Anda di halaman 1dari 25

PARADOKS KEBIJAKAN LUAR NEGERI TIONGKOK TERHADAP HUBUNGAN

BILATERAL DENGAN INDONESIA

Adhitya Abshar Arham


Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Indonesia
adhityaarham@gmail.com

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kebijakan luar negeri memiliki pengaruh yang kuat dalam hubungan internasional.Kebijakan
luar negeri merupakan instrumen yang sangat penting bagi negara dalam rangka memenuhi
kepentingan nasionalnya. Secara umum tujuan kebijakan luar negeri adalah untuk mengatur
dan mengelola bagaimana negara berinteraksi dengan negara lainnya. Kebijakan luar negeri
dianggap berjalan dengan baik apabila dapat mendorong tercapainya kepentingan nasional
negara serta memberikan kedudukan yang terhormat di antara sesama bangsa (Bojang, 2018).
Pilihan strategi kebijakan luar negeri suatu negara dapat memengaruhi tatanan global secara
luas. Sebagai contoh adalah bagaimana kebijakan luar negeri Tiongkok dapat memberikan
pengaruh yang sangat besar. Selama beberapa tahun terakhir Tiongkok menunjukkan adanya
moderasi, integrasi, dan keterlibatan dengan tatanan global yang semakin meningkat. Sebagai
negara yang sedang mengalami peningkatan kekuatan, Tiongkok dinilai telah menyiapkan
strategi yang koheren dalam mengelola kebijakan luar negerinya agar sejalan dengan norma
internasional (Sutter, 2010). Langkah yang diambil Tiongkok dalam kebijakan luar negerinya
dapat memiliki pengaruh pada tatanan global hingga di lingkup regional. Oleh karena itu,
sebagai negara dengan kekuatan material yang besar, strategi kebijakan luar negeri Tiongkok
tidak dapat diabaikan.

Kebijakan luar negeri Tiongkok telah mengalami perubahan yang cukup signifikan
sejak peralihan kekuasaan di tahun 2012. Sejak pergantian kepemimpinan, Presiden Xi Jinping
telah menyerukan semangat baru dalam kebijakan luar negeri Tiongkok yaitu untuk “berjuang
meraih prestasi” sehingga menghasilkan perilaku yang lebih asertif dalam hubungan
internasional (Chang-Liao, 2016; J. Zhang, 2015). Perubahan sikap Tiongkok yang lebih asertif
ini telah memicu perdebatan di antara para pengamat. Salah satu pendapat yang mengemuka

1
adalah Tiongkok secara perlahan mulai meninggalkan pendekatan “mengulur waktu” dan lebih
proaktif dalam kancah global di bawah kepemimpinan Xi Jinping. Singkatnya, kebijakan
Tiongkok saat ini memiliki tujuan yang lebih jelas dan lebih asertif dalam melindungi
kepentingan nasionalnya, sembari berusaha untuk mempertahankan perdamaian di lingkungan
eksternal (J. Zhang, 2015). Bahkan, Beijing sejak lama sudah menganggap bahwa
mempertahankan stabilitas kawasan merupakan elemen utama dalam reformasi kebijakan luar
negerinya (Chang-Liao, 2016).

Pada tahun 2013 Presiden Xi Jinping memperkenalkan gagasan “Silk Road Economic
Belt” dan “21st-Century Maritime Silk Road” ketika melakukan kunjungan ke Astana dan
Jakarta. Kedua gagasan ini merupakan strategi kebijakan luar negeri Tiongkok yang pada
awalnya dikenal sebagai “One Belt One Road” (OBOR). Kemudian istilah tersebut diganti
dengan nama “Belt and Road Initiative” (BRI) pada tahun 2015. Gagasan BRI merupakan
strategi kebijakan luar negeri Tiongkok yang paling ambisius. BRI bertujuan untuk
meningkatkan konektivitas dengan mempromosikan sinergi kebijakan pembangunan,
pembangunan infrastruktur, perdagangan tanpa hambatan, kerjasama keuangan dan ikatan
antar masyarakat, sehingga dapat memberikan pendorong baru bagi pertumbuhan global,
menawarkan jalan dan ruang baru untuk kerjasama ekonomi internasional, dan menciptakan
peluang baru untuk pembangunan bersama dan kemakmuran bersama (Advisory Council of
the Belt and Road Forum, 2019). Proyek ini mencakup sebanyak enampuluh enam negara di
Tengah & Timur Eurasia serta wilayah lautan Asia-Pasifik. Jumlah ini meliputi 63% dari total
populasi global dan lebih dari sepertiga GDP dunia (Yu S. , 2019). Tiongkok menegaskan
percepatan pembangunan melalui BRI dapat mempromosikan perdamaian dan pembangunan
dunia (NDRC, 2015). Ditinjau dari skalanya, BRI dinilai dapat mengubah peta geopolitik dunia
sehingga disebut sebagai kebijakan luar negeri Tiongkok yang paling ambisius. Sebagian besar
analisis menyatakan bahwa BRI sesungguhnya adalah strategi geopolitik Tiongkok dalam
menghadapi dominasi Amerika Serikat. Pada masa pemerintahan Obama, AS menggagas
kebijakan luar negeri yang disebut “Asia Pivot” (Zhou & Esteban, 2018). Pemangku
kepentingan di Beijing percaya bahwa kebijakan tersebut sengaja diambil untuk menghalangi
peningkatan kekuatan Tiongkok.

Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki posisi yang sangat
penting dalam implementasi kebijakan BRI. Indonesia berfungsi sebagai penghubung utama
dalam Jalur Sutera Maritim yang merupakan salah satu komponen dari BRI (The Asia
Dialogue, 2019). Pemilihan Jakarta sebagai salah satu lokasi pengumuman gagasan BRI di

2
tahun 2013 menjadi bukti bahwa Tiongkok sangat menyadari peran penting Indonesia dalam
keberhasilan kebijakan luar negeri tersebut. Sekitar satu tahun setelah Xi Jinping
mengumumkan Jalur Sutera Maritim, Presiden Widodo meluncurkan gagasan Poros Maritim
Dunia (Global Maritime Fulcrum/GMF) pada Konferensi Asia Timur di Myanmar tahun 2014
(Sriyanto, 2018). Berdasarkan pernyataan bersama yang disampaikan setelah Presiden Widodo
melakukan pertemuan dengan Presiden Xi Jinping pada tahun 2015, disebutkan bahwa Jalur
Sutera Maritim Abad 21 yang diusulkan oleh Presiden Xi Jinping, dan Strategi Poros Maritim
Dunia yang diprakarsai oleh Presiden Joko Widodo bersifat komplementer (Kurniawan, 2016).
Studi dari Pusat Informasi Nasional Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 2016, Indonesia
bersama dengan Rusia, Kazakhstan, Thailand dan Pakistan adalah lima besar negara mitra BRI
(Lalisang & Candra, 2020). Bahkan pada tahun 2019, Indonesia menyepakati kerja sama
pembukaan 4 koridor di provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Pulau
Bali (Saraswati, 2019).

Sejak normalisasi hubungan pada tahun 1990, hubungan antara Tiongkok-Indonesia


telah berjalan baik tanpa adanya konflik yang signifikan. Pada bulan April tahun 2020 yang
lalu, usia hubungan diplomatik Beijing dan Tiongkok resmi menginjak angka 70 tahun. Dalam
perspektif Tiongkok, Indonesia dipandang sebagai aktor yang dapat bekerja sama, serta
memiliki kapabilitas dan dimensi kultural yang setara (Kartikasari, 2019). Kemitraan Strategis
RI–RRT yang ditandatangani pada 2005, meningkatnya volume perdagangan bilateral, nilai
investasi dan koordinasi dua negara dalam menangani baik urusan regional, maupun global,
disebutkan menandai perkembangan hubungan bilateral yang positif (Lalisang, 2013).
Pembuat kebijakan di Indonesia telah memanfaatkan kemitraan strategis dengan Tiongkok ini
untuk menciptakan berbagai saluran komunikasi yang untuk mendapatkan manfaat ekonomi
serta melakukan sosialisasi kepada negara tujuan agar menerima visi Indonesia terkait tatanan
politik internasional (Priyandita, 2019).

Indonesia memandang Tiongkok sebagai mitra ekonomi yang vital. Meski demikian,
sengketa di Laut Natuna Utara masih sering terjadi (SCMP, 2020). Terdapat enam negara yaitu,
Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam yang mengklaim kedaulatan di
perairan Laut Tiongkok Selatan. Perairan tersebut merupakan wilayah yang strategis dan
memiliki cadangan sumber daya alam yang melimpah (Luhulima, 2007). Indonesia seringkali
menyatakan tidak termasuk ke dalam kelompok negara-negara yang melakukan klaim tersebut.
Hal ini disebabkan peta nine dash line yang diterbitkan sebagai dasar klaim Tiongkok tidak
meliputi wilayah perairan Natuna. Meski demikian, sejak 2016 perairan Natuna telah menjadi

3
ujian bagi hubungan Indonesia Tiongkok. Pada akhir Desember 2019, beberapa kapal penjaga
pantai Tiongkok mengawal lebih dari tiga lusin kapal nelayan Tiongkok masuk ke perairan
Natuna (The Wall Street Journal, 2020). Tiongkok mengklaim bahwa perairan tersebut
merupakan bagian dari wilayahnya. Untuk menanggapi tindakan tersebut, Menteri Luar Negeri
Indonesia Retno Marsudi, menyampaikan protes dengan memanggil Duta Besar Tiongkok di
Jakarta pada 30 Desember 2019 (World Politic Review, 2020). Retno mengatakan "klaim
Tiongkok atas zona ekonomi eksklusif Indonesia dengan alasan bahwa para nelayannya telah
lama aktif di sana, adalah klaim yang tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh
UNCLOS 1982" (Reuters, 2020). Selain itu, Indonesia juga meningkatkan persiapan
pertempuran TNI di Laut Natuna Utara untuk menghadapi Tiongkok. Persiapan pertempuran
tersebut dipimpin oleh Laksamana Muda Yudo Margono (Jakarta Globe, 2020). Di bawah
komando Yudo, TNI mengerahkan sepuluh kapal perang dan empat pesawat tempur F-16 ke
perairan Pulau Natuna. Meski kapal-kapal Tiongkok saat ini telah mundur dari perairan
Natuna, Yudo mengatakan operasi militer di wilayah tersebut akan berlanjut sepanjang tahun
(The Jakarta Post, 2020).

Perilaku asertif Tiongkok ini bertolak belakang dengan diplomasi bertetangga dengan
baik yang selama ini dipromosikan. Keputusan Tiongkok untuk bersikap asertif di perairan
Natuna sangat kontraproduktif dengan tujuan diplomatik Beijing berdasarkan skema BRI yang
mengedepankan perdamaian dunia. Tindakan yang sebelumnya juga terjadi pada April 2019
ini membuat banyak rakyat Indonesia marah dan mempertanyakan kedaulatan maritim
Indonesia (The Jakarta Post, 2020). Menurut Evi Fitriani (2018), perilaku asertif Tiongkok di
Laut Tiongkok Selatan dan ZEE Kepulauan Natuna telah menghidupkan kembali persepsi
Tiongkok sebagai ancaman, tidak hanya di kalangan militer Indonesia, tetapi juga di antara
pejabat pemerintah dan masyarakat umum. Selain itu, Fitriani (2018) juga menjelaskan bahwa
Pemerintah Indonesia telah menyadari bahwa Tiongkok tidak hanya gagal dalam
menindaklanjuti janji-janji kerja sama keamanannya, tetapi juga tidak dapat memenuhi
janjinya terkait dengan keterlibatan ekonomi (Fitriani, 2018, p. 8). Dinamika politik domestik
ini dapat menghambat keberhasilan implementasi BRI. Menurut Lalisang & Candra (2020)
keberhasilan implementasi inisiatif yang digagas Tiongkok tersebut mengalami hambatan
disebabkan dukungan aktual yang diberikan negara-negara anggota BRI tidak sesuai dengan
yang diharapkan oleh Tiongkok akibat dari dinamika politik dalam negeri masing-masing
(Lalisang & Candra, 2020, p. 4).

4
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa,
Tiongkok di bawah kepimimpinan Presiden Xi Jinping telah menggagas sebuah strategi
kebijakan luar negeri yang sangat ambisius yaitu BRI. Kebijakan luar negeri ini juga dinilai
sebagai kebijakan luar negeri terbesar dalam sejarah Tiongkok. BRI merupakan kerangka kerja
sama pembangunan infrastruktur yang membentang sepanjang Eurasia hingga Afrika. Melalui
pernyataan yang dikeluarkan oleh NDRC, Tiongkok menegaskan bahwa BRI akan
berkomitmen untuk menjaga perdamaian dan memajukan kesejahteraan dunia. Pernyataan ini
merupakan respon dari skeptisme masyarakat global terkait kemunculan BRI. Terdapat banyak
pandangan yang menilai bahwa BRI hanya merupakan alat bagi Tiongkok untuk meningkatkan
pengaruhnya secara regional maupun global. Untuk melaksanakan kebijakan ini Tiongkok
dituntut untuk lebih waspada agar tidak meningkatkan sentimen negatif masyarakat global
terkait BRI.
Untuk melancarkan pelaksanaan kebijakan BRI, Tiongkok memerlukan dukungan dari
negara-negara yang dilewati oleh jalur BRI. Salah satu negara yang dilewati oleh jalur tersebut
adalah Indonesia. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki peran yang
sangat penting dalam keberhasilan implementasi BRI. Indonesia berperan sebagai jalur
penghubung dalam Jalur Sutra Maritim BRI. Signifikansi Indonesia bagi BRI ini dicerminkan
oleh Tiongkok melalui keputusan yang menentukan Jakarta sebagai salah satu lokasi
pengumuman peluncuran gagasan BRI pada tahun 2013. Indonesia juga menanggapi positif
kehadiran BRI. Menurut Presiden Joko Widodo, gagasan BRI sejalan dengan visi untuk
mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia yang digagas olehnya pada tahun 2014.
Presiden Widodo meyakini bahwa gagasan Poros Maritim Dunia yang ia cetuskan dan gagasan
BRI merupakan dua gagasan yang bersifat komplementer (Kurniawan, 2016).
Sikap positif Indonesia seharusnya dapat menjadi pintu masuk yang sangat lebar bagi
Tiongkok untuk mewujudkan gagasan BRI di Indonesia. Respon positif yang ditunjukkan oleh
Indonesia ini seharusnya dapat dimanfaatkan oleh Tiongkok untuk mempererat hubungan
dengan Indonesia melalui kerja sama BRI. Meski demikian, dalam beberapa tahun terakhir
menunjukkan bahwa Tiongkok justru menyebabkan Indonesia tidak bisa sepenuhnya percaya
pada Tiongkok. Setidaknya sejak tahun 2016, Tiongkok telah menyebabkan hubungan antara
kedua negara mengalami ketegangan. Dinamika yang terjadi dalam hubungan kedua negara ini
merupakan akibat dari tindakan asertif Tiongkok di Laut Natuna Utara. Hingga akhir 2019 dan
pertengahan 2020 Tiongkok beberapa kali melakukan pelanggaran kedaulatan wilayah maritim
Indonesia. Beberapa kapal nelayan yang dikawal oleh Pasukan Penjaga Pantai Tiongkok
berulang kali terlibat perselisihan dengan militer Indonesia di wilayah perairan tersebut.

5
Tindakan ini berkaitan dengan klaim sepihak Tiongkok atas wilayah perairan Laut Tiongkok
Selatan. Wilayah perairan Natuna yang sebelumnya tidak masuk dalam klaim Tiongkok, kini
menjadi wilayah yang kerap menjadi titik ketegangan. Oleh karena itu, sikap asertif Tiongkok
ini justru bersifat kontradiktif terhadap ambisi kebijakan luar negerinya. Di tengah upaya untuk
meningkatkan hubungan bilateral dengan Indonesia melalui kerja sama BRI, Tiongkok justru
melakukan tindakan yang dapat mencederai peluang tersebut.

1.2. Rumusan Masalah


Sikap asertif yang ditunjukkan oleh Tiongkok di perairan Natuna dapat memancing kemarahan
masyarakat Indonesia. Rasa tidak terima atas pelanggaran kedaulatan tersebut semakin
memperburuk citra Tiongkok di mata masyarakat Indonesia. Hal ini juga mengakibatkan
masyarakat Indonesia mempertanyakan atau bahkan menolak kedekatan hubungan Indonesia-
Tiongkok. Kondisi ini akan mempersulit upaya Tiongkok untuk mengimplementasikan
kebijakan BRI di Indonesia. Di beberapa negara, penolakan dari masyarakat terbukti telah
menjadi batu hambatan yang signifikan bagi BRI. Atas fakta empiris ini, penelitian ini
mengangkat pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Mengapa Tiongkok bersikap asertif di
Laut Natuna Utara di tengah peningkatan kerja sama pembangunan infrastruktur
Tiongkok-Indonesia dalam skema BRI?” Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut,
tesis ini akan menggunakan teori realisme neoklasik sebagai kerangka analisa terhadap topik
yang diangkat.

1.3. Tujuan dan Siginifikansi


Penelitian ini memiliki bertujuan untuk menganalisis perilaku negara dalam konflik regional
di tengah peningkatan kerja sama. Sejak melakukan normalisasi hubungan pada tahun 1990,
hubungan kerja sama Tiongkok – Indonesia telah berjalan dengan relatif lancar. Hubungan ini
kian menguat ketika Tiongkok meluncurkan kerangka kerja sama BRI pada tahun 2015.
Tiongkok memandang Indonesia sebagai salah satu negara yang penting dalam penerapan kerja
sama ini. Indonesia juga menilai kerja sama BRI sejalan dengan gagasan Poros Maritim Dunia
yang dicetuskan oleh Presiden Jokowi. Posisi strategis Indonesia di mata Tiongkok dan
ditambah kepentingan Indonesia untuk tampil sebagai Poros Maritim Dunia seharusnya dapat
dimanfaatkan sebagai jalan untuk memperkuat kerja sama dalam kerangka BRI. Namun, tren
dalam beberapa tahun terakhir justru menunjukkan adanya ketegangan antara Tiongkok –
Indonesia, khususnya pada kasus Laut Natuna Utara.

6
Lebih jauh, memiliki signifikansi secara teoritik terhadap kajian mengenai perilaku
suatu negara dalam konflik regional di tengah adanya peningkatan kerja sama dengan negara
lainnya. Dengan menganalisa perilaku negara menggunakan teori realisme neoklasik,
diharapkan penelitian dapat memperkaya kajian mengenai dinamika keamanan regional.
Secara empirik, penelitian ini memiliki kontribusi terhadap kajian yang membahas dinamika
keamanan regional di Asia Tenggara. Dinamika hubungan Tiongkok-Indonesia akan
berpengaruh terhadap keamanan regional dan berpotensi menghambat keberhasilan ambisi
Tiongkok dalam melaksanakan inisatif BRI.

Selain itu penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran umum mengenai
faktor-faktor yang menyebabkan suatu negara dapat tetap bersikap asertif meski telah menjalin
kerja sama dengan negara lainnya. Ketegangan yang terjadi di perairan Natuna Utara
dikhawatirkan dapat menjadi penghambat implementasi BRI di Indonesia. Penelitian ini akan
menguraikan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Tiongkok mengambil langkah-langkah
yang dapat menghambat keberhasilan implementasi BRI di Indonesia. Oleh karena itu,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan pertimbangan bagi pemerintah Indonesia
dalam menyusun kebijakan ketika menghadapi pergerakan Tiongkok yang semakin dinamis
dalam isu-isu keamanan maupun ekonomi di kawasan Asia Tenggara.

1.4. Tinjauan Kepustakaan


Perubahan kebijakan luar negeri ini juga telah memicu serangkaian peristiwa yang berkaitan
dengan negara di sekitar Tiongkok. Salah satu isu yang menjadi perhatian Tiongkok adalah
Laut Tiongkok Selatan. Perairan yang sesungguhnya merupakan bagian dari kedaulatan
beberapa negara anggota Asean ini diklaim seluruhnya oleh Tiongkok. Klaim ini memicu
reaksi dari negara-negara yang berkepentingan di Laut Tiongkok Selatan. Namun demikian,
Tiongkok juga tetap terbuka pada jalan-jalan penyelesaian konflik secara damai. Hal ini telah
mendorong diskusi mengenai strategi kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh Tiongkok
terkait isu Laut Tiongkok Selatan. Berbagai argumentasi telah membuat analisa bahwa
Tiongkok memiliki suatu strategi yang koheren dalam isu Laut Tiongkok Selatan (Le Thu,
2019; F. Zhang, 2020). Pada isu Laut Tiongkok Selatan, Beijing menerapkan suatu strategi
untuk menjaga keseimbangan di antara menjaga kedaulatan dan mempertahankan stabilitas
kawasan (F. Zhang, 2020). Dengan menerapkan strategi ini, Tiongkok ingin menjaga hubungan
bilateralnya dengan negara-negara Asean ditengah eskalasi konflik Laut Tiongkok Selatan.
Efektifitas strategi ini didukung oleh adanya penerapan strategi ganda yaitu, pemaksaan dan
bujukan. Strategi ganda ini diterapkan oleh Tiongkok dalam level hubungan bilateral.

7
Akibatnya peran ASEAN sebagai institusi multilateral memudar. Strategi ganda Beijing berupa
pemaksaan dan bujukan dengan masing-masing negara ASEAN telah menyebabkan
penyalahgunaan terhadap prinsip konsensus ASEAN – taktik ini juga sering disebut sebagai
taktik 'memecah-belah’ (Le Thu, 2019).

Lim (2017) dan Yahuda (2013) menjelaskan bahwa perilaku asertif Tiongkok
disebabkan oleh adanya pergeseran struktur internasional yang semakin menguntungkan bagi
Tiongkok serta adanya tekanan dari Amerika Serikat untuk menghambat kemajuan Tiongkok
yang semakin besar. Dalam penelitiannya Lim (2017) menggunakan pendekatan historikal
untuk menjelaskan perubahan sikap Tiongkok berdasarkan periode waktu. Menurutnya
terdapat perbedaan yang cukup signifikan ketika membandingkan sikap Tiongkok di Laut
Tiongkok Selatan antara periode 2000-2008 dan 2009-2014. Lim (2017) mengambil perubahan
dalam struktur kekuasaan di kawasan Asia-Pasifik sebagai variabel utama untuk menganalisa
perubahan sikap Tiongkok tersebut. Peningkatan kekuatan ekonomi dan kekuatan laut yang
dimiliki Tiongkok serta adanya strategi poros Asia yang dicanangkan oleh AS, secara
bersamaan dinilai telah mendorong Tiongkok untuk mengambil sikap yang lebih asertif dalam
menyikapi isu yang mereka hadapi di Laut Tiongkok Selatan (Lim, 2017). Sejalan dengan
argumen di atas, Yahuda (2013) menilai perubahan sikap Tiongkok yang menjadi lebih asertif
umumnya disebabkan oleh empat faktor utama. Pertama, adanya perubahan dalam struktur
balance of power yang menguntungkan bagi Tiongkok. Kedua, Tiongkok memperluas
kepentingan nasionalnya dengan memasukkan wilayah maritim di laut terdekatnya (jinhai) dan
juga memperluas jalur perdagangannya. Ketiga, adanya peningkatan kekuatan militer yang
dapat mendukung klaim maritimnya lebih efektif. Keempat, meningkatnya sentimen nasionalis
di kalangan pejabat serta di kalangan penduduk secara umum (Yahuda, 2013).

Sementara itu, dilihat dari perspektif realisme struktural, Tiongkok dinilai


menggunakan strategi realpolitik yang pada akhirnya bertujuan untuk mewujudkan Tiongkok
sebagai negara revisionis. Argumentasi yang dibangun oleh Tkacik (2018) menyebutkan
bahwa dalam hubungan internasional saat ini, pendekatan liberal secara umum lebih disukai.
Hal ini disebabkan karena dalam pendekatan liberal sangat menjunjung tinggi supremasi
hukum. Berdasarkan asumsi di atas, maka nilai-nilai liberal maupun seperangkat hukum dan
peraturan pada akhirnya akan mewujudkan tatanan internasional. Meski demikian, Tkacik
berpendapat bahwa Tiongkok berusaha untuk menjadi pemimpin tatanan internasional dengan
mengurangi nilai-nilai liberalisme (Tkacik, 2018). Hal ini tercermin dari strategi realpolitik
yang digunakan oleh Tiongkok dalam kasus sengketa Laut Tiongkok Selatan. Sengketa yang

8
terjadi di kawasan perairan Scarborough, Filipina merupakan salah satu contoh dari strategi
realpolitik yang dikerahkan Tiongkok terhadap Filipina. Menurut Castro (2016) sengketa yang
berlangsung selama dua bulan tersebut telah menyebabkan merenggangnya hubungan bilateral
antara Tiongkok-Filipina, hubungan ini semakin memburuk ketika Tiongkok memperluas
klaim maritimnya. Sebagai respon, Filipina untuk menggunakan strategi balancing dengan
melibatkan AS dan Jepang dalam sengketa ini (Castro, 2016).

Sikap yang diambil Tiongkok dalam konflik Laut Tiongkok Selatan juga dapat dilihat
dari paradigma konstruktivisme. Berbeda dengan paradigma arus utama dalam ilmu hubungan
internasional, konstruktivisme cenderung lebih jamak menyajikan analisa berdasarkan
pandangan yang bersifat struktural dan idealis. Alexander Wendt (1999) menjelaskan bahwa
sistem internasional merupakan sebuah konstruksi sosial. Wendt (2019) membangun sebuah
teori kebudayaan dalam politik internasional dengan menggunakan pandangan negara terhadap
satu sama lain, baik sebagai musuh, pesaing, maupun sekutu, sebagai faktor penentu yang
fundamental. Ia menyebut hal ini sebagai “budaya anarki” dan menilai budaya ini merupakan
gagasan bersama yang membantu negara dalam membentuk kepentingan dan meningkatkan
kemampuan serta mendorong tendensi dalam sistem internasional (Wendt, 1999).

Salah satu teori yang merupakan turunan dari paradigma konstruktivisme adalah
budaya strategis. Sebagai sebuah kerangka berpikir, budaya strategis merupakan salah satu
teori yang seringkali digunakan untuk menganalisa perilaku Tiongkok belakangan ini
(Rosyidin, 2019; Feng & He, 2019). Teori ini dinilai mampu menyajikan kerangka yang tepat
untuk memaparkan berbagai isu yang menyangkut kebijakan luar negeri Tiongkok. Menurut
Rosyidin (2019) Tiongkok seringkali menunjukkan adanya dualisme sikap dalam beberapa isu
internasional, tidak terkecuali dalam konflik Laut Tiongkok Selatan. Sejatinya Tiongkok telah
menunjukkan sikap yang semakin kooperatif dalam upaya menjaga perdamaian global, namun
di sisi lain Tiongkok juga seringkali mengambil sikap yang bersifat asertif dalam beberapa
kasus. Perilaku Tiongkok Tiongkok dalam kasus Laut Tiongkok Selatan dapat dilihat sebagai
sesuatu yang bersifat paradoks, karena pada dasarnya Tiongkok menerapkan dua kebijakan
yang saling bertolak belakang. Meski mendukung pendekatan perdamaian di Laut Tiongkok
Selatan, di saat yang bersamaan Tiongkok tidak menghentikan sikap asertifnya dalam
menangani isu di kawasan tersebut. Melalui pendekatan budaya strategis, akar dari perilaku
dualisme Tiongkok dapat ditemukan dalam dua filosofi yang telah melekat dalam kehidupan
masyarakat Tiongkok. Dua filosofi tersebut adalah Taoisme dan Konfusianisme (Rosyidin,
2109; Feng & He, 2019). Filosofi Taoisme sangat melekat dalam struktur masyarakat

9
Tiongkok. Filosofi yang dilambangkan dengan simbol Yin dan Yang ini merupakan cerminan
dari sikap dualisme Tiongkok secara umum terbuka terhadap pendekatan perdamaian namun
tetap melanjutkan tindakan koersif di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Meskipun Taoisme
merupakan sebuah filosofi yang menekankan petingnya perdamaian. Namun ciri utama dari
Taoisme adalah adanya dua elemen yang saling berlawanan namu saling melengkapi satu sama
lain (Rosyidin, 2019). Feng dan He (2019) menyebutkan perbedaan sikap tersebut disebabkan
karena adanya dua variabel yang membentuk kebijakan luar negeri Tiongkok. Mereka menilai
ketika dihadapkan pada ancaman strategis yang besar Tiongkok memilih untuk menggunakan
persepsi ancaman berdasarkan teori realpolitik, sehingga sikap yang ditunjukkan oleh
Tiongkok jg akan bersifat ofensif. Di sisi yang lain, ketika terlibat dengan ancaman strategis
berskala kecil, Tiongkok akan mengikuti nilai-nilai konfusianisme yang menekankan prinsip-
prinsip perdamaian dan menjauhi tindakan kekerasan.

Sementara itu arus kajian lain yang saat ini sedang berkembang menunjukkan bahwa
paradoks dalam kebijakan luar negeri Tiongkok diakibatkan adanya perubahan dalam identitas
bangsa. Identitas bangsa yang dipengaruhi oleh budaya dan norma strategis merupakan faktor
utama dalam menentukan kebijakan dan tujuan strategis Tiongkok terkait kawasan Laut
Tiongkok Selatan (Nohara, 2017; Wenjuan, 2018). Menurut Nohara (2017) Tiongkok saat ini
sedang melakukan upaya perubahan identitas. Sebelumnya Tiongkok dikenal sebagai sebuah
kekuatan darat, namun perkembangan terbaru menujukkan adanya upaya untuk menjadi
sebuah kekuatan laut. Identitas sebagai sebuah kekuatan laut tidak hanya dapat dipahami
sebagai sekumpulan perangkat dan doktrin militer, namun juga sebagai sebuah identitas
strategis dan budaya strategis (Nohara, 2017). Pemeliharaan hak dan kepentingan maritim
Tiongkok akan menentukan kemakmuran ekonomi, keamanan nasional dan kedudukan politik
internasionalnya (Ningbo, 2016). Meskipun pada akhrinya peningkatan strategi maritim
Tiongkok ini mengakibatkan ketidak-amanan, ketegangan, dan permainan kekuasaan dan
berdampak pada stabilitas di wilayah tersebut (Shah,2017).

Sebagai kesimpulan, telah banyak tulisan yang menguraikan mengapa Tiongkok seringkali
bertindak kontradiktif atau menggunakan dua sikap yang berbeda. Dilihat dari hasil tinjauan
pustaka, realisme dan konstruktivisme merupakan kelompok tulisan yang paling dominan
dalam membahas topik ini. Masing-masing pendekatan memiliki kekuatannya. Realisme
meletakkan analisanya pada asumsi bahwa negara merupakan aktor rasional. Berdasarkan
asumsi tersebut kelompok penelitian realisme menilai bahwa Tiongkok bergerak atau
berperilaku untuk mendahulukan kepentingan nasionalnya. Perilaku Tiongkok ini juga

10
dilakukan dengan mempertimbangkan tantangan yang dapat mengancam kepentingan
nasionalnya. Sementara itu perspektif konstruktivisme menekankan analisanya pada
pembahasan mengenai nilai-nilai kebudayaan di Tiongkok. Tulisan-tulisan yang menggunakan
perspektif ini menilai bahwa perilaku kontrakdiktif Tiongkok ini berakar dalam nilai-nilai
budaya yang telah melekat pada masyarakat Tiongkok. Tulisan dalam kelompok ini
menempatkan nilai-nilai Taoisme dan Konfusianisme sebagai akara dari sikap kontradiktif
Tiongkok. Kedua filosofi tersebut menekankan adanya kerja sama di antara dua kekuatan yang
berlawanan untuk mencapai perdamaian.

Berdasarkan berbagai kajian yang telah diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa kebijakan
luar negeri Tiongkok saat ini didorong oleh kepentingan geopolitik dan geoekonomi Tiongkok.
Kebijakan BRI dinilai sebagai salah satu strategi Tiongkok untuk memperoleh dominasi
geopolitik dan geoekonomi di dunia. Indonesia adalah salah satu negara yang penting bagi
keberhasilan BRI. Gagasan Poros Maritim Dunia yang diusulkan Joko Widodo sejalan dengan
tujuan maritim BRI. Meski demikian, sejak 2019 Tiongkok justru meningkatkan sikap asertif
di Laut Natuna Utara. Hal ini justru berpotensi menghalangi keberhasilan BRI karena dapat
menimbulkan respon dan sentimen negatif terhadap Tiongkok dari elemen politik domestik
Indonesia. Di berbagai kasus, respon negatif dari dalam negeri negara mitra terbukti telah
menghalangi keberhasilan BRI. Sepanjang tinjauan pustaka yang telah dilakukan, penelitian
ini tidak dapat menemukan analisis yang menjelaskan mengapa Tiongkok menggunakan dua
kebijakan luar negeri yang berbeda dalam hubungan bilateralnya dengan Indonesia. Oleh
karena, itu tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengisi kesenjangan penelitian
tersebut.

1.5. Kerangka Analisis


Penulisan tesis ini menggunakan kerangka pemikiran realisme neoklasik untuk memaparkan
faktor-faktor yang menentukan kebijakan luar negeri suatu negara. Realisme merupakan salah
satu paradigma yang paling dominan dalam ilmu hubungan internasional. Selama lebih dari
dua dekade analisis terhadap kebijakan luar negeri dengan menggunakan paradigma realisme
masih dinilai relevan. Sebagai sebuah paradigma, realisme bukanlah paradigma yang statis.
Sepanjang sejarah realisme telah melahirkan beberapa variasi pemikiran yang berbeda.
Sedikitnya realisme dapat dibedakan ke dalam dua kelompok utama, yaitu realisme klasik, dan
realisme struktural. Meski secara umum memiliki asumsi dasar yang serupa, keduanya
memiliki ciri tersendiri yang membedakan satu sama lain. Bahkan, dalam pemikiran realisme
struktural perbedaan antara realisme ofensif dan realisme defensif terlihat sangat jelas (Smith,

11
2019). Gideon Rose (1998) menekankan bahwa dalam realisme ofensif faktor-faktor sistemik
selalu dominan, sementara realisme defensif berpendapat bahwa faktor-faktor sistemik tidak
selalu dominan dalam mendorong perilaku negara. Selain itu, Rose juga menambahkan salah
satu teori realisme lainnya, yaitu innenpolitik yang berpendapat bahwa faktor domestik juga
memiliki peran penting dalam kebijakan luar negeri (Rose, 1998).

Teori selanjutnya dalam paradigma realisme adalah realisme neoklasik. Teori ini
dibangun berdasarkan asumsi dasar dua pendahulunya, yaitu realisme klasik dan realisme
struktural. Menurut Lobell, Ripsman, dan Taliafero (2009) realisme neoklasik memiliki
pemikiran dasar yang sama dengan realisme klasik mengenai negara dan hubungannya dengan
masyarakat domestik. Hal ini menyebabkan realisme neoklasik lebih banyak menghasilkan
teori-teori mengenai kebijakan luar negeri, dibandingkan teori sistem di mana negara
berinteraksi. Meskipun demikian, realisme neoklasik memiliki tujuan metodologis yang lebih
besar daripada realisme klasik. Selain itu, realisme neoklasik juga mengadopsi asumsi dasar
neorealisme bahwa sistem internasional menyusun dan membatasi pilihan kebijakan negara
(Lobell, Ripsman, & Taliafero, 2009). Meski dibangun dengan asumsi dasar yang sama
perbedaan antara realisme neoklasik dan realisme struktural terlihat cukup jelas. Sebagai
sebuah kerangka konseptual, realisme struktural menekankan peran struktur dan sistem
internasional dalam menentukan perilaku negara, sementara realisme neoklasik meletakkan
agenda penelitian empirisnya dengan memisahkan kekuatan relatif negara sebagai variabel
independen utama dan faktor unit-level, seperti persepsi pengambil keputusan, struktur negara
domestik dan ideologi politik sebagai variabel pengintervensi (Clarke, 2019). Berdasarkan
penjelasan ini, realisme neoklasik dapat didefinisikan sebagai sebuah teori kebijakan luar
negeri dengan menganalisa keterikatan antara faktor internasional dan faktor domestik.

Perilaku serta kebijakan luar negeri suatu negara tidak hanya ditentukan oleh faktor
yang bersifat sistemik semata. Pandangan ini merupakan sebuah kritik terhadap asumsi dasar
realisme struktural. Berbagai penelitian telah dikembangkan untuk menjelaskan perilaku serta
kebijakan luar negeri suatu negara. Penelitian tersebut berupaya untuk menggabungkan
beberapa level analisis yang berbeda untuk mengembangkan teori lintas-batas yang dapat
mengelaborasi perilaku kebijakan luar negeri negara. Realisme neoklasik adalah teori yang
lahir dari perkembangan ini dalam beberapa tahun belakangan. Selama perkembangannya,
teori realisme neoklasik mennggunakan pendekatan realisme klasik dan realisme struktural
untuk menjelaskan perilaku tertentu suatu negara. Bagi realisme neoklasik, kebijakan luar
negeri dipengaruhi oleh variabel independen dan variabel pengintervensi (Ye X. , 2019).

12
Struktur kekuasaan internasional dipandang sebagai variabel independen dalam membentuk
kebijakan luar negeri suatu negara, sementara variabel domestik dipandang sebagai variabel
pengintervensi yang dapat mempercepat atau memperlambat transisi dalam kebijakan luar
negeri (Rose, 1998). Menurut Liu Feng (2016) dengan menyertakan variabel di tingkat sistemik
maupun domestik ke dalam perspektif analitis, kajian realisme neoklasik telah memperoleh
akurasi empiris yang lebih baik dibandingkan neorealisme mengenai perilaku negara, dan telah
mendorong banyak peneliti untuk mengembangkan kerangka analisis yang menjelaskan
perilaku kebijakan luar negeri dan pilihan strategis tertentu suatu negara (Feng, 2016).

Sebagai sebuah kerangka analisis, realisme neoklasik tetap memiliki kekurangan.


Beberapa kerangka analisis realisme neoklasik yang telah dikembangkan sejauh ini mengalami
keterbatasan konsep utama yang dapat diakui oleh seluruh pemikir realisme neoklasik.
Sebagian besar kajian realisme neoklasik menggunakan berbagai macam variabel domestik,
mulai dari institusi politik, budaya strategis hingga persepsi pemimpin (Ye X. , 2019). Ini
menyebabkan realisme neoklasik menjadi sebuah teori yang bersifat luas dan longgar, alih-alih
sebagai sebuah teori tunggal yang koheren. Para pemikir utama realisme neoklasik juga sangat
menyadari akan kekurangan ini. Menurut Lobell, Ripsman, dan Taliafero (2009) tidak ada teori
kebijakan luar negeri realisme neoklasik yang tunggal, melainkan teori realisme neoklasik yang
beragam (Lobell, Ripsman, & Taliafero, 2009). Masalah selanjutnya adalah realisme neoklasik
cenderung mengabaikan interaksi negara dengan sekutu maupun rivalnya. Hubungan antar
negara merupakan sebuah interaksi strategis yang sangat penting antara dua atau lebih negara.
Kebijakan luar negeri atau perilaku suatu negara juga ditentukan oleh perilaku strategis negara-
negara lain, atau setidaknya negara yang menjadi tujuan. Oleh karena itu, menurut berbagai
kajian, interaksi strategis para aktor harus diperkenalkan sebagai sebuah unit analisis (Feng,
2016).

Feng (2016) melakukan upaya untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Langkah ini
kemudian dilanjutkan oleh Ye (2019) yang mengadopsi kerangka analsis yang telah disusun
oleh Feng dalam kajiannya. Keduanya berpendapat bahwa interaksi strategis yang terjadi
dalam hubungan antar negara memiliki dampak yang cukup besar pada proses pengambilan
kebijakan luar negeri suatu negara. Kerangka analisis yang dikembangkan oleh Feng dan Ye
menempatkan sistem regional sebagai variabel independen utama. Kemudian dalam kerangka
analisis tersebut terdapat dua variabel pengintervensi, yaitu orientasi strategis dan respon
negara tetangga. Kedua variabel tersebut menunjukkan pengaruh yang cukup kuat terhadap
luaran kebijakan luar negeri suatu negara (Ye X. , 2019; Feng, 2016). Revisi terhadap realisme

13
neoklasik ini tidak hanya memenuhi kekurangan yang ada dalam level analisis antar negara,
tetapi juga mengurangi variabel yang tidak konsisten di level analisis domestik (Ye X. , 2019).
Berdasarkan uraian di atas, rumusan kerangka analisis yang disajikan dalam artikel ini adalah
sebagai berikut: struktur regional + orientasi strategis + respon negara tetangga = strategi
keamanan Tioingkok.

Gambar 1. Model analisa realisme neoklasik. Sumber: Desain pribadi yang disusun berdasarkan kerangka analisis Feng, L.
(2016). China’s Security Strategy towards East Asia. The Chinese Journal of International Politics, 151–17

Sebelum kerangka analisis ini diaplikasikan secara empiris, diperlukan penjelasan dan
uraian lebih rinci mengenai beberapa konsep utama yang ada di dalam kerangka tersebut.
Sistem regional umumnya ditentukan oleh distribusi kekuatan materi antara negara-negara
besar, yang kemudian struktur tersebut dapat dibagi menjadi multipolar, bipolar, dan unipolar.
Realisme neoklasik menggunakan berbagai indikator untuk mengukur kekuatan material suatu
negara, termasuk produk domestik bruto (PDB), jumlah anggaran militer tahunan, jumlah
populasi, luas wilayah, dan sebagainya. Artikel ini menggunakan tingkat pertumbuhan PDB
dan pengeluaran militer untuk menggambarkan posisi Tiongkok dalam struktur kekuatan
internasional (Ye X. , 2019). Selama dua dekade terakhir Tiongkok telah mengalami kemajuan
yang sangat besar. Kekuatan militer maupun ekonomi Tiongkok merupakan dua bidang yang
semakin meningkat sejak akhir periode 1990-an. Tiongkok telah memulai modernisasi militer
secara masif dalam beberapa dekade terakhir. Modernisasi tersebut didorong oleh pertumbuhan
ekonomi yang cepat dan keinginan untuk mempertahankan kepentingan keamanannya. Sebagai

14
upaya untuk merampingkan struktur komando dan meningkatkan kekuatan militer Tiongkok,
Presiden Xi Jinping telah melembagakan reformasi militer secara ekstensif (CSIS China Power
Project, 2016). Pertumbuhan ekonomi adalah indikator selanjutnya yang dapat menunjukkan
kedudukan Tiongkok di kawasan. Sejak Tiongkok mulai membuka diri dan melakukan
reformasi ekonomi pada tahun 1978, pertumbuhan rata-rata PDB mencapai hampir 10% per
tahun, dan lebih dari 850 juta orang telah keluar dari kemiskinan (The World Bank, 2020).
Selama 30 tahun Tiongkok telah menikmati pertumbuhan ekonomi yang besar, Keberhasilan
ini didorong oleh kemampuan pemerintah dalam memadukan ekonomi kapitalisme dengan
sistem ekonomi terpimpin (The Balance, 2020). Kombinasi dari faktor-faktor ini menghadirkan
kendala atau peluang yang dihadapi oleh kekuatan yang meningkat ketika mengejar kekuasaan
dan pengaruh, baik di dalam maupun di luar kawasannya

Selanjutnya adalah varibel pengintervensi yang pertama dalam realisme neoklasik, yaitu
orientasi strategis. Feng (2016) menerangkan bahwa, orientasi strategis negara memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap pilihan kebijakan luar negerinya. Jika orientasinya adalah
untuk menambah kapasitas fisiknya, terutama kemampuan ekonomi, maka strategi yang dipilih
adalah menghindari perhatian. Sedangkan bagi negara yang berorientasi eksternal dengan
tujuan untuk memperluas pengaruhnya akan cenderung menggunakan instrumen koersif
dengan cara yang lebih proaktif. Tiongkok saat ini dinilai sedang berupaya untuk meningkatkan
pengaruhnya secara regional maupun global. Untuk mewujudkan updaya ini para pemimpin
Tiongkok memanfaatkan kekuatan ekonomi, diplomatik, dan militer yang sedang berkembang
untuk meningkatkan keunggulan regional dan memperluas pengaruh internasional Tiongkok.
Terkait sengketa maritim di Laut Tiongkok Selatan, Tiongkok dinilai memanfaatkan sarana
ekonomi dan institusi formal untuk mengejar tujuan keamanan-politiknya (Yoshimatsu, 2017).
Selain itu gagasan kebijakan luar negeri juga dapat menunjukkan orientasi Strategis Tiongkok
Belt and Road Initiative (BRI) yang digagas pada Oktober 2013 oleh Presiden Tiongkok Xi
Jinping, berupaya menghubungkan Beijing ke pasar global dengan menghubungkan Asia dan
Eropa melalui serangkaian jalur perdagangan darat dan laut. Gagasan yang dibentuk selama
beberapa tahun ini sekarang telah menjadi landasan kebijakan luar negeri Presiden Xi. Proyek
BRI akan meningkatkan kerja sama dan perjanjian antara Tiongkok dengan lebih dari sepuluh
negara di sepanjang rute yang dilalui BRI, hal ini berpotensi untuk memperluas jaringan
ekonomi Tiongkok ke wilayah Eurasia serta hubungan politiknya dengan negara-negara yang
terlibat dalam proyek ini. Hubungan ini akan berdampak pada peningkatan lingkup pengaruh
Tiongkok ke wilayah-wilayah yang secara tradisional berada di bawah pengaruh kekuatan

15
besar lainnya (Chaziza, 2020). Beijing menggunakan institusi dan melakukan konfigurasi
ulang terhadap interaksi antara aktor di tingkat antar negara secara normatif untuk membentuk
kerja sama regional sesuai dengan kebutuhannya (Garlick & Havlova, 2020). Gagasan BRI
dapat memberikan dorongan besar bagi ekonomi dan citra positif Tiongkok.

Variabel pengintervensi selanjutnya adalah respon dari negara sekitar. Strategi keamanan suatu
negara juga ditentukan oleh interaksinya dengan negara yang menjadi tujuan dari strategi
tersebut. Kebangkitan kekuatan baru umumnya tidak mudah diterima oleh negara tetangga.
Tulisan ini mengelompokkan respon negara-negara di kawasan ke dalam tiga kategori:
accommodating, balancing, dan hedging. Para pemikir menggambarkan hedging sebagai
sebuah strategi yang mengambil jalan tengah di antara balancing dan bandwagoning (Feng,
2016). Variabel ini dapat membantu menjelaskan bagaimana respon negara anggota ASEAN,
khususnya Indonesia dalam meananggapi peningkatan kekuatam Tiongkok. Kebangkitan
Tiongkok selama dua dekade terakhir, baik dalam kapasitas maupun ambisinya untuk
membentuk struktur kekuasaan global dan regional yang lebih menguntungkan bagi Tiongkok
telah mengubah kesadaran dan perilaku ASEAN mengenai perubahan realitas geopolitik di
Asia-Pasifik. Terdapat perubahan yang signifikan dalam pendekatan Tiongkok terhadap
ASEAN, cara Tiongkok berinteraksi dengan ASEAN dan cara ASEAN merespons fenomena
kebangkitan Tiongkok. Di antara tiga pilihan strategi yang diajukan oleh teori realisme
neoklasik, strategi hedging adalah strategi yang lebih umu digunakan oleh negara-negara di
Asia Tenggara dalam menyikapi kebangkitan Tiongkok. Strategi hedging marujuk pada sebuah
strategi yang mengambil jalan tengah di antara perimbangan (balancing) dan bandwagoning
(Feng, 2016). Strategi ini digunakan agar memungkinkan seorang aktor untuk memiliki banyak
pilihan dan melindungi dari risiko yang dapat ditimbulkan akibat memilih salah satu pihak
tertentu. Kebijakan ini mengandalkan dua elemen utama. Pertama, melibatkan kekuatan non-
Asia Tenggaa, baik di Asia maupun global sebagai bentuk penyeimbangan tidak langsung
terhadap Tiongkok dan kedua, melibatkan Tiongkok dalam kompleksitas proses kerja sama
yang dilembagakan (Shekhar, 2012).

Variabel-variabel di atas dapat menghasilkan luaran strategi keamanan yang berbeda.


Secara umum luaran strategi berdasarkan kerangka realisme neoklasik dapat dibagi menjadi
dua yaitu, jaminan dan koersi. Dalam studi konflik internasional, jaminan dianggap sebagai
upaya memastikan keinginan negara untuk menghindari konflik (Ye X. , 2019). Jaminan
merupakan instrumen bagi suatu negara untuk meyakinkan negara lain terkait niat baiknya
dengan imbalan perilaku atau hasil yang diinginkan. Berbeda dengan jaminan, koersi mengacu

16
pada ancaman dan/atau tindakan yang menjatuhkan hukuman. Instrumen koersi sangat
beragam mulai dari paksaan diplomatik, sanksi ekonomi hingga ancaman militer (Feng, 2016,
p. 158). Strategi yang menggunakan jaminan secara penuh adalah pure reassurance, sementara
negara yang memilih koersi secara utuh maka strategi yang dipilih adalah pure coercion. Di
tengah kedua strategi tersebut terdapat sebagai partial reassurance, dengan menggabungkan
komitmen jaminan yang tinggi dengan tindakan koersif yang rendah. Strategi yang selanjutnya
adalah half-measures yang menggabungkan jaminan dan koersi yang terbatas.

1.6. Asumsi Penelitian


Asumsi yang dibangun dalam penelitian ini adalah negara merupakan aktor rasional. Dalam
menjalankan kebijakan luar negerinya, Tiongkok bergerak dengan menggunakan pemikiran
yang rasional. Pemikiran rasional ini diwujudkan Tiongkok dalam bentuk kebijakan luar negeri
menguntungkan kepentingan nasionalnya. Bagi Tiongkok tindakan asertif di perairan Natuna
merupakan tindakan yang diperlukan untuk mempertegas klaim sepihaknya di wilayah
tersebut. Meski demikian, Tiongkok tetap menilai Indonesia sebagai negara yang signifikan
bagi penerapan kebijakan BRI. Oleh karena itu, Tiongkok berupaya untuk mengambil tindakan
yang paling menguntungkannya. Berdasarkan latar belakang ini, Tiongkok terdorong untuk
menggunakan strategi pendekatan dua jalur. Dari kaca mata teori realisme neoklasik,
pendekatan ini merupakan langkah yang menggabungkan dua strategi yaitu, koersi dan
penjaminan. Secara umum strategi ini disebut sebagi partial reassurance.
Menurut realisme neoklasik, strategi dapat dilakukan apabila terdapat tiga variabel.
Variabel tersebut adalah sistem regional sebagai variabel independen. Kemudian orientasi
strategis dan respon negara tetangga sebagai variabel pengintervensi. Ditinjau melalui variabel
pertama, yaitu sistem regional, Tiongkok jelas memiliki keunggulan dalam hal ini. Di kawasan
Asia-Pasifik, kekuatan material Tiongkok merupakan yang terbesar di antara negara lainnya.
Kekuatan ini dapat terlihat melalui anggaran belanja militer dan PDB Tiongkok yang
menempati urutan teratas dalam beberapa tahun terakhir. Selanjutnya, orientasi strategis
sebagai variabel pengintervensi menunjukkan bahwa orientasi strategis Tiongkok dalam
beberapa dekade terakhir bersifat eksternal. Ini artinya orientasi strategis bersifat internal
seperti yang dijalankan pemerintahan sebelumnya telah ditinggalkan. Ketika di awal
kebangkitannya, Tiongkok lebih memilih orientasi internal yang fokus pada pembangunan
kekuatan dan ekonomi, maka pada masa pemerintahan Xi Jinping orientasi tersebut berubah.
Bagi Xi Jinping, saat ini meruapakan waktu yang tepat untuk Tiongkok memainkan peran yang
lebih besar dalam politik global. Orientasi yang bersifat eksternal ini diharapkan mampu

17
memperbesar pengaruh Tiongkok di seluruh dunia. Variabel pengintervensi selanjutnya adalah
respon dari negara tetannga. Secara spesifik, bagaimana Indonesia menanggapi kebangkitan
Tiongkok. Terkait hal ini, Indonesia merespon dengan menggunakan strategi hedging. Strategi
ini digunakan oleh Indonesia agar tidak terjebak ke dalam persaingan global antara Tiongkok
dan Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak sepenuhnya melakukan
balancing ataupun bandwagoning terhaadap dua negara terbesar di dunia saat ini. Tiga variabel
di atas menunjukkan bahwa tindakan Tiongkok yang terkesan bertolak belakang memiliki
pertimbangan rasional di belakangnya.

18
Gambar 2. Operasionalisasi Teori. Sumber: Desain pribadi yang disusun berdasarkan model analisa pada Gambar 1.

19
1.7. Metode Penelitian
Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan, artikel ini akan disajikan dengan
menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah strategi penelitian yang
biasanya lebih banyak menggunakan kata daripada angka dalam pengumpulan dan analisis data
(Bryman, 2012). Menurut Christopher Lamont (2015), penelitian kualitatif dapat digunakan
untuk memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai politik internasional, hal ini biasanya
dilakukan dengan melakukan kajian mendalam terhadap peristiwa, fenomena, kawasan,
negara, organisasi, atau individu tertentu. Lamont (2015) juga menjelaskan bahwa penelitian
kualitatif seringkali menggunakan penalaran induktif, karena peneliti kualitatif biasanya
menghasilkan saran teoritik dari pengamatan empiris yang dilakukan (Lamont, 2015).

Dalam penelitian kualitatif, terdapat beberapa metode pengumpulan data yang sering
digunakan oleh para akademisi hubungan internasional. Metode tersebut di antaranya adalah
wawancara, diskusi kelompok, penelitian berbasis internet, dan penelusuran dokumen maupun
arsip (Lamont, 2015, p. 96). Untuk memperkaya dan memperdalam analisis, penelitian ini tidak
hanya mengumpulkan data primer melalui penulusuran dokumen maupun arsip saja. Namun,
pengambilan data dalam penelitian ini juga dilakukan dengan menggunakan metode
wawancara elit, yakni melakukan wawancara terhadap pihak yang dinilai memiliki kompetensi
pada topik yang diangkat dalam tesis ini. Wawancara dalam penelitian hubungan internasional
terbagi dalam tiga kategori, yaitu terstruktur, semi-struktur, dan tidak terstruktur. Wawancara
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi-struktur. Wawancara semi-
struktur dipilih sebagai metode pengumpulan data pada tesis ini karena dirasa memiliki tingkat
fleksibilitas yang lebih tinggi namun tetap memiliki struktur dasar bagi dasar bagi peserta.
Implementasi wawancara semi-struktur yang digunakan dalam tesis ini adalah dengan cara
mewawancar pihak yang dinilai kapabel terhadap topik dalam tesis ini dengan sebelumnya
telah menyiapkan daftar pertanyaan tanpa membatasi respon dari yang bersangkutan. Hal ini
bertujuan untuk menghindari misinterpretasi maupun hilangnya informasi yang diperlukan
(Lamont, 2015, p. 101).

Selanjutnya, penelitian dokumen dan arsip merupakan metode pengambilan data yang
sering digunakan oleh akademisi hubungan internasional. Dokumen dan arsip tersebut berasal
dari sumber primer maupun sekunder. Dokumen primer merupakan dokumen asli yang berasal
dari pihak berwenang yang terlibat langsung dalam peristiwa yang akan diteliti, sementara
dokumen sekunder merupakan dokumen yang menganalisa dan merujuk pada dokumen primer
(Lamont, 2015, p. 97). Penelitian berbasis internet juga merupakan cara yang baik untuk

20
mengumpulkan data. Media daring yang kredibel dapat menghasilkan sumber daya penelitian
yang berharga (Lamont, 2015, p. 99). Penelusuran media daring dapat menjadi salah satu
sumber data sekunder dalam sebuah penelitian. Berdasarkan pemaparan di atas, maka data
primer pada penelitian ini akan diperoleh melalui wawancara, dokumen, pernyataan, dan
naskah resmi. Sementara data sekunder diperoleh dari berbagai literatur seperti buku, artikel
jurnal, berita di media online dan sumber lainnya dengan rentang waktu dari tahun 2013-2020.

Teknik analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik triangulasi data.
Secara umum triangulasi dapat didefinisikan sebagai sebuah teknik analisa data yang
menggunakan lebih dari satu metode atau sumber data. Menurut Bryman (2012) triangulasi
diperkenalkan oleh Webb dkk pada tahun 1966 sebagai sebuah teknik yang dapat dioperasikan
dalam berbagai rancangan penelitian. Istilah ini telah digunakan secara luas untuk merujuk
pada pendekatan yang menggunakan 'banyak pengamat, perspektif teoretis, sumber data, dan
metodologi', tetapi penekanannya cenderung pada metode investigasi dan sumber data
(Bryman, 2012, p. 392).

1.8.Sistematika Penulisan
Selanjutnya tulisan ini akan disusun ke dalam empat bagian. Bagian pertama merupakan
pendahuluan yang memberikan pengantar mengenai dinamika hubungan Tiongkok-Indonesia
dalam konteks konflik Laut Natuna Utara. Pada bagian kedua, tesis ini akan memaparkan lebih
dalam mengenai dinamika serta kronologi hubungan Tiongkok-Indonesia sejak pertaama kali
dibangun pada tahun 1950 hingga ke dinamika terbaru pada konflik Laut Natuna Utara. Bagian
ketiga dari tesis ini menguraikan topik pembahasan lebih lanjut berdasarkan empat variabel
realisme neoklasik. Dalam perspektif realisme neoklasik perilaku kebijakan luar negeri
disebabkan dua faktor utama, yaitu faktor sistemik dan domestik. Secara spesifik artikel ini
mengadopsi kerangka analisis realisme neoklasik yang telah direvisi oleh Liu Feng (2016) dan
Xiaodi Ye (2019). Kebijakan luar negeri suatu negara ditentukan oleh struktur regional sebagai
variabel independen utama, kemudian dua variabel pengintervensi, yaitu orientasi strategis dan
respons negara tetangga, serta variabel dependen dalam bentuk pilihan kebijakan luar negeri
yang dihasilkan dari kombinasi semua variabel tersebut (Feng, 2016; Ye X. , 2019). Bagian
keempat adalah simpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan artikel
ini.

21
Bibliography
Kartikasari, A. (2019). Indonesia’s Image from China’s Perspective on South China Sea
Dispute (A Preliminary Study on China’s Perception on Indonesia). Global: Jurnal
Politik Internasional, 176-197.
Lalisang, Y. (2013). Kunjungan Presiden Xi Jinping ke Indonesia Dari Perspektif Media di
Indonesia Dan Tiongkok: Suatu Kajian Pendahuluan. Global: Jurnal Politik
Internasional, 216-236.
Priyandita, G. (2019). From Rivals to Partners: Constructing The Sino-Indonesian Strategic
Partnership. Global: Jurnal Politik Internasional, 1-26.
SCMP. (2020, April 12). After 70 years of ties, China and Indonesia have a fruitful,
complicated relationship. Diambil kembali dari South China Morning Post:
https://www.scmp.com/week-asia/politics/article/3079446/after-70-years-ties-china-
and-indonesia-have-fruitful
Luhulima, C. P. (2007). Pendektan Multi-track dalam Penyelesaian Sengketa Laut Cina
Selatan: Upaya dan Tantangan. Global: Jurnal Politik Internasional, 75-85.
CSIS China Power Project. (2016, February 24). Is China a military superpower? Diambil
kembali dari CSIS China Power Project: https://chinapower.csis.org/is-china-a-
military-superpower/
The World Bank. (2020, April 23). The World Bank In China. Diambil kembali dari The
World Bank: https://www.worldbank.org/en/country/china/overview
The Balance. (2020, July 1). China's Economic Growth, Its Causes, Pros, Cons, and Future.
Diambil kembali dari The Balance: https://www.thebalance.com/china-s-economic-
growth-cause-pros-cons-future-3305478
Yoshimatsu, H. (2017). China, Japan and the South China Sea Dispute: Pursuing Strategic
Goals Through Economic and Institutional Means. Journal of Asian Security and
International Affairs, 294–315.
Chaziza, M. (2020). China–Qatar Strategic Partnership and the Realization of One Belt, One
Road Initiative. China Report, 78–102.
Garlick, J., & Havlova, R. (2020). China’s “Belt and Road” Economic Diplomacy in the
Persian Gulf: Strategic Hedging amidst Saudi–Iranian Regional Rivalry. Journal of
Current Chinese Affairs, 1–24.
Feng, L. (2016). China’s Security Strategy towards East Asia. The Chinese Journal of
International Politics, 151–179.
Shekhar, V. (2012). ASEAN’s Response to the Rise of China: Deploying a Hedging Strategy.
Indian Council of World Affairs, 253–268.

Daftar Pustaka

22
Advisory Council of the Belt and Road Forum. (2019). Report on the Findings and
Recommendations from the Meetings of the Advisory Council of the Belt and Road
Forum for International Cooperation in 2019 and 2020. Belt and Road Forum. Beijing:
Kementerian Luar Negeri Tiongkok.
Blanchard, J.-M. F. (2018). China’s Maritime Silk Road Initiative (MSRI) and Southeast
Asia: A Chinese ‘pond’ not ‘lake’ in the Works. Journal of Contemporary China, 27(111),
329-343.
Bojang, A. (2018). The Study of Foreign Policy in International Relations. Journal of
Political Sciences & Public Affairs, 1-9.
Bryman, A. (2012). Social Research Methods (4th ed.). Oxford: Oxford University Press.
Cai, K. G. (2018). The One Belt One Road and the Asian Infrastructure Investment Bank:
Beijing’s New Strategy of Geoeconomics and Geopolitics. Journal of Contemporary
China, 27(114), 831-847.
Chen, J., Fei, Y., Lee, P. T.-W., & Tao, X. (2018). Overseas Port Investment Policy for
China’s Central and Local Governments in the Belt and Road Initiative. Journal of
Contemporary China, 196-215.
Chen, S. (2018). Regional Responses to China’s Maritime Silk Road Initiative in Southeast
Asia. Journal of Contemporary China, 27(111), 344-361.
Cheng, Z. (2019). Building the belt and road initiative? – practices en route. The Pacific
Review.
Clarke, M. (2019). Beijing's Pivot West: The Convergence of Innenpolitik and
Aussenpolitik on China's 'Belt and Road?'. Journal of Contemporary China.
Feng, L. (2016). China’s Security Strategy towards East Asia. The Chinese Journal of
International Politics, 151–179.
Fitriani, E. (2018). Indonesian perceptions of the rise of China: dare you, dare you not. The
Pacific Review.
Hayes, A. (2019). Interwoven ‘Destinies’: The Significance of Xinjiang to the China
Dream, the Belt and Road Initiative, and the Xi Jinping Legacy. Journal of Contemporary
China.
He, B. (2019). The Domestic Politics of the Belt and Road Initiative and its Implications.
Journal of Contemporary China, 28(116), 180-195.
Jakarta Globe. (2020, January 3). Indonesian Military on Full Alert in North Natuna Sea
After Border Trespass by Chinese Vessels. Diambil kembali dari Jakarta Globe:
https://jakartaglobe.id/news/indonesian-military-on-full-alert-in-north-natuna-sea-after-
border-trespass-by-chinese-vessels
King, C., & Du, J. (2018). Could ‘Belt and Road’ be the Last Step in China’s Asian
Economic Integration? Journal of Contemporary China, 27(114), 811-830.

23
Kurniawan, Y. (2016). Indonesia’s View on ‘One Belt One Road’ Initiative: Hopes and
Concerns. Wuhan: Indonesia Studies Center.
Kusuma, A. J., Warsito, T., Surwandono, Muhammad, A., & Pribadi, U. (2019). Analisis
Perkembangan Norma Internasional “War on Terror” dalam Perspektif Realis, Liberalis
dan Konstruktivis. Indonesian Perspective, 1-19.
Lalisang, A. E., & Candra, D. S. (2020). Indonesia’s Global Maritime Fulcrum & China’s
Belt Road Initiative – A match made at sea? Jakarta: Friedrich- Ebert-Stiftung.
Lamont, C. (2015). Research Methods in International Relations. Los Angeles: Sage
Publications.
Lobell, S. E., Ripsman, N. M., & Taliafero, J. W. (2009). Introduction: Neoclassical
Realism, the State, and Foreign Policy. In S. E. Lobell, N. M. Ripsman, & J. W. Taliafero,
Neoclassical Realism, the State, and Foreign Policy (pp. 1-41). New York: Cambridge
University Press.
NDRC. (2015). Vision and Actions on Jointly Building Silk Road Economic Belt and 21st-
Century Maritime Silk Road. Beijing: National Development and Reform Commission.
Reeves, J. (2018). China’s Silk Road Economic Belt Initiative: Network and Influence
Formation in Central Asia. Journal of Contemporary China, 27(112), 502-518.
Reuters. (2020, january 1). Indonesia rejects China's claims over South China Sea. Diambil
kembali dari Reuters: https://www.reuters.com/article/us-indonesia-china-
southchinasea/indonesia-rejects-chinas-claims-over-south-china-sea-idUSKBN1Z01RE
Rose, G. (1998). Review: Neoclassical Realism and Theories of Foreign Policy. World
Politics, 144-172.
Saraswati, N. M. (2019). Menilik Perjanjian Indonesia-Cina dalam Kerangka Belt and
Road Initiative (BRI) dalam Perspektif Ketahanan Nasional. Jurnal Kajian Lemhannas RI
|, 60-61.
Smith, K. (2019). Recollecting a lost dialogue: Structural Realism meets neoclassical
realism. International Relations, 494–513.
Sriyanto, N. (2018). Global Maritime Fulcrum, Indonesia-China Growing Relations, and
Indonesia’s Middlepowermanship In the East Asia Region. Jurnal Kajian WIlayah, 9(1),
1-18.
Sutter, R. G. (2010). Chinese Foreign Relations: Power and Policy since the Cold War.
Plymouth: Rowman & Littlefield Publisher Inc.
Tekdal, V. (2018). China's Belt and Road Initiative: at the crossroads of challenges and
ambitions. The Pacific Review, 31(3), 373-390 .
The Asia Dialogue. (2019, October 4). Indonesia: The Belt and Road Initiative and
relations with China. Diambil kembali dari The Asia Dialogue:
https://theasiadialogue.com/2019/10/04/belt-and-road-initiative-in-indonesia-and-
relations-with-china/

24
The Jakarta Post. (2020, January 12). Chinese vessels retreat to border of Indonesia's EEZ
in North Natuna Sea. Diambil kembali dari The Jakarta Post:
https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/12/chinese-vessels-retreat-to-border-of-
indonesias-eez-in-north-natuna-sea.html
The Jakarta Post. (2020, January 14). Territorial tussle over South China Sea. Diambil
kembali dari The Jakarta Post:
https://www.thejakartapost.com/academia/2020/01/14/territorial-tussle-over-south-china-
sea.html
The Wall Street Journal. (2020, January 17). In South China Sea Confrontation, Indonesia
Resists China—Cautiously. Diambil kembali dari The Wall Street Journal:
https://www.wsj.com/articles/in-south-china-sea-confrontation-indonesia-resists-
chinacautiously-11579257004
Wang, Y. (2016). Offensive for defensive: the belt and road initiative and China's new
grand strategy. The Pacific Review, 29(3), 455-463.
World Politic Review. (2020, January 16). Why Is China Pressing Indonesia Again Over
Its Maritime Claims? Diambil kembali dari World Politic Review: https://www (CSIS
China Power Project, 2016) (CSIS China Power Project, 2016) (Chaziza, 2020) (Feng,
2016) (CSIS China Power Project, 2016) (Kartikasari,
2019).worldpoliticsreview.com/insights/28476/why-is-china-pressing-indonesia-again-
over-the-natuna-islands
Ye, M. (2019). Fragmentation and Mobilization: Domestic Politics of the Belt and Road in
China. Journal of Contemporary China, 28(119), 696-711.
Ye, X. (2019). Rediscovering theTransition in China’s National Interest: A Neoclassical
Realist Approach. Journal of Current Chinese Affairs, 76-105.
Yu, H. (2017). Motivation behind China’s ‘One Belt, One Road’ Initiatives and
Establishment of the Asian Infrastructure Investment Bank. Journal of Contemporary
China, 353-368.
Yu, S. (2019). The Belt And Road Initiative: Modernity, Geopolitics And The Developing
Global Order. Asian Affairs, 50(2), 187-201.
Zhao, S. (2019). China’s Belt-Road Initiative as the Signature of President Xi Jinping
Diplomacy: Easier Said than Done. Journal of Contemporary China.
Zhou, W., & Esteban, M. (2018). Beyond Balancing: China's Approach Towards the Belt
and Road Initiative. Journal of Contemporary China, 27(112), 487-501.

25

Anda mungkin juga menyukai