Anda di halaman 1dari 10

UTS KLNI - C

Rievan Rizky Putranto


International Relations, 2010412010
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, ID

1. Berikan argumentasi anda tentang apa-apa faktor determinan yang mempengaruhi Kebijakan
Luar Negeri Indonesia?
Faktor determinan adalah faktor atau elemen yang secara signifikan mempengaruhi
atau menentukan hasil atau keputusan dalam suatu konteks atau situasi tertentu. Dalam konteks
kebijakan luar negeri, faktor determinan adalah faktor-faktor yang sangat memengaruhi
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri suatu negara. Faktor determinan dalam
kebijakan luar negeri merupakan dasar atau landasan dari keputusan-keputusan luar negeri
suatu negara. Mereka membentuk pandangan dan strategi negara terhadap isu-isu internasional,
dan mereka dapat berubah seiring waktu atau berdasarkan perubahan dalam konteks global
atau domestik. (Weinstein, 1976)
Kebijakan luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat
internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya,
dan sejarah Indonesia, serta kepentingan nasional dan nilai-nilai yang dianut oleh bangsa
Indonesia. Faktor eksternal meliputi situasi dan perkembangan global, hubungan dengan
negara-negara lain, organisasi internasional, dan isu-isu strategis yang berkaitan dengan
keamanan, perdamaian, dan kesejahteraan dunia. Beberapa faktor determinan diantaranya
ialah:

1. Ukuran wilayah negara: Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan
posisi strategis di antara dua benua dan dua samudra memainkan peran kunci dalam
membentuk kebijakan luar negeri Indonesia. Keberadaan Indonesia sebagai negara
kepulauan memberikan potensi besar dalam hal pemanfaatan sumber daya alam,
perdagangan, dan diplomasi. Indonesia memiliki jalur maritim yang penting dan
merupakan salah satu negara penghasil sumber daya alam yang kaya, seperti minyak, gas,
dan tambang. Sebagai hasilnya, Indonesia memiliki kepentingan besar dalam menjaga
kedaulatan wilayah maritimnya, mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, dan
membangun kerjasama dengan negara-negara di kawasan. Selain itu, perbatasan yang
panjang dan kompleks memerlukan pengawasan yang ketat, dan hal ini juga dapat
mempengaruhi hubungan bilateral dan regional. Disisi lain tantangan yang dihadapi oleh
Indonesia termasuk ancaman teritorial seperti klaim wilayah yang tumpang tindih dengan
negara tetangga, konflik perbatasan, dan kesulitan infrastruktur yang terkait dengan
kondisi geografisnya yang rumit. (Rachmat, 2019)

2. Pembangunan Ekonomi: Tingkat dan sifat pembangunan ekonomi Indonesia


memengaruhi cara Indonesia berinteraksi dengan dunia luar melalui kebijakan luar
negerinya. Sebagai negara berkembang dengan populasi terbesar di Asia Tenggara,
Indonesia memiliki potensi pasar yang besar dan menarik minat investasi asing. Namun,
Indonesia juga dihadapkan dengan masalah kemiskinan, ketimpangan, dan
ketergantungan pada ekspor komoditas tertentu. Oleh karena itu, kebijakan luar negeri
Indonesia harus mampu mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif, diversifikasi
ekonomi, dan perlindungan kepentingan nasional di pasar internasional. Seperti yang
terjadi dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pemberantasan korupsi juga menjadi faktor
penting karena korupsi dapat mengganggu hubungan internasional dan investasi asing.
3. Faktor budaya dan sejarah: Kekayaan budaya dan sejarah Indonesia membentuk identitas
bangsa yang beragam dan toleran. Hal ini mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi
dalam diplomasi Indonesia, termasuk penghormatan terhadap keragaman dan hak asasi
manusia. Peran Indonesia dalam organisasi internasional seperti UNESCO
mencerminkan komitmen untuk melestarikan warisan budaya dunia.

4. Struktur pemerintah: Sistem pemerintahan presidensial Indonesia memberikan presiden


wewenang besar dalam menentukan kebijakan luar negeri. Faktor personal presiden
seperti nilai, pengalaman, dan kepribadian dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri.
Perbedaan gaya diplomasi antara presiden-presiden yang berbeda juga bisa mengarah
pada perubahan dalam arah kebijakan luar negeri.

5. Sistem internasional & Situasi internasional:: Keterlibatan Indonesia dalam kawasan Asia
Pasifik yang dinamis menciptakan peluang dan tantangan dalam kebijakan luar negeri.
Prinsip bebas aktif mencerminkan upaya Indonesia untuk menjaga keseimbangan
kekuatan dan kerjasama di kawasan tersebut tanpa terikat pada satu kekuatan tertentu. Ini
memungkinkan Indonesia untuk menjalankan peran yang konstruktif dalam diplomasi
regional. Dengan Perkembangan global yang cepat dan kompleks memaksa Indonesia
untuk menjadi tanggap dan adaptif terhadap isu-isu mendesak seperti pandemi,
perubahan iklim, terorisme, dan konflik bersenjata. Partisipasi aktif dalam organisasi
internasional dan inisiatif multilateral adalah langkah penting untuk mencari solusi
bersama atas masalah-masalah tersebut. Keterlibatan Indonesia dalam Dewan Keamanan
PBB adalah contoh konkret dari komitmen ini. (Muttaqien, 2013)

2. Berikan penjelasan anda tekait konsekuensi penggunaan kata Independen dan Bebas dalam
pemaknaan Polugri Bebas Aktif?

Kata independen berarti bahwa Indonesia tidak terikat atau bergantung pada kekuatan
atau blok politik manapun, melainkan menentukan sikap dan kebijakan luar negerinya
berdasarkan kepentingan nasional dan nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia. Kata ini
mencerminkan kedaulatan dan kemandirian Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan
demokratis kata "Independen" mengacu pada prinsip bahwa Indonesia adalah negara yang
independen dan merdeka dalam pengambilan keputusan luar negeri. Ini berarti Indonesia
memiliki hak dan kewenangan penuh untuk menentukan dan menjalankan kebijakan luar
negerinya tanpa campur tangan atau tekanan dari negara atau kekuatan asing. Indonesia tidak
memihak atau tergantung pada kepentingan negara atau blok tertentu.
Konsekuensi dari kemerdekaan dan independensi ini adalah bahwa Indonesia memiliki
fleksibilitas dalam menjalankan kebijakan luar negerinya sesuai dengan kepentingan nasional
dan prinsip-prinsip yang dipegang teguh. Ini memungkinkan Indonesia untuk menjalin
hubungan dengan berbagai negara dan kelompok tanpa memihak secara tegas pada satu sisi
dalam konflik internasional.

Kata bebas berarti bahwa Indonesia memiliki hak dan kewajiban untuk menentukan
pilihannya sendiri dalam menghadapi isu-isu internasional, tanpa dipengaruhi atau ditekan oleh
negara lain. Kata ini mencerminkan keberanian dan kepercayaan diri Indonesia sebagai negara
yang terbuka dan responsive hal ini juga merujuk pada komitmen Indonesia untuk aktif terlibat
dalam diplomasi dan kerjasama internasional. Ini berarti Indonesia tidak bersikap pasif atau
netral dalam isu-isu internasional, tetapi berusaha untuk berkontribusi positif dalam mencari
solusi masalah global. Indonesia melakukan diplomasi aktif, mempromosikan perdamaian,
mengambil bagian dalam organisasi internasional, dan berperan sebagai mediator dalam
konflik-konflik internasional. (Fatimatuzzahrom, 2021)
Konsekuensi dari pendekatan yang "Bebas" ini adalah bahwa Indonesia terlibat dalam
berbagai forum internasional, seperti PBB, ASEAN, dan lainnya, serta berpartisipasi dalam
inisiatif multilateral yang mendukung perdamaian, stabilitas, dan pembangunan global.
Walapun begitu Menurut Pasal 3 dalam UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri, pendekatan Politik Luar Negeri Bebas Aktif tidaklah berarti kebijakan netral,
melainkan merupakan pendekatan diplomasi yang memberikan kemerdekaan penuh dalam
menentukan posisi dan kebijakan terkait masalah-masalah internasional. Prinsip ini tidak
memihak pada kekuatan dunia tertentu. (Aura, 2021)

3. Berikan penjelasan terkait analisis individual dalam periode Soekarno dan Soeharto (
Leadership personality, evoked set, analogi dan structure learning, personal code, belief and
beliau system, emotional and image?

Leadership personality adalah karakteristik kepribadian pemimpin yang mempengaruhi


gaya kepemimpinan, orientasi nilai, dan perilaku kebijakan luar negeri. Menurut Mintz, ada
empat dimensi kepribadian pemimpin, yaitu: nasionalisme, dogmatisme, kepercayaan diri, dan
konsep diri (Mintz, 2010). Presiden Soekarno memiliki kepribadian yang karismatik,
nasionalis, dan revolusioner. Ia ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat,
berdikari, dan berperan aktif dalam dunia internasional. Ia juga memiliki gaya komunikasi yang
retoris, flamboyan, dan provokatif. Kepribadian Soekarno mempengaruhi kebijakan luar
negerinya yang cenderung anti-Barat, anti-imperialisme, dan anti-kolonialisme. Contohnya
adalah ketika ia menggagas Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955, mendirikan Gerakan
Non-Blok pada tahun 1961, dan mengeluarkan Dekrit Presiden pada tahun 1959. Presiden
Soeharto memiliki kepribadian yang otoriter, pragmatis, dan paternalistik. Ia ingin menjaga
stabilitas, keamanan, dan pembangunan nasional dengan mengandalkan dukungan militer dan
birokrasi. Ia juga memiliki gaya komunikasi yang konservatif, formal, dan diplomatis.
Kepribadian Soeharto mempengaruhi kebijakan luar negerinya yang cenderung pro-Barat, pro-
pasar, dan pro-status quo. Contohnya adalah ketika ia menormalisasi hubungan dengan
Malaysia pada tahun 1966, bergabung dengan ASEAN pada tahun 1967, dan menandatangani
perjanjian Timor Timur dengan Portugal pada tahun 1975.
Evoked set adalah kumpulan alternatif kebijakan luar negeri yang muncul dalam pikiran
pemimpin ketika menghadapi suatu masalah atau situasi. Evoked set dipengaruhi oleh
pengalaman masa lalu, pengetahuan, informasi, dan preferensi pemimpin. Pemikiran Evoked
Set Soekarno terbentuk oleh pengalamannya sebagai pejuang kemerdekaan, pendiri negara,
dan ideolog nasakom yang memiliki kecenderungan berisi alternatif kebijakan luar negeri yang
radikal, nasionalis, revolusioner, dan konfrontatif. Contohnya adalah Dwikora (Dua Komando
Rakyat), Konfrontasi dengan Malaysia, Ganyang Malaysia, Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat),
dan Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Evoked set Soeharto terbentuk oleh
pengalamannya sebagai tentara profesional, pejabat militer, dan teknokrat pembangunan. Yang
bisa dibilang lebih moderat, pragmatis, konservatif, dan kooperatif. Contohnya adalah
Normalisasi Hubungan dengan Malaysia, Pembinaan Hubungan dengan ASEAN, Pembukaan
Hubungan dengan Tiongkok, dan Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi Terbuka.
Analogi dan Learning adalah perbandingan antara situasi atau masalah saat ini dengan
situasi atau masalah masa lalu yang dianggap mirip atau relevan. Analogi digunakan oleh
pemimpin untuk memahami situasi saat ini, mengevaluasi alternatif kebijakan luar negeri, dan
memprediksi hasil kebijakan luar negeri (Mintz, 2010). Analogi yang sering digunakan oleh
Soekarno adalah analogi Madiun 1948. Analogi ini mengacu pada pemberontakan PKI di
Madiun pada tahun 1948 yang berhasil dipadamkan oleh tentara Republik Indonesia. Analogi
ini digunakan oleh Soekarno untuk menjustifikasi sikapnya yang toleran terhadap PKI dan
menolak tuntutan militer untuk membubarkan PKI. Soekarno beranggapan bahwa PKI tidak
akan melakukan pemberontakan lagi karena telah belajar dari kesalahan masa lalu. Analogi
yang sering digunakan oleh Soeharto adalah analogi Gestapu 1965. Analogi ini mengacu pada
upaya kudeta PKI pada tanggal 30 September 1965 yang berhasil digagalkan oleh tentara
pimpinan Soeharto. Analogi ini digunakan oleh Soeharto untuk menjustifikasi sikapnya yang
anti-komunis dan mendukung pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI.
Soeharto beranggapan bahwa PKI adalah ancaman nyata terhadap negara dan harus diberantas
secara total.
Structure learning adalah proses belajar yang mengubah struktur pengetahuan dan
pemahaman pemimpin tentang suatu masalah atau situasi . Structure learning terjadi ketika
pemimpin menerima informasi baru yang tidak sesuai dengan struktur pengetahuan dan
pemahaman sebelumnya, sehingga memaksa pemimpin untuk merevisi atau mengganti
struktur pengetahuan dan pemahaman tersebut (Mintz, 2010). Structure learning jarang terjadi
pada Soekarno karena ia memiliki kepribadian yang dogmatis dan percaya diri, sehingga ia
cenderung menolak atau mengabaikan informasi baru yang bertentangan dengan
keyakinannya. Contohnya adalah ketika Soekarno menolak informasi tentang keterlibatan PKI
dalam Gestapu dan tetap berusaha mempertahankan PKI sebagai bagian dari nasakom.
Structure learning sering terjadi pada Soeharto karena ia memiliki kepribadian yang pragmatis
dan rendah kepercayaan diri, sehingga ia cenderung menerima atau mempertimbangkan
informasi baru yang sesuai dengan kepentingannya. Contohnya adalah ketika Soeharto
menerima informasi tentang perubahan situasi global dan regional, seperti akhir Perang Dingin,
tumbuhnya demokratisasi, dan meningkatnya tekanan asing, sehingga ia melakukan beberapa
perubahan kebijakan luar negeri, seperti membuka hubungan dengan Tiongkok, mendukung
kemerdekaan Timor Timur, dan mengundurkan diri dari jabatan presiden.
Operational Code adalah konsep psikologis yang mempengaruhi kebijakan luar negeri
menurut buku yang sama. Operational Code adalah sistem keyakinan-keyakinan dasar yang
dimiliki oleh pembuat keputusan tentang diri mereka sendiri, dunia, dan hubungan antara
mereka. Operational Code dapat dibagi menjadi dua dimensi: filosofis dan instrumental.
Dimensi filosofis berkaitan dengan pandangan dunia pembuat keputusan, seperti sifat manusia,
sifat politik internasional, sumber konflik dan kerjasama, dan tujuan-tujuan strategis. Dimensi
instrumental berkaitan dengan gaya pengambilan keputusan pembuat keputusan, seperti
keterbukaan terhadap informasi, keterlibatan dalam tindakan, ketergantungan pada aliansi,
penggunaan ancaman atau janji, dan fleksibilitas dalam negosiasi (Mintz, 2010). Dan ini bisa
dilihat salah satunya melalui penampilannya Soekarno dan Soeharto memiliki cara berpakaian
yang berbeda. Soekarno lebih suka mengenakan pakaian adat Indonesia, seperti baju koko,
peci, sarung, atau blangkon. Ia juga sering mengenakan pakaian militer dengan baret merah
sebagai simbol revolusi. Soekarno ingin menunjukkan identitas nasional dan kebanggaan
Indonesia melalui cara berpakaiannya. Soeharto lebih suka mengenakan pakaian formal Barat,
seperti jas, dasi, atau kemeja. Ia juga sering mengenakan pakaian militer dengan topi hijau
sebagai simbol kekuasaan. Soeharto ingin menunjukkan kredibilitas internasional dan
profesionalisme Indonesia melalui cara berpakaiannya
Belief and belief system adalah keyakinan dan sistem keyakinan yang dimiliki oleh
pemimpin tentang realitas dunia, termasuk tentang dirinya sendiri, negaranya, negara lain,
organisasi internasional, isu-isu global, dll (Mintz, 2010). Presiden Soekarno memiliki belief
system yang didasarkan pada keyakinan-keyakinan dasar tentang dirinya sendiri sebagai
pemimpin revolusioner, Indonesia sebagai negara besar, dunia sebagai medan perjuangan
antara Barat dan Timur, dan hubungan antara mereka sebagai hubungan konflik atau
solidaritas. Belief system Soekarno mempengaruhi persepsi, ekspektasi, dan preferensinya
dalam menghadapi situasi luar negeri. Contohnya adalah ketika ia percaya bahwa Indonesia
harus menjadi pemimpin Gerakan Non-Blok dan Konferensi Asia Afrika untuk melawan
imperialisme Barat. Presiden Soeharto memiliki belief system yang didasarkan pada
keyakinan-keyakinan dasar tentang dirinya sendiri sebagai pemimpin stabilisator, Indonesia
sebagai negara berkembang, dunia sebagai medan kerjasama antara Barat dan Timur, dan
hubungan antara mereka sebagai hubungan interdependensi atau kemitraan. Belief system
Soeharto mempengaruhi persepsi, ekspektasi, dan preferensinya dalam menghadapi situasi luar
negeri. Contohnya adalah ketika ia percaya bahwa Indonesia harus menjadi anggota ASEAN
dan mitra dagang Barat untuk meningkatkan pembangunan ekonomi.
Emotion and image: konsep ini mengacu pada perasaan-perasaan dan gambaran-gambaran
yang dimiliki oleh pembuat keputusan tentang diri mereka sendiri, orang lain, dan situasi yang
dihadap yang menjadi representasi mental yang dibentuk oleh pembuat keputusan tentang
karakteristik dan perilaku orang lain atau kelompok lain (Mintz, 2010). Emosi dan image dapat
mempengaruhi afeksi, evaluasi, dan motivasi pembuat keputusan. Soekarno terkadang
dipengaruhi oleh emosi, terutama dalam merespons konflik dan krisis internasional. Citra
kepemimpinannya sebagai tokoh revolusi dapat memengaruhi reaksi dan kebijakan luar negeri
Indonesia. sedangkan Soeharto cenderung lebih tenang dan kurang dipengaruhi oleh emosi
dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. Citra stabilitas dan ketenangan
merupakan salah satu aspek penting dalam kepemimpinannya.

4. Berikan penjelasan terkait analisis individual dalam 3 periode reformasi (Leadership


personality, evoked set, analogi dan structure learning, personal code, belief and beliau system,
emotional and image?

Leadership personality: Presiden BJ Habibie memiliki kepribadian yang demokratis, visioner,


dan inovatif. Ia ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang modern, maju, dan
berdemokrasi. Ia juga memiliki gaya komunikasi yang terbuka, ramah, dan persuasif.
Kepribadian Habibie mempengaruhi kebijakan luar negerinya yang bertujuan untuk
mengembalikan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia, serta memperoleh
bantuan dan dukungan dari negara-negara donor dan organisasi multilateral. Contohnya adalah
ketika ia memberikan pilihan referendum kepada rakyat Timor Timur untuk tetap bersama
Indonesia atau merdeka pada tahun 1999. Keputusan ini mengejutkan banyak pihak, baik
dalam maupun luar negeri, dan menimbulkan kontroversi. Namun, Habibie berpendapat bahwa
hal ini merupakan langkah yang bijaksana dan demokratis untuk mengakhiri konflik yang
berkepanjangan. Presiden Abdurrahman Wahid memiliki kepribadian yang moderat, toleran,
dan kharismatik. Ia ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang bersatu, damai, dan
pluralis. Ia juga memiliki gaya komunikasi yang humoris, santai, dan inspiratif. Kepribadian
Wahid mempengaruhi kebijakan luar negerinya yang bertujuan untuk memperkuat persatuan
nasional Indonesia, serta membangun hubungan yang harmonis dengan negara-negara tetangga
dan dunia internasional. Contohnya adalah ketika ia mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua
pada tahun 2000 sebagai bentuk pengakuan terhadap identitas dan aspirasi rakyat Papua3.
Keputusan ini mendapat sambutan positif dari masyarakat Papua, tetapi mendapat tentangan
dari sebagian kalangan militer dan nasionalis. Presiden Megawati Soekarnoputri memiliki
kepribadian yang pragmatis, konservatif, dan paternalistik. Ia ingin menjadikan Indonesia
sebagai negara yang stabil, sejahtera, dan berwibawa. Ia juga memiliki gaya komunikasi yang
sederhana, tegas, dan formal. Kepribadian Megawati mempengaruhi kebijakan luar negerinya
yang bertujuan untuk memulihkan stabilitas politik dan ekonomi Indonesia, serta memperbaiki
citra Indonesia di mata dunia internasional. Contohnya adalah ketika ia mengambil langkah
tegas dalam melawan terorisme setelah serangan bom Bali pada tahun 2002 yang menewaskan
ratusan orang, termasuk warga asing. Keputusan ini mendapat apresiasi dari negara-negara
Barat, terutama AS dan Australia, yang menjadi mitra strategis Indonesia dalam bidang
keamanan.

Evoked set: Presiden BJ Habibie memiliki evoked set yang luas dalam menghadapi situasi luar
negeri. Ia cenderung menggunakan logika, analisis, dan kreativitas dalam membuat keputusan.
Ia juga lebih mempertimbangkan alternatif-alternatif kebijakan yang sesuai dengan
kepentingan nasional dan internasional Indonesia. Evoked set Habibie dapat meningkatkan
kualitas dan efisiensi proses pengambilan keputusan. Contohnya adalah ketika ia memutuskan
untuk bergabung dengan ASEAN Regional Forum pada tahun 1999 dengan
mempertimbangkan manfaat politik dan ekonomi bagi Indonesia. Presiden Abdurrahman
Wahid memiliki evoked set yang variatif dalam menghadapi situasi luar negeri. Ia cenderung
menggunakan intuisi, ideologi, dan empati dalam membuat keputusan. Ia juga lebih
mempertimbangkan alternatif-alternatif kebijakan yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan
budaya Indonesia. Evoked set Wahid dapat menambah keragaman dan dinamika proses
pengambilan keputusan. Contohnya adalah ketika ia memutuskan untuk mengunjungi Israel
pada tahun 2000 dengan alasan dialog antar-agama dan perdamaian Timur Tengah. Keputusan
ini mengejutkan banyak pihak, baik dalam maupun luar negeri, dan menimbulkan kritik.
Namun, Wahid berpendapat bahwa hal ini merupakan langkah yang moderat dan toleran untuk
mengatasi konflik yang berlarut-larut. Presiden Megawati Soekarnoputri memiliki evoked set
yang sempit dalam menghadapi situasi luar negeri. Ia cenderung menggunakan pragmatisme,
konsensus, dan kompromi dalam membuat keputusan. Ia juga lebih mempertimbangkan
alternatif-alternatif kebijakan yang sesuai dengan realitas objektif dan tekanan eksternal
Indonesia. Evoked set Megawati dapat mengurangi kompleksitas dan ketidakpastian proses
pengambilan keputusan. Contohnya adalah ketika ia memutuskan untuk menerima bantuan
dana dari Dana Moneter Internasional pada tahun 2003 dengan alasan pemulihan ekonomi
Indonesia. Keputusan ini mendapat dukungan dari sebagian besar pihak, baik dalam maupun
luar negeri, tetapi juga menimbulkan ketergantungan dan keterbatasan bagi Indonesia.

Analogi: Presiden BJ Habibie jarang menggunakan analogi dalam menghadapi situasi luar
negeri. Ia lebih mengacu pada kondisi atau situasi saat ini sebagai bingkai acuan untuk
memahami dan menangani peristiwa atau situasi saat ini. Hal ini dapat membantu Habibie
dalam menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, menganalisis realitas objektif, dan
mencari solusi optimal. Namun, hal ini juga dapat menimbulkan kesulitan dalam
mengantisipasi tantangan, mengatasi hambatan, dan menciptakan inovasi. Contohnya adalah
ketika ia menghadapi krisis ekonomi dan politik pada tahun 1998-1999. Presiden Abdurrahman
Wahid sering menggunakan analogi dalam menghadapi situasi luar negeri. Ia sering mengacu
pada peristiwa atau situasi masa lalu sebagai bingkai acuan untuk memahami dan menangani
peristiwa atau situasi saat ini. Hal ini dapat membantu Wahid dalam menyederhanakan
kompleksitas, mengurangi ketidakpastian, dan memobilisasi dukungan. Namun, hal ini juga
dapat menimbulkan bias, distorsi, dan kesalahan dalam pengambilan keputusan. Contohnya
adalah ketika ia menggunakan analogi perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk mendukung
perjuangan kemerdekaan negara-negara lain, seperti Palestina atau Aceh. Presiden Megawati
Soekarnoputri kadang-kadang menggunakan analogi dalam menghadapi situasi luar negeri. Ia
kadang-kadang mengacu pada peristiwa atau situasi masa lalu sebagai bingkai acuan untuk
memahami dan menangani peristiwa atau situasi saat ini. Hal ini dapat membantu Megawati
dalam menyederhanakan kompleksitas, mengurangi ketidakpastian, dan memobilisasi
dukungan. Namun, hal ini juga dapat menimbulkan bias, distorsi, dan kesalahan dalam
pengambilan keputusan. Contohnya adalah ketika ia menggunakan analogi krisis moneter
tahun 1997-1998 untuk mengatasi krisis energi tahun 2004-2005.
Structure learning: Presiden BJ Habibie memiliki kemampuan structure learning yang tinggi.
Ia cukup mampu belajar dari pengalaman dan menyesuaikan diri dengan perubahan
lingkungan. Ia cenderung melakukan double-loop learning dengan menilai ulang asumsi-
asumsi dasar, tujuan-tujuan strategis, dan model-model mental yang digunakan dalam
pengambilan keputusan. Hal ini dapat meningkatkan kreativitas, fleksibilitas, dan efektivitas
Habibie. Contohnya adalah ketika ia berhasil mengubah kebijakan luar negeri Indonesia yang
isolasionis menjadi terbuka dengan negara-negara Barat pada tahun 1990-an. Presiden
Abdurrahman Wahid memiliki kemampuan structure learning yang rendah. Ia kurang mampu
belajar dari pengalaman dan menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Ia cenderung
mempertahankan asumsi-asumsi dasar, tujuan-tujuan strategis, dan model-model mental yang
digunakan dalam pengambilan keputusan. Hal ini dapat menurunkan kreativitas, fleksibilitas,
dan efektivitas Wahid. Contohnya adalah ketika ia gagal mengubah kebijakan luar negeri
Indonesia yang konfrontatif menjadi kerjasama dengan negara-negara tetangga pada tahun
2000-an. Presiden Megawati Soekarnoputri memiliki kemampuan structure learning yang
moderat. Ia agak mampu belajar dari pengalaman dan menyesuaikan diri dengan perubahan
lingkungan. Ia cenderung melakukan single-loop learning dengan menyesuaikan taktis
terhadap situasi yang ada tanpa mengubah asumsi-asumsi dasar, tujuan-tujuan strategis, dan
model-model mental yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Hal ini dapat
mempertahankan stabilitas, konsistensi, dan kontinuitas Megawati. Contohnya adalah ketika ia
melanjutkan kebijakan luar negeri Indonesia yang pro-Barat, pro-pasar, dan pro-status quo
pada tahun 2000-an

Operational Code: Presiden BJ Habibie memiliki Operational Code yang didasarkan pada
keyakinan-keyakinan dasar tentang dirinya sendiri sebagai pemimpin visioner, Indonesia
sebagai negara yang modern, dunia sebagai medan kerjasama antara Barat dan Timur, dan
hubungan antara mereka sebagai hubungan interdependensi atau kemitraan. Operational Code
Habibie memiliki dimensi filosofis yang idealis dan dimensi instrumental yang pragmatis.
Operational Code Habibie mempengaruhi preferensi, persepsi, dan prediksi Habibie dalam
mengambil kebijakan luar negeri yang bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan dunia
internasional terhadap Indonesia, serta memperoleh bantuan dan dukungan dari negara-negara
donor dan organisasi multilateral. Contohnya adalah ketika ia percaya bahwa Indonesia harus
menjadi negara demokratis dan beradab yang dihormati oleh dunia, atau ketika ia mengambil
tindakan-tindakan yang terbuka, ramah, dan persuasif terhadap negara-negara lain, seperti
memberikan pilihan referendum kepada rakyat Timor Timur pada tahun 1999 atau bergabung
dengan ASEAN Regional Forum pada tahun 1999 (Suryo, 2021). Presiden Abdurrahman
Wahid memiliki Operational Code yang didasarkan pada keyakinan-keyakinan dasar tentang
dirinya sendiri sebagai pemimpin toleran, Indonesia sebagai negara yang bersatu, dunia sebagai
medan dialog antara agama dan budaya, dan hubungan antara mereka sebagai hubungan
harmonis atau solidaritas. Operational Code Wahid memiliki dimensi filosofis yang moderat
dan dimensi instrumental yang kharismatik. Operational Code Wahid mempengaruhi
preferensi, persepsi, dan prediksi Wahid dalam mengambil kebijakan luar negeri yang
bertujuan untuk memperkuat persatuan nasional Indonesia, serta membangun hubungan yang
harmonis dengan negara-negara tetangga dan dunia internasional. Contohnya adalah ketika ia
percaya bahwa Indonesia harus menjadi negara pluralis dan damai yang dihargai oleh dunia,
atau ketika ia mengambil tindakan-tindakan yang humoris, santai, dan inspiratif terhadap
negara-negara lain, seperti mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua pada tahun 2000 atau
mengunjungi Israel pada tahun 2000. Presiden Megawati Soekarnoputri memiliki Operational
Code yang didasarkan pada keyakinan-keyakinan dasar tentang dirinya sendiri sebagai
pemimpin pragmatis, Indonesia sebagai negara yang stabil, dunia sebagai medan kompetisi
antara Barat dan Timur, dan hubungan antara mereka sebagai hubungan keseimbangan atau
kewaspadaan. Operational Code Megawati memiliki dimensi filosofis yang realis dan dimensi
instrumental yang konservatif. Operational Code Megawati mempengaruhi preferensi,
persepsi, dan prediksi Megawati dalam mengambil kebijakan luar negeri yang bertujuan untuk
memulihkan stabilitas politik dan ekonomi Indonesia, serta memperbaiki citra Indonesia di
mata dunia internasional. Contohnya adalah ketika ia percaya bahwa Indonesia harus menjadi
negara berwibawa dan sejahtera yang diakui oleh dunia, atau ketika ia mengambil tindakan-
tindakan yang sederhana, tegas, dan formal terhadap negara-negara lain, seperti melawan
terorisme setelah serangan bom Bali pada tahun 2002 atau menerima bantuan dana dari Dana
Moneter Internasional pada tahun
2003.

Presiden BJ Habibie memiliki belief and belief system yang didasarkan pada fakta-fakta ilmiah
dan teknologis tentang diri mereka sendiri, orang lain, atau situasi yang dihadapi. Ia memiliki
latar belakang sebagai insinyur dan ilmuwan yang ahli dalam bidang pesawat terbang. Ia juga
memiliki minat besar Ia juga memiliki minat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di dunia. Belief and belief system Habibie mempengaruhi persepsi, ekspektasi,
dan preferensi Habibie dalam menghadapi situasi luar negeri. Ia cenderung melihat dunia
sebagai tempat untuk berinovasi, berkolaborasi, dan berkompetisi dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Contohnya adalah ketika ia percaya bahwa Indonesia harus
memiliki industri pesawat terbang sendiri untuk menunjukkan kemajuan dan kemandirian
Indonesia, atau ketika ia mengembangkan program nuklir Indonesia dengan bantuan dari
Jerman. Presiden Abdurrahman Wahid memiliki belief and belief system yang didasarkan pada
opini-opini agama dan budaya tentang diri mereka sendiri, orang lain, atau situasi yang
dihadapi. Ia memiliki latar belakang sebagai tokoh agama dan budaya yang moderat dan
toleran. Ia juga memiliki pandangan yang luas dan inklusif terhadap berbagai agama dan
budaya di dunia. Belief and belief system Wahid mempengaruhi persepsi, ekspektasi, dan
preferensi Wahid dalam menghadapi situasi luar negeri. Ia cenderung melihat dunia sebagai
tempat untuk berdialog, bersahabat, dan bersolidaritas dalam bidang agama dan budaya.
Contohnya adalah ketika ia percaya bahwa Islam adalah agama yang damai dan rahmatan lil
alamin, atau ketika ia menghormati dan mengapresiasi berbagai agama dan budaya di dunia,
Presiden Megawati Soekarnoputri memiliki belief and belief system yang didasarkan pada
fakta-fakta historis dan politis tentang diri mereka sendiri, orang lain, atau situasi yang
dihadapi. Ia memiliki latar belakang sebagai putri dari presiden pertama Indonesia, Soekarno,
yang sangat populer di kalangan rakyat. Ia juga memiliki pengalaman yang panjang dan pahit
dalam perjuangan politik di Indonesia. Belief and belief system Megawati mempengaruhi
persepsi, ekspektasi, dan preferensi Megawati dalam menghadapi situasi luar negeri. Ia
cenderung melihat dunia sebagai tempat untuk berjuang, bertahan, dan berkembang dalam
bidang historis dan politis. Contohnya adalah ketika ia percaya bahwa Indonesia adalah negara
yang besar dan bersejarah yang harus dihormati oleh dunia, atau ketika ia menghadapi berbagai
tantangan dan tekanan dari negara-negara lain, seperti AS, Australia, Malaysia, dll.

Emotion & Images: Presiden BJ Habibie memiliki emotion and image yang positif terhadap
diri sendiri, orang lain, atau situasi yang dihadapi. Ia merasa percaya diri, optimis, dan antusias
dalam menjalankan tugasnya sebagai presiden. Ia juga merasa bersimpati, bersahabat, dan
kooperatif terhadap orang lain atau kelompok lain. Ia membentuk image positif terhadap
negara-negara Barat sebagai mitra yang dapat memberikan bantuan dan kerjasama bagi
Indonesia. Ia juga membentuk image positif terhadap negara-negara Asia Afrika sebagai
saudara yang memiliki kesamaan nasib dan tujuan. Emotion and image Habibie mempengaruhi
afeksi, evaluasi, dan motivasi Habibie dalam mengambil tindakan. Contohnya adalah ketika ia
merasa senang terhadap hasil referendum Timor Timur pada tahun 1999 yang menunjukkan
keinginan rakyat Timor Timur untuk merdeka, atau ketika ia merasa hormat terhadap Raja
Thailand yang memberikan tongkat emas kepadanya sebagai tanda persahabatan. Presiden
Abdurrahman Wahid memiliki emotion and image yang variatif terhadap diri sendiri, orang
lain, atau situasi yang dihadapi. Ia merasa santai, humoris, dan kreatif dalam menjalankan
tugasnya sebagai presiden. Ia juga merasa toleran, inklusif, dan solidaritas terhadap orang lain
atau kelompok lain. Ia membentuk image variatif terhadap negara-negara lain sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada. Ia dapat membentuk image positif terhadap negara-negara yang
bersikap ramah dan kooperatif terhadap Indonesia, seperti Jepang, India, atau Afrika Selatan.
Ia juga dapat membentuk image negatif terhadap negara-negara yang bersikap bermusuhan dan
intervensi terhadap Indonesia, seperti AS, Australia, atau Malaysia. Emotion and image Wahid
mempengaruhi afeksi, evaluasi, dan motivasi Wahid dalam mengambil tindakan. Contohnya
adalah ketika ia merasa sedih terhadap korban-korban kekerasan agama di Indonesia pada
tahun 2000, atau ketika ia merasa marah terhadap pemerintah Malaysia yang menangkap
aktivis-aktivis Indonesia yang berdemo di Kuala Lumpur pada tahun 2001. Presiden Megawati
Soekarnoputri memiliki emotion and image yang negatif terhadap diri sendiri, orang lain, atau
situasi yang dihadapi. Ia merasa tidak percaya diri, pesimis, dan defensif dalam menjalankan
tugasnya sebagai presiden. Ia juga merasa curiga, dingin, dan konfrontatif terhadap orang lain
atau kelompok lain. Ia membentuk image negatif terhadap negara-negara Barat sebagai musuh
yang ingin mengintervensi dan mengontrol Indonesia. Ia juga membentuk image negatif
terhadap negara-negara Asia Afrika sebagai saingan yang ingin mengambil keuntungan dari
Indonesia. Emotion and image Megawati mempengaruhi afeksi, evaluasi, dan motivasi
Megawati dalam mengambil tindakan. Contohnya adalah ketika ia merasa takut terhadap
ancaman terorisme setelah serangan bom Bali pada tahun 2002, atau ketika ia merasa benci
terhadap pemerintah Australia yang mendukung kemerdekaan Timor Timur pada tahun 2002.

5. Berikan analisis anda tentang komparasi KLNI di era Jokowi dan SBY dalam kasus Indo
Pasifik?

Indo Pasifik adalah konsep yang menggabungkan kawasan Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik sebagai satu kesatuan geopolitik dan geostrategis yang saling terkait dan
saling mempengaruhi. Konsep ini muncul sebagai respons terhadap dinamika lingkungan
strategis global dan regional, terutama berkaitan dengan pergeseran kekuatan, persaingan, dan
kerjasama antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, India, Jepang,
Australia, dan ASEAN
Di era SBY cenderung mengikuti konsep Indo Pasifik yang dikembangkan oleh Amerika
Serikat, yaitu Free and Open Indo-Pacific (FOIP). Konsep ini menekankan pentingnya
kebebasan navigasi, perdagangan, dan investasi, serta keterbukaan terhadap kerjasama regional
dan multilateral. SBY mendukung konsep ini dengan berpartisipasi dalam berbagai inisiatif
kerjasama seperti Trans-Pacific Partnership (TPP), Regional Comprehensive Economic
Partnership (RCEP), East Asia Summit (EAS), dan ASEAN Regional Forum (ARF). SBY juga
menjalin hubungan baik dengan Amerika Serikat sebagai mitra strategis utama Indonesia di
kawasan Indo Pasifik Dalam konteks Indo Pasifik, SBY memiliki visi untuk menjadikan
kawasan tersebut sebagai kawasan yang damai, stabil, inklusif, dan kooperatif. SBY juga
mendukung konsep Indo Pasifik yang diajukan oleh Australia pada tahun 2013, yang
menekankan pentingnya keterlibatan Amerika Serikat dan China dalam kawasan tersebut.
(Widiatmaja, 2019)
Di era Jokowi cenderung mengembangkan konsep Indo Pasifik sendiri, yaitu ASEAN
Outlook on the Indo-Pacific (AOIP). Konsep ini menekankan pentingnya ASEAN sebagai
pusat kerjasama regional dan multilateral, serta mengedepankan prinsip-prinsip ASEAN
seperti konsensus, inklusivitas, transparansi, saling menghormati, dan saling menguntungkan.
Jokowi mengusulkan konsep ini dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan kekuatan dan
kerjasama di kawasan Indo Pasifik, serta mencegah dominasi atau intervensi dari negara-
negara besar. Jokowi juga menjalin hubungan baik dengan negara-negara lain di kawasan Indo
Pasifik dengan berbagai cara seperti kunjungan kenegaraan, kerjasama pembangunan, dan
diplomasi maritim

Referensi:

Aura, J. (2021) Menlu Retno: Polugri Bebas aktif Indonesia Masih sangat relevan,
kumparan. Available at: https://kumparan.com/kumparannews/menlu-retno-polugri-
bebas-aktif-indonesia-masih-sangat-relevan-1wWlnZwwqno/full (Accessed: 02
October 2023).

Fatimatuzzahro (2021) Apa definisi, Prinsip & Tujuan Politik luar Negeri Indonesia?,
tirto.id. Available at: https://tirto.id/apa-definisi-prinsip-tujuan-politik-luar-negeri-
indonesia-gd5u (Accessed: 02 October 2023).

Mintz, A. (2010). Understanding Foreign Policy Decision Making: Psychological Factors


Affecting Foreign Policy Decisions. Cambridge University Press.

Muttaqien , M. (2013) Dinamika Politik Luar Negeri Indonesia: Sebuah Analisis


KONTEMPORER. Cakra Studi Global-Strategis Publisher Surabaya.
Rachmat, A.N. and Ratmoko, K. (2019) ‘Determinan Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terkait
Peningkatan Partisipasi Indonesia Dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian
Perserikatan Bangsa-Bangsa : Studi Terhadap Pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono Periode 2004- 2009’, Prosiding Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian
kepada Masyarakat Unjani Expo (UNEX) I 2019, pp. 4–9.

Suryo A. P et all (2021) A Literature Review of Political Psychology, Political Leaders and
Personal Qualities: Mini-Review Approach, Proceedings of the 11th Annual
International Conference on Industrial Engineering and Operations Management
Singapore

Weinstein, F.B., (1976). Indonesia Foreign Policy and the Dilemma of Dependence from
Sukarno to Soeharto. Ithaca: Cornell University Press.

Widiatmaja, Aji & U. Albab. (2019) Indonesia di Era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dan Joko Widodo: Kebijakan Luar Negeri di Tengah Dinamika Lingkungan Strategis
Regional Politica Vol. 10 No. 1

Anda mungkin juga menyukai