Anda di halaman 1dari 8

Diplomasi Jalur Sutra, Overheating Ekonomi dan Interdependensi Kompleks: Sebuah Observasi

Internal Atas Sebuah Modernisasi Peradaban


Wahyu Setiawan

Abstrak
Semenjak Open door policy di tahun 1985, ekonomi China terus tumbuh secara impresif secara year on
year (YoY). Model pertumbuha ekonomi china sendiri boleh dibilang hampir tanpa cacat. Namun disisi lain
model ekonomi China yang mengacu pada model ekonomi Keynesian sendiri juga memiliki beberapa
kelamahan mendasar. Kelemahan ini terletak dari kecendrungan munculnya malinvestasi, overheating,
yang kemudian diikuti oleh Minsky moment yang berujung pada crash. Dilema ini kemudian mendorong
perubahan pendekatan kebijakan luar negeri Beijing yang cendrung assertive menjadi jauh lebih soft headed
di era Xi Jinping. Perubahan ini ditujukan untuk mengakomodir sebuah skema penyelaman ekonomi baru
yang termaktub dalam new silk road diplomacy, yang membutuhkan sebuah pendekatan baru untuk
menciptakan sebuah interdependensi dan sebuah skema multilateralisme sebagai penampung spill over atas
liquiditas china.
Kata Kunci: Diplomasi Jalur Sutra, Complex Interdependency, Malinvestasi, Overheating
Pendahuluan, Diplomasi Jalur Sutra
Paska menjabat sebagai President China, Xi Jinping terus melakukan upaya untuk melakukan ekspansi bagi
peranan China pada level state-sysstem. Salah satu yang diinisiasi oleh Presiden xi adalah membangun
ulang kejayaan jalur sutra di era abad 21. Jalur Sutra sendiri merupakan jalan perdagangan kuno yang
dirintis semenjak tahun 206 sebelum masehi, diera Dinasti Han. Dimasa kegemilangannya jalur sutra
membentang sejauh lebih dari 6000 Km menghubungkan China dengan peradaban barat.1 Jalur Sutra
berfungsi sebagai transmission belt penting bagi penyebaran teknologi, pengetahuan, ideology kala itu.
Jalur Sutra juga berperan segnifikan bagi akselerasi pertumbuhan peradaban yang dilantasinya baik China,
Persia, Eropa, dan Sub kontinen India. Tidak hanya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, Jalur Sutra
menjadi sebuah platform bagi interaksi dan munculnya mutual understanding bagi Negara-negara yang
dilewatinya.
Secara garis besar Jalur Sutra dapat dibagi menjadi dua klaster besar yaitu land based Silk Road dan
maritime Silk Road. Jalur Sutra yang berbasis laut sendiri mulai dibangun pada abad pertama di Giao Chi.
Jalur ini menghubungkan peradaban China dengan kota-kota pelabuhan utama dibawah control kekaisaran
romawi di Mesir dan juga wilayah nabatean di sekitar Laut Merah melalui kota-kota pelabuhan di India
sebagai transit. Peran segnifikan inilah yang kemudian disadari china untuk kemudian dibangkitkan sebagai
platform untuk membawa china sebagai hi-income state. Diplomasi Jalur Sutra ini sendiri memiliki posisi
yang sangat segnifikan bagi Beijing, dimana Beijing secara intensif terus melakukan lobi-lobi bagi terhadap
Negara-negara yang akan dilewati. Hal ini dapat dilihat melalui turunnya langsung Presiden Xi dalam

Boulnois, Luce. 2005. Silk Road: Monks, Warriors & Merchants. Hong Kong: Odyssey Books..

Universitas Diponegoro | Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

menjalankan lobi-lobinya ke berbagai negara, tidak hanya terhadap Negara-negara mayor seperti India dan
Indonesia, namun juga terhadap negara-negara least developed Countries seperti Sri Lanka dan Maldive.
Di Indonesia, Presiden Xi sendiri bahkan langsung menyampaikan proposal terkait rencana pembangunan
Jalur Sutra ini langsung dihadapan parlemen. Tidak hanya itu bahkan untuk menggoalkan proposal ini, Xi
bahkan juga menawarkan mekanisme swap bagi Indonesia senilai 15 Milyar Dollar untuk merecover rupiah
yang sudah terdepresiasi sebesar 16 persen akibat quantitative easing. Tidak hanya mekanisme swap,
Beijing juga menyertakan paket investasi senilai 12 Milyar dollar dalam bentuk joint venture pembangunan
smelter dalam mendukung pemerintah Indonesia untuk menjalakan UU no. 4 Tahun 2009.2 Serangkaian
penawaran investasi ini membuah penawaran Beijing ini menjadi sangat sulit untuk ditolak oleh Jakarta
dan juga menjadi wujud keseriusan oleh Beijing.
Tidak hanya lobi-lobi secara poltis, china secara serius terus mempersiapkan infrastruktur pendukung bagi
rencana jalur sutra maritime. Beberapa proyek infrastruktur segnifikan yang dimulai Beijing antara lain
pembangunnan mid-point port di Srilanka. Dimana mid-point port ini berfungsi sebagai transit port bagi
merchant vessel yang berlayar dari China menuju Eropa maupun Afrika. Nilai proyek inipun bernilai lebih
dari 1,4 Milyar dollar yang nantinya juga akan didukung dengan sistem kelistrikan yang akan didukung
oleh pembangkit listrik sebesar 900MW yang juga akan dibangun China di utara Sri Lanka.3
Selain di Sri Lanka, Beijing melalui China Merchants Holding, co juga menjadi partner utama bagi Pelindo
II, sebuah perusahaan milik Negara, di Indonesia, dalam pembangunan pelabuhan container dan juga iron
ore di Tanjung Sawuh, Batam. Pelabuhan dengan kapasitas 4 Juta Teu dan 100 Juta ton Iron ore ini sendiri
diprediksi akan menelan investasi sebesar 2 milyar dollar dan akan selesai ditahun 2016.4 Lalu bagaimana
tujuan dari model baru diplomasi China yang mahal ini dan segnifikansinya terhadap Beijing dapat
dijelaskan secara teoritis? Sebuah upaya membangun konstruksi sebagai pemegang mandat surga? Ataukah
sebatas sebuah scenario penyelamatan?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, paper ini akan disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut. Pada
Bagian pertama kita akan melakukan sebuah observasi internal atas China dan modernisasi peradabanya
paska administrasi Pimpinan Xiaoping. Pada bagian Kedua kita akan melakukan sebuah analis terhadap
kelemahan substansial pada sistem ekonomi yang diterapkan oleh china, dan pada bagian terakhir kita akan
menganalisis bagaimana diplomasi jalur sutra menjadi sebuah skema penyelamatan atas modenisasi
peradaban china
A Godot?
Dalam peradaban China kita akan menemukan sebuah konsep bernama Zhongguo, sebuah wujud
exceptionalisme dalam peradaban China. Konsep ini mengkonstruksikan China sebagai Negara tengah,
sebuah peradaban superior didunia.5 Dan hal inilah yang kemudian menjadi alasan bagaimana China
kontemporer begitu assertive dalam memperjuangkan interestnya di Laut China Selatan. Dan ketika kita
mengacu pada teori exceptionalisme dalam perspektif psikologi maka kecendrungan ini akan terus naik,

China's Xi to give first speech by foreign leader to Indonesia parliament. Thompson Reuters. 2 Oktober 2013.
diakses pada 5 oktober 2014
3
China's About To Launch Construction Of A New $1.4 Billion Port City. Business Insider. 16 September 2016.
Diakses pada 5 Oktober 2014
4
China Merchants to help build Indonesia port. Market Watch. 27 Juni 2012. Diakses Pada 5 Oktoer 2014
5
Hui, Victoria Tin-Bor.2007. War and Historical China: Problematizing Unification and Division in Chinese History.
Singapore East Asian Institute

Universitas Diponegoro | Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

seiring trend hard power yang dimiliki china.6 Ditambah lagi eksistensi nasionalisme assertive yang muncul
di china modern paska abad penghinaan yang menolak segala realitas sebuah kerjasama dalam hubungan
antar negara.7 Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, kenapa china menjadi begitu ambivalent,
dan menjadi sebuah Negara softheaded yang seakan akan memposisikan dirinya sebagai godot dan menjadi
panacea bagi Negara-negara LDP? Kenapa kebijakan pendekatan diplomasi jalur sutra begitu bertentangan
dengan logic-logic dalam peradaban China dan juga paham komunisme-leninisme yang menyusun
kebijakan politik luar negeri Baijing
Observasi Internal
Chinese Modernization, an observation over doctrine
Paska berkuasanya Den Xiaoping dalam Communist Party of China, China mulai merubah kebijakan
dibidang ekonominya dari yang bersifat dogmatis isolasionis menjadi pragmatis inclusive. Perubahan ini
menghasilkan sebuah model ekonomi dengan apa yang disebut sebagai sosialis developmentalis. Sebuah
model yang menggabungkan nilai-nilai sosialis dengan nilai-nilai kapitalisme.8 Secara garis besar
sosialisme pembangunan china ini adalah apa yang saat ini kita sebut sebagai eksperimentalism Keynesian.
Hal ini ditandai dengat kecendrungan kebijakan moneter dan fiscal yang mengacu pada nilai-nilai Keynes,
seperti pemberlakuan open door policy, dual-track interest rate, moneterisme pasar bebas, investasi yang
massive disektor infrastruktur, serta bagaimana spending menjadi mantra dalam sistem ekonomi china.
Merski sukses menghantarkan China menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua didunia, model ekonomi
ini memiliki sebuah kelemahan mendasar.
Austrian School Critics
Stagflasi di awal decade 70an menjadi akhir dari kejayaan Keynesian economic pada rezim moneter
internasional dan mengakhiri The Golden Ages of Capitalism, salah satu factor yang menyebabkan
kejatuhan rezim Keynesian economic ini adalah kritik dari Frederick Hayek atas Keynesian economis
terkait apa yang mereka sebut sebagai malinvestasi.9 Malinvestasi sendiri sebuah konsep Austrian Business
Cycle dimana pada kondisi tertentu Keynesian economic cendrung untuk mengakibatkan investasi yang
tidak tepat sasaran. Secara garis besar hal ini diakibatkan oleh dua hal, yang pertama adalah pemberlakuan
dual-track interest rate, yang memastikan rendahnya likuiditas yang terparkir di sektor perbankan, serta
memastikan business cycle untuk terus berputar akibat rendahnya bunga bank, namun tetap memasang
bunga obligasi pada angka keekonomisan.10 Factor yang kedua adalah overheating, yaitu kecendrungan
dimana masyarakat cendrung menjadi sangat konsumeris pada produk-produk tertier seperti properti
mewah yang tidak dapat diimbangi oleh sektor manufaktur. Kedua factor inilah yang kemudian
menimbulkan investasi yang membabi buta tanpa memperhatikan return on investment. Kecendrungan
seperti inilah yang dipahami oleh Beijing akan menjadi sebuah bahaya latent yang berpotensi menimbulkan
eskalasi inflasi dan juga bubble khususnya disektor property dan berakhir dengan apa yang disebut Hyman
6

William R. Canton, Riley Dunlap.1978. Environmental Sociology: A New Paradigm. Washington D.C: The American
Sociologist Journal. Hal 42
7
Whitting S. Allen.1983. Assertive Nationalism in Chinese Foreign Policy dalam Asian Survey Vol 23 No.8 California:
University of California Press
8
Tisdall, Glem, 2009. ECONOMIC REFORM AND OPENNESS IN CHINA: CHINAS DEVELOPMENT POLICIES IN THE
LAST 30 YEARS dalam economics analysis & Policy. Queenslang: Australian Economics Society
9
Glyn, Andrew.1988. The Rise and Fall of The Golden Age Cambridge: World Institute for Development Economics
Research of The United Nations University
10
He, Dong. 2011. Dual-track interest rates and the conduct of monetary policy in China: Helsinki: Bank of Finland,
Institute for Economies Transition

Universitas Diponegoro | Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Minsky sebagai Minsky Moment, sebuah kondisi dimana kenaikan segnifikan atas nilai investasi dan juga
spekulasi penggunaan kredit pada moment tertentu akan mengakibatkan collapsenya nilai asset, yang pada
akhinya secara sistemik dapat mentrigger sebuah financial crisis. 11 Berangkat dari kritik ini kami mencoba
menganalisis makroekonomi China untuk menemukan rasionalisasi atas model diplomasi yang mahal ini.
Untuk itu kami menganalisis hal ini melalui teori interdepensi kompleks nye, pemilihan ini didasari atas
pemahaman bahwa kondisi market/sistem ekonomi internasional yang semakin terintegrasi melalui skema
free trade.
Malinvestasi, dan Economic Overheating
Overheating akibat peningkatan demand akan consumer & luxury good di China sendiri merupakan sebuah
fenomena yang boleh dibilang unavoidable. Dimana hal ini dibentuk akibat pergeseran culture yang
mengarah pada ekonomi berbasis pada sektor manufacture yang menawarkan lebih banyak kesejahteraan
dan daya beli. Peningkatan ini secara segnifikan merubah life style dalam masyarakat China kedalam dua
buah kecendrungan yang membahayakan. Yang pertama adalah kecendrungan munculnya trend investasi
secara massf yang dilakukan oleh masyarakat china di sektor property. Demand yang tinggi atas produk
investasi inilah yang kemudian mendorong kenaikan harga secara massive atas nilai investasi,
kecendrungan ini menjadi sangat berbahaya mengingat dalam konteks ini terdapat sebuah apresiasi nilai
berlebih didalam market. Kecendrungan ini menimbulkan seseorang menjadi cendrung untuk lebih berani
mengajukan pinjaman untuk melakukan pembelian pada sektor property. Trend ini berkembang secara
massive didukung oleh pemberlakuan dual-track interest rate, yang memungkinkan masyarakat menjadi
lebih mudah mendapatkan kredit. Kecendrungan yang kedua adalah kecendrungan perilaku konsumtif dan
obsesif pada barang-barang kebutuhan yang bersifat tersier. Kedua kecendrungan ini mengakibatkan
terjadinya inflasi, akibat demand yang tidak dapat dipenuhi oleh supply.
Figur 1. Pertumbuhan Penjualan Barang Mewah di China Secara Year on Year (YoY)12
Tahun
Pertumbuhan YoY dalam %

2009-2010
27%

2010-2011
30%

Pada sektor property, inilah yang mengakibatkan begitu banyaknya property yang tidak dihuni, dan menjadi
sebuah kota kosong yang lazim disebut Ghost City. Fenomena overheating inilah yang kemudian
mengakibatkan apa yang kita sebut sebagai malinvestasi. Dimana dalam konteks ini terjadi sebuah
kesalahan mendalam apabila dilihat melalui teori business cycle dalam Keynesian economic, yaitu
paradigma property tidak lagi berfungsi sebagai hunian yang mendukung sebuah peradaban yang disisi lain
menjadi instrumen investasi, menjadi murni hanya sebagai alat investasi. Pergeseran paradigma ini dapat
dilihat melalui rasio harga dan pertumbuhan harga terhadap income level pada titik ekstrim di berbagai kota
china, serta rasio hutang.

11

Galbraith, James.2009. The Generalized Minsky Moment. Austin: LBJ School of Public Affairs
________________. 2013. Luxury market in China: Huge growth potential ahead.Hongkong: The Fung Business
Intelligence Centre
12

Universitas Diponegoro | Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Figure 2: Rasio harga rumah terhadap household income

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa rasio harga property terhadap annual income rumah tangga di kota
kota china jauh lebih tinggi dibandingkan rasio dari kota-kota besar dunia lainnya, bahkan bisa mencapai
300% lebih tinggi.13 Chart diatas secara general mengisyaratkan adanya sebuah kondisi dimana tingginya
demand, perilaku speculative, serta informasi asimetris yang mendorong kenaikan harga property di china.
Lalu apakah ini mengisyaratkan sebuah bahaya? Untuk mengetahui segnifikasi trend ini terhadap potensi
bahaya yang ditimbulkan, maka kita harus melihat rasio hutang rumah tangga, dan pemerintah terhadap
GDP. Berikut profil dan struktur hutang china
Figure 3: Profil hutang China
Indikator

GDP

Nilai
8.017
Sumber: Standard Chartered

Debt/GDP

5-Yr debt
growth

2015
debt/GDP
est

214%

21%

269%

5yr Cedit
Growth less
GDP
Growth
(BPS0
609

5yr Credit
Groth/GDP
Growth

140%

13

Materi Presentasi Frank Veneroso. China: Solow, Minsky. Dipresentasikan pada 26-27 November 2012 dalam
Hymen P. Minsky Conference in Financial Stability Debt, Deficits, and Unstable Market, Berlin

Universitas Diponegoro | Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Dari kesemua indicator diatas menurut Standard Chartered sudah berada pada posisi yang memiliki
kecendrungan stress yang sangat tinggi.14 Pada kondisi ini Investasi seperti diatas dapat diklasifikasikan
sebagai sebuah ancaman bagi model ekonomi Keynesian yang menekankan proses spending untuk
menggenjot business cycle. Fenomena seperti ini pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya
pengumpulan capital. Pengumpulan capital ini berpotensi mentrigger perlambatan demand atas beberapa
komoditas akibat penumpukan capital, yang tidak dikembalikan ke business cycle. Hal ini kemudian
semakin memperparah perlambatan ekonomi akibat penurunan demand dari market konventional China
seperi Eropa dan Amerika Serikat. Perlambatan ini akan terlihat begitu terasa pada sektor industry dasar
seperti baja dan alumunium yang juga berfungsi sebagai indicator pertumbuhan sebuah peradaban. Tahun
2014 sendiri menjadi sebuah setback besar dalam industri metalurgi China. Setelah tumbuh secara
mengakumkan dari semula hanya mampu memproduksi dua kali output produksi Jepang di tahun 2003
menjadi hampir 7 kali lipat di tahun 2011. Pertumbuhan massive ini menempatkan China sebagai supplier
bagi 50% pangsa pasar baja dunia, dengan hanya memproduksi pada level 70% dari keseluruhan kapasitas
terpasang. Angka yang massif ini sendiri dibutuhkan dalam konteks untuk melakukan modernisasi terhadap
peradaban china yang termaktub dalam 4 program modernisasi.
Namun perlambatan ini dalam tiga tahun ini sendiri telah secara dramatis menurunkan harga baja dunia
dari harga dikisaran 2600 USD per ton di tahun 2011 turun ke posisi 1700 USD per ton di tahun 2014.15
Hal ini tentu menjadi dilema tersendiri, mengingat tentunya hal ini berimplikasi pada efisienitas produksi,
serta semakin lamanya industry untuk mencapai return on investment, yang tentunya menimbulkan
uncertainty pada investor. Failure ini kemudian demendorong kebijakan penghentian ekstensifikasi
kapasitas produksi baja dan alumunium pada deember 2013, oleh presiden Xi Jinping. Gambaran ini
merupakan sebuah gambaran dari suatu dilema yang jauh lebih besar lagi, disatu sisi china harus terus
menjaga pertumbuhan ekonomi, dan menggerakkan business cycle namun disisi lain china harus
menerapkan langkah strategis untuk menghindarkan diri dari dilema overheating economy serta potensi
mal investasi. Lalu bagaimana china dapat mengatasi dilema ini?
Eksplorasi non-tradisional market, Complex Interdependency, dan Skenario Penyelamatan
Salah satu shortcut untuk mengatasi dilema ini adalah melakukan investasi ke overseas. Investasi di
overseas memiliki beberapa advantages yang dapat menyelamatkan ekonomi china. Yang pertama adalah
china akan tetap memiliki kesempatan untuk menggerakkan business cycle secara cepat melalui investasi
khususnya berbasis infrastruktur, yang kedua skema yang dilakukan di overseas tidak mengakibatkan
terlalu banyaknya likuiditas yang bergerak di market domestik, dengan rendahnya likuiditas yang bergerak
di market domestic, maka hal ini akan dapat menghindarkan china dari bahaya inflasi yang lebih parah
akibat terjadinya overheating/penumpukan likuiditas yang salah satu faktornya adalah surplus perdangan
(Figue 4). Dimana surplus perdagangan china sendiri di tahun 2013 tercatat sampai dengan 45,4 Milyar
USD, atau naik 46,5% YoY.16

14

Man, David, 2013.Asian Leverage Uncovered. Singapore: Standard Chartered


Yuzo Waki. China pays dearly for overinvestment. Nikkei Asian Review. Asia.nikkei.com. 22 may 2014. Diakses
pada 17 November 2014
16
China Balance of Trade. Trading Economics.com. Updated 18 November 2014. Diakses pada 18 November 2014
15

Universitas Diponegoro | Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Figure 4: Neraca Perdagangan China

Untuk itulah dalam konteks ini Beijing memerlukan sebuah skema integrasi market, untuk mendukung
pengimplementasian model business cycle Keynesian yang dimiliki oleh china pada level yang lebih tinggi,
yaitu pada level state-system untuk menghadapi dilema ini. Yang menjadi pertanyaan kemudian bagaimana
menciptakan sebuah interkonektivitas market untuk mendorong model business cycle milik Keynes di
tengah rezim moneter yang dikuasai oleh paham pemikiran neo-classic? Hal ini mungkin akan sulit
diimplementasikan ketika kita memakai pendekatan rasionalis konventional. Untuk itulah dalam paper ini
kami mencoba memahami hal ini melalui salah satu pemikiran neoliberalisme dalam hubungan
internasional yaitu complex interdependency. Dimana konsep ini kami lihat mampu menjelaskan
bagaimana china cendrung melakukan diplomasi secara softheaded untuk mencapai long-term gain tanpa
penggunaan military diplomacy, melalui berbagai channel interaksi interstate. Landasan teori inilah yang
menjelaskan China menjadi cendrung pluralis, softheaded, dan sensitive dimana salah satu contohnya
adalah bagaimana Beijing menjadi sensitive dan memahami posisi Indonesia sebagai fragile five yang
mengalami depresiasi nilai mata uang pasca quantitative easing, yang kemudian diikuti sebuah mekanisme
swap.17Gagasan ini kemudian diaplikasikan kedalam tiga grand strategy terpisah, yang pertama adalah
scenario revisionis terhadap rezim moneter internasional melalui pembentukan skema multilateralisme
untuk pooling dan swap, yang dapat kita lihat dalam keterlibatan China dalam Chiangmai Initiative, dan
BRICS Bank. Skenario kedua adalah membangun interkonektivitas market, melalui interkonektivitas
infrastuktur, budaya, dan sense of belonging. Scenario kedua inilah yang menjadi center of gravity dalam
kajian kami kali ini, mengingat scenario kedua inilah yang menjadi core dari skema penyelamatan ini yang
kemudian diimplementasikan dalam china go out policy. Salah satu model go out policy ini adalah new
17

Hendri Saparini. Kenapa Indonesia Disebut Fragile Five?. Kontan.co.id. 28 Maret 2014. Diakses pada 18
November 2014

Universitas Diponegoro | Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

maritime silk road. Maritime silk road sendiri merupakan sebuah konstruksi go out policy yang bertujuan
untuk mengeksplorasi negara-negara LDP/Unconventional market di Afrika. Lalu kenapa Africa? Hal ini
dikarenakan esensi dari scenario penyelamatan ini adalah mencari space investasi yang masih memiliki
ruang yang cukup besar untuk berkembang. Paska runtuhnya market eropa, market Afrika menjadi market
yang sangat menarik dan belum tergarap. Dengan masih banyaknya infrastruktur dan market yang belum
digarap, maka hal ini memberikan china kesempatan untuk menginvestasikan nilai surplus perdaganganya,
sehingga tidak mengherankan proyek maritime silk road ini lebih menekankan pada pengembangan sektor
infrastruktur. Ketika ditelaah lebih lanjut secara konseptual new maritime silk road merupakan modernisasi
jalur sutra di awal-awal masehi yang tidak hanya berfungsi sebagai transmission belt bagi perdagangan
namun juga sphere of influence. Dimana ketika kita mengacu pada konsep jalur sutra kuno, maka kita akan
melihat sebuah interdependensi complex yang dibangun melalui pendekatan soft-headed hegemonic, lebih
mampu memberikan sebuah traksi terhadap akselerasi perdagangan ekonomi. Selain itu pendekatan ini juga
menawarkan sphere of influence yang lebih lebar, serta tingkat kesuksesan yang lebih baik untuk
menyelesaikan masalah makroekonomi china yang kompleks dan didominasi oleh malinvestasi, dan juga
potensi bubble yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan crash yang berakhir dengan terjadinya financial
crisis.
Disisi lain kami juga melihat alasan lain kenapa china cendrung memilih membuat sebuah pattern hubungan
dalam scenario penyelamatannya lebih menggunakan interdependensi kompleks. Hal ini kami nilai sebagai
keengganan Beijing untuk membentuk front ketegangan baru dengan Negara tetangganya, apabila
menggunakan pendekatan koersif untuk membangun skema penyelamatan ini. Dimana kami menilai
skenario ini terlalu berharga untuk dilaksanakan melalui langkah spekulatif instan yang cendrung beresiko
memunculkan interupsi, melalui penggunaan model diplomasi berbasis koesif. Mengacu pada pemikiran
Lisa Martin inilah alasan kenapa dalam konteks ini China sebagai sebuah negara yang assetif cendrung
mengorbankan fleksibilitas diplomacy dan menolak skema jangka pendek untuk mendapatkan long-term
gain berupa market baru.18
Simpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka kita akan menemukan sebuah simpulan, dimana Diplomasi Jalur
Sutra Presiden Xi merupakan sebuah scenario penyelamatan ekonomi China dari potensi overinvestment
dan malinvestasi. Dimana hal ini merupakan bagian dari sebuah grand design China untuk melepaskan diri
dari middle income trap, dan juga diversivikasi basis ekonomi untuk menjamin sustainabilitas pertumbuhan
dimasa yang akan datang. Dimana skema ini merupakan perwujudan dari wacana perubahan orientasi
kebijakan luar negeri Beijing yang dikemukakan oleh PM Wen Jiabao pada medio 2014. Disamping itu hal
ini merupakan sebuah scenario untuk mencari alternative market pengganti the west dan juga lahan baru
investasi bagi china, sehingga melalui scenario ini mampu mengembalikan ekonomi china kembali ke trend
pertumbuhan dikisaran 9-10% secara YoY. Diplomasi jalur sutra ini sendiri merupakan sebuah pendekatan
yang outstanding melalui konsep complex interdependency. Membangun sebuah interkonektivitas melalui
penekanan diplomasi multi-channel yang lebih soft-headed, fleksibel dan lebih berorientasi pada long-term
gain, yang kemudian menjadi sebuah perwujudan dari go out policy, yang kemudian diterjemahkan secara
cerdas oleh Presiden Xi kedalam sebuah scenario sistematis, yang secara simultan diimplementasikan
bersama dengan diplomasi pooling dan swap untuk mewujudkan sebuah environment bagi sistem moneter
internasional untuk memberikan sebuah sistem ekonomi yang lebih baik.

18

Martin, Lisa.1992. Interests, Power, and Multilateralism, dalam International Organization, Vol.46 No.4.
Messachucette: MIT Press hal 768

Universitas Diponegoro | Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Anda mungkin juga menyukai