Anda di halaman 1dari 14

Peran Mahasiswa di Era Globalisasi dalam Menangani terjadinya Politik Luar Negeri

yang Bebas Aktif

Disusun Oleh :

Nama : Mega Anjely Adzania Dony Putri

NIM : 210710101137

Mata Kuliah : Hukum Internasional

Kelas :B

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN,

RISET, DAN TEKNOLOGI

DESEMBER 2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Politik luar negeri adalah strategi dan taktik yang digunakan oleh suatu negara dalam
hubungannya dengan negara-negara lain. Melalui politik luar negeri, pemerintah
memproyeksikan kepentingan nasionalnya ke dalam masyarakat antar bangsa. Mengingat
bahwasanya setiap negara memiliki kepeningan nasional yang harus dicapai, kepentingan
nasional tersebut dapat dicapai dalam wilayah negara itu sendiri dan dapat pula dicapai di
luar wilayah negara. Dalam hal pencapaian kepantingan nasinal dilakukan di luar batas
wilayah negara, instrument yang digunakan ialah Politik Luar Negeri. Politik Luar Negeri
merupakan refleksi dari kondisi dalam negeri dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh
perubahan – perubahan dinamis dari lingkungan regional dan internasional. Hal ini juga
terlihat jelas pada implementasi Politik Luar Negeri Republik Indonesia (PLNRI) yang
tampak memiliki karakteristik dan gaya berbeda – beda ditiap – tiap periode pemerintahan.

Periode Orde Lama PLNRI memiliki karakteristik berhubungan akrab dengan kubu
negara – negara komunis, serta bergaya Konfrontatif. Periode Orde Baru PLNRI memiliki
karakteristik berhubungan karib dengan kubu negara - negara Barat serta bergaya Low
Profile-Kooperatif. Sedangkan pada periode Orde Reformasi PLNRI memiliki karakteristik
berkawan dengan semua negara serta bergaya Aktif Diplomatis. Perubahan karakteristik dan
gaya dalam pelaksanaan PLNRI lebih sering disoroti dari aspek situasi dan kondisi dalam
negeri. Indonesia sendiri menganut prinsip kebijakan politik luar negeri bebas aktif. 1 Bebas
aktif adalah politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap
permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri pada satu kekuatan tertentu. 2 Prinsip
politik luar negeri ini secara aktif memberikan sumbangan, dalam bentuk pemikiran maupun
partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik, demi terwujudnya ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pada era globalisasi
membuat semakin leluasnya perdagangan lintas antar negara. Hal tersebut juga
mempengaruhi bidang ekonomi, sosial,budaya, dan juga ilmu teknologi juga dipengaruhi
oleh adanya era globalisasi.
1
M. Sabir. 2022. Politik bebas aktif. Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri Kementrian Dalam Negeri
Republik Indonesia. Jakarta.
2
Rosa, Nikita. 2022. “Mengenal Politik Luar Negeri Indonesia: Prinsip hingga Landasan". Detikedu.
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5976954/mengenal-politik-luar-negeri-indonesia-prinsip-hingga-
landasan. Jakarta.
Globalisasi sangat mempengaruhi keadaan politik luar negeri Indonesia. Masyarakat
internasional, selain itu mahasiswa sebagai agen perubahan juga memiliki tanggung jawab
dan peran dalam rangka perkembangan politik luar negeri internasional. Dalam dunia politik,
kini kepercayaan masyarakat terhadap politik khususnya partai politik semakin menurun.
Mahasiswa sebagai ahli waris dari suatu negara, penerus cita-cita bangsa dan masa depan bangsa.
Mahasiswa harus mempunyai karakter yang kuat untuk membangun bangsa dan negaranya, berbudi
pekerti, mempunyai iman yang kuat, mampu memahami pengetahuan dan teknologi untuk bersaing
secara global, memiliki tanggung jawab untuk memajukan negara menjadi lebih baik ke depannya dan
mewujudkan cita-cita bangsa di masa depan.

Jejak perjalanan mahasiswa untuk bangsa indonesia sangatlah mengesankan, mulai


dari pra kemerdekaan, masa orde lama, orde baru, orde reformasi sampai orde saat ini. Peran
mahasiswa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia pertama kali di mulai dari
kebangkitan bangsa / berdirinya pergerakan budi utomo tepatnya tanggal 20 Mei 1908.
Melalui proses kebangkitan bangsa, para pemuda telah menggelorakan semangat perjuangan
agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tidak terpecah belah dalam suku, ras, agama, dan
sebagainya. Selanjutnya pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 mahasiswa memiliki
peran yang sangat signifikan dalam proses pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia.
Dan pada proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 para mahasiswa ikut
membantu dalam pembentukan kemerdekaan bangsa. Pada tahun 1966 dalam Pergerakan
pemuda, pelajar, dan mahasiswa, tahun 1998 pergerakan mahasiswa yang meruntuhkan
kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun sekaligus membawa bangsa Indonesia memasuki masa
reformasi. Fakta historis ini menjadi salah satu bukti bahwa mahasiswa selama ini mampu
berperan aktif sebagai pionir dalam proses perjuangan dan pembangunan bangsa. Oleh karena
itu mahasiwa memiliki peran penting dalam menangani terjadinya politik luar negeri yang
bebas aktif.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana Implementasi prinsip Politik Bebas Aktif Indonesia

1.2.2 Bagaimana Globalisasi dalam Tata Hubungan Internasional

1.2.3 Bagaimana Peran Mahasiswa dalam Menangani terjadinya Politik Luar Negeri
yang Bebas Aktif
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Implementasi Prinsip Politik Bebas Aktif Indonesia

Sebagai negara baru yang masih perlu membangun kualitas masyarakat dan
pembangunan, negaranegara besar merupakan tempat yang paling cocok untuk mendapatkan
modal-modal pembangunan. Oleh karena itu, konsepsi peran Indonesia dalam sistem
internasional mendapatkan ujian berupa tekanan sistem internasional untuk bergabung salah
satu blok. Konsepsi peran sebagai negara yang “bebas” pun mengalami pertentangan dalam
negeri. Misalnya pada saat Muso kembali dari Uni Soviet, Muso memperkuat pihak oposisi
di parlemen yang dipimpin kubu Amir Syarifuddin. Pada waktu itu Mohammad Hatta
memegang posisi perdana Menteri dalam sistem parlementer. Muso berusaha mempengaruhi
Hatta agar Indonesia memihak pada Uni Soviet dalam situasi Perang Dingin.3 Hatta pun
kemudian menegaskan kembali sikap Indonesia yang tertuang dalam pidatonya di Sidang
Badan pekerja KNIP di Yogyakarta tanggal 2 September 1948. Pada masa pemerintahan
Soekarno, prinsip bebas aktif diaplikasikan dengan menjadi negara inisiator Konferensi Asia
Afrika (KAA) dan Gerakan Non Blok (GNB). KAA merupakan kebijakan luar negeri
Indonesia yang menerapkan prinsip membebaskan negara – negara di dunia dari penjajahan.
Sedangkan GNB merupakan wujud dari kebebasan Indonesia untuk tidak memihak salah satu
blok dalam era perang dingin.

Sikap tegas pemerintahan Soekarno untuk mengaplikasikan prinsip bebas aktif terlihat
dari pertemuan antara Presiden Soekarno dan Presiden Kennedy Pada tanggal 24 April 1961
di Washington. Dalam pertemuan tersebut, Kennedy meminta agar Indonesia sebagai negara
merdeka tidak begitu saja dikuasai oleh kekuatan komunis. Namun, Menlu Soebandrio yang
turut hadir menyatakan bahwa Indonesia tidak mau didikte, baik oleh Moskow maupun
Beijing. Soebandrio juga menyatakan Indonesia pun juga tidak mau diatur-atur oleh
Washington. Pernyataan Soebandrio ini senada dengan Soekarno yang menyampaikan pidato
pada tanggal 17 Agustus 1960 berjudul Jalannya Revolusi Kita (Jarek). Dalam pidato
tersebut, Soekarno menyebut bahwa apa yang oleh orang luar disebut “policy of neutralism”
bagi politik luar negeri yang dianut oleh Indonesia adalah salah. Indonesia, kata Soekarno,
3
Haryanto, “PRINSIP BEBAS AKTIF DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA: PERSPEKTIF
TEORI PERAN.”
“tidak netral, kita tidak penonton langsung daripada kejadian-kejadian di dunia ini, kita tidak
tanpa prinsip, kita tidak tanpa pendirian. Kita menjalan politik bebas aktif itu tidak sekedar
secara ‘cuci tangan’ tidak sekedar secara defensif, tidak sekedar secara apologetis”. Sebelum
itu, Kabinet Ali Sastroamidjojo sebenarnya telah memainkan peran aktif Indonesia dalam
dunia internasional berupa terselenggaranya Konferensi AsiaAfrika pada tahun 1955, di mana
Indonesia menjadi tuan rumah. Namun demikian, sejak dimulai dari KAA, dan kemudian
selanjutnya GNB, politik luar negeri bebas aktif Indonesia tetap terlihat. Indonesia berusaha
menjadi pemimpin dalam memperjuangkan kemerdekaan negara-negara Asia dan Afrika.
Politik luar negeri Indonesia pun terlihat sangat kental dalam GNB, di mana Gerakan Non-
Blok memproklamirkan penolakan keberpihakan terhadap salah satu dari dua blok kekuatan
dunia saat itu, yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat.

Teori Peran selama ini sering digunakan untuk menganalisis kebijakan luar negeri.
Setidaknya ada dua alasan kegunaan teori peran. Pertama, teori ini mampu memahami
perilaku kelompok yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Kedua, teori ini dapat
digunakan dengan mengabaikan sistem politik yang lebih besar (sistem internasional) dengan
memahami persepsi pengambil kebijakan terhadap harapan peran.4 Meskipun demikian, teori
peran sebenarnya merupakan konsep kunci yang menghubungkan perilaku individu dalam
berbagai level analisa. Individu, kelompok, institusi, negara, komunitas, supranasional dan
organisasi internasional merupakan sebuah sistem yang terhubung dimana mereka semua
merupakan elemen dari sistem yang lebih besar. Perilaku elemen dalam sistem yang lebih
besar dapat disebut sebagai peran.
Teori peran dalam studi Hubungan Internasional (HI) pertama kali dicetuskan oleh
K.J. Holsti pada tahun 1970 dalam tulisannya yang berjudul “National Role Conceptions in
the Study of Foregn Policy”. Konsep ini muncul atas dasar perkembangan penyebutan oleh
para pengkaji HI terhadap perilaku sebuah negara. Holsti menunjukkan kecenderungan para
pengkaji, pada waktu itu, menyebut negara dengan identitas perilaku negara dalam interaksi
internasional. Sebagai contoh ada beberapa negara disebut sebagai Negara Blok Barat, Blok
Timur, maupun Non Blok. Di dalam blok – blok tersebut pun negara seringkali
diklasifikasikan lagi menjadi pemimpin blok, penyeimbang atau sekedar negara pinggiran
atau pengikut saja. Klasifikasi yang muncul atas negara berdampak pada perspektif pembaca
mengenai bagaimana perilaku mereka dalam sistem internasional. Bahkan, dengan
mengklasifikasi sebuah negara dalam kelompok tertentu, kita dapat membaca bagaimana
4
“Diferensiasi sosial (Teori peran).”
kebijakan politik luar negeri mereka merespon situasi yang berkembang. Sebagai contoh
ketika kita memasukkan sebuah negara menjadi negara penyeimbang, maka kita
membayangkan negara ini akan memiliki sikap menjadi mediator dalam konflik atau
sengketa antar negara. Negara dengan tipe penyeimbang tentu tidak akan melibatkan diri
masuk ke dalam salah satu blok yang berselisih. Namun, Holsti melihat klasifikasi yang
muncul pada saat itu hanya mengakomodir bagaimana perilaku negara – negara besar.
Klasifikasi yang menyebutkan negara dalam Blok Barat atau Blok Timur, kemudian
menyebut negara lain sebagai negara netral merupakan klasifikasi yang “terlalu sederhana”
dan tidak mewakili bagaimana perilaku negara – negara kecil di Afrika, Asia Selatan dan
Amerika Latin, kecuali negara – negara di wilayah tersebut memang secara terus terang
menjadi bagian dari rivalitas perang dingin. Holsti kemudian melakukan serangkaian
penelitian untuk menganalisis peran apa saja yang dimiliki oleh negara dalam sistem
internasional. Dalam penelitian ini, Holsti menyatakan negara dalam berperilaku ditentukan
oleh konsepsi peran nasional, status negara, kemudian tuntutan dan harapan peran dari negara
lain. Dalam konsep peran, Holsti memperkenalkan tiga konsep peran yaitu Konsepsi peran
Nasional, Role Prescription, dan Role Performances. Konsepsi peran nasional adalah
kepribadian atau ide dan pemikiran negara tersebut, sedangkan role prescriptions adalah
harapan tindakan atau peran dari sistem internasional, sedangkan role performances adalah
perilaku negara tersebut dalam politik internasional. Sebagian besar penelitian yang
dilakukan adalah penelitian yang menggunakan role performances untuk menganalisa
perilaku negara. Menurutnya, para pengkaji Hubungan Internasional tidak banyak menelaah
bagaimana sebenarnya konsepsi peran yang dimiliki sebuah Negara. Konsep peran yang
diutarakan oleh Holsti diinspirasi oleh ilmu Sosiologi dan Psikologi Sosial tentang peran
individu dalam masyarakat. Konsep peran tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh
George H. Mead yang melakukan studi tentang dampak perilaku orang lain terhadap konsepsi
diri individu dan perbedaan antara “self” dan alter”.5
Holsti memandang kebijakan luar negeri merupakan hasil dari konsepsi peran
nasional yang dimiliki oleh para pengambil kebijakan. Para pengambil kebijakan memiliki
konsepsi yang bersumber dari lokasi (letak) negara, sumber daya dan kemampuan sosial
ekonomi, nilai – nilai nasional, ideologi, peran tradisional, opini publik, personality, dan
kebutuhan politik. Holsti menganggap pengambil kebijakan memiliki “ego” dalam memuat
keputusan berdasarkan konsepsi yang dimiliki. Tetapi, Holsti tidak mengabaikan

5
“PRINSIP BEBAS AKTIF DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA : PERSPEKTIF TEORI
PERAN”
kemungkinan persepsi itu “bergeser” karena konsepsi tersebut juga dipengaruhi oleh status
negara yang dipimpin dan saran atau nilai – nilai yang seharusnya dianut negara tersebut
seperti perjanjian internasional, opini masyarakat internasional, pemahaman informal, prinsip
– prinsip internasional, dan peraturan umum yang berlaku.
Prinsip bebas aktif sebagai sumber kebijakan luar negeri telah diadopsi sejak awal
kemerdekaan. Prinsip ini tetap digunakan dan seringkali menjadi acuan dalam mengukur
kebijakan luar negeri Indonesia. Holsti menyebut sumber utama dalam kebijakan luar negeri
adalah konsepsi peran nasional dan role prescription atau harapan peran dari lingkungan
internasional. Konsepsi peran nasional dapat bersumber dari ideologi atau prinsip dasar
politik luar negeri yang dimiliki negara, misalnya Undang – Undang atau peraturan negara.
Sumber lain dari konsepsi peran adalah kepentingan nasional. Sedangkan sumber dari
harapan peran dapat berasal dari negara tetangga, lingkungan internasional, maupun norma
dan hukum internasional yang berlaku. Jika teori ini diaplikasikan dalam politik luar negeri
Indonesia, maka politik luar negeri Indonesia bersumber dari konsepsi peran berupa prinsip
bebas aktif dan kepentingan nasional. Sedangkan harapan peran untuk Indonesia muncul dari
lingkungan internasional yang berubah dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang lain.
Perpaduan dua hal inilah yang kemudian menjadi output kebijakan luar negeri Indonesia.
Arah politik luar negeri Indonesia yang baru di bawah pemerintahan Yudhoyono dikenal
dengan berlayar di antara samudera yang bergolak (“sailing in the turbulent ocean”).
Pergolakan tersebut diyakini sebagai kenyataan politik internasional saat ini yang tidak
terlalu jelas hitamputihnya dan berubah dengan cepat. Doktrin tersebut mengatakan bahwa
Indonesia menggabungkan independensi dan diplomasi aktif Indonesia dengan memegang
prinsip untuk tidak menganggap siapa pun sebagai musuh dan mencari kawan sebanyak-
banyaknya (“zero enemy and thousand friends”).
Dengan demikian, doktrin tersebut berusaha menggenapi doktrin politik luar negeri
Hatta yang berbunyi “berlayar di antara dua karang” Untuk saat ini, Doktrin Hatta mulai
kehilangan konteksnya karena absurdnya dua kekuatan utama dunia pasca bubarnya Uni
Soviet. Doktrin Yudhoyono ini mengadopsi “politik luar negeri segala arah”. Dalam abad ke-
21 ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, Indonesia tidak
memiliki musuh atau negara yang dianggap mengancam, sekaligus tidak ada negara-negara
lain yang mempersepsikan Indonesia sebagai musuhnya. Bahkan negara-negara yang
dimarjinalisasi di dunia internasional, seperti Myanmar, Korea Utara, dan Sudan,
menganggap Indonesia sebagai kawan. Dalam periode ini, Indonesia berusaha semakin
memainkan peran penting dalam ASEAN dan Asia Tenggara sebagai lingkaran konsentris
pertama dalam perpolitikan luar negeri Indonesia. Masalah-masalah yang menjadi perhatian
Indonesia diantaranya adalah masalah perbatasan Thailand Kamboja dan isu-isu di Laut Cina
Selatan. Indonesia yang sempat menjadi Ketua ASEAN 2011 nampak berupaya menjalankan
“keseimbangan dinamis” di kawasan ini.

2.2 Globalisasi Dalam Tata Hubungan Internasional


Situasi dan kondisi lingkungan internasional sejak tahun 1990-an menampilkan
wajah yang sangat berbeda dengan situasi dan kondisi lingkungan internasional sepuluh
tahun pertama abad keduapuluh. Pada era 1990-an arena politik internasional penuh diwarnai
dengan perubahan – perubahan baik dalam kompleksitas permasalahan, pelaku hubungan
internasional, serta dalam konteks hubungan antar negara. Berakhirnya Perang Dingin
(Ideological War) merubah tata pola hubungan antar negara. Hubungan antar negara tidak
lagi terpolarisari menjadi dua kubu yaitu kubu komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet dan
kubu non-komunis di bawah pimpinan Amerika Serikat. Idiologi sudah tidak lagi menjadi
tolak ukur
dalam hubungan antar negara. Menurunnya peran idiologi dalam percaturan politik antar
negara mengantarkan pada era pola hubungan internasional yang lebih mengedepankan kerja
sama yang membawa negara – negara pada kondisi saling ketergantungan yang semakin
meningkat. Seiring berlalunya era Perang Dingin, terjadi revolusi elektronik yang
memunculkan Globalisasi, globalisasi merubah aktor/pelaku dalam tata hubungan
internasional dan mengakibatkan semakin kompleksnya hubungan antar negara. Globalisasi
sendiri ada yang memaknai secara positif dan ada pula yang memaknai secara negatif, secara
positif globalisasi dimaknai sebagai proses yang akan menghasilkan masyarakat dunia yang
toleran dan bertanggungjawab, sedangkan secara negatif globalisasi dipandang sebagai
bentuk baru dari kolonialisme dari negara maju yang berusaha memaksakan sejumlah bentuk
budaya dan konsumsi. Pendapat yang dikemukakan oleh Jan Aart Scholte dalam
(Hermawan.ed.:2007:131-132) mengenai globalisasi sebagaimana disebutkan di bawah ini,
menggambarkan secara jelas dua pendapat tersebut yaitu bahwa globalisasi bisa bermakna
sebagai : Internasionalisasi yaitu meningkatnya intensitas interaksi lintas batas dan saling
ketergantungan antar negara; Liberalisasi yaitu proses untuk memindahkan larangan-larangan
yang dibuat oleh negara dalam rangka membentuk ekonomi dunia yang lebih terintegrasi;
Universalisasi yaitu menyebarnya berbagai macam obyek dan pengalaman dari masyarakat
di seluruh dunia; dan Westernisasi yaitu kritik terhadap proses yang sedang berjalan sebagai
proses peniruan budaya Barat atau bahkan proses memaksakan sistem budaya, sistem politik
dan sistem ekonomi negara-negara Barat dalam panggung dunia. Terlepas dari pemaknaan
negatif dan positif dari Globalisasi, setidaknya terdapat 4 (empat) ciri dasar dari konsep
globalisasi yang mesti kita ketahui yaitu:
1. Meluasnya hubungan sosial (Stretched social relations) : hal ini mengacu pada
saling keterhubungan antara jaringan sosial-budaya, ekonomi dan politik di
masyarakat yang melintasi batas negara bangsa;
2. Meningkatnya intensitas komunikasi (intensification of flows) : berkaitan dengan
makin meningkatnya intensitas hubungan antar aktor dengan munculnya
perkembangan ilmu dan teknologi;
3. Meningkatnya interpenetrasi (increasing interpenetration) : interpenetrasi yang
terjadi hampir disegala bidang mengakibatkan budaya dan masyarakat yang berada di
wilayah berbeda akan saling berhadapan pada level lokal dan internasional;
4. Munculnya infrastruktur global (global infrastructure) : pengaturan institusional
yang bersifat formal dan informal yang diperlukan agar jaringan global bekerja.
(Hermawan.ed.:2007:132-133) .
Jackson dan Sorensen dalam (Hermawan.ed.:2007:134-135) menyebutkan beberapa
tantangan yang muncul di era globalisasi sebagai berikut :
1. Kekuatan pasar global sangat mudah melakukan penetrasi terhadap suatu negara
dan memberikan efek besar pada ekonomi nasional negara tersebut. Selain yang
berhubungan dengan ekonmi, kekuatan pasar global meliputi juga, isu-isu global lain
seperti masalah lingkungan hidup, sistem komunikasi global, perdagangan senjata dan
narkoba, serta kejahatan transnasional.
2. Perkembangan norma internasional seperti hak asasi manusia dan hukum
kemanusiaan (humanitarian law), memberikan tantangan besar terhadap prinsip non-
intervensi yg melekat pada konsep kedaulatan.
3. Kontrol terhadap ketertiban dan keamanan dalam hal ini negara tidak lagi memiliki
kontrol mutlak terhadap keamanan negara dan warganegaranya.
Tantangan - tantangan yang muncul akibat globalisasi tersebut membawa dampak adanya
perubahan politik sebagai berikut :
1. Rekonstruksi negara yaitu bahwa negara kehilangan kedaulatannya dalam
pengertian kedaulatan mutlak dan absolut sebagaimana dimaksud dalam Westphalia
Treaty. Prinsip komprehensivitas, mutlak, absolut dan exclusive sulit untuk
dipertahankan. Perkembangan dan trend globalisasi menunjukkan munculnya sebuah
sistem baru yg disebut dengan Post Westphalia atau Post Sovereign State. Pada Post
Westphalian System, negara harus juga melayani warganegaranya baik pada level
domestik maupun pada level supra regional. Perlindungan negara kepada
warganegaranya harus bersifat
lintas batas karena banyak warga negara yang bekerja di luar negeri tetapi bertujuan
untuk memberikan kontribusi positif bagi negaranya. Dalam mencapai kepentingan
nasionalnya negara cenderung mengabaikan cara-cara militer, mengedepankan
kerjasama, kompromi, tawar-menawar dan persaingan sehat. Pada sistem ini terjadi
kecenderungan menggunakan cara multilateralisme daripada cara bilateral.
2. Makin banyaknya lapisan dalam pemerintahan publik, yang memunculkan makin
banyak aktor-aktor dalam pemerintahan. Agen-agen pemerintah membentuk
devisi/biro-biro luar negeri, dan merasa mempunyai hak untuk berhubungan dengan
aktor internasional lain tanpa ijin mutlak dari pemerintah pusat.
3. Privatisasi pemerintahan, nampak dalam kaitannya dengan implementasi dari
kebijakan yang menunjukkan terjadinya kecenderungan akan menigkatnya peran dari
biro-biro tidak resmi/di luar struktur pemerintahan. Struktur dalam era globalisasi
telah menguatkan peran dari agen-agen seperti kelompok masyarakat sipil atau
organisasi non-pemerintah untuk menjadi partner pemerintah dalam menjalankan
kebijakan terutama yang menyangkut sektor kesejahteraan masyarakat. Dalam
perumusan kebijakan juga melibatkan aktivis NGOs. (Hermawan.ed.:2007:136-138).
Tantangan dan dampak yang muncul dari globalisasi tersebut di atas, yang telah
membawa perubahan – perubahan baik dibidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya
pada pola hubungan antar negara, memaksa negara – negara di dunia untuk memiliki langkah
– langkah tersendiri guna merespon dan beradaptasi dengan globalisasi, demikian pula
dengan Indonesia.

2.3 Peran Mahasiswa dalam Menangani terjadinya Politik Luar Negeri yang Bebas Aktif
Kehidupan sosial masyarakat tidak bisa dilepaskan dari perubahan, perubahan
tersebut yang mendasari pengaruh bagi aktivitas sosial maupun prilaku. Perubahan dan
kemajuan teknologi yang sangat pesat di era globalisasi saat ini mengaharuskan masyarakat
untuk beradaptasi dengan baik, karena hal tersebut akan menentukan sejauh apa masyarakat
dapat bertahan atas setiap perubahan-perubahan yang terjadi. Perubahan sosial sangat
dipengaruhi oleh perkembangan zaman, dimana dalam setiap hubungan sosial saling
memiliki pengaruh yang berkesinambungan. Perubahan masyarakat pada prinsipnya
merupakaan suatu proses yang terus menerus artinya setiap masyarakat pada kenyataannya
akan mengalami perubahan, akan tetapi perubahan antara kelompok dengan kelompok lain
tidak selalu sama (kompleks) serta banyak faktor-faktor yang mempengaruhinya. Mahasiswa
sebagai elemen sosial yang penting bagi kehidupan masyarakat harus memiliki jiwa dan
karakter yang mempuni, dimana keberadaan mahasiswa sebagai generasi penerus suatu
bangsa akan membawa arah perubahan dan perkembangan sosial.“Bangsa yang unggul harus
dimulai dari generasi muda yang memiliki karakter disiplin, baik terhadap pencipta alam
semesta, pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, bertanggung jawab, mampu
berpikir kritis, dan inovatif”. Melihat lebih jauh, peran mahasiswa pada era disrupsi di mana
Indonesia saat ini menghadapi kondisi VUCA (volatility, uncertainty, complexity dan
ambiguity). Volatility banyak dipicu oleh perkembangan teknologi 4.0 seperti IOT, big data,
artificial intelligence, robotic, blockchain dan lainnya yang membawa perubahan kehidupan
begitu cepat. Selanjutnya perubahan iklim, dinamika geopolitik global juga telah memicu
uncertainty.6
Persoalan yang dihadapi juga semakin kompleks, sehingga mahasiswa dituntut harus
berpikir sistem secara komprehensif. Selain itu, perubahan yang terjadi juga semakin tidak
familiar yang menyebabkan situasi ambigu. Untuk itu, para pemimpin mahasiswa harus
berorientasi masa depan dengan mempertimbangkan VUCA tersebut agar di zaman disrupsi
ini, pengawalan demokrasi pun setiap kebijakan yang melanggar aspek keadilan pun
berdampak negatif pada masyarakat secara umum, dapat terlaksana dengan baik dan optimal.
Ada lima kompetensi utama yang diperlukan untuk menghadapi tantangan masa
depan, yakni complex-problem solving, critical thinking, creativity, communication dan
collaboration. Era disrupsi saat ini menuntut mahasiswa menjadi powerful agile learner agar
tidak terus terjebak pada masa lalu (escape from the past), dan sebaliknya harus mampu
menemukan masa depan (to invent the future). Karena itu dalam kongres kebangkitan
mahasiswa Indonesia saat ini, perlu dipikirkan bagaimana reformulasi dan revitalisasi model
gerakan mahasiswa Indonesia agar gerakan mahasiswa adaptif terhadap perubahan dan
tantangan bangsa ke depan.7 Aksi turun ke jalan tidak bisa kita remehkan dan
dikesampingkan begitu saja. Karena melalui aksi turun ke jalan memberikan isyarat kepada
penguasa yang zalim, bahwa kebenaran itu masih ada dan kebenaran itu harus ditegakan.
Karena mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat. Maka dari itu, mahasiswa bertugas
untuk membela kepentingan masyarakat terhadap kesewenangan yang dilakukan oleh
penguasa. Membuat arah baru pergerakan adalah pilihan yang harus dilakukan mahasiswa

6
“Restorasi Gerakan Serta Peran Mahasiswa di Era Disrupsi - Radar Karawang.”
7
Sutiyoso dkk., “Peran Mahasiswa dalam Pembangunan Politik di Era Society 5.0 dan Revolusi Industri 4.0.”
agar tidak tersingkir dari perkembangan zaman. Dengan adanya revolusi industry 4.0, ini
sebenarnya memberikan begitu kemudahan bagi mahasiswa dalam menentukan arah baru
pergerakan mahasiswa.
Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi dan informasi ini nantiya membuat
pergerkan mahasiswa lebih tertata, lebih menarik dan kreatif. Hal-hal yang bisa dilakukan
oleh mahasiswa untuk mengemas pergerakannya agar lebih menarik adalah dengan
mengemas pergerakan tersebut dengan berbasis teknologi. Ada beberapa aspek yang bisa
diinovasikan oleh mahasiswa dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi yang
berlangsung saat ini. Dalam aspek perencanaan mahasiswa akan lebih mudah mendapatkan
informasi-informasi atau berita-berita terbaru terhadap perkembangan situasi bangsa terkini.
Era kemajuan teknologi dan informasi tersebut sangat memberi kemudahan bagi siapa pun
termasuk mahasiswa dalam mendapatkan dan mengakses segala bentuk informasi. Maka
dengan kemudahan memperoleh informasi tersebut, memungkinkan mahasiswa untuk
mempersiapkan aksi-aksi dengan lebih terencana dan lebih tertata rapi. Dengan kemudahan
akses informasi tersebut itu pula mahasiswa dapat menyaring segala informasi yang ada agar
tidak terjebak kedalam informasi palsu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dampak dari globalisasi mensyaratkan pentingnya kerjasama antar negara-negara
dalam tata hubungan internasional dengan penekanan pada aspek soft power, mengingat
dewasa ini tatahubungan internasional telah meninggalkan iklim persaingan idiologi maupun
militer. Globalisasi dengan berbagai dampaknya muncul seiring dengan kepentingan nasional
Indonesia akan pencitraan yang positif atas Indonesia, setelah beberapa periode Indonesia
mengalami pencitraan negatif di mata dunia akibat gejolak politik dalam negeri. Kebijakan
PLNRI era SBY dengan Soft Power dan Diplomasi Multijaluri, merupakan adaptasi yang
cerdas dan masuk akal (reasonable) di era globasasi. Prinsip dan ideologi negara dapat
menjadi sumber konsepsi peran sebuah negara.
Prinsip bebas aktif merupakan salah satu sumber kebijakan luar negeri yang dianut
Indonesia sejak memproklamirkan kemerdekaan. Prinsip ini menjadi “ruh” konsepsi peran
yang dimiliki Indonesia. Prinsip ini secara umum mampu menjadi acuan dalam menganalisis
perilaku politik luar negeri Indonesia. Meski demikian, kita harus melihat faktor – faktor lain
yang seringkali muncul dan mendominasi yaitu kepentingan nasional dan harapan peran.
Gerakan mahasiswa akan lebih mampu untuk memberikan peran dan kontribusi nyata untuk
masyarakat sesuai dengan kebutuhan zamannya. Akan tetapi, itu semua tidak akan pernah
terwujud apabila hal yang paling fundamental dari Gerakan mahasiswa tidak dibenahi, yakni
masalah eksklusivisme dan gerakan mahasiswa yang tidak solid dan mudah dipecah belah.

3.2 Saran
Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi dan informasi ini nantiya membuat
pergerkan mahasiswa lebih tertata, lebih menarik dan kreatif. Hal-hal yang bisa dilakukan
oleh mahasiswa untuk mengemas pergerakannya agar lebih menarik adalah dengan
mengemas pergerakan tersebut dengan berbasis teknologi. Ada beberapa aspek yang bisa
diinovasikan oleh mahasiswa dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi yang
berlangsung saat ini. Dalam aspek perencanaan mahasiswa akan lebih mudah mendapatkan
informasi-informasi atau berita-berita terbaru terhadap perkembangan situasi bangsa terkini.
DAFTAR PUSTAKA

M. Sabir. 2022. Politik bebas aktif. Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri Kementrian
Dalam Negeri Republik Indonesia. Jakarta.
Rosa, Nikita. 2022. “Mengenal Politik Luar Negeri Indonesia: Prinsip hingga Landasan".
Detikedu. https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5976954/mengenal-politik-luar-
negeri-indonesia-prinsip-hingga-landasan. Jakarta.
Haryanto, “PRINSIP BEBAS AKTIF DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI
INDONESIA: PERSPEKTIF TEORI PERAN.”
“Diferensiasi sosial (Teori peran).” Diakses 1 Desember
2022.
http://p2k.unkris.ac.id/en3/3065-2962/Diferensiasi-Sosial-
Teori- Peran_52210_unusa_p2k-unkris.html.
Haryanto, Agus. “PRINSIP BEBAS AKTIF DALAM KEBIJAKAN LUAR
NEGERI
INDONESIA: PERSPEKTIF TEORI PERAN,” 2014, 11.
“Mengenal Politik Luar Negeri Indonesia: Prinsip hingga Landasan.” Diakses 1
Desember
2022. https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5976954/mengenal-politik-luar-
negeri- indonesia-prinsip-hingga-landasan.
“NAVIGATING A TURBULENT OCEAN: INDONESIA’S WORLDVIEW AND
FOREIGN POLICY on JSTOR.” Diakses 1 Desember 2022.
https://www.jstor.org/stable/42704602.
“PRINSIP BEBAS AKTIF DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI
INDONESIA:
PERSPEKTIF TEORI PERAN - PDF Free Download.” Diakses 1 Desember
2022.

Anda mungkin juga menyukai