Anda di halaman 1dari 18

APA KABAR HUTANG LUARN NEGRI...?

A. Sejarah

IGGI dan Asal-Usul Utang Luar Negeri Indonesia

Oleh: M Faisal - 20 Februari 2018 Dibaca Normal 5 menit

Keran pinjaman.
Alirkan utang sampai
tujuh turunan.

tirto.id - Usai mengambil alih kekuasaan dari Sukarno pada 1967, Soeharto dihadapkan
kondisi serba tak stabil, terutama di bidang ekonomi. Masalah paling pelik yang dihadapi
pemerintahan Soeharto adalah hiperinflasi (mencapai 650 persen) yang menyebabkan
melonjaknya harga barang-barang, termasuk kebutuhan pokok. Faktor utama penyebab
hiperinflasi adalah rezim Sukarno hanya mencetak uang untuk membayar utang dan
mendanai proyek-proyek mercusuar sejak awal 1960-an.

Hiperinflasi hanya satu dari sekian masalah ekonomi yang harus dihadapi Soeharto.
Indonesia Investments, lembaga pemerhati ekonomi Indonesia dari Belanda, dalam laporan
berjudul “History of Indonesia: Politics and the Economy Under Sukarno” menyebutkan,
pada masa itu Indonesia juga terbebani utang besar sementara di waktu bersamaan ekspor
melemah dan pendapatan per kapita menurun secara signifikan.

Pada 1960, melalui Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, Sukarno sempat mengeluarkan
Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 1961-1969 yang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam negeri. Tetapi, pada 1964, strategi itu
ditinggalkan sebab situasi ekonomi makin memburuk: inflasi masih tinggi, basis pajak
mengikis, arus pemindahan aset finansial ke riil begitu besar, hingga konfrontasi dengan
Malaysia yang menyerap sebagian besar anggaran pemerintah.

Sukarno boleh saja mahir dalam bahasa dan retorika, tapi ia gagal mengurus ekonomi. Alih-
alih peduli pada masalah ekonomi, ia malah mencurahkan waktunya untuk berpetualang
dalam demagogi politik. Reportase majalah The New Yorker (23 November 1968)
menyatakan bahwa akibat Sukarno salah urus, Indonesia dihadapkan pada posisi
kebangkrutan dan diprediksi akan sangat bergantung pada bantuan luar negeri.

Baca juga: Jika Supersemar Palsu, Apakah Orde Baru Tidak Sah?

Soeharto menyiapkan beberapa langkah untuk membebaskan Indonesia dari belitan krisis
ekonomi. Mengutip Guy Fauker dalam makalahnya, “The Indonesian Economic and Political
Miracle” (1973), langkah pertama yang dilakukan Soeharto adalah mengubah arah haluan
ekonomi: dari pro-Timur menjadi pro-Barat.
Soeharto lantas membentuk Tim Ahli di Bidang Ekonomi dan Keuangan yang berisikan
ekonom dari Universitas Indonesia. Tim ini dipimpin Widjojo Nitisastro. Kelak, kelompok
tersebut dikenal dengan nama “Mafia Barkeley” dengan kebijakan-kebijakannya yang
berlandaskan liberalisasi ekonomi serta pasar bebas.

Heinz Wolfgang Arndt dalam The Indonesian Economy: Collected Papers (1984)
menjelaskan, rencana pemulihan ekonomi Indonesia dibagi menjadi tiga tahapan: stabilisasi,
rehabilitasi, dan pembangunan. Tiga tahapan tersebut lalu diwujudkan ke dalam beberapa
langkah seperti penghentian hiperinflasi dan memulihkan stabilitas makroekonomi,
penjadwalan utang luar negeri, hingga membuka pintu bagi penanaman modal asing.

Pembentukan IGGI

Setelah keran investasi asing dibuka, langkah berikutnya ialah mencari bantuan luar negeri.
Namun, Indonesia mendapat halangan. Beban neraca pembayaran luar negeri sebagai akibat
utang yang diwariskan Orde Lama membuat Indonesia sulit memperoleh kreditur maupun
pendonor.

Dalam “Survey of Recent Developments” (1966) yang diterbitkan Bulletin of Indonesian


Economics Studies, Arndt dan J. Panglaykim menjelaskan, Indonesia tidak mampu membayar
cicilan maupun bunga utang luar negeri. Bank Indonesia, terang mereka, bahkan tidak
mampu membayar letters of credit serta terpaksa menunda pembayaran kredit perdagangan
luar negeri yang totalnya mencapai 177 juta dolar AS.

Dengan kondisi seperti itu, catat Radius Prawiro dalam Indonesia’s Struggle for Economic
Development-Pragmatism in Action (1998), Indonesia tidak memiliki kualifikasi cukup untuk
memperoleh bantuan kredit luar negeri. Sebagai solusinya, Soeharto kemudian mengirimkan
delegasi ke berbagai negara kreditor guna membahas moratorium utang luar negeri. Yang
dituju: London dan Paris Club—kelompok informal kreditur di pentas internasional.

Melalui diplomasi yang intensif dalam forum London dan Paris Club, masih menurut Radius,
pemerintah Indonesia mengajukan gagasan pembentuk konsorsium negara-negara kreditur
untuk Indonesia. Pertemuan dengan Paris Club merupakan peluang pertama bagi pemerintah
untuk menjelaskan kebijakan ekonomi macam apa yang bakal ditempuh guna keluar dari
krisis.

Setelah berdiskusi panjang-lebar, forum tersebut akhirnya menyetujui adanya moratorium


bagi Indonesia. Forum juga sepakat membentuk konsorsium bernama IGGI (Inter-
Governmental Group on Indonesia) yang beranggotakan Australia, Belgia, Jerman, Itali,
Jepang, Belanda, Inggris, Amerika, Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank
Dunia, IMF, Bank Pembangunan Asia (ADB), UNDP, serta OECD pada 1967. Tujuan
pembentukan konsorsium ini ialah untuk memberikan pinjaman ke Indonesia.

Baca juga: Hantu Itu Bernama Neolib


Arndt menerangkan, IGGI memberi bantuan dalam wujud program untuk memperkuat neraca
pembayaran, baik berupa kredit valuta asing maupun bantuan pangan. Selebihnya, bantuan
disalurkan dalam bentuk proyek. Pertemuan pertama IGGI dilakukan pada 20 Februari 1967,
tepat hari ini 51 tahun silam, di Amsterdam. Indonesia diwakili Sri Sultan Hamengkubuwana
IX.

Sejak diberlakukannya moratorium utang luar negeri dan pembentukan IGGI, catat John
Bresnan dalam Managing Indonesia: The Modern Political Economy (1993), kucuran
pinjaman terus berdatangan. Pada 1967, misalnya, Indonesia memperoleh pinjaman 200 juta
dolar AS.

Dalam rentang 1967-1969, bantuan luar negeri menyumbang 28% pembiayaan pemerintah.
Data USAID 1972 menyebutkan, dari 1967-1969, Belanda memberikan bantuan paling besar
yakni 140 juta dolar AS. Kemudian disusul Jerman ($84,5 juta), Amerika Serikat ($41,1 juta),
dan Jepang ($10,6 juta). Uang tersebut lalu digunakan untuk memperbaiki perekonomian
hingga menggiatkan pembangunan.

Selain itu, saat Pertamina terlilit utang 40 juta dolar AS kepada The Republic National Bank
of Dallas pada 1976, IGGI, seperti ditulis Bresnan, berjanji memberikan bantuan pembiayaan
darurat sebanyak 1 miliar dolar AS. Uang itu digunakan untuk melunasi utang sekaligus
menutup biaya proyek Pertamina seperti pabrik baja Krakatau Steel dan proyek LNG.

Baca juga: Sumitro Djojohadikusumo Pernah "Menghilang" karena Dituduh Korupsi

Cyrillus Harinowo dalam Utang Pemerintah: Perkembangan, Prospek, dan Pengelolaannya


(2002) menyebut, IGGI berfungsi sebagai kasir pemerintah Indonesia sekaligus penasihat
dalam pelaksanaan pembangunan. Lembaga ini mengadakan pertemuan rutin tiap tahun
untuk membahas serta mengevaluasi kinerja pemerintah di bidang ekonomi maupun
pembangunan.

Setelah mengalami masa kemesraan yang lama, Indonesia dan IGGI pecah kongsi pada 1992.
Thomas Lindblad dalam Indonesia: A Country Study (2011) mengatakan, pemicu putusnya
hubungan IGGI dan Indonesia adalah tragedi Santa Cruz di Timor Timur pada November
1991. Kala itu, tentara menembaki warga saat berlangsung upacara pemakaman aktivis pro-
kemerdekaan bernama Sebastiao Gomez. Korban tewas dalam tragedi itu, menurut versi
pemerintah Indonesia, “hanya” 50 warga sipil. Sementara versi laporan lainnya, warga sipil
yang tewas mencapai 273.

Baca juga: Mengenang 25 Tahun Kejahatan Indonesia di Santa Cruz

Imbasnya, Belanda yang saat itu jadi koordinator IGGI menangguhkan bantuan ke Indonesia.
Aksi Belanda lalu disusul Denmark dan Kanada sebagai wujud kecaman. Soeharto yang
melihat aksi cabut bantuan tersebut lantas berang. Ia merasa tersinggung. Pada Maret 1992,
Soeharto menegaskan sikap bakal menolak semua bantuan ekonomi, terutama dari Belanda.

Akan tetapi, sikap tegas pemerintah tak berlangsung lama. Prawiro menyebutkan, Indonesia
masih membutuhkan bantuan luar negeri. Maka dari itu, dibentuklah CGI (Consultative
Group on Indonesia) yang diprakarsai Bank Dunia dan diketuai Jepang.

Anggota CGI, jelas Pranowo, merupakan bekas anggota IGGI kecuali Belanda. Fungsi utama
CGI adalah sebagai forum bagi Indonesia untuk bernegosiasi dengan lembaga internasional
dan negara-negara pendonor.

Sepak terjang CGI terlihat menonjol saat krisis ekonomi 1998. Sebagaimana ditulis Lindblad,
CGI berperan penting dalam memfasilitasi restrukturisasi utang internasional selama krisis
Asia dengan pinjaman sebesar 8 miliar dolar AS.

Kiprah CGI berhenti pada 2007 ketika presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang
Yudhoyono, meminta CGI dibubarkan. Alasannya, mengutip Thee Kian Wie dalam
Pembangunan, Kebebasan, dan ‘Mukjizat’ Orde Baru: Esai-Esai, ialah waktunya bagi
Indonesia untuk mampu merancang dan menjalankan sendiri program ekonomi secara
mandiri.

Ketergantungan dan Kepentingan

Relasi antara Indonesia dan IGGI menandakan dua hal. Pertama, ada kepentingan IGGI di
balik bantuan yang diberikan. Kedua, relasi dengan IGGI membuat Indonesia terjebak dalam
ketergantungan utang kepada negara-negara Barat.

Andrew Mack dalam tesisnya di University of Sydney berjudul Rethinking the Dynamics of
Capital Accumulation in Colonial and Post-Colonial Indonesia: Production Regulation
(2001) menjelaskan, terdapat tujuan tertentu di balik dukungan negara-negara donor kepada
Indonesia. Frasa “tujuan tertentu” yang dimaksud Mack ialah negara-negara pendonor
tersebut meminta timbal balik kepada Indonesia berupa penguasaan sektor-sektor industri
penting.

Mack menjelaskan, jatah yang diminta negara-negara pendonor berdampak pada tidak
diberikannya ruang bagi perusahaan lokal untuk mengelola industri ekstraktif dengan
produksi keuntungan yang tinggi. Kepentingan asing di Indonesia telah memaksa perusahaan
lokal tunduk pada status perusahaan asing sebagai produsen-korporat di Indonesia serta agen
pemasaran produk.

Baca juga: Ketika Indonesia Bertekuk Lutut kepada IMF


Selama masa pembangunan Orde Baru, tambah Mack, hubungan antara pemodal
internasional, pendonor, dan pemerintah telah menutup kemungkinan bagi pengusaha atau
perusahaan lokal menguasai sektor-sektor ekonomi penting.

Efek buruk ketergantungan terhadap utang luar negeri juga terasa ketika krisis ekonomi
melanda. Pada 15 Januari 1998, Indonesia meminta bantuan IMF untuk menyelamatkan
kondisi perekonomian. IMF pun setuju memberikan paket bantuan keuangan multilateral
yang diberikan secara bertahap dalam jangka waktu 3 tahun senilai 43 miliar dolar AS.
Namun, sejumlah syarat harus dipenuhi, di antaranya keharusan pemerintah Indonesia
melikuidasi 16 bank yang "sakit".

Kenyataannya, likuidasi bank malah memicu penarikan dana besar-besaran (rush) oleh
nasabah yang panik dan menciptakan situasi di mana tingkat kepercayaan investor menurun.
Hasilnya: utang domestik Indonesia membumbung sampai angka 80 miliar dolar AS saat itu.

Baca juga: Kilas Balik Indonesia-IMF Selama Krisis Ekonomi Asia

Semenjak kejatuhan Orde Baru, pemerintah masih terus bergantung pada IMF. Setidaknya,
sepanjang periode 1997-2003, Indonesia sudah meneken 26 kali kesepakatan dengan IMF.
Berselang tiga tahun, saat pemerintahan SBY, utang Indonesia kepada IMF dilunasi.

Lunasnya utang Indonesia kepada IMF bukan berarti menghentikan ketergantungan Indonesia
akan pinjaman dari negara donor. Ketergantungan tersebut diteruskan pemerintahan Jokowi.

Berdasarkan data dari Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan,
pada Juni 2017, Indonesia memiliki utang kepada pihak-pihak terkait seperti Islamic
Development Bank (Rp9,95 triliun), Jerman (Rp24,3 triliun), Perancis (Rp24,3 triliun),
Jepang (Rp196,98 triliun), Amerika (Rp8,26 triliun), sampai Bank Dunia (Rp234,68 triliun).

Pada akhir 2016, jumlah total utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar 317,08 miliar dolar
AS. Jumlah ini 2,04 persen lebih besar dari tahun sebelumnya (310,73 miliar).

Mengapa pemerintah terus berutang? Kementerian Keuangan dalam paparannya pernah


menjelaskan, utang merupakan konsekuensi dari APBN yang terus menerus mengalami
defisit. Angka defisit sendiri merupakan kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Defisit
muncul karena pembiayaan tidak sebanding dengan pengeluaran.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya M Faisal
(tirto.id - Politik)

31 Oktober 1997

Ketika Indonesia Bertekuk Lutut kepada IMF


Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan dengan IMF disaksikan oleh Michel
Camdessus selaku Managing Director. FOTO/Istimewa

Oleh: Suhendra - 31 Oktober 2017 Dibaca Normal 4 menit

Soeharto mengundang IMF untuk membantu penanganan krisis.

tirto.id - Soeharto terlihat menunduk sembari membubuhkan tanda tangan di dokumen Letter
of Intent (LoI). Di sampingnya, tampak Michel Camdessus si Direktur IMF berdiri sambil
bersedekap tangan. Usai membubuhkan tanda tangan, Soeharto kemudian memberikan pidato
singkat. Demikian pula Camdessus memberikan pidato formalnya. Keduanya lantas berjabat
tangan sambil melempar senyum dalam sebuah acara seremoni di Cendana.

Peristiwa 15 Januari 1998 itu dianggap sebagai "takluknya" rezim Orde Baru terhadap
gejolak perekonomian. Soeharto akhirnya menyerah dan minta bantuan IMF, setelah
perekonomian Indonesia dihajar krisis parah yang membuat keuangan negara berdarah-darah.

Bila ditarik ke belakang, 76 hari sebelum kejadian yang dianggap bersejarah itu, Soeharto
lewat “tangan” Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad dan Gubernur Bank Indonesia
Soedradjad Djiwandono sudah mengambil langkah pendahuluan untuk mengajukan diri
sebagai "pasien" IMF.

Kedua orang itu diberi tugas oleh Soeharto memohon bantuan dalam sebuah surat proposal
program paket penyelamatan dari krisis, pada 31 Oktober 1997. IMF setuju memberikan
paket bantuan keuangan multilateral secara bertahap dalam jangka waktu 3 tahun senilai 43
miliar dolar AS. Surat permintaan ini juga disebut Memorandum on Economic and Finance
Policies (MEFP).

Indonesia memang mau tak mau menjadi "pasien" IMF. Kondisi perekonomian sedang
compang camping. Sepanjang Juli-Agustus, rupiah mulai mengalami tekanan setelah Baht
Thailand rontok. Awal Agustus dolar mencapai Rp2.600, lalu makin menguat terhadap rupiah
hingga ke level Rp3.850. Sejak awal 1997 hingga pekan pertama Oktober 1997, rupiah sudah
melemah hingga 42 persen.

Widigdo Sukarman dalam tulisannya “Dampak Depresiasi Rupiah Terhadap Bisnis


Perbankan” mengungkapkan intervensi BI ke pasar uang pada 6 Oktober 1997 sebesar 300
juta dolar AS dan 100 juta AS pada 7 Oktober tak mempan mengendalikan rupiah.

Berselang sehari, pada sidang kabinet terbatas, pada 8 Oktober, Soeharto akhirnya
memutuskan untuk meminta bantuan IMF. Soeharto mengajak ekonom senior, mantan
Menteri Ekuin dan Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro untuk turun gunung. Widjojo yang
sering dapat julukan “arsitek ekonomi” awal Orde Baru ini diminta mengambil langkah-
langkah yang diperlukan. Negosiasi pemerintah dan IMF pun dimulai sejak 17 Oktober 1997.
Boediono dalam Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah (2016) mengatakan "Misi IMF
mulai datang pada minggu kedua (Oktober) dan bersama tim pemerintah menyusun program
penanganan krisis."

Ibarat sebagai "dokter", IMF saat itu mendiagnosis penyakit Indonesia mengalami guncangan
moneter "skala sedang" akibat goyahnya kepercayaan pelaku pasar terhadap ekonomi
Indonesia sebagai imbas dari krisis Thailand.

Soeharto memang tak berdiam diri sebelum jatuh ke pangkuan IMF. Beberapa jurus paket
kebijakan ekonomi sudah dikerahkan, antara lain mengeluarkan kebijakan penghematan
devisa, pada 11 Juli pelebaran rentang intervensi untuk mengurangi pembelian dolar AS oleh
BI. Penundaan proyek-proyek besar senilai Rp39 triliun yang memakai dolar pada 16
September, dan menaikkan suku bunga BI untuk merangsang orang melepas dolar dan
membeli SBI. Namun kebijakan ini membuat biaya modal jadi makin mahal.

Baca juga: Krisis Meksiko Dahulu, Krisis Asia Kemudian

IMF akhirnya bersedia membantu Indonesia, dengan sejumlah syarat sebagaimana tertuang
dalam Letter of Intent. Paket penyelamatan oleh IMF mendorong adanya kebijakan likuidasi
16 bank yang sakit, berselang satu hari setelah permintaan bantuan ke IMF, pada 1 November
1997. Keputusan likuidasi itu juga merupakan hasil evaluasi dan rekomendasi IMF yang
dituangkan ke dalam LoI antara pemerintah dengan IMF pada 31 Oktober 1997. Saat itu, IMF
malah mendeteksi 34 bank sakit, tapi setelah proses negosiasi dengan BI, penutupan terjadi
hanya kurang dari setengahnya saja.

Sebelum IMF masuk, rencana ini sudah disiapkan jauh-jauh hari dalam sidang kabinet
terbatas tanggal 3 September 1997, pemerintah memutuskan untuk: membantu bank-bank
yang masih memiliki harapan hidup; memerintahkan merger atau penjualan beberapa bank
kepada bank-bank yang lebih mampu; dan akan mencabut izin bank-bank yang sudah tidak
memiliki harapan hidup.

Kebijakan likuidasi bank dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap


perbankan nasional dan harapannya dapat mendukung stabilisasi nilai tukar rupiah. Namun,
yang terjadi malah sebaliknya. "Penutupan 16 bank justru mengkonfirmasi perbankan kepada
masyarakat bahwa perbankan nasional tidak sehat." kata Boediono.

Saat bersamaan kondisi rupiah makin tertekan terhadap dolar AS. Pada akhir Desember dolar
sempat mencapai Rp5.700, apalagi saat itu sempat ada rumor soal meninggalnya Soeharto.
Puncak keterpurukan rupiah terjadi pada Januari 1998. Menurut Radius Prawiro, seperti
ditulis dalam Menembus Batas: Damai Untuk Semesta (2008), “Selama 30 tahun Orde Baru,
rupiah telah terdepresiasi sampai sekitar 70 persen dan pernah sampai 98 persen, yaitu pada
21 Januari 1998 ketika kurs dolar AS mencapai Rp16.000.”

Baca juga: Gerak Dolar Melawan Rupiah


Perekonomian Indonesia yang sakit tak hanya tercermin dari rupiah saja, tetapi segala aspek
parameter ekonomi. Miranda S. Goeltom dalam Essay in Macroeconomic Policy: The
Indonesian Experience mencatat puncak paling suram dalam ekonomi Indonesia dari 1996-
1999 terjadi pada 1998.

Angka-angka makro ekonomi Indonesia yang seram tergambar pada tahun itu. Pada 1998,
saat puncak krisis terjadi pada perbankan dengan kredit macet atau NPL gross perbankan
mencapai 48,6 persen. Ekonomi Indonesia minus 13,3 persen, rata-rata investasi minus 33
persen. Persoalan utang pun tak kalah pelik.

Dalam buku “Ekonomi Politik” karya Deliarnov, utang luar negeri pemerintah pada akhir
Desember 1997 cukup besar untuk ukuran pada waktu itu mencapai 137,42 miliar dolar AS,
sementara utang luar negeri swasta menembus 73,96 miliar. Utang ini disebut-sebut naik
berlipat-lipat. Rupiah yang makin terpuruk terhadap dolar makin menambah beban utang bagi
pemerintah atau swasta.

Sekitar seminggu sebelum 15 Januari 1998, Soeharto memanggil para ekonom, termasuk Sri
Edi Swasono. Edi menceritakan bagaimana Soeharto berbicara mengenai ekonomi Indonesia
terkini saat itu, Edi pun mencatat pertanyaan Presiden Soeharto: ”Mengapa utang luar negeri
kita begini besar?” Saya menjawab: ”Bapak gampang percaya pada teknokrat. Masalah berat
ini kita hadapi saja, Pak!”

Persoalan utang swasta ini memang menjadi persoalan yang mau tak mau harus ditangani
pemerintah, yang pada LoI pertama tak mendapat perhatian IMF. Boediono mengatakan
dalam konteks saat itu, paket LoI pertama 31 Oktober 1997 bisa dibilang gagal, karena
banyak persoalan yang tak terpetakan secara lengkap sehingga solusinya pun tak tepat
sasaran. Misalnya, informasi yang tak akurat soal kondisi perbankan, dan utang luar negeri
swasta. Program restrukturisasi perbankan tidak dilakukan mendasar pada LoI pertama. Juga
tak mencakup penanganan utang-utang swasta.

“Pada Januari 1998 daftar masalah yang dihadapi Indonesia makin panjang: kurs lepas
kendali, harga barang-barang terutama makanan melonjak, kegiatan industri macet dan PHK
terjadi terutama di perkotaan, perbankan nasional porak poranda. Karena kegagalan program
dalam LoI pertama, maka dalam LoI kedua 15 Januari, dan LoI ketiga 10 April dan dalam
serentetan LoI selanjutnya dilakukan perubahan strategis.”

Di internal pemerintah pada waktu itu ada upaya mencari alternatif solusi setelah LoI 15
Januari 1998, karena skema yang disepakati IMF dinilai membawa Indonesia makin liberal
dan tak ada tanda-tanda perbaikan. Soeharto mengangkat Steve Hanke, Guru Besar John
Hopkin University sebagai penasehat khusus presiden.

Baca juga: Kilas Balik Indonesia dan IMF

Soeharto berencana menerapkan Currency Board System (CBS) atas proposal yang diajukan
Steve Hanke. Skema CBS rupiah akan dipatok pada Rp5.500 per dolar AS. Soeharto tertarik
dan hampir memberlakukan CBS. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
tentang CBS sudah disiapkan pada awal Februari 1998. Namun, IMF sebagai "dokter" kala
itu menolak mentah-mentah gagasan itu.

"CBS akan mematok kurs rupiah pada tingkat di bawah kurs yang berlaku. Kebijakan yang
bertolak belakang kurs mengambang sesuai dengan kesepakatan dalam LoI. Rencana itu tak
jadi dilaksanakan dan sempat membuat kebingungan dan ketidakpastian di antara pelaku
pasar," kata Boediono.

Pada akhirnya berselang kurang dari tujuh bulan setelah Soeharto meminta bantuan IMF, ia
mengundurkan diri karena situasi politik dan ekonomi yang semakin terpuruk. Camdessus
dalam sebuah kesempatan pernah mengatakan pihaknya punya andil dalam menciptakan
kondisi Soeharto lengser dari jabatannya. Namun, sang bos IMF juga sempat melayangkan
keberatan dan meluruskan ucapannya, bahwa IMF tak bermaksud demikian.

Semenjak kejatuhan Soeharto pada Mei 1998, pemerintahan yang baru masih dalam bayang-
bayang IMF. Setidaknya sejak 1997 hingga 2003, Indonesia sudah meneken 26 kali LoI
dengan IMF. Hingga Desember 2003, Indonesia memtirto.id - Ekonomi)

B. PENINGKATAN ULN DAN PDB DARI MASA KEMASA

Utang dari Zaman Soeharto hingga Jokowi, Mana Paling besar?

Jakarta - Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah pusat periode Juli 2018
tercatat Rp 4.253,02 triliun. Rasio utang pemerintah ini berada pada level 29,75% terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menyebut utang yang dimiliki pemerintah
merupakan warisan dari masa lalu. Lantas, bagaimana perbandingan utang pemerintah yang
dipimpin Presiden Jokowi saat ini dengan pemerintahan sebelumnya?

Bila dibandingkan dengan rasio utang di era Presiden Soeharto, rasio utang saat ini terlihat
lebih terkendali. Namun sejatinya, kondisi utang di era Soeharto dan Jokowi sangat jauh
berbeda.

Dari catatan detikFinance, rasio utang di era Soeharto mencapai 57,7% terhadap PDB. Pada
1998 lalu, utang pemerintah berada di kisaran Rp 551,4 triliun, sementara PDB berada di
kisaran Rp 955,6 triliun.

Kemudian di era BJ Habibie, rasio utang terhadap PDB melambung tinggi. Saat itu, utang di
era Habibie sekitar Rp 938,8 triliun, sementara PDB Rp 1.099 triliun. Sehingga rasio utang
terhadap PDB berada di level 85,4%.
Baca juga: Sri Mulyani Sebut Utang Rp 400 T Warisan Masa Lalu, Benarkah?

Rasio utang itu pun mulai mengalami penurunan di era Presiden KH Abdurrahman Wahid
atau yang akrab disapa Gusdur. Saat itu, rasio utang pemerintah turun tipis menjadi 77,2%. Di
mana utang pemerintah sebesar Rp 1.271 triliun dan PDB Rp 1.491 triliun.

Di era Presiden Megawati Soekarnoputri, rasio utang kembali mengalami penurunan. Utang
saat era Megawati sebesar Rp 1.298 triliun, sementara PDB Rp 2.303 triliun. Sehingga rasio
utang saat itu 56,5% terhadap PDB.

Kemudian di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, nilai utang meningkat lebih
dari dua kali lipat jadi sebesar Rp 2.608 triliun. Walau nilai utang meningkat dua kali libat,
namun nilai PDB saat itu juga mengalami peningkatan yang lebih tinggi.

PDB di era SBY mencapai Rp 10.542 triliun atau meningkat berkali-kali lipat dibanding era
sebelumnya. Dengan begitu, rasio utang juga hanya sekitar 24,7% terhadap PDB. Rasio utang
itu tercatat jadi yang paling rendah hingga saat ini.

Terakhir di era Presiden Jokowi saat ini, utang pemerintah pusat periode Juli 2018 tercatat Rp
4.253,02 triliun atau tumbuh 12,51% secara year on year (yoy). Rasio utang terhadap PDB
yang saat ini mencapai sekitar Rp 14.000 triliun tercatat 29,74%.

DID YOU KNOW? HUTANG LUAR NEGRI DI INDONESIA PER AKHIR AGUSTUS
2019 NAIK 8,8% SEBESAR US$ 393,5 MILIAR ATAU SEKIRA RP. 5.553,5
TRILIUN. (sumber cnbcindonesia.com 15 November 2019).

Tentunya ini menjadi hal yang sangat sensitif di kalangan masyarakat. Jika mengetahui
hutang luar negeri dari masa ke masa hutang luar negeriindonesia mengalami kenaikan dan
kemunduran. Namun di beberapa akhir tahun inihutang luar negri Indonesiaselalu mengalami
kenaikan, terbilangdari tahun 2009 hingga 2019. Berikut perkembangan hutang luar negri
indonesia di hitung dalam US$.
Sumber : tirto.id

Disertai dengan pertumbuhan PDB ( Produk Domestik Bruto) di Indonesia disetiap tahunnya

Sumber : Badan Pusat Statistik

Adapun sejarah hutang luar negeri Indonesia dari era Soeharto sampai dengan Jokowi
adalah :

1. Soeharto mencapai 57,7% terhadap PDB. Pada 1998 lalu, utang pemerintah berada di
kisaran Rp 551,4 triliun, sementara PDB berada di kisaran Rp 955,6 triliun.
2. BJ Habibie, rasio utang terhadap PDB melambung tinggi. Saat itu, utang di era
Habibie sekitar Rp 938,8 triliun, sementara PDB Rp 1.099 triliun. Sehingga rasio
utang terhadap PDB berada di level 85,4%.
3. KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gusdur. Saat itu, rasio utang
pemerintah turun tipis menjadi 77,2%. Di mana utang pemerintah sebesar Rp 1.271
triliun dan PDB Rp 1.491 triliun
4. Megawati Soekarnoputri, rasio utang kembali mengalami penurunan. Utang saat era
Megawati sebesar Rp 1.298 triliun, sementara PDB Rp 2.303 triliun. Sehingga rasio
utang saat itu 56,5% terhadap PDB
5. Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, nilai utang meningkat lebih dari dua kali lipat
jadi sebesar Rp 2.608 triliun. Walau nilai utang meningkat dua kali lipat, namun nilai
PDB saat itu juga mengalami peningkatan yang lebih tinggi yaitu Rp 10.542 triliun
atau meningkat berkali-kali lipat dibanding era sebelumnya. Dengan begitu, rasio
utang juga hanya sekitar 24,7% terhadap PDB. Rasio utang itu tercatat jadi yang
paling rendah hingga saat ini
6. Presiden Jokowi saat ini, utang pemerintah pusat periode Juli 2018 tercatat Rp
4.253,02 triliun atau tumbuh 12,51% secara year on year (yoy). Rasio utang terhadap
PDB yang saat ini mencapai sekitar Rp 14.000 triliun tercatat 29,74%.
Sumber : detikfinance.com

Dalam suatu negara berhutang merupakan hal yang wajar dan dilakukan oleh semua negara
dalam membangun negara yang lebih maju, adapun hutang luar negeri yang pemerintah pusat
lakukan tidak lain adalah untuk menaikan kualiatas pendidikan, kesehatan dan infastruktur
yang sedang terjadi perbaikan lebih produktif serta efeknya terasa di masyarakat ini- Sri
Mulyani melalui laman tirto.id

Namun, apakah hutang luar negeri Indonesia ini bisa terbilang baik baik saja? Adakah faktor
negatif dari hutang luar negeri ini? Bagaimana nasib Indonesia di beberapa tahun kedepan?
Mampukah Indonesia membayar sejumlah hutang tersebut disertai dengan bunga yang setiap
tahunnya bertambah?

Utang Indonesia Capai Rp 5.000 Triliun,


Sudah di Level Bahaya?

Pertumbuhan Utang Luar Negeri Indonesia 2019


Liputan6.com, Jakarta - SVP Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia, Ryan Kiryanto,
menjelaskan [utang](https://www.liputan6.com/bisnis/read/4063766/naik-10-persen-utang-
luar-negeri-indonesia-jadi-rp-5542-triliun?source=search "") Indonesia yang mencapai Rp
5.000 triliun kerap dianggap negatif. Padahal, menurutnya, nilai tersebut masih jauh dari kata
bahaya.

"Masyarakat kerap khawatir karena melihat nilai utang yang mencapai Rp 5.000 triliun dan
dianggap berbahaya, ini yang salah persepsinya," ujarnya saat ditemui di Labuan Bajo, Senin
(9/12).

Ryan menjelaskan batas rasio utang yang diizinkan ialah sebesar 60 persen dari produk
domestik bruto (PDB), di mana posisi Indonesia saat ini baru sekitar 29 persen.

"Rasio utang asing 29 persen masih bagus. Karena threshold-nya 60 persen," imbuhnya.

Baca Juga

 Begini Kondisi Utang Luar Negeri Indonesia hingga Kuartal III


 Utang Luar Negeri Indonesia di Agustus 2019 Capai USD 393,5 miliar
 Bank Dunia Sebut Utang Indonesia Masih Level Wajar

Dia mengakui, jika dilihat secara nilai, memang angka Rp 5.000 triliun terlihat besar. Namun,
jika dibedah lebih dalam, dalam utang itu memiliki tenor variatif, mulai 5 tahun bahkan
sampai 30 tahun.

"Apalagi revenuenya salah satunya dari perusahaan-perusahaan dalam ekonomi kita


mencapai Rp 15.000 T. Apalagi Bank Indonesia ngawal terus. Maka no worries," tuturnya.

Ryan menambahkan surat utang Indonesia juga sebenarnya masih dominan dipegang oleh
domestik. Di mana, surat utang sebagian komposisinya dipegang oleh perbankan.

Bukan oleh asing seperti yang saat ini lebih ramai diketahui oleh masyarakat. "Yang
memegang surat utang Indonesia masih domestik, sebagian darinya perbankan buku III dan
IV," tutur dia.

Reporter: Harwanto Bimo Pratomo

Sumber: Merdeka.com
C. PEGERTIAN PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB)

Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi
oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB merupakan salah satu metode untuk
menghitung pendapatan nasional.

Dalam bahasa internasional Produk Domestik Bruto (PDB) disebut juga Gross Domestic
Product (GDP).

Menurut para ahli, PDB juga dapat diartikan bahwa jumlah produksi baik barang atau jasa
yang telah dihasilkan oleh unit produksi di suatu daerah pada saat tertentu.

Maka PDB dapat dijadikan alat ukur atas pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Menurut Sadono (2010:34)

Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang
diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu. PDB menghitung hasil
produksi suatu perekonomian tanpa memperhatikan siapa pemilik faktor produksi tersebut.

Menurut Prasetyo (2011:28)

Produk Domestik Bruto (PDB) adalah seluruh barang dan jasa yang dihasilkan atau
diproduksi oleh seluruh warga pada suatu wilayah negara yang bersangkutan dalam periode
tertentu.

Fungsi PDB

Sebagai indikator pengukuran pertumbuhan ekonomi, produk domestik bruto (PDB) memiliki
beberapa fungsi seperti berikut:

1. Perekonomian Domestik (batas wilayah negara)

PDB memiliki fungsi untuk mengukur sejauh mana kebijakan ekonomi yang diterapkan
pemerintah maupun mendorong aktivitas perekonomian domestik. Batas wilayah untuk
perhitungan PDB ini adalah Negara.

Baca Juga : Contoh Surat Pengunduran Diri

2. Konsep Siklus Aliran (circulair flow concept)

Dalam hal ini perhitungan PDB dihitung berdasarkan konsep siklus aliram, yang mana
mencakup nilai produk yang dihasilkan pada periode tertentu.
Perhitungan ini tidak mencakup perhitungan pada periode sebelumnya. Pemanfaatan konsep
aliran dalam menghitung PDB memungkinkan seseorang untuk membandingkan jumlah
keluaran pada tahun ini dengan tahun sebelumnya.

3. Jumlah Nilai Tambah (value added)

PDB dihitung atas dasar jumlah nilai tambah yang dihasilkan seluruh aktivitas produksi di
dalam perekonomian.

Dalam hal ini, peningkatan PDB mencerminkan peningkatan balas jasa kepada faktor
produksi yang digunakan dalam proses produksi.

Komponen PDB

PDB atau Poduk Domestik Bruto memiliki 4 komponen, yang juga bisa dijadikan sebagai
rumus untuk menghitung PDB itu sendiri, komponen tersebut yaitu:

1. Konsumsi

Menghitung konsumsi dari individu maupun rumah tangga untuk beberapa jenis barang
seperti:

 Service yaitu konsumsi untuk jasa. Misalnya (jasa dokter)


 Non-Durable Goods yaitu barang yang langsung dikonsumsi dan habis manfaatnya. Misalnya
(pakaian, makanan, dan minuman, dll..)

 Durable Goods yaitu barang yang tidak cepat rusak yang memiliki umur relative panjang atau
minimal lebih dari 3 tahun. Misalnya (kendaraan, elektronik, dll…)

2. Investasi

Investasi memperthitungkan jumlah pembelian atas barang yang akan digunakan untuk
memproduksi barang dan jasa dimasa depan.

Pembelian barang yang merupakan investasi yaitu pembelian peralatan, bangunan, dan
persediaan.

3. Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah memperhitungkan semua pengeluaran yang dilakukan oleh


pemerintah lokal dan pusat untuk membeli barang dan jasa.

Misalnya untuk membayar gaji PNS. Akan tetapi pengeluaran pemerintah tidak termasuk atas
pemberian bantuan bagi masyarakat karena pengeluaran tersebut tidak menghasilkan barang
atau jasa.
4. Ekspor Bersih atau Ekspor Neto

Ekspor bersih memperhitungkan selisih antara pembelian barang produksi lokal oleh warga
negara asing (ekspor) dengan pembelian barang asing yang dilakukan oleh warga negara
lokal (impor).

Dan berikut rumus untuk menghitung PDB atau Produk Domestik Bruto :

PDB = C + I + G (X-M)

 Keterangan :

PDB = Produk Domestik Bruto

C = Konsumsi

I = Investasi

G = Konsumsi pemerintah

X = Ekspor

M = Impor

Contoh PDB
1. Jika suatu negara memiliki pendapatan nasional seperti tabel dibawah ini:

Maka hitunglah PDB dari negara tersebut!

Jawaban :

PDB = C + I + G (X-M)

PDB = 90.000.000 + 75.000.000 + 300.000.000 + (50.000.000 – 35.000.000)


PDB = 465.000.000 + 15.000.000

PDB = 480.000.000

Baca juga :

 Metode Pencatatan Piutang Akuntans


 Pengertian Pasar Monopoli

 Kurva Permintaan & Penawaran

 Pengertian kas, kecil, Rekonsilasi Bank

D. ALOKASI PEMANFAATAN UTANG LUAR NEGRI (ULN)

tirto.id - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengklaim kenaikan utang
pemerintah dalam dua tahun terakhir telah berdampak pada belanja negara yang sifatnya
lebih produktif serta langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Menurut Sri Mulyani, utang negara banyak digunakan untuk membiayai kenaikan anggaran
pendidikan dan kesehatan, begitu pun infrastruktur.

“Belanja perlindungan sosial naik hampir sembilan kali lipat. Dari yang tadinya sebesar Rp35
triliun di 2013-2014, menjadi hampir Rp300 triliun,” ungkap Sri Mulyani saat rapat dengan
Komisi XI DPR RI di Gedung Parlemen, Jakarta pada Senin (4/9/2017) siang.

Secara spesifik, Menkeu menyebutkan kalau anggaran pendidikan naik hingga mencapai
Rp427 triliun dari yang tadinya berkisar Rp200-300 triliun. Sementara untuk anggaran
kesehatan diklaim naik sebesar 81 persen.

Lebih lanjut, kenaikan anggaran juga dikatakan terjadi pada dana alokasi khusus (DAK) fisik
dan dana desa yang melonjak hingga 35 kali lipat.

Baca juga: Utang Membuat Yunani Terpuruk Membedah Utang Luar Negeri Indonesia

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu pun lantas menceritakan pengalamannya saat
pergi ke Ponggok, Klaten. Sri Mulyani mengklaim penggunaan dana desa di daerah tersebut
sukses, karena berhasil dipakai untuk merehabilitasi sawah, embung, kelas, jalan, perumahan,
hingga saluran air minum.

“(Pemaparan) ini untuk menjawab yang selama ini media atau dalam hal ini kadang-kadang
hoax, seolah-olah pemerintah tidak tahu ke mana utang itu pergi. Kami tahu baik secara
agregat maupun komponen,” ujar Sri Mulyani. Adapun Menkeu tidak menampik apabila
pemerintah jor-joran dalam menggunakan utang untuk membiayai pembangunan
infrastruktur. Sri Mulyani pun lantas mencontohkan penggunaan utang negara yang
menyokong pembiayaan konstruksi moda raya terpadu (mass rapid transit/MRT) Jakarta.

“Untuk MRT pinjamannya sebesar Rp24 triliun. Tapi itu bisa mengangkut 148 juta
penumpang per tahunnya. Total emisi kendaraan yang macet bisa diturunkan. Ini adalah
dampak positif dari investasi,” jelas Menkeu.

Tak hanya itu, Menkeu juga mencontohkan utang negara yang diperuntukkan bagi
pembangunan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.

Menkeu beranggapan utang negara senilai Rp4 triliun yang diinvestasikan dalam proyek
tersebut dapat mengairi 9 ribu hektar jaringan irigasi, serta pengamanan banjir untuk 14 ribu
hektar. “Maka masyarakat bisa menanam padi dalam dua kali dalam semusim tanam,” ujar
Sri Mulyani.

Seusai pemaparannya itu, anggota Komisi XI DPR RI Sarmuji justru mempertanyakan


tingkat keberhasilan dari utang yang digunakan sebagai belanja negara.

“Seharusnya rasio tidak bertambah apabila utang memiliki produktivitas. Belanja yang begitu
besar, tapi outcome-nya tidak besar, ini yang saya khawatirkan,” ucap Sarmuji.

Baca juga artikel terkait UTANG PEMERINTAH atau tulisan menarik lainnya Damianus
Andreas (tirto.id - Ekonomi) Reporter: Damianus Andreas Penulis: Damianus Andreas
Editor: Alexander Haryanto

Baca selengkapnya di artikel "Menkeu Paparkan Penggunaan Utang Negara",


https://tirto.id/cvXz

Lantas, dengan bertambahnya hutang luar negri dengan alasan sebagai berikut

1. Pendidikan naik dari 200-300T naik 427T (81%)

2. Kesehatan naik

3. Infrastuktur

4. Dana Alokasi Khusus (DAK) naik hingga 35 kalilipat

Telah memberikan output yang signifikan..?


kalai “IYA” bukti dari keempat data tersebut ada dimna... dan kalau “TIDAK”
kemnakan alokasi dana selama ini...

Anda mungkin juga menyukai