Anda di halaman 1dari 2

Agnes Monica-2540122445

Pendahuluan
Dalam artikel Evan A.Laksmana yang berjudul Dimensi Ambivalensi Dalam Hubungan
Indonesia-China membahas tentang hubungan bilateral antara Indonesia dan Cina yang dinilai
dalam empat dimensi, yakni politik domestik, ekonomi, keamanan strategis dan kebijakan luar
negeri. Masing-masing dimensi ini tidak dapat dipisahkan dari hubungan antar kedua negara
tersebut.

Pembahasan
Banyak yang tahu bahwa Indonesia menandatangani Kemitraan Strategis dengan Cina dimana
mereka saling bekerja sama dalam sektor ekonomi bahkan adanya pelaksaan China-ASEAN Free
Trade Agreement yang menimbulkan Cina menjadi mitra dagang terbesar Indonesia.
Perkembangan yang luar biasa ini membuat orang-orang berasumsi bahwa Indonesia telah
menjauh dari ikatan sejarahnya yang erat dengan Amerika Serikat dan menuju kepelukan Beijing
serta mengkhawatirkan sebagian masyarakat Indonesia akan keterkaitan masa depan dari
kekuasaan Cina. Hubungan bilateral antara Indonesia-Cina tidak sesederhana hedging, balancing,
bandwagoning, dll, tetapi perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam tentang bagaimana
mereka menjalin hubungan tersebut. Elit Indonesia berpendapat bahwa Cina merupakan negara
yang kuat, angkuh, serta ekspansionis, sedangkan tanggapan masyarakat yang luas terhadap Cina
merupakan suatu ras yang terpisah oleh agama yang berbeda. Oleh karena itu terdapat
kesalahpahaman yang mengakibatkan situasi tersebut menjadi suatu hal yang serius bagi
Indonesia maupun Cina. Hal ini juga memandang bagaimana Indonesia menerapkan dan
memformulasikan kebijakan terhadap Cina.
Dalam dimensi politik, rasa takut akan hubungan bilateral Indonesia-Cina awalnya fokus pada
penyebaran Komunisme, peran Partai Komunis Indonesia (PKI), dan loyalitas orang Tionghoa
Indonesia yang kecil namun kuat secara ekonomi, Cina dianggap sebagai ancaman bagi
keseimbangan politik dan keamanan nasional Indonesia. Ambivalensi antar Jakarta dan Cina
bertentangan dalam dua hal yakni Jakarta memerlukan dukungan Beijing untuk mengeratkan
proses sosial secara internasional, di sisi lain Jakarta merasa bimbang terhadap dukungan Beijing
bagi PKI dan kekuatan yang memengaruhi orang Tionghua Indonesia. Tetapi Beijing berusaha
meyakini kesetiaan orang Tionghua Indonesia dengan cara memberikan perlindungan sebanyak
mungkin kepada pimpinan PKI. Meskipun tahu bahwa Cina menjadi ancaman besar bagi
Indonesia, Sukarno tetap mempertaruhkan Beijing yang tidak sepenuhnya dia percayai untuk
mencapai tujuan politik domestik. Jakarta sempat menghentikan sementara hubungan diplomatik
dengan Cina dikarenakan adanya Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto yang mengatur supaya
menjaga tata tertib sosial dan politik. Tetapi ancaman Cina (Komunisme, Tionghua Indonesia,
dan Beijing) tidak melepaskan diri dari masalah ini. Sampai dimana Suharto memutuskan
mengeluarkan 4 faktor domestik untuk melanjutkan hubungannya dengan Cina. Indonesia selalu
berhati-hati terhadap hubungannya dengan Cina, banyak tokoh militer masih meragukan Cina
termasuk kelompok muslim karena hubungan yang tegang dengan etnis Cina.
Dalam dimensi ekonomi, kedua negara memegang aspek internal dan eksternal. Walaupun Cina
merupakan mitra terdekat tetapi tidak dipandang sebagai kontributor yang penting bagi ekonomi
Indonesia. Pada 1980-an perekonomian Indonesia turun drastis dan kalah dari Malaysia dan
Thailand, hal ini menyebabkan Indonesia kembali berhubungan dengan Beijing pada tahun 1985.
Hubungan ekonomi yang berkembang secara perlahan, dimana Cina mulai mengambil dimensi
ekonomi yang dapat membahayakan pertumbuhan Indonesia dikarenakan kedua negara kurang
melengkapi ekonomi masing-masing, ancaman ini muncul karena Jakarta lebih memprioritaskan
hubungan politik dibandingkan ekonomi pada tahun 1990-an.
Dalam dimensi keamanan strategis, ambivalensi ini fokus pada ancaman kekuatan militer Cina
terhadap Indonesia. Para pemimpin militer mengutarakan bahwa Cina sebagai tantangan
daripada ancaman bagi Indonesia. Diawali dengan Perjanjian Kemitraan Strategis yang bekerja
sama dalam sistem keamanan, Indonesia sadar bahwa Cina tidak hanya sebagai penyeimbang
efek militer Amerika, tetapi juga sebagai kekayaan akan senjata yang dapat diandalkan
dibandingkan Barat.
Dalam dimensi kebijakan luar negeri, ambivalensi ini fokus pada keterkaitan hubungan yang
baik antara Cina dengan ASEAN. Dengan adanya kerjasama antar Cina dan ASEAN, Jakarta
dapat bekerja sama dengan negara-negara besar. Selain itu, hubungan yang semakin berkembang
antara Cina dan ASEAN memberikan Indonesia lebih banyak kesempatan dalam bermanuver
dengan Amerika Serikat dan angkatan besar lainnya. ((PDF) Variations on a Theme: Dimensions
of Ambivalence in Indonesia-China Relations, n.d.)

Kesimpulan
Hubungan bilateral antara Indonesia-Cina memang memberikan dampak yang besar bagi
Indonesia, baik dari segi politik dalam negeri, ekonomi, keamanan strategis, maupun kebijakan
luar negeri. Semua dimensi ini menandakan persepsi Indonesia terhadap Cina tidak semudah
strategi penyeimbangan, bandwagoning, ataupun lindung nilai. Kedua negara menggambarkan
banyaknya perbedaan terhadap ambivalensi yang sangat luas terhadap Cina dalam masyarakat
Indonesia. Meskipun terdapat ancaman yang bervariasi yang memungkinkan merugikan
Indonesia, bekerja sama dengan Cina juga dapat menguntungkan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai