Anda di halaman 1dari 9

Analisis Posisi Uni Eropa dalam Belt and Road Initiatives

RAINY AULIA ITSAR BESTARRY


Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Belt and Road Initiatives (BRI) merupakan sebuah rancangan yang diusung Cina secara
formal oleh Presiden Xi Jinping pada tahun 20131 dalam rangka mempermudah integrasi
ekonomi Cina dengan negara-negara lain dengan dibentuknya jalur perdagangan atau yang
saat ini disebut sebagai jalur sutra modern.2 BRI juga disebut sebagai strategi Cina untuk
memperluas pasar Cina yang saat ini disebut sebagai sebuah emerging economic country,
serta memperluas cakupan politik luar negerinya ke berbagai kawasan-kawasan di dunia. Pun
BRI sendiri menjadi sebuah rancangan yang cukup ambisius, di mana diestimasikan bahwa
BRI akan melibatkan sekitar 65 negara, dengan total populasi sebesar 4.4 milyar orang atau
sekitar 77 persen populasi global.3 Dengan adanya BRI yang berpotensi untuk memperkuat
konektivitas antar kawasan, BRI juga akan mencakup 55 persen PNB serta 75 persen
cadangan energi dunia.4 Maka dari itu, BRI disebut sebagai rancangan yang mampu
memberikan dampak yang signifikan akan sistem politik dan ekonomi global meskipun
rancangan ini membutuhkan waktu yang lama (diestimasikan sekitar 30 hingga 35 tahun
hingga rancangan ini benar-benar berhasil diimplementasikan).5

Inisiasi yang terdiri dari Economic Belt (sabuk ekonomi rute darat) dan 21st Century Maritime
Silk Road (jalur sutra maritim rute laut) akan mempermudah akses jalur perdagangan Cina ke
kawasan Asia, Timur Tengah, Eropa, dan Afrika.6 Hingga saat ini, rancangan mengenai
pembangunan yang didanai oleh Cina untuk wilayah-wilayah yang akan menjadi jalur BRI
antara lain 6 rancangan koridor ekonomi, jalur kereta api, jalur pipa minyak dan gas, dan
pelabuhan.7 Dengan potensi keuntungan ekonomi yang ditawarkan BRI, banyak pihak dari
kalangan bisnis yang mendukung rancangan ini sebagaimana menurut data yang dilansir oleh
McKinsey & Company pada tahun 2016, sudah ada lebih dari 200 perusahaan yang

1
T. Hancock, ‘China encircles the world with One Belt, One Road strategy,’ Financial Times (daring), 4 May
2017, <https://www.ft.com/content/0714074a-0334-11e7-aa5b-6bb07f5c8e12>, diakses 30 Juli 2017.
2
F.P. van der Putten & M. Meijnders, ‘China, Europe and the Maritime Silk Road,’ Clingendael Report, March
2015, pp. 7-8.
3
‘One Belt, One Road (BRI): China's regional integration initiative,’ European Parliament, July 2016, p.4.
4
European Parliament, July 2016, p. 4.
5
European Parliament, July 2016, p. 4.
6
Z. Huang, ‘Belt and Road Initiatives: Your guide to understanding BRI, China’s new Silk Road plan,’ Quartz
Media LLC (daring), 17 May 2017, <https://qz.com/983460/BRI-an-extremely-simple-guide-to-understanding-
chinas-one-belt-one-road-forum-for-its-new-silk-road/>, diakses 30 Juli 2017.
7
‘China’s Xi Jinping takes center stage as host of BRI summit,’ Asia Times (daring), May 11 2017,
<http://www.atimes.com/article/chinas-xi-jinping-takes-center-stage-host-BRI-summit/>, diakses 30 Juli 2017.

1
Analisis Posisi Uni Eropa dalam Belt and Road Initiatives
RAINY AULIA ITSAR BESTARRY
Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

menandatangani perjanjian kerja sama dalam platform BRI.8 Rancangan yang disebut sebagai
‘force to advance globalization and open trade’9 tentunya akan mempermudah kerja sama
perdagangan antar kawasan, serta implikasi yang lebih luas ialah munculnya pembangunan di
berbagai wilayah yang akan dilalui oleh jalur BRI.

Membahas BRI, menarik ketika kita melihat bahwa Uni Eropa menjadi salah satu mitra yang
dipersuasi oleh Cina. Cina melihat Uni Eropa sebagai mitra yang sangat strategis sebagai
mana Uni Eropa dianggap sebagai kawasan terkaya di dunia, sekaligus sebagai destinasi
pasar terkaya dan terbesar dengan sekitar 500 juta pasar konsumen di Uni Eropa. 10 Salah satu
bentuk kerja sama yang sudah diinisiasi oleh kedua belah pihak ialah pembuatan jalur kereta
yang menghubungkan Cina dengan beberapa negara anggota Uni Eropa (melewati negara-
negara Eropa Timur dan Tengah).11 Dengan berhasilnya BRI, tentu tidak akan
menguntungkan Cina secara perdagangan saja, namun hal tersebut juga akan menguntungkan
Uni Eropa secara langsung, terutama ketika kita membahas kerja sama perdagangan antara
Uni Eropa dengan Cina yang semakin intens dan mulai mengalahkan posisi Amerika Serikat
sebagai mitra dagang terbesar Uni Eropa. Sehingga membahas bagaimana BRI ini akan
memengaruhi intensitas hubungan bilateral antara Uni Eropa dengan Cina berdasarkan
perkembangan kerja sama di antara keduanya dan BRI sebagai sebuah inisiasi yang potensial
bagi kedua belah pihak.

Namun, yang menjadi permasalahan adalah pihak Uni Eropa belum memiliki stance yang
jelas terkait kelanjutan kerja sama Uni Eropa dengan Cina dalam BRI. Hingga saat ini, Uni
Eropa masih belum mengeluarkan aksi kolektif dalam merespon kerja sama dengan Cina
dalam platform BRI berupa kebijakan luar negeri Uni Eropa yang dikodifikasi oleh CFSP
(Common Foreign and Security Policy). Sejauh ini, keterlibatan Uni Eropa di dalam BRI
masih belum dikatakan sebagai kebijakan luar negeri atau kebijakan kolektif Uni Eropa,
sebagaimana kerja sama yang terbentuk hanya mencakup Cina dengan negara anggota Uni
Eropa tertentu alih-alih kerja sama dengan seluruh anggota Uni Eropa. Salah satu proyek BRI

8
T. Jinchen, ‘‘One Belt and One Road’: Connecting China and the world,’ McKinsey&Company (daring), June
2016, <http://www.mckinsey.com/industries/capital-projects-and-infrastructure/our-insights/one-belt-and-one-
road-connecting-china-and-the-world>, diakses 1 Agustus 2017.
9
L. Suetyi, ‘Understanding Europe’s Interest in China’s Belt and Road Initiative,’ Carneige Endowment For
International Peace (daring), 10 May 2017, <http://carnegieendowment.org/2017/05/10/understanding-europe-
s-interest-in-china-s-belt-and-road-initiative-pub-69920>, diakses 1 Agustus 2017.
10
P. Le Corre, ‘Europe’s mixed views on China’s One Belt, One Road initiative’, Brookings (daring), 23 May
2017.<https://www.brookings.edu/blog/order-from-chaos/2017/05/23/europes-mixed-views-on-chinas-one-belt-
one-road-initiative/>, diakses 30 Juli 2017.
11
F.P.van der Putten & M. Meijnders, p.6.

2
Analisis Posisi Uni Eropa dalam Belt and Road Initiatives
RAINY AULIA ITSAR BESTARRY
Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

yang sudah berjalan adalah kerja sama 16+1, yakni antara Cina dengan negara-negara
kawasan Eropa Timur dan Tengah (12 dari 16 negara yang terlibat merupakan negara
anggota Uni Eropa) yang memfokuskan kerja sama kepada investasi pembangunan yang
dilakukan oleh Cina ke negara-negara tersebut sebagai salah satu proyek infrastruktur dan
transportasi bagi wilayah-wilayah yang akan dilalui oleh BRI.

Tentunya di dalam Uni Eropa yang memiliki lapisan nation state dan lapisan supranasional,
setiap aktor memiliki pemahaman masing-masing yang bisa saja saling bertabrakan terkait
pentingnya kerja sama dengan Cina di dalam BRI. Setiap lapisan dan aktor yang terlibat di
dalam lapisan tersebut memiliki kepentingan dan kekhawatiran yang berbeda. Sehingga aksi
kolektif di dalam ranah Uni Eropa menjadi sulit untuk diimplementasikan, yang pada
akhirnya setiap negara anggota Uni Eropa memiliki respon sendiri dalam menyikapi BRI dan
aksi kolektif di dalam internal Uni Eropa tidak bisa dilakukan. Maka dari itu, skripsi ini akan
mengkaji bagaimana BRI sebagai sebuah inisiasi bagi Cina direspon oleh Uni Eropa sebagai
bentuk kerja sama antara keduanya dalam bidang perdagangan, serta mengapa Uni Eropa
belum memiliki posisi yang tegas –baik menerima ataupun menolak- untuk melakukan kerja
sama dengan Cina dalam platform BRI.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, penelitian ini akan membahas mengenai
Mengapa Uni Eropa belum memiliki posisi yang jelas terkait kerja samanya dengan
Cina dalam Belt and Road Initiative?

1.3 Landasan Teoritis

1.3.1. Liberal Intergovernmentalism


Ketika realisme membicarakan mengenai survival, power, dan kepentingan nasional,
serta interaksi hubungan internasional yang bersifat zero sum game yakni akan ada
pihak yang menang dan kalah dalam hubungan internasional, liberalisme menekankan
kepada bagaimana masalah antara dua aktor internasional dapat diselesaikan dengan
cara bekerja sama untuk mencapai kepentingan masing-masing pihak.12 Liberalisme
percaya bahwa kerja sama dapat menciptakan interaksi yang bersifat positive sum
game, yakni interaksi yang saling menguntungkan. Di dunia yang anarki, kerja sama
menjadi fitur yang potensial untuk dilakukan sebagaimana natur para aktor

12
J. Baylis, S. Smith & P. Owens, ‘The Globalization of World Politics,’ Oxford University Press, Oxford,
2004, pp. 114-116.

3
Analisis Posisi Uni Eropa dalam Belt and Road Initiatives
RAINY AULIA ITSAR BESTARRY
Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

internasional yang cenderung untuk melakukan kerja sama alih-alih berperang, atau
disebut natural harmony of interests.13 Dijelaskan pula dalam liberalisme, aktor
internasional sebagai rational egoist dapat dicapai apabila terdapat rezim dan institusi
internasional.14

Salah satu model dari liberalisme ialah liberal intergovernmentalisme, yang


merupakan sebuah basis yang tetap bertajuk pada integrasi pada sebuah organisasi
internasional, termasuk pula dalam integrasi regional. Namun dalam Uni Eropa,
negara anggota yang sudah berintegrasi tetap memiliki suara yang sifatnya mengikat
dan tidak terbengkalai dikarenakan kepentingan organisasi secara keseluruhan.
Liberal intergovermentalisme memang merekognisi adanya aktor supranasional dalam
hubungan internasional serta interaksi kerja sama antar aktor, namun liberal
intergovermentalisme lebih menekankan bagaimana negara-negara di dalam lapisan
supranasional dapat mencapai objektifnya di dalam kebijakan, proses tawar menawar,
maupun negosiasi intergovernmental, alih-alih suatu aktor supranasional memiliki dan
‘memaksa’ sebuah kebijakan yang dibuat secara otonom.15 Selain melihat bahwa
negara sebagai sebuah aktor, liberal intergovernmentalisme juga melihat bahwa natur
negara yang rasional, terlihat dari preferensi tiap-tiap negara anggota juga menjadi
poin penting dalam integrasi dan legitimasi dari sebuah lembaga supranasional dalam
proses pengambilan keputusan.

Dalam hubungan internasional, asumsi utama liberalisme ialah individu yang


memiliki kepentingan-kepentingan yang seringkali bersifat konvergen, negara
merupakan representasi dari individu, serta perilaku antar negara seringkali
mencerminkan pola preferensi negara-negara itu sendiri.16 Maka dari itu, liberalisme
intergovermentalisme dalam politik luar negeri suatu negara seringkali mencerminkan
kepentingan domestik yang hendak diwujudkan di dalam ranah supranasional. Dari
sinilah kita akan melihat bagaimana pentingnya komitmen yang kredibel antar aktor
dalam sebuah institusi, rezim, atau perjanjian kerja sama pasti mempertimbangkan

13
J. Baylis, S. Smith & P. Owens, p. 117.
14
J. Baylis, S. Smith & P. Owens, p. 120.
15
A. Moravcsik, & F. Schimmelfennig, ‘Liberal Intergovernmentalism,’ dalam A. Wiener& T. Diez, (ed.),
European Integrations Theory, New York:Campus, 2009 pp. 68-74.
16
A. Moravcsik, ‘Liberalism and International Relations Theory,’ no. 92-6, Harvard University & University of
Chicago, pp. 16-17.

4
Analisis Posisi Uni Eropa dalam Belt and Road Initiatives
RAINY AULIA ITSAR BESTARRY
Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

apa yang negara butuhkan sehingga menjadi bagian dari kerja sama akan memberikan
kebutuhan yang diperlukan negara tersebut.

Penulis akan melihat bagaimana liberalisme intergovernmentalisme menjadi dasar


dari pengambilan kebijakan luar negeri Uni Eropa, di mana terdapat lapisan negara
dan supranasional dalam rangka integrasi di dalam tubuh Uni Eropa. Melihat bahwa
lapisan negara menekankan kepada rasionalitas dalam pengambilan keputusan dan
lapisan supranasional dari Uni Eropa menekankan kepada komitmen Uni Eropa yang
dipaparkan di dalam CFSP (seperti nilai-nilai yang dijadikan tolak ukur Uni Eropa
dalam melakukan kebijakan luar negeri atau lebih spesifiknya kerja sama ekonomi
dengan aktor non Uni Eropa yang memiliki perbedaan nilai dengan Uni Eropa seperti
Cina) berdasarkan Traktat Lisbon pada tahun 2009.17 Nantinya, penulis akan melihat
gap yang timbul dari kedua lapisan dalam merespon Cina dengan BRI, di mana Uni
Eropa secara supranasional belum memiliki posisi yang jelas, meskipun sudah ada
beberapa negara anggota yang melakukan kerja sama dengan Cina dalam platform
BRI tersebut.

1.3.2. Teori Aksi Kolektif

Menurut Mancur Olson, aksi kolektif merupakan aksi di mana setiap pihak yang
notabene rasional dan memiliki kepentingannya masing-masing dapat melakukan
sebuah aksi yang sama dalam sebuah kelompok untuk melancarkan objektif dan
kepentingan yang sama sehingga aksi tersebut dapat memberikan dampak yang lebih
besar alih-alih jika suatu pihak menjalankan kepentingannya di dalam sistem
internasionalnya sendiri.18 Aksi kolektif sendiri menekankan kepada keuntungan
kelompok dalam jangka panjang serta memiliki bargaining position yang lebih besar
karena memiliki aktor dan suara yang lebih banyak. Aksi kolektif dianggap sebagai
solusi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok, maka dari itu aksi
kolektif sendiri memiliki pendekatan yang bersifat koersif untuk membentuk
komitmen di dalam ranah kelompok, sehingga aksi kolektif bisa dilakukan secara
efektif alih-alih menimbulkan permasalahan dalam pemecahan masalah di dalam
kelompok.

17
European Union, Foreign & Security Policy, Europa.eu (daring), <https://europa.eu/european-
union/topics/foreign-security-policy_en>, diakses pada 30 Oktober 2017.
18
M. Olson, The Logic of Collective Action: Public Goods and The Theory of Groups, Harvard University
Press, Massachusetts, 1967, pp.1-3.

5
Analisis Posisi Uni Eropa dalam Belt and Road Initiatives
RAINY AULIA ITSAR BESTARRY
Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Aksi kolektif dalam politik luar negeri Uni Eropa menjadi sebuah tantangan dari
integrasi Uni Eropa, sebagaimana dibutuhkan akumulasi kepentingan dari dua lapisan,
yakni dalam lapisanUni Eropa maupun lapisan negara anggota. Tantangan yang
dilihat dari aksi kolektif Uni Eropa ialah bagaimana ketimpangan antara setiap negara
yang tergabung di dalam suatu kelompok, dalam hal ini ialah negara anggota Uni
Eropa, di mana negara-negara Uni Eropa memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang
berbeda, serta adanya klasifikasi negara inti dan negara periferi berdasarkan
bargaining position masing-masing. Selain itu, sulit untuk melakukan aksi kolektif di
dalam internal Uni Eropa termasuk dalam kebijakan politik luar negeri dikarenakan
adanya posisi dan kepentingan individu yang berbeda, sedangkan Uni Eropa yang
bersifat rule based menekankan adanya keputusan yang harus disetujui oleh seluruh
negara anggota, sedangkan negara anggota Uni Eropa masih memiliki rasionalitas dan
kepentingannya masing-masing sehingga masih banyak negara anggota dalam hal
tertentu tidak mau bersikap sukarela dalam melancarkan aksi kolektif dalam ranah
Uni Eropa.

Aksi kolektif juga memiliki masalah yang dijabarkan oleh Olson yang disebut dilema
sosial, yakni tragedy of the common di mana dalam sebuah kelompok, kurangnya
antisipasi menyebabkan gagalnya aksi kolektif menjadi sebuah solusi yang efektif,
yakni ketika ada aktor yang free riding (aktor menerima keuntungan dari adanya aksi
kolektif ketika dirinya tidak membayar cost dari aksi kolektif atau tidak melakukan
aksi kolektif tersebut).19 Jika skema ini diilustrasikan dalam kerja sama antara Cina
dan Uni Eropa dalam BRI, apabila Cina defect atau tidak berkomitmen penuh di
dalam BRI serta tidak menjadi stakeholder yang bertangggungjawab, Uni Eropa dan
negara-negara BRI lainnya akan menerima kerugian dari perilaku Cina. Maka dari itu,
selain penulis melihat bagaimana aksi kolektif menjelaskan kebijakan politik luar
negeri Uni Eropa dengan Cina dalam BRI, penulis juga akan melihat bagaimana
masalah aksi kolektif menjadi salah satu hambatan dalam cakupan skripsi yang lebih
luas, yakni bagaimana perilaku Cina yang diantisipasi dari banyak pihak menjadi
penghambat posisi Uni Eropa dalam kerja samanya dengan Cina dalam platform BRI.

19
F. van Laerhoven & E. Ostrom, ‘Traditions and Trends in the Study of the Commons,’ International Journal
of the Commons, Vol. 1, No. 1, 2007, pp. 3-28

6
Analisis Posisi Uni Eropa dalam Belt and Road Initiatives
RAINY AULIA ITSAR BESTARRY
Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

1.4 Argumen Pokok

Dengan adanya BRI dan bagaimana Uni Eropa belum memiliki posisi yang jelas dalam
merespon atau memiliki peran yang lebih jauh dalam BRI dikarenakan belum adanya sebuah
aksi kolektif berupa kebijakan luar negeri (sebagaimana Uni Eropa bersifat rule based) yang
dilakukan oleh seluruh negara anggota Uni Eropa, sedangkan dalam merumuskan kebijakan
luar negeri oleh Common Foreign and Security Policy (CFSP), keputusan harus bersifat
unanimous, dan dalam kasus ini, terdapat ketimpangan antara lapisan kepentingan nasional
yang sifatnya immediate interests dan rasional, lapisan kepentingan supranasional yang
sesuai dengan nilai-nilai Uni Eropa, serta peluang dan tantangan dari BRI sendiri.

1.5 Metodologi Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam skripsi ialah metode kualitatif yang menekankan kepada
studi pustaka dari buku, jurnal, dan media daring. Data yang hendak dikumpulkan lebih
menjurus kepada penjelasan mengenai BRI dan mengapa inisiasi ini menjadi penting untuk
dibahas terkait kerja sama antar kawasan yang potensial meskipun dikatakan bahwa BRI
sendiri baru akan efektif dilaksanakan dalam 30 hingga 35 tahun mendatang, bagaimana
dinamika kerja sama Uni Eropa dengan Cina -apakah semakin intens atau cenderung stagnan-
sehingga kita dapat menganalisis peluang kerja sama BRI di antara keduanya berdasarkan
intensitas kerja sama ekonomi (terutama kerja sama perdagangan).

Selain itu, akan dilihat pula kerja sama antara Uni Eropa dengan Cina dalam platform BRI
yang sudah terjalin seperti 16+1 Cooperation dan proyek terkait BRI lainnya yang
merupakan bentuk kerja sama Cina dengan beberapa negara anggota Uni Eropa secara
bilateral dan terpisah alih-alih dalam satu payung yakni Uni Eropa secara kolektif dalam
CFSP-nya, dan mengkaji lebih lanjut mengapa adanya perbedaan persepsi dari setiap negara
anggota Uni Eropa terkait BRI. Penulis akan mengumpulkan pernyataan dari pihak Uni
Eropa, pemerintah Cina, dan pihak-pihak eksternal dalam menyikapi perlu atau tidak
perlunya melakukan kerja sama di dalam inisiasi ini sehingga nantinya akan terlihat
bagaimana kerja sama antara Uni Eropa dengan Cina dalam BRI menjadi terhambat atau
lancar di beberapa tempat. Selanjutnya, penulis akan melihat ketimpangan di antara apa yang
ditawarkan oleh BRI sehingga inisiasi ini memiliki peluang dan hambatan lebih lanjut bagi
Uni Eropa, kepentingan dalam lapisan nation state yang sifatnya rasional dan mengandalkan
komparasi cost and benefit, serta lapisan supranasional (nilai dan prinsip Uni Eropa yang
dituangkan di dalam CFSP) yang menekankan kepada nilai-nilai yang dianut oleh Uni Eropa

7
Analisis Posisi Uni Eropa dalam Belt and Road Initiatives
RAINY AULIA ITSAR BESTARRY
Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

secara kolektif. Dari ketimpangan setiap lapisan, dan perdebatan mengenai values and
benefit, akan terlihat mengapa belum ada sebuah aksi kolektif dari Uni Eropa berupa
kebijakan luar negeri terkait kerja samanya dengan Cina dalam BRI.

1.6 Sistematika Penulisan

Hasil-hasil penelitian akan diurai di dalam beberapa bab, yakni bab pendahuluan,
pembahasan, analisis, dan penutup.

Dalam bab pendahuluan, penulis akan menuliskan latar belakang permasalahan, pertanyaan
apa yang hendak dijawab, konsep atau teori apa yang akan digunakan untuk menjawab
pertanyaan, serta apa saja argumen sementara penulis.

Bab pembahasan akan dibagi menjadi 3 (tiga) sub bab yang di mana penulis akan
mengumpulkan data-data yang akan diolah di dalam bab selanjutnya yakni bab analisis.
Adapun bab kedua akan dibagi sebagai berikut; Sub bab pertama akan membahas lebih dalam
mengenai inisiasi Belt and Road Initiatives (BRI) dan implikasinya terkait perdagangan antar
kawasan sehingga pembaca mengetahui apa inisiasi yang akan dibahas di dalam skripsi. Sub
bab kedua akan membahas mengenai bagaimana dinamika kerja sama ekonomi Uni Eropa
dengan Cina untuk melihat bagaimana interaksi kerja sama kedua aktor sebagai mitra kerja
sama ekonomi –terutama kerja sama perdagangan-, serta melihat apa saja comparative
advantage kedua belah pihak sehingga dapat dijawab apakah keduanya merupakan mitra
dagang yang strategis dan menguntungkan satu sama lain. Sub bab ketiga yang sekaligus
menjadi sub bab terakhir akan membahas kepentingan Uni Eropa di dalam BRI. Meskipun
BRI belum resmi dilaksanakan, penting untuk tetap melihat kepentingan Uni Eropa yang
hendak dicari dari BRI yang dikatakan sebagai inisiasi yang ambisius dan membuka peluang
yang besar untuk keuntungan bagi setiap pihak yang terlibat. Dari situlah akan dilihat apa
yang dicari oleh Uni Eropa berdasarkan EU-China 2020 Strategic Agenda for Cooperation
yang bersifat principled, practical and pragmatic20, dan meliputi pilar-pilar yang menjadi
pondasi dalam kerja sama antara Cina dengan Uni Eropa, yakni politik dan keamanan,
ekonomi dan perdagangan, dan people-to people dialog.

Bab selanjutnya adalah bab analisis. Penulis akan membagi bab ini ke dalam dua sub bab
yang akan mengolah data-data yang sudah ada di dalam bab pembahasan untuk menjawab

20
European Commissions, Joint Communication to the European Parliament and The Council: Elements for a
new EU strategy on China, High Representative of the Union for Foreign Affairs and Security Policy, Brussels,
2016, p.5.

8
Analisis Posisi Uni Eropa dalam Belt and Road Initiatives
RAINY AULIA ITSAR BESTARRY
Universitas Gadjah Mada, 2018 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

pertanyaan penelitian terkait posisi Uni Eropa dalam kerja sama dengan Cina terkait BRI.
Nantinya, dengan konsep yang dipakai oleh penulis yakni liberal intergovernmentalisme
maupun teori aksi kolektif akan menjawab masalah yang ingin dibahas serta bisa koheren
dengan argumen yang dibawa oleh penulis sebelumnya yakni mengenai belum adanya posisi
yang jelas berupa aksi kolektif bagi seluruh anggota Uni Eropa terkait peluangnya untuk
berperan dalam platform BRI yang diinisiasi oleh Cina. Penulis akan melihat bagaimana
ketimpangan antara kepentingan Uni Eropa, kepentingan nasional setiap negara anggota,
serta proposal yang ditawarkan oleh Cina dalam BRI memengaruhi bagaimana posisi Uni
Eropa yang belum tegas hingga saat ini. Penulis juga akan memaparkan hambatan-hambatan
yang ditemui dari BRI secara umum dari kacamata Uni Eropa yang nantinya akan penulis
korelasikan dengan persoalan aksi kolektif antara Uni Eropa dengan Cina di dalam BRI.

Bab terakhir ialah penutup, di mana penulis akan menyimpulkan penelitian penulis
berdasarkan pembahasan dan analisis yang sudah dilakukan. Dalam bab ini, penulis akan
melihat bagaimana jawaban yang ditemukan dari pertanyaan penelitian dapat terbukti dengan
data dan argumen yang ada.

Anda mungkin juga menyukai