Anda di halaman 1dari 20

PENGARUH KEBIJAKAN BELT AND ROAD INTIATIVE RRT

TERHADAP PEMBANGUNAN GLOBAL


Sebagai pemenuhan tugas Ekonomi Politik Global

Dosen Pengampu
Azza Bimantara, M.A

Disusun oleh

1. Nizar Hafizh Hanan (202110360311078)


2. Putri Vioni Sintya Devi (202110360311324)
3. Muhammad Supratman (202110360311325)
4. Marwaatus Sholiha Ismail (202210360311115)
5. Adam Keylan Kurniawan (202210360311249)

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
MALANG
2023
Latar Belakang

Presiden Tiongkok, Xi Jinping, menggagas Inisiatif Belt and Road (BRI) pada tahun 2013
sebagai bagian dari kebijakan luar negeri Tiongkok. Inisiatif ini mencerminkan upaya Tiongkok
untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antarbenua dan membentuk jalur perdagangan yang
menghubungkan Tiongkok dengan Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika, dan Eropa barat. Dalam
visinya, kerja sama ini akan memperkuat fondasi Tiongkok dalam berinteraksi dengan dunia
secara ekonomi.
Berdasarkan penyataan dari Presiden Tiongkok tersebut dapat digambarkan bahwa
kebijakan BRI bukan hanya sekadar kerja sama antarnegara saja tetapi Tiongkok ingin
memperkuat pengaruh budaya, ekonomi, dan politik di wilayah negara yang dilalui oleh proyek
BRI ini. Dengan begitu, Tiongkok dapat menjalankan kepentingan nasional Tiongkok. Tiongkok
memulai program Belt and Road Initiative pada tahun 2013 yang berfokus pada agenda proyek
terbesar dari interkoneksi antara Asia, Eropa, dan Afrika yang akan berlangsung selama beberapa
dekade dan memerlukan sejumlah sumber daya dan melibatkan kolaborasi multilateral besar.
BRI dirancang untuk menjadi proyek infrastruktur global yang melibatkan jalur darat
(Silk Road Economic Belt) dan jalur laut (21st Century Maritime Silk Road). Langkah ini
sekaligus menjadi cara bagi Tiongkok untuk mendukung kebangkitan ekonominya secara damai.
Melibatkan 2/3 populasi dan 3⁄4 sumber energi dunia, BRI menciptakan peluang kerja sama
ekonomi yang luas. Dengan target mencapai 4.4 miliar populasi di 67 negara, Tiongkok melihat
inisiatif ini sebagai langkah strategis untuk merangkul dunia dalam kerja sama ekonomi yang
saling menguntungkan.
Selain memperkuat posisi ekonominya, BRI juga menjadi instrumen untuk membantu
Tiongkok meraih dukungan global dan meningkatkan keterbukaan negara tersebut terhadap pasar
internasional. Dengan menginvestasikan lebih dari $1 triliun dalam pembangunan infrastruktur
dan investasi asing selama 10 tahun, Tiongkok di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping
berusaha membangun pondasi yang kokoh untuk menghadapi tantangan dan peluang dalam era
globalisasi ekonomi. Selama satu dekade terakhir, Tiongkok telah menggunakan apa yang disebut
Belt and Road Initiative (BRI) untuk menciptakan hubungan yang lebih baik melalui pinjaman
infrastruktur besar-besaran. Hampir 150 negara telah berpartisipasi. (Anam, n.d.)
BRI terdiri dari 2 komponen utama yaitu the Silk Road Economic Belt dan the 21st
Century Maritime Silk Road. Silk Road Economic Belt sebagai jalur darat bertujuan
menghubungkan provinsi tertinggal bagian barat Tiongkok dengan Eropa melalui Asia Tengah.
Sedangkan the 21st Century Maritime Silk Road sebagai rute laut bertujuan menghubungkan
provinsi pesisir Tiongkok yang kaya dengan kawasan Asia Tenggara hingga Afrika melalui
pelabuhan dan jalur kereta api. (Peter Cai. (2017, Maret). Cai, Peter. "Memahami inisiatif sabuk
dan jalan Tiongkok." (2017).
Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang dibahas
dalam penulisan adalah sebagai berikut :
“Bagaimana pengaruh kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) Republik Rakyat Tiongkok
sebagai bentuk neo-merkantilis ?”

Tujuan Penelitian
Merujuk pada rumusan masalah peneliti menyimpulkan tujuan penelitian ini :
1. Menganalisis pengaruh kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) RRT dalam
pembangunan global.
2. Mengidentifikasi aspek-aspek neo-merkantilis RRT pada kebijakan Belt and Road
Initiative.

Batasan Penelitian
Batasan Materi
Pada penelitian ini penulis akan memaparkan analisis neo-merkantilis pada kebijakan

Belt and Road Initiative (BRI) yang dilakukan Tiongkok, membahas gambaran umum mengenai

Belt and Road Initiative (BRI) dalam mendorong pembangunan global melalui konektivitas

inrfastruktur, melihat proteksionisme yang di lakukan Tiongkok, peningkatan industri melalui

promosi industri berkembang yaitu kerjasama kereta cepat Jakarta-Bandung, pengaruh sektor

pendidikan dalam pengembangan BRI.

Batasan Waktu

Peneliti membatasi jangka waktu dilakukannya penelitian supaya tidak terlalu jauh dan
mempermudah peneliti dalam mengambil referensi yaitu pada tahun 2019-2023.

Kerangka Pemikiran
Dalam upaya untuk mengatasi permasalahan dalam penelitian mengenai inisiasi program
pembangunan infrastruktur yang ambisius oleh Tiongkok di era pemerintahan Xin Jinping,
penulis menggunakan kerangka teori sebagai alat analisis. Teori dalam konteks ini merupakan
kumpulan konsep yang saling terkait dan mengikuti aturan logika, membentuk pernyataan umum
yang dapat menjelaskan fenomena ilmiah (Mochtar Mas’oed, 1994) . Dengan demikian, teori
berfungsi sebagai wahana untuk memahami dan mengungkapkan alasan di balik inisiasi Belt and
Road Initiative (BRI) oleh Tiongkok dalam era pemerintahan Xin Jinping.
Untuk menguraikan fenomena yang sedang terjadi, peneliti akan memanfaatkan suatu
landasan teori yang dikenal sebagai Teori Neo Merkantilisme. Dengan menggunakan kerangka
teori ini, penulis dapat mengartikulasikan fleksibilitas permasalahan dan inti referensi secara
lebih terperinci melalui unit analisis yang relevan.
Teori Neo-Merkantilisme
Teori neo-merkantilisme merupakan suatu cabang teori yang berasal dari teori
merkantilisme, di mana istilah "merkantilisme" merujuk pada kata Merchant yang artinya
"pedagang." Konsep ini menegaskan bahwa setiap negara yang ingin mencapai kemajuan harus
terlibat dalam perdagangan internasional dengan negara-negara lain. Pada dasarnya, teori ini
menganjurkan agar suatu negara lebih fokus pada ekspor dibandingkan impor. Dengan demikian,
merkantilisme menyoroti peran sentral negara dalam kerangka perdagangan internasional.
Sementara itu, teori neo-merkantilisme merupakan pengembangan dari konsep merkantilisme dan
saat ini sering diterapkan dalam konteks perdagangan internasional yang lebih bersifat liberal

(SKRIPSI ANALISIS KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP TIONGKOK DI E

.
Menurut pandangan teori neo-merkantilisme, persaingan ekonomi antar negara dianggap
sebagai suatu “Zero Sum Game”, di mana keuntungan yang diperoleh oleh satu negara bersifat
saling mengimbangi dengan kerugian yang dialami oleh negara lainnya. Dalam kerangka ini,
perekonomian internasional dipandang sebagai arena persaingan yang intensif, dengan penekanan
lebih pada rivalitas daripada kerjasama antarnegara. Konsep ini merupakan pengembangan dari
teori merkantilisme yang lebih tradisional, di mana neo-merkantilisme mewakili suatu
pendekatan kebijakan ekonomi yang menekankan proteksi sebagai sarana utama untuk
melindungi dan mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Dalam hal ini, negara-negara
cenderung menerapkan kebijakan proteksionis seperti tarif dan hambatan perdagangan lainnya
untuk memastikan keunggulan ekonomi internal mereka. Pandangan ini menandai pergeseran
fokus dari kerjasama internasional menuju persaingan yang ketat, dengan keyakinan bahwa
perlindungan ekonomi nasional merupakan kunci utama untuk mencapai kesejahteraan dan
keunggulan dalam kancah global (Inayatul Bariah, 2020).
Banyak negara saat ini masih menerapkan prinsip neo-merkantilisme sebagai suatu bentuk
kebijakan ekonomi yang berfokus pada perlindungan dan peningkatan industri nasional. Praktik
ini melibatkan penerapan berbagai hambatan perdagangan, baik berupa Tariff Barrier (TB)
maupun Non-Tariff Barrier (NTB). Hambatan tarif diimplementasikan melalui Countervailing
Duty, bea anti dumping, dan biaya tambahan seperti Surcharge. Sementara itu, Non-Tariff Barrier
muncul dalam berbagai bentuk, seperti larangan, sistem kouta, peraturan kesehatan, atau
karantina (R. Falkner, 2011). Asal usul doktrin neo-merkantilisme dapat ditarik kembali ke abad
ke-19, ketika Amerika Serikat dan Jerman menjadi kekuatan ekonomi baru. Kedua negara ini
mendorong intervensi pemerintah dalam pembangunan ekonomi, menekankan peran sentral
negara dalam mendukung industri yang tertinggal. Era neo-merkantilisme ini, seringkali
dikaitkan dengan bangkitnya nasionalisme dalam politik dan pemikiran, yang menciptakan suatu
periode yang dikenal sebagai era nasionalisme ekonomi (Abdul Wahab, n.d.).
Menurut Mansbach, inti dari teori neo-merkantilisme sebenarnya tidak terlalu jauh
berbeda dengan konsep dasar merkantilisme. Walaupun keduanya berbagi asumsi dasar yang
sama, neo-merkantilisme hadir sebagai adaptasi yang lebih relevan dengan realitas zaman
kontemporer yang ditandai oleh eksistensi negara-negara berdaulat. Dalam konteks ini, neo-
merkantilisme, sering juga disebut sebagai nasionalisme ekonomi, mengenakan hambatan
perdagangan baik berupa tarif maupun nontarif. Salah satu pendekatan praktis yang sering
diterapkan adalah melalui kampanye yang mendorong prioritas penggunaan produk domestik.
Upaya ini melibatkan pembuatan aturan standarisasi, pemberian subsidi, pembebasan pajak, dan
pengaturan kuota yang bertujuan untuk melindungi sektor industri dalam negeri dari tekanan
persaingan dengan industri negara-negara lain. Dengan demikian, neo-merkantilisme menjelma
sebagai suatu kerangka kerja ekonomi yang menekankan kepentingan nasional dalam mengelola
perdagangan internasional dan melindungi daya saing industri dalam negeri
(Richard W. Mansbach & Kristen L. Taylor, 2008)
.
Menurut Friedrich List, ada beberapa spesifikasi kebijakan yang dilakukan oleh teori neo-
merkantilisme diantaranya sebagai berikut:
a. Proteksionisme, adalah kondisi di mana pasar bebas yang tidak dapat diatur memberikan
keunggulan bagi negara-negara maju, sementara negara-negara yang kurang maju
mengalami kekalahan dalam persaingan terbuka terhadap industri unggulan. Oleh karena
itu, untuk melindungi industri dalam negeri, negara perlu turut serta dalam perdagangan
dengan menetapkan hambatan dan halangan.
b. Promosi Industri Berkembang, promosi industri dalam fase pertumbuhan tujuan
utamanya untuk melindungi dan mendorong perkembangan industri di dalam negeri
melalui kebijakan proteksionisme. Pada tahap awal pertumbuhan industri, langkah-
langkah ini memungkinkan sektor industri untuk membangun kapasitasnya sendiri,
sehingga dapat bersaing secara efektif di pasar internasional. Negara diharapkan untuk
memberikan perlindungan kepada industri dalam negeri dari persaingan asing selama
periode tersebut, hingga industri lokal memiliki modal dan teknologi yang cukup untuk
bertahan dan bersaing di tingkat global.
c. Pendidikan, Friedrich List secara khusus menekankan pentingnya sebuah strategi
pendidikan nasional untuk mengembangkan kapasitas individu masyarakat. Peran negara
adalah menyediakan infrastruktur dasar dan pembelajaran demi kepentingan individu dan
masyarakat secara keseluruhan.
d. Infrastruktur, yaitu keadaan dimana negara juga harus memberikan dasar infrastruktur
untuk industri dan perdagangan sehingga dapat membantu mengatasi kegagalan pasar.
Sama seperti merkantilisme klasik, ada berbagai variasi doktrin dan kebijakan yang
diusulkan oleh pendekatan neo-merkantilisme. Namun, apa yang menyatukan mereka adalah
keyakinan bahwa negara memainkan peran utama dalam mengatur kegiatan ekonomi untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Friedrich List juga menekankan bahwa negara harus
memiliki kemampuan untuk memperkuat daya produktif suatu bangsa melalui penerapan
langkah-langkah seperti proteksionisme, dukungan terhadap industri yang berkembang,
peningkatan pendidikan, dan pengembangan infrastruktur.
Namun, dalam lingkup penelitian ini, penulis akan fokus secara khusus pada dua aspek
kebijakan menurut Friedrich List, yakni upaya untuk memajukan industri yang sedang
berkembang dan pengembangan infrastruktur dalam kerangka kebijakan Belt and Road Initiative
(BRI). Dalam konteks penelitian ini, asumsi dasar dari teori neo-merkantilisme sangat relevan
untuk menggambarkan kebijakan Tiongkok terkait dengan Belt and Road Initiative dalam
konteks pembangunan global. Selain itu, pendekatan ini juga dapat menjelaskan tujuan dan
kepentingan yang China upayakan melalui kebijakannya tersebut.
Metode Penelitian
Metode Penelitian yang diterapkan adalah metode penelitian kualitatif. Menurut John W.
Creswell, penelitian kualitatif merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengeksplorasi dan
memahami makna yang dianggap berasal dari masalah sosial dan kemanusiaan oleh sejumlah
individu atau kelompok orang (Creswell, n.d.). Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan sumber
data dilakukan melalui studi kepustakaan, di mana analisis tidak didasarkan pada data numerik.
Metode yang diterapkan dalam penelitian ini bersifat eksplanatif, yang berarti penelitian
bertujuan untuk menjelaskan aspek atau tindakan yang melibatkan suatu fenomena yang
terjadi.Adapun Tehnik Pengumpulan Data yang digunakan adalah melalui Studi Pustaka (library
research) dengan pengumpulan informasi dan data penelitian melalui buku-buku, jurnal,
penelitian terdahulu dan sumber lain yang masih berkaitan dengan penelitian yang sedang
dilakukan. Sumber data yang diolah bersumber dari data sekunder. Data-data yang ditemukan
kemudian akan dianalisis menggunakan teori neo-merkantilis yang dikemukakan oleh Friedrich
List.
Pembahasan

Gambar 1. Peta BRI


Sumber : mercator institute for china studies

Belt and Road Initiative (BRI) terdiri dari dua komponen utama, yaitu Jalur Sutra
Ekonomi dan Jalur Sutra Maritim abad ke-21. Jalur Sutra Ekonomi merupakan jalur lintas benua
yang menghubungkan Tiongkok dengan berbagai destinasi seperti Asia Tenggara, Asia Selatan,
Asia Tengah, Rusia, dan Eropa melalui jalur darat. Sementara itu, Jalur Sutra Maritim abad ke-21
adalah jalur laut yang menghubungkan wilayah pesisir Tiongkok dengan sejumlah wilayah
termasuk Asia Tenggara, Asia Selatan, Pasifik Selatan, Timur Tengah, dan Afrika Timur, hingga
mencapai Eropa. Inisiatif BRI ini mengambil inspirasi dari konsep Jalur Sutra yang telah ada
selama 2.000 tahun yang lalu, khususnya pada masa Dinasti Han. Jalur Sutra kuno tersebut
adalah jaringan rute perdagangan yang telah menghubungkan Tiongkok dengan wilayah
Mediterania melalui Eurasia selama berabad-abad. BRI bertujuan untuk merevitalisasi semangat
kerjasama lintas batas ini dengan mengembangkan jaringan darat dan laut yang melintasi enam
koridor utama. (Octorifadli, 2020)
BRI dalam hal ini menetepkan lima prioritas utama yaitu Policy coordination atau
koordinasi kebijakan, Facilities connectivity atau konektivitas fasilitas, Unimpeded trade atau
perdagangan tanpa hambatan, Financial integration atau integrasi keuangan dan People-to-
people bond atau ikatan antar manusia. (Octorifadli, 2020).

Gambar 2. Negara yang tergabung dalam BRI


Sumber : Green Belt and Road Initiative Center; Belt and Road Portal.

Pada Desember 2023, jumlah negara yang bergabung dalam Belt and Road Initiative (BRI)
melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Tiongkok sebanyak
150 negara termasuk Tiongkok (Agustian et al., 2021). Program BRI ini melintasi negara-negara
yang tergabung dalam:

 44 negara Sub-Saharan Afrika


 34 negara yang mengikuti kerja sama BRI di Eropa dan Asia Tengah
 (17 negara yang mengikuti Uni Eropa juga mengikuti dari progam BRI ini)
 25 negara yang mengikuti program BRI ini berada di wilayah Asia Timur dan Pasific
(termasuk Tiongkok)
 19 negara Timur Tengah dan Utara Afrika
 22 negara yang mengikuti BRI berada di Amerika Latin dan Caribbean
 6 negara yang mengikuti kerja sama BRI berada di kawasan Asia Tenggara

Proteksionisme yang dilakukan Tiongkok dalam kebijakan BRI

Proteksionisme merupakan suatu kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk melindungi


industri dalam negeri dengan menerapkan berbagai hambatan perdagangan, seperti tarif tinggi,
kuota impor, atau regulasi teknis yang ketat. Dalam konteks Belt and Road Initiative (BRI) yang
dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT), proteksionisme termanifestasi dalam berbagai
kebijakan yang dirancang untuk memperkuat kedaulatan ekonomi dan memajukan kepentingan
nasional.

Salah satu aspek proteksionisme yang diadopsi oleh BRI RRT adalah pemberian
kebijakan tarif dan insentif perdagangan yang lebih menguntungkan bagi negara-negara anggota.
Hal ini mencakup penurunan tarif impor, memberikan anggota BRI akses lebih mudah ke pasar
Tiongkok. Dampaknya adalah terciptanya iklim perdagangan yang lebih kondusif dan
memungkinkan negara-negara anggota untuk meningkatkan ekspor dan mengoptimalkan potensi
perdagangan.

Dalam sektor perdagangan anggota BRI memiliki keuntungan perdagangan yang berbeda
setiap negara. Negara yang kemudia terlihat adalah Indonesia. Keuntungan menjadi anggota BRI
dalam sector perdagangan berbeda-beda pada tiap negara akan tetapi semuanya memiliki
keuntungan yang sama seperti akses yang lebih mudah ke pasar tiongkok untuk meningkatkan
ekspor seperti contohnya di 2 negara ini yaitu Indonesia dan Pakistan:

1. Indonesia
Indonesia sebagai anggota BRI, mendapati keuntungan dalam bentuk diversifikasi ekspor
dan pengembangan infrastruktur. Keterlibatan dalam BRI membuka pintu bagi Indonesia untuk
meningkatkan volume ekspornya ke pasar Tiongkok, menyediakan platform untuk produk-
produk unggulan. Selain itu, negara ini menerima dukungan finansial yang substansial untuk
proyek-proyek infrastruktur kunci. Investasi ini tidak hanya meningkatkan konektivitas dalam
negeri, tetapi juga menciptakan kondisi yang lebih baik bagi pertumbuhan ekonomi jangka
panjang.Komparasi ini menyoroti bagaimana BRI RRT membuka peluang bagi negara-negara
anggota untuk memperluas pangsa pasar dan mendorong pembangunan ekonomi melalui
investasi infrastruktur yang substansial . Hal ini berbeda dengan pendekatan proteksionis yang
mungkin diterapkan dalam kerjasama dagang dengan negara-negara seperti Amerika Serikat,
yang dapat melibatkan tarif tinggi dan pembatasan perdagangan. Dengan demikian, keanggotaan
dalam BRI RRT dapat memberikan keuntungan strategis yang signifikan bagi negara-negara
yang berpartisipasi.
2. Pakistan
Pakistan telah meraih manfaat signifikan dalam sektor perdagangan. Akses yang lebih
mudah ke pasar Tiongkok telah membuka peluang baru bagi Pakistan untuk meningkatkan
ekspor, khususnya dalam sektor tekstil. Investasi besar-besaran yang diterima dari BRI juga telah
mengalir ke sektor infrastruktur, termasuk pembangunan pelabuhan dan jalur kereta api. Hal ini
tidak hanya meningkatkan daya saing Pakistan dalam perdagangan internasional, tetapi juga
menggerakkan pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur yang mendukung. Ini
telah memungkinkan Pakistan untuk meningkatkan ekspor, terutama dalam sektor tekstil, dan
mendapatkan investasi besar-besaran dalam proyek-proyek infrastruktur, seperti pembangunan
pelabuhan dan jalur kereta api (Addafi Aryaguna, 2021).

Dalam komparasi kerjasama dagang negara BRI dengan AS dan negara BRI dengan
Tiongkok. Komparasi yang dimaksud disini mengacu pada perbandingan atau perbedaan antara
dua cara atau model kerjasama dagang. Dalam konteks tersebut, kita melihat bagaimana Amerika
Serikat (AS) dan Inisiatif Jalur dan Rute (BRI) dari Tiongkok memiliki pendekatan yang berbeda
terhadap perdagangan internasional.

Amerika Serikat (AS) melakukan Generalizaed System of Preferences (GSP) atau bebas
tarif bea masuk untuk memberikan tarif preferensial kepada negara-negara berkembang. Tujuan
dari GSP adalah untuk membantu negara-negara berkembang meningkatkan ekonomi mereka
melalui peningkatan akses ke pasar AS. Program GSP gunakan sebagai pendorong pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi di negara berkembang, memberikan bantuan untuk mendukung
perluasan lapangan kerja di AS dan membantu perusahaan-perusahaan AS agar tetap kompetitif
di ranah perdagangan global, GSP juga bertujuan untuk mempromosikan nilai-nilai AS di negara
berkembang dan memperluas pasar AS di negara yang dituju
(Generalized System of Preferences (GSP), n.d.)
.

Table 1. Eksport Non Migas Indonesia dengan Tiongkok dan AS Tahun 2019-2022

Tahun Tiongkok US
2019 25,89 miliar USD 17,80 miliar USD
2020 29,94 miliar USD 18,62 miliar USD
2021 51,09 miliar USD 25,79 miliar USD
2022 63,46 miliar USD 28,18 miliar USD
Sumber : Kementerian Perdagangan, diolah 2023
Melalui data tersebut Indonesia sebagai negara anggota BRI dan juga aktif dalam
kerjasama denga AS, menjadi salah satu negara yang bisa dijadikan sebagai contoh untuk melihat
potensi proteksionisme Tiongkok lebih unggul dibandinggkan dengan AS. Dengan selisih eksport
yang cukup signifikan dari tahun 2019 sampai 2022 (Kementerian Perdagangan RI, n.d.).

Pengaruh Sektor Pendidikan dalam BRI


Siwage dari Yusof Ishak Institute Singapura membahas potensi dan tantangan transfer
teknologi dalam kerja sama Belt and Road Initiative (BRI) di Indonesia. Proyek transfer
teknologi BRI dianggap penting, dan Indonesia menetapkan syarat transfer teknologi sebagai
bagian dari kerja sama dengan mitra China. Tiongkok, sebagai pemimpin dalam inovasi teknologi
seperti kereta cepat dan kendaraan listrik, menjadi fokus dalam skema pengalihan teknologi BRI.
Siwage menggarisbawahi contoh transfer teknologi dalam proyek BRI, seperti transformasi
industri pengolahan mineral menjadi baterai kendaraan listrik. Dia menyatakan perlunya
transformasi ekonomi untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045. Definisi transfer teknologi
menurut Siwage mencakup proses pengalihan pengetahuan teknologi dan keahlian antar entitas,
dengan tujuan memberikan akses kepada penerima terhadap teknologi, inovasi, dan pengetahuan
baru (BRIN - BRIN Diskusikan Belt and Road Initiative Tiongkok Dalam Isu Tenaga Kerja
Asing, Alih Teknologi, Dan Ekonomi Digital, n.d.).

Siwage menekankan urgensi penguatan Kemampuan Teknologi Dalam Negeri (TKDN) di


Indonesia sebagai elemen krusial dalam berhasilnya transfer teknologi. Dia mengamati
peningkatan signifikan dalam kapabilitas teknologi Tiongkok, khususnya dalam sektor
semikonduktor, serta menyoroti dominasi Tiongkok dalam ranah energi dan material canggih
dalam arena persaingan teknologi global. Poin terakhirnya adalah gambaran alokasi anggaran
riset di negara-negara pacesetter teknologi, di mana Korea Selatan 5%, Amerika Serikat 3%, dan
Jepang 3%, secara substansial mengalokasikan dana besar untuk penelitian dan pengembangan,
sedangkan Indonesia masih berada di bawah 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pada tanggal 18 Juli 2023, Indonesia dan Tiongkok mengadakan Forum Kerjasama TVET
di Jakarta untuk menjajaki potensi kerjasama di bidang pendidikan vokasi dan pelatihan teknis.
Acara tersebut bertujuan mengidentifikasi peluang kolaborasi, memfasilitasi pertukaran
pengetahuan, dan memperkuat hubungan antara pemangku kepentingan utama di sektor
pendidikan dan industri kedua negara. Fokus utama adalah membangun platform untuk
pertukaran sumber daya, teknologi, dan metodologi pendidikan vokasi, dengan tujuan
membentuk kerangka kerja berkelanjutan yang mendukung pengembangan keterampilan dan
peningkatan mutu pendidikan vokasi (Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan » Republik
Indonesia, n.d.).

Sejak tahun 2009 hingga 2022, kerjasama pendidikan tinggi vokasi antara Indonesia dan
Tiongkok telah terwujud melalui skema U to U, terutama melalui China Language Education and
Cooperation (CLEC). Kementerian Pendidikan Tiongkok telah memberikan lebih dari 2.500
beasiswa kepada pengajar bahasa Mandarin di Indonesia, menunjukkan komitmen dalam
meningkatkan kualitas pengajaran bahasa Tionghoa. Diharapkan bahwa kerjasama di bidang
pendidikan vokasi dapat melibatkan lebih aktif dunia usaha, industri, dan investor, bergerak
menuju integrasi yang lebih erat antara dunia pendidikan, industri, dan sektor usaha.

Sejak pelaksanaan Belt and Road Initiative, Tiongkok dan Indonesia telah bekerjasama di
berbagai bidang, termasuk pendidikan. CEAIE, unit di bawah Kementerian Pendidikan Tiongkok,
berkomitmen membangun platform pertukaran dan kerjasama pendidikan vokasi antara Tiongkok
dan negara lain. Fokusnya mencakup pertukaran praktik baik pendidikan vokasi, pemahaman
kebutuhan pasar dan industri, serta pengembangan inovasi untuk mendukung pemulihan ekonomi
regional dan pembangunan berkelanjutan melalui kemitraan antara kedua negara (BRIN - Melalui
Jalinan Kerja Sama Indonesia-Tiongkok, BRIN Dorong Peningkatan Produksi Pengetahuan,
n.d.).

Koneksivitas Infrastruktur
Fedrich List melihat pentingnya pembangunan infrastruktur, seperti jaringan transportasi dan
komunikasi, untuk meningkatkan konektivitas dan efisiensi ekonomi. Infrastruktur yang baik
dianggapnya sebagai prasyarat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam hal ini
Belt and Road Initiative (BRI) memberikan dampak yang signifikan terhadap dinamika
perdagangan global melalui peningkatan konektivitas infrastruktur. Inisiatif ini, yang
dicanangkan oleh pemerintah Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 2013, memiliki fokus utama
pada pembangunan jaringan transportasi dan energi yang melibatkan lebih dari 70 negara di
seluruh dunia. Proyek-proyek BRI, termasuk pembangunan jalan, rel, pelabuhan, dan
infrastruktur energi, secara efektif mengatasi hambatan infrastruktur yang mungkin membatasi
arus perdagangan internasional. Dengan membuka akses baru dan meningkatkan konektivitas
antarwilayah, BRI telah memperlancar pergerakan barang dan meningkatkan efisiensi logistik,
memungkinkan pertumbuhan perdagangan yang lebih dinamis. Hasilnya, negara-negara yang
terlibat dalam BRI memperoleh manfaat dari peningkatan aksesibilitas pasar dan diversifikasi
sumber daya (Sattar et al., 2022).
Tiongkok melalui enam koridor ekonomi utama mencerminkan upaya negara tersebut untuk
memainkan peran dominan dalam mengarahkan arus ekonomi dan perdagangan di berbagai
wilayah. Terdapat enam koridor yang merupakan inisiatif strategis yang dikembangkan oleh
Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya di berbagai bagian dunia, mendukung pertumbuhan
ekonominya, dan membangun hubungan yang erat dengan negara-negara mitra.
Enam koridor ekonomi utama tersebut mengacu pada Jembatan Darat Eurasia Baru, Koridor
Ekonomi Tiongkok-Mongolia-Rusia (CMREC), Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan (CPEC),
Koridor Ekonomi Tiongkok-Asia Tengah dan Barat, Koridor Ekonomi Tiongkok-Indocina.
Koridor Ekonomi Semenanjung, Koridor Ekonomi Bangladesh-Tiongkok-India-Myanmar
(BCIMEC) (Octorifadli, 2020), diakses desember 2023).

Pengaruh Tiongkok dalam Sistem Perdagangan Global


Paham Neo-merkantilis juga membahas bagaimana suatu negara dapat mendukung
kebijakan proteksionisme untuk melindungi industri dalam negeri dari persaingan asing.Dengan
peluncuran Belt and Road Initiative (BRI), Tiongkok berupaya mengukuhkan posisinya sebagai
pemain kunci dalam sistem perdagangan global. Skala proyek-proyek BRI yang mencakup
infrastruktur, investasi, dan konektivitas ekonomi di lebih dari 150 negara akan memberikan
Tiongkok pengaruh tambahan yang signifikan. Kehadiran dominan ini dapat mengubah dinamika
kekuatan dalam sistem perdagangan global dengan memberikan Tiongkok kapasitas untuk
membentuk norma-norma perdagangan dan mempengaruhi kebijakan internasional. Dalam hal
ini, Tiongkok dapat memainkan peran sentral dalam membentuk aturan perdagangan baru, serta
mempengaruhi negosiasi perdagangan multilateral. Dampak ini juga dapat merubah
keseimbangan kekuatan ekonomi di tingkat global, dengan Tiongkok menjadi aktor utama yang
menentukan arah perkembangan sistem perdagangan internasional (Octorifadli et al., 2021a).

Investasi Domestik dan Investasi Asing (FDI)


Belt and Road Initiative (BRI) Republik Rakyat Tiongkok melibatkan banyak perusahaan
dan negara di berbagai sektor dan wilayah. Pada tingkat perusahaan, terlibatnya perusahaan-
perusahaan dalam proyek-proyek BRI dapat bervariasi. Beberapa perusahaan multinasional
(MNC) Tiongkok yang terlibat mencakup China National Petroleum Corporation (CNPC),
China State Construction Engineering Corporation (CSCEC), dan China Communications
Construction Company (CCCC). China National Petroleum Corporation (CNPC) merupakan
sebuah perusahaan multinasional yang berbasis Di Beijing, Republik Rakyat Tiongkok.
Perusahaan ini didirikan pada tahun 1988. Perusahaan ini umumnya menghasilkan berbagai
macam produk bahan bakar dan gas alam. Aktivitas investasi CNPC dalam konteks BRI dapat
melibatkan sektor minyak dan gas, dan waktu mulai investasinya dapat bervariasi mulai sekitar
awal tahun 2010-an (Fulbright, 2016).
China State Construction Engineering Corporation (CSCEC) adalah sebuah perusahaan
jasa konstruksi terbesar di dunia berdasarkan pendapatannya dan kontraktor umum terbesar ke-14
dalam hal penjualan di luar negeri pada 2016 Fokus utama China State Construction adalah
industri jasa konstruksi. CSCEC, sebagai perusahaan konstruksi terkemuka, terlibat dalam
proyek-proyek infrastruktur di berbagai negara. Investasi CSCEC dalam proyek-proyek
konstruksi dan infrastruktur sebagai bagian dari BRI dapat dimulai sekitar awal tahun 2010-an.

China Communications Construction Company (CCCC) adalah perusahaan teknik dan


konstruksi multinasional yang mayoritas sahamnya dimiliki negara, diperdagangkan secara
publik, terutama bergerak dalam desain, konstruksi, dan pengoperasian aset infrastruktur,
termasuk jalan raya, jembatan, terowongan, kereta api (terutama jalan raya tinggi,kereta cepat),
kereta bawah tanah, bandara, anjungan minyak, dan pelabuhan laut. CCCC telah menjadi
kontraktor untuk sejumlah proyek Belt and Road Initiative.
Tiongkok tidak serta merta melepaskan dengan bebas terkait investasi asing yang masuk
dalam proyek besar BRI. Undang-undang Penanaman Modal Asing Republik Rakyat Tiongkok,
yang disahkan pada Sesi Kedua Kongres Rakyat Nasional ke-13 pada tanggal 15 Maret 2019.
Undang-undang tersebut merupakan bentuk kontrol negara dalam aspek pembangunan ekonomi
dalam proyek BRI.UU ini diterapkan pada tanggal 1 Januari 2020. (Fulbright, 2016).
Adapun negara-negara yang terlibat dalam BRI sangat luas dan melibatkan berbagai
kawasan di seluruh dunia. Beberapa negara yang secara aktif terlibat dalam BRI
meliputi.Indonesia juga merupakan mitra BRI yang aktif dan telah menerima investasi dalam
proyek-proyek infrastruktur seperti pembangunan pelabuhan, jalan, dan proyek energi. Salah satu
proyek paling terkenal adalah pembangunan jalur kereta cepat yang menghubungkan Jakarta
dengan Bandung. Proyek ini dibiayai melalui investasi Tiongkok dan merupakan bagian dari
upaya untuk meningkatkan konektivitas transportasi di wilayah tersebut. Nama resmi proyek ini
adalah "Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung" atau "High-Speed Rail (HSR) Jakarta-
Bandung" (Kasus & Infrastruktur, 2018).
Proyek Kereta Api Timur Pantai (ECRL) di Malaysia adalah inisiatif besar yang terkait
dengan Belt and Road Initiative (BRI) dari Tiongkok. Proyek ini melibatkan pembangunan jalur
kereta api berkecepatan tinggi sepanjang sekitar 665 kilometer, menghubungkan Kota Bharu di
Pantai Timur dengan Pelabuhan Klang di dekat Kuala Lumpur di Pantai Barat. Investasi untuk
proyek ini berasal dari China Communications Construction Company (CCCC) sebagai mitra
dalam kemitraan dengan Malaysia Rail Link Sdn Bhd (MRL). ECRL diharapkan memberikan
dampak positif terhadap ekonomi Malaysia dengan meningkatkan konektivitas antara wilayah
timur dan barat negara tersebut. Proyek ini juga dianggap sebagai langkah untuk memajukan
sektor pariwisata dan mendukung pertumbuhan ekonomi di kawasan timur Malaysia. Meskipun
proyek ini telah mengalami restrukturisasi dan perubahan, ECRL tetap menjadi bagian integral
dari upaya untuk memperkuat infrastruktur transportasi dan konektivitas regional. Perkembangan
terbaru dan informasi progres dapat dicari dalam sumber berita dan pernyataan resmi dari pihak
berwenang.
China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) merupakansuatu tonggak sejarah dalam
hubungan ekonomi antara Republik Rakyat Tiongkok dan Pakistan, sekaligus menjadi salah satu
proyek paling mencolok dalam konteks Belt and Road Initiative (BRI). Proyek ini memiliki fokus
utama pada pengembangan infrastruktur dan kerjasama ekonomi, dengan tujuan meningkatkan
konektivitas dan pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut.CPEC mencakup sejumlah inisiatif,
terutama dalam sektor energi, transportasi, dan pengembangan wilayah. Pembangunan
pembangkit listrik batu bara dan tenaga nuklir bertujuan untuk mengatasi kekurangan energi di
Pakistan, sementara pembangunan jalur transportasi seperti jalur kereta api dan perluasan
pelabuhan bertujuan meningkatkan konektivitas antara kedua negara. Pusat dari proyek ini adalah
Koridor Ekonomi China-Pakistan, yang menghubungkan pelabuhan Gwadar di Pakistan dengan
kota Kashgar di Tiongkok, menciptakan jalur perdagangan dan transportasi yang strategis,
(Heriamsal et al., 2021).
Untuk menjalankan mega proyek Belt and Road Initiative (BRI), Tiongkok
mengimplementasikan rangkaian rencana dan strategi keuangan yang melibatkan beberapa
lembaga keuangan kunci. Di antara lembaga-lembaga tersebut termasuk China Development
Bank (CDB), Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB), Silk Road Fund, China Investment
Corporation, New Development Bank, dan Export-Import Bank of China. China Development
Bank berperan penting dalam menyediakan pinjaman jangka panjang untuk proyek-proyek
infrastruktur BRI, sementara AIIB, sebagai lembaga multilateral yang didirikan oleh Tiongkok,
memberikan dukungan finansial melalui investasi langsung dan pinjaman. Silk Road Fund,
dengan fokus pada investasi ekuitas, juga turut serta dalam mendanai proyek-proyek strategis
BRI. China Investment Corporation berperan dalam mengelola cadangan devisa dan dana
investasi, sementara New Development Bank dan Export-Import Bank of China memberikan
dukungan tambahan melalui pembiayaan proyek dan perdagangan internasional. Sinergi
lembaga-lembaga keuangan ini menciptakan landasan finansial yang kuat untuk merealisasikan
ambisi Tiongkok dalam membangun infrastruktur global melalui BRI (Octorifadli et al., 2021b).

Pemerintah Tiongkok mengalokasikan dana sebesar $40 miliar dari anggaran nasional
untuk mendukung pelaksanaan proyek Belt and Road Initiative (BRI). Sumber dana ini berasal
langsung dari anggaran nasional, sejalan dengan upaya untuk memastikan keberhasilan program
BRI. Bank di Tiongkok juga turut berperan dengan menyimpan dana sekitar 276 triliun yuan atau
sekitar $40 miliar, mencatat peningkatan sebesar 7,7 persen dari tahun sebelumnya. Bank of
China telah mentransfer dana sebesar $82 miliar kepada tiga bank yang mendukung pelaksanaan
program BRI, yaitu China Development Bank yang menerima $32 miliar, Export-Import Bank of
China yang menerima $30 miliar, dan Agricultural Development Bank yang menerima $20 miliar
(Djankov, 2016).
KESIMPULAN

Secara keseluruhan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Belt and Road Initiative
(BRI) yang digagas oleh Republik Rakyat Tiongkok memiliki pengaruh yang besar dalam
berbagai aspek. BRI terdiri dari dua jalur utama, yaitu Jalur Sutra Ekonomi dan Jalur Sutra
Maritim abad ke-21, dengan tujuan membangkitkan semangat kerjasama lintas batas melalui
pengembangan jaringan darat dan laut melintasi enam koridor utama. Dengan partisipasi 150
negara pada Desember 2023, BRI memiliki dampak global yang signifikan. Tiongkok, melalui
BRI, menerapkan kebijakan proteksionisme yang menguntungkan negara-negara anggota dalam
sektor perdagangan, seperti yang terlihat dari keuntungan yang diraih oleh Indonesia dan
Pakistan. BRI juga memberikan pengaruh besar bagi Tiongkok dalam sistem perdagangan global,
mengubah dinamika kekuatan dan memberikan Tiongkok peran sentral dalam membentuk
norma-norma perdagangan internasional. Investasi domestik dan asing, khususnya melalui
perusahaan-perusahaan seperti China National Petroleum Corporation, China State Construction
Engineering Corporation, dan China Communications Construction Company, menjadi elemen
penting dalam pelaksanaan BRI. Pendidikan juga terpengaruh oleh BRI, dengan fokus pada
transfer teknologi dan kerjasama pendidikan. Infrastruktur konektivitas, seperti jaringan
transportasi dan energi, juga menjadi bagian integral dari BRI, meningkatkan efisiensi ekonomi
dan perdagangan global. Dukungan finansial dari lembaga-lembaga keuangan, termasuk China
Development Bank, Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB), dan Silk Road Fund,
menegaskan komitmen Tiongkok dalam mendukung BRI dengan landasan finansial yang kokoh.
Secara keseluruhan, BRI menciptakan dampak multidimensional dalam hubungan ekonomi
global dan memperkuat posisi Tiongkok di arena internasional.
DAFTAR PUSTAKA

(Anam, n.d.)Abdul Wahab. (n.d.). Ekonomi Internasional. Alauddin University Press.


Agustian, M. R., Nizmi, Y. E., & Waluyo, T. J. (2021). Analisis Masuknya Belt and Road
Initiative Tiongkok ke Asean dan Identitas yang Dipromosikan Tiongkok. 5, 9213–9221.
Anam, S. (n.d.). Kebijakan Belt and Road Initiative ( BRI ) Tiongkok pada Masa Pemerintahan
Xi Jinping. 1.
Creswell, J. W. (n.d.). EDITION.
Djankov, S. & S. M. (2016). “China;s Belt And Road Initiative: Motives, Scope, and Challaenge.
Fulbright, N. R. (2016). Nexus 2016. 68. http://www.nortonrosefulbright.com/files/nexus-2016-
pdf-138615.pdf
Heriamsal, K., Amin, A., Prawira, M. R., Internasional, H., Barat, U. S., Barat, S., Internasional,
H., Barat, U. S., Barat, S., Internasional, H., Barat, U. S., & Barat, S. (2021). Analisis
Kepentingan Tiongkok dalam Kebijakan Belt and Road Initiative. 3(2), 28–42.
Inayatul Bariah, D. (2020). Strategi Kebijakan Moneter Indoesia dalam Menghadapi Dampak
Perang Dagang AS-China. Jurnal Humaniora, 04:02, 157.
Kasus, S., & Infrastruktur, P. (2018). Pencapaian Tiongkok di Timur Tengah Terkait The Silk
Road Economic Belt.
Mochtar Mas’oed. (1994). Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. LP3ES.
Octorifadli, G. P. (2020). Kepentingan Tiongkok Terhadap Indonesia Melalui Belt and Road
Initiative dalam Pembangunan Kereta Cepat Jakarta- Bandung Periode 2015 – 2020.
Octorifadli, G. P., Puspitasari, A., Abdul, A., & Azzqy, R. (2021). Kepentingan Tiongkok
Terhadap Indonesia Melalui Belt and Road Initiative dalam Pembangunan Kereta Cepat
Jakarta-Bandung Periode 2015-2020. Budi Luhur Journal of Contemporary Diplomacy,
5(2), 175–186.
R. Falkner. (2011). International Political Economy. In The London School of Economics and
Political Science.
Richard W. Mansbach & Kristen L. Taylor. (2008). Introduction to Global Politics.
Sattar, A., Hussain, M. N., & Ilyas, M. (2022). An Impact Evaluation of Belt and Road Initiative
( BRI ) on Environmental Degradation. https://doi.org/10.1177/21582440221078836
SKRIPSI ANALISIS KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP
TIONGKOK DI ERA PEMERINTAHAN DONALD TRUMP (STUDI KASUS: KENAIKAN
TARIF PAJAK PRODUK ASAL TIONGKOK). (n.d.).
(Octorifadli et al., 2021a)
BRIN - BRIN Diskusikan Belt and Road Initiative Tiongkok dalam Isu Tenaga Kerja Asing, Alih
Teknologi, dan Ekonomi Digital. (n.d.). Retrieved December 26, 2023, from
https://www.brin.go.id/news/116187/brin-diskusikan-belt-and-road-initiative-tiongkok-
dalam-isu-tenaga-kerja-asing-alih-teknologi-dan-ekonomi-digital
BRIN - Melalui Jalinan Kerja Sama Indonesia-Tiongkok, BRIN Dorong Peningkatan Produksi
Pengetahuan. (n.d.). Retrieved December 26, 2023, from
https://www.brin.go.id/news/116197/melalui-jalinan-kerja-sama-indonesia-tiongkok-brin-
dorong-peningkatan-produksi-pengetahuan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan » Republik Indonesia. (n.d.). Retrieved December 26,
2023, from https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2023/08/kerja-sama-indonesia--
tiongkok-tingkatkan-kualitas-pendidikan-vokasi

Anda mungkin juga menyukai