Anda di halaman 1dari 3

Kontroversi tentang kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel sudah bergulir sejak tahun 2019 sampai

saat ini. Terbaru, Dana Moneter Internasional (IMF) telah meminta pemerintah Indonesia untuk
melonggarkan kebijakan terkait larangan ekspor bijih nikel.

Permintaan itu mereka sampaikan dalam “IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV
Consultation with Indonesia” pada 22 Mei 2023. Dimana menurut IMF, sejatinya mereka menyambut
baik kebijakan Indonesia tersebut demi meningkatkan nilai tambah mineral melalui larangan ekspor.
Namun, IMF menilai kebijakan itu perlu analisis lebih mendalam agar berjalan dengan baik.

Permintaan IMF itu kemudian mendapatkan respons penolakan yang keras dari para menteri
pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, Menteri Investasi atau Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia sampai menggelar jumpa pers untuk
menanggapi permintaan IMF tersebut. Menurutnya, IMF telah mengganggu kedaulatan Indonesia.

Mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) itu juga menambahkan bahwa
pemerintah Indonesia tidak mau lagi dijerumuskan oleh IMF seperti pada saat krisis moneter 1997-
1998 lalu. Apalagi Indonesia kini sudah tidak mempunyai tanggungan utang kepada IMF.

Senada dengan Bahlil, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan Indonesia punya
pendirian dan pandangan sendiri tentang larangan ekspor bijih nikel. Meskipun begitu, dirinya tetap
menghargai pandangan IMF.

Menurut Sri Mulyani, program hilirisasi tambang yang menjadi andalan Presiden Jokowi telah
membuat neraca keuangan Indonesia semakin kuat. Atas dasar itu, mantan Direktur Pelaksana Bank
Dunia tersebut dengan percaya diri menyebut bahwa program itu sudah berjalan dengan baik dan
tidak ada masalah.

Lantas, melihat respons yang ditunjukkan pemerintah Indonesia terhadap permintaan IMF. Kenapa
pemerintah Indonesia dengan berani menolak permintaan IMF untuk melonggarkan kebijakan
hilirisasi tersebut? Apakah karena ada dukungan dari Tiongkok?.

BUMPER

Dalam era globalisasi saat ini, peran Organisasi Non Pemerintah (NGO) seperti IMF hampir sama
dengan peran negara dalam politik internasional. Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye dalam buku
yang berjudul “Power and Interdependence” memperkenalkan konsep complex interdependence.

Dalam konsep complex interdependence ada dua asumsi utama yang menjadi ciri dari konsep
tersebut. Pertama, negara bukan lagi aktor eksklusif dalam politik internasional. Kedua, kerja sama
internasional tidak lagi semata-mata ditentukan oleh kepentingan masing-masing negara yang
terlibat di dalamnya, melainkan juga oleh institusi internasional.

Institusi internasional sering kali bukan hanya bisa mengelola berbagai kepentingan dari negara
anggotanya, tapi juga memiliki dan bisa memaksakan kepentingannya sendiri. Berkaca pada
penjelasan tersebut, asumsi kedua rasanya cocok untuk menggambarkan adanya complex
interdependence dalam permintaan IMF terkait pelonggaran larangan ekspor bijih nikel Indonesia.

Pemaksaan kepentingan yang dimaksud dalam asumsi complex interdependence juga bisa dikatakan
sebagai intervensi dalam konteks permintaan IMF ke Indonesia. Intervensi tersebut yang di banyak
kasus sering kali memperburuk keadaan negara bersangkutan.

Sebagaimana telah dijelaskan oleh Ana I. Eiras dalam publikasinya yang berjudul “IMF and World
Bank Intervention: A Problem, Not A Solution” bahwasanya rekomendasi, intervensi, dan pinjaman
IMF dalam banyak kasus di dunia justru telah memperburuk keadaan negara bersangkutan.
Eiras menambahkan, belakangan krisis keuangan di seluruh dunia meningkat saat IMF justru
mengerahkan seluruh sumber daya mereka untuk memeranginya. Inilah yang sepertinya disadari
pula oleh pemerintah Indonesia, bahwa rekomendasi dari organisasi internasional seperti IMF tidak
selamanya akan membawa kebaikan bagi Indonesia.

Jadi wajar, jika kemudian Menteri Investasi Bahlil mengatakan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi
telah belajar dari pengalaman yang Indonesia alami pada krisis moneter tahun 1997-1998 lalu. Yang
mana pada saat itu, IMF bukannya membantu memperbaiki melainkan semakin memperburuk
keadaan ekonomi Indonesia.

Ditambah, permintaan IMF terkait pelarangan ekspor nikel juga jamak dinilai sebagai kepanjangan
tangan kepentingan negara-negara donatur IMF. Negara-negara tersebut diantaranya Amerika Serikat
(AS), Kanada, Jerman, Prancis, Inggris, dan Jepang yang memang sebagai negara industri dengan
kemampuan ekonomi yang tinggi.

Para negara donatur itu kiranya ingin bermain ‘aman’ dengan menggunakan IMF sebagai alat mereka
untuk menekan pemerintah Indonesia. Mengingat, akibat yang akan ditimbulkan dari pelarangan
ekspor bijih nikel kiranya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi dan mungkin meningkatkan
angka pengangguran di negara-negara tersebut.

Selain demi kepentingan para negara donatur, IMF juga tampaknya ingin membawa kepentingannya
sendiri sebagai lembaga internasional ke pemerintah Indonesia terkait ekspor bijih nikel. IMF merasa
perlu berperan dalam pembangunan industri kendaraan listrik dengan nikel sebagai bahan baku
utamanya agar hegemoninya tetap terjaga.

Itulah sebabnya, IMF tampak tidak senang terhadap Indonesia yang memainkan perannya dalam
pembangunan industri kendaraan listrik dengan kebijakan hilirisasi ala Presiden Jokowi yang
berpotensi mengguncang industri dunia.

IMF boleh jadi tidak ingin ada yang merusak hegemoni mereka. Terlebih lagi, hegemoni ini dirusak
oleh negara dunia ketiga seperti Indonesia yang didukung oleh modal dari Tiongkok sebagai mitra
kerja sama pengolahan atau smelter nikel di Indonesia.

Suntikan dana berupa investasi yang begitu besar dari Tiongkok sebagai bentuk dukungan Tiongkok
terhadap hilirisasi pertambangan di Indonesia inilah yang tampaknya memberi keberanian
pemerintah Indonesia dalam menolak permintaan IMF.

Buktinya dengan bantuan Tiongkok, Indonesia kini mempunyai 21 juta ton atau 23 persen dari
cadangan nikel dunia. Artinya sebagai pemegang cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia
harusnya semakin cermat memilih mitra kerja sama untuk mendukung kebijakan hilirisasi tambang.

Makanya, dipilihnya Tiongkok sebagai mayoritas investor pengolahan atau smelter nikel di Indonesia
oleh Presiden Jokowi tampaknya sudah tepat. Mengingat, kekuatan ekonomi Tiongkok yang
bertumbuh dengan pesat dan dapat menjadi pesaing negara-negara Barat.

Samuel Huntington dalam bukunya yang berjudul “Clash of Civilizations” bahkan sudah memprediksi
bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat, Tiongkok akan menjadi ancaman Barat.
Huntington menambahkan, hal itu kemudian akan menjadi benturan peradaban yang membuat
negara non-Barat seperti Tiongkok ingin membentuk dunia dengan cara mereka sendiri.

Munculnya reaksi anti-Barat tersebut pada dasarnya disebabkan oleh dominasi Barat dan
kecenderungannya untuk memaksakan kehendak dalam kancah perpolitikan internasional. Bahkan
lebih parahnya, negara yang bertentangan dengan kepentingan mereka akan diberi sanksi sepihak.
Nah, berkaca pada penjelasan itu, kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok terkait pengolahan atau
smelter nikel di Indonesia bisa dikatakan sebagai reaksi anti-Barat dari pemerintah kedua negara.
Kedua negara tampak mungkin ingin mengurangi dominasi pengaruh Barat dalam pembentukan
industri kendaraan listrik agar bisa menjadi negara maju.

Oleh karena itu, benar apa yang dikatakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi
Luhut Binsar Panjaitan bahwa tidak ada negara maju di dunia yang mau melihat negara berkembang,
seperti Indonesia naik pangkat menjadi negara maju.

Anda mungkin juga menyukai