3 dari 4
tirto.id - Bank Dunia, institusi keuangan yang dibentuk pada 1944 atau
setahun menjelang Perang Dunia II berakhir, mencairkan dana tak
sedikit bagi Kerajaan Belanda pada 7 Agustus 1947. Sang presiden
Bank, John J. McCloy, setuju untuk memberikan pinjaman sebesar
US$195 juta dalam Proyek Rekonstruksi Pasca-Perang. Uang tersebut
diniatkan untuk pemulihan ekonomi dalam negeri yang porak poranda
karena perang.
Namun, tak semua dana itu dipakai untuk tujuan awal. Sebagian dari
dana segar tersebut digunakan untuk melancarkan serangan militer di
pelbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, salah satu bekas
koloninya. Dalam narasi resmi sejarah kita, periode ini dikenal sebagai
Agresi Militer I.
Dan itu hanya awal dari rentetan intervensi Bank Dunia—serta saudara
kembarnya Dana Moneter Internasional (IMF) terhadap Indonesia.
Meski secara de facto telah jadi bagian Bank Dunia dan IMF pada
pertengahan 1953 dengan dibakukan lewat Undang-undang Nomor 5
tahun 1954, tapi keterikatan ini tak memberi banyak keuntungan karena
orientasi ekonomi yang dibangun Sukarno. Indonesia jadi bagian IMF
dan Bank Dunia (dulu masih bernama International Bank for
Reconstruction and Development-IBRD) secara otomatis ketika
bergabung ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Salah satu pihak dari Indonesia yang tertarik dengan gagasan tersebut
adalah Menteri Keuangan Djuanda Kartawidjaja. Beberapa pejabat lagi
yang sepakat dengan gagasan itu antara lain Duta Besar Indonesia
untuk Amerika Serikat Zairin Zain; Gubernur Bank Indonesia Soemarno;
dan Menteri Perindustrian Dasar & Pertambangan Chairul Saleh.
Pada awalnya ia tak bersikap keras atas peraturan ini, meski sejak awal
Partai Komunis Indonesia, salah satu "kakinya" selain tentara,
menentang dengan keras. Sukarno masih mau membuka kesempatan
bagi pinjaman internasional manapun, termasuk IMF dan Bank Dunia,
sepanjang dibarengi syarat yang ketat dan tak mengikat.
Mimpi IMF ikut campur dalam ekonomi dan politik Indonesia baru
benar-benar pupus setelah Regulasi 26 Mei dicabut pada April 1964.
Hal ini disebabkan karena Sukarno marah terhadap "Barat" yang
mengizinkan "negara boneka Malaysia" berdiri. Dampaknya, dalam
penilaian Sukarno, IMF dan Bank Dunia adalah perwakilan "Barat" di
bidang ekonomi yang hendak mengacak-acak Indonesia.
Indonesia akhirnya resmi keluar dari IMF pada 17 Agustus 1965, tujuh
bulan setelah menanggalkan statusnya sebagai anggota PBB.
Pada 1967, atau dalam periode tahun pertama IGGI berdiri, Indonesia
sudah dapat pinjaman US$174 juta. Selain memberi dana segar, relasi
harmonis antara Indonesia-IGGI membikin utang Indonesia dikurangi.
Negara kreditur Barat sepakat untuk memoratorium utang Indonesia
hingga 1971 dan kembali diperpanjang hingga 1999. Ini adalah imbal
jasa bagi Suharto yang telah membuka keran investasi sebesar-
besarnya lewat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing.
Namun, apa yang diklaim sebagai "keajaiban Asia" ini berdiri di atas
pondasi yang rapuh.
Éric Toussaint, ilmuwan politik asal Belgia dalam The World Bank: A
Critical Primer (2007), menjelaskan bagaimana institusi-institusi
internasional ini, terutama Bank Dunia, bungkam meski tahu tak semua
pinjaman untuk belanja program, melainkan masuk ke kantong pribadi
para pejabat.
Tak kurang dari US$500 juta dikucurkan demi kesuksesan program ini.
Uang ini terutama dipakai untuk biaya pembangunan lokasi para
transmigran sekaligus biaya perjalanannya.
Ada 3,5 juta orang dipindah sejak Bank Dunia mengucurkan dana pada
1974, padahal sejak 1950-1974 jumlah transmigran tak lebih dari 664
ribu orang.
Bank Dunia juga tebal kuping ketika kritik terhadap pemerintah
Indonesia semakin masif di panggung internasional karena pelbagai
pelanggaran HAM. Setelah IGGI bubar pada 1992 karena tragedi Santa
Cruz di Timor Timur yang menyebabkan puluhan hingga ratusan sipil
tewas, Bank Dunia justru mendirikan Consultative Group on Indonesia
(CGI) sebagai gantinya.
Salah satu fase yang begitu diingat publik tentu saja ketika Michel
Camdessus, Direktur IMF, berdiri sambil bersedekap tangan melihat
Soeharto membubuhkan tanda tangan di dokumen Letter of Intent (LoI)
sembari duduk. Fotonya ada di buku-buku sejarah anak sekolah.
dari
Indeks Laporan