang
lain, yang dalam hal ini tidak hanya orang tetapi organisasi atau instansi keuangan
internasional.

Hutang Indonesia seperti yang dilansir website resmi kementerian keuangan pada
februari 2018 berjumlah Rp3,958,6 triliun. Hutang Indonesia pada Mei 2019 lalu
berada pada nominal Rp5.153 triliun dan pada bulan juni 2019 berada di nominal
Rp4.570,17 triliun.

Faktor eksternal utama yang mempengaruhi besar kecil nominal hutang Indonesia
adalah kurs dolar Amerika terhadap rupiah. Presentase kenaikan hutang indonesia
pada periode Mei-Juni berkisar antara 7,5-8,1% dibandingkan pada tahun sebelumnya
pada perioden yang sama.

Alasan Indonesia Berutang


Dikutip dari website resmi keuangan bahwa alasan Indonesia berhutang karena belanja
negara lebih besar dari pada Pendapatan negara saat ini. Pendaanaan yang besar
dibutuhkan indonesia dalam membangun infrastruktur seperti jalan dan infrastruktur
lainnya yang dapat memberikan dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat luas.

Hal ini dirasa perlu mengingat indeks infrastruktur Indonesia yang masih jauh
dibandingkan negara lain. Seperti Cina, Thailand, India, Vietnam, Malaysia dan
Brazil.
Selain itu dana tersebut dibutuhkan Indonesia dalam membangun sumber daya
manusianya. Pembangunan sumber daya manusia saat ini masih tergolong rendah
ketimbang negara setaranya (peers), yang meskipun mengalami peningkatan setiap
tahunnya tetapi masih tetap tertinggal secara umum dalam hal pembangunan sumber
daya.

Rasio Utang
Rasio utang negara dilihat dari perbandingan antara jumlah utang yang dimiliki
suatu negara dengan pendapatan Produk Domestik bruto (PDB) negara pada periode yang
sama. Menurut menteri keuangan republik Indonesia pada tahun 2019 akan masih
terjaga dengan angka dibawah 30 persen atau 29,5 persen.

Produk Domestik Bruto (PDB)


Agar memudahkan kamu dalam memahami tentang hutang Indonesia. Ada baiknya kamu
mengetahui tentang produk domestik bruto atau sering disingkat dengan PDB.

Produk domesti bruto adalah semua nilai pasar atas barang dan jasa yang ada
diproduksi oleh suatu negara dalam masa satu periode. Barang dan Jasa yang
dihasilkan oleh perusahaan asing yang berada di Indonesia juga masuk kedalam
perhitungan PDB.

PDB ini merupakan salah satu komponen dalam menghitung pendapatan nasional
Indonesia. Di Indonesia sendiri ada empat jenis pendapatan yang masuk dalam
perhitungan pendapatan nasional. Apa saja jenisnya langsung saja kita bahas sebagai
berikut.

Produk Nasional Bruto (PNB)


Produk Nasional Bruto atau Gross National Product adalah nilai pasar terhadap
barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara yang berada diluar negeri. Tetapi
tidak termasuk hasil barang dan Jasa yang diproduksi oleh perusahaan asing yang
berada di Indonesia.

Pendapatan Nasional Netto (PNN)


Net National Income atau pendapatan nasional netto didapat dari pengurangan net
national product atau product national bersih dikurangi dengan pajak tidak
langsung.

Pendapatan Perseorangan
Pendaptan perseorangan atau personal income adalah pendapatan yang didapat dan
diterima oleh setiap orang dalam masyarakat. Jenis pendapatan ini tidak hanya
pendapatan yang didapat dengan melakukan kegiatan yang menghasilkan jenis
pendapatan perseorangan, tetapi juga pendapatan yang yang didapat seseorang tanpa
melakukan kegiatan apapun.

Pendapatan yang Siap Dibelanjakan


Pendapatan yang siap dibelanjakan atau lebih dikenal degan istilah Disposible
Income (DI) adalah jenis pendapatan yang dapat langsung digunakan dalam pembelian
barang ataupun pembayaran terhada penggunaan jasa. Jika ada sisa maka akan
digunakan sebagai dana untuk berinvestasi.

Sejarah utang Indonesia


Setelah kita bersama-sama membahas tentang rasio utang, PDB dan jenis pendapatan
negara lainnya. Selanjutanya kita akan membahas sejarah hutang di Indonesia.
Indonesia sudah memiliki utang sejak era Presiden Suharto dan terus ada hingga era
Presiden Jokowi yang masih berkuasa saat ini.

Pada era Presiden Suharto tahun 1998 Indonesia memiliki rasio utang terhadap
pendapatan produk bruto sebesar 57,7 persen. Di era Presiden BJ. Habibie tahun 1999
rasio utang Indonesia berada pada angka 85,4 persen. Selanjutnya di era Presiden
Abdurahman wahid ditahun 2001 rasio utang Indonesia berada di level 77,2 persen.

Pada tahun 2004 era Presiden Megawati Soekarno Putri rasio utang sebesar 56,5
persen. Masa pemerintahan Presiden SBY rasio utang Indonesia berada pada posisi
24,7 persen. Saat ini di era Presiden Jokowi rasio hutang tahun 2018 berada di
29,91 persen.

Krisis Moneter 1998


Rasanya tidak lengkap jika kita membahas utang Indonesia tanpa membahas krisis
moneter yang terjadi pada tahun 1998. Krisis moneter yang terjadi di tahun 1998
tidak hanya terjadi pada Indonesia saja. Tetapi dialami oleh seluruh negara asia
tenggara plus korea selatan.

Pada bulan Juni 1997 rasanya krisis ekonomi yang melandah Thailand jauh dari pintu
gerbang Indonesia. Indonesia memiliki surplus perdangangan lebih dari 900 juta US-
dollar. Cadangan devisa Indonesia pun saat itu sangat tinggi yaitu 20 Miliar US-
dollar dengan sistem perbankan yang baik.

Ditahun yang sama banyak perusahaan yang melakukan pinjaman dalam bentuk dolar. Hal
ini karena dianggap lebih murah, karena saat itu posisi rupiah mengalami penguatan
dibanding dolar.

Maret 1998 utang Indonesia tercatat sebesar 138 Miliar US-dollar yang hampir
setengahnya adalah utang swasta sebesar 72,5 miliar US-Dollar yang dua pertiga
utang tersebut adalah utang jangka pendek. Utang jangka pendek yang harus
dibayarkan sebesar 20 Miliar US-Dollar, sedangkan cadangan devisa negara saat itu
hanya tersisa 14,4 Miliar US-Dollar.

Hal ini menyebabkan ketidakpercayaan pasar terhadap kekuatan nilai tukar rupiah.
Nilai tukar ditahun 1997 ditutup di level Rp4.850/US-dollar terjun ke level
Rp17.000/Us-dollar pada Februari 2018.

Anjloknya rupiah membuat pasar uang dan pasar modal rontok, surat utang pemerintah
turun ke level “Junk” atau sampah, 70 persen perusahaan mengalami kebangkrutan, dan
PHK besar-besaran terjadi dimana-mana.

Keadaan Fundamental Ekonomi Indonesia


Saat ini pertumbuhan keadaan ekonomi Indonesia masih bisa dibilang terjaga.
Pertumbuhan ekonomi tercatat pada tahun 2018 sebesar 5,15 persen. Tingkat
kemiskinan yang dibawah 10 persen dan inflasi masih terjagi di angka 3,13 persen.

Utang Indonesia yang diambil oleh pemerintah tidak hanya digunakan dalam urusan
konsumtif seperti pembiayaan operasional. Pembangunan struktur, pelayanan
kesehatan, dan program ketahanan pangan tidak bisa ditunda lagi. Karena jika
terjadi penundaan, maka biaya yang diperlukan akan semakin besar dan mahal.
Penundaan terhadap program fundamental tersebut jika dibiarkan, hanya akan
menimbukan kerugian yang lebih besar di hari mendatang.

Indonesia dianggap disiplin dan konsisten dalam menjaga APBNnya. Hal ini
dikonfirmasi oleh lima lembaga pemeringkat dunia S&P, Moody, Fitch, JCR, dan R&I
yang memberikan predikat kepada Indonesia sebagai negara layak investasi
(Investment Grade).

Investment Grade adalah rating yang diberikan kepada perusahaan atau pemerintah
terhadap kelayakan investasinya. Apakah perusahaan atau pemerintah tersebut
memiliki resiko yang relatif rendah dari potensi gagal bayar.

Salah satu cara penting perusahaan menjaga iklim ekonomi secara umum adalah dengan
menjaga rasio utangnya dan pengeluarannya.

Obsessionnews.com – Untuk membangun negeri ini Indonesia butuh pinjaman dari luar,
salah satunya dari International Monetary Fund (IMF). Keterikatan Indonesia dengan
IMF ternyata sudah dimulai sejak zaman Presiden Sukarno pada tahun 1950-an, atau
masa-masa awal kemerdekaan Indonesia.

Di saat pemerintah Sukarno mengalami kesulitan menanggulangi problem ekonomi yang


rusak akibat perang kemerdekaan. Pada akhir 1945, 35 negara yang dianggap founding
fathers menandatangani anggaran dasar Dana Moneter Internasional dengan IMF.

Setelah melalui persiapan, termasuk ratifikasi di DPR/Kongres masing-masing negara


anggota, akhirnya IMF dinyatakan berdiri dan beroperasi pada 1 Maret 1947.

Indonesia, yang baru bangkit dari krisis akibat perang melawan Belanda selama masa
revolusi, mengajukan permintaan menjadi anggota IMF dan Bank Internasional untuk
Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) –kemudian menjadi Bank Dunia pada 24 Juni 1950.

Dewan Gubernur IMF kemudian menyerahkan draft resolusi melalui Kedutaan Besar
Indonesia di Washington pada 15 Agustus 1952. Indonesia membalasnya dalam surat
yang ditandatangani Sutikno Slamet, bendahara umum Kementerian Keuangan dan
kemudian menjadi menteri keuangan Kabinet Djuanda/Karya (1957-1959).

Pada 10 September 1952, dalam sidangnya di Mexico City, Dewan Gubernur IMF dan
Dewan Gubernur IBRD menyetujui resolusi-resolusi yang memuat peraturan dan syarat-
syarat Indonesia menjadi anggota IMF. Indonesia menerima dan menandatangani. Pada
pertengahan 1953, Indonesia resmi menjadi anggota. Secara legal, keanggotaan itu
disahkan dengan UU No 5/1954.

Menurut Hadi Soesastro dan Aida Budiman dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di
Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1945-1959, pada Agustus 1956 pemerintah
Indonesia memperoleh pinjaman IMF sebesar US$55 juta karena inflasi kembali
berkecamuk disebabkan defisit anggaran yang meningkat dan cadangan devisa menurun
cepat.

Pinjaman besar dari IMF tersebut, tulis Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam
Ekonomi Indonesia 1800-2010, jelas tak mencukupi untuk memecahkan masalah yang
dihadapi oleh negara baru yang menghadapi persoalan besar dalam pembangunan
infrastruktur dan membutuhkan banyak investasi baru. Apalagi defisit anggaran tahun
1957 tiga kali lipat, dan pada 1958 dan 1959 menjadi dua kali lipat lagi.

Menurut ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Thee Kian Wie, defisit anggaran
terus naik karena pengeluaran pemerintah tak terkendali, terutama dalam persoalan
politik, seperti mengatasi pergolakan di daerah dan krisis Irian Barat.

“Pemerintah tidak mengambil kebijakan moneter yang tepat untuk menanganinya, malah
mencetak uang baru yang mengakibatkan inflasi melambung tinggi,” ujar Thee Kian
seperti dikutip dari Historia, Senin (10/9/2018). (Albar)

HUTANG INDONESIA TERBARU

Ekonom Utama Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik, Andrew Mason
menyatakan, tingkat utang Indonesia masih berada dalam batas wajar. Hal tersebut
karena rasio utang dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) masih di bawah 30 persen.

"Kami bisa katakan, utang Indonesia masih bisa dikendalikan, sehingga kami
mempertimbangkan ini sebagai hal yang wajar (reasonable)," ujar Andrew dalam
telekonferensi di Kantor Bank Dunia, Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Sebelumnya, per akhir Agustus 2019 tercatat posisi utang pemerintah mencapai angka
Rp 4.680,19 triliun.

Porsi pinjaman terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 7,69 triliun dan
pinjaman luar negeri Rp 790,59 triliun. Dengan rincian dari bilateral Rp 316,37
triliun, multilateral Rp 435,13 triliun, dan komersial Rp 39,09 triliun.

Sementara, porsi surat berharga negara (SBN) terdiri dari denominasi rupiah dan
valas. Adapun SBN denominasi rupiah jumlahnya mencapai Rp 2.833,43 triliun, yang
terdiri dari surat utang negara (SUN) Rp 2.343,65 triliun dan SBSN Rp 489,78
triliun.

Sedangkan untuk denominasi valas sebesar Rp 1.032,6 triliun yang terdiri dari SUN
Rp 832,08 triliun dan SBSN Rp 216,4 triliun

Menurut laporan ekonomi makro Bank Dunia, rasio utang Indonesia terhadap PDB hingga
akhir 2019 diprediksi mencapai 30,1 persen, naik 0,03 dari tahun sebelumnya.

Sementara untuk tahun 2020, rasio utang akan tetap di angka 30,1 persen dan turun
jadi 29,9 persen di tahun 2021.

Agar dapat mempertahankan atau bahkan menurunkan rasio utang, Bank Dunia
merekomendasikan untuk mengelola utang dengan baik. Bank sentral bisa menerapkan
kebijakan likuiditas yang ketat, bahkan melibatkan perbankan untuk menghitung aset
dan liabilitas tiap rumah tangga guna memantau situasi keuangan.

*Berdasarkan data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) yang dirilis Bank
Indonesia (BI) periode Agustus 2019, posisi ULN menurut pemberi kredit yang berasal
dari China sebesar US$ 16,99 miliar atau setara dengan Rp 239,55 triliun (kurs Rp
14.100). Angka ini meningkat dibandingkan bulan sebelumnya sebesar US$ 16,93 miliar
atau Rp 238,71 triliun.

Posisi ULN dari China menduduki posisi keempat. Pertama ditempati oleh utang luar
negeri dari Singapura yang mencapai US$ 66,46 miliar, kemudian Jepang US$ 29,36
miliar lalu Amerika Serikat (AS) US$ 22,54 miliar.

ULN Indonesia pada akhir Agustus 2019 tercatat sebesar US$ 393,5 miliar atau
sebesar Rp 5.548,35 triliun. Ini adalah jumlah utang dari kombinasi swasta dan
pemerintah.

Angka ini tumbuh 8,8% secara tahunan (yoy) atau lebih lambat dibandingkan dengan
pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 10,9% (yoy).

Adapun ULN publik (pemerintah dan bank sentral) tercatat sebesar US$ 196,3 miliar,
sedangkan ULN swasta (termasuk BUMN) sebesar US$ 197,2 miliar.

Pertumbuhan utang terutama dipengaruhi oleh transaksi pembayaran neto ULN.


Perlambatan pertumbuhan ULN tersebut disebabkan oleh menurunnya posisi ULN publik
dan ULN swasta dibandingkan dengan posisi pada bulan sebelumnya.

Dari data SULNI utang luar negeri adalah posisi utang yang menimbulkan kewajiban
membayar kembali pokok atau bunga utang kepada pihak luar negeri atau bukan
penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah dan tidak termasuk kontinjen.

Yang termasuk dalam pengertian utang luar negeri adalah surat berharga yang
diterbitkan di dalam negeri yang menimbulkan kewajiban membayar kembali kepada
pihak luar negeri atau bukan penduduk.

JAKARTA - Total utang pemerintah hingga akhir Agustus 2019 tercatat telah mencapai
Rp4.680,1 triliun yang setara dengan 29,80% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka
tersebut mengalami kenaikan sekitar Rp77,19 triliun bila dibandingkan Juli 2019
yang sebesar Rp4.603 triliun. Sedangkan jika dibandingkan periode yang sama tahun
lalu naik Rp317 triliun.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, posisi utang saat ini mengalami
peningkatan Rp317 triliun dibandingkan dengan posisi Agustus 2018 yang sebesar
Rp4.363,1 triliun. "Posisi utang pemerintah pusat itu terdiri dari pinjaman maupun
penerbitan Surat Berharga Negara (SBN)," ujar Menkeu Sri Mulyani di Gedung DJP,
Jakarta, Selasa (24/9/2019).

Mengutip data APBN KITA, Selasa (24/9/2019), total utang pemerintah per Agustus
2019 terdiri dari pinjaman dengan total Rp 798,28 triliun.Porsi pinjaman jika
dirinci terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 7,69 triliun. Sedangkan utang
luar negeri Rp 790,59 triliun yang jika dirinci lagi terdiri dari bilateral Rp
316,37 triliun, multilateral Rp 435,13 triliun, dan komersial Rp 39,09 triliun.

Selanjutnya, pada porsi penerbitan surat berharga negara (SBN) berjumlah Rp


3.881,91 triliun. SBN terdiri dari denominasi rupiah dan valas. SBN denominasi
Rupiah mencapai Rp2.833,4 triliun, berasal dari Surat Utang Negara (SUN) sebesar
Rp2.343,6 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp489,7 triliun.

Sementara SBN dari denominasi valas tercatat sebesar Rp1.032,6 triliun, berasal
dari SUN sebesar Rp832 triliun dan SBSN sebesar Rp216,4 triliun. Di sisi lain,
hingga akhir Agustus 2019 pemerintah telah melakukan pembiayaan utang sebesar
Rp284,7 triliun. Angka tersebut mencapai sekitar 79,3% dari target APBN tahun ini
yang sebesar Rp359,2 triliun.
(akr)

Anda mungkin juga menyukai