Anda di halaman 1dari 19

Indonesia’s Foreign Policy

Indonesia’s Foreign Policy on Palestine Dispute in Middle


East

Muhammad Rahman Haryokusumo 165120407121010

Huuriyah La Thiffah Ervindra 185120407121003

Ananda Dea Fadila 185120407121011

Sebri Astriani 185120407121019

Ayeshia Dinar Nurharisa 185120407121034

Department of International Relations

Faculty of Social and Political Sciences

Universitas Brawijaya

Malang

2020

Introduction

Background Problem
A. LATAR BELAKANG

Pengertian Politik Luar Negeri Republik Indonesia dapat ditemui dalam Pasal 1 ayat 2
Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang menjelaskan
bahwa Politik Luar Negeri Indonesia adalah merupakan suatu kebijakan, sikap, dan langkah
Pemerintahan Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara
lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya dalam rangka
menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional. Sedangkan prinsip-
prinsip dari politik Luar Negeri yang dianut oleh Republik Indonesia yakni bebas dan aktif.
Bebas, mengartikan bahwa kebijakan luar negeri yang dianut oleh Republik Indonesia
merupakan politik yang Independen, yakni Indonesia tidak berpihak pada kekuatan dunia.
Pada prinsipnya, dalam membela negara tertentu atau politik bersekutu pada dasarnya tidak
sesuai dengan filosofi dan identitas nasional negara seperti yang tersirat dalam Pancasila,
yang menjunjung perdamaian dunia.[1]

Sedangkan makna dari prinsip politik luar negeri yang aktif, yakni Indonesia tidak
mempertahankan sikap pasif atau reaktif terhadap isu-isu internasional, akan tetapi lebih aktif
dalam mencari partisipasi untuk penyelesaiannya. Dengan kata lain, kebijakan Indonesia
yang independen dan aktif bukanlah kebijakan yang netral, tetapi kebijakan politik luar
negeri tersebut tidak menyelaraskan Indonesia dengan negara adikuasa dan juga tidak
mengikat negara pada pakta militer apa pun. Pada dasarnya, dalam kebijakan politik luar
negeri ini, dirancang untuk melayani kepentingan nasional sementara secara bersamaan dan
memungkinkan Indonesia untuk bekerja sama dengan negara-negara lain dengan tujuan
menghapuskan kolonialisme dan imperialisme dalam semua bentuk dan manifestasi, dan
ditujukan demi perdamaian dunia dan keadilan sosial, sehingga hal tersebut menjadi salah
satu penyebab mengapa Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi anggota
pendiri Gerakan Non-Blok.

Keberadaan politik luar negeri di sebuah negara seperti Indonesia, tentunya bertujuan
untuk memaksimalkan perannya terhadap perdamaian dunia serta meminimalisir adanya
konflik maupun permasalahan dalam skala Internasional. Salah satu permasalahan
Internasional di kawasan Timur Tengah yang cukup menyita perhatian dunia yaitu konflik
Palestina-Israel.
Menurut Ziad (2009), diketahui bahwa Konflik Palestina-Israel yang kian memanas
dari tahun 1967 dengan kilas sejarah di tahun 1930-an dan 1940-an terkait adanya gerakan
Zionis yang meningkatkan upayanya untuk membawa imigran Yahudi ke Palestina, merujuk
pada persengketaan wilayah dan konfrontasi penuh dalam peperangan di 1948, yang
menyebabkan terciptanya negara Israel serta diusirnya dua pertiga orang-orang Palestina
diusir dari tanah air mereka yang kini berstatus menjadi pengungsi. [2] Konflik Palestina dan
Israel hingga pada saat ini masih berlangsung karena keberadaan komunitas internasional dan
Majelis Umum yang disinyalir telah gagal untuk menyelesaikan masalah ini[3], sedangkan
konflik Israel-Palestina semakin memanas ketika adanya pengharapan Hak Palestina untuk
kembali ke tanahnya.

Peperangan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina sebagian besar telah
melanggar ketentuan dari Hak Asasi Manusia (HAM), salah satunya yakni dengan
dilanggarnya peraturan terkait pelarangan penembakan wanita serta anak, tenaga medis, dan
aksi pengeboman di sejumlah titik, penyiksaan, hingga pada tindakan penyergapan dan
penculikan tokoh-tokoh penting yang berusaha menggertak pasukan Israel.

Menurut perspektif politik internasional Indonesia, pemerintahan Indonesia sendiri


tidak membenarkan peperangan sebagai jalan dalam menyelesaikan konflik, karena menurut
kaidah hukum yang berlangsung, Indonesia dengan tidak memihak paham kanan maupun
kiri, akan lebih memilih diplomasi pertahanan daripada peperangan. Menurut Cottey (2004),
diplomasi pertahanan sebagai sarana pencegahan konflik, memiliki gagasan bahwa sebagai
instrumen untuk membangun kerja sama dan mencegah konflik antara mantan atau musuh
potensial dari sebuah negara, maka diplomasi pertahanan bekerja dalam sejumlah cara
berbeda, meliputi : (1) kerja sama militer melalui skema politik yang ditujukan untuk
bertindak sebagai simbol kesediaan untuk mengejar kerjasama yang lebih luas, rasa saling
percaya dan komitmen untuk bekerja mengatasi atau mengelola perbedaan dari negara
anggota diplomasi, (2) kerja sama militer dapat menjadi sarana untuk memperkenalkan
transparansi ke dalam hubungan pertahanan dengan tujuan untuk membangun kepercayaan
dengan negara mitra, (3) diplomasi pertahanan dapat menjadi sarana untuk membangun atau
memperkuat perdamaian, (4) kerja sama militer juga dapat mengubah pola pikir militer
negara mitra, (5) kerja sama militer dapat digunakan untuk mendukung reformasi pertahanan
di negara mitra, dan (6) diplomasi pertahanan juga dapat digunakan sebagai insentif untuk
mendorong negara-negara mitra untuk bekerja sama di bidang lain, salah satunya yaitu
perekonomian.[4] Dengan skema diplomasi pertahanan ini, pada dasarnya antara Israel dan
Palestina harus diputuskan adalah satu dari mereka yang mengalah, sehingga peperangan
yang ada tentunya dapat mereda, meskipun apabila kekalahan mengindikasikan terhapusnya
kewenangan Palestina dalam wilayah serta kerakyatannya. Namun, mengetahui bahwa
banyaknya para negara lain untuk turut serta menyudahi konflik ini, seperti Arab maupun
Amerika yang tidak menghasilkan perubahan yang signifikan dalam perdamaian, maka
peranan dari diplomasi pertahanan dapat dikaji kembali.

Namun, meskipun Indonesia tidak membenarkan tindakan peperangan seperti yang


telah terjadi di Palestina-Israel, namun sebagai negara yang memiliki kedaulatan dalam
menjunjung tinggi perdamaian dunia, Indonesia turut memberikan intervensi-intervensi yang
bersifat orientasi terhadap perkembangan konflik di kawasan Timur Tengah tersebut.
Menurut Setiabudi (2017), diketahui bahwa hubungan antara negara Indonesia dengan
sebagian besar negara-negara di kawasan Timur Tengah yaitu perihal persamaan mayoritas
pemeluk agama Islam. [5] Sehingga orientasi sistem politik Internasional yang menyertai
pada dukungan konflik Palestina-Israel ini merujuk pada aspek-aspek kemanusiaan sebagai
saudara seiman.

Orientasi dukungan pemerintahan Indonesia terhadap konflik Palestina-Israel telah


berlangsung sejak lama. Menurut Kompas (2018), pada rezim Gus Dur, sistem politik
penyetaraan agar tidak terkesan memihak salah satu pihak, Gus Dur telah membuka
statement hubungan dagang dengan Israel, yang disampaikan pada agenda ‘Indonesia Next’
di Jimbaran, Bali, pada Oktober 1999, hal ini dilakukan sebagai upaya menghilangkan stigma
negatif pandangan Indonesia dalam mengasihani Palestina serta memusuhi Israel, selain
daripada itu, statement ini juga dilakukan agar bangsa Indonesia mau berkembang dengan
bekerja sama dengan negara lain tanpa adanya pemikiran yang bersifat negatif dan mengarah
pada permusuhan. [6]

Menurut Alexandre Piffero Spohr (2017), karakteristik dari kebijakan luar negeri
yang dianut oleh negara berkembang seperti Indonesia dalam hubungannya sebagai
penunjang kebijakan pembangunan yang ditempuh oleh negara Israel yang menduduki
Palestina yakni politik yang dianut yaitu disesuaikan dengan kebutuhan dari negara tersebut,
sedangkan untuk negara maju atau adidaya seperti Amerika dalam mengintervensi negara
Israel, politik luar negeri yang dianut lebih berpedoman pada keinginan atau sebuah visi dan
misi pencapaian dari negara terkait.[7] Perbedaan karakteristik tersebut, mengasumsikan
bahwa Indonesia sebagai negara berkembang, lebih mengutamakan politik luar negeri yang
bersifat aman dan tidak menimbulkan konflik demi kelangsungan fungsi kebijakan serta
pembangunan negara, dikarenakan keterbatasan yang mereka miliki, sehingga politik luar
negeri yang dianut yakni ditujukan untuk perdamaian dunia dan meminimalisir ancaman dari
luar ke dalam negaranya. Keterbatasan yang dimiliki oleh negara-negara berkembang
umumnya yakni berkenaan dengan kekuatan ekonomi serta politik dan hukum, sehingga
politik luar negeri yang dianut, diupayakan dapat membukakan pintu bagi peningkatan
perekonomian mereka, serta meminimalisir adanya persengketaan hukum dengan negara luar.

Namun, pergolakan orientasi kini kian memanas di rezim Jokowi. Menurut Tri Agus
(2016) dalam perkembangan terkini, rezim Jokowi juga turut melakukan sejumlah orientasi
yang berdampak pada tanggapan Internasional dalam menyikapi dukungan Indonesia pada
penyelesaian konflik ini meliputi, memberikan statement terkait dukungan penuh terhadap
Palestina dengan memberikan sponsor pada Pembelaan Palestina di forum multilateral seperti
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kemudian Organisasi Kerjasama Islam (OKI), serta
menjadi tuan rumah KTT Luar Biasa OKI ke-5 mengenai permasalahan Palestina serta
berupaya dalam merefleksikan ketegangan hubungan Arab Saudi dengan Iran terkait konflik
Arab Spring. [8] Determinasi dari orientasi sistem politik Indonesia yaitu terkait perbedaan
konsep dari setiap rezim dalam menghidupkan politik Internasional terkait permasalahan
Palestina-Israel, meskipun seakan-akan Indonesia berusaha untuk tidak memihak salah satu
negara. Sedangkan Indonesia memiliki faktor determinan ini yakni untuk mengendalikan
citra internasional terhadap negara Indonesia.

Pengambilan keputusan setiap rezim di Indonesia dalam menanggapi konflik


Palestina-Israel perlu dikaji secara mendalam, karena pokok-pokok kepentingan atau urgensi
Nasional RI yakni berkenaan dengan sifat kebijakan luar negeri Indonesia, sebagai landasan
yang kuat untuk keunggulan Indonesia dalam urusan regional dan global untuk memperkuat
kapasitas domestik dan kebijakan ekspansionisnya di wilayah Kawasan Timur Tengah demi
menjaga keamanan regional negara Indonesia sendiri, sehingga orientasi yang dilakukan
sedemikian rupa dicanangkan secara netral.

Berdasarkan ulasan fenomena tersebut, saya selaku penulis sangat tertarik untuk
memuat permasalahan tersebut pada makalah POLUGRI yang berjudul ‘’ Karakteristik
Politik Luar Negeri Indonesia Di Kawasan Timur Tengah Terkait Orientasi Indonesia Pada
Konflik Palestina-Israel ‘’.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Kebijakan Terkait Orientasi Politik Luar Negeri Indonesia Di


Kawasan Timur Tengah Terkait Orientasi Indonesia Pada Konflik Palestina-
Israel ?

2. Bagaimana Sifat Dan Karakter Dari Politik Luar Negeri Indonesia Di Kawasan
Timur Tengah Terkait Orientasi Indonesia Pada Konflik Palestina-Israel ?

3. Bagaimana Faktor Determinan Pada Politik Luar Negeri Indonesia Di Kawasan


Timur Tengah Terkait Orientasi Indonesia Pada Konflik Palestina-Israel ?

4. Bagaimana Proses Pengambilan Keputusan Pada Politik Luar Negeri Indonesia


Di Kawasan Timur Tengah Terkait Orientasi Indonesia Pada Konflik Palestina-
Israel ?

C. TUJUAN

1. Untuk Mengetahui Kebijakan Terkait Orientasi Politik Luar Negeri Indonesia Di


Kawasan Timur Tengah Terkait Orientasi Indonesia Pada Konflik Palestina-Israel.

2. Untuk Mengetahui Sifat Dan Karakter Dari Politik Luar Negeri Indonesia Di
Kawasan Timur Tengah Terkait Orientasi Indonesia Pada Konflik Palestina-Israel.

3. Untuk Mengetahui Faktor Determinan Pada Politik Luar Negeri Indonesia Di


Kawasan Timur Tengah Terkait Orientasi Indonesia Pada Konflik Palestina-Israel.

4. Untuk Mengetahui Proses Pengambilan Keputusan Pada Politik Luar Negeri


Indonesia Di Kawasan Timur Tengah Terkait Orientasi Indonesia Pada Konflik
Palestina-Israel.

[1] Indrawati, Agung Yudhistira Nugroho. (2018). Penerapan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia
Melalui Diplomasi Maritim. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional. DOI:
http://dx.doi.org/10.19166/verity.v10i20.1462
[2] Ziad Abu-Zayyad. (2009). Focus Between The Political Solution And Exercising The Right Of
Return. Israel Journal Of Political. Hlm 1.

[3] Ibid, Hlm 2.

[4] Cottey, A., Forster, A., & International Institute For Strategic Studies. (2004). Reshaping Defence
Diplomacy: New Roles For Military Cooperation And Assistance. Oxford: Oxford University
Press For The International Institute For Strategic Studies, Hlm 57.

[5] Setiabudi, Widya. (2017). Studi Timur Tengah Dan Orientasi Politik Luar Negeri Indonesia. Jurnal
ICMES. Edisi 1.

[6] Kompas.Com. (2018). Gus Dur, Gus Mus, Dan Jalan Cinta Untuk Diplomasi Israel-Palestina.
Online. Sumber : Https://Nasional.Kompas.Com/Read/2018/02/06/13315291/Gus-Dur-Gus-
Mus-Dan-Jalan-Cinta-Untuk-Diplomasi-Israel-Palestina?Page=All

[7] Alexandre Piffero Spohr, André Luiz Reis da Silva. (2017). Foreign Policy’s Role in Promoting
Development: the Brazilian and Turkish Cases. Contexto Internacional vol. 39(1) Jan/Apr
2017 http://dx.doi.org/10.1590/S0102-8529.2017390100008

[8] Tri Agus S. Siswowiharjo. (2016). Politik Luar Negeri Jokowi Di Timur Tengah. Sumber :
Http://Www.Indeksberita.Com/Politik-Luar-Negeri-Jokowi-Di-Timur-Tengah/
Discussion

Indonesia’s Political Orientation in Middle East

Orientasi politik luar negeri Indonesia pada Timur Tengah seringkali berubah bentuk
sesuai dengan pemimpin yang memimpin pada masa tersebut serta beberapa faktor
determinan lainnya. Salah satu fenomena yang menjadi fokus politik luar negeri Indonesia
sejak lama adalah konflik antara Palestina dengan Israel. Indonesia atas nama kemanusian
sering kali melakukan intervensi terhadap konflik ini karena dirasa tidak sesuai dengan
perikemanusiaan yang dianut oleh Indonesia. Terlebih lagi konflik ini melibatkan banyak
muslim, dimana Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah pemeluk agama islam
terbanyak di dunia kedua.

Sejak lama Indonesia selalu dianggap memihak kepada Palestina dan anti pada Israel
hingga pada masa Abdurrahman Wahid pemerintah Indonesia memutuskan untuk menjalin
Kerjasama dengan Israel melalui Indonesia Next di Bali pada akhir tahun 1999. Keputusan
ini menarik perhatian dunia dan memancing perlawanan dari masyarakat karena dirasa
mendukung penghina muslim. Sedang menurut berita yang dilansir Kompas pada tahun 2018,
Abdurrahman Wahid melakukan Kerjasama perdagangan dengan Israel untuk menghilangkan
kesan memihak pada satu pihak serta mewujudkan politik luar negeri bebas aktif yang
sesungguhnya.[1]

Pada masa Presiden selanjutnya, yaitu Megawati Soekarnoputri, Indonesia tidak


begitu mengorientasikan diri pada konflik Palestina dengan Israel karena dunia sedang ramai
dengan adanya serangan Amerika Serikat ke Afghanistan. Serangan ini membuat Sebagian
besar kelompok muslim dan politikus menekan pemerintah untuk memfokuskan diri pada
konflik ini dibandingkan dengan konflik Palestina dengan Israel yang sudah menjadi fokus
Indonesia sejak lama.
Dalam kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menurut teori politik
luar negeri Barston ada dua hal penting dalam orientasi politik luar negeri Indonesia dengan
Timur Tengah. Pada era ini, Indonesia hendak memulihkan citra pemerintah Indonesia di
mata masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim dan dunia internasional pasca konflik
Afganistan dengan Amerika Serikat. Indonesia juga tengah berusaha keras untuk
memperbaiki perekonomian nasional dengan meningkatkan kerjasama dengan negara lain
termasuk negara-negara Timur Tengah.[2]

Orientasi politik luar negeri Indonesia kepada Timur Tengah pada era Presiden Joko
Widodo menarik mata dunia dengan adanya statement-statement tegas. Indonesia dalam masa
Joko Widodo sangat terbuka dalam pemberian sponsor serta pembelaan untuk Palestina di
berbagai forum multilateral seperti dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
kemudian Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Indonesia bahkan mengajukan diri menjadi
tuan rumah KTT Luar Biasa OKI ke-5 menangani isu Palestina serta berupaya dalam
merefleksikan ketegangan hubungan Arab Saudi dengan Iran terkait konflik Arab Spring. [3]

Dapat dilihat dari penjelasan sebelumnya bahwa dari masa ke masa, orientasi politik
luar negeri Indonesia kepada Timur Tengah tidak terlalu berubah. Tetapi semakin terlihat
orientasinya karena perbedaan pada setiap rezimnya. Indonesia meski terus menyatakan tidak
berpihak kepada siapapun justru semakin menunjukan dukungnnya kepada Palestina.

[1] Kompas.Com. (2018). Gus Dur, Gus Mus, Dan Jalan Cinta Untuk Diplomasi Israel-Palestina.
Online. Sumber : Https://Nasional.Kompas.Com/Read/2018/02/06/13315291/Gus-Dur-Gus-
Mus-Dan-Jalan-Cinta-Untuk-Diplomasi-Israel-Palestina?Page=All

[2] Fatmawati, Eka. (2009). Politik Luar Negri Indoensia Terhadap Timur Tengah era Susilo
Bambang Yudhoyono. Jogja: Tesis UGM

[3] Tri Agus S. Siswowiharjo. (2016). Politik Luar Negeri Jokowi Di Timur Tengah. Sumber :
Http://Www.Indeksberita.Com/Politik-Luar-Negeri-Jokowi-Di-Timur-Tengah/
The Foreign Policy: Palestine Dispute

Konflik yang ada di Palestina bisa kita analisa semenjak adanya deklarasi Balfour,
dimana Inggris menjajikan sebuah rumah baru bagi kaum Yahudi. Pada saat sebelum
deklarasi ini dibentuk terjadi juga kejadian Hollocaust, dimana umat Yahudi mengalami
pembantaian masal-masal an di Eropa.[1] Pada tanggal 29 November 1947 PBB membagi
Plestina menjadi beberapa wilayah, yang pertama merupakan wilayah bagi umat Yahudi,
bagian kedua digunakan oleh masyarakat Arab-Palestina dan yang terakhir dapat diugunakan
oleh perwakilan internasional, atau dapat dikatakan sebagai terbuka secara umum.[2]
Bagaiamanapun juga, Arab berpendapat bahwa PBB tidak memiliki hak untuk membagi
tanah Palestina. Dalam kasus ini, beberapa masyarakat asli Palestina terpaksa untuk harus
keluar dari rumah mereka, akan tetapi Israel beranggapan bahwa adanya pemimpin Arab
yang membujuk masyarakat Palestina untuk keluar dari Palestina. Dikarenakan adanya
banyak kebencian antara Israel dan juga negara di Arab, menyebabkan terjadinya peperangan
antara Arab-Palestina dan juga Israel. Perang ini terjadi pada tahun 1948. Perang ini
menyebabkan kekalahan bagi Palestina-Arab yang menyebabkan beberapa bagian Palestina
dikuasai oleh Israel. Oleh karena itu, masyarakat Arab memanggilnya dengan ‘nakba’
dikarenakan dampak yang disebabkan oleh perang ini . pada perang ini, banyak orang yang
kehilangan nyawa dan menjadi korban dari perang ini. Menyebabkan banyaknya masyarakat
Palestina yang harus secara terpaksa untuk keluar dari rumah dan tanah mereka. Perang ini
menjadi salah satu perang yang paling berpengaruh sepanjang konflik yang terjadi di
Palestina. Akibat dari perang ini menyebabkan masyarakat Palestina harus kehilangan hidup
mereka dan hidup di bawah kontrol dari beberapa rezim yang ada. Perang ini juga
menyebabkan masyarakat Palestina kehilangan beberapa aspek dari kehidupan mereka.[3]
Pada tanggan 15 Mei 1948 menjadi tanggal terbentuknya negara Israel. Dimana, sebagian
besar masyarakat Palestina yang masih tinggal di Palestina, harus kehilangan tanah dan juga
rumah mereka, dikarenakan Israel melakukan perebutan. Yang membuat selama beberapa
dekade keturunan dari Palestina harus tinggal dibawah naungan PBB dan juga tinggal di
kamp-kamp pengungsian.
Selain peperangan yang terjadi pada tahun 1948, salah satu perang yang memiliki
dampak besar terhadap konflik dari Palestina dan juga Israel yaitu perang yang terjadi pada
tahun 1967. Perang ini terjadi selama 6 hari berturut-turut. Peran ini menjadi perang diantara
Israel bersama beberapa negara Arab lainnya. Perang ini menyebabkan Israel dapat
menguasai lebih banyak lagi daerah di kawasan Palestina. [4] Perang ini menyebabkan
kemenangan besar bagi Israel, dimana Israel dapat menguasai Selat Tiran, agar kapal-kapal
Israel dapat melalui Selat Tiran. Masih banyak perag yang terjadi antara negara-negara yang
mendukung Palestina dengan Israel.

Konflik yang terjadi antar Palestina masih berlangsung sampai sekarang, yang menjadi
korban terbanyak dari konflik ini adalah masyarakat Palestina. Masyarakat Palestina tidak
dapat memiliki tempat tinggal, ketika perang terjadi mereka pun ikut terkena dampak adanya
perang. Seperti luka-luka ataupun ikut dalam perang dengan senjata yang sangat amat minim.

Kebijakan Indonesia dalam permasalahan konflik Palestina.

Indonesia merupakan negara yang memegang UUD 1945 sebagai salah satu pedoman,
seperti kita ketahui di dalam UUD 1945 dalam pembukaan alenia ke 4 tercantum kan bahwa
negara Indonesia merupakan negara yang berbunyi “ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” membuat Indonesia juga memiliki
urusan dalam konflik Palestina dan Israel. Salah satu langkah kebijakan yang Indonesia ambil
dalam permasalahan kasus ini adalah dengan aktif di dalam dewan keamanan tidak tetap
PBB. Indonesia sendiri merupakan negara yang tergabung menjadi dewan keamanan tidak
tetap PBB, dimana dalam pelaksanannya Indonesia ikut membantu menyuarakan hak-hak
yang dimiliki oleh palestina, seperti hak berdirinya negara Palestina yang merdeka, dan juga
hak-hak yang dimiliki oleh rakyat Palestina. Selama menjadi dewan keamanan tidak tetap
PBB, Indonesia juga akan terus membantu Palestina dalam menyurakan perdamaian.

Selain itu, Indonesia sendiri juga menjadi salah satu negara yang dipercaya oleh
Palestina. Hal ini dibuktikan dari permintaan presiden Palestina agar Indonesia dapat menjadi
tuan rumah KTT luar biasa OKI ke 5, yang membahas perihal Palestina dan juga Al-Quds.
Pertemuan ini menghasilkan perjanjian dimana negara-negara yang bergabung dengan OKI
memiliki komitmen untuk terus mendukung Palestina. Gagasan yang dihasilkan dari ini
merupakan Jakarta Declaration, yang berisi gagasan Indonesia dalam ikut turut serta
penyelesaian masalah Palestina. [5]
Indonesia sendiri juga menjadi tuan rumah dalam acara International Conference on
the Question of Jerusalem yang merupakan acara yang dilakukan oleh OKI dan juga PBB.
Dalam acara ini sendiri, topik yang menjadi diskusi adalah membahas isu kota Yerusalem
yang termasuk dalam outstanding core issues dari masalah konflik Palestina itu sendiri. [6]
permasalahan yang dibahas dalam KTT ini berfokus pada permasalahan pengklaiman
Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Indonesia tidak hanya memiliki kebijakan pada tingkat multilateral seperti melalui
international conference yang diselenggarakan bersama negara lain. Indonesia juga ikut serta
dalam membantu Palestina melalui dibawah kerangka dari Conference on Cooperation
among East Asian Countries for Palestinian Development (CEAPAD). Indonesia ikut serta
dalam membantu pelatihan bagi Palestina untuk mendirikan infrastruktur teknologi,
pariwisata , dan juga pertanian senilai USD 1,5 juta.

[1] Stein, Leonard. The Balfour Declaration. New York: Simon and Schuster, 1961.

[2] Said, Edward W. The war for Palestine: rewriting the history of 1948. Vol. 15. Cambridge
University Press, 2001.

[3] Ibid.,

[4]Crosbie, Sylvia K. A Tacit Alliance: France and Israel from Suez to the Six Day War.
Princeton University Press, 2015.

[5] Abdurofiq, Atep. "IDENTITAS ISLAM DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI


INDONESIA TERHADAP PALESTINA, STUDI KASUS: PENYELENGGARAAN
KONFERENSI TINGKAT TINGGI (KTT) LUAR BIASA KE-5 TAHUN 2016
ORGANISASI KERJASAMA ISLAM (OKI) DI JAKARTA." Jurnal Sosial dan Humaniora
1, no. 1 (2018).

[6] Azani, N. S., and M. L. Zuhdi. "Indonesia’s support for Palestine in international forums."
Competition and Cooperation in Social and Political Sciences (2018).

Faktor Determinan Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Konflik Palestina-Israel


Faktor determinan merupakan faktor yang meneliti mengapa sebuah negara membuat
kebijakan luar negeri yang ada. Faktor determinan sendiri memiliki empat indikator yang
berfungsi untuk membuat analisis dan menemukan alasan-alasan terkait terbentuknya
kebijakan luar negeri. Faktornya adalah perilaku kepemimpinan, politik domestik, kondisi
ekonomi dan militer, serta aspek internasional.

Faktor pertama adalah perilaku kepemimpinan. Faktor kepemimpinan bisa dilihat dari
perilaku Presiden RI yaitu Joko Widodo dalam membuat kebijakan luar negeri terkait konflik
Palestina-Israel. Indonesia dan Palestina dapat dikatakan memiliki sebuah hubungan yang
cukup erat. Hal ini telah konsisten dilakukan sejak masa kepemimpinan presiden-presiden RI
sebelum Jokowi. Pemerintah Indonesia tiada hentinya mendukung Palestina, dan
menggelorakan semangat ini dalam berbagai forum internasional yang diwakilinya.
Adanya pembelaan terhadap Indonesia terhadap Palestina dilandasi oleh UUD 1945 yang
menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka penjajahan diatas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.[1] Selain itu,
sikap tegas Indonesia terhadap pembelaan Palestina juga sering disampaikan Jokowi. Jokowi
berkata bahwa Indonesia akan selalu konsisten dalam mendukung Palestina untuk
mendapatkan haknya dan posisi Indonesia tidak akan pernah berubah. Bahkan dalam
kampanyenya pada tahun 2014, Jokowi berjanji akan memperjuangkan kemerdekaan
Palestina.[2]

Dalam indikator politik domestik, politik nasional Indonesia berfokus terhadap


pembelaan Palestina dan hal ini dilandasi beberapa faktor. Indonesia merupakan negara yang
optimis dalam membantu Palestina dalam meraih kemerdekaan dan kedaulatannya. Hal yang
menjadi pondasi adalah prinsip Indonesia yang tercantum dalam Konstitusi Negara, yang
menegaskan bahwa Indonesia menentang segala bentuk penjajahan yang ada, dan tentunya
faktor agama juga merupakan faktor yang berperan penting atas sikap Indonesia terhadap
Palestina. Indonesia mempunyai masyarakat muslim terbesar di dunia yang tentunya bisa
menjadi landasan dari simpati terhadap perjuangan Palestina meraih kemerdekaan.[3] Hal ini
juga merupakan alasan Indonesia yang bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencapai
stabilitas politik dalam negeri. Konflik Palestina merupakan konflik yang menarik perhatian
masyarakat internasional terutama muslim, termasuk masyarakat Indonesia. Isu ini termasuk
ke dalam arena konstituen, yang artinya pemerintah melihat bahwa isu ini dapat menjadi jalan
untuk mendapat simpati publik. Sehingga nantinya opini publik tentang isu ini harus menjadi
bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan luar negeri. [4]

Yang ketiga adalah faktor ekonomi dan militer di Indonesia. Dalam kebijakan luar
negerinya, sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim Indonesia turut terlibat dalam
upaya penyelesaian konflik Palestina-Israel. Indonesia pernah mengirimkan pasukan
perdamaian ke wilayah konflik di jalur Gaza yang disebut dengan Pasukan Garuda.[5]
Tentunya pengiriman pasukan perdamaian tersebut juga ditentukan atas faktor kekuatan
ekonomi dan militer yang dimiliki Indonesia. Kekuatan militer dapat diukur melalui kapasitas
militer yang meliputi jumlah personel, tingkat latihan, serta sarana dan prasarana militer yang
dimiliki suatu negara. Sedangkan kekuatan ekonomi dapat diukur melalui Produk Nasional
Bruto (PNB) atau Gross National Bruto (GNP) dan dapat pula diukur melalui neraca
perdagangan (ekspor-impor) suatu negara. Neraca perdagangan dapat menunjukkan tingkat
ketergantungan ekonomi suatu negara dengan pihak eksternal negaranya. Hal ini dapat
menunjukkan tingkat kemandirian suatu negara dalam bidang ekonomi. Kekuatan militer dan
kekuatan perekonomian Indonesia yang cukup kuat memungkinkan Indonesia untuk turut
serta berperan aktif dalam menyelesaikan konflik Palestina dan Israel. Upaya-upaya tersebut
diwujudkan melalui pengiriman bantuan dana, pasukan perdamaian, pembangunan rumah
sakit dan lain-lain.

Indikator terakhir adalah aspek internasional yang ada dalam aksi Indonesia untuk
membantu Palestina dalam mendapatkan haknya. Pada bulan Mei 2019, Indonesia menjabat
sebagai Presiden Dewan Keamanan PBB dan kesempatan tersebut digunakan para diplomat
Indonesia di PBB untuk mendapatkan dukungan penuh bagi Palestina. Melalui tema
“Investing in Peace” para diplomat Indonesia berusaha menarik perhatian komunitas
internasional untuk kembali peduli kepada Palestina.[6] Para diplomat Indonesia juga
mengadakan UN Security Council Briefing di mana Menteri Luar Negeri Indonesia
secara khusus menekankan fakta mengenai memburuknya kondisi Palestina, antara
lain akibat berlanjutnya pembangunan permukiman ilegal di wilayah Palestina.[7]
Selain itu Indonesia bersama dengan negara anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam) terus
gencar menyuarakan kemerdekaan untuk negara Palestina. Hal tersebut merupakan bentuk
dari komitmen negara Indonesia dalam mengupayakan kemerdekaan Palestina.
Memperjuangkan kemerdekaan Palestina bukanlah hal yang mudah, berbagai kepentingan
mulai dari politik dan agama turut mewarnai hal ini.[8]
[1] Saragih, Hendra Maujana. (2019). “Kebijakan luar Negeri Indonesia Dalam Mendukung
Palestina sebagai Negara Merdeka Pada Masa Pemerintahan Jokowi.” FOKUS Jurnal Kajian
Keislaman dan Kemasyarakatan. Sumber
https://www.researchgate.net/publication/331124500

[2] Ibid [1]

[3] Prasetya, M. N., Srifauzi, A. (2018). “Diplomasi Politik Indonesia Terhadap


Kemerdekaan Palestina”. Jurnal Power in International Relations. Sumber http://e-
journal.potensi-utama.ac.id/ojs/index.php/PIR/article/view/442/490

[4] Satris, Rezki. (2019). “Peranan Politik Luar Negeri Indonesia terhadap Palestina Pasca

Pengakuan Jerusalem Sebagai Ibu Kota Israel”. POLITEA Jurnar Pemikiran Politik Islam.
Sumber http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/politea

[5] VIVA.co.id. “Indonesia Kirim 1.900 Pasukan Jaga Perdamaian Demi Palestina.” VIVA.
VIVA, July 9, 2014. https://www.viva.co.id/berita/nasional/520089-indonesia-kirim-1-900-
pasukan-jaga-perdamaian-demi-palestina.

[6] Rezasyah, Teuku. (2019). “Peranan Diplomat Indonesia dalam Memperjuangkan


Palestina di PBB (Masa Presidency of the UNSC Mei 2019)”. Jurnal ICMES: The Journal of
Middle East Studies. DOI https://doi.org/10.35748/jurnalicmes.v3i2.55

[7] Ibid

[8] Prasetya, M. N., Srifauzi, A. (2018). “Diplomasi Politik Indonesia Terhadap


Kemerdekaan Palestina.” Jurnal Power in International Relations. Sumber http://e-
journal.potensi-utama.ac.id/ojs/index.php/PIR/article/view/442/490

Decision Making Process

Pengaruh Global

Dalam pengambilan keputusan politik luar negeri, pengaruh dari faktor eksternal turut
bermain. Faktor eksternal yang dimaksud bisa berupa sebuah fenomena (sosial, politik,
ekonomi, lingkungan), maupun interaksi antar negara dan aktor non-negara. Kebijakkan
Politik Luar Negeri Indonesia terhadap Palestina di pengaruhi oleh beberapa fenomena
termasuk kasus penindasan dan pelanggaran HAM di Palestina, okupasi illegal yang
dilakukan oleh Israel, dan rencana perdamaian diusung oleh Trump yang terjadi baru-baru
ini. Penindasan dan pelangaraan HAM seperti tragedy Al-Durrah yang menewaskan warga
sipil (seorang ayah dan anak) dilakukan oleh pihak Israel, menimbulkan reaksi kecaman dari
berbagai negara dan lembaga kemanusiaan. Baru-baru ini Trump juga mengusung rencana
perdamaian yang sebenarnya merugikan pihak Palestina[1]. Rencana perdamaian tersebut
bahkan tidak mengundang pihak Palestina untuk ikut berunding, ditambah lagi melalui
rencana tersebut Palestina akan kehilangan teritorinya. Dengan kejadian yang disorot oleh
media dan juga masyarakat internasional, hal ini bisa menjadi momentum pagi Indonesia
untuk mengambil keputusan dalam politik luar negeri terhadap kejadian Palestina-Israel.

Pengaruh Negara

Pengambilan keputusan Indonesia sendiri mengacu terhadap mandate konstitusi 1945


yang menolak adanya bentuk kolonialisme dimana pun itu, dan juga mendukung adanya
diplomasi perdamaian. Nilai-nilai ini pun sudah ditetapkan sejak Indonesia berdiri, Soekarno,
Presiden pertama Indonesia telah menetapkan ini sebagai suatu mandate bagi penerusnya[2].
Maka dari itu Indonesia tidak sembunyi-sembunyi dalam mengambil posisi ketika
berhadapan dengan isu kolonialisme maupun okupasi yang terjadi di Palestina, menolak
adalah mosi Indonesia. Selain itu dalam politik luar negeri, Indonesia menekankan adanya
politik luar negeri yang bebas dan aktif. Politik luar negeri bebas dan aktif berarti Indonesia
tidak terikat pada entitas atau negara tertentu dalam pengambilan keputusan, dan juga
keputusan yang diambil haruslah mencerminkan kegigihan partisipasi Indonesia dalam
politik luar negerinya. Di bidang

Pengaruh Individu

Persoalan antara Palestina dan juga Israel, menjadi sesuatu yang sangat mengena
terutama dalam masyarakat Indonesia. Tak jarang ketika isu berkenaan dengan Palestina
muncul, masyarakat Indonesia turut andil dalam membantu berupa sumbangan[3] maupun
menyuarakan pendapat melalui aksi demonstrasi. Terpacunya masyarakat Indonesia dalam
menanggapi kasus Palestina dan Israel didukung adanya rasa sentiment sebagai sesama
bangsa yang pernah ditindas dan juga rasa solidaritas sebagai negara mayoritas Muslim.
Seperti yang kita ketahui Indonesia sebelumnya telah dijajah selama bertahun-tahun, dan
selama masa okupasi Indonesia telah menerima banyak sekali tindakan diskriminatif,
sehingga berimbas terhadap terenggutnya hak-hak penduduk Indonesia untuk hidup sebagai
manusia yang bebas atas penindasan. Pada saat masa kompeni, pihak Belanda tak jarang
mengusir penduduk asli Indonesia untuk bermukim di tempat yang terisolir. Tanam paksa
juga diberlakukan terhadap masyarakat Indonesia pada saat itu hanya demi keuntungan untuk
Belanda saja, tanpa memikirkan nasib dan kesejahteraan penduduk asli. Jika dilihat, hal
serupa pun terjadi di Palestina dengan cara yang berbeda. Dalam konflik Palestina-Israel, tak
jarang penduduk Palestina harus berpindah tempat tinggal karena diusir maupun rumah
mereka dihancurkan[4]. Penduduk Palestina pun dibatasi dalam pemakaian fasilitas publik,
sehingga terkadang untuk menggunakan fasilitas Kesehatan mereka harus berhadapan dengan
otoritas Israel.

Liel, Alon. “Trump's Plan for Palestine Looks a Lot Like Apartheid.” Foreign Policy.
[1]
Foreign Policy, April 3, 2020.
[2]Wardoyo, Broto, Hariyadi Wirawan, and Utaryo Santiko. “Mediasi Indonesia Dalam
Proses Perdamaian Palestina- Israel.” Global: Jurnal Politik Internasional 13, no. 1 (2011).

Taqwa, L., and M.l. Zuhdi. “Indonesian Multi-Track Diplomacy for Palestine: Indonesian
[3]
Red Crescent’s (Bulan Sabit Merah Indonesia) Support for Education of Palestinians.”
Competition and Cooperation in Social and Political Sciences, January 2017, 307–13.

[4]Jakarta Post. “Indonesia Criticizes Israel's Reluctance to Open up about Palestine.” The
Jakarta Post. Accessed April 15, 2020.

Bibliography:

Kompas.Com. (2018). Gus Dur, Gus Mus, Dan Jalan Cinta Untuk Diplomasi Israel-Palestina. Online. Sumber :
Https://Nasional.Kompas.Com/Read/2018/02/06/13315291/Gus-Dur-Gus-Mus-Dan-Jalan-Cinta-Untuk-
Diplomasi-Israel-Palestina?Page=All

Fatmawati, Eka. (2009). Politik Luar Negri Indoensia Terhadap Timur Tengah era Susilo Bambang Yudhoyono.
Jogja: Tesis UGM

Tri Agus S. Siswowiharjo. (2016). Politik Luar Negeri Jokowi Di Timur Tengah. Sumber :
Http://Www.Indeksberita.Com/Politik-Luar-Negeri-Jokowi-Di-Timur [1] Saragih, Hendra
Maujana.
(2019). “Kebijakan luar Negeri Indonesia Dalam Mendukung Palestina sebagai Negara
Merdeka Pada Masa Pemerintahan Jokowi.” FOKUS Jurnal Kajian Keislaman dan
Kemasyarakatan. [1] Stein, Leonard. The Balfour Declaration. New York: Simon and
Schuster, 1961.

Kompas.Com. (2018). Gus Dur, Gus Mus, Dan Jalan Cinta Untuk Diplomasi Israel-Palestina. Online. Sumber :
Https://Nasional.Kompas.Com/Read/2018/02/06/13315291/Gus-Dur-Gus-Mus-Dan-Jalan-Cinta-Untuk-
Diplomasi-Israel-Palestina?Page=All

Fatmawati, Eka. (2009). Politik Luar Negri Indoensia Terhadap Timur Tengah era Susilo
Bambang Yudhoyono. Jogja: Tesis UGM
Tri Agus S. Siswowiharjo. (2016). Politik Luar Negeri Jokowi Di Timur Tengah. Sumber :
Http://Www.Indeksberita.Com/Politik-Luar-Negeri-Jokowi-Di-Timur-Tengah/

Said, Edward W. The war for Palestine: rewriting the history of 1948. Vol. 15. Cambridge
University Press, 2001.

Crosbie, Sylvia K. A Tacit Alliance: France and Israel from Suez to the Six Day War.
Princeton University Press, 2015.

Abdurofiq, Atep. "IDENTITAS ISLAM DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI


INDONESIA TERHADAP PALESTINA, STUDI KASUS: PENYELENGGARAAN
KONFERENSI TINGKAT TINGGI (KTT) LUAR BIASA KE-5 TAHUN 2016
ORGANISASI KERJASAMA ISLAM (OKI) DI JAKARTA." Jurnal Sosial dan Humaniora
1, no. 1 (2018).

Azani, N. S., and M. L. Zuhdi. "Indonesia’s support for Palestine in international forums."
Competition and Cooperation in Social and Political Sciences (2018).Sumber
https://www.researchgate.net/publication/331124500

Prasetya, M. N., Srifauzi, A. (2018). “Diplomasi Politik Indonesia Terhadap Kemerdekaan


Palestina”. Jurnal Power in International Relations. Sumber http://e-journal.potensi-
utama.ac.id/ojs/index.php/PIR/article/view/442/490

Satris, Rezki. (2019). “Peranan Politik Luar Negeri Indonesia terhadap Palestina Pasca

Pengakuan Jerusalem Sebagai Ibu Kota Israel”. POLITEA Jurnar Pemikiran Politik Islam.
Sumber http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/politea

VIVA.co.id. “Indonesia Kirim 1.900 Pasukan Jaga Perdamaian Demi Palestina.” VIVA.
VIVA, July 9, 2014. https://www.viva.co.id/berita/nasional/520089-indonesia-kirim-1-900-
pasukan-jaga-perdamaian-demi-palestina.

Rezasyah, Teuku. (2019). “Peranan Diplomat Indonesia dalam Memperjuangkan Palestina di


PBB (Masa Presidency of the UNSC Mei 2019)”. Jurnal ICMES: The Journal of Middle East
Studies. DOI https://doi.org/10.35748/jurnalicmes.v3i2.55

Prasetya, M. N., Srifauzi, A. (2018). “Diplomasi Politik Indonesia Terhadap Kemerdekaan


Palestina.” Jurnal Power in International Relations. Sumber http://e-journal.potensi-
utama.ac.id/ojs/index.php/PIR/article/view/442/490-Tengah/
Liel, Alon. “Trump's Plan for Palestine Looks a Lot Like Apartheid.” Foreign Policy. Foreign Policy, April 3,
2020. https://foreignpolicy.com/2020/02/27/trumps-plan-for-palestine-looks-a-lot-like-apartheid/.

Wardoyo, Broto, Hariyadi Wirawan, and Utaryo Santiko. “Mediasi Indonesia Dalam Proses Perdamaian
Palestina- Israel.” Global: Jurnal Politik Internasional 13, no. 1 (2011). https://doi.org/10.7454/global.v13i1.163.
Taqwa, L., and M.l. Zuhdi. “Indonesian Multi-Track Diplomacy for Palestine: Indonesian Red Crescent’s
(Bulan Sabit Merah Indonesia) Support for Education of Palestinians.” Competition and Cooperation in Social
and Political Sciences, January 2017, 307–13. https://doi.org/10.1201/9781315213620-37.

Jakarta Post. “Indonesia Criticizes Israel's Reluctance to Open up about Palestine.” The Jakarta Post. Accessed
April 15, 2020. https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/22/indonesia-criticizes-israels-reluctance-to-
open-up-about-palestine.html.

Anda mungkin juga menyukai