Anda di halaman 1dari 44

POLITIK LUAR NEGERI IRAN DALAM MENGHADAPI SANKSI EMBARGO AS

PERIODE 2010-2013

LAPORAN PRAKTIKUM

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah Praktikum Profesi Studi Ilmu

Hubungan Internasional Program Strata-1 (S1)

Tahun Akademik 2020/2021

Disusun Oleh :

Renita Ramadani

172030039

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PASUNDAN

BANDUNG

2020
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Praktikum Profesi Hubungan Internasional

“POLITIK LUAR NEGERI IRAN DALAM MENGHADAPI SANKSI EMBARGO AS

PERIODE 2010-2013’’.

Disusun Oleh :

Renita Ramadani

172030039

Telah diujikan pada tanggal

……………………………………..

Menyetujui,

Pembimbing,

Taufik S.IP., MA.

NIDN :

Mengetahui,

Ketua, Ketua,

Jurusan Hubungan Internasional Laboratorium Hubungan Internasional

Drs. Dewi Astuti Mudji M.SI. Taufik, S.IP., M.A.

NIDN : NIDN : 0410099002


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia serta kesehatan

sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Hubungan Internasional, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan baik. Laporan Praktikum ini dibuat untuk memenuhi nilai

mata kuliah Praktikum.

Penulis menyadari banyak hambatan yang dihadapi dalam mengerjakan laporan

praktikum profesi. Namun, dengan segala keterbatasan akhirnya penulis dapat menyelesaikan

laporan praktikum profesi ini dengan hasil yang baik. Laporan praktikum profesi ini dapat

diselesaikan dengan baik tentu karena adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak. Diantaranya;

1. Drs. Alif Oktavian M.H. Selaku Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah membantu penulis untuk

mengembangkan potensi diri dan mengasah kemampuan akademis selama berada di

Universitas Pasundan.

2. Taufik S.IP., MA Selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan

pikirannya dalam membantu penulis untuk menyelesaikan laporan praktikum profesi ini

dengan baik dan benar. Penulis merasa sangat terbantu dengan bimbingan – bimbingan

yang dilaksanakan selama ini.

3. Taufik, S.IP., MA selaku Ketua Laboratorium Program Studi Hubungan Internasional

yang telah memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan laporan praktikum

profesi.
4. Orang tua dan keluarga yang selalu mendukung penulis dalam situasi dan kondisi apapun

sehingga mampu memberikan semangat besar bagi penulis.

Dengan adanya beberapa hambatan tentu menimbulkan kekurangan pada laporan

praktikum profesi ini, maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran, dan masukan

yang membangun bagi penulis dalam memerhatikan laporan praktikum profesi. Semoga kita

selalu dalam lindungan Allah SWT, aamiin.

Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Bandung, Januari 2021


Renita Ramadani

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS DIRI

Nama : Renita Ramadani

Tempat/Tgl Lahir : Sumedang, 30 Desember 1999

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Anak Ke : Kedua (2) dari dua (2) bersaudara

Alamat : Lingkungan talun kaler No. 3 RT 03 RW 07 Sumedang Utara,

Sumedang, Jawa Barat

No. Telp. : 082217628303

IDENTITAS ORANG TUA

Nama Ayah : Zulhafendi

Nama Ibu : Cucu Sumarni

Pekerjaan Ayah : Wiraswasta.

Pekerjaan Ibu : Wiraswasta.


Alamat : Lingkungan talun kaler No. 3 RT 03 RW 07 Sumedang Utara,

Sumedang, Jawa Barat

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

 TK KODIM : 2004-2005

 SDN TEGALKALONG 1: 2005-2011

 SMPN 1 SUMEDANG : 2011-2014

 SMAN 3 SUMEDANG : 2014-2017

 PASUNDAN UNIVERSITY 2017-2021


Abstrak

Semenjak berakhirnya perang dunia-II, Pengembangan nuklir menjadi suatu isu yang penting

antar negara di dunia Internasional. Salah satunya adalah pengembangan nuklir di Iran yang

menghadapi banyak hambatan salah satunya adalah Amerika Serikat. Hingga AS menjatuhkan

Sanksi Ekonomi yang bertujuan untuk pemberhentian pengembangan tenaga Nuklir di Iran.

Akan tetapi hal itu tidak memojokan Iran. Pada tahun 2010 merupakan tahun dimana embargo

AS ini semakin meningkat, yaitu pada saat pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad. Dimana

presiden Iran pada masa itu memulai kembali pengembangan tenaga nuklir yang sempat terhenti

sebelumnya, sehingga membuat Amerika kembali meningkatkan embargonya ke Iran. Hal ini

sangat menarik untuk diteliti, bagaiamana cara Iran bertahan di dalam sanksi ekonomi yang

diberikan AS. Dengan menggunakan teori Neo-Realisme akan membantu menjawab bagaimana

Iran bisa bertahan di tengah embargo yang dilakukan Amerika Serikat. Dalam penelitian ini

penulis menggunakan metode deskriptif, metode deskriptif ini merupakan metode penjabaran

dari sumber dan data yang sudah tersedia di buku-buku, internet, jurnal, koran, serta media-

media lainnya yang mendukung. Hasil dari penelitian ini adalah bagaimana Iran melakukan

pembentukan kebijakan luar negerinya. Tidak hanya presiden yang ambil adil dalam

pembentukan kebijakan luar negeri Iran tetapi ada juga pemimpin tertinggi di Iran yaitu

Khamenei.

Key Words : Iran, Embargo, Kebijakan Luar Negeri, Mahmoud Ahmadinejad, Khamenei.
Abstract

Since the end of World War II, nuclear development has become an important issue between

countries in the international world. One of them is nuclear development in Iran which faces

many obstacles, one of which is the United States. Until the US imposes Economic Sanctions

aimed at stopping the development of nuclear power in Iran. But that doesn't corner Iran. 2010

was the year when the US embargo increased, namely during the reign of Mahmoud

Ahmadinejad. Where the Iranian president at that time restarted the development of nuclear

power which had been halted before, thus making America again increase its embargo on Iran. It

is very interesting to study how Iran survives in the economic sanctions given by the US. Using

the theory of Neo-Realism will help answer how Iran can survive the embargo imposed by the

United States. In this research the writer uses descriptive method. This descriptive method is a

method of describing the sources and data that are already available in books, internet, journals,

newspapers, and other supporting media. The result of this research is how Iran makes its foreign

policy formation. Not only is the president taking a fair share in shaping Iran's foreign policy but

there is also the supreme leader in Iran, namely Khamenei.

Key Words : Iran, Embargo, Foreign Policy, Mahmoud Ahmadinejad, Khamenei.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hubungan AS dan Iran diwarnai dengan isu nuklir, dimana kedua negara ini sempat

bekerja sama dalam pengolahan uranium yang notabennya mampu diolah menjadi tenaga

nuklir. Program nuklir Iran dan Amerika Serikat akan memberikan Iran teknologi reaktor

nuklir atau melalui program “Atoms for Peace”. Program tersebut sebelumnya disampaikan

Eisenhower saat berpidato dalam Majelis Umum Perserikatan Bangsa–Bangsa (PBB) pada

Desember 1953 dan menjadi dasar perjanjian nuklir Iran dengan Amerika Serikat. Pada tahun

1970-an Iran bergabung dalam Non Proliferation Treaty (NPT) dan membentuk Atomatic

Energy Organization of Iran (AEOI) pada tahun 1974. Pengembangan program nuklir damai

Iran di dasarkan pada pasal 4 NPT yang berisikan “Semua Negara di dunia berhak

memanfaatkan tenaga nuklir secara damai dan wajib melaporkan semua kegiatan yang terkait

program nuklirnya kepada International Atomic Energy Agency”(Saragih, Lestari, & Muis,

2020)

Akan tetapi setelah terjadinya revolusi Islam Iran pada tahun 1979 yang dipimpin oleh

Ayatullah Khoemeini, hubungan Amerika Serikat dengan Iran memburuk. Seiring dengan

pengangkatan Khoemeini sebagai presiden Iran, Amerika Serikat tidak lagi membantu

program nuklir Iran dikarenakan telah ditemukannya pengayaan uranium bawah tanah di

Natanz dan Esfahan. Amerika Serikat juga menangguhkan kerjasama program nuklir dengan

Iran. (Street, Washington, & Cordesman, 2006)


Khomeini yang merupakan seorang anti Amerika, tentunya ia tidak ingin adanya campur

tangan Amerika lagi di negaranya. AS pun kemudian tidak diberikan kekuasaan untuk lebih

leluasa mencampuri urusan dalam negeri Iran. Bagi Khomeini Amerika merupakan negara

yang suka menindas negara lain. Selain itu adanya pengambil alihan kedutaan Amerika oleh

para mahasiswa yang turun ke jalanan dan menyebabkan pemutusan hubungan diplomatic

Iran dan Amerika. (Mushim Labib, et.all 2007)

Akibat kejadian itu, Amerika menjatuhkan sanksi kepada Iran setelah revolusi. Sanksi

Amerika pertama terhadap Iran tahun 1979. Kemudian Presiden Jimmy Carter mengeluarkan

perintah eksekutif yang menyita properti Iran di AS dan menyatakan bahwa “situasi di Iran

merupakan hal yang tidak biasa, dan ancaman luar biasa terhadap keamanan nasional,

kebijakan luar negeri dan ekonomi Amerika Serikat”. Sanksi yang diberikan AS yang

bertujuan untuk melemahkan perekonomian Iran, justru memperkuat Iran untuk semakin

mandiri dengan memenuhi berbagai kebutuhannya dengan memanfaatkan semaksimal

mungkin berbagai sumber daya yang dimilikinya. Kenyataan bahwa Iran merupakan negara

terbesar kedua penghasil minyak dunia, memberikan situasi sulit bagi penerapan sanksi

embargo tersebut. Akan tetapi situasi ini berubah seiring tahun. Dan pada tahun 1983

presiden Ronald Reagen menambahkan Iran ke daftar negara sponsor Terorisme setelah

serangan Hizbullah yang di sponsori Iran yang menewaskan 214 marinir AS di Beirut.

Semenjak tahun 1980-an sebenarnya Iran AS sudah melakukan embargo, akan tetapi pada

masa ini embargo dilakukan dengan alasan menekan sikap Iran yang dinilai mendukung

gerakan terorisme, tujuan lain dari sikap ini adalah untuk menekan kekuatas strategis Iran di

Timur Tengah. (Belfer Center, 2015)


Embargo AS semakin meningkat pada tahun 1990-an, presiden Bill Clinton pada tahun

1995 mengeluarkan dua perintah eksekutif yang melarang semua perdagangan dengan

Amerika dan investasi di Iran termasuk bidang perminyakan, dan juga melarang ekspor

barang Amerika ke Iran. Embargo ini dijatuhkan karena meningkatnya kekhawatiran

mengenai pengembangan senjata pemusnah massal dan dukungan untuk teorisme oleh Iran.

Karena ketiadaan dukungan luas dari Internasional mengenai sanksi ini, pada akhirnya

menjadikan Iran semakin memperkuat hubangannya dengan negara lain dalam hubungan

ekonomi dan perdagannya. Namun situasi menjadi berubah setelah tahun 2000-an, dimana

dukungan internasional atas sikap AS ini semakin kuat. Pada tahun 2003 Prancis, Jerman,

dan Inggris Raya mulai bernegosiasi dengan Iran. Selain itu Republik Islam diam diam

membangun fasilitas pengayaan uranium di Natanz dan juga membangun pabrik produksi air

berat di Arak. Namun menyusul terpilihnya Mahmoud Ahmadinejad sebagai presiden pada

tahun 2005, negosiasi gagal dan Iran mengakhiri penangguhan konversi uranium. (Belfer

Center, 2015)

Sanksi embargo ini semakin meningkat pada masa pemerintahan Mahmud Ahmadinejad,

mulai dari tahun 2005 hingga berakir pada tahun 2013. Hal ini dikarenakan pada

pemerintahan Ahmadinejad, Iran pertama kali mengejar strategi nuklir sekaligus mengadopsi

kebijakan luar negeri yang tegas untuk menetapkan Iran sebagai kekuatan regional di Timur

Tengah. (Rosenberg, Modrak, Hassing, Al-Turk, & Stohs, 1979)

Dapat dilihat sejak 2006-2010, Dewan Keamanan mengeluarkan enam resolusi yang

menargetkan program rudal nuklir dan balistik Iran. Sementara sanksi itu sendiri dibatasi

ruang lingkupnya, mereka memberikan justifikasi hukum internasional untuk sanksi yang

lebih ekspansif. Secara khusus, Resolusi 1929 mencatat “potensi hubungan antara
pendapatan Iran yang berasal dari sektor energinya dan kegiatan pendanaan nuklir sensitive

proliferasi.” Bahasan ini menyebabkan Eropa menargetkan sektor minyak dan gas Iran, dan

akhirnya membuka jalan penuh bagi Uni Eropa untuk embargo minyak Iran. (Belfer Center,

2015)

Ahmadinejad membuat kebijakan mengenai pengaktifkan kembali program

pengembangan nuklir. Program nuklir di Iran awalnya diperluas karena pendapatan minyak

di Iran yang tinggi. Ahmadinejad menjanjikan mewujudkan keadilan social dengan

“membawa kekayaan minyak ke meja masyarakat” hal ini membentuk “principal” yang

memandang program nuklir sebagai aset nasional yang paling penting dan menggabungkan

pengambil alihan pemerintah dengan mendukung kembalinya nurklir secara sepihak.

Akibatnya Iran menerima tiga sanksi di resolusi sanksi DK PBB internasional, terkait

nonproliferasi senjata nuklir dan ditambah dengan sanksi nonproliferasi unilateral AS dan

Multilateral UE yang ditargetkan dari 2006-2009 (Paper & Studies, 2014)

Presiden Ahmadinejad menolak resolusi sanksi DK PBB sebagai "selembar kertas

yang tidak berharga," dan Khamenei menyatakan, "kami tidak takut dengan sanksi Barat,"

karena "kami dapat menciptakan peluang dari ancaman ini." Para "pelaku utama" yang

berkuasa dan Khamenei menggunakan sanksi nonproliferasi yang ditargetkan, yang awalnya

mengecualikan pembatasan pada sektor energi, sebagai kesempatan untuk mempromosikan

kemajuan program nuklir.Di bulan Maret 2007, Khamenei mengacu pada rezim sanksi,

membangun narasi bahwa Barat sedang merencanakan untuk melawan kemajuan nuklir Iran

melalui sanksi ekonomi, militer, ancaman, tekanan politik, dan perang psikologis. Mengenai

dampak psikologis dari sanksi, ia menyatakan,


“Sanksi tidak bisa menjadi pukulan bagi kami. Bukankah mereka memberi sanksi kepada

kita sampai hari ini? Kami memperoleh energi nuklir di bawah sanksi; kami mencapai

kemajuan ilmiah di bawah sanksi; kami mencapai rekonstruksi luas negara di bawah sanksi.

Bahkan mungkin saja dalam kondisi tertentu sanksi menguntungkan kita; dari perspektif ini

mereka dapat meningkatkan ambisi kami.”

Sikap Iran di bawah Ahmadinejad yang bersikeras tentang permasalahan hak Iran

untuk mengembangkan nuklir damai mengakibatkan kondisi internal negeri Mullah itu

terisolasi, namun di bawah kepemimpinannya selama 2 periode mulai dari 2005-2009 dan

2009-2013, Iran menjalin kerjasama dengan Russia dan China dalam bidang pengolahan

nuklirnya. Selain itu politik luar negeri Iran yang baik, sehingga Iran mampu bertahan

ditengah tenakanan dan isolasi politik maupun ekonomi yang dilakukan oleh negara barat,

oleh karena itu hal ini menjadi pantas untuk dibahas dalam kajian hubungan Internasional

karena adanya kepentingan AS di kawasan yang menyebabkan AS megintensifkan sanksi

Embargo pada 2010 akan tetapi Iran tetap bertahan dibawah sanksi. Melihat meningkatnya

popularitas Iran pasca naiknya Ahmadinejad sebagai presiden, dimana Iran kembali menjadi

perbincangan pentas politik internasional melalui sikap Iran mengenai pengayaan uranium

serta kemampuan Iran untuk tetap melanjutkan pengaruh di kawasannya. (Sadeghi-

Boroujerdi, 2012)

Maka dari itu, dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan mendalam

terkait sanksi AS terhadap Iran, serta berupaya memberikan analisa mengenai Polugri Iran

dalam menghadapi tekanan embargo AS dan tetap menjadi pengaruh di kawasannya.

Penelitian ini akan menjelaskan kebijakan Polugri Iran yang menunjukan pengaruhnya di

kawasan meskipun dibawah tekanan Embargo ekonomi AS


1.2 Identifikasi Masalah

1. Bagaimana Iran mempertahankan dominasinya di kawasan Timur Tengah ditengah

Sanski Embargo AS ?

2. Bagaiman perkembangan kerjasama Iran di bawah Embargo AS ?

3. Bagaimana Polugri Iran dalam menghadapi sanksi Embargo AS ?

1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan dari identifikasi masalah yang sudah penulis paparkan, maka penulis perlu

membatasi masalah agar pembahasan dalam praktikum profesi ini lebih terfokuskan. Dalam

hal ini penulis membuat batasan masalah pada Politik luar negeri Iran dalam menghadapi

sanksi embargo periode 2010-2013.

1.4 Perumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang dan identifikasi masalah yang sudah dipaparkan di atas, maka

rumusan masalah yang diangkat oleh penulis adalah untuk “ Mengetahui bagaimana Politik

luar negeri Iran dalam menghadapi sanksi embargo dan mempertahankan pengaruh kawasan

ditengah sanksi AS”

1.5 Tujuan Penelitian

Dalam suatu kegiatan apapun yang dilakukan tentunya mempunyai tujuan yang hendak

dicapai, adapun beberapa tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaiman upaya Iran mempertahankan dominasinya di kawasan

Timur Tengah meskipun dibawah embargo AS

2. Untuk menganalisa bagaimana perkembangan kerjasama Iran dibawah Embargo AS


3. Untuk mengetahui bagaimana Politik luar negeri Iran dalam menghadapi sanksi Embargo

yang dijatuhkan oleh AS

1.6 Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang sudah ditulis diatas, adapun beberapa kegunaan dari

penelitian tersebut adalah sebagai berikut

1. Prasyarat kelulusan mata kuliah Praktikum dalam Program Studi Ilmu Hubungan

Internasional Universitas Pasundan;

2. Memberikan manfaat baik secara akademik mengenai kebijakan polugri Iran dalam

menghadapi sanksi embargo AS bagi masyarakat pada umumnya dan khusunya bagi

penulis dan mahasiswa lain yang sedang mencari referensi;

3. Secara khusus memberikan analisis kepada pembaca mengenai Polugri Iran dalam

menghadapi Sanksi Embargo AS pada periode 2010-2013

1.7 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

1.7.1 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif. Menurut

Whitney (1960), metode deskriptif adalah pencarian fakta interprestasi yang tepat.

Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyrakat serta tata cara yang

berlaku dalam masyarakat dan situasi-situasi tertentu, termasuk hubungan, kegiatan-

kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang

berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Tujuan dari penelitian

deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis,

factual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang

diselidiki. (Moh. Nazir, 2014)


1.7.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan peneliti dalam mendapatkan data

di lapangan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data

kualitatif. Metode kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat

postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai

lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik

pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat

induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih

menekankan makna pada generalisasi.(Sugiyono, 2012)

1.8 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di beberapa perpustakaan dengan tujuan untuk memperoleh data dan

informasi yang akurat untuk penelitian ini, yaitu:

1. Website Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pasundan Bandung

Jl. Lengkong Besar No. 68 Bandung, Jawa Barat 40261

2. Website Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Bandung (Dispusip Kota Bandung)

Jl. Seram No.2, Citarum, Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40115.

3. Website US DEPARTMENT OF THE TREASURY https://home.treasury.gov/policy-

issues/financial-sanctions/sanctions-programs-and-country-information/iran-sanctions
1.9 Jadwal dan Kegiatan Penelitian

Tabel 1 Jadwal dan Kegiatan Penelitian

Bulan & Minggu Novembe


NNO. September Oktober Desember Januari
Kegiatan r

Tahapan Persiapan :

1 a. Konsultasi Judul

b. Pengajuan Judul

Penelitian Lapangan :

a. Pengurusan Surat
2
Izin

b. Kepustakaan

3 Pengolahan Data

4 Analisa Data

5 Kegiatan Akhir :

a. Pelaporan

b. Persiapan & Draft

c. Perbaikan Hasil
Draft

d. Seminar Praktikum

1.10 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari empat Bab dimana setiap Bab terdiri dari Sub Bab yang disesuaikan

dengan pembahasan yang dilakukan. Adapun sistematika penulisan penelitian ini disusun

sebagai berikut:

 Bab I : Pendahuluan

 Merupakan Bab yang menjelaskan mengenai latar belakang, identifikasi masalah,

batasan masalah dan rumusan masalah. Di dalamnya juga disertakan tujuan dan

kegunaan penelitian, metode penelitian dan teknik pengumpulan data, serta

dimasukan lokasi hingga jadwal dan kegiatan penelitian, ditutup dengan

penjelasan sistematikan penulisan.

 Bab II : Tinjauan Pustaka

 Merupakan Bab yang memuat tentang kerangka teoritis atau kerangka konseptual

yang digunakan oleh penulis dalam menganalisis dan membahas masalah

penelitian.

 Bab III : Pembahasan


 Di dalam Bab ini akan diuraikan mengenai isi pemikiran atau hasil analisa

kolektif mengenai fenomena dan masalah yang ada, Bab ini adalah inti pokok dari

penelitian yang dilaksanakan.

 Bab IV : Penutup

 Bab akhir dari penulisan laporan penelitian praktikum ini yang di dalamnya

terdapat kesimpulan dari seluruh penelitian serta saran yang di butuhkan oleh

penulis agar penulis dapat membuat tulisan yang lebih baik kedepannya.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Neo-Realisme

Hegemoni merupakan hal yang penting bagi suatu negara karena adanya national interest, maka

diperkirakan kerjasama akan sulit terjadi sehingga dibutuhkan suatu hegemoni atau dapat disebut

juga sebagai dominasi kekuatan untuk mengatur stabilitas tersebut. Negara hegemon

menggunakan kekuatan untuk membuat aturan-aturan dan keputusan tertentu yang berfungsi

untuk menjaga stabilitas namun masih memerlukan adanya peranan negara lain terutama yang

berkekuatan besar. Negara dianggap sebagai actor yang dominan dikarenakan memiliki

kedaulatan, namun tetap melihat institusi dan organisasi internasional yang juga merupakan actor

dalam hubungan internasional. Neorealisme percaya bahwa strukturlah yang memberntuk

perilaku negara, karena struktur inilah yang menjadi primary Detereminant of State Behaviours,

negara lain atau lingkungan di sekitar negara itulah yang membentuk perilaku negara.
Dalam konteks paradigm Neorealisme, Kanneth Waltz melihat bahwa system internasional

adalah anarki yang berarti adanya physical force. Waltz percaya system internasional memiliki

sebuah stuktur yang bisa didefinisikan dengan tepat, dengan 3 karakterisktik penting yaitu :

1) Prinsip tatanan system

Prinsip tatanan internasional adalah anarkis, dengan tidak adanya otoritas apa pun yang mengatur

sikap negara-bangsa terhadap satu sama lain. Menurut Waltz, sifat anarkis sitem internasional

telah menjadi prinsip tatanan dalam beberapa abad, sebuah pola dalam hubungan internasional

dengan mempertahankan perubahan-perubahan hebat pada susunan internal negara-bangsa dalam

beberapa tahun ini.

2) Karakter unit dalam system

Menurut Waltz, karakter unit-unit dalam system itu identic atau dengan istilah lain, semua

negara dalam system internasional dibuat sama secara fungsional dengan tekanan struktur. Dunia

anarkis memaksakan suatu disiplin pada negara : mereka semua diminta untuk mencar keamanan

sebekum mereka bisa menunjukan fungsi lainnya. Akan tetapi secara fungsional sama, negara-

negara memiliki kemampuan yang jauh berbeda. Ada ketidaksamaan dan perubahan terus

menerus pada distribusi kekuasaan pada system internasional. Negara-negara memiliki kesamaan

dalam hal tugas yang mereka hadapi, meski kemampuan mereka dalam menuaikannya tidak

sama, perbedaannya terletak pada kemampuan, bukan fungsinya.

3) Distribusi kemampuan unit dalam system

Kemampuan masing-masing negara untuk mengejar dan mencapai bermacam-macam tujuan

bersama sesuai dengan tingkatan merka dalam system internasional, dan terutama kekuatan
relative mereka. Sebagai kunci untuk memahami sikap negara-negara, distribusi kekuasaan

dalam system internasional terlalu mendesak pertimbangan ideology atau faktor internal lain.

2.1.1 Balance Of Power

Balance of Power atau yang dikenal dengan perimbangan kekuatan merupakan salah satu

konsel Teori Realisme yang dikembangkan oleh Hans J Morgenthau. Morgenthau dalam

Sheeran (2000) menjelaskan bahwa system internasional yang anarki membuat negara-

negara harus mempertahankan dirinya dengan memperkuat internal. Kemudian lebih

lanjut, Waltz mengembangkan argument Morgenthau dengan berpendapat bahwa ada dua

syarat Balance of Power yaitu (1) Tatanan dunia yang bersifat anarkis dan (2) tatanan yang

dipenuhi oleh actor atau unit lain yang selalu ingin mempertahankan hidupnya. (Paul,

Fortman, & Wirtz, 2004).

Balance of Power mengacu pada suatu kondisi negara – negara kuat untuk

mencapai suatu keseimbangan atau equilibrium. Balance of power merupakan konsep dari

pemikiran Neorealisme. Menurut Mearsheimer yang dikutip dalam buku “Balance of

Power In World History” oleh Stuart J. Kaufman, Richard Little dan William C.

Wohlforth, negara – negara kuat (great powers) akan berusaha untuk mempertahankan

hegemoni mereka di dunia. Usaha – usaha negara ini untuk mempertahankan hegemoni

mereka bisa dilakukan dengan menyeimbangkan kekuatan negara mereka satu sama lain.

Mereka bersaing satu sama lain agar tidak ketinggalan, sehingga nantinya akan muncul

keseimbangan atau equilibrium. Namun sayangnya, konsep balance of power ini

mengakibatkan terjadinya arms race atau perlombaan senjata. Jika diartikan arms

race atau perlombaan senjata adalah usaha kompetitif terus menerus (secara militer) yang
dilakukan oleh dua atau lebih negara yang masing-masing memiliki kapabilitas untuk

membuat senjata lebih banyak dan lebih kuat daripada yang lain.

Menurut Kenneth Waltz dalam bukunya The Theory of International Politics:

“balance of power cenderung membentuk pola apakah beberapa atau semua negara

bertujuan untuk keseimbangan, atau apakah beberapa atau semua negara bertujuan untuk

mencapai dominasi universal”. Menurut T. V. Paul dalam bukunya yang

berjudul “Balance of Power and Practice in 21st Century” menyatakan balance of

power pada dasarnya terbagi atas 3 jenis, yaitu; 1). Hard Balancing, yang biasa terjadi

diantara negara-negara yang terlibat dalam persaingan intens atau konflik, sehingga mereka

terus memperbaharui kapabilitas militer mereka, 2). Soft Balancing, yang terjadi ketika

negara-negara berkembang pada umumnya mempunyai pemahaman keamanan yang

terbatas dengan satu sama lain untuk menyeimbangkan keadaan yang berpotensi

mengancam atau meningkatnya daya, dan 3). Asymmetric Balancing mengacu pada upaya

oleh negara-negara untuk menyeimbangkan dan ancaman tidak langsung yang ditimbulkan

oleh aktor subnasional seperti kelompok teroris. (Penim Walter, 2020)

2.3 Politik Luar Negeri

Politik luar negeri merupakan salah satu bidang kajian studi Hubungan Internasional.

Politik liar negeri merupakan studi yang kompleks karena tidak saja melibatkan aspek-aspek

eksternal, tetapi juga aspek-aspek internal suatu negara. Anak Agung Banyu Perwita dalam

bukunya pengantar Ilmu Hubungan Internasional mendefinisikan politik luar negeri sebagai

“action theory” yaitu aksi suatu negara dalam membentuk keputusan tindakan atau sikap yang

ditunjukan ke negara lain dengan tujuan utama untuk mencapai suatu kepentingan tertentu.

Secara teoritis, politik luar negeri adalah seperangkat pedoman untuk memiliki kebijakan yang
ditunjukan ke luar wilayah suatu negara. Politik luar negeri ini juga merupakan perangkat yang

digunakan untuk mempertahankan ataupun mengupayakan kepentingan nasional dalam pentas

politik internasional. Negara biasanya mengupayakan hal tersebut melalui strategi atau rencana

yang dibuat oleh para pengambil keputusan, keputusan ini lah yang nentinya disebut sebagai

kebijakan luar negeri. (Perwita, 2005)

Menurut Rosenau, pengertian kebijakan luar negeri yaitu upaya suatu negara melalui

keseluruhan sikap dan aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari

lingkungan eksternalnya Kebijakan luar negeri menurutnya ditujukan untuk memelihara dan

mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara. Lebih lanjut, menurut Rosenau, apabila kita

mengkaji kebijakan luar negeri suatu negara maka kita akan memasuki fenomena yang luas dan

kompleks, meliputi kehidupan internal (internal life) dan kebutuhan eksternal (eksternal needs)

termasuk didalamnya adalah kehidupan internal dan eksternal seperti aspirasi, atribut nasional,

kebudayaan, konflik, kapabilitas, institusi, dan aktivitas rutin yang ditujukan untuk mencapai dan

memelihara identitas sosial, hukum, dan geografi suatu negara sebagai negara-bangsa. Pada

dasarnya kebijakan luar negeri merujuk pada fenomena proses dimana negara-negara berupaya

memenuhi kepentingan nasionalnya dalam masyarakat global. Kebijakan luar negeri muncul

sebagai suatu fenomena sosial karena setiap negara tidak dapat memenuhi sendiri seluruh

kebutuhan-kebutuhan sosial, politik, dan ekonominya bila hanya mengandalkan sumber daya

yang terdapat di dalam teritorialnya sendiri. Oleh karena itu, pemerintah suatu negara pada

umumnya akan berupaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dipenuhinya

sendiri tersebut di luar batas-batas wilayah teritorialnya atau dalam berhubungan dengan negara-

negara lainnya pada arena internasional (Rosenau & Aydinli, 2005).


Tujuan kebijakan luar negeri sebenarnya merupakan fungsi dari proses dimana tujuan

negara disusun. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh sasaran yang dilihat dari masa lalu dan aspirasi

untuk masa yang akan datang. Tujuan kebijakan luar negeri dibedakan atas tujuan jangka

panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Pada dasarnya tujuan jangka panjang kebijakan

luar negeri adalah untuk mencapai perdamaian, keamanan, dan kekuasaan. Tujuan politik luar

negeri dapat dikatakan juga sebagai citra mengenai keadaan dan kondisi di masa depan suatu

negara dimana pemerintah melalui para perumus kebijaksanaan nasional mampu meluaskan

pengaruhnya kepada negara-negara lain denganmengubah atau mempertahankan tindakan negara

lain. (Perwita, 2017)

2.4 Embargo

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Embargo memiliki arti berupa

penyitaan sementara terhadap kapal-kapal asing, misalnya pada waktu perang, dengan maksud

agar kapal-kapal itu tidak meninggalkan pelabuhan. Dan makna lainnya adalah larangan lalu

lintas barang (antar negara). Istilah Embargo juga diartikan sebagai larangan menyiarkan berita

sebelum waktu yang telah ditentukan. (Bahasa, 2020). Berdasarkan Camridge Dictionary

Embargo memiliki makna perintah untuk menghentikan sementara sesuatu, terutama

memperdagangkan atau memberikan informasi.(Dictionary Cambridge, 2020) Langkah ini

menjadi suatu alat yang ampuh untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri sebuah negara karena

hal ini menghambat pertumbuhan negara dengan terhambatnya perdagangan yang menjadi

aktivitas utama antar negara untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya.

Seperti yang diketahui bahwasanya Sanksi ekonomi telah menjadi alat hubungan

internasional yang umum. Dimana Memang, negara atau lebih umum, komunitas internasional

menggunakan sanksi ekonomi untuk menghukum dan mencoba mengubah perilaku kebijakan
negara target yang dianggap tidak pantas atau menyalahi aturan. Dalam literatur, para sarjana

membedakan dua jenis sanksi yang digunakan dalam hubungan internasional: sanksi positif dan

sanksi negatif. Sanksi positif berupa imbalan aktual atau yang dijanjikan (bantuan kemanusiaan,

pengurangan tarif atau penghapusan tarif, dan sebagainya) sedangkan sanksi negatif adalah

penggunaan atau ancaman penggunaan hukuman. Seperti yang diperhatikan Baldwin dalam

bukunya Economic Statecraft, kedua jenis sanksi tersebut merupakan sarana untuk menjalankan

kekuasaan dan khususnya untuk mendorong kerja sama antar negara (Baldwin, 1985, p.20)

dalam jurnal (Golliard, 2013).

Dalam kaitan dengan polugri, dengan melihat asumsi di atas harus dipahami bahwa

negara sebagai aktor utama harus menghadapi negara lain seperti bola biliar yang sedang

dimainkan di atas mejanya bergerak dan bertubrukan satu sama lain. Yang membuat konsep bola

biliar ini menarik adalah adanya perasaan ketidakamanan bersama antar negara dan ketiadaan

otoritas kekuatan politik yang disebut anarki di dunia internasional. Tindakan negara-negara

karena itu didorong oleh keinginan untuk survive atau mempertahankan diri dari ancaman yang

terus-menerus (Anugrah, 2019).


BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Dominasi Iran di Kawasan.

Setiap keseimbangan kekuatan regional sangat bergantung pada keterlibatan kekuatan-

besar dan cara-cara dimana kekuatan-kekuatan tersebut terlibat dalam sistem regional. Kekuatan

besar diperlengkapi dengan baik untuk mempengaruhi keseimbangan regional karena

kemampuan superior mereka dan ketergantungan aktor lokal pada sekutu yang lebih kuat.

(Barzegar, 2010) Kannet Waltz mengatakan “Power Begs to be balance” sambil dia

mempertahankan anggapan bahwa penyebaran teknologi nuklir ke Iran akan menstabilkan Timur

Tengah. Bagi Waltz dan ahli teori lainnya yang mendukung pandangan realis mengenai politik

internasional, Timur Tengah menghadapi dua tantangan untuk menjadi stabilitas masa depan

berdasarkan distribusi kekuasaan di antara negara-negara di dalamnya. (Alex Deep, 2018)

Iran telah menjadi sumber perhatian terhadap keamanan Teluk Persia karena tiga alasan

utama yaitu : ambisi nuklirnya, penduduknya di tiga pulau UEA (Pulau Abu Musa, Greater

Tunb, dan Tunb Kecil), campur tangan dalam urusan dalam negeri negara-negara teluk Arab dan

Irak pada umumnya. Terpilihnya Ahmadinejad tidak menjadikan Pereda keraguan tentang niat

Iran, meskipun pemilihannya disambut dengan optimism yang hati-hati. Dengan dimulainya

pemerintahan presiden Ahmadinejad untuk tugas resmi, banyak yang beranggapan bahwa

pemilihannya sebenarnya adalah kembalinya atmosfer revolusioner Iran di awal 1980-an.

Ahmadinejad dengan menuduh Israel sebagai ancaman ketika dia mengatakan bahwa: “Rezim

Zionis ini harus dihapus dari peta”. Dia ingin mengubah citra Iran yang digambarkan sebagai

ancaman oleh Barat dan Israel, dan untuk mengarahkan dunia Muslim dan mengingatkannya

pada musuh nyata mereka yang menduduki Yerusalem. Ahmadinejad menggunakan taktik
“populisme internasional” untuk memenangkan aliansi tidak hanya dunia Muslim, sebagai

negara Muslim yang bertanggung jawab atas kasus Palestina, tetapi juga dengan negara-negara

dunia ketiga yang anti-Amerika, anti- Barat. Langkah populis-internasional oleh Ahmadinejad

berfungsi sebagai upaya signifikan untuk memobilisasi dunia Muslim agar lebih kuat secara

internasional dan untuk mencegah saran AS untuk membangun aliansi dengan dunia Muslim

melawan Iran. Ahmadinejad mendukung langkahnya karena sejak menjabat dia telah

mengunjungi tujuh negara yang semuanya didominasi Muslim. Selain itu, “dia telah mengadakan

lebih dari 45 pertemuan di luar negeri, terutama dengan perwakilan dari negara-negara Muslim

yang dianggap tidak sopan, anti-Amerika atau anti-Barat di arena internasional (seperti

Venezuela & Kuba). Selain itu, dia telah berkomunikasi dengan lebih dari 52 pemimpin —

terutama di dunia Muslim tetapi juga dengan para pemimpin di Amerika Latin dan Afrika ”.

Bukan hanya itu, Peran konflik yang dimainkan Iran dalam revolusi Bahrain dan Suriah

membuat Iran sebagai (negara Islam) muncul dalam situasi yang kompleks dalam kaitannya

dengan dunia Islam dan hubungan internasional. Revolusi Suriah mengungkap bahwa Suriah

berada dalam aliansi yang kuat dengan Iran yang tidak terbatas pada hubungan politik atau waktu

yang terbatas. Jadi dalam hal mengakhiri penumpasan Suriah, sangat tidak terduga bahwa

Ahmadinejad mendukung sikap pemimpin dunia lainnya terhadap penumpasan tersebut dan

"menyerukan kepada Presiden Assad untuk mengakhiri penumpasan kekerasannya terhadap

pemberontakan yang menantang pemerintahan otoriternya di Suriah". Ahmadinejad

menunjukkan kepada dunia bahwa presiden menyadari apa yang terjadi di Suriah yang

bertentangan dengan pernyataan Khamenei tentang Suriah, bahwa yang terjadi bukanlah revolusi

dan bukan bagian dari pemberontakan Arab Spring.


Mengenai posisi pemimpin tertinggi di Suriah, di sisi lain Khamenei menyatakan bahwa:

Peristiwa di Suriah pada dasarnya berbeda dari yang terjadi di negara-negara lain di Timur

Tengah. Dengan mencoba mensimulasikan di Suriah peristiwa yang terjadi di Mesir, Tunisia,

Yaman, dan Libya, Amerika berusaha menciptakan masalah bagi Suriah, negara yang berada di

jalur perlawanan. Kebangkitan Islam di negara-negara kawasan bersifat anti-Zionis dan anti-

Amerika. Amerika dan Israel jelas terlibat dalam peristiwa di Suriah. Pergerakan rakyat Bahrain

mirip dengan pergerakan rakyat Mesir, Tunisia, dan Yaman, dan tidak ada gunanya membedakan

gerakan-gerakan serupa tersebut. Dapat dicatat bagaimana konflik internasional di sekitar Suriah

berkembang lebih seperti "orang sakit" di wilayah tersebut. Sebuah masalah yang bahkan jika

presiden Iran ingin menyelesaikannya sendiri, dia tidak akan dapat melakukannya karena

kekuatannya yang terbatas di dalam sistem pemerintahan. Juga, karena, masalah Suriah berada di

tangan Ayatollah Ali Khamenei dan (hingga saat ini) pemerintahan Presiden Hassan Rouhani

tidak memiliki suara di dalamnya. Meskipun Suriah menjadi semakin mahal bagi Iran, terutama

mengingat bahwa tidak ada prospek jangka pendek dari resolusi politik untuk krisis tersebut.

Suriah tetap menjadi komponen penting dalam kebijakan Iran untuk menjadi kekuatan yang

mendominasi di kawasan.

3.3 Hubungan Regional Iran

Hubungan Iran dengan negara-negara Arab telah menjadi rumit, sebagian dikarenakan Revolusi

Islam beberapa decade yang lalu, serta upaya terbaru oleh Amerika Serikat untuk membentuk

front persatuan melawan Iran atas masalah nuklir dan Perang melawan teror. Ahmadinejadi telah

mengupayakan rekonsiliasi dengan negara-negara Arab dengan mendorong perdagangan

bilateral dan sikap Iran agar masuk ke Gulf Cooperation Council (GCC). Di luar teluk Persia,
Ahmadinejad telah berusaha membangun kembali hubungan dengan negara-negara Arab lainnya

terutama Mesir.

 Suriah

Iran telah berada di lintasan peningkatan komitmen terhadap Suriah sejak pemberontakan

yang hampir menggulingkan rezim Bashar al-Assad mulai tahun 2011. Tidak ingin

kehilangan sekutu lama dan mekanisme pendukung kelompok proxy di Lebanon dan

Palestina, Iran telah bergantung pada Islam. Korps Pengawal Revolusi (IRGC), terutama

Pasukan Quds yang berorientasi eksternal, untuk mendukung rezim Suriah. Awalnya

didirikan untuk mempertahankan revolusi Islam di Iran dari ancaman internal dan

eksternal, IRGC telah berkembang dalam lingkup sebagai mekanisme politik dan militer

pilihan bagi Iran untuk memperluas pengaruhnya di Timur Tengah. (Alex Deep, 2018)

Iran secara terbuka menegaskan bahwa nasib Asad hanya ditentukan oleh rakyat Suriah

dan bukan oleh kekuatan luar, dan tindakannya tampaknya dirancang untuk menjaga

Asad tetap berkuasa tanpa batas waktu terlepas dari ideologi sekulernya. Iran

menganggap Asad sebagai sekutu utama karena (1) rezimnya berpusat di sekitar

komunitas Alawitnya, yang mempraktikkan versi Islam yang mirip dengan Syiah; (2) dia

dan ayahnya, yang memimpin Suriah sebelum dia, telah menjadi sekutu Arab terdekat

Iran; (3) Kerja sama Suriah adalah kunci untuk mempersenjatai dan melindungi sekutu

paling dihargai Iran di Timur Tengah, Hizbullah Lebanon; dan (4) Iran tampaknya

khawatir bahwa ISIS dan ekstremis Islam Sunni lainnya akan berkuasa jika Asad jatuh.

Iran berusaha memastikan bahwa kelompok ekstremis Sunni tidak dapat dengan mudah

menyerang Hizbullah di Lebanon dari seberang perbatasan Suriah. Baik Iran dan Suriah

telah menggunakan Hizbullah sebagai pengaruh melawan Israel untuk mencoba


mencapai tujuan regional dan teritorial. Pejabat dan laporan AS menegaskan bahwa Iran

memberikan dukungan material dalam jumlah besar kepada rezim Suriah. Ini secara

langsung menyediakan dana rezim Asad, senjata, dan penasihat IRGC-QF, dan

perekrutan Hizbullah dan pejuang milisi non-Suriah Syiah lainnya. 43 Iran adalah

diperkirakan telah mengerahkan sekitar 1.300-1.800 IRGC-QF, pasukan darat IRGC, dan

bahkan beberapa personel pasukan khusus tentara reguler ke Suriah, meskipun jumlah

pastinya mungkin agak berfluktuasi. (Katzman, 2016)

 Israel

Iran menegaskan bahwa Israel adalah ciptaan tidak sah dari Barat dan penindas rakyat

Palestina dan Muslim Arab lainnya. Posisi ini berbeda secara dramatis dari rezim Shah

Iran pra-1979, yang memelihara hubungan yang relatif normal dengan Israel, termasuk

kedutaan besar di ibu kota masing-masing dan jaringan hubungan ekonomi yang luas.

Pemimpin Tertinggi Khamene'i telah berulang kali menggambarkan Israel sebagai "tumor

kanker" yang harus disingkirkan dari wilayah tersebut.

Permusuhan terbuka Iran terhadap Israel — sebagian diwujudkan dengan dukungannya

bagi kelompok-kelompok yang melakukan aksi bersenjata terhadap Israel —

menimbulkan pernyataan oleh para pemimpin Israel bahwa Iran yang bersenjata nuklir

akan menjadi "ancaman eksistensial" bagi Negara Israel dan mendorong dukungan Iran

untuk faksi bersenjata di perbatasan Israel, seperti Hamas dan Hizbullah. Lebih luas lagi,

Iran mungkin mencoba mengganggu kemakmuran, moral, dan persepsi keamanan di

antara penduduk Israel dan merusak daya tarik negara itu bagi mereka yang memiliki

pilihan untuk tinggal di tempat lain. Posisi resmi Kementerian Luar Negeri Iran adalah
bahwa Iran tidak akan berusaha untuk memblokir pemukiman Israel-Palestina tetapi

prosesnya terlalu membebani Israel untuk menghasilkan hasil yang adil. Para pemimpin

Iran secara rutin menyatakan bahwa Israel menghadirkan ancaman strategis yang serius

bagi Iran dan bahwa komunitas internasional menerapkan "standar ganda" ke Iran

dibandingkan dengan persenjataan nuklir yang dianggap Israel. Diplomat Iran

menunjukkan dalam pertemuan internasional bahwa Israel tidak menghadapi sanksi,

meskipun menjadi satu-satunya negara Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir dan

tidak menjadi pihak dalam Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir. Para pemimpin Iran

menegaskan bahwa Israel adalah ancaman nuklir bagi Iran, mengutip pernyataan Israel

bahwa Israel mempertahankan opsi untuk menyerang fasilitas nuklir Iran secara sepihak.

Iran juga menegaskan bahwa persenjataan nuklir yang diklaim Israel adalah hambatan

utama untuk mencapai dukungan untuk zona bebas senjata pemusnah massal (WMD) di

Timur Tengah.

3.3 Politik Luar Negeri Iran dalam menghadapi Sanksi Embargo AS

Untuk menganalisis kebijakan luar negeri Iran, penting untuk membahas kunci dari

kekuatan yang mendorong kebijakan luar negeri Iran, yaitu ideology Wilayat Al-Faqih . yang

dimana ideology Khomeini memperngaruhi kebijakan luar negeri. Ideology menurut Hunt dalam

karyanya yang terkenal ideology and foreign policy is “an interrelated set of convictions or

assumptions that reduces the complexities of a particular slice of reality to easily

comprehensible terms and suggests appropriate ways of dealing with that reality”. Ideology

berkaitan dengan ide dan keyakinan, oleh sebab itu penting untuk mempertanyakan hubungan

yang terkait antara ide dan kebijakan dan bagaimana ide-ide tersebut dapat membentuk dunia,

lebih khususnya membentuk kebijakan luar negeri.


Di Repubilk Islam Iran, “ideology has a religious character which both reinforces its

mythical dimension and exempts decision-makers from presenting rational justification. It is the

will of Allah and it is what Islam wants are often used as justification”. Moreover, emphasizing

the word of Islam more than the word of Iran, does not necessarily obscure national interest,

and here comes the question of which one is in the service of the other. Is “Islam” the motivator

of Iranian foreign policy or Iranian “national interest”. meskipun penting utnuk memahami

ideology dalam kebijakan luar negeri Iran, akan tetapi hal itu tidak berarti memberikan wawasan

yang pasti tentang prilakunya. Ideology merupakan bagian penting karena merupakan kerangka

kerja dimana oembuat kebijakan menangani isu-isu spesifik.

Mengacu pada Max Weber, Goldstein dan Keohane bersikeras bahwa mereka tidak

membantah bahwa ide-ide daripada kepentingan (seperti yang ditafsirkan oleh manusia)

menggerakkan dunia. Sebagai gantinya, mereka menyarankan bahwa gagasan serta minat

memiliki bobot kausal dalam penjelasan tindakan manusia. Dengan menerapkan posisi Weberian

ke dalam konteks politik luar negeri, Carlsnaes juga sampai pada kesimpulan bahwa, sifat

ideologis dari kebijakan luar negeri sering kali dikontraskan dengan gagasan tentang

kepentingan, kedua hal ini tidak saling eksklusif tetapi justru sebaliknya. , hidup berdampingan

selama bertahun-tahun, meskipun dengan kecenderungan badan-badan kepentingan mengandung

badan-badan ideology.

Wilayat al Faqih adalah perwalian mutlak ahli hukum atas nama Imam Mahdi, atribut

kepemimpinan seperti itu mirip dengan para Nabi menurut keyakinan Syi'ah Dua Belas. Revolusi

Khomeini mempersiapkan jalan bagi ideologi revolusioner yang memiliki dimensi internal dan
eksternal. Dimensi internal adalah ideology Khoemeini yang menjadi acuan dalam pembentukan

kebijakan luar negeri, sedangkan Dimensi eksternal adalah pandangan dunia ideologi Khomeini

tentang posisi Iran dan hubungannya dengan sistem internasional, yang tertuang dalam konstitusi

Iran sebagai wacana rezim. Lebih jauh, ideologi agama Khomeini menekankan pentingnya

kebebasan dan kemerdekaan bukan hanya bangsa Iran tetapi juga bangsa Muslim dari belenggu

imperialisme. Khomeini, dari ideologinya, membentuk cara negara Iran akan mengadopsi

kebijakan luar negerinya, sebuah identitas Mahdi global, di mana ia menganjurkan Imperialisme

Islam untuk melawan imperialisme Barat.

Teori Khomeini mungkin berfungsi sebagai romantisme utopis yang menantang tatanan

dunia. Negara revolusioner memiliki kebijakan luar negeri revolusioner yang terungkap dalam

wajahnya yang agresif dalam penyanderaan di kedutaan AS di Teheran (4 November 1979),

yang berfungsi sebagai garis merah bagi intervensi imperialis di negara Iran. Sebagaimana

ditegaskan oleh konstitusi Iran dalam Pasal 152: “Kebijakan luar negeri Republik Islam Iran

didasarkan pada penolakan terhadap segala bentuk dominasi, baik pengerahan dan penyerahan

padanya, pelestarian kemerdekaan negara dalam segala hal dan integritas teritorialnya”.

(ALDosari, 2015)

Dapat dikatakan bahwa kepentingan Iran dalam politik luar negeri tidak cenderung beralih

atau melakukan perubahan yang substansial tetapi pada saat yang sama tidak akan identic dengan

visi dan prespektif kepresidenan Khatami, oleh karena itu, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad

berusaha membangun kembali rumah Iran dan urusan menghadapi lingkungan eksternal.

Ahmadinejad juga memaksa Iran dengan meningkatkan kekuatan militernya melalui kepemilikan

senjata nuklir dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitasnya untuk mendominasi pengaruhnya,
serta mengejar pertumbuhan ekonomi, ekspansi melalui maksimalkan pendapatan minyak,

menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan nasional, selain membangun masyarakat Islam

berdasarkan Syiah, membantu Muslim dan gerakan pembebasan mereka dimana mana, dan

melawan Israel, Amerika Serikat dan Barat.

3.3.1 faktor yang mempengaruhi pembentukan kebijakan luar negeri Iran

1) Wilayah geografis Iran

Wilayah geografis Iran diperkirakan 1649 juta kilo meter persegi. Posisi geografis

Iran berada di tengah-tengah benua Eurasia dan menjadi penghubung antar dua Teluk Arab

yang kaya akan energy, dan Laut Kaspia menonjol dalah pergerakan antara kekuatan-

kekuaran besar, Iran selalu mempengaruhi negara-negara secara global setiap perubahannya.

System internasional dan mempengaruhi perspektifnya. Situs penting Iran memainkan peran

dalam hubungan politik dan ekonomi dan peradaban antara Iran dan Teluk Arab. Iran

memainkan peran penting di timur tengah sepanjang sejarah sebagai kekuatan kekaisaran

sebagai pemain kunci dalam bentrokan antara Timur dan Barat, menjadi salah satu produsen

gas alam terbesar di dunia. Dengan runtuhnya Uni Soviet dan tidak adanya salah satu

kekuatan politik, itu merupakan penghubung yang sangat penting antara laut Kaspia dan

Teluk Persia, sebagai penghubung antara lima belas negara. Ini menunjukan pentingnya

kepemimpinan Geo-Ekonomi Iran. Sebagai titik sentral pasokan energy dunia, dan sebagai

penghubung antara pasar Asia tengah dan pasar Teluk Arab, muncul posisi geopolitik Iran

dalam membentuk koordinasi regional dan global menjadi faktor untuk mencapai tujuan

kebijaan luar negerinya.

2) Demografis
Studi demografis menunjukkan bahwa analis memperkirakan populasi Republik Iran

pada tahun 2030 kira-kira akan melebihi populasi gabungan negara-negara Teluk, misalnya

populasi Iran telah melemahkan populasi Irak, yang berarti Iran secara numerik lebih unggul

dalam populasi dibandingkan banyak negara lain. , memberi mereka rasa superioritas dan

inferioritas di negara-negara di kawasan itu, karena kepadatan penduduk.

3) Faktor ekonomi

Republik Islam Iran mempunyai potensi ekonomi yang dimanfaatkan secara efektif

dalam politik luar negerinya untuk menyoroti sumber daya ekonomi yang dapat digunakan

dalam kebijakan luar negerinya. Iran memiliki cadangan minyak tersbesar ketiga di dunia

dan berkapasitas 190 miliah barel senilai (8,8%) dari total cadangan dunia, menurut perkiraan

yang disiapkan oleh perusahaan minyak internasional dan pusat penelitian. Iran merupakan

produsen minyak terbesar kedua di Organisasi negara pengekspor minyak bumi (OPEC),

setelah Arab Saudi dengan perkiraan kuantitas (3,7) juta barel dialokasikan (2,4) juta barel

untuk ekspor dan sisanya untuk konsumsi lokal.

Produksi minyak Iran adalah sekitar (13,47%) Total produksi OPEC, termasuk Irak-

sekitar (4,84%) Dari total produksi dunia (76,53) juta barel per hari, perkiraan OPEC untuk

tahun 2002. Iran adalah yang terbesar kedua di dunia setelah Rusia dalam hal cadangan gas,

diperkirakan mencapai 26 triliun meter kubik, sekitar (15%) dari kewaspadaan universal, dan

dapat bertahan hingga (400) dari tingkat produksi saat ini. (Alex Deep, 2018)

3.3.2 Pembuatan kebijakan luar negeri Iran

Struktur pemerintahan Repukbik Islam Iran mempunyai lembaga tradisional

(agama) dan democrat, kedua lembaga tersebut berperan dalam kebijakan luar negeri dan

juga dalam proses pengambilan keputusan mengenai hubungan internasional. Kantor


utama yab=ng bertanggung jawab atas kebijakan luar negeri di Republik Islam Iran

adalah “ Pemimpin Tertinggi, Presiden, Dewan Wali, Menteri Luar Negeri, NSC, dan

Mejelis. Proses pengambilan keputusan atas RUU mulai dari Mentri Luar Negeri,

Presiden, NSC, dan yang terakhir pemimpin tertinggi, yang harus menandatangani semua

RUU tentang masalah kebijakan dalam negeri maupun luar negeri”.

Meskipun presiden dan jabatannya adalah badan utama yang mengerjakan

kebijakan luar negeri sejak tahun 1989, tetap saja pemimpin tertinggi adalah orang yang

memiliki persetujuan akhir tentang kebijakan luar negeri. Dengan demikian, institusi

agama yang diwakili oleh Pemimpin Tertinggi juga mengalahkan institusi demokrasi

(kantor presiden) dalam pembuatan kebijakan luar negeri Iran.

Menteri luar negeri akan melapor langsung kepada presiden di mana inisiatif

kebijakan dipantau di kantor presiden. Peran pemerintah adalah untuk menuntut

persetujuan Majelis dari semua perjanjian internasional yang dapat didiskusikan tetapi

pada saat yang sama tidak mengontrol proses eksekutif pengambilan keputusan kebijakan

luar negeri. Mengenai visi kebijakan luar negeri Iran, ada persaingan antara elit politik

(fraksi politik) yang mengadopsi ideology berbeda, atau mereka yang mungkin memiliki

pandangan berbeda tentang bagaimana Wilayat Al-Faqih dalam kebijakan luar negeri

seharusnya. Akan tetapi, ada dua kelompok utama elit politik Iran yang berkaitan dengan

pembuatan kebijakan luar negeri Iran : pertama Fraksi Konservatif, mereka yang

mengenepankan identitas revolusi Islam dan nilai-nilai Islam. Mereka ingin hubungan

yang baik dengan negara-negara Islam dan menentang pemulihan hubungan dengan AS.

Fraksi kedua yaitu Fraksi Pragmatis dan Reformis. Mereka menganjurkan agar Iran

memiliki peran kunci dalam hubungan internasional, perdagangan, dan ikatan politik
yang melindungi kepentingan negara, oleh karena itu bagi kaum Reformis tidak masalah

memiliki hubungan yang baik dengan AS. . Namun, keduanya sepakat pada tiga hal, yang

dapat dilihat sebagai prinsip fundamental rezim: kemerdekaan, kesetaraan, dan peran

yang lebih besar bagi Iran dalam hubungan internasional.

Para ahli menekankan sifat sistem pemerintahan akan berdampak pada

pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. Dalam rezim otokrasi perubahan dalam

kebijakan luar negeri datang dengan cepat, karena pemimpin oligarki menentukan

kebijakan luar negeri. para ahli juga menunjukkan bagaimana sifat sistem mempengaruhi

kebijakan luar negeri negara. Mereka menekankan bahwa tidak seperti rezim demokrasi

otokratis dan liberal, Iran yang digolongkan sebagai negara totaliter, juga akan

berdampak pada kebijakan luar negerinya, di mana kebijakan luar negeri dibentuk secara

ideologis. . Berdasarkan Mehadi Mozzafri dalam artikelnya "Islamist Policy", pemimpin

tertinggi memiliki kekuasaan tak terbatas sehingga keputusannya tentang kebijakan luar

negeri ditetapkan berdasarkan pembenaran ideologis.

Mozzafri mengemukakan diagram mengeai pembentukan kebijakan luar negeri Iran,

menjelaskan bahwa ideologi datang sebelum struktur kekuasaan dalam merumuskan


kebijakan luar negeri Iran. Meskipun demikian, kepentingan Dewan Pimpinan Tertinggi

atau lembaga pimpinan tertinggi diutamakan sebagai kekuatan di balik penerapan

ideologi tersebut, karena ideologi membutuhkan kekuatan.

Pentingnya House of the Supreme Leader dalam membentuk pengambilan

keputusan kebijakan luar negeri Iran tidak dapat diabaikan, karena itu merupakan

departemen kebijakan luar negeri House of Leadership. Lembaga ini memiliki peran

tertinggi dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri dan bekerja dengan

lembaga lain yang bekerja dalam mendukung tujuan ideologis rezim. Institusi pimpinan

tertinggi dan institusi pendukungnya yang mengerjakan kebijakan luar negeri

mencerminkan aspek ideologi dan kepentingan yang melekat pada institusi, atau dalam

bentuk kelembagaan. para peneliti mengungkapkan Gambar 2 di bawah ini, bagaimana

kebijakan luar negeri Iran dibentuk di Republik Islam Iran.


Dengan demikian, struktur kekuasaan mempengaruhi kebijakan luar negeri, atau

dapat dikatakan sebagai pemain utama dalam perumusan kebijakan luar negeri Iran.

Pemimpin tertinggi sebagai pemimpin oligarki adalah orang yang menyeimbangkan

antara ideologi dan kepentingan, bukan presiden atau bahkan menteri luar negeri, peran

mereka hanya mengedepankan atau melaksanakan keputusan akhir pemimpin tertinggi.

Rumah pemimpin tertinggi mencerminkan apa yang bisa disebut sentralisasi pembuatan

kebijakan. Karena House of the Supreme Leader adalah sebuah institusi, , maka “ada

interaksi antara kepentingan dan ideology, dalam pilihan dan keputusan manusia tidak

dapat dihindari oleh fakta saja bahwa endapan keduanya telah menjadi bagian integral

dari periode waktu yang lama.”

3.3.3 Kebijakan Luar Negeri Iran tahun 2010-2013

Ketika terjadi Revolusi Islam pada tahun 1979, semangat perang dingin

masih kuat di daerah tersebut. Sebagian besar negara termasuk dalam kubu

ideologis Timur atau Barat. Kemudian pada tahun 1979, para penguasa Iran

dipimpin oleh Khomeini, dan mencoba menciptakan kebijakan luar negeri Iran

yang berbunyi “Bukan Timur maupun Barat (tetapi) Republik Islam” hal ini

hampir tidak pernah terwujud karena Iran memiliki hubungan yang baik dengan

kubu Timur, terutama Rusia dan Cina. Kedua negara ini tetap menjadi sekutu

utama Iran hingga saat ini, bahkan jika negara tersebut juga memiliki agenda

politiknya sendiri.

Dalam beberapa pertemuan telah dilaporkan bahwa sudut pandang Khamenei

tentang kebijakan luar negeri Iran termasuk(Salehzadeh, n.d.) :

 Prinsip mengekspor revolusi


 Prinsip “tidak ada Dominasi”

 Mempertahankan keutuhan Islam dan Muslim

 Prinsip saling menghormati dan tidak mencampuri urusan negara lain

 Prinsip meniadakan penindasan dan mendukung yang tertindas

 Tidak ada prinsip timur, tidak ada prinsip Barat

 Membantu gerakan pembebasan

 Pemersatu umat Islam

 Hubungan berdasarkan prinsip Islam dan kemanusiaan.

Melihat kepada prinsip-prinsip di atas dimana Iran sudah tidak ingin negaranya di

dominasi oleh Barat maupun oleh Timur. Dan mempertahankan nilai-nilai Islam di

dalamnya dan mempertahankan keutuhan Islam di Iran. Seperti yang diketahui

bahwasanya Republik Islam Iran memelihara huhum Agama dan memiliki pengadilan

agamanya sendiri untuk menafsirkan semua aspek hokum. Konstitusi Republik Islam Iran

memajukan institusi budaya, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Iran berdasarkan

prinsip dan Norma Islam. Semua keputuasn resmi harus sesuai dengan Al-Qur’an dan

hukum Islam. (Salehzadeh, n.d.)


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kebijakan luar Negeri Iran sangat dipengaruhi oleh suatu ideology yang disebut dengan

Wilayat Al-Faqih, yang dimana ideology Khoemeini mempengaruhi suatu kebijakan luar negeri

Iran. Wilayat Al-Faqih adalah sebuah perwalian mutlak ahli hukum atas nama Imam Mahdi.

Ideologi Khoemeini menekankan pentingnya kebebasan dan kemerdekaan bukan hanya bangsa

Iran tetapi juga bangsa Muslim dari belunggu imperialism. Dari Ideologinya membentuk cara

negara Iran akan mengadopsi kebijakan luar negerinya, yaitu sebuah identitas Mahdi Global,

dimana ia menganjurkan imperalisme Islam untuk melawan Imperealisme Barat.

Dalam pembuatan kebijakan luar negeri, Iran mempunyai lembaga transnasional dan

democrat, kedua lembaga ini berperan dalam kebijakan luar negeri dan juga dalam proses

pengambilan keputusan mengenai hubungan internasional. Kantor utama yang bertanggung

jawab atas kebijakan luar negeri di Republik Islam Iran adalah Pemimpin tertinggi, Presiden,

Dewan Wali, Menteri, NSC, dan Majelis. Meskipun presiden dan jabatannya merupakan badan

utama yang menegerjakan kebijakan luar negeri sejak tahun 1989, akan tetapi tetap saja

pemimpin tertinggi adalah orang yang memiliki persetujuan akhir mengenai kebijakan luar

negeri. Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan kebijakan luar negeri Iran diantaranya

adalah Letak Geografis Iran, Demografi dan juga faktor Ekonomi.


Di sisi lain, Iran terus mempertahankan pengaruhnya di kawasan dengan ikut campur

tangan di dalam konflik Suriah, begitupun dengan Amerika dan Israel. Dapat dikatakan bahwa

campur tangan Iran di Suriah berada di tangan Ayatollah Ali Khamenei dan pemerintah Presiden

tidak memilik suara di dalamnya. Meskipun begitu, Suriah menjadi semakin berharga dimata

Iran, terutama mengingat tidak ada prospek jangka pendek dari resolusi politik untuk krisis di

Suriah. Maka dari itu Suriah menjadi komponen yang penting dalam kebijakan luar negeri Iran

untuk menjadi kekuatan yang mendominasi di kawasan.


Reference

ALDosari, N. R. (2015). Foreign Policy from Khatami to Ahmadinejad There is One Foreign

Policy in Iran, which is Khamenei’s Foreign Policy. World Journal of Social Science

Research, 2(1), 47. Retrieved from https://doi.org/10.22158/wjssr.v2n1p47`

Alex Deep. (2018). BALANCE OF POWER, BALANCE OF RESOLVE: HOW IRAN IS

COMPETING WITH THE UNITED STATES IN THE MIDDLE EAST. Retrieved from

https://mwi.usma.edu/balance-power-balance-resolve-iran-competing-united-states-middle-

east/

Anugrah, F. (2019). Dampak Kebijakan Embargo Negara Arab Terhadap Ekonomi Qatar.

Politeia: Jurnal Ilmu Politik, 11(2), 58–64. Retrieved from

https://doi.org/10.32734/politeia.v11i2.1151

Bahasa, I. K. B. (2020). Arti Kata Embargo.

Barzegar, K. (2010). Balance of power in the Persian Gulf: An Iranian view. Middle East Policy,

17(3), 74–87. Retrieved from https://doi.org/10.1111/j.1475-4967.2010.00452.x

Belfer Center. (2015). Sanctions Against Iran : A Guide to Targets , Terms , and Timetables.

Belfer Center for Science and International Affairs, Harvard Kennedy School, (April), 69–

88.

Dictionary Cambridge. (2020). EMBARGO. Retrieved from

https://dictionary.cambridge.org/us/dictionary/english/embargo

Golliard, M. (2013). Economic Sanctions: Embargo on Stage. Theory and Empirical Evidence.

Universitas Fribugensis & University of Tampere, (January), 1–127.

Katzman, K. (2016). Iran ’ s Foreign Policy.

Moh. Nazir. (2014). Metode Penelitian. Metode Penelitian.


Paper, W., & Studies, A. (2014). www.econstor.eu.

Penim Walter. (2020). Teori Neorealisme dalam konflik India-Pakistan. Retrieved from

https://www.seniberpikir.com/teori-neorealisme-dalam-konflik-india-pakistan/

Perwita, D. A. A. B. (2017). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.

Rosenau, J. N., & Aydinli, E. (2005). Introduction. In Globalization, Security, and The Nation

State: Paradigms in Transition.

Rosenberg, H., Modrak, J. B., Hassing, J. M., Al-Turk, W. A., & Stohs, S. J. (1979). No 主観的

健康感を中心とした在宅高齢者における 健康関連指標に関する共分散構造分析

Title. Biochemical and Biophysical Research Communications, 91(2), 498–501.

Sadeghi-Boroujerdi, E. (2012). Sanctioning Iran: Implications and Consequences. Oxford

Research Group, 1–23. Retrieved from

http://www.oxfordresearchgroup.org.uk/publications/briefing_papers_and_reports/

sanctioning_iran_implications_and_consequences

Salehzadeh, A. (n.d.). Policies IRAN ’ S DOMESTIC AND FOREIGN POLICIES, (49).

Saragih, H. M., Lestari, M. M., & Muis, N. (2020). Posisi Republik Islam Iran Dalam Program

Nuklir Dalam Perspektif Amerika Serikat. FOKUS Jurnal Kajian Keislaman Dan

Kemasyarakatan, 5(1), 1. Retrieved from https://doi.org/10.29240/jf.v5i1.1365

Street, K., Washington, N. W. S., & Cordesman, A. H. (2006). Iranian Nuclear Weapons ? The

Uncertain Nature of Iran ’ s Nuclear Programs. International Studies, 1(202), 1–111.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.Bandung:Alfabeta.

Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D.Bandung:Alfabeta. Retrieved from

https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Anda mungkin juga menyukai