Disusun Oleh:
Elisabeth A.S. Dewi, Ph.D (Pembina)
Vrameswari Omega W., M.Si (Han) (Ketua)
Stanislaus R. Apresian, M.A. (Anggota)
Bella Dewanti (2016330098) (Anggota)
DAFTAR ISI................................................................................................................................... 2
ABSTRAK ...................................................................................................................................... 3
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................................................. 4
I.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian ........................................................................ 4
I.2 Urgensi Penelitian .................................................................................................................. 7
I.3 Tujuan Penelitian dan Target Luaran ..................................................................................... 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................... 9
BAB III. METODE PELAKSANAAN ........................................................................................ 14
BAB IV. JADWAL PELAKSANAAN ........................................................................................ 17
BAB V. HASIL PEMBAHASAN ................................................................................................ 18
V.1 Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Negara Kepulauan Pasifik: Sebuah Perilaku
Adaptif....................................................................................................................................... 18
V.2 Keterlibatan Indonesia di Kawasan Kepulauan Pasifik: Tantangan dan Peluang .............. 22
KESIMPULAN ............................................................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 28
ABSTRAK
Kajian ini merupakan tahap lanjutan dari penelitian sebelumnya yang telah membahas tentang
kolaborasi antara Indonesia dengan Negara-Negara di Kepulauan Pasifik untuk mengatasi
tantangan lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis nilai strategis kawasan
Kepulauan Pasifik bagi Indonesia, mengidentifikasi dan mengevaluasi kebijakan luar negeri yang
diterapkan selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-awal 2019) di kawasan ini,
memetakan tantangan-tantangan dalam implementasi kebijakan luar negeri dan mengidentifikasi
peluang yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia selanjutnya dalam meningkatkan posisi
tawarnya di region ini. Analisis kebijakan luar negeri ini akan mengadopsi model apatif yang
dikembangkan oleh James Rosenau. Target penelitian ini adalah publikasi jurnal nasional
terindeks SINTA atau jurnal internasional, rujukan untuk mata kuliah wajib Analisis Kebijakan
Luar Negeri dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia, dan hasil temuan ini dapat digunakan sebagai
pertimbangan kebijakan kepada Direktorat Kerja Sama Intrakawasan dan Antarkawasan Asia
Pasifik dan Afrika, Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan
data melalui studi literatur dan wawancara mendalam. Penelitian ini berlangsung dari Januari-
November 2019 yang dibagi ke dalam 5 tahap, antara lain, pre-eliminary research, pengolahan
data awal, wawancara, analisis data, dan penyusunan laporan penelitian.
Kata kunci: kebijakan luar negeri, Indonesia, Kepulauan Pasifik, model adaptif
BAB I. PENDAHULUAN
1 Forum Pasifik Selatan saat ini telah bertransformasi menjadi Forum Kepulauan Pasifik maka selanjutnya dalam kajian ini
menggunakan istilah Negara-Negara Kepulauan Pasifik untuk merujuk negara-negara di kawasan Pasifik Selatan. Istilah ini masih
diperdebatkan karena pertimbangan stigma posisi asimetris terhadap negara-negara selatan sebagai negara ketiga
21). Namun, pergulatan domestik dan lemahnya pemerintahan negara-negara di Kepulauan Pasifik
menjadi sebuah persoalan tersendiri yang dapat berdampak pada ketidakstabilan kawasan. Hal ini
kemudian memunculkan persepsi di masyarakat internasional, termasuk Indonesia bahwa
kawasaan Kepulauan Pasifik rawan terhadap gejolak politik domestik (Bandoro, 2014: 22).
Sebagai contoh, sistem pemerintahan Vanuatu memperbolehkan parlemen untuk mengajukan mosi
tidak percaya terhadap Perdana Menteri apabila suara mayoritas lebih unggul. Akibatnya, dalam
kurun waktu dari tahun 2008 hingga 2018 telah terjadi 13 kali pergantian kepemimpinan. Kondisi
ini berimplikasi pada pendekatan yang harus diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menjalin
relasinya dengan Vanuatu termasuk dengan negara-negara lain.
Selain itu, hubungan Indonesia yang dibangun dengan negara-negara di Kepulauan Pasifik
tidak hanya disorot dari kerja sama ekonomi saja tetapi lebih banyak dari perspektif politik. Hal
ini berkaitan erat dengan sensitivitas kawasan ini terhadap isu domestik Indonesia terkait dengan
masalah Papua sehingga menjadi faktor pendorong utama mengapa kawasan ini patut
dipertimbangkan dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Sentimen beberapa negara di Kepulauan
Pasifik tercatat dalam beberapa kali disampaikan melalui forum-forum Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB). Negara-negara seperti Vanuatu dan Kepulauan Solomon secara asertif mendukung
kemerdekaan Papua, yang merupakan bagian dari wilayah Indonesia. Dukungan ini memunculkan
ancaman terhadap kedaulatan Indonesia yang ditempatkan sebagai kepentingan nasional yang
paling vital. Manuver yang dilakukan oleh United Liberation Movement of West Papua (ULMWP/
kelompok diaspora pendukung kemerdekaan Papua) yang terus melobi organisasi regional di
kawasan Kepulauan Pasifik, Melanesian Spearhead Group (MSG) untuk memperoleh
keanggotaanya dalam organisasi ini turut mendorong keterlibatan lebih aktif pemerintah Indonesia
dalam berbagai forum di kawasan ini guna menangkal dukungan separatis Papua.
Keterlibatan Indonesia di kawasan Kepulauan Pasifik dapat dimulai dari keikutsertaanya
dalam berbagai forum multilateral seperti PIF (Pacific Islands Forum), MSG, SwPD (Southwest
Pacific Dialogue), PIDF (Pacific Islands Development, Forum), dan lain-lain. Mekanisme
diplomasi melalui jalur bilateral pun terus diupayakan dengan memperkuat kerja sama dalam
bidang ketahanan pangan, pendidikan, good governance, lingkungan, manajemen bencana, dan
sosial-budaya. Berbagai bantuan juga pernah diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada
beberapa negara di kawasan Kepulauan Pasifik, diantaranya, bantuan pembangunan dan
kemanusiaan sebagai bagian dari pendekatan soft power. Menghadapi konstelasi perpolitikan di
Kepulauan Pasifik menuntut Indonesia secara berkesinambungan untuk mengikuti perkembangan
yang terjadi di kawasan ini dan sebagai bentuk upaya dalam menunjukkan konsistensi pemerintah
dalam mengimplementasikan kebijakan look east policy.2 Selain itu, Indonesia juga membutuhkan
strategi untuk mencapai apa yang menjadi tujuan nasionalnya di kawasan Kepulauan Pasifik.
Penelitian ini berfokus pada implementasi kebijakan luar negeri Indonesia di kawasan Kepulauan
Pasifik selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam periode 2014-2019.
2Seperti yang ditulis oleh Bantarto Bandoro (2014), kebijakan look east policy yang dilaksanakan oleh Indonesia tidak hanya
menunjukan bahwa Indonesia bagian dari Asia Tenggara tetapi juga bagian dari Pasifik termasuk sub-kawasan Kepulauan Pasifik
di bagian selatan.
mendukung roadmap penelitian Universitas untuk mencapai integrasi nasional dan harmoni sosial
serta pembangunan manusia dan daya saing bangsa.
Kajian pustaka yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat ditemukan dalam berbagai
literatur yang membahas tentang kebijakan luar negeri sebagai bagian sub-disiplin Hubungan
Internasional. Pengembangan teori kebijakan luar negeri ini tidak terlepas dari karya-karya buah
pemikiran Richard C. Snyder, H.W. Bruck, dan Burton Sapin yang membahas tentang
pengambilan keputusan sebagai sebuah pendekatan dalam studi politik internasional; James N.
Rosenau yang menuliskan tentang ‘Pre-theories and Theories of Foreign Policy’, dan Harold dan
Margareth Sprout yang membawa gagasan “psycho-milieu” dari individu atau kelompok menjadi
faktor penting dalam mempengaruhi pembuatan keputusan kebijakan luar negeri. Tiga buah karya
ini menginspirasi Valeria Hudson untuk mengembangkan kajian tentang Analisis Kebijakan Luar
Negeri.
Penelitian ini akan berangkat dari definisi-definisi yang telah dikembangkan terkait dengan
kebijakan luar negeri. Menurut Valerie Hudson kebijakan luar negeri adalah “strategi dan
pendekatan yang dipilih oleh pemerintah nasional untuk mencapai tujuannya dalam hubungannya
dengan entitas eksternal, termasuk keputusan untuk tidak mengambil apapun (Hudson, 2014: 4).”
Biasanya keputusan yang diambil dilihat sebagai upaya untuk memberikan pengaruhnya terhadap
aktor-aktor/ entitas eksternal tetapi ada kemunkinan juga keputusan ini ditargetkan kepada entitas
domestik namun memiliki konsekuensi terhadap pihak eksternal. Sementara itu, Christopher Hill
mengungkapkan “kebijakan luar negeri merupakan segala aktivitas eksternal resmi yang
dilakukan oleh aktor independen (biasanya negara, tetapi tidak eksklusif bagi negara saja (Hill,
2016: 4).” Berdasarkan dua definisi yang dikemukakan oleh Hill dan Hudson, ada tiga hal yang
ingin ditekankan. Pertama, kebijakan (policy) yang memiliki akar pada konsep pilihan di mana
negara harus menentukan tindakan atau membuat keputusan-keputusan untuk mencapai suatu
tujuan (Perwita & Yani, 2006: 48). Kedua, foreign yang bermakna bahwa kebijakan yang diambil
ditujukan ke luar wilayah negara dan menggarisi bahwa kebijakan yang diambil menunjukkan
adanya kontrol atau batasan terhadap kedaulatan yang dimiliki suatu negara. Ketiga, konsep yang
melekat pada kebijakan luar negeri tidak akan pernah terlepas dari kepentingan nasional sebuah
negara.
Menurut Bantarto Bandoro, kepentingan nasional dapat memiliki dua arti. Pertama, dalam
konteks politik internasional, yakni adanya kepentingan sebuah negara dalam arena global. Kedua,
kepentingan negara di level tertinggi pada politik-domestik yang merepresentasikan berbagai
kepentingan dari masyarakatnya (Bandoro, 2014: 80). Kepentingan nasional ini dapat terbagi ke
dalam beberapa tingkatan, tetapi yang paling vital adalah perlindungan teritorial dan integrasi
suatu negara. Kajian ini berangkat dari asumsi bahwa negara merupakan aktor yang rasional
sehingga dalam pengambilan keputusan harus mempertimbangkan pilihan-pilihan strategis (cost
and benefit) untuk mencapai kepentingan nasionalnya.
Meskipun literatur-literatur dalam studi hubungan internasional menuliskan dengan istilah
kebijakan luar negeri, UU RI Nomor 37 tahun 1999 yang mengatur tentang Hubungan Luar Negeri
menyebutnya sebagai politik luar negeri. Sesuai dengan Pasal 1 ayat 2, politik luar negeri dipahami
sebagai "kebijakan, sikap, dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam
melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum
internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan
nasional.” Namun, kajian ini akan menggunakan istilah kebijakan luar negeri untuk merujuk baik
pada keputusan maupun politik luar negeri sebagai bentuk konsistensi penulisan. Adapun konsep
perilaku kebijakan luar negeri yang juga akan dibahas dalam tinjauan pustaka ini. Konsep ini
mengacu pada serangkaian tindakan-tindakan dan kata yang dapat diamati dan digunakan untuk
mempengaruhi pihak lain dalam kebijakan luar negeri (Hudson, 2014: 12).
Seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf awal dari tinjauan pustaka ini, analisis
kebijakan luar negeri tidak terlepas dari pengaruh pemikiran Richard Snyder, dkk yang
berkontribusi terhadap proses pembuatan keputusan sebagai bagian untuk menjelaskan output dari
kebijakan luar negeri. Mereka menekankan pentingnya untuk melihat analisis pada level nation-
state. Snyder, dkk. melihat bahwa pembuatan keputusan sebagai suatu perilaku organisasional
yang memiliki faktor determinan, diantaranya, aktor-aktor yang terlibat, arus informasi dan
komunikasi, dan motivasi dari berbagai aktor (Snyder, Bruck, & Sapin 1954 dalam Smith, Hafield,
& Dunne, 2008: 13). Berbeda dengan Harold dan Margareth Sprout yang menyatakan bahwa
kebijakan luar negeri hanya dapat dijelaskan dengan mengacu pada konteks piskologis, situasional,
dan sosial dari individu-individu yang terlibat dalam pembuatan keputusan (Harold & Sprout 1957
dalam Smith, Hafield, & Dunne, 2008: 14). Sementara itu, James Rosenau mengembangkan teori
yang menjelaskan perilaku dari aktor spesifik sebagai pembuat keputusan sebagai sebuah ‘middle
range theory’. Rosenau pun mengembangan teori kebijakan luar negeri ini lebih lanjut dengan
membuat model adaptif dalam analisis kebijakan luar negeri yang digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2. Model Adaptif Kebijakan Luar Negeri
External Change
Leadership
Sumber: James N. Rosenau. 1974. Comparing Foreign Policy: Theories, Findings, and Methods. New York: Sage
Publication, hlm. 47
Menurut Rosenau, model kebijakan luar negeri di atas merupakan hasil dari implikasi
perubahan yang terjadi di lingkungan luar serta internal (perubahan struktural) yang diamati
menurut jangka waktu tertentu. Selain itu, faktor kepemimpinan dari pengambil keputusan
merupakan variabel lain yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara.
Menggunakan perspektif ini, negara dipandang sebagai suatu entitas yang akan selalu melakukan
adaptasi terhadap lingkungannya (Perwita dan Yani, 2006: 67). Adaptasi yang dilakukan oleh
negara merupakan respons terhadap lingkugan eksternal dan internalnya. Asumsi yang diambil
dari model adaptif ini yaitu ketika perkembangan di lingkungan eksternal dianggap memiliki
potensi ancaman bagi integritas dan harmonisasi suatu bangsa maka pembuat keputusan akan
berupaya untuk menekan risiko dan memaksimalkan peluang dengan mempertimbangkan kondisi
yang dihadapinya. Dengan demikian, kajian ini selanjutnya akan mengadopsi model adaptif ini.
Tinjauan pustaka selanjutnya secara spesifik mengulas kebijakan luar negeri yang
dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Menurut Donald E. Weatherbee, orientasi kebijakan luar
negeri Indonesia di masa pemerintahan Joko Widodo mengalami perubahan jika dibandingkan
dengan pendahulunya, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di bawah Presiden
SBY, kebijakan luar negeri yang diambilnya mencerminkan karakter ‘high profile’ yang
menunjukkan kekuatan Indonesia sebagai ‘middle power country’ dengan secara aktif terlibat
dalam berbagai forum mulitilateral dan peristiwa internasional (Weatherbee, 2017: 163). Indonesia
berupaya untuk mencapai status sebagai pemimpin di kawasan Asia Tenggara melalui keterlibatan
aktifnya dalam organisasi ASEAN tetapi juga mencoba untuk mengambil posisi dan peran yang
lebih kuat dengan keikutsertaannya pada high level forum dalam APEC, G-20, dan PBB (Poole
2015 dalam Roberts, et.al., 2015: 7). Seperti yang diungkapkan oleh Amitav Acharya, di bawah
kepemipinan SBY, Indonesia dipandang sebagai regional power dengan kepentingan dan
perhatian global (Acharya, 2014: 164). Sementara itu, menurut Weatherbee, Presiden Joko
Widodo terlihat tidak tertarik dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri kecuali dapat berkontribusi
langsung pada kemaslahatan masyarakat Indonesia (Weatherbee, 2017: 164). Karena itu,
karakteristik kebijakan luar negeri Joko Widodo digambarkan bersifat inward-looking dengan
jargon pro-people diplomacy. Pendapat lain diungkapkan oleh Rosyidin yang menyatakan bahwa
Indonesia tetap melanjutkan kebijakan luar negeri yang aktif tetapi dengan tingkat keterlibatan
yang lebih rendah dibandingkan dengan era sebelumnya. Sebagai contoh, Indonesia tetap menjabat
sebagai ketua IORA (the Indian Ocean Rim Association) dari tahun 2015-2017, meratifikasi
Perjanjian Paris pada tahun 2016, menyelenggarakan Bali Democracy Forum (BDF), dan
mengirimkan sejumlah bantuan kemanusiaan bagi orang-orang Rohingya, termasuk ke kawasan
Pasifik. Bagi Presiden Joko Widodo, Indonesia merupakan regional power dengan keterlibatan
global yang selektif (Rosyidin, 2017: 176). Transformasi kebijakan luar negeri yang ingin
dilakukan oleh Presiden Joko Widodo ditujukan untuk memberikan kontribusi langsung terhadap
masyarakat domestik dan kepentingan nasional Indonesia.
Hasil penelitian sebelumnya yang berjudul Kolaborasi antara Indonesia dengan Negara-
Negara Kepulauan Pasifik dalam Mengatasi Tantangan Lingkungan menemukan bahwa masalah
keamanan lingkungan seperti bencana alam masih merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh
Negara-negara Kepulauan Pasifik. Tantangan-tantangan tersebut semakin meningkat ketika
negara- negara di kawasan ini hanya memiliki anggaran, sumber daya manusia, dan kapasitas
untuk melakukan mitigasi dan adaptasi yang terbatas. Sebagai negara yang sudah dikategorikan
sebagai middle income country dan memiliki pengalaman dalam menanggulangi bencana alam,
mengirimkan bantuan kemanusian, dan memilki kemampuan teknologi terkait early warning and
monitoring system, melalui kerangka kerjasama selatan-selatan dan triangular, Indonesia telah
memasukkan Negara-negara Kepulauan Pasifik sebagai prioritas penerima bantuan luar negeri dari
Indonesia khususnya untuk manajemen bencana dan sektor adaptasi perubahan iklim. Kolaborasi
antara Indonesia dengan Negara-negara Kepulauan Pasifik dinilai penting untuk meningkatkan
kapasitas dan pengalaman, berbagi ide dan teknologi untuk mengatasi tantangan keamanan
lingkungan, memberikan dukungan pembangunan berkelanjutan di Negara-negara Kepulauan
Pasifik dengan mengurangi resiko bencana melalui bantuan teknis, memperkuat hubungan
kedekatan antara Indonesia dan Negara-negara Kepulauan Pasifik, dan menunjukkan bahwa
Indonesia adalah bagian dari Kawasan Pasifik.
BAB III. METODE PELAKSANAAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan studi literatur dan
wawancara mendalam sebagai sumber informasi. Penelitian ini menggunakan metode analisis data
menggunakan model Miles dan Huberman. “Analisis data adalah proses mencari dan menyusun
seecara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan
lain agar dapat mudah dipahami dan hasilnya dapat diinformasikan kepada orang lain (Sugiyono,
2014: 332).” Analisis data dilakukan dengan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari
hasil wawancara dan studi literatur dengan cara mengorganisasikan data, menjabarkan ke dalam
unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih hal yang penting dan akan
dipelajari, dan membuat kesimpulan. Dalam penelitian kualitatif, analisis data juga berlangsung
selama proses pengumpulan data dan setelah selesai mengumpulkan data. Menurut Miles dan
Huberman, analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan terus-menerus hingga data jenuh
(Sugiyono, 2014: 332). Hal-hal yang dilakukan selama analisis data meliputi tiga elemen, antara
lain, data reduction, data display, dan menarik kesimpulan. Proses mereduksi data menjadi
penting dalam menganalisis data karena dalam penelitian kualitatif akan ditemukan data dengan
jumlah yang banyak sehingga perlu dipilih data mana saja yang relevan dengan penelitian ini.
Untuk itu, dibutuhkan proses untuk merangkum, memilih data pokok, dan membuat kategorisasi
(Sugiyono, 2014: 336). Tujuannya adalah mencari temuan yang relevan dan mampu menjawab
pertanyaan penelitian. Komponen selanjutnya adalah menyajikan data (data display) untuk
mencari hubungan antarkategori. Terakhir, penarikan kesimpulan yang merupakan hasil temuan
dalam penelitian ini.
Tujuan:
-Melakukan desk-study dan penelusuran data secara online
-Merancang outline penulisan
Lokasi:
Bandung (studi literatur/dokumen, media massa dan elektronik)
Tahap I Luaran:
Identifikasi output kebijakan luar negeri di kawasan Kepulauan Pasifik yang
dilakukan selama era Jokowi
Indikator capaian:
Laporan tahap 1 (Working Paper)
Alokasi waktu: 2 bulan
Tujuan:
-Mengolah data hasil desk-research
Lokasi:
Bandung
Luaran:
Tahap II Hasil studi literatur
Indikator capaian:
Kompilasi materi dan dokumen
Alokasi waktu: 3 bulan
Tujuan:
-Melakukan wawancara dan pengumpulan data yang lebih rinci
-Melakukan triangulasi data dengan mencocokkan antara data dari desk study (studi
literatur dan media massa) dengan data wawancara
Tahap III Lokasi:
Jakarta (Kementerian Luar Negeri; Kedutaan Besar Negara-Negara Kepulauan Pasifik
seperti Kedutaan besar Fiji, Kedutaan Besar Kepulauan Solomon, dan Kedutaan Besar
Papua Nugini; dan think thank seperti Centre for Strategic and International Studies)
Luaran:
Hasil wawancara
Indikator capaian:
Transkrip wawancara dan kompilasi materi dari dokumen resmi
Alokasi waktu: 3 bulan
Tujuan:
-Menganalisis data hasil studi literatur dan wawancara
Lokasi:
Bandung
Luaran:
Tahap IV -Analisis aktor-aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri
Indonesia di kawasan kepulauan Pasifik
-Analisis tantangan dan peluang kebijakan luar negeri Indonesia di Kepulauan Pasifik
Indikator capaian:
Working Paper
Alokasi waktu: 1 bulan
Tujuan:
-Penyusunan laporan penelitian
Lokasi:
Bandung
Luaran:
Tahap V Laporan Penelitian
Indikator capaian:
-Draft artikel
-Laporan Penelitian
Alokasi waktu: 2 bulan
Secara umum, penelitian ini akan dimulai dengan pre-eliminary research dengan
menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi literatur dan media massa serta elektronik.
Tahap selanjutnya adalah melakukan wawancara untuk mengumpulkan data lebih rinci dengan
berbagai pemangku kepentingan untuk menggali output kebijakan luar negeri Indonesia di
kawasan Kepulauan Pasifik dan juga aktor-aktor yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan.
Kemudian, akan dianalisis tantangan dan peluang dari kebijakan luar negeri yang dilakukan pada
masa pemerintahan Joko Widodo dalam jangka waktu 2014-awal 2019.
BAB IV. JADWAL PELAKSANAAN
Bulan
No Nama Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 Desk study
2 Pengolahan data desk study
Wawancara dan pengolahan data
3
wawancara
4 Analisis Data
5 Penyusunan Laporan
6 Diseminasi hasil penelitian
BAB V. HASIL PEMBAHASAN
V.1 Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Negara Kepulauan Pasifik: Sebuah
Perilaku Adaptif
Namun, kondisi politik domestik dan lemahnya tata kelola negara-negara di Kepulauan
Pasifik dapat memiliki dampak potensial pada ketidakstabilan regional. Selanjutnya, hal itu
menimbulkan persepsi masyarakat internasional, termasuk Indonesia bahwa populasi Kepulauan
Pasifik rentan terhadap gejolak politik domestik (Bandoro, 2014). Kondisi eksternal ini menjadi
alasan dalam membangun argumen kedua. Perubahan politik yang terjadi di beberapa negara
Kepulauan Pasifik berdampak pada kebijakan luar negeri Indonesia di wilayah ini. Misalnya,
sistem pemerintahan Vanuatu memungkinkan parlemen untuk mengajukan mosi tidak percaya
kepada Perdana Menteri mereka. Akibatnya, dalam kurun waktu 10 tahun, dari 2008 hingga 2018
telah terjadi 13 pergantian kepemimpinan di negara ini. Kondisi ini berimplikasi pada pendekatan
yang harus diambil oleh pemerintah Indonesia dalam memperkuat hubungannya dengan Vanuatu,
termasuk dengan negara lain. Pada 2011, pemerintah Vanuatu di bawah Perdana Menteri Sato
Kilman menandatangani Perjanjian Kerjasama Pembangunan Vanuatu-Indonesia. Ini dianggap
sebagai langkah penting untuk membangun hubungan yang konstruktif dengan Indonesia. Kedua
negara sepakat untuk menghormati integritas dan kedaulatan wilayah. Dengan kata lain, perjanjian
ini melarang pemerintah Vanuatu untuk mengganggu kedaulatan Indonesia atas masalah Papua.
Selanjutnya, perjanjian tersebut telah diratifikasi oleh Presiden Jokowi berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 31 Tahun 2016. Perjanjian ini tidak menjamin hubungan kedua negara. Justru,
kebijakan Ini berkontribusi terhadap serangan balasan di Port Villa dan ketidaksepakatan dari
pemerintahan baru di bawah Moana Carcasses Kalosil pada tahun berikutnya (Maclellan, 2015:
274). Kasus lain dari perubahan eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia di
kawasan Kepulauan Pasifik terjadi pada 2015, Sato Kilman, yang berubah jabatan menjadi Menteri
Luar Negeri Vanuatu, menunjukkan hubungan dekat dengan pemerintah Indonesia dengan
menyatakan keinginannya untuk membuka kedutaan di Jakarta (CNN Indonesia, 2015) . Namun,
pada tahun berikutnya, ketika Kilman berkuasa, parlemen Vanuatu mengusulkan mosi tidak
percaya kepadanya dan digantikan oleh Charlot Salwai.
Argumen ketiga dibangun atas dasar potensi ancaman eksternal terhadap struktur esensial
Indonesia. Hubungan Indonesia dengan negara-negara di Kepulauan Pasifik tidak hanya disorot
dari sudut pandang kerja sama ekonomi tetapi juga perspektif politik (Bandoro, 2014), terutama
terkait erat dengan sensitivitas wilayah ini terhadap masalah domestik Indonesia terkait dengan
masalah papua. Keadaan ini adalah faktor pendorong utama mengapa wilayah ini harus
dipertimbangkan dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Sentimen beberapa negara di Kepulauan
Pasifik terhadap masalah Papua disampaikan beberapa kali di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Negara-negara seperti Vanuatu dan Kepulauan Solomon secara tegas mendukung kemerdekaan
Papua, yang merupakan bagian dari wilayah Indonesia. Misalnya, pada sesi Dewan HAM PBB di
Jenewa, 4 Maret 2014, PM Moana Carcasses Kalosil mengangkat masalah pelanggaran HAM yang
terjadi di Papua sebagai bentuk solidaritas persaudaraan Melanesia (Republik Vanuatu, 2014a: 2).
Kalosil mengundang komunitas internasional untuk memberikan perhatian pada masalah HAM
yang terjadi di Papua sebagaimana yang dia nyatakan (Republik Vanuatu, 2014a: 2). Pada tahun
yang sama, Perdana Menteri baru, Joe Y. Natuman juga memiliki perhatian besar pada penentuan
nasib sendiri orang Papua seperti yang ia katakan dalam Majelis Umum PBB di New York pada
29 September 2014 (Republik Vanuatu, 2014b: 6). Serangkaian serangan terhadap Indonesia di
Forum PBB pun tidak berhenti, dalam Majelis Umum PBB di New York pada tahun 2017, PM
Vanuatu dan Kepulauan Solomon menyatakan dengan jelas untuk mendukung kebebasan orang
Papua, yang diangap masih mengalami kolonialisasi oleh pemerintah Indonesia (The Guardian
2017 ). Dukungan terhadap pemisahan Papua ini juga telah diberikan oleh Perdana Menteri
Tuvalu, Enele Sopoaga di Majelis Umum PBB ke-73 (The Guardian, 2018). Di tingkat regional,
Vanuatu juga pernah mempresentasikan Resolusi PBB untuk Papua Barat pada Pertemuan Komite
Ofisial Pacific Islands Forum (PIF) di Samoa 2018 sebagai acuan untuk diajukan dalam resolusi
Majelis Umum PBB tahun 2019. Namun, Australia, Papua Nugini, dan Fiji menyatakan keberatan
pada draft yang dirancang oleh Vanuatu (The Vanuatu Daily Post, 2018). Dukungan pada
penentuan nasib sendiri terhadap orang Papua jelas merupakan ancaman bagi kedaulatan Indonesia
yang ditempatkan sebagai kepentingan nasional yang paling vital.
Argumen keempat masih terkait dengan perkembangan di luar negeri yang mempengaruhi
perilaku adaptif Indonesia dalam menegakkan kebijakan luar negerinya di kawasan Kepulauan
Pasifik. Pada tahun 2015, ULMWP yang menyatukan tiga kelompok gerakan Papua, yaitu Dewan
Nasional Pembebasan Nasional Papua Barat, Republik Federal Papua Barat, dan Parlemen
Nasional Papua Barat melakukan manuver dengan cara mengajukan aplikasi untuk bergabung
dengan keanggotaan penuh MSG (Maclellan, 2015: 276). Kondisi eksternal ini telah mendorong
keterlibatan yang lebih aktif dari pemerintah Indonesia dalam berbagai forum di wilayah ini,
terutama untuk melawan dukungan diaspora separatis Papua.
Sebuah survei yang dikeluarkan oleh International Institute for Democracy and Electoral
Assistance menunjukkan bahwa dari tahun 1968-2013 ada 125 peristiwa yang menyebabkan
pergantiankepemimpinan di beberapa negara Kepulauan Pasifik yang meliputi Kiribati, PNG,
Kepulauan Solomon, Tuvalu, Vanuatu, dan Nauru. Pergantian pemimpin di enam negara ini terjadi
pada periode kepemimpinan rata-rata 12-36 bulan (International Institute for Democracy and
Electoral Assistance, 2015). Penyebab pergantian ini beragam, seperti pengusulan mosi tidak
percaya, pemilihan umum, pengunduran diri, kematian, dan lainnya. Kondisi ketidakpastian ini
mempengaruhi pendekatan Indonesia dalam membangun dan memperkuat hubungan dengan
negara-negara di Kepulauan Pasifik.
Tantangan kedua adalah sensitivitas isu kolonialisme di wilayah tersebut. Spirit untuk
menentang kolonialisme menjadi salah satu faktor utama dalam pembentukan paradigma
diplomasi yang baru bagi negara-negara di kawasan Kepulauan Pasifik (Fry dan Tarte, 2015: 3).
“Diplomasi Pasifik baru adalah langkah fundamental yang dilakukan oleh negara-negara
Kepulauan Pasifik yang independen untuk menciptakan sistem diplomatik pasca-kolonial" (Fry
dan Tarte, 2015: 3). Isu kemerdekaan dan kedaulatan menjadi elemen sentral dalam membangun
Forum Pasifik Selatan yang kemudian berganti nama menjadi Forum Kepulauan Pasifik. Sebagai
negara kepulauan kecil, para pemimpin PIC melakukan upaya serius untuk meningkatkan peran
mereka dalam urusan global dengan membentuk forum di tingkat regional. Ini adalah komitmen
baru untuk meletakkan kontrol mendasar negara-negara Kepulauan Pasifik dalam hubungan
diplomatik. Diplomasi Pasifik berupaya untuk mengambil posisi dan terlibat dalam arena global
untuk menegosiasikan berbagai masalah seperti perdagangan, pembangunan berkelanjutan,
perubahan iklim, masalah nuklir, dekolonisasi, dan perikanan (Fry dan Tarte, 2015: 5). Dalam
hubungannya dengan Indonesia, masalah kemerdekaan Papua adalah salah satu agenda yang terus
diperdebatkan oleh negara-negara di kawasan ini. Isu ini kemudian menjadi bagian dari diplomasi
Pasifik untuk mendorong dan menyelesaikan masalah dekolonisasi (Fry dan Tarte, 2015: 18).
Tantangan ketiga dalam memperkuat kemitraan dengan negara-negara di Kepulauan
Pasifik berasal dari faktor internal. Salah satu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia
dalam membangun hubungan yang kuat dengan negara-negara di Kepulauan Pasifik adalah
penyediaan berbagai pengembangan kapasitas dan bantuan teknis. Sayangnya, hingga makalah ini
ditulis Indonesia belum memiliki platform standar dalam memberikan bantuan sehingga terlihat
bantuan yang diberikan bersifat situasional. Sebenarnya, Indonesia telah memiliki kerangka
Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular, namun tidak ada lembaga bantuan khusus yang
menangani berbagai bantuan. Diskusi untuk memprakarsai Indonesia Aid sudah ada tetapi
realisasinya belum terjadi.3 Oleh karena itu, mekanisme standar dalam memberikan bantuan secara
permanen diperlukan untuk menunjukkan kehadiran Indonesia di kawasan Kepulauan Pasifik. Jika
dibandingkan dengan keterlibatan Tiongkok dalam kawasan ini, pemerintah Tiongkok
menyediakan berbagai bantuan melalui beberapa mekanisme. Program bantuan internasional
Tiongkok diberikan dalam tiga bentuk: hibah, pinjaman tanpa bunga, dan pinjaman lunak (Kaikai,
2015: 3). Program ini kemudian memiliki tujuan pembangunan yang berbeda-beda. Misalnya,
hibah diberikan untuk memberikan layanan sosial dengan membangun fasilitas pendidikan, rumah
sakit, dan memberikan bantuan teknis (Breslin 2013; Kaikai 2015). Bantuan pembangunan ini
tidak hanya menunjukkan hubungan antara Tiongkok dan negara-negara di kawasan Pasifik tetapi
juga untuk membuktikan komitmen mereka untuk mendukung pengembangan kawasan ini,
meskipun keterlibatan Tiongkok tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan nasional mereka.
Dalam hal ini, Indonesia dapat mengadopsi keterlibatan Tiongkok lebih lanjut dalam mendekati
negara-negara di kawasan Pasifik.
Meskipun ada tantangan, keterlibatan Indonesia di kawasan Pasifik juga memiliki peluang
besar. Pertama, dalam hal kerja sama ekonomi, Indonesia dapat memperluas pasar non-
tradisionalnya dengan menargetkan negara-negara di Pulau Pasifik. Berdasarkan data yang dirilis
oleh World Integrated Trade Solution (WITS), pada 2015-2017, Australia, Selandia Baru, dan
Papua Nugini (PNG) adalah tiga mitra dagang Indonesia terbesar di kawasan ini. Produk ekspor
Indonesia ke Australia juga bervariasi. Produk ekspor terbesar termasuk bahan baku, konsumen,
dan barang setengah jadi. Namun, total impor Indonesia dari Australia untuk bahan baku lebih
besar dari nilai ekspor yang mencapai 4 miliar dollar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2017.
3
Indonesia Aid baru saja terbentuk pada pertengahan Oktober 2019 setelah makalah ini ditulis.
Produk utama Indonesia ke Selandia Baru meliputi barang-barang konsumsi, produk
makanan, dan barang setengah jadi tetapi impor barang konsumen dan barang setengah jadi lebih
besar daripada ekspornya. Untuk PNG, barang konsumsi, barang modal, dan produk makanan
adalah produk ekspor utama Indonesia. Sementara itu, Fiji adalah mitra dagang terbesar keempat.
Nilai ekspor untuk barang-barang konsumen mencapai 12-16 juta dollar AS antara 2015-2017.
Barang-barang konsumen dan produk makanan menjadi produk ekspor utama Indonesia ke
Kepulauan Solomon dengan nilai yang cukup besar dibandingkan dengan negara-negara
Kepulauan Pasifik yang lain kecuali Australia dan Selandia Baru. Nilai ekspor untuk barang-
barang konsumen sendiri mencapai 8-11 juta dollar AS dalam waktu 3 tahun. Selain itu, ekspor
Indonesia ke Vanuatu tidak terlalu besar dengan nilai ekspor barang konsumsi dan sayuran sebagai
komoditas utama hanya mencapai 4 dan 1,5 juta dollar AS. Ekspor Indonesia ke Samoa antara
2015-2017 juga menunjukkan nilai yang tidak signifikan. Impor Kepulauan Marshall dari
Indonesia juga cenderung menurun antara 2015-2017. Tapi, yang menarik adalah impor Indonesia
di bahan baku, plastik atau karet, dan barang modal meningkat. Pada 2017, impor dari Pulau
Marshall ke Indonesia dalam bentuk barang modal mencapai 29 juta dollar AS sedangkan bahan
baku dan plastik atau karet mencapai 33 juta dollar AS.
Berdasarkan data ini, Indonesia memiliki peluang untuk menembus pasar dan
meningkatkan perdagangan dan investasinya di negara-negara Pasifik selain Australia dan
Selandia Baru. Barang-barang konsumen, produk makanan, dan bahan kimia dapat menjadi
produk terkemuka untuk memperluas pasar di kawasan Kepulauan Pasifik. Keterlibatan Indonesia
melalui sektor ekonomi di kawasan ini juga dapat digunakan sebagai upaya untuk memperkuat
kehadiran dan diplomasi Indonesia di kawasan ini khususnya terkait dengan masalah Papua. Juga,
Indonesia dapat mengambil kesempatan untuk menjelajahi sektor pariwisata untuk memperkuat
kerja sama ekonomi dengan negara-negara Kepulauan Pasifik. Kolaborasi di bidang pertanian,
perikanan, dan kesehatan juga dapat menjadi peluang besar untuk memperbesar kerja sama
ekonomi, melihat bahwa Indonesia memiliki kemampuan besar di sektor ini sebelum mencapai
sektor strategis lainnya. Namun, untuk meningkatkan hubungan perdagangan antara Indonesia dan
negara-negara Kepulauan Pasifik, penting untuk membangun konektivitas fisik terlebih dahulu
sebagai upaya mengurangi hambatan jarak. Konektivitas ini diperlukan karena memiliki dampak
langsung pada biaya tambahan barang dan jasa. Situasi ini dapat menjadi salah satu pertimbangan
bagi sektor bisnis untuk membuka pasar di negara-negara Kepulauan Pasifik. Faktor lain adalah
bahwa kondisi politik domestik di negara-negara Pasifik harus dapat mendukung lingkungan yang
ramah untuk bisnis dan investasi. Menciptakan dan memastikan lingkungan yang ramah bisnis
akan menarik lebih banyak perusahaan swasta untuk melakukan investasi dalam kawasan ini.
Kedua, posisi strategis Indonesia yang terletak antara Asia dan Pasifik dapat menjadi hub
bagi negara-negara di kawasan Pasifik. Gagasan membangun konektivitas dengan wilayah Pasifik
melalui wilayah timur Indonesia belum dioptimalkan sampai sekarang. Konektivitas ini menjadi
penting untuk mendukung kerja sama ekonomi antara Indonesia dengan negara-negara di kawasan
Pasifik. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia dapat melibatkan industri penerbangan untuk
membangun konektivitas fisik ini di masa depan. Ketiga, selain memperkuat konektivitas business
to business, Indonesia juga dapat memperkuat konektivitas people to people dengan meningkatkan
peran peneliti untuk melakukan penelitian bersama di sektor-sektor yang menjadi masalah umum
bagi negara-negara Kepulaun Pasifik seperti lingkungan, pertanian, dan perikanan dan juga
melibatkan Organisasi Non-Pemerintah dalam memberikan bantuan teknis dan peningkatan
kapasitas. Akhirnya, Indonesia dapat memiliki kesempatan untuk menjadi big brother yang secara
tradisional dimainkan oleh Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat di kawasan ini. Karena
alasan strategis, Indonesia dapat menjadi middle power di tengah pengaruh Cina dan Amerika
Serikat dan juga mengambil peluang dalam menghadapi kerja sama Indo-Pasifik sebagai tren
geopolitik yang sedang berkembang.
KESIMPULAN
Kebijakan luar negeri Indonesia di kawasan Pasifik memiliki tujuan utama untuk
melindungi integritas dan kedaulatan nasional yang diposisikan sebagai kepentingan utama
Indonesia. Kebijakan ini dianalisis sebagai bentuk adaptif sebagaimana dinyatakan oleh James N.
Rosenau, dalam upaya menanggapi perubahan eksternal yang terjadi di wilayah kepulauan Pasifik.
Hal ini terkait dengan masalah Papua, wilayah yang mencakup wilayah Indonesia, yang hingga
kini menjadi isu yang menarik perhatian negara-negara Kepulauan Pasifik karena sensitivitas
mereka terhadap dekolonisasi sebagai bagian dari diplomasi baru bagi negara-negara ini. Suara
negara-negara Kepulauan Pasifik ini yang berhubungan dengan masalah kedaulatan Indonesia
menjadi signifikan, dalam kaitannya dengan sistem one state one vote dalam forum multilateral
seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia
untuk terus berdiplomasi dengan negara-negara di kawasan ini, mulai dari memberikan capacity
bulding, kerja sama ekonomi, bantuan bencana, dan upaya Indonesia untuk menjadi associate
member di MSG hingga menentang ULMWP. Diperlukan kemauan politik yang kuat oleh
pemerintah Indonesia untuk meredam isu Papua di Pasifik, tetapi membangun konektivitas baik
dari aspek fisik maupun non-fisik juga perlu direalisasikan secara lebih serius untuk memperkuat
kehadiran Indonesia di kawasan ini sebagai bagian dari konsistensi Indonesia dalam menerapkan
kebijakan luar negerinya dan juga untuk mengambil kesempatan untuk mendapatkan kepentingan
ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Acharya, Amitav. 2014. Indonesia Matters: Asia’s Emerging Democratic Power. Singapore:
World Scientific.
Anwar, Dewi Fortuna. 2010. “The Impact of Domestic and Asian Regional Changes on Indonesian
Bandoro, Bantarto. 2014. Indonesia dalam Lingkungan Strategis yang Berubah. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Beasley, et al. 2013. Foreign Policy in Comparative Perspective: Domestic and International
Breslin, Shaun. 2013. “China and the South: Objectives, Actors and Interations.” Development
CNN Indonesia. 2015. “Vanuatu Berencana Buka Kedutaan Besar di Jakarta,” in CNN Indonesia,
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20150419173000-106-47729/vanuatu-
berencana-buka-kedutaan-besar-di-jakarta
Connely, Aaron L., 2014. Indonesian Foreign Policy Under President Jokowi. Sydney, Australia:
Fry, Greg and Sandra Tarte. 2015. “The New Pacific Diplomacy: An Introduction.” In The New
Pacific Diplomacy edited by Greg Fry and Sandra Tarte, 3-19. Acton, Australia: Australian
National University.
Hannesson, Rognvaldur. 2008. “The Exclusive Economic Zone and Economic Development in
Palgrave Macmillan.
Hudson, Valerie Hudson. 2014. Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary Theory
International Institute for Democracy and Electoral Assistance. 2015. Policy Brief: Leadership
Jakarta Globe. 2017. “Indonesia, Fiji Strengthen Relations on Trade, Security,” in Jakarta Globe,
https://jakartaglobe.id/context/indonesia-fiji-strengthen-relations-trade-security
Jaringan Pemberitaan Pemerintah. 2019. “Menlu Retno: ISPF Buka Era Baru Kerja Sama
Indonesia dan Pasifik Selatan,” in Jaringan Pemberitaan Pemerintah, last modified March
menlu-retno-ispf-buka-era-baru-kerja-sama-indonesia-dan-pasifik-selatan
Kaikai, Abu Bakarr. 2015. Seminar Paper Aid Policy and the Politics of Aid Opportunities and
Challenges of the Rise of Chinese Foreign Aid in the Pacific Island Countries. Nordestedt,
Maclellan, Nic. 2015. “Pacific Diplomacy and Decolonisation in the 21st Century.” In The New
Pacific Diplomacy edited by Greg Fry and Sandra Tarte, 263-281. Acton, Australia:
Marsudi, Retno L.P. 2019. “New Era of Indonesia-South Pacific Engagements,” in The Jakarta
Post, last modified March 21, 2019, accessed March 25, 2019
https://www.thejakartapost.com/academia/2019/03/21/new-era-of-indonesia-south-
pacific-engagement.html.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. 2015. Rencana Strategis 2015-2019. Jakarta:
---------. “Focus Group Discussion on Potential Economic Cooperation Between the Republic
Indonesia and the South Pacific Region”, Bandung, Indonesia, December 20, 2018
--------, “Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia.” Statement presented
by Retno L.P. Marsudi as Minister of Foreign Affairs of Republic of Indonesia at the annual
---------, “Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia.” Statement
Poole, Avery. 2015. “The Foreign Policy Nexus: National Interests, Political Values, and
Identity.” In Indonesia’s Ascent: Power, Leadership, and the Regional Order edited by
Roberts, Christopher B. et al. (eds.). 2015. Indonesia’s Ascent: Power, Leadership, and the
Regional Order. London: Palgrave Macmillan.
Rosenau, James N. 1970. “Foreign Policy as Adaptive Behavior: Some Preliminary Notes for a
--------. 1974. Comparing Foreign Policy: Theories, Findings, and Methods. New York: Sage
Publication.
Rosyidin, Mohamad Rosyidin. 2017. “Foreign policy in Changing Global Politics: Indonesia’s
Foreign Policy and the Quest for Major Power Status in the Asian Century.” South East
Smith, Steve, Amelia Hafield, dan Tim Dunne. 2008. Foreign Policy: Theories, Actors, and Cases.
Oxford: Oxford Univeristy Press.
Stringer, Kevin. 2006. “Pacific Island Microstates: Pawns or Players in Pacific Rim Diplomacy?”
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi. Bandung: Alfabeta.
The Diplomat. 2018. “What’s next for Indonesia Fiji Military Ties? ,” in The Diplomat, last
https://thediplomat.com/2018/08/whats-next-for-indonesia-fiji-military-ties/
The Guardian. 2017. “Melanesian Leaders Condemn UN for Turning ‘A Deaf Ear’ to West
Papua Atrocities,” in The guardian, last modified September 24, 2017, accessed
leaders-condemn-un-for-turning-a-deaf-ear-to-west-papua-atrocities
--------. 2018. “Indonesia Accueses Vanuatu of Inexcusable Support for West Papua,” in The
https://www.theguardian.com/world/2018/oct/03/indonesia-accuses-vanuatu-of-
inexcusable-support-for-west-papua
The Republic of Vanuatu, “Statement by The Right Honorable Moana Katokai Kalosil Carcasses
Prime Minister of The Republic of Vanuatu Before The High Level Segment of The Fifth
Statement devlivered by Hon. Joe Y. Natuman Prime Minister of Republic Vanuatu at the
69th Session of the United Nations General Assembly, New York, September 2014.
The Vanuatu Daily Post. 2018. “Vanuatu Presents Draft UN Resolution for West Papua to Pacific
Islands Forum,” in The Vanuatu Daily Post, last modified August 13, 2018,
http://dailypost.vu/news/vanuatu-presents-draft-un-resolution-for-west-papua-to-
pacific/article_f57f6701-d92b-5d82-b271-1d18fab80bb3.html
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Weatherbee, Donald. 2017. “Indonesia’s Foreign Policy in 2016: Garuda Hovering.” Southeast