Anda di halaman 1dari 14

Kebijakan Kemitraan Strategis Indonesia Dngan Tiongkok

Mata Kuliah Politik Luar Negeri Indonesia

Kelas 14, Senin Pukul 12.20 – 14.50

Pengampu: Drs. Tri Cahyo Utomo, M.A.

M. IVAN FAHREZI F.P


14050118120005

DEPARTEMEN HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu memberikan rahmat dan inayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Terima kasih saya ucapkan kepada bapak Tri Cahya Utama M.A. yang telah
membantu serta membimbing kami baik secara moral maupun pengetahuan.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada teman-teman saya yang telah ikut serta
dalam menolong dan menasehati saya sehingga paper ini dapat selesai dengan baik
dan tepat waktu.

Saya menyadari, bahwa makalah yang saya buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu,
saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca
guna menjadi acuan agar kami bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Semoga makalah Kebijakan Kemitraan Strategis Indonesia dan


Tiongkok ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk
perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Brebes, 30 Maret 2020

Penulis

M. Ivan Fahrezi F.P


BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Kemitraan strategis telah muncul menjadi salah satu bagian yang sangat
penting dalam politik dan kebijakan luar negeri Republik Indonesia di awal abad
ke-21. Sejak menandatangani kemitraan pertamanya dengan Vietnam pada tahun
2003, Indonesia telah menandatangani perjanjian kemitraan dengan 13 negara lain.
Terlepas dari keunggulannya sebagai instrumen kebijakan luar negeri Indonesia,
selama ini maksud, tujuan dan struktur kemitraan strategis bisa dikatakan masih
belum memiliki model baku yang dapat digambarkan secara keseluruhan tetapi jika
kita melihat literatur yang pernah dibuat oleh Andrew Kuchins, Dan Wilkins dan
Prashanth Parameswaran tentang kemitraan strategis hampir secara eksklusif
membicarakan mengenai hubungan antara negara yang memiliki kekuatan besar
sehingga dalam penggunaannya, negara kecil dan menengah, seperti halnya dengan
Indonesia dan negara berkembang lainnya memang jarang untuk dijadikan objek
penelitian mengenai hubungan kemintraan strategis. Tujuan saya menulis makalah
ini adalah untuk meneliti dan menguji sejauh mana Indonesia dapat memanfaatkan
kemitraan strategisnya dan bagaimana Indonesia memanfaatkan kemitraan
strategisnya sebagai instrumen untuk mengelola relasinya dengan Tiongkok sebagai
salah satu negara besar. Disini, saya berpendapat bahwa kemitraan strategis dilihat
oleh para pembuat kebijakan Indonesia sebagai instrumen untuk menjalin berbagai
saluran komunikasi untuk mengambil keuntungan dari kekuatan ekonomi Tiongkok
sebagai negara yang sedang tumbuh dan memiliki kekuatan ekonomi di Asia, serta
untuk mendorong Tiongkok dalam mematuhi norma dan institusi regional. Namun,
menurut saya, kepentingan ekonomi Indonesia tampaknya menjadi alasan utama
bagi Indonesia untuk membentuk kemitraan semacam itu. Efektivitas kemitraan
strategis sebagai instrumen manajemen hubungan luar negeri Indonesia dengan
Tiongkok memang beragam tergantung dari keadaan sumber daya, integritas
pemerintahan dalam membuat kebijakan serta mematuhi kesepakatan, dan strategi
untuk mempengaruhi perilaku Tiongkok dalam kemitraan strategis yang nantinya
berdampak pada perilaku Tiongkok pada system internasional. Dalam makalah ini,
saya akan menggunakan kerangka kerja analitis Wilkins (2008) untuk studinya
tentang kemitraan strategis untuk memeriksa bagaimana pemerintah Indonesia
membentuk, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kemitraan strategisnya
dengan Tiongkok. Dengan memeriksa bagaimana Indonesia mengelola kemitraan
strategisnya dengan Tiongkok, makalah ini mengungkapkan seluk-beluk bagaimana
Indonesia menggunakan kemitraan strategis sebagai instrumen diplomasi.

I.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah atau hal-hal yang menjadi pokok pembahasan


dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keadaan kemitraan strategis di abad 21 Indo-Pasifik ?
2. Bagaimana kemitraan strategis Indonesia selama ini ?
3. Bagaimana kebijakan kemitraan strategis antara Indonesia dengan Tiongkok
?

I.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk lebih mengetahui politik luar negeri dan
kebijakan kemitraan strategis antara Indonesia dengan negara besar seperti
Tiongkok. Selain itu mempelajari bagaimana intrumen antara negara besar
dengan negara berkembang seperti Indonesia dapat membuat kemitraan
strategis dan apa yang membuat kemitraan strategis ini dapat berjalan.
BAB II

PEMBAHASAN

II. 1. Kemitraan Strategis di Abad 21 Indo-Pasifik

Kemitraan strategis telah muncul sebagai ciri diplomasi Indo-Pasifik di


abad ke-21. Dipinjam dari dunia keuangan, konsep "kemitraan strategis"
diperkenalkan ke dalam leksikon diplomatik oleh Uni Soviet pada akhir 1980-an
untuk menggambarkan pemulihan hubungan Moskow pasca-Perang Dingin dengan
Washington. Dalam era pasca-Perang Dingin, kemitraan strategis telah
dipopulerkan oleh Tiongkok ditengah-tengah keadaan dunia yang mulai unipolar.
Saat ini, ada lebih dari 100 kemitraan yang berbeda di Asia, dengan hampir setiap
negara setidaknya memiliki dua kemitraan. Kemajuan yang cepat dari kemitraan
strategis telah membuatnya sulit untuk memberikan konseptualisasi dan definisi
yang menyeluruh, terutama karena kemitraan strategis memang datang dalam
berbagai tujuan dan bentuk.
Didalam makalah ini, saya akan secara luas mendefinisikan "kemitraan
strategis" sebagai pengaturan yang terstruktur dan tidak mengikat antara dua aktor
(baik antara negara atau negara dan lembaga multilateral) yang menandakan
keinginan mereka untuk mengejar visi geostrategis bersama dan / atau ekonomi
bersama. dan kepentingan sosial. Sebelum mengungkapkan komponen-komponen
yang membedakan kemitraan strategis dari hubungan bilateral ad hoc normal,
penting untuk digarisbawahi bahwa di samping kemitraan strategis terdapat
beragam bentuk kemitraan lain, seperti "kemitraan keamanan" dan "kemitraan
komprehensif." Beberapa negara, seperti Vietnam, telah menggambarkan
perbedaan antara bentuk kemitraan. Namun, bagi banyak negara, termasuk
Indonesia, perbedaannya tetap ambigu dan tidak jelas mengenai kemitraan apa
yang sedang dijalankan.
Kemitraan strategis dibedakan oleh tiga komponen. Pertama, kemitraan
strategis sering dibentuk untuk mencapai tujuan strategis bersama, yang terkait
dengan visi bersama tentang keamanan regional. Yang penting, Wilkins menyoroti
bahwa kemitraan strategis "didorong oleh tujuan," bukan "didorong oleh ancaman."
Kemitraan ini ditanamkan oleh "prinsip sistem," yang menampilkan konsepsi
bersama tentang bagaimana tatanan regional seharusnya terlihat misal kejuaraan
tatanan multi-bidang. Negara dapat didorong untuk membentuk kemitraan strategis
jika mereka melihat ketidakpastian dalam sistem internasional dan melihat
"kecocokan strategis" dengan calon mitra mereka. Kemitraan ini dikonsolidasikan
melalui berbagai mekanisme prosedural yang mengikat dalam keamanan, ekonomi,
dan hubungan sosial budaya.
Kedua, kemitraan strategis adalah bentuk pelurusan yang longgar Hal ini
memungkinkan mitra strategis untuk secara bersamaan menjadi saingan putatif
(mis. Kemitraan strategis Tiongkok-India, kemitraan strategis Tiongkok-Jepang).
Munculnya tatanan internasional unipolar di era pasca-Perang Dingin berarti bahwa
ada sedikit insentif bagi negara untuk membentuk aliansi, terutama karena banyak
negara di Indo-Pasifik saling bergantung secara ekonomi satu sama lain. Daripada
membentuk koalisi untuk menyeimbangkan negara-negara yang paling kuat di
kawasan ini, negara-negara di Asia pasca-Perang Dingin lebih suka mengejar
bentuk-bentuk “penjajaran terbatas,” yang memungkinkan negara-negara mendapat
manfaat dari bantuan ekonomi dan keamanan dari negara-negara besar. kekuatan,
tanpa mengorbankan otonomi strategis. Kurangnya harapan dalam komitmen yang
disyaratkan keamanan dalam kemitraan strategis menjadikannya suatu bentuk
penyelarasan yang menarik bagi negara-negara yang tidak mau berkomitmen pada
aliansi militer, seperti Indonesia. Pada saat yang sama, kemitraan strategis bukan
pengelompokan ad hoc yang telah dibentuk untuk mengatasi tantangan tertentu,
tetapi merupakan mekanisme yang lebih luas yang memandu kerja sama di masa
depan dalam menangani isu-isu jangka menengah-panjang (misalnya perubahan
iklim, pembajakan) atau alamat yang lebih luas berkaitan dengan tantangan
regional.
Ketiga, kemitraan strategis multi-dimensional dan membantu negara
memprioritaskan dan menyusun hubungan bilateral mereka dengan visi jangka
pendek, menengah, dan panjang. Kemitraan ini berpusat pada menemukan peluang
strategis dan ekonomi untuk kerja sama yang berarti. Ketika kemitraan strategis
dibentuk, mereka sering dinyatakan dalam bentuk "deklarasi bersama" atau
"pernyataan bersama" yang menyoroti bidang-bidang prioritas kerja sama. Kadang-
kadang, mereka diikuti oleh "Rencana Aksi," yang merinci bidang kerja sama yang
dikejar dalam kemitraan. Perjanjian ini mencantumkan berbagai janji yang
mencakup berbagai aspek hubungan suatu negara. Misalnya, kemitraan strategis
Indonesia yang komprehensif dengan India tidak hanya fokus pada konsepsi
bersama tentang aturan dan ketertiban di Indo-Pasifik, tetapi juga mencakup
perdagangan minyak sawit, keamanan maritim non-tradisional, dan pengembangan
infrastruktur. Sifat multi-dimensi dari kemitraan strategis berarti bahwa mereka
sering melibatkan kerja sama antar-menteri, menjadikan pembentukan kemitraan
strategis menjadi upaya seluruh pemerintah yang membutuhkan masukan dari
semua kementerian terkait. Menurut Nadkarni, yang membedakan kemitraan
strategis dari bentuk khas pertukaran diplomatik adalah bahwa mereka
memperkenalkan 'struktur interaksi yang berkelanjutan dan teratur yang didukung
oleh berbagai jaringan pelembagaan pada tingkat antar pemerintah yang mereka
jangkau.' dari berbagai lembaga dan lembaga yang berbeda dimaksudkan untuk
memfasilitasi koordinasi kebijakan. Namun, sebagaimana terbukti dalam berbagai
penelitian tentang kemitraan strategis (termasuk yang ini), seringkali ada kesulitan
besar dalam menindaklanjuti dengan janji yang dibuat dalam perjanjian kemitraan
strategis.

II. 2. Kemitraan Strategis Indonesia

Pada jaman dahulu, ketika kita melihat sejarah penjajahan kolonial, para
pemimpin Indonesia sebenarnya telah lama curiga dengan motif kekuatan besar
dalam menjalin hubungan. Persaingan kekuatan besar selama Perang Dingin dan
implikasi yang mereka miliki pada polarisasi aktor-aktor politik dalam negeri
ternyata membawa dampak buruk terhadap rasa kepercayaan yang dimiliki oleh
para pemimpin Indonesia dimana seringkali keikutsertaan kekuatan besar
membawa dampak negatif terhadap dinamika sosial dan politik dari negara
Indonesia seperti pada jaman kolonial. Hal itulah yang kemudian menyebabkan
Wakil Presiden Muhammad Hatta mengusulkan "Bebas-Aktif" atau independen
dan aktif sebagai dasar filosofis kebijakan luar negeri Indonesia pada tahun 1948
dimana tidak memihak dan tidak mengijinkan negara manapun ikut campur
terhadap pemerintahan Indonesia.
Meskipun Amerika Serikat telah muncul sebagai unipolar global di era
pasca-Perang Dingin, Asia tetap penuh dengan tantangan yang muncul dari
persaingan kekuatan besar lain (seperti antara Tiongkok dan Jepang, Tiongkok dan
India). Pada bulan-bulan terakhir keruntuhan Uni Soviet, Menteri Luar Negeri
Indonesia, Ali Alatas membayangkan bahwa 'pola kompetitif di antara berbagai
pusat kekuasaan akan tumbuh dalam kompleksitas dan ketidakpastian yang tak
terhindarkan’ sehingga pasti berdampak pada posisi dan peran Indonesia didalam
tatanan Internasional terkhususnya di Asia-Pasifik. Para pemimpin negara di Asia
Tenggara termasuk Indonesia telah berusaha untuk mengatasi kompleksitas dan
ketidakpastian tersebut melalui pengintensifan dan peningkatan kualitas serta
kunatitas forum kelembagaan regional yang dipimpin ASEAN (seperti KTT Asia
Timur, Forum Regional ASEAN). Dimana Indonesia ingin menerapkan strategi
"omni-enmeshment," untuk menarik kekuatan besar, seperti Tiongkok dan Amerika
Serikat, ke dalam mekanisme yang dipimpin ASEAN dalam upaya untuk
melibatkan dan memasukkan mereka ke dalam jaringan pertukaran dan hubungan
dengan tujuan jangka panjang integrasi sehingga memungkinkan Indonesia untuk
mendiversifikasi hubungan ekonomi dan militernya di antara negara-negara besar,
dalam upaya untuk mengurangi ketergantungan pada satu negara besar.
Gagasan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, kemitraan strategis muncul
sebagai perlengkapan kebijakan luar negeri Indonesia di abad ke-21 dalam
menjawab tantangan dinamika politik ekonomi internasional. Kemitraan strategis
adalah platform yang digunakan oleh para pembuat kebijakan Indonesia untuk
mencoba dan melibatkan kekuatan-kekuatan besar ke dalam norma-norma dan
institusi-institusi regional dan untuk mendiversifikasi ketergantungan kekuasaan
utama. Pertama, kemitraan strategis lahir dari keinginan untuk menyeimbangkan
pengaruh kekuatan besar di Indonesia. Kemitraan strategis memungkinkan
Indonesia untuk terlibat dan meningkatkan ikatan dengan semua kekuatan utama di
Indo-Pasifik. ' Kemitraan strategis ' seharusnya jangan membatasi otonomi strategis
Indonesia. Sebaliknya, kemitraan strategis memungkinkan Indonesia untuk secara
strategis meningkatkan hubungan bilateral dengan negara-negara tertentu tanpa
mengirimkan sinyal bahwa Indonesia “berpihak” pada satu negara atau lainnya.
Menyadari risiko ketergantungan pada satu kekuatan utama, para pemimpin
Indonesia telah berupaya untuk meningkatkan hubungan bilateral dengan kekuatan
utama lainnya. Di antara beberapa mitra strategis pertama Indonesia adalah Rusia,
Tiongkok, dan India sebagai kekuatan regional utama yang, secara kebetulan,
berseberangan dengan Amerika Serikat selama Perang Dingin. Kemitraan strategis
dengan kekuatan-kekuatan utama ini memfasilitasi kerja sama yang lebih besar di
bidang-bidang penting. Misalnya, kemitraan strategis dengan Rusia menjabarkan
sejumlah janji untuk meningkatkan ikatan keamanan sebagai cara untuk
mengurangi ketergantungan Indonesia pada Amerika Serikat sebagai pemasok
senjata utama Indonesia. Kedua, sebagai platform untuk memfasilitasi omni-
enmeshment, kemitraan strategis dibentuk dengan harapan memfasilitasi visi
Indonesia tentang tatanan regional. Pada tahun 2010, Menteri Luar Negeri Marty
Natalegawa mengkonseptualisasikan visi Indonesia tentang tatanan regional
melalui konsep "keseimbangan dinamis," yang membayangkan sistem kerja sama
kekuasaan yang didasarkan pada penciptaan dan pemeliharaan sistem internasional
yang memelihara kepercayaan di antara negara-negara melalui penerimaan norma
bersama yaitu, norma penyelesaian konflik damai, pengendalian diri, dan non-
intervensi ASEAN. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) berharap untuk
mengembangkan norma-norma ini secara lebih luas dalam keseluruhan Indo-
Pasifik. Kemitraan strategis berfungsi sebagai instrumen untuk membantu
memfasilitasi visi Indonesia tentang tatanan internasional. Karena kemitraan
strategis memerlukan prinsip-prinsip sistem, pemerintah Indonesia telah berupaya
untuk menanamkan norma dan prinsip penting ke dalam perjanjian kemitraan
sebagai cara menandakan norma dan prinsip yang dipatuhi Indonesia. Selain itu,
interaksi yang meningkat antara pejabat Indonesia dan pejabat dari negara sasaran
memberi pemerintah Indonesia peluang untuk mempengaruhi preferensi kebijakan
dan perilaku negara-negara sasaran. Dengan demikian, tujuan menyeluruh dari
kemitraan strategis untuk Indonesia adalah untuk membantu mendiversifikasi
dependensi dan melibatkan mereka dalam menerima visi ideal Indonesia tentang
tatanan internasional yang inklusif di mana semua kekuatan utama memiliki peran
untuk dimainkan.

II. 3. Kebijakan Kemitraan Strategis Indonesia dan Tiongkok

Bagian dari makalah ini akan memanfaatkan kerangka kerja yang diusulkan
oleh Wilkins (2008) untuk memeriksa alasan di balik pembentukan, implementasi,
dan evaluasi kemitraan strategis Indonesia dengan Tiongkok. Sub-bagian terakhir
dari bagian ini akan memeriksa mengapa kemitraan strategis ditingkatkan menjadi
kemitraan strategis yang komprehensif. Dibandingkan dengan hubungannya dengan
negara-negara besar lainnya, hubungan Indonesia dengan Tiongkok memiliki
karakteristik yang cukup unik, selain karena kedekatan geografis Tiongkok, sejarah
yang bermasalah antara kedua negara, dan kehadiran populasi etnis Tionghoa yang
besar di Indonesia membuat hubungan antara kedua negara ini cukup dinamis.
Faktor-faktor ini berarti bahwa pengelolaan hubungan dengan Tiongkok telah
menjadi 'salah satu tantangan paling sulit dalam kebijakan luar negeri Indonesia'.
Hubungan diplomatik dengan Tiongkok sempat dibekukan dari tahun 1967 hingga
1990 setelah pemerintahan Suharto (1967-1998) menuduh Beijing terlibat dalam
kudeta komunis yang gagal pada tahun 1965. Bahkan ketika hubungan
dinormalisasi, kedua negara saling berhubungan dengan hati-hati. Terus ada
kekhawatiran tentang niat strategis Tiongkok, terutama mengingat serbuannya di
Laut Cina Selatan.). Setelah selama ini Tiongkok dianggap sebagai ancaman yang
potensial, pandangan itupun berubah seiring dengan turunnya Soeharto dimana
Indonesia melihat Tiongkok sebagai suatu peluang. Kondisi ekonomi Tiongkok
yang sedang tumbuh dan kesediaannya untuk menerima kepemimpinan dan
keberadaan dari ASEAN untuk mengelola kepentingan kekuatan besar di kawasan
Asia-Pasifik telah memupuk persepsi positif tentang Tiongkok di Indonesia. Jika
kita sama-sama mengamati, setelah Susilo Bambang Yudhoyono dilantik sebagai
presiden Indonesia pada Oktober 2004, Beijing mendekati Jakarta untuk
membentuk kemitraan strategis untuk secara resmi menandai pengaturan dan
perbaikan hubungan kembali. Tidak butuh waktu lama bagi pemerintahan
Yudhoyono untuk menerima tawaran itu.
Keputusan untuk menerima kemitraan strategis didorong oleh tiga faktor.
Pertama, Indonesia ingin mendiversifikasi ketergantungannya dengan kekuatan
besar. Tiongkok ditargetkan sejak awal untuk mengimbangi ketergantungan
ekonomi Indonesia pada Amerika Serikat dan Jepang. Meskipun jarak geografisnya
sangat dekat, perdagangan Tiongkok-Indonesia tetap rendah pada US $ 15 miliar
pada tahun 2005. Diharapkan melalui kemitraan strategis, kerangka kerja sama
yang tepat dapat diciptakan untuk membantu memfasilitasi pertumbuhan
perdagangan. Secara khusus, Indonesia ingin mengekspor sumber daya mentah,
khususnya batubara, ke pasar kaya di Asia Timur. Tiongkok, dengan kelas
menengah yang sedang tumbuh dan meningkatnya permintaan akan industri,
menjadi target utama ekspor batubara. Infrastruktur juga berada di garis depan
agenda selama penandatanganan kemitraan strategis. Kemitraan strategis disertai
dengan Nota Kesepahaman tentang Infrastruktur dan Kerjasama Sumber Daya
Alam, serta janji oleh Tiongkok untuk memberikan lebih dari US $ 300 juta dalam
pinjaman preferensial untuk pembangunan infrastruktur dan rekonstruksi daerah
yang dilanda bencana di Aceh dan Nias. Prioritas kedua adalah untuk
meningkatkan saluran komunikasi untuk memastikan bahwa tren peningkatan
dalam hubungan diplomatik akan berlanjut dengan meningkatkan interkonektivitas
sosial dan ekonomi. Meskipun ada sejarah yang kompleks penuh dengan
permusuhan, hubungan Tiongkok-Indonesia sedang dalam tren naik setelah
kejatuhan Soeharto. Di luar bidang ekonomi, ada keinginan untuk mengintensifkan
hubungan sosial-budaya dan keamanan juga melalui pertukaran dan peningkatan
interaksi antara anggota masyarakat sipil, akademisi, dan militer. Kemitraan
strategis akan menandakan seberapa banyak perubahan dari yang sebelumnya
bermasalah kemudian bersama-sama membantu untuk mengatur dan menciptakan
jalan baru kerja sama di bidang-bidang mulai dari sains hingga pertukaran budaya.
Prioritas ketiga, untuk memastikan perdamaian dan stabilitas di wilayah ini dengan
menempatkan Tiongkok ke dalam institusi dan norma yang dipimpin ASEAN.
Meskipun hubungan dengan Tiongkok telah membaik pada tahun 2000-an,
Tiongkok masih dipandang sebagai ancaman strategis jangka panjang, terutama
karena petualangannya di Laut Cina Selatan pada tahun 1990-an. Sejak normalisasi
ikatan pada tahun 1990, Indonesia telah berupaya meredakan ketegasan Tiongkok
dan, potensi revisionisme, dengan melibatkannya dalam serangkaian norma dan
lembaga ASEAN. Pendekatan pemimpin Indonesia dalam mempersuasi Tiongkok,
pada awal 2000-an, membuat Tiongkok mulai melunakkan pendekatannya ke
negara-negara Asia Tenggara. Misalnya, dalam sengketa Laut Cina Selatan,
kesediaan Tiongkok untuk menandatangani Deklarasi tentang Kode Etik di Laut
Cina Selatan dengan negara-negara anggota ASEAN pada tahun 2002 mengirimkan
sinyal ke Jakarta bahwa negara tersebut bersedia bekerja sama dengan ASEAN
dalam mengelola potensi konflik di Lautan.
Dengan menyetujui untuk membentuk kemitraan strategis dengan
Tiongkok, pemerintahan Yudhoyono berharap untuk mencapai dua tujuan yang
berkaitan dengan prinsip-prinsip sistem. Yang pertama adalah mengirim pesan ke
Beijing bahwa Indonesia telah menyetujui keterlibatan Tiongkok dengan ASEAN.
Tujuan kedua adalah untuk mendorong Tiongkok untuk menegaskan kembali
komitmennya terhadap perjanjian dan institusi regional, seperti Perjanjian Amity
dan Kerjasama (TAC). Mantan menteri luar negeri Indonesia membenarkan
pembentukan kemitraan dengan Tiongkok sebagai:

... [pengakuan] pentingnya Tiongkok sebagai negara yang penting bagi kami di
luar ranah politik ... kami percaya bahwa hubungan kami memiliki implikasi di
luar ranah bilateral saja, karena hal itu memengaruhi seluruh wilayah. Jadi, kami
membentuk kemitraan strategis dan kemudian kemitraan strategis yang
komprehensif untuk memulai tren atau efek berganda di kawasan yang akan
melihat negara-negara lebih mengintegrasikan diri mereka dengan Tiongkok.
Dengan mendorong Tiongkok untuk berkomitmen pada dokumen-dokumen utama,
seperti TAC, dalam perjanjian kemitraan strategis dengan Indonesia,
pemerintahan Yudhoyono berharap untuk menunjukkan kepada dunia bahwa
Tiongkok bersedia untuk bekerja sama dan menerima norma dan lembaga
regional. Para diplomat Indonesia yang terlibat dalam proses musyawarah
berharap bahwa ini akan mendorong negara-negara lain untuk melibatkan
Tiongkok, dan, yang lebih penting, menunjukkan kepada Tiongkok bahwa perilaku
kooperatif akan bermanfaat.
Dengan mendorong Tiongkok untuk berkomitmen pada dokumen-dokumen
utama, seperti TAC, dalam perjanjian kemitraan strategis dengan Indonesia,
pemerintahan Yudhoyono berharap untuk menunjukkan kepada dunia bahwa
Tiongkok bersedia untuk bekerja sama dan menerima norma dan lembaga regional.
Para diplomat Indonesia yang terlibat dalam proses musyawarah berharap bahwa
ini akan mendorong negara-negara lain untuk melibatkan Tiongkok, dan, yang
lebih penting, menunjukkan kepada Tiongkok bahwa perilaku kooperatif akan
bermanfaat.
BAB III

PENUTUP

III. 1. Kesimpulan

Kemitraan strategis telah muncul sebagai andalan diplomasi Indonesia di

abad ke-21. Pentingnya kemitraan strategis untuk diplomasi Indonesia bersifat

regional dan bilateral, memiliki tujuan mengejar tujuan politik dan ekonomi

domestik, serta tujuan internasional yang lebih luas. Kemitraan strategis

Tiongkok-Indonesia dan kemitraan strategis komprehensif berikutnya

menandakan babak baru dalam sejarah diplomatik mereka. Setelah beberapa

dekade permusuhan, Indonesia dan Tiongkok sekarang memiliki hubungan

ekonomi dan diplomatik yang berkembang, didukung oleh tumbuhnya

interkonektivitas sosial dan ekonomi. Konvergensi kepentingan ekonomi dan

strategis disorot dalam interaksi yang diatur antara pejabat tinggi pemerintah,

yang berupaya mengoordinasikan kebijakan antara kedua negara untuk

menyelesaikan masalah potensial dan mengatasi tantangan untuk meningkatkan

hubungan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA

Envall, H. D. P. & Hall, I. Asian Strategic Partnerships: New Practices and


Regional Security Governance, Asian Politics & Policy, 8(1), 87-105.
Acharya, A. (2015). Indonesia Matters: Asia's Emerging Democratic Power.
Singapore: World Scientific Publishing, Co.
Dosch, J. (2006). The impact of democratization on the making of foreign
policy in Indonesia, Thailand, and the Philippines. Journal of Current Southeast
Asian Affairs, 25, 42-70.
Envall, H. D. P. & Hall, I. Asian Strategic Partnerships: New Practices and
Regional Security Governance, Asian Politics & Policy, 8(1), 87-105.
Kuchins, A. (2001) Russia's Relations with China and India: Strategic
Partnerships, Yes; Strategic Alliances, No. Demokratizatsiya, 9(2).
Nadkarni, V. (2010). Strategic Partnerships in Asia: Balancing without
alliances. New York: Routledge.
Novotny, D. (2010). Torn between America and China: Elite Perceptions and
Indonesian Foreign Policy. Singapore: ISEAS Publishing.

Anda mungkin juga menyukai