Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Munculnya Orde Baru menandai era baru dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.
Perubahanperubahan domestik ini banyak memengaruhi format politik luar negeri RI yang
berbeda dari masa sebelumnya. Asas bebas dan aktif masih tetap dipertahankan namun politik
poros-porosan yang pernah dianut Indonesia ditinggalkan. Di samping itu Orde Baru
meninggalkan politik luar negeri “mercusuar” yang juga banyak menyita perhatian para
pengambil keputusan. Politik Luar Negeri Indonesia pada zaman Orde Baru ditegaskan untuk
“mengabdi kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat”. Politik luar negeri RI
ditandai pula oleh pandangan realistis dan pragmatis. Realistis berarti memerhatikan
kenyataan-kenyataan yang ada dalam konstelasi dunia serta penentuanpenentuan
kebijaksanaan sesuai dengan kenyataankenyataan itu.

Dalam pada itu pragmatis berarti penentuan kebijaksanaan yang berguna dan bermanfaat
bagi kepentingan nasional. Asas-asas anti imperialisme dan kolonialisme, bebas dan aktif, serta
persepsi mengenai kepentingan nasional diberi isi dan dilaksanakan atas dasar realisme dan
pragmatisme. Atas dasar hal tersebut pula politik yang aktif dalam bentuk konfrontasi di balik
menjadi politik yang aktif dalam bertetangga baik. Persepsi tentang ancaman dari luar terhadap
keamanan dan stabilitas nasional maupun regional sangat berkaitan bukan saja dengan
stabilitas dalam negeri tetapi juga dengan ada atau tidak adanya konflik dengan negara tetangga.
Kepentingan nasional Indonesia yang pokok dicanangkan pada masa Orde Baru adalah
pembangunan nasional dengan inti perhatian di bidang ekonomi. Untuk mencapai tahap-tahap
pembangunan dalam negeri yang telah digariskan, Indonesia otomatis membutuhkan
lingkungan eksternal yang mendukung sehingga kerjasama dengan berbagai organisasi
internasional pun digencarkan.

A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana politik luar negeri Indonesia di era Orde Baru?
2. Bagaimana keterlibatan Indonesia dalam organisasi internasional di era Orde Baru?

1
B. Kerangka Teori
1. Politik Luar Negeri
Politik luar negeri adalah keseluruhan perjalanan pemerintah untuk mengatur
semua hubungan dengan negara lain. Politik luar negeri merupakan pola perilaku
yang diwujudkan oleh suatu negara sewaktu memperjuangkan kepentingan
nasionalnya dalam hubungannya dengan negara lain. Diplomasi tidak dapat
dipisahkan dari politik luar negeri suatu negara, tetapi keduanya bersama-sama
merupakan kebijakan eksekutif, seperti kebijakan untuk menentukan suatu strategi
(Suryokusumo, 2004: 7-8).
Ada beberapa langkah atau tahapan yang dilakukan oleh sebuah negara dalam
proses politik luar negerinya. Langkah-langkah tersebut antara lain, pertama sebuah
negara akan menetapkan semua tujuan dan kemana arah politik luar negerinya, serta
mengumpulkan data-data penting seperti bagaimana kemampuan negaranya,
kondisi dunia luar saat ini dan lainnya, tahap kedua adalah perumusan kebijakan
dalam politik luar negeri untuk dapat mencapai tujuan nasionalnya, biasanya hal ini
akan dipengaruhi oleh faktor dalam negeri. Tahap selanjutnya yang dilalui oleh
sebuah negara adalah keluarnya suatu kebijakan yang nantinya akan diterapkan,
dimana dalam kebijakan tersebut terdapat serangkaian tindakan untuk mencapai
tujuan yang diinginkan sebuah negara. Berikutnya negara akan melaksanakan
politik luar negeri berdasarkan pada rumusan yang telah dibuatnya, hal ini
dilakukuan dengan cara berhubungan dengan dunia luar, maka pasti akan muncul
kemampuan baru sebuah negara dan tujuan lain yang hendak dicapai kembali, yang
kemudian akan kembali pada proses awal yaitu information assessment (Perwita &
Yani, 2014: 60).
Dalam menjalankan politik luar negeri, hubungan internasional menjelaskan
beberapa pendekatan, yang salah satunya adalah pendekatan pemikiran strategis
suatu negara atau pendekatan adaptif, salah satu tokoh pemikirnya adalah James N.
Rosenau. Berkaitan juga dengan politik luar negeri yang dirumuskan oleh Perancis
berdasarkan keadaan geopolitik Indonesia. Bahwa menurut teoritisi pendekatan ini
lingkungan akan menimbulkan akibat-akibat khusus, terlepas dari tindakan apa
yang dilakukan oleh negara tersebut, model ini akan memisahkan perkiraan
kapabilitas yang dimiliki oleh sebuah negara dengan posisi geopolitiknya, keadaan
geografis dan sebagainya. Menurut Rosenau politik luar negeri merupakan suatu
mekanisme interaksi negara-negara dengan beradaptasi dengan lingkungannya.

2
Kondisi sebuah negara akan mempengaruhi politik luar negerinya. Negara yang
memiliki lingkungan strategis pasti akan memiliki politik luar negeri yang berbeda,
begitu juga dengan keadaan negara tujuan dimana politik luar negeri tersebut
dilaksanakan, akan mempengaruhi perumusan politik luar negeri negara lain
(Perwita & Yani, 2014: 62-63).
Politik luar negeri dipengaruhi oleh faktor domestik dan juga faktor eksternal.
Faktor domestik atau faktor dalam negeri akan mempengaruhi bentuk kebijakan
luar negeri suatu negara dalam politik yang dijalankannya. Sebagai contoh
terjadinya pergantian pemimpin dalam pemerintahan. Setiap pemimpin
pemerintahan tentunya mempunyai bentuk kebijakan politik sendiri terhadap politik
dalam negeri.
Sedangkan salah satu contoh faktor eksternal atau luar negeri adalah globalisasi.
Perkembangan globalisasi menyebabkan dunia terasa dekat dan kecil dalam artian
hampir tidak ada batasnya sehingga bisa dikatakan untuk membentuk suatu
hubungan politik dengan negara lainnya sangat mudah dan cepat. Dengan kemajuan
teknologi dari komunikasi yang begitu cepat menyebabkan mudahnya mengakses
peristiwa-peristiwa yang terjadi di negara lain untuk diketahui negara lain.

2. Politik Luar Negeri Indonesia


Ciri khas yang sangat menonjol dari politik luar negeri Indonesia sejak
perjuangan dan perebutan kemerdekaan ialah (1) rasa nasionalisme yang teramat
tebal, (2) rasa curiga yang mendasar terhadap negara-negara besar yang berusaha
mendominasi Indonesia, dan (3) rasa percaya diri yang teramat kuat. Kesemua ini
adalah akibat dari keberhasilan perjuangan dan perebutan untuk mencapai
kemerdekaan pada tahun 1945. Ketiga unsur tersebut membawa bangsa Indonesia
kepada suatu politik luar negeri yang bebas aktif atau politik luar negeri tidak mau
bergabung dengan blok negara manapun,
Bebas aktif adalah politik luar negeri RI, yang berdasarkan Pancasila dan
UUD1945. Sila kedua adalah Kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagai
perwujudan dalam UUD 1945 sebagaimana tercantum di dalam pembukaan UUD
1945, yaitu bahwa pemerintah Negara RI ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Bebas artinya
tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh politik negara asing atau blok Negara-
negara tertentu, atau negara negara adikuasa (super power). Aktif artinya dengan
3
sumbangan realistis giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerja sama
internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain.
Politik luar negeri yang bebas aktif, mendukung kemerdekaan bangsa-bangsa
dari kungkungan penjajahan, mempererat hubungan dengan bangsa-bangsa lain
dengan sama derajat, tegak sama tinggi dan duduk sama rendah. Dalam GBHN
1983 dikatakan antara lain; pelaksanaan politik luar negeri yang bebas dan aktif
dilaksanakan secara konsekuen dan diabdikan untuk kepentingan nasional,
terutama untuk kepentingan di segala bidang.
Pada masa Orde Baru pedoman bebas aktif tetap digunakan, hal ini ditegaskan
oleh Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/ 1966. Sifat dan landasan politik luar negeri
tetap, hanya pelaksanaannya dipulihkan pada maksudnya yang murni yaitu:
"Pelaksanaan politik luar negeri diabadikan pada kepentingan nasional, terutama
kepada kepentingan ekonomi kita yang mendasar dewasa ini". Selanjutnya lebih
jelas ditegaskan: "Pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif itu terus
diabdikan kepada kepentingan nasional, terutama untuk kepentingan pembangunan
di segala bidang. Tekanan kepada masalah-masalah ekonomi karena pembangunan
ekonomi inilah yang merupakan tugas nasional yang paling besar dewasa ini.
Dalam hubungan ini kerjasama di bidang ekonomi dengan negara-negara maju yang
selama ini ditempuh akan dilanjutkan dan akan dimanfaatkan secara optimal
sebagai pelengkap sumber-sumber pembangunan.

3. Tujuan Nasional Republik Indonesia


Tujuan nasional adalah sasaran segala kegiatan suatu bangsa yang
perwujuannya harus diusahakan secara terus rnenerus. Tujuan nasonal Indonesia
tercantum di dalam pembukaan undang-undang dasar Indonesia 1945 alinea
keempat yang berbunyi, “ Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan, kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang

4
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta
dengan Mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat tersebut juga
telah disebutkan mengenai dasar dan landasan Negara Indonesia yakni Pancasila.
Melalui Pembukaan Undang-Undang tahun 1945 tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa tujuan Negara Indonesia adalah melindungi seluruh Warga Negara
Indonesia, mengusahakan kesejahteraan bagi masyarakat, mengutamakan
pendidikan bagi generasi penerus bangsa, serta ikut serta dalam nilai-nilai luhur
yang selalu ditanamkan tidak hanya di Indonesia melainkan juga di beberapa negara
lain yaitu mengupayakan perdamaian dunia, dan keadilan sosial bagi seluruh warga
negara.
Demi mewujudkan dan mencapai tujuan nasional negara Indonesia, diperlukan
suatu usaha yang tidak hanya harus dilakukan pemerintah namun oleh seluruh
rakyat Indonesia. Usaha-usaha ini tidak lain dilakukan berdasarkan keempat poin
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Masing-masing
poin tersebut mewakili tindakan maupun upaya yang akan maupun telah dilakukan.
Contoh kegiatan yang dapat dilakukan pada poin pertama mengenai melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia adalah menjaga
perdamaian antar suku, antar umat beragama, saling menghargai, dan menghormati
perbedaan-berbedaan tersebut. Pada poin kedua tentang memajukan kesejahteraan
umum, hal yang dapat dilakukan adalah terus selalu bersaing dalam perekonomian
nasional dan internasional. Pada poin ketiga yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa,
hal yang dapat dilakukan adalah mengejar pendidikan hingga jenjang yang setinggi-
tingginya. Menjadi masyarakat yang pandai dan cerdas pasti mampu memajukan
dan dan menyejahterakan taraf hidup sebuah bangsa. Kemudian pada poin keempat
mengenai ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadailan sosial hal yang dapat dilakukan adalah ikut serta
dan mendukung program-program yang telah dicanangkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Jika ada suatu negara yang membutuhkan bantuan karena
perang atau bencana alam, Indonesia yang telah tergabung dalam PBB juga selalu
siap dalam memberikan bantuan.

4. Organisasi Internasional

5
Organisasi internasional dapat didefinisikan sebagai suatu struktur formal yang
secara berkesinambungan menjalankan fungsinya yang dibentuk atas kesepakatan
antar anggota-anggota (baik itu pemerintah maupun non pemerintah) dari dua atau
lebih Negara berdaulat dengan tujuan untuk mencapai tujuan bersama para
anggotanya.
Organisasi internasional adalah suatu seni menciptakan atau
mengadministrasikan masyarakat sosial secara umum dan regional yang terdiri dari
Negara-negara merdeka (berdaulat) untuk memberikan kemudahan dan
merealisasikan tujuan bersama dan objektif (Koesnadi Kartasasmita, 1986:7)
Definisi organisasi internasional menurut Mc. Clelland dalam buku “Organisasi
Administrasi dan Internasional” karangan T.May Rudi adalah “Pola kerjasama yang
melintasi batas-batas Negara, dengan didasari struktur organisasi yang jelas serta
diharapkan atau diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya
secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-
tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antar pemerintah dengan
pemerintah, maupun antara sesame kelompok non pemerintah pada negara yang
berbeda” (Rudi, 1993:3)
Sedangkan pandangan tentang organisasi internasional menurut NA Maryam
Green dalam buku “Segi-segi Hukum Internasioanal” karangan J.Pareire
Mandalangi yaitu : “International organization is an organization established by a
treaty toi which three or more state are parties (organisasi internasional adalah
organisasi yang dibentuk berdasarkan suatu perjanjian dengan tiga atau lebih
Negara-negara menjadi peserta)” (Mandalangi, 1986:4).
Perkembangan pesat dalam bentuk serta pola kerjasama melalui organisasi
internasional telah membuktikan bahwa peran dan keberadaan organisasi
internasional bukan hanya melibatkan state actors meskipun dalam kenyataannya
merupakan faktor yang dominan dalam pelaksanannya, akan tetapi eksistensi dari
non state actors harus diakui. Hal ini dikarenakan semakin hari jumlahnya semakin
bertambah banyak sehingga memiliki peran yang signifikan dalam hubungan
internasional. Oleh karena itu, suatu organisasi internasional memiliki
unsur-unsur sebagai berikut:
 Kerjasama yang ruang lingkupnya melintasi batas Negara

6
 Mencapai tujuan-tujuan yang disepakati bersama baik antar pemerintah maupun
non pemerintah
 Struktur organisasi yang jelas dan lengkap
 Melaksanakan fungsi secara berkesinambungan (Suherman, 2003:52)

5. Liberalisme Institusional
Teori Liberalisme Institusional menyatakan bahwa institusi internasional

menolong memajukan kerjasama diantara negara-negara (Jackson&Sorensen

2013 :193). Teori ini muncul sebagai kritik terhadap realisme yang merespon

gagalnya Liga Bangsa Bangsa hingga pecahnya Perang Dunia II. Liberalisme

institusional beranggapan bahwa negaa merupakan satu-satunya aktor dalam

hubungan internasional. Akan tetapi, mereka juga menilai bahwa aktor non negara

memiliki peran penting dalam sistem internasional.

Institusi internasional membantu memajukan kerjasama antara negara-negara

dan oleh karena itu membantu mengurangi ketidakpercayaan antara negara-negara

dan rasa takut negara satu sama lain yang dianggap menjadi masalah tradisional

yang dikaitkan dengan anarki internasional (Jackson&Sorensen, 2013: 197)

Sorensen menyebut Woodrow Wilson sebagai tokoh dari liberal institusional.

Pada tahun 1918 Wilson menyampaikan Pidato Fourteen Points-nya yang

monumental, yang berisi empat belas poin yang diperlukan demi menciptakan

perdamaian dunia. Tiga di antara empat belas poin itu kemudian menjadi pilar

pemikiran liberalisme, yaitu: (1) demokrasi, (2) organisasi internasional, (3)

perdagangan bebas.

Menurut Sorensen, liberalisme institutional menekankan peran institusi

international dalam meningkatkan kerjasama antarnegara. Institusi-institusi itu

menyediakan aliran informasi dan forum negoisasi; dan juga membantu

meyakinkan bahwa komitmen-komitmen akan dihormati. Dengan mengurangi

7
potensi kurangnya kepercayaan antar-negara-negara, institusi akan membantu

‘menciptakan iklim yang membangun harapan terbentuknya perdamaian yang

stabil.’

8
BAB II
PEMBAHASAN

1. Politik Luar Negeri Indonesia di Era Orde Baru


Pada era Orde Lama, presiden tidak berperan aktif dalam memberikan
keputusan perumusan kebijakan luar negerinya, tetapi setelah terpilihnya Soeharto
sejak tahun 1982, presiden memiliki peran penting dalam memberikan keputusan
terhadap perumusan kebijakan luar negeri. Suryadinata (1998) dalam tesisnya
mengungkapkan perbedaan politik luar negeri era Soeharto, dengan Soekarno. Politik
luar negeri Soekarno dinilai cenderung lebih agresif dengan politik konfrontasi di era
orde lama. Sedangkan politik luar negeri Soeharto lebih lunak karena pemerintahannya
yang lebih tertarik dalam membangun ekonomi Indonesia. Salah satu kasus yang
menjadi pengecualian hanyalah pada masalah Timor Timur. Karena para Pemimpin
Indonesia pada masa pra-kemerdekaan, pada awalnya mencoba untuk memasukkan
Timor Timur sebagai wilayah Indonesia namun ditentang oleh kelompok oposisi dan
wacana itu diabaikan hingga akhirnya muncul kembali pada tahun 1970an, dengan
adanya kebijakan baru di Portugal yang memberikan hak menentukan nasib sendiri dan
kemerdekaan, posisi Timor Timur dapat menjadi ancaman bagi Indonesia, dan dapat
muncul sebagai “Kuba” di Asia Tenggara di tengah memanasnya perang dingin.
Menanggapi hal tersebut, Indonesia melakukan campur tangan militer untuk melakukan
pemberantasan terhadap fretilin yang semakin militan.
Setelah tahun 1982, Soeharto mulai memfokuskan pandangannya terhadap
permasalahan internasional, dalam hal ini mempengaruhi kebijakan politik luar negeri.
Menurut Suryadinata (1998), terdapat beberapa peristiwa penting yang memperlihatkan
kecenderungan perubahan bentuk politik luar negeri Indonesia. Peristiwa yang pertama
yaitu peringatan 30 tahun KAA pada 1985 yang melibatkan 100 negara dan merupakan
langkah awal bagi Indonesia untuk aktif kembali di ranah internasional. Peristiwa kedua
yaitu usaha Indonesia untuk menjadi ketua GNB yang terwujud pada tahun 1991 setelah
Soeharto terus mengirimkan perwakilan, walaupun pada awalnya keinginan tersebut
tidak didukung oleh negara anggota lainnya. Indonesia di era Soeharto juga mencoba
untuk menunjukkan kepemimpinan regional, dan menjalani hubungan dekat dengan
negara tetangga, terbukti dengan posisi Indonesia yang menjadi penengah saat terjadi

9
ketegangan antara Singapura dan Malaysia, atas kunjungan Presiden Israel ke
Singapura.
Indonesia dibawah kepemimpinan Soeharto berfokus pada masalah
pembangunan ekonomi dan hubungan persahabatan dengan negara Barat
(Suryadinata,1998:44). Hubungan persahabatan ini lantas membuka pintu
perekonomian Indonesia melalui pinjaman dana luar negeri serta investasi asing untuk
merehabilitasi ekonomi Indonesia. Setelah peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965, peran
sosial-politik militer Indonesia semakin besar, hal ini membuktikan bahwa skala
militerisasi akan semakin besar. Kecenderungan Indonesia untuk berpihak dengan
negara Barat terbukti dengan hubungan Indonesia-Amerika Serikat serta sikapnya
terhadap negara-negara Sosialis-Komunis, Uni Soviet bahkan Korea Utara. Hal ini
menunjukkan bahwa politik luar negeri Indonesia saat itu berorientasi ke luar atau
outward looking ditambah dengan surutnya isu di Timor Timur setelah pemilihan
umum tahun 1983 (Suryadinata 1998, 46). Citra non-blok dirancang dengan sengaja
pada saat itu, karena terdapat keinginan Indonesia untuk mendapat kesempatan sebagai
negara pemimpin Gerakan Non-blok. Harapan kedepannya adalah Indonesia nanti akan
mampu memainkan peran yang dominan dalam problematika regional maupun ekstra
regional (Suryadinata 1998, 46).
Soeharto yang berlatar belakang kaum abangan dan budaya Jawanisme yang
kuat memiliki keterkaitan dalam perumusan serta pembuatan kebijakan luar negeri saat
itu. Pertama, Soeharto dalam pembuatan kebijakan luar negerinya tidak berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan Islami terutama ketika sebelum tahun 1990-an. Kedua,
menurutnya Jawa adalah pusat dari dunia, dimana Indonesia nantinya akan memiliki
peran penting dalam hubungan internasional sehingga Soeharto menggunakan
kacamata orang Jawa dalam melihat dunia. Ketiga, tradisi kejawaan menjadi hal yang
kental karena Soeharto menggunakan tradisi Jawa dalam memerintah negaranya
(Suryadinata 1998, 48). Ketika periode awal Soeharto menjabat, ia belum berperan aktif
dibandingkan sebagai seseorang yang memiliki hak untuk membuat keputusan dengan
aktif. Tetapi kemudian, secara bertahap Soeharto mulai mengarahkan tujuan kebijakan
luar negeri Indonesia yang terbukti dengan adanya hubungan antara Indonesia dan
Tiongkok yang awalnya diurus oleh Sekretaris Negara tetapi kemudian Soeharto turut
berpartisipasi didalamnya (Suryadinata 1998, 59).
Pada masa pemerintahan Soeharto, militer memiliki pengaruh yang besar dalam
bidang sosial dan politik. Latar belakang dari adanya intervensi ABRI pada posisi-

10
posisi penting negara adalah kurangnya pengalaman Soeharto akan penanganan isu
internasional sehingga memunculkan ketakutan dan keraguan di dalam diri Soeharto
yang ia asumsikan dapat dihilangkan melalui partisipasi militer di dalam pos-pos
penting pemerintahan negara (Tempo, 2013: 64). Sehingga militer menjadi kekuatan
utama yang berkuasa dalam birokrasi Indonesia. Sebelum militer mendominasi,
sebenarnya keterlibatan peran Departemen Luar Negeri (Deplu) sebagai perumus
utama politik luar negeri sangatlah penting, dimana pengambilan keputusan dilakukan
oleh para diplomat. Namun peran Deplu berangsur-angsur digantikan oleh kelompok-
kelompok militer yang turut serta merumuskan politik luar negeri RI, seperti
Departemen Pertahanan dan Keamanan, Badan Pusat Intelijen, Lembaga Pertahanan
Nasional, serta Sekretaris Negara. Mereka berperan aktif dalam bidang masing-masing,
mulai dari penanganan permasalahan luar negeri dan pertahanan hingga ranah
perekonomian (Suryadinata, 1998: 43-44).
Pengaruh militer dalam pengambilan keputusan politik luar negeri RI tidak
dapat dipisahkan dari kebijakan dwifungsi ABRI yang mana bahwa tugas miiter
tidaklah hanya terbatas di bidang pertahanan dan keamanan melainkan militer juga
memiliki hak untuk terlibat dalam bidang politik (Suryadinata, 1998: 67). Hal ini
dibuktikan dengan selalu adanya partisipasi militer dalam berbagai lembaga-lembaga
tinggi negara seperti Departemen Pertahanan dan Keamanan, Lembaga Pertahanan
Nasional dan Badan Koordinasi Intelijen Negara. Selain itu, untuk urusan politik secara
khusus terdapat tiga pembagian bidang lembaga penting negara yakni Departemen Luar
Negeri yang menangani urusan luar negeri pada bidang politik, Militer yang mengurusi
kebijakan luar negeri yang berkaitan dengan masalah keamanan dan pertahanan serta
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional akan mengurusi urusan luar negeri yang
berhubungan dengan ranah ekonomi (Suyadinata, 1998: 70).
Pada masa Soeharto, pengaruh militer dalam pengambilan keputusan dan
perumusan kebijakan luar negeri Indonesia dibagi menjadi dua periode. Periode
pertama adalah periode awal Orde Baru dimana keputusan dan perumusan kebijakan
luar negeri berada di tangan militer melaui tiga lembaga yakni Departemen Pertahanan
dan Keamanan, LEMHAMNAS, dan BAKIN. Sedangkan pada periode kedua,
pengambil keputusan dan perumus kebijakan luar negeri Indonesia adalah Departemen
Luar Negeri dan Bappenas (Suyadinata, 1998). Akan tetapi, Departemen Luar Negeri
kemudian mulai mengalami beberapa intervensi oleh militer sehingga peran

11
Departemen Luar Negeri sebagai perumus dan pengambil keputusan mengenai urusan
luar negeri semakin menurun.
Pada akhirnya, intervensi militer ini kemudian menghasilkan Departemen Luar
Negeri yang hanya berperan sebagai lembaga pemberi masukan dan pertimbangan bagi
perumusan kebijakan luar negeri Indonesia serta memberi dukungan terhadap
kebijakan pemerintah melalui konferensi atau lembaga penyalur aspirasi. Selain itu,
ABRI juga melakukan intervensi terhadap BAPPENAS yang dibuktikan dengan
adanya penolakan oleh beberapa kelompok ABRI seperti Ali Murtopo dan Ibnu Sutowo
terhadap Undang-Undang Penanaman Modal Asing yang dirancang oleh BAPPENAS
pada tahun 1967. Secara lebih jauh, intervensi ABRI lainnya tehadap perumusan
kebijakan luar negeri Indonesia dapat dilihat pada kasus perbaikan hubungan
diplomatik antara Jakarta dan Beijing dimana Soeharto membuat pernyataan
mengejutkan yang menyebutkan bahwa Indonesia akan memulai proses normalisasi
hubungan dengan RRC. Akan tetapi, pihak militer kemudian menolak keinginan
normalisasi dini Soeharto tersebut sehingga kebijakan normalisasi tersebut pada
akhirnya sempat menjadi polemik di Indonesia (Suryadinata, 1998: 79).
Politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto, semakin
berorientasi keluar dibuktikan dengan keinginan untuk memainkan peran dominan
dalam masalah regional maupun ekstra-regional (Suryadinata, 1998: 46). Hal ini dapat
dilihat dengan upayanya memunculkan citra Non-Blok dan menjadi pemimpin Gerakan
Non-Blok. Soeharto mengupayakan agar Indonesia mampu berperan dominan dalam
permasalahan baik regional maupun internasional. Konfrontasi yang ada pun
dikesampingkan terlebih dahulu dan mengedepankan perdamaian, karena menurutnya
stabilitas regional diperlukan untuk menjamin keberhasilan rencana pembangunan
(Suryadinata, 1998:45). Soeharto mulai mengemukakan inisiatif-inisiatifnya berkaitan
dengan masalah internasional dan politik luar negeri Indonesia diantaranya
tanggapannya terhadap peristiwa Dili dimana ia berada dalam kendali penuh, proses
normalisasi hubungan dengan RRC walaupun ditentang oleh pihak militer dan masalah
pengambilalihan Timor Timur. Indonesia mulai aktif menunjukkan peran
kepemimpinannya kepada kawasan regional maupun dunia internasional. Indonesia
mulai antusias mendukung APEC, terlibat sebagai Ketua Gerakan Non Blok, menjadi
penengah antara Singapura dan Malaysia dan berupaya membantu memecahkan
masalah Kamboja dimana hal ini dinilai oleh banyak pengamat sebagai cara Indonesia
menunjukkan kepemimpinan regional (Suryadinata, 1998: 65-66).

12
Selain di tingkat regional, politik luar negeri selama masa orde baru cenderung
untuk mendekati dan bekerja sama dengan pihak Barat dengan tujuan untuk
meningkatkan stabilitas ekonomi dan keamanan. Pada era ini terlihat bahwa Indonesia
memiliki kecenderungan untuk mendekati negara-negara Barat dan menjauhi negara-
negara komunis (Suryadinata, 1998: 46). Hal tersebut dibuktikan dengan hubungan
antara Indonesia dengan Amerika Serikat. yang menyentuh ranah ekonomi. Soeharto
memperkenalkan kebijakan baru yaitu terbukanya pintu masuk bagi investor asing
terutama barat yang ingin berinvestasi di Indonesia. Kebijakan yang digunakan pun
kebijakan pintu terbuka, dengan meningkatkan investasi asing dan mencari bantuan
dana untuk merehabilitasi ekonomi Indonesia (Suryadinata, 1998:44). Kebijakan
tersebut terus menerus ditingkatkan dan di sisi lain Soeharto berharap untuk mendapat
pinjaman dari pihak asing terutama barat dalam rangka untuk merehabilitasi ekonomi
Indonesia pada saat itu.

2. Keterlibatan Indonesia dalam Organisasi Internasional di Era Orde Baru


1. PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa)
Setelah memasuki era Orde Baru, Indonesia mulai menata kembali politik luar
negerinya yang bebas dan aktif serta berusaha meninggalkan politik konfrontasi.
Indonesia kembali aktif berpartisipasi dalam wadah organisasi dunia, PBB.
Indonesia juga menjalin kembali persahabatan dan kerja sama dengan negara
negara lain teruama dengan negara tetangga.
Pada 28 September 1950, Indonesia memasuki PBB dan tercatat menjadi
anggota yang ke 60. Banyak manfaat yang diperoleh Indonesia semenjak menjadi
anggota PBB. Namun hubungan yang harmonis antara Indonesia dan PBB menjadi
terganggu sejak Indonesia menyatakan diri keluar dari keanggotaan PBB pada 7
Januari 1965. Persoalannya, usul Indonesia agar Malaysia tidak diterima sebagai
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB tidak mebuahkan hasil. Sejak keluar
dari keanggotaan PBB, Indonesia praktis terkucil dari pergaulan internasional.
Kenyamanan dan kebersamaan hidup dengan bangsa lain tidak dapat dirasakan lagi.
Begitu pula pembangunan negara menjadi terhambat sehingga berakibat pada
kesengsaraan rakyat. Menyadari adanya kerugian itu, maka pemerintah Orde Baru
memutuskan untuk masuk kembali menjadi anggota PBB. Pada 28 September 1966,
Indonesia kembali diterima sebagai anggota PBB dan mendapat dukungan dari

13
Aljazair, Filipina, Jepang, Mesir, Palestina, dan Thailand. Sejak saat itu, harkat dan
martabat bangsa Indonesia terangkat kembali.
Berikut ini adalah beberapa peranan Indonesia sebagai anggota PBB di era
pemerintahan Orde Baru :
1) Dalam rangka menjaga perdamaian dunia
 Sebagai anggota PBB, Indonesia menjadi pelopor pencetusan ZOFTAN
(Zona Perdamaian, Kebebasan, dan Netralitas) dan SEANWFZ
(Southeast Asian Nuclear Weapon Free Zone Treaty)
 Sebagai anggota PBB, Indonesia menjadi salah satu pemrakarsa
berdirinya ASEAN
 Indonesia mengirimkan beberapa kontingen dalam rangka visi
perdamaian dunia seperti pengiriman kontingen Indonesia ke Lebanon
Selatan, menyumbang lebih dari 1.000 personel pasukan yang tersebar
di berbagai negara di dunia, serta pengiriman beberapa kontingen
pasukan Garuda di beberapa wilayan negara-negara di dunia, misalnya
mengirimkan Pasukan Garuda XIV (1993) sebagai pasukan pemelihara
perdamaian PBB di Bosnia
2) Sebagai pemimpin serta anggota tetap di beberapa organisasi PBB
 Pada tahun 1971, Indonesia yang diwakili oleh Adam Malik pernah
ditunjuk untuk menjadi presiden di Majelis Umum PBB
 Indonesia terpilih menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB pada
periode tahun 1974 – 1975 dan periode tahun 1995-1996
3) Memberikan bantuan kemanusiaan di berbagai negara
 Pada tahun 1984, Indonesia mengirimkan bantuan berupa beras melalui
FAO yang ditujukan untuk Ethiopia yang pada saat itu tengah dilanda
bencana kelaparan
 Pada tahun 1995, sebagai anggota PBB Indonesia membantu
menampung para pengungsi yang berasal dari Vietnam di pulau Galang
4) Membantu penyelesaian konflik diberbagai negara
 Pada tahun 1989, sebagai anggota PBB Indonesia berhasil membantu
menyelesaikan konflik yang terjadi di Kamboja

14
 Sebagai anggota PBB, Indonesia berperan menjadi mediator atas
penyelesaian konflik yang terjadi antara Filiphina dan Moro National
Front Liberation (MNFL) yang menguasai Mindanau Selatan

Berikut ini adalah beberapa momen penting dalam sejarah diplomasi Indonesia
pada masa Orde Baru di PBB :

 September 1971
Menteri Luar Negeri RI Adam Malik memimpin sebagai Ketua Sidang
Majelis Umum PBB ke-26
 Januari 1979
Letnan Jenderal TNI Rais Abin diangkat menjadi Panglima United
Nations Emergency Forces (UNEF) II. Ini adalah pertama kalinya
seorang perwira militer RI memegang jabatan puncak dalam misi
penjaga perdamaian PBB.
 1979
Duta Besar Titi Memet Tanuwidjaja menjadi perempuan Asia pertama
yang menduduki salah satu jabatan puncak - Direktur kawasan untuk
Asia Timur dan Pakistan - di organisasi pendidikan dan kebudayaan
dunia UNICEF.
 Juni 1979
Pemerintah RI bekerjasama dengan Komisi Tinggi untuk Urusan
Pengungsi PBB (UNHCR) membuka areal seluas 170 hektar di Pulau
Galang, Propinsi Riau, untuk tempat penampungan sementara dan
pemrosesan para pengungsi "manusia perahu" asal Vietnam.
 1986
Duta Besar Artati Sudirdjo, Ketua Dewan Gubernur Badan Tenaga
Atom Internasional IAEA, memimpin Sidang Khusus Dewan mengenai
kecelakaan nuklir di Chernobyl, Rusia.
 Duta Besar J.B.P. Maramis menjadi orang Indonesia pertama yang
mengetuai Komisi Ekonomi PBB untuk Asia dan Pasifik (ECAFE),
berkedudukan di Bangkok. Atas usulan beliau, ECAFE mengubah
namanya menjadi ESCAP, sehingga menambah dimensi sosial ke dalam
lembaga PBB tersebut.

15
 Juli 1986
Presiden Soeharto menerima penghargaan dari organisasi pangan dan
pertanian dunia FAO berkat prestasi Indonesia yang telah berhasil
mencapai swasembada beras.
 Februari 1991
Indonesia menerima penghargaan tertinggi dari organisasi kesehatan
dunia WHO atas prestasinya meningkatkan kesehatan masyarakat.
 Juni 1993
Penghargaan Ibnu Sina (Avicenna Award) dianugerahkan organisasi
ekonomi, sosial, dan budaya PBB UNESCO kepada Indonesia atas
hasil-hasil yang telah dicapai di bidang pendidikan nasional.
 Juni 1994
Indonesia kembali mendapat penghargaan internasional atas
keberhasilan program KB-nya, dari Dana PBB untuk Kegiatan
Kependudukan (UNFPA).
 Oktober 1994
Menlu RI Ali Alatas di hadapan Sidang Majelis Umum PBB ke-49 di
New York menegaskan kembali dukungan Indonesia terhadap reformasi
PBB dan Dewan Keamanan PBB.

2. ASEAN (Association of South East Asia Nations)


Orde baru merupakan masa transisi dari orde lama yang meninggalkan
kegagalan ekonomi bagi pemerintahan Indonesia. Hal ini ditandai oleh pinjaman
negara sebesar 785,6 juta dollar AS, sementara pendapatan negara hanya sekitar
485 juta dollar AS dan saat itu Indonesia sedang mengalami inflasi yang mencapai
65%.Dalam masalah yang serius ini Soeharto lebih mengedepankan masalah
rehabilitasi ekonomi Indonesia. Suatu perkembangan ekonomi negara tidak akan
berjalan baik tanpa adanya stabilitas politik keamanan dalam negeri maupun luar
negeri. Oleh karenaa itu Soeharto harus membangun hubungan baik dengan pihak
barat dan good neighbourhood policy dalam kawasan regional melalui ASEAN.
Keberhasilan para pemimpin pemerintahan sepuluh negara anggota ASEAN
(Association of South East Asian Nations), yakni Indonesia, Malaysia, Singapura,

16
Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Myanmar, Laos dan Kamboja,
menyepakati Bali Concord II pada KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) ASEAN IX
tanggal 7 Oktober 2003 lalu menjadi momentum yang sangat penting. Bali Concord
II merupakan pencapaian penting dalam proses menuju integrasi ASEAN, dengan
dibentuknya ASEAN Community (Komunitas ASEAN) yang ditargetkan berlaku
pada tahun 2015. Melalui sebuah komunitas, ASEAN berjuang untuk mengubah
statusnya dari sekedar “perhimpunan bangsa-bangsa “ menuju satu kesatuan
masyarakat yang terdiri atas bangsa-bangsa (transforming it self from an association
of states into a real community of nations). Dengan kata lain, ASEAN memulai
proses transformasi dari kumpulan negara yang berasosiasi ke arah komunitas
kawasan yang lebih terintegrasi. Sampai tahun 2007, kesepakatan pembentukkan
ASEAN Community dan kesepakatan ASEAN Charter (Piagam ASEAN)
merupakan pencapaian tertinggi dalam sejarah empat puluh tahun berdirinya
perhimpunan ini.
Sejak terbentuknya pada 8 Agustus 1967 silam di Bangkok, Thailand, yang
ditandai dengan Deklarasi Bangkok, ASEAN mengalami perkembangan yang tidak
terlalu signifikan. Perhimpunan kerjasama regional Asia Tenggara ini awalnya
dipelopori oleh Menteri keamanan, ekonomi dan sosial budaya menjadi bidang
prioritas dan vital untuk menuju Komunitas ASEAN. Setidaknya ada beberapa latar
belakang yang menjadikan ASEAN Security Community sebagai pilar pertama
dalam kerangka ASEAN Community yakni untuk menjamin ASEAN mengatur
stabilitas keamanan regional oleh para negara anggotanya. Hal ini penting untuk
memastikan serta menangkal pengaruh kekuatan negara-negara besar luar kawasan
(Amerika Serikat, Cina, Australia dan Rusia) secara langsung. Selain itu, ASEAN
Security Community akan semakin memperkuat posisi ASEAN dalam konstelasi
geopolitik internasional.
Dalam kaitan yang lebih luas, meminjam pendapat Juwono Sudarsono, “era
pasca-Perang Dingin”, “globalisasi ekonomi” dan “Dunia Tanpa Tapal Batas”,
masalah-masalah perimbangan kekuatan militer antar bangsa tetap menjadi sentral
dalam hubungan internasional menuju abad-21. Oleh karena itu kerjasama
keamanan kawasan diperlukan untuk mengimbangi kepentingan nasional negara
anggota ASEAN dalam membangun pertahanan dan persenjataan domestiknya.
Selain itu untuk menjamin setiap penyelesian permasalahan dalam lingkup ASEAN
diselesaikan tidak dengan pendekatan militer.

17
Unsur ekonomi yang diwujudkan dalam ASEAN Economic Community
merupakan elemen lain yang juga penting. Pertama, untuk mempercepat langkah
meminimalisir jurang pertumbuhan dan perkembangan ekonomi antar negara
anggota yang masih besar. Kedua, memperkuat pertahanan ekonomi kawasan agar
tidak mengulangi krisis ekonomi tahun 1997 yang dipicu oleh krisis mata uang
Thailand yang dengan mudahnya menyebar kesemua negara di Asia Tenggara.
Tuntutan untuk terintegrasi terhadap pasar bebas dunia juga menjadi motivasi
utama kerjasama ekonomi ini.
Sedangkan aspek ASEAN Socio-Cultural Community dalam ASEAN
Community diperlukan dalam upaya mempercepat visi integrasi ASEAN.
Kedekatan sosial budaya yang dibangun di tingkatan elit diharapkan mampu
berdampak pada integrasi sosial budaya pada level masyarakat (civil society) dari
negara-negara anggota. Selama ini, kurangnya rasa memiliki (sense of belonging)
dan rasa kekitaan(we feeling) dari masyarakat negara-negara anggota ditengarai
sebagai faktor lambatnya perkembangan kerjasama integrasi ASEAN. Sejak awal,
ada tiga alasan utama yang melatarbelakangi berdirinya perhimpunan tersebut,
yakni keinginan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, sosial, dan
kebudayaan kawasan melalui program-program kerjasama; menjaga stabilitas
politik dan ekonomi kawasan dari rivalitas negara besar; menyediakan forum bagi
penyelesaian perbedaan-perbedaan intra-regional. Pada awalnya, terlihat motivasi
politik yang sangat besar melatar belakangi berdirinya ASEAN ini, namun para
negara pendiri masih terlalu riskan untuk menempatkan masalah politik dan
keamanan dalam mainstream kebijakan perhimpunan.
Hal mendasar yang melandasi sikap kehati-hatian ini adalah masalah politik dan
keamanan masih merupakan hal yang terlalu sensitif. Pasalnya ini akan menyentuh
masalah vital di mana beberapa negara pendiri baru memulihkan hubungan
diplomatiknya. Selain itu, perbedaan perspektif dalam menyikapi kehadiran
pangkalan militer Amerika Serikat (AS) di Asia Tenggara masih menjadi persoalan
penting. Sehingga dikhawatirkan pembahasan yang terlalu berat dalam wilayah
politik dan keamanan dapat mengancam kelangsungan hidup ASEAN yang masih
baru. Seiring dengan perkembangan dan perubahan peta politik internasional yang
ditandai dengan berakhirnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet
pada awal era 1990-an, ASEAN bergerak menuju ranah penguatan kerjasamanya.
Terlebih ketika tahun 1992 Amerika Serikat secara resmi keluar dari Filipina yang

18
sejak lama didudukinya semakin memotivasi negara-negara anggota ASEAN untuk
mulai merumuskan kembali pola kerjasama regional yang lebih luas tanpa terlalu
dicampuri oleh kepentingan-kepentingan negara luar kawasan. Pengalaman
negara-negara ASEAN yang selama puluhan tahun “dipermainkan” oleh negara
luar kawasan, menjadi titik awal kesadaran negara–negara ASEAN untuk
menciptakan kerjasama kawasan yang lebih konkret. Hal ini diwujudkan dengan
lahirnya konsep ASEAN Security Community, di mana tema politik dan keamanan
menjadi isu sentral.
Selain itu, badai krisis ekonomi yang menerjang Asia Tenggara pada tahun 1997
juga menyadarkan ASEAN bahwa diperlukan suatu kerjasama yang erat dalam
bidang ekonomi. Kesadaran akan Pasar Tunggal ASEAN sebagai wujud respon
negara-negara anggota dalam menghadapi globalisasi juga menjadi alasan penting.
Oleh karena itu, lahirlah gagasan pembentukkan ASEAN Economic Community.
Terlebih, eksistensi ASEAN masih menjadi komoditas para elit politik negara-
negara anggota. Hal ini menjadikan ASEAN tidak mengakar dalam kehidupan
sosial budaya masyarakat negara anggota. Karena itu pembentukan ASEAN Socio-
Cultural Community menjadi sangat penting. Ketiga faktor di atas menjadi pilar
dalam kerangka pembentukkan ASEAN Community, di mana hal ini menjadi
sebuah keniscayaan dalam peta konstelasi sosial politik dunia internasional
kontemporer. Dalam perspektif yang lebih khusus, proses pembentukan ASEAN
Communityini merupakan bagian penting dalam ranah politik luar negeri Indonesia
terhadap ASEAN. Peran Indonesia dalam hal ini sangat besar, dengan menjadi
pelopor pembentukan ASEAN Community ini. Hal ini terbukti di mana kelahiran
Bali Concord II pada KTT ASEAN IX di Bali di awali dengan konsep ASEAN
Security Communityyang digagas oleh Indonesia.
Jika mengacu pada sejarahnya, tidak heran jika Indonesia mengambil peran
yang besar dalam proses politik di ASEAN. Sejak berakhirnya kekuasaan Presiden
Soekarno dan Orde Lama, pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto
mengambil kebijakan strategis dengan menempatkan kawasan Asia Tenggara
dalam prioritas politik luar negeri Indonesia. Hal ini merupakan langkah strategis
dalam konteks kebijakan politik luar negeri Indonesia saat itu. Soeharto lebih
memilih memperkuat kawasan Asia Tenggara daripada lingkup politik
internasional yang lebih luas, seperti Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-
Blok. Hal ini diimplementasikan dengan menjadikan Indonesia sebagai pelopor dan

19
pendiri ASEAN. Indonesia beranggapan bahwa stabilitas kawasan merupakan
elemen penting dalam menopang stabilitas nasional. Oleh karena itu, Indonesia
menempatkan ASEAN dalam ruang yang khusus dalam politik luar negeri
Indonesia sejak saat itu.
Kebijakan politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN ini setidaknya
dilandasi oleh 3 (tiga) faktor utama yakni; pertama, orientasi politik luar negeri
Indonesia dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yaitu ”…Supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi…”.Kedua, patron politik luar
negeri Indonesia yakni Bebas dan Aktif. Sebagaimana yang digariskan oleh
pernyataan Muchtar Kusumaatmadja (mantan Menlu Indonesia era Orde Baru),
Orientasi “Bebas” berarti Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang
ada, karena pemihakan kepada salah satu kekuatan pada dasarnya tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa yang mana dicerminkan dalam Pancasila dan politik
Bebas-Aktif. Adapun “Aktif diartikan bahwa dalam menjalankan kebijakan luar
negerinya Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadian-kejadian
internasionalnya, melainkan bersifat aktif. Ketiga, Indonesia beranggapan bahwa
“dalam strategi internasional, kawasan ini berada dalam jalur yang sangat potensial
dilihat dari segi sosio-ekonomi dan sosio-politik di mata negara-negara adikuasa.”
Faktor geografis ini menjadi penting bagi Indonesia. Karenanya Indonesia
menganggap sangat diperlukan mekanisme kerjasama regional yang kuat untuk
menjamin kehidupan bernegara dan bertetangga yang aman, damai dan stabil
sebagai penopang stabilitas nasional.
Dengan kerangka di atas, maka tidak heran jika Indonesia menjadi negara
penting dalam perkembangan ASEAN. Keberhasilan ASEAN membangun
masyarakat yang aman untuk bagian terbesar adalah berkat pendekatan kerja sama
dan kemitraan yang dipelopori oleh Indonesia sejak tahun 1967, yaitu politik luar
negeri yang diabdikan untuk kepentingan nasional dengan mendahulukan
pembangunan nasional. Strategi dasar inilah yang ditempuh Indonesia, diterima
sebagai hal yang membangun tindak percaya (confidence building measure) di
kalangan negara-negara Asia Tenggara yang kemudian diakui oleh negara–negara
besar di Asia Pasifik.

3. OKI (Organisasi Kerjasama Islam)

20
Organisasi Kerjasama Islam atau sering disingkat OKI atau dalam bahasa
Inggris disebut dengan Organization of Islamic Cooperation (OIC) adalah sebuah
Organisasi Internasional yang didirikan dengan tujuan untuk mengumpulkan
bersama sumber daya dunia Islam dalam mempromosikan kepentingan mereka dan
mengkonsolidasikan segenap upaya negara tersebut untuk berbicara dalam satu
bahasa yang sama guna untuk memajukan perdamaian dan keamanan dunia
merupakan sebuah organisasi yang menaungi kerjasama antar negara Islam di dunia
dengan jumlah negara anggota sebanyak 57 negara.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia juga aktif
dalam Organisasi Konferensi Islam. Indonesia bahkan ikut mendirikan OKI
bersama 22 negara lainnya pada tahun 1970. Keterlibatan Indonesia dalam OKI saat
itu bertujuan untuk memajukan kerjasama internasional dengan negara-negara
Islam. Namun demikian, kerjasama tersebut lebih berdasarkan pada piagam PBB
daripada prinsip-prinsip Islam. Menurut Michael Leifer, keikutsertaan Indonesia
dalam OKI bukan karena Indonesia merupakan negara Islam, tetapi sebagai negara
yang menghargai prinsip-prinsip Gerakan Non Blok dan Konferensi Bandung.
Piagam OKI menyatakan bahwa negara anggota OKI merupakan negara Islam, oleh
karena Indonesia bukan merupakan negara Islam, maka Indonesia menolak untuk
menandatangani piagam OKI tersebut. Meskipun begitu, OKI tetap mengizinkan
Indonesia untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatannya. Dengan demikian , posisi
Indonesia dalam OKI bisa dibilang cukup unik. Indonesia tidak hanya diterima
sebagai satu-satunya negara bukan Islam, tetapi juga bertindak sebagai penengah
dalam perseteruan diantara anggota OKI.
Pada era Orde Baru di tahun 1987, Presiden Soeharto dengan ketua PLO
(Palestine Liberation Organization) Yasser Arafat, menjelaskan mengenai
persiapan kemerdekaan negara Palestina dan meminta dukungan Indonesia untuk
mendukung pendirian negara Palestina. Dalam pertemuan tersebut, Presiden
Soeharto pun memberikan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina dalam rangka
mewujudkan perdamaian di kawasan Timur Tengah yang berdasarkan falsafah
negara Republik Indonesia, Indonesia berupaya untuk mendorong upaya
perdamaian antara Israel dan Palestina.
Sejarah Indonesia di OKI mengalami dinamika yang cukup unik. Keanggotaan
dan peran aktif Indonesia di OKI karena Indonesia sebagai salah satu negara yang
hadir dalam KTT I di Rabat, Maroko. Sejak saat itu peran Indonesia di OKI

21
mengalami pasang surut. Pada tahun-tahun pertama peran Indonesia di OKI masih
terbatas, bahkan keanggotaan Indonesia di OKI sempat menjadi perdebatan, baik
oleh kalangan OKI maupun di dalam negeri. Ketika piagam pertama OKI
dicetuskan pada tahun 1972, Indonesia menolak untuk menandatanganinya dan
menahan diri untuk menjadi anggota resmi karena berdasarkan UUD 1945,
Indonesia bukanlah negara Islam. Demikian juga dengan politik luar negeri
Indonesia yang Bebas Aktif, tidak mendasarkan pada nilai-nilai Islam. Namun,
karena tuntutan aspirasi dan politik dalam negeri, maka Indonesia memulai
berperan ‘aktif’ di OKI pada tahun 1990-an, ketika presiden Soeharto untuk
pertama kalinya hadir dalam KTT ke-6 OKI yang diselenggarakan di Senegal,
Desember 1991. Kehadiran presiden Soeharto tersebut merupakan langkah awal
perubahan kebijakan politik luar negeri Indonesia untuk berpartisipasi lebih aktif di
OKI, meskipun peran Indonesia di OKI tidak terlalu dominan sebagaimana
perannya di forum kerjasama multilateral seperti ASEAN dan GNB (Gerakan Non
Blok).
Beberapa peran aktif Indonesia di OKI yang menonjol adalah ketika pada tahun
1993 Indonesia menerima mandat sebagai ketua Committee of Six, yang bertugas
memfasilitasi perundingan damai antara Moro National Liberation Front (MNLF)
dengan pemerintah Filipina. Kemudian pada tahun 1996, Indonesia menjadi tuan
rumah Konferensi Tingkat Menteri (KTM-OKI) ke-24 di Jakarta.
Selain itu, Indonesia juga memberikan kontribusi untuk mereformasi OKI
sebagai wadah untuk menjawab tantangan umat Islam memasuki abad ke-21. Pada
penyelenggaraan KTT OKI ke-14 di Dakar Senegal, Indonesia mendukung
pelaksanaan OIC's Ten-Year Plan of Action. Dengan diadopsinya piagam ini,
Indonesia memiliki ruang untuk lebih berperan dalam memastikan implementasi
reformasi OKI tersebut. Indonesia berkomitmen dalam menjamin kebebasan,
toleransi dan harmonisasi serta memberikan bukti nyata akan keselarasan Islam,
demokrasi dan modernitas.
Bagi Indonesia, OKI merupakan wahana untuk menunjukkan citra Islam yang
santun dan moderat. Sebagaimana yang ditunjukkan Indonesia pada dunia
internasional dalam pelaksanaan reformasi 1998 serta kemampuan Indonesia
melewati transisi menuju negara yang demokratis melalui penyelenggarakan
pemilihan umum legislatif ataupun pemilihan presiden secara langsung yang
berjalan dengan relatif baik. Pengalaman Indonesia tersebut dapat dijadikan rujukan

22
bagi negara-negara anggota OKI lainnya, khususnya negara-negara di Timur
Tengah dan Afrika Utara yang sedang mengalami proses demokratisasi.
Dalam mengatasi konflik Aceh, Indonesia mampu belajar dari pengalaman bahwa
puluhan tahun perseteruan Indonesia-GAM hanya bisa diselesaikan melalui
perjanjian damai yang saling menguntungkan bukan dengan jalan kekerasan yang
memakan korban banyak jiwa. Selain itu berbagai keberhasilan Indonesia yang
didukung berbagai pihak dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Poso,
Sulawesi Tengah mampu dijadikan nilai tambah bagi Indonesia di mata negara-
negara yang tergabung dalam OKI. Indonesia dapat mengambil sejumlah peluang
dengan menjadikan OKI sebagai Organisasi multilateral non-PBB yang dapat
memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan Indonesia di kancah internasional.
Melalui OKI, Indonesia juga dapat menawarkan program-program nasional yang
bisa dikembangkan oleh negara-negara anggota OKI lainnya. Sebagai contoh
peningkatan pembangunan ekonomi, program anti korupsi, Good Governance,
penegakkan HAM, dan hak-hak perempuan.

4. IGGI (Intergovernemntal Group on Indonesia)/CGI (Consultative Group of


Indonesia)
Era Soeharto semakin memperlihatkan banyak peningkatan maupun perbaikan
dalam hal ekonomi. Dana bantuan keuangan dari pihak asing dalam IGGI menjadi
semakin penting. Berdasarkan data statistik tahun 1967-1989, dana bantuan
keuangan menjadi sumber baru dan menyumbang 20 persen bagi pendapatan negara.
Sumber pendapatan terbesar dari sektor minyak dan gas, mencapai 40 persen,
disusul pedagang rata-rata 20 persen dan pajak anya 10 persen.1
Pada tahun 1990-an, Indonesia telah naik peringkat menjadi negara semi-
industri dengan pendapatan per kapita sebesar 1.000 dolar AS per tahun. Namun,
Indonesia memutuskan untuk membubarkan IGGI. Tentukan bahwa karena
Belanda,Denmark, Kanada, dianggap terlalu keras bersikap mengenai insiden Dili.
Belanda menghubungkan Insiden Dili sebagai penolakan terhadap hak asasi
manusia dengan bantuannya dalam IGGI. Belanda melalui Menteri Kerjasama
Pembangunannyaa yang secara otomatis menjabat sebagai Ketua IGGI, Jan Pronk
menunda program bantuan baru dan tidak akan melakukan proyek-proyek bantuan
baru untuk Indonesia karena peristiwa itu. Dalam menghadapi Insiden Dili, Belanda
menyatakan rasa muaknya dengan memakai kata abhorrence "yang lebih keras dari
kata" mengutuk ". Di parlemen Belanda sendiri, Menteri Luar Negeri Belanda Hans
van den Broek berpendapat bahwa diperlukan dan perlu bahwa Indonesia perlu

1 Djafar Zainuddin, Rethinking the Indonesian Crisis(Bandung Pustaka Jaya, 2006), hal. 193

23
diberikan kesempatan menyelesaikan perkara itu. Tapi Jan Pronk malah
berpendapat bahwa Indonesia perlu dikenai sanksi ekonomi. 2
Terhadap Hasil-hasil dari Komisi Penyelidik Nasional, Belanda sendiri lambat
menanggapin hasil-hasil tersebut. Padahal negara-negara seperti Jepang,Amerika
Serikat, dan Australia telah memberikan tanggapan positif dengan segera.
Pemerintah Indonesia akhirnya menunda pembicaraan konsultasi Bilateral
Kerjasama Belanda hingga waktu yang belum dapat ditentukan.3 Dalam upayanya
meredakan ketegangan, pada Februari 1992 Menlu Ali Alatas melakukan ke
Belanda untuk menjelaskan tentang Insiden Dili, hasil penyelidikan KPN, dan
sebagainya. Menlu Ali Alatas juga meminta agar Belanda tidak mengaitkan bantuan
luar negeri den gan isu-isu hak asasi manusia. Tapi pemerintah Belanda
menanggapinya dengan mengatakan bahwa pengkaitan antara universal dan
merupakan fokus penting di kalangan masyarakat Eropa saat itu. Bantuan luar
negeri dan isu-isu hak asasi manusia yang berbeda-beda Menurut Belanda,
pembangunan ada representasinya dengan pembangunan manusia. Oleh karena
tidak adanya titik temu, pemerintah Indonesia mengambil langkah mengejutkan
yakni pembubaran IGGI pada 24 Maret 1992 .

Dengan surat itu IGGl yang berjalan selama 24 tahun telah berakhir.Kesuksesan
IGGI dari mulanya terdiri dari 14 negara dan 5 lembaga multilateral dengan
komitmen bantuan 200 juta dollar AS menjadi suatu forum dengan 16 negara dan 7
lembaga multilateral dengan komitmen bantuan 4,755 miliar dollar As tiba-tiba saja
selesai. Indonesia merasa pemutusan itu pantas bukan karena menolak HAM atau
Indonesia tidak lagi butuh bantuan, melainkan karena perilaku semena-mena
Belanda yang mengancam atau mengintimidasi Indonesia dengan bantuan luar
negeri terlalu berlebihan. Apalagi Indonesia selalu tertib membayar utang-utangnya.
Keputusan tersebut bukan hanya asal reaksi. Indonesia telah memperhitungkan hal
itu cukup lama. Menanggapi pemutusan hubungan itu, pemerintah Belanda
memperkirakan bahwa tidak adanya Belanda akan mempengaruhi komitmen negara
lain rinhubun untuk memberi bantuan. Namun Indonesia tidak mau begitu saja
menyerah.Yang tidak disadari Belanda saat itu adalah bahwa peran negara negara
Eropa termasuk Belanda sudah mulai mengendor. Yang dilakukan selanjutnya oleh
Indonesia adalah berusaha membentuk konsorsium pendonor baru tanpa ada
Belanda dalamnya.Indonesia segera melakukan langkah penting, yaitu melobi Bank
Dunia dan negara-negara yang dianggap krusial seperti Amerika Serikat, Jepang,
dan Prancis. Dengan Bank Dunia, Indonesia meminta Bank Dunia membentuk dan
mengkoordinasikan sekaligus memimpin apa yang dinamakan Consultative Group
on Indonesia (CGI) sebagai pengganti IGGI.4

Bank Dunia dengan tulus menerima tawaran tersebut. Hal ini karena Bank
Dunia melihat Indonesia merupakan negara pengutang terbaik dan pembangunan

2 Agus Haryanto & Isman Pasha, Diplomasi Indonesia Realitas dan Prospek (Pustaka Ilmu Group, 2016) hal. 184
3 Ibid hlm 184
4
Ibid hlm. 185

24
dalam negerinya relatif ukses dibandingkan negara-negara berkembang lainnya. Di
mata Bank Dunia, kelayakan Indonesia menerima kredit diangga sangat baik.
Indonesia juga melobi Amerika Serikat. Meskipun bantuan dari Amerika sudah
tidak lagi menggunakan "formula 1/3", kekuatan AS dalam hubungan multilateral
tetap kuat, terutama di Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Indonesia pun
segera melobi Jepang. Hal ini karena Jepang merupakan pendonor terbanyak bagi
Indonesia dan selalu mengabulkan berapa pun permintaan Indonesia. Jepang juga
paling banyak memberikan bantuan cepat cair (fast disbursement assistance).
Posisi Jepang sebagai Presiden ADB menjadikan Jepang semakin penting bagi
Indonesia. Prancis tak luput dari strategi pendekatan Indonesia karena sidang-
sidang Bank Dunia biasanya dilakukan di Paris. Dengan pendekatan-pendekatan
strategis tersebut, tidak adanya Belanda dalam CGI bukan menjadi hal yang
menyulitkan. Saat CGI menyelenggaran sidang pertama tanggal 16-17 Juli 1992,
komitmen bantuan untuk Indonesia ternyata lebih tinggi dari komitmen bantuan
IGGI yang terakhir, yaitu sebesar 4,948 miliar dollar AS.5 Namun Indonesia tidak
begitu saja melupakan Belanda. Dalam pembukaan sidang CGI, delegasi Indonesia
mengucapkar banyak terima kasih kepada Belanda yang selama 24 tahun telan
membantu Indonesia melalui IGGI. PM Belanda Lubbers schal setelah sidang juga
kemudian mengucapkan selamat atas suksesnya sidang CGI dan mengirim surat
dukungan terhadap CGI kepada bank dunia. Komitmen bantuan CGI tercatat terus
mengingkatdari tahun ke tahun. Pada tahun 1993 komitmen bantuan menjadi 5,110
miliar dolar tahun 1995 menjadi 5,360 miliar dolar AS. Sekitar 82-84 persen
bantuan dari tiga sumber, yaitu Jepang (36-40 persen) eta Bank Dunia dan ADB
(22-23 persen). Jumlah pendonor tidak meningkat, dari 16 negara dan 7 badan
internasional, menjadi 19 negara dan 14 badan internasional pada tahun 1995.
Diplomasi Indonesia terbit ke arah yang tepat dan sukes.6

5. APEC (Asia Pasific Economic Cooperation)


APEC merupakan singkatan dari suatu forum internasional, yaitu Asia Pacific
Economic Cooperation atau dapat kita artikan ke dalam bahasa Indonesia sebagai
Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik. APEC merupakan sebuah forum kerja sama
ekonomi yang terdiri dari dua puluh dua negara anggota yang tersebar peran
indonesia dalam APEC di seantero benua Asia dan wilayah di lingkar Samudera
Pasifik. Forum kerja sama ekonomi ini berdiri pada bulan Januari tahun 1989.
Berdirinya APEC ini tidak terlepas dari adanya pertumbuhan saling ketergantungan
ekonomi di antara negara-negara kawasan Asia Pasifik dan munculnya blok kerja
sama ekonomi lainnya di bagian lain dunia. Selain itu, APEC juga merupakan

5
Ibid hlm 186
6
Ibid hlm.187

25
tanggapan dari ketakutan negara Asia Pasifik akan dominasi Jepang di dalam
kegiatan ekonomi Asia Pasifik. Adanya APEC juga diharapkan dapat menjadi
wahana bagi berdirinya pasar baru produk pertanian dan bahan mentah di luar benua
Eropa.
Indonesia sebagai salah satu negara besar di poros Asia Pasifik mengambil
peran yang begitu besar di dalam pendirian APEC pada tahun 1989. Berada di
dalam keanggotaan forum seperti APEC merupakan suatu upaya Indonesia untuk
terus bertahan di tengah gempuran persaingan ekonomi di antara negara-negara di
dunia ini. Pada tahun 1994, setelah kepemimpinan negara Amerika Serikat di dalam
APEC berakhir, Indonesia terpilih sebagai ketua forum APEC. Hal ini merupakan
salah satu contoh peran Indonesia dalam hubungan internasional.
Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjut dari apa saja yang termasuk peran
Indonesia dalam KTT APEC 15 November 1994 :
1) Ketua APEC Periode 1994
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di atas, Indonesia merupakan
pemimpin APEC selama setahun dalam periode 1994. Peran ini
mengizinkan Indonesia untuk lebih banyak berpartisipasi dan
mempengaruhi arah kebijakan di dalam APEC. Tentunya demi kepentingan
tercapainya tujuan pembangunan nasional secara lebih baik. Selain itu, di
dalam masa kepemimpinan Indonesia di dalam APEC ini, forum kerja sama
ekonomi tersebut berhasil menghasilkan suatu deklarasi bernama Bogor
Declaration dan Bogor Goals.
Salah satu alasan mengapa Indonesia dipercaya menjadi pemimpin
APEC pada periode 1994 adalah kemampuan Indonesia untuk bertahan di
tengah krisis ekonomi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan
pertumbuhan ekonomi yang tertinggi di antara negara-negara di kawasan
Asia Pasifik. Hal ini menjadikan Indonesia memiliki posisi tawar yang
tinggi di antara negara-negara anggota APEC.
2) Tuan Rumah Konferensi Tingkat Tinggi APEC 1994
Pada tanggal 15 November 1994, Indonesia yang merupakan pemimpin
APEC terpilih menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC
1994. Kota yang terpilih menjadi lokasi KTT ini adalah kota Bogor, yaitu
lebih tepatnya di Istana Kepresidenan Bogor. Delapan belas pemimpin
negara anggota APEC hadir di dalam kesempatan ini dan menjadikan

26
Indonesia sebagai sorotan dunia. Hal ini menjadikan potensi pariwisata
Indonesia menjadi semakin disebarluaskan.
Pada KTT ini pula, para pemimpin negara diberikan pakaian batik untuk
sesi foto pemimpin negara. kembali, batik dipromosikan sebagai kain khas
Indonesia. Indonesia menjadi negara kedua setelah Amerika yang
mengadakan sesi foto dengan pakaian khas negara setelah Amerika. Di
tahun-tahun KTT selanjutnya, setiap negara yang menjadi tuan rumah KTT
pun memberikan baju khas negaranya untuk dikenakan para pemimpin
negara APEC.
3) Perumus Bogor Declaration dan Bogor Goals
Sejak berdiri pada tahun 1989, arah gerak APEC belumlah jelas. Pada
KTT APEC di Amerika, masih belum ada kepastian mengenai Putaran
Uruguay, yaitu suatu kesepakatan mengenai arus perdagangan bebas antar
negara. hingga, pada KTT APEC 15 November 1994 ditetapkanlah Bogor
Declaration dan Bogor Goals. Bogor Declaration atau Deklarasi Bogor
berisi tekad para pemimpin ekonomi APEC yang secara tegas menentang
pembentukan blok perdagangan tertutup dan bertekad untuk mewujudkan
suatu sistem perdagangan bebas dan investasi di kawasan Asia Pasifik.
Bogor Goals sendiri merupakan arah gerak strategis hasil perwujudan
dari Bogor Declaration. Isi dari Bogor Goals yaitu menciptakan pembebasan
atau liberalisasi sistem perdagangan dan investasi yang target terwujudnya
adalah pada tahun 2010 bagi negara maju dan selambat-lambatnya pada
tahun 2020 bagi negara berkembang. Tujuan kedua Bogor Goals yaitu
memperkuat sistem perdagangan antar negara yang terbuka, meningkatkan
bebasnya arus perdagangan dan jasa, juga mempererat kerja sama ekonomi
di kawasan Asia Pasifik, dan tujuan terakhir adalah mengurangi hambatan
perdagangan dan investasi.
4) Pendorong Terbentuknya ECOTECH
Pada KTT APEC 15 November 1994, Indonesia mendorong
terbentuknya ECOTECH di dalam dunia kerja sama ekonomi Asia Pasifik.
ECOTECH sendiri merupakan singkatan dari Economic dan Technical
Cooperation. Ia merupakan salah satu pilar utama pembangunan ekonomi
dalam konteks APEC. ECOTECH merupakan suatu rancangan sistem
ekonomi yang dimaksudkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi Asia

27
Pasifik yang berkelanjutan dan merata agar kesenjangan ekonomi di antara
negara-negara anggota APEC terkurangi dengan melalui pembangunan
kapasitas sumber daya manusia dan institusi suatu negara anggota.
Saat ini, dengan jelas kita dapat menyadari betapa berbedanya tingkat
kemajuan terutama dalam bidang ekonomi di antara negara anggota APEC
seperti Singapura dan Amerika Serikat. Keduanya merupakan negara maju,
sedangkan di antara dua puluh tiga negara anggota masih ada yang tergolong
ke dalam negara berkembang. Hal inilah yang hendak diperbaiki dengan
sistem ECOTECH. Dengan adanya sistem ini, diharapkan semua negara
anggota yang masih berstatus negara berkembang dapat berubah statusnya
menjadi negara maju melalui pembangunan ekonomi dengan bantuan APEC.
Dengan majunya perekonomian negara-negara anggota APEC, maka
sepenuhnya tujuan APEC telah tercapai dengan berhasil.
6. IMF (International Monetary Fund)
IMF dinyatakan berdiri dan beroperasi pada 1 maret 1947. Indonesia resmi
menjadi anggota IMF pada pertengahan 1953. Secara legal,keanggotaan itu
disahkan dengan UU No 5/1945. Indonesia mengajukan permintaan untuk menjadi
anggota IMF di saat pemerintahan Soekarno mengalami kesulitan menanggulangi
problem ekonomi yang rusak akibat perang kemerdekaan. Akan tetapi,
pemerintahan orde lama tidak melakukan kewajiban yang diharuskan oleh IMF.
Salah satu pembeda utama rezim Orde lama dan Orde baru Menurut herbert
Feith dan Lance Castles dalam Pemikiran Politik Indonesia 1945-
1965(LP3ES,1988). Ekonomi bukan tidak diurus oleh Soekarno. Namun tantangan-
tantangan itu belum banyak memberi ruang untuk menghasilkan perubahan
ekonomi yang menyejahterahkan. Sebaliknya,Soeharto begitu mengambil alih
kekuasaan sejak 1966 langsung menggenjot perekonomian,melakukan berbagai
kebijakan represif,dan atas nama stabilitas demi pembangunan.
Pada saat rezim Soeharto diuntungan juga dengan booming minyak pada
1970,yang memasok pundi-pundi dalam membiayai pemerintahan dan kebijakan
pembangunannya. Kebijakan luar negeri kompromistis dengan negara-negara
kapitalis yang punya modal,menjadi poin tambahan.
Namun, Soeharto melewatkan perspektif Samuel P Huntington dalam buku
Tertip Politik di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa. Ketika suatu negara
mulai bertumbuh ekonominya dan akibatnya kelas menengah bertambah sehingga

28
pelembagaan sipil juga harus mendapat ruang untuk mewadahi aspirasi kelompok
baru yang relatif lebih terdidik dan terbedayakan. Pembangunan yang
menghadirkan kemajuan juga mulai memunculkan sisi lain seperti ketimpangan dan
pelanggaran hak,termasuk persoalan lingkungan hidup dan penggusuran. Pada saat
bersamaan, era booming minyak menurun sehingga arus kas kedalam negeri
mengalami penyusutan namun kebijakan ekonomi yang bertumpu pada subsidi dan
birokrasi tetap dan tidak berubah sehingga menyebabkan meningkatkan korupsi dan
nepotisme. Terlebih lagi,ekonomi dianggap salah urus dan kolaps diterpa krisis
moneter global 1997.
Faktor yang membuat Indonesia masuk dalam IMF karena pada saat itu
tantangan utama pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto
adalah mengembalikan perekonomian Indonesia yang terpuruk ditandai dengan
melemahnya daya beli masyarakat,depresiasi nilai rupiah dan tingginya tingkat
inflasi pada saat itu mencapai sekitar 600% (Hyperinflation). Permasalahan
pemerintahan Orde Baru ini terdapat dalam pernyataan Ali Moertopo di bawah ini :
“Pembangunan pemerintah pada awal Orde Baru berorientasi pada usaha
penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat
inflasi,penyelamatan keungan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal
tahun 1966 yang menunjukka tingkat inflasi kurang lebih 650% setahun. Hal itu
menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah
direncanakan pemerintah” (AliMoertopo,2009:48)
Untuk mengatasi masalah tersebut ,pemerintahan orde baru melakukan
rekonstruksi ekonomi salah satunya dengan bantuan IMF. Indonesia juga harus
melakukan tiga hal yaitu liberalisasi,deregulasi dan privatisasi. 7 Dari ketiga hal
tersebut yang menjadi tuntuan IMF terlihat terjadi fluktuasi investasi dalam sektor
industri yang umumnya mengalami peningkatan.Sektor jasa juga mengalami
peningkatan walau tidak setinggi sektor industri.Sementara itu sektor pertanian
mengalami fluktuasi yang cenderung selalu turun dan tidak banyak mengalami
peningkatan. Peralihan investasi masyarakat lokal dan asing ini memperlihatkan
suksesnya proses perubahan struktural dari agraris ke industri di Indonesia karena

7
Prasetiantono,A Tony.2003. “IMF(International Monetery Fund”.Dalam “Neoliberalisme” oleh I. Wibowo dan
Francis Wahono. Pustaka Rakyat Cerdas. Yogyakarta. Hlm:117

29
ketiga faktor tuntutan dari IMF. Walau masih menjadi perdebatan namun pada masa
orde baru bimbingan yang diberikan oleh IMF masih berdampak positif pada
perubahan struktural di Indonesia.
Selama masa Orde Baru SAP (Structural Adjustment Program) yang diterapkan
dapat berjalan cenderung baik dan memperbaiki perekonomian Indonesia karena
masih dalam proses.Pada periode tersebut SAP masih belum menimbulkan masalah
hingga terjadi krisis global pada tahun 1997. SAP yang menuntut
liberalisasi,memberikan ruang yang besar kepada penanaman modal
asing ,sehingga banyak perusahaan asing yang mendirikan perusahaannya di
Indonesia karena memperhitungkan Low Wage Production.Namun pertumbuhan
ini tidak ditopang dengan tabungan nasional yang memadai da hanya mengandalkan
hutang luar negeri yang semakin membesar.8 Situasi seperti ini berbahaya ketika
pemodal asing menarik modal mereka di Indonesia.
Krisis Moneter yang berubah menjadi krisis total pada tahun 1997 dan
memuncak pada tahun 1998. Dalam krisis ini tidak ada obatnya ,karena pemodal
asing yang memasukkan modalnya kehilangan kepercayaan dan menarik modal
mereka dari Indonesia ,diperparah dengan tabungan nasional yang kosong. 9
Kerawanan perekonomian bisa terjadi karena unsur-unsur yang oada dasarnya
bersifat internal,seperti kebijakan makro yang tidak tepat,hilangnya atau lemahnya
kepercayaan terhadap mata uang dan lembaga keuangan dan ketidakstabilan
politik.10Ada juga dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal seperti kondisi keuangan
global yang berubah, ketidakseimbangan atau misaligment nilai tukar mata uang
dunia (dolar dengan yen) atau perubahan cepat dari sentimen pasar yang meluas
sebagai akibat dari perilaku ikut-ikutan dari pelaku usaha.11 Hal inilah yang menjadi
alasan SAP gagal diterapkan di Indonesia.Langkah pemerintah orde baru
menggunakan IMF sebagai alat untuk memulihkan perekonomian malah membuat
perekonomian bertambah terperosok hingga akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998
kepemimpinan Soeharto tumbang dan mengundurkan diri.

8
Lihat Kwik Kian Gie.1999.”Ekonomis Indoenesia Dalam Krisis dan Transisi Politik. Gramedia
Pustaka.Jakarta.Hlm:4
9
Ibid. Hlm:10
10
Djiwandono J.Soedjadjad.2001. “Bergulan dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomis Indonesia”.Sinar
Harapan.Jakarta. Hlm:6-7
11
Ibid

30
BAB III
KESIMPULAN

Dari berbagai pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dinamika perpolitikan luar
negeri Republik Indonesia di era Soeharto sangatlah berkaitan dengan figur seorang Soeharto
yang memiliki latar belakang keluarga Jawa yang sangat kental. Selain itu, latar belakang
profesinya sebagai salah seorang anggota militer dan kurangnya pengalaman dalam menangani
isu-isu internasional kemudian membuatnya menjadikan militer sebagai salah satu unsur
penting di dalam perumusan dan pelaksanaan berbagai kebijakan-kebijakan strategis negara,
baik di level domestik dan global.

31
Pada akhirnya, segala tujuan politik luar negeri Indonesia pada masa Orde Baru adalah
‘memperbaiki kesalahan’ yang dilakukan di masa Orde Lama sehingga sangat berorientasi
pada pembangunan nasional Indonesia dan normalisasi hubungan dengan negara-negara
seperti Malaysia dan juga melakukan kerjasama internasional dengan berperan aktif dalam
berbagai keanggotaan organisasi internasional mulai dari PBB, ASEAN, OKI, APEC, CGI,
dan IMF.

32

Anda mungkin juga menyukai