Disusun Oleh :
130906059
2017
AanFourdesLubis (130906059)
ABSTRAK
AanFourdesLubis (130906059)
ABSTRACT
Indonesia's diplomatic relations with friendly countries especially with Malaysia was
formally established since 31 August 1957 when Malaysia declared its independence. In the
early days of bilateral relations, both countries experienced an era of confrontation in 1963-
1965. But with a far-sighted vision, leaders of both countries have taken a wise stance to
immediately restore relations and even pioneered the establishment of the ASEAN regional
organization in 1967. The uncertainty of state boundaries and territorial status is often a
source of dispute among nations adjacent or adjacent. The dispute arises from the application
of different principles to the determination of the boundaries of the continental shelf among
neighboring countries, causing a region of overlap which can cause disputes. Which is where
finally the judges of the International Court of Justice finally decided Sipadan and Ligitan
Islands became the jurisdiction of Malaysia.
The consideration of the judges of the International Court of Justice in winning
Malaysia is based on several factors: continuous presence, effective occupation, management
and conservation of nature. This is confirmed in the Report of International Court of Justice
August 1 to July 31, 2012, the decision of the International Court of Justice conducted
through bargaining or bargaining led by the presiding judge Gilbert Guillaume of France
who determined Malaysia has sovereignty over Sipadan and Ligitan islands. Thus Malaysia
is entitled to draw the base line as the boundary of its territory to the outermost point of
Pulau Sipadan and Pulau Ligitan.
This research tries to explain the diplomacy of Indonesia and Malaysia as well as the
settlement of ownership of Sipadan island and Ligitan island. This research is a type of
qualitative research using descriptive method. This research is kind of research literature
study. Sources of data used in this study are secondary data, obtained through books, internet
sites, journals, and others related to this research.
Dengan penuh kerendahan hati. Segala puji, hormat dan syukur penulis haturkan
kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan karuniaNya yang tak terhingga yang telah
diberikan oleh penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada kedua Orangtua
penulis, Bapak saya yang saya hormati Ikat Lubis dan Ibu saya yang saya cintai Dormauli
Parhusip, untuk cinta dan kasih, juga pengorbanan yang besar dalam mendidik dan
membesarkan saya selama ini, serta doa dan dukungan yang sangat besar kepada saya untuk
menyelesaikan skripsi ini. Dan juga kepada adik-adik saya tercinta Ipan Lubis dan Eka Rama
Messi Lubis.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang memerlukannya. Karena
penulis menyadari apa yang telah ditulis ini masih jauh dari kata memuaskan dan
kesempurnaan.
Dalam kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada :
Sumatera Utara;
selakuDekanFakultasIlmuSosialdanIlmuPolitik;
selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis. Terimakasih atas bimbingan dan arahan
dari Bapak sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Kepada seluruh Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP USU yang telah membagi
ilmunya kepada penulis, baik dalam hal akademik maupun kegiatan di luar akademik
yang akan penulis jadikan pengalaman yang berharga dan memanfaatkannya sebaik
mungkin.
5. Kepada seluruh kawan-kawan dari Ilmu Politik 2013 atas kebersamaannya selama ini.
Reynaldi Tua Utama Siregar, Sopiyan, Samuel Siregar, Vernanda, Rasyid, Haris
Afif, Fadli Ashyari, Arga Nugraha, Heri Laksana, Putri Epi, Novi Ardila, Fida, Kikin,
Indah Nurul Fajar, Nattaya, Nena, Angela. Dan juga kepada kawan-kawan lainnya
6. Kepada adik-adik stambuk 2014 dan 2015, terkhusus kepada Tomi Josua, Reynaldo,
7. Kepada S2BF Iskandar Hrp, Ryan Nasution, M. Yuda Firmansyah, Andri Josua, Tony
8. Kepada anak-anak SOTO, Indra Sitorus, Ican Anwar, Affandy Noor, Hanif, Juandri,
Kagawa,
9. Kepada Anak gg Murni Bg Leo Sibuea, Bg Ferry, Sandro, Kris panjaitan, Gendo boy
10. Kepada seluruh manusia-manusia pilihan yang ada dalam kehidupan penulis selama
penulisan skripsi ini yang namanya tidak dapat penulis tulis satu persatu.
Halaman
Abstrak ................................................................................... i
Abstract..................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
1.2.Rumusan Masalah.......................................................... 11
1.9.
3.3. Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan ................................ 79
3.3.1. Urutan Penyelesaian Sengketa Wilayah atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
melalui International Court of Justice (ICJ)............. 86
PENDAHULUAN
Jika suatu negara telah menyetujui pembukaan hubungan diplomatik dengan negara
lain melalui suatu instrumen atas dasar asas timbal balik (principle of reciprocity) dan asas
saling menyetujui (mutual consent), 3 negara-negara tersebut sudah harus memikirkan
pembukaan suatu perwakilan diplomatik dan penyusunan keanggotaan perwakilan tersebut
baik dalam tingkatannya maupun jumlah anggota staf perwakilan yang telah disetujui
bersama atas dasar kewajaran dan kepantasan (reasonable and normal). 4
Hubungan luar negeri Indonesia dengan negara-negara lain telah dimulai sejak
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Berbagai
forum baik bilateral, regional maupun multilateral telah dirancang oleh Indonesia bersama-
sama dengan negara-negara sahabat. Dalam menjalin hubungan tersebut Indonesia senantiasa
1
Sumaryo Suryokusumo. Hukum Diplomatik dan Konsuler Jilid I. Jakarta : Tatanusa. 2013. Hal.8.
2
Ibid., hal. 3.
3
Konvensi Wina 1961, Pasal 2.
4
Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., Hal. 53
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika
dalam pertemuan teknis mengenai hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara
ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya.
Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status
quo, akan tetapi ternyata perbedaan pemahaman diantara kedua negara tersebut. Pihak
Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena
Malaysia menganggapstatus quo wilayah tersebut masih berada di bawah Malaysia sampai
persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa status kedua pulau tadi
tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.
Namun Malaysia malah membangun permukiman di sana. Oleh karena itu, pemerintah
Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala
Lumpur meminta agar pembangunan di sana dihentikan terlebih dahulu. Alasannya, Sipadan
dan Ligitan itu masih dalam sengketa, dan belum diputus siapa pemiliknya. Pada tahun 1969
5
Kerjasama Bilateral. Dikutip melalui http://www.deplu.go.id. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2017 pukul 21.33
6
Hadi Soesastro dan A.R. Sutopo (ed). Strategi dan Hubungan Internasional Idonesia dan Kawasan Asia Pasifik. Jakarta
: CSIS. 1981. Hal. 80
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC
(Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di Bali
antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN. Akan tetapi pihak
Malaysia menolak. Mereka beralasan karena Malaysia juga mengalami sengketa dengan
Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta
sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina,
Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pada Tahun 1991 pihak Malaysia menempatkan sepasukan polisi
hutan (setara dengan Brimob) untuk melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia
serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau. Sikap pihak
Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu
menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala
Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM
Malaysia waktu itu, Mahathir Mohammad, yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg
Moerdiono dan Wakil PM Malaysia Anwar Ibrahim, untuk membentuk kesepakatan "Final
and Binding". Dan pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan
tersebut. Indonesia meratifikasi persetujuan tersebut pada tanggal 29 Desember 1997 dengan
Keppres Nomor 49 Tahun 1997, demikian pula dengan Malaysia pada 19 November 1997. 8
7
Sengketa Sipadan Dan Ligitan. Dikutip melalui https://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan. Diakses
pada tanggal 25 Oktober 2017 pukul 22.31.
8
Ibid.,
9
O.C. Kaligis. Sengketa Sipadan-Ligitan : Mengapa Kita Kalah?. Jakarta : O.C Kaligis & Associates. 2003. Hal. 185
Bagi Indonesia dan Malaysia, dua pulau ini punya arti penting, yakni batas tegas
antardua negara. Sengketa pemilik Sipadan dan Ligitan sebenarnya sudah terjadi sejak masa
kolonial antara pemerintah Hindia Belanda dan Inggris. Pulau Sipadan pernah dimasukkan
dalam Peraturan tentang Perlindungan Penyu (Turtle Preservation Ordinance) oleh
pemerintah Inggris pada 1917. Keputusan ini ditentang pemerintah Hindia Belanda yang
merasa memiliki pulau tersebut. Sengketa kepemilikan pulau itu tak kunjung reda, meski
gejolak bisa teredam. Sengketa Sipadan dan Ligitan kembali muncul ke permukaan pada
1969. 10Pulau Sipadan dan ligitan merupakan dua pulau dari rangkaian kepulauan yang
terletak di Selat Makasar, di perbatasan antara kalimantan timur dan Sabah (Malaysia Timur).
Pulau Sipadan memiliki luas 50000 m2 dan dengan luas 10,4 ha terletak 15 mil laut (sekitar
24 km) dari pantai sabah (malaysia) dan 40 mil laut (sekitar 64 km) dari pantai pulau sebatik
(Indonesia). Sementara Pulau Ligitan merupakan gugus pulau karang seluas 18.000m2 dan
luas 7,9 ha yang terletak 21 mil laut (34 km) dari pantai daratan Sabah dan 57,6 mil (93 km)
dari pantai Pulau Sebatik diujung timur laut pulau Kalimantan / Borneo ini luasnya 7,9 Ha.
Pulau ini dari sejarahnya merupakan wilayah kesatuan Republik Indonesia dan
menjadi sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Konflik bermula ketika Indonesia
dan Malaysia menyelenggarakan pertemuan teknis hukum laut pada tahun 1967. Perselisihan
pendapat mulai mencuat dua tahun berikutnya, yaitu tahun 1969 ketika kedua negara
merundingkan penetapan batas landas kontinen. Indonesia dan Malaysia saling meng-klaim
dan menyatakan kedua pulau itu merupakan bagian integral dari wilayah negaranya. Pada
awalnya pemerintah indonesia bersikap lunak dan beralasan, tidak tepat untuk bertindak
dengan keras dengan Malaysia karena menyusul persetujuan rujuk kedua negara 11 Agustus
1966.
Sengketa Ligitan dan Sipadan sebenarnya sudah terjadi sejak masa kolonial antara
pemerintah Hindia Belanda dan Inggris. Pulau Sipadan pernah dimasukkan dalam peraturan
tentang Perlindungan Penyu ( Turtle Preservation Ordinance ) oleh pemerintah Inggris pada
tahun 1917. Keputusan ini ditentang oleh pemerintah Hindia Belanda yang merasa memiliki
pulau tersebut. Sengketa kepemilikan pulau itu tak kunjung reda, me ski gejolak bisa
teredam.
Sementara itu yang menjadikan dasar klaim Indonesia atas Sipadan dan Ligitan
adalah isi dari Pasal IV Konveksi Belanda dan Inggris tahun 1891 yang di tanda tangani di
London, dalam pasal itu menyatakan bahwa kedua negara itu sepakat bahwa batas antara
jajahan Belanda dan negara-negara yang dilindungi Inggris di pulau yang sama di ukur dari
titik 4 menit 10 detik lintang utara di pantai timur Kalimantan. Dari titik posisi itu lantas di
10
http://pendidikan60detik.blogspot.co.id/2017/03/lepasnya-pulau-sipadan-dan-ligitan-dari.html diakses
pada tanggal 5 November 2017 pukul 23.30
Sedangkan Malaysia juga memiliki dasar yang kuat untuk mendapatkan klaim kedua
pulau tersebut yaitu dengan berdasar Traktat Paris tahun 1809 yang merupakan perjanjian
perbatasan Malaysia dan Filipina. Kemudian perjanjian Spanyol-Amerika pada tahun 1900
dan perjanjian Inggris-Amerika Serikat pada tahun 1930. Selain dengan dasar perjanjian-
perjanjian tersebut Sipadan dan Ligitan merupakan hak turun temurun dari Sultan Sulu yang
menyerahkan kepada Spanyol, Amerika Serikat, Inggris dan kemudian kepada Malaysia
setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1963. Sehingga Indonesia tidak
cukup kuat untuk meng-klaim Sipadan dan Ligitan karena Indonesia setelah ditinggalkan
Belanda, dan telah lama menelantarkan kedua pulau itu. Sesuai dengan aturan hukum
internasional hak atas wilayah bisa diperoleh pihak ke tiga bila wilayah tersebut di
telantarkan untuk kurun waktu tertentu oleh pemilik aslinya.
Walaupun dilakukan dengan cara yang sangat hati-hati, namun perundingan bilateral
tidak mampu menemukan titik temu bagi kedua negara untuk menyelesaikan konflik
perebutan pulau Sipadan dan Ligitan, sehingga pada tahun 1988 indonesia dan Malaysia
sepakat menempatkan kedua pulau pada kondisi “status quo”. Kesepakatan ini diambil ketika
PM Mahathir Muhammad mengunjungi Jakarta padatahun 1988. Kesepakatan ini kemudian
dikukuhkan saat Presiden Soeharto berkunjung ke Kuala Lumpur dua tahun berikutnya.
Selama ditetapkan “status quo” pada tahun 1991 banyak terjadi konflik di kedua
pulau tersebut seperti pada awal juni 1991 melalui Menlu Ali Alatas Indonesia melayangkan
nota protes karena Malaysia membangun fasilitas di daerah sengketa. Kemudian Juga TNI
AL menangkap kapal pukat MV Pulau Banggi ketika menangkap ikan di perairan Sipadan.
Kapal yang terbuat dari bahan fiberglass sempat diseret ke pangkalan TNI AL di Tarakan.
Kemudian pada Oktober 1991, kedua negara sepakat melakukan pendekatan dan
membentuk kesepakatan RI-Malaysia. Indonesia berusaha agar kedua negara terus berupaya
menemukan perundingan terbaik melalui jalan bilateral. Jika tidak bisa melalui jalan bilateral
Indonesia mengajak Malaysia menyelesaikannya melalui ”Treaty of Amity and
Coorporation”, suatu lembaga di bawah naungan ASEAN. Lembaga ini memiliki High
Council atau dewan tinggi yang beranggotakan para Menlu para anggota ASEAN
Meski sudah di bantu dengan Dewan tinggi ASEAN namun kontak antara kedua
negara di daerah sengketa terus saja berlangsung seperti pada tahun 1993 yang nyaris terjadi
baku tembak ketika kapal TNI AL mendekati pulau Sipadan. Kemudian pada 29 September
1996 sempat terjadi baku tembak antara kapal TNI AL dengan kapal patroli Malaysia.Pulau-
pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak berpenduduk dan jauh
Dalam penelitian ini penulis merumuskan masalah yang akan diteliti Bagaimana diplomasi
Indonesia-Malaysia dalam penyelesaian kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan?
Dalam penelitian ini, peneliti akan memerlukan batasan masalah, sehingga masalah
yang diangkat tidak menyimpang dari tujuan yang ingin di capai. Oleh karena itu adapun
yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini adalah :
11
A. Hamzah. Laut, Teritorial dan Perairan Indonesia 1984. Himpunan Ordonansi, Undang-undang dan Peraturan
Lainnya. Jakarta : Akademika Pressindo. 1984. Hal. 20.
1.6.1 Diplomasi
Diplomasi juga diartikan sebagai suatu relasi atau hubungan, komunikasi dan
keterkaitan. Selain itu diplomasi juga dikatakan sebagai proses interaktif dua arah antara dua
negara yang dilakukan untuk mencapai poltik luar negeri masing-masing negara. 12
Diplomasi dan politik luar negeri sering diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang
tidak dapat dipisahkan. Dikatakan demikian karena politik luar negeri adalah isi pokok yang
terkandung dalam mekanisme pelaksanaan dari kebijakan luar negeri yang dimiliki oleh suatu
negara, sedangkan diplomasi adalah proses pelaksanaan dari politik luar negeri. Oleh karena
itu baik diplomasi dan politik luar negeri saling berkaitan dan mendukung satu sama lain.
Diplomasi menjadi bagian yang sangat penting untuk dijadikan salah satu solusi atau
jalan keluar untuk mengupayakan penyelesaian secara damai. Diplomasi dilakukan untuk
mencapai suatu kepentingan nasional suatu negara. Meskipun diplomasi berhubungan dengan
aktivitas-aktivitas yang damai, dapat juga terjadi di dalam kondisi perang atau konflik
bersenjata karena tugas utama diplomasi tidak hanya manajemen konflik, tetapi juga
manajemen perubahan dan pemeliharaannya dengan cara melakukan persuasi yang terus
menerus di tengah-tengah perubahan yang tengah berlangsung. 14
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa diplomasi adalah perpaduan antara ilmu
dan seni perundingan atau metode untuk menyampaikan pesan melalui perundingan guna
mencapai tujuan dan kepentingan negara yang menyangkut bidang politik, ekonomi,
perdagangan, social, budaya, pertahanan, militer, dan berbagai kepentingan lain dalam
bingkai hubungan internasional.
Suatu negara untuk dapat mencapai tujuan dan diplomatiknya dapat dilakukan
dengan berbagai macam cara. Menurut Kautilya, yaitu dalam bukunya Kautilya’s concept of
diplomacy : a new interpretation bahwa tujuan utama diplomasi yaitu pengamanan
kepentingan negara sendiri. 15 Dapat dikatakan bahwa tujuan diplomasi merupakan
12
S.L , Roy, 1995, Diplomasi, Jakarta Utara, PT Raja Grafindo persada. hlm. 35.
13
S.L Roy, op. cit, hlm. 2.
14
Watson Adam, , 1984, The Dialogues Between States, London, Methuem. hlm. 1.
15
Jayanti, E. (2014, Maret 4). Retrieved April 18, 2017, from ejournal.hi.fisipunmul.ac.id:
Suatu negara untuk memulai atau melakukan hubungan diplomatik dengan negara
lain terdapat tata cara yang mengaturnya, tata cara tersebut diatur di dalam Konvensi Wina
tahun 1961 tentang hubungan diplomatik yang digunakan sebagai acuan dasar hukum
kediplomatikan dan konvensi tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia menjadi
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang pengesahan Konvensi Wina tentang
Hubungan Diplomatik beserta Protokol Opsionalnya tentang Hal Memperoleh
Kewarganegaraan. 16
Sesuatu yang dibenarkan oleh Vienna Convention on Consuler Relations, 1963 yang
diuraikan pada ayat 3 yang berbunyi : “ Consular functions are exercised by consular post.
They are also exercised by diplomatic missions in accordance with the provisions of the
present convention “. 18
http://ejournal.hi.fisipunmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/2014/03/Artikel%20Ejournal%20Genap-eRhiin%20%2803-04-
14-05-46-53%29.pdf . diakses pada tanggal 25 Oktober 2017 pukul 22.36.
16
S. L. Roy, op. cit, hlm. 15
17
Kementerian Luar Negeri. (1982). Retrieved April 1, 2017, from pih.kemlu.go.id:
http://pih.kemlu.go.id/files/UU%20No.01%20Tahun%201982%20Tentang%20Pengesahan% 20Konvensi%20
WIna.pdf . diakses pada tanggal 25 Oktober 2017 pukul 22.36.
18
ibid
Inti dari diplomasi adalah kesediaan untuk memberi dan menerima guna mencapai
saling pengertian antara dua negara (bilateral) atau beberapa negara (multilateral). Diplomasi
biasanya dilakukan secara resmi antar pemerintah negara, namun bisa juga secara tidak resmi
melalui antar lembaga informal atau antar penduduk atau antar komunitas dari berbagai
negara yang berbeda. Idealnya, diplomasi harus memberikan hasil berupa pengertian yang
lebih baik atau persetujuan tentang suatu masalah yang dirundingkan. Ada berbagai ragam
diplomasi, yaitu:
19
Repository UMY, Skripsi Ika Hanis Tyasanti, 21310233, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. hlm 16.
Diplomasi adalah suatu alat yang digunakan terutama untuk menjamin penyerahan
kedaulatan. 20 Diplomasi juga diartikan sebagai penggunaan sebagai kecerdasan dan
kelincahan dalam melaksanakan hubungan resmi antara pemerintah dari negara-negara
merdeka. 21
Diplomatic berasal dari kata “diplomacy” yang berarti sarana yang sah atau legal,
terbuka dan terang-terangan yang digunakan oleh sesuatu negara dalam melaksanakan politik
luar negerinya.
Dalam arti luas diplomasi meliputi seluruh kegiatan polotik luar negeri suatu negara
dalam hubungannya dengan bangsa dan negara lain .
3. menentukan apa tujuan nasional sejalan atau berbeda dengan kepentingan bangsa
atau negara lain.
20
K.J. Holsti dan M. Tahir Azhary, politik internasional, 1988, hal. 113
21
Hidayat Mukmin, Peran serta TNI dalam Politik Luar negeri Indonesia, 1991, hal. 102-105
22
Ahmad Rustandi SH dan Zul Afdi Ardian SH, Tata Negara Jilid 2, 1988, hal.202
Jadi dari pendapat diatas dapat simpulkan bahwa diplomasi adalah pelaksanaan
hubungan luar negeri secara nyata yang bertujuan sebagai alat negosiasi atau perundingan
antar dua negara atau lebih untuk mencapai suatu kesepakatan..
Kepentingan nasional tercipta dari kebutuhan suatu negara. Kepentingan ini dapat
dilihat dari kondisi internalnya, baik dari kondisi politik-ekonomi, militer, dan sosial-budaya.
Kepentingan juga didasari akan suatu ‘power’ yang ingin diciptakan sehingga negara dapat
memberikan dampak langsung bagi pertimbangan negara agar dapat pengakuan dunia. Peran
suatu negara dalam memberikan bahan sebagai dasar dari kepentingannasional tidak
dipungkiri akan menjadi kacamata masyarakat internasional sebagai negara yang menjalin
hubungan yang terlampir dari kebijakan luar negerinya. Dengan demikian, kepentingan
nasional secara konseptual dipergunakan untuk menjelaskan perilaku politik luar negeri dari
suatu negara. 25 Seperti yang dipaparkan oleh Kindleberger mengenai kepentingan nasional;
hubungan antara negara tercipta karena adanya perbedaan keunggulan yang dimiliki tiap
negara dalam berproduksi. Keunggulan komparatif (comparative advantage) tersebut
membuka kesempatan pada spesialisasi yang dipilih tiap negara untuk menunjang
pembangunan nasional sesuai kepentingan nasional. 26
23
Yusuf Sufri. Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri. 1989. hal. 122
24
Robert Jackson dan Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.
89
25
P.Anthonius Sitepu. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal.163
26
https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_keunggulan_komparatif diakses pada tanggal 05 November 2017 pukul 22.37
Dalam bukunya Mohtar Mas’oed menjelaskan konsep ini sama dengan menjalankan
kelangsungan hidup. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa kelangsungan hidup tercipta dari
adanya kemampuan minimum. Kemampuan minimum tersebut dapat dilihat dari kepentingan
suatu negara yang dihubungkan dengan negara lain. Hal tersebut menjelaskan bagaimana
sebuah kepentingan dapat menghasilkan kemampuan akan menilai kebutuhan maupun
keinginan pribadi yang sejalan dengan itu berusaha menyeimbangkan akan kebutuhan
maupun keinginan dilain pihak. Konsep ini juga menjelaskan seberapa luas cakupan dan
seberapa jauh sebuah kepentingan nasional suatu negara harus sesuai dengan
27
Theodore A. Coulumbis dan James H. Walfe. Op.Cit. Hal.115
28
P.Anthonius Sitepu. 2011. Op,Cit. Hal. 165
Dalam analisis kepentingan nasional, peran aktor dalam hal ini negara, akan
mengejar apapun yang dapat membentuk dan mempertahankan, pengendalian suatu negara
atas negara lain. Pengendalian tersebut berhubungan dengan kekuasaan yang tercipta melalui
teknik-teknik paksaan ataupun kerjasama. 32 Tindakan demikian tergantung dari seberapa
besar ‘power’ yang dimiliki negara tersebut. Sejalan dengan itu jika telah menemui poinnya,
maka negara akan merubah alur yang tadinya hanya demi kepentingan awal namun dapat
menjadi kepentingan baru. Kepentingan baru ini dilakukan dengan tetap menjalankan
kepentingan awal atau betul-betul merubah kepentingannya tanpa menggunakan dasar dari
kepentingan yang ingin dicapai sebelumnya. Hal ini diperjelas ketika melihat suatu negara
dalam kepentingan nasionalnya dimana kepentingan A dari negara X terhadap negara Y
menjadi awal dari hubungan bilateral tercipta kemudian muncul kepentingan B dari negara X
yang mana dapat timbul sebelum dilakukan kerjasama ataupun selama melakukan kerjasama.
29
Ibid, hal.166
30
Mochtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES. Hal. 34
31
Aleksius Jemadu. 2008. Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 67-69
32
Ibid, hal. 68
B. Hubungan Bilateral
Di masa lalu penguasaan wilayah dan sumber daya alam yang banyak adalah kunci
kejayaan. Namun dalam dunia saat ini, bukan hal demikian melainkan kekuatan tenaga kerja
yang sangat berkualifikasi, akses informasi, dan modal keuangan yang menjadi kunci
keberhasilan. Sehingga demi membangun negaranya harus dilakukan hubungan bilateral atau
kerjasama.
Hubungan bilateral pada dasarnya merupakan hubungan yang terjadi antara dua
pihak. Dalam hal ini terdapat dua aktor yang berperan yang disebut dengan negara. Aktor
disini bukan hanya sebatas pemerintah yang mewakilinamun juga dapat berupa instansi atau
pihak swasta yang berada dalam naungan sebuah negara. Hal demikian sejalan dengan
kepentingan seperti apa yang diinginkan negara dalam menjalin kerjasama.
33
Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse. 2010. International Relations. Longman: New York. Hal.71
Suatu bentuk kerjasama diantara negara baik yang berdekatan secara geografis
ataupun jauh diseberang lautan dengan sasaran utama menciptakan perdamaian, dengan
memperhatikan kesamaan politik, kebudayaan, dan stuktur ekonomi. 34
Dalam hubungan bilateral, dimana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa
negara satu dengan negara lain yang menjalin kerjasama memiliki kepentingan masing-
masing. Kepentingan tersebut yang saat ini membuat negara memiliki sifat saling
ketergantungan antara satu sama lain. Seperti yang dijelaskan Teuku May juga berpendapat
mengenai hubungan bilateral bahwa;
Hubungan bilateral adalah saling ketergantungan antara negara satu dengan negara
lain di dunia yang merupakan realitas yang harus dihadapi oleh semua negara. Untuk
memenuhi kebutuhannya masing-masing, maka terjalinlah suatu kerjasama diantara negara
dalam berbagai bidang kehidupan. 35
Pada umumnya negara menjadikan fokus sebuah negara dari segi politik maupun
ekonomi. Dan dalam hal segi sosial-budaya maupun pendidikan sebagai faktor pendukung
dalam hubungan bilateral. Pendidikan dalam hal ini bidang keilmuan seperti alih teknologi
menjadi kerjasama yang banyak dilakukan oleh negara-negara. Hal ini terjadi karena
kepentingan negara yang melakukan kerjasama negara yang dituju sebagai alih teknologi
mendapatkan pengaruh besar melihat alih teknologi dapat merubah sebuah negara.
34
Budiono Kusumohamidjojo. Op.Cit. Hal.48
35
T. May Rudy. Loc.Cit.
Hubungan bilateral terbentuk dilihat dari kondisi diplomatik yang terjalin antara
kedua negara. Korea Selatan dan Indonesia merupakan negara yang saat ini sudah berumur
46 tahun sejak diresmikannya hubungan tingkat konsulat. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Didi Krisna, bahwa hubungan bilateral merupakan keadaan yang menggambarkan
adanya hubungan yang saling mempengaruhi atau adanya hubungan timbal balik diantara
kedua belah pihak atau didalam kedua negara. 37 Keuntungan timbal balik yang demikian jika
hasil positif lebih didominasi maka akan terjadi tindakan saling ketergantungan
(interdependensi) yang akan mengakibatkan kerjasama berlangsung dalam kurun waktu yang
lama.
Dengan melakukan hubungan bilateral terlebih dengan waktu yang cukup lama,
maka secara tidak langsung akan terjadi suatu dinamika yang memiliki keterkaitan antara
kedua negara akibat adanya kepentingan nasional dari masing-masing pihak. Seperti halnya
dalam kerjasama yang terjalin cukup lama dapat memudahkan dilakukan kerjasama-
kerjasama baru dalam bidang lain. Sehingga jika suatu saat dari salah satu pihak akan tidak
enggan dalam memberikan bantuan yang pada dasarnya kembali lagi demi kepentingan
nasionalnya.
36
Ibid, hal.5
37
Didi Krisna. 1993. Hubungan Bilateral dan Politik Internasional. Jakarta: Gramedia. Hal.18
38
Robert Jackson. 2009. Op.Cit. Hal.148
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga
konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu,
dimana saja dan kapan saja.
Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan
dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial
merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong
timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial.
Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki
kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan
sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, akan tetapi
ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan.
Kekerasan merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan
kekerasan dari model kekerasan yang terkecil hingga peperangan.
Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti
bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. 39 Pada umumnya istilah konflik
sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi
melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional.
Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan
pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber
pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya. 40
39
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori,
Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal 345.
40
Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998),hal.156
Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang
berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling
menantang dengan ancaman kekerasan. 43
Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik adalah
percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau masyarakat
dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara saling menantang
dengan ancaman kekerasan. konflik sosial adalah salah satu bentuk interaksi sosial antara
satu pihak dengan pihak lain didalam masyarakat yang ditandai dengan adanya sikap saling
mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan. Konflik sosial sesungguhnya
merupakan suatu proses bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunnyai kepentingan
yang relative sama terhadap hal yang sifatnya terbatas.
Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik itu dilangsungkan tidak hanya sekedar
untuk mempertahankan hidup dan eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf
pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau
saingannya.
2. Bentuk-bentuk Konflik
a. Berdasarkan sifatnya
1. Konflik Destruktif Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak
senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain. Pada
41
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.587.
42
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal.99.
43
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005), hal 68.
44
Robert lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi, (Jakarta:universitas terbuka 1994).hal.53
2. Konflik Konstruktif
Merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya
perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan.
Konflik ini akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan
menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi. 45
2. Konflik Horizontal Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok
yang memiliki kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi
massa.
3. Konflik Diagonal
Merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke
seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim. Contohnya konflik
yang terjadi di Aceh. 46
1. Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu
atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.
2. Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-
perbedaan ras.
3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang terjadi
disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.
4. Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya
kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.
5. Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi
karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan negara. 47
Sementara itu, Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa konflik dapat dibedakan atas
empat macam, yaitu sebagai berikut :
45
Dr. Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2001), hal.98
46
Kusnadi, Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja, (Malang : Taroda, 2002), hal. 67
47
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,(Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hal.86.
4. Konflik antara satuan nasional, seperti antar partai politik, antar negara, atau
organisasi internasional. 48
Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya
hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber
kepemilikan, status sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya sangat terbatas dengan
pembagian yang tidak merata di masyarakat. 49
48
Dr. Robert H. Lauer J. Op.Cit.,hal.102
49
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. Op.Cit.,
Di dalam realitas sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang
sama sehingga perbedaan pendapat, tujuan, keinginan tersebutlah yang mempengaruhi
timbulnya konflik sosial.
Tak perlu diragukan lagi, proses sosial yang namanya konflik itu adalah suatu proses
yang bersifat disosiatif. Namun demikian, sekalipun sering berlangsung dengan keras dan
tajam, proses-proses konflik itu sering pula mempunyai akibat-akibat yang positif bagi
masyarakat. Konflik-konflik yang berlangsung dalam diskusi misalnya, jelas akan unggul,
50
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. Op.Cit.,
51
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. Op.Cit.,
3. Hancurnya nilai-nilai dan norma sosial yang ada. Antara nilai-nilai dan norma
sosial dengan konflik terdapat hubungan yang bersifat korelasional, artinya bisa saja terjadi
konflik berdampak pada hancurnya nilai-nilai dan norma sosial akibat ketidak patuhan
anggota masyarakat akibat dari konflik. 54
Secara sosiologi, proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat
menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan (dissociative
processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada terwujudnya nilai-nilai seperti
keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas. Sebaliknya proses sosial yang bersifat
dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai negatif atau asosial, seperti kebencian,
permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecahan dan sebagainya. Jadi proses
sosial asosiatif dapat dikatakanproses positif. Proses sosial yang dissosiatif disebut proses
negatif. Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan
sebagai usaha menyelesaikan konflik. 55
52
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. Op.Cit.,
53
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. Op.Cit.,hal 378.
54
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. Op.Cit.,hal 70.
55
Drs. Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), hal.77
1. Konsiliasi (conciliation)
2. Mediasi (mediation)
Bentuk pengendalian ini dilakukan bila kedua belah pihak yang bersengketa
bersama-sama sepakat untk memberikan nasihat-nasihatnya tentang bagaimana mereka
sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka.
3. Arbitrasi berasal dari kata latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan
seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi
dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang
bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak
menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai
instansi pengadilan nasional yang tertinggi.
4. Perwasitan
Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk memberikan
keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara mereka. 57
B. Kerangka Teoretik
Teori ini dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori
Fungsional Struktural. Karena itu tidak mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan
oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam teori Fungsional
Struktural. 58
Kalau menurut teori Fungsional Struktural masyarakat berada dalam kondisi statis
atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan maka menurut teori konflik malah
sebaliknya. Masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh
pertentangan yangterus menerus diantara unsur-unsurnya. Kalau menurut teori Fungsional
Struktural setiap elemen atau setiap institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas maka
56
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal.22.
57
Nasikun.Op.Cit., hal.25.
58
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal.26.
Kontras lainnya adalah bahwa kalau penganut teori Fungsional Struktural melihat
anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas
umum, maka teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah
disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang
berkuasa. 59
Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, menganggap teori
itu merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. Dahrendorf
menganggap masyarakat berisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama.25 60
Konsep teori ini adalah wewenang dan posisi. Keduanya merupakan fakta sosial. Inti
tesisnya sebagai berikut. Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa
kecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis. Perbedaan
wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Perbedaan
posisi serta perbedaan wewenang di antara individu dalam masyarakat itulah yang harus
menjadi perhatian utama para sosiolog. Struktur yang sebenarnya dari konflik-konflik harus
diperhatikan di dalam susunan peranan sosial yang dibantu oleh harapan-harapan terhadap
kemungkinan mendapatkan dominasi. Tugas utama menganalisa konflik adalah
mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat. 62 Posisi tertentu di dalam
masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta
kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan
didistribusikan otoritas “selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis”.
59
George Ritzer. Op.Cit., hal.26.
60
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: CV. Rajawali, 2000), hal.131.
61
George Ritzer. Op.Cit., hal.154.
62
George Ritzer. Op.Cit., hal.26.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode
deskriptif merupakan suatu cara untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta
dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu, penelitian ini berusaha
untuk menggambarkan situasi atau kejadian. 63 Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat
komparatif. Kata “komparasi ‟ dalam bahasa inggris yaitu comparation yang berarti
perbandingan. Makna dari kata tersebut menunjukan bahwa dalam penelitian ini peneliti
bermaksud mengadakan perbandingan kondisi yang berbeda yang ada di satu tempat, apakah
kondisi di tempat tersebut sama atau ada perbedaan, dan kalau ada perbedaan, kondisi mana
yang lebih baik.
Jenis penelitian ini adalah penelitian studi pustaka (library research). Studi
kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap
buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya
dengan masalah yang dipecahkan. Sehingga nantinya menghasilkan sebuah kesimpulan baru
yang terbebas dari kesimpulan sebelumnya. 65
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan cara studi pustaka.
Melalui studi pustaka, data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang di dapat dari buku,
jurnal, website, artikel, ataupun sumber-sumber lain yang berkaitan dengan judul penelitian
ini. Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca, menganalisis, kemudian mengutip
dari sumber-sumber tersebut. 66
63
Saifuddin Azwar.Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2010. hal. 7.
64
Ulber Silalahi. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama. 2009. hal.35
65
Mohammad Nazir. 1998. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. hal. 75.
66
Saifuddin Azwar, op.cit., hal. 92.
8. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab satu terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan
masalah, tujuan penelitian, mamfaat penelitian, kerangka teori, kerangka konsep, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab ini menguraikan profil dari negara Indonesia dan negara Malaysia serta Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan
Bab ini akan menyajikan data dan analisa data mengenai diplomasi yang dilakukan
Indonesia dan Malaysia dalam penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan
Ligitan.
Pada bab terakhir ini penulis akan membuat rangkuman, kesimpulan dari hasil
penelitian yang telah dilakukan serta penulis akan menambahkan beberapa saran terkait hasil
dari penelitian.
Kepala Negara : Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla (sejak 20 Oktober
2014)
Kepala Pemerintahan : Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla (sejak 20
Oktober 2014)
Ibukota : Jakarta
Suku Bangsa : Jawa 40.1%, Sunda 15.5%, Melayu 3.7%, Batak 3.6%, Madura 3%, Betawi
2.9%, Minangkabau 2.7%, Bugis 2.7%, Banten 2%, Banjar 1.7%, Bali 1.7%, Aceh 1.4%,
Dayak 1.4%, Sasak 1.3%, Tionghoa 1.2%, suku bangsa lainnya 15% (estimasi tahun 2010)
Kode Telepon : 62
Waktu : GMT +7
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara.
Jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia adalah sebanyak 17.508 pulau dengan keseluruhan
luas wilayahnya adalah sebesar 1,904,569 km2. Pulau-pulau utama Indonesia adalah Pulau
Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, Pulau Sulawesi dan Pulau Papua. Sebagai Negara
Kepulauan Terbesar di dunia, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki
garis pantai terpanjang di dunia.
Secara astronomis, Indonesia yang berada diantara Benua Asia dan Benua Australia
ini terletak di antara 6°LU – 11°08’LS dan dari 95°’BT – 141°45’BT. Selain diapit oleh dua
benua, Indonesia juga berada diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta dilintasi
oleh garis khatulistiwa. Indonesia berbatasan darat dengan negara Papua Nugini di Pulau
Papua, Malaysia di pulau Kalimantan dan Timor Leste di Pulau Timor. Sedangkan Negara
yang berbatasan laut dengan Indonesia adalah Singapura, Filipina, Australia dan India
(Kepulauan Andaman dan Nikobar).
67
http://ilmupengetahuanumum.com/profil-negara-indonesia/ diakses pada tanggal 28 Desember 2017
pukul 15.00
Kepala Pemerintahan : Perdana Menteri Mohamed NAJIB bin Abdul Najib Razak (sejak 3
April 2009);
68
https://dhepthweb.wordpress.com/2017/04/12/indonesia-2/ diakses pada tanggal 28 Desember 2017
pukul 15.30
Agama : Islam (61,3%), Buddha (19,8%), Kristen (9,2%), Hindu (6,3%) dan agama lainnya
(3,4%)
Kode Telepon : 60
Malaysia adalah sebuah negara monarki konstitusional federal yang terletak di Asia
Tenggara. Kepala Negara Malaysia adalah Yang di-Pertuan Agong yang digilirkan setiap
lima tahun diantara sembilan Sultan Negeri Melayu. Kesembilan Sultan Negeri Melayu yang
dapat dipilih menjadi Yang di-Pertuan Agong maupun memilih Yang di-Pertuan Agong
adalah Sultan Johor, Sultan Kedah, Sultan Kelantan, Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan,
Sultan Pahang, Sultan Perak, Raja Perlis, Sultan Selangor dan Sultan Terengganu. Sedangkan
kepala pemerintahan Malaysia adalah seorang Perdana Menteri yang dipilih melalui
Pemilihan Umum yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. Secara Administratif, Malaysia
yang merupakan negara berbentuk federasi ini terbagi atas 13 Negara Bagian dan 3 Wilayah
Persekutuan.
Malaysia yang memiliki luas wilayah sebesar 329.847 km2 ini terpisah menjadi dua
kawasan oleh Laut Tiongkok Selatan yaitu Malaysia Barat yang berada di semenanjung
Malaysia benua Asia dan Malaysia Timur yang berada di Pulau Kalimantan. Di Malaysia
Barat, Malaysia berbatasan darat dengan Thailand di sebelah utaranya, sedangkan di sebelah
barat adalah selat Malaka dan sebelah timur adalah laut Tiongkok Selatan. Di Selatan
Malaysia Barat adalah Singapura yang dipisahkan oleh selat Johor. Di Malaysia Timur,
Malaysia berbatasan dengan Brunei Darussalam di sebelah Utaranya sedangkan di sebelah
Selatan adalah Indonesia. Sebelah Timur Malaysia Timur adalah Laut Sulu dan Laut
Sulawesi, sebelah utaranya adalah laut Tiongkok Selatan. Ibukota Malaysia adalah Kuala
Lumpur sedangkan Putrajaya merupakan pusat pemerintahan persekutuan.
69
http://ilmupengetahuanumum.com/profil-negara-malaysia/ diakses pada tanggal 28 Desember 2017
pukul 15.38
Hubungan luar negeri, Malaysia merupakan salah satu negera pendiri ASEAN.
Malaysia juga merupakan anggota APEC, PBB dan lembaga-lembaga dibawah PBB lainnya.
Pulau Sipadan adalah terletak 15 mil laut sekitar 24 kilometer dari pantai daratan
Sabah Malaysia, dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik dimana
bagian utara merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur selatan merupakan wilayah
Indonesia. Pulau dengan luas sekitar 50.000 m bujur sangkar ini diduga memiliki kekayaan
alam bawah laut yang sangat indah dengan ribuan habitat penyu dengan tebaran karang
menjalar dari utara ke selatan dan diduga memiliki kandungan bahan-bahan mineral, minyak
dan gas bumi. Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari pantai daratan
Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik. Posisi
Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan
57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik, Pulau Ligitan adalah 7,9
hektar. 70
70
O.C. Kaligis. Sengketa Sipadan-Ligitan : Mengapa Kita Kalah?. Jakarta : O.C Kaligis & Associates. 2003. Hal.
187
Pembahasan ini meliputi hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia, periode
orde baru, perundingan bilateral antara Indonesia dan Malaysia, kepentingan nasional
Indonesia, kekuatan nasional Indonesia dan keamanan nasional Indonesia. Untuk bagian
pertama akan membahas mengenai sejarah hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia
disertai pergolakan peristiwa yang dialami oleh kedua negara. Bagian kedua tinjauan
mengenai masa orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto serta kebijakan luar negeri yang
berlangsung selama orde baru. Bagian ketiga membahas mengenai perundingan bilateral
yang terjadi sebelum sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diserahkan kepada ICJ antara
Indonesia dan Malaysia. Dan bagian keempat, kelima dan keenam akan memberikan
penjelasan tentang kepentingan nasional yang didukung oleh kekuatan nasional dan
keamanan nasional.
Persoalan-persoalan itu pula yang menyebabkan Indonesia, yang dalam beberapa hal
jauh lebih besar ukurannya dari Malaysia yang merupakan negara tetangga, tidak dapat
begitu saja menerima hubungan itu sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja karena segi formal
hubungan itu dipengaruhi oleh segi historis di dalamnya yang melibatkan faktor-faktor
politik, ekonomi dan sosial budaya serta perbedaan-perbedaan objektif. Jauh ke belakang,
hubungan itu telah terselenggara dengan intensitas tinggi sebelum Indonesia dan Malaysia
menjadi negara-negara merdeka. Selain karena faktor geografis, secara historis, hubungan itu
telah mempunyai akar-akarnya jauh sebelum masing-masing berdiri sebagai negara merdeka.
Bahkan dari segi pengalaman, suatu generalisasi dapat diajukan bahwa kedua negara ini,
walaupun mungkin dalam derajat yang berbeda-beda, memiliki kesamaan dalam meniti
perjalanannya menghadapi lingkungan luar, dan oleh karena itu juga menghadapi penetrasi,
atau dipengaruhi oleh interaksi budaya luar yang kurang lebih serupa. Ikatan budaya antara
Indonesia dan Malaysia seringkali diberi bobot yang demikian penting. Salah satu cerminan
darinya adalah besarnya keyakinan di kalangan masyarakat Malaysia betapa pentingnya
pengertian serumpun yang melandasi hubungan Indonesia dan Malaysia. Ini agaknya
mengherankan bagi masyarakat Indonesia yang pada dasarnya merupakan suatu masyarakat
Hubungan intensif menunjuk kepada dua sisi sifat hubungannya pada umumnya,
yaitu di satu sisi bersifat konfrontatif dan sisi lainnya kolaboratif, dan di antara keduanya
terdapat demikian banyak ragam dan nuansa hubungan. Maka dari itu, satu sisi ekstrem
tonggak intensitas itu adalah era Konfrontasi, yaitu ketika Indonesia menentang pembentukan
Federasi Malaysia. Kampanye Indonesia untuk “mengganyang” Malaysia yang dipandang
sebagai boneka Nekolim (neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme) merupakan
cerminan bahwa persepsi mereka tentang bagaimana hidup berdampingan sebagai tetangga
dan dalam mengorganisasi diri maupun alam hubungan dengan dunia di luar mereka, berbeda
satu sama lain.
Situasi politik pada tahun 1960-an diwarnai dengan ketegangan dunia yang
diakibatkan oleh perseteruan politik antara dua blok. Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika
serikat dan Blok Timur pimpinan Uni Soviet. Pada masa itu Indonesia percaya akan adanya
ruang bagi kekuatan ketiga karena dalam konflik dunia yang berakar dari konflik endemik
antara keadilan dan ketidakadilan masih terdapat kesempatan untuk dapat hidup
berdampingan secara damai. Indonesia dibawah Presiden Soekarno berpendapat bahwa saat
itu dunia terbagi antara kekuatan baru yang sedang bangkit (New Emerging Forces) yaitu
bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Negara-negara sosialis dan kekuatan
progesif di negara-negara kapitalis berhadapan dengan kekuatan-kekuatan lama yang telah
mapan. Dengan didasari cara berpikir yang demkian, Indonesia pun menentang pembentukan
negara Federasi Malaysia. Melalui kebijakannya Indonesia bermaksud meninggalkan
pembentukan Federasi Malaysia sebagaimana yang telah direncanakan oleh Pemerintah
Inggris bersama-sama dengan para pemimpin Malaya. Presiden Soekarno ketika itu
menafsirkan bahwa pembentukan Malaysia tersebut sebagai suatu usaha dari negaranegara
kolonialis dan neo-kolonialis untuk mengepung Indonesia. Hal tersebut merupakan ancaman
terhadap keselamatan negara dan bangsa Indonesia. Diadakannya pertemuan pada September
1963 antara Indonesia, Malaysia dan Filipina gagal untuk mencari penyelesaian masalah
tersebut Kegagalan ini menyebabkan Indonesia secara penuh melancarkan kebijakan
konfrontasinya terhadap Malaysia. Konfrontasi dengan Malaysia adalah cermin
ketdakpercayaan Indonesia terhadap rencana pembentukan Malaysia. Indonesia memandang
bakal negara federasi tersebut sebagai suatu negara yang tidak terwakili aspirasi rakyat
setempat, tetapi lebih merupakan bentukan asing untuk mempertahankan kepentingan politik,
militer, dan ekonomi Malaysia di Asia Tenggara. Hal ini dinilai merupakan ancaman
terhadap bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia menyatakan dukungan
71
Bantarto Bandoro (1994). Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru. Centre For
Sedangkan tonggak intensitas lainnya adalah sisi sebaliknya dalam hubungan itu
yang terwujud dalam pembentukan ASEAN, yaitu ketika Indonesia dan Malaysia bersama-
sama sepakat untuk “mengubur” era Konfrontasi dan membangun suatu hubungan yang
penuh dengan kerjasama. Era kerjasama inilah yang pada dasarnya merupakan kurun waktu
72
Ganewati Wuryandari (2007). Mencermati Kembali Enam Dekade Politik Luar Negeri Indonesia.
Diplomasi memiliki peran yang sangat beragam dan banyak untuk bermain di dalam
hubungan internasional. Upaya manusia untuk memecahkan persoalan perang dan damai
telah dianggap sebagai metode manusia yang paling tua. Dalam menjalankan hubungan
antara masyarakat yang terorganisasi yaitu diplomasi dengan penerapan metode negosiasi,
persuasi, tukar pikiran dan sebagainya dapat mengurangi kemungkinan penggunaan kekuatan
yang sering tersembunyi di latar belakang. Di dalam dunia yang terdiri dari berbagai negara
berdaulat ini dua faktor yaitu diplomasi dan hukum internasional merupakan paling penting
dalam pemeliharaan perdamaian. Di samping hukum internasional telah memberikan tatanan
bagi dunia yang bagaimanapun anarkis namun bagi pemeliharaan perdamaian diplomasi telah
selalu memainkan peran yang vital. Pentingnya diplomasi sebagai pemelihara keseimbangan
dan kedamaian tatanan internasional telah sangat meningkat dalam dunia modern ini. 74
Efektivitas diplomasi dan atau politik luar negeri tidak terlepas dari pergolakan di
dalam negeri, sebab politik luar negeri pada dasarnya merupakan refleksi dari kebijakan
politik domestik. Untuk mencapai hasil yang optimal dalam diplomasi, perlu ada gerakan
kuat di dalam negeri sebagai sebuah sendi dari gerakan diplomasi tersebut. Diplomasi
Indonesia secara prinsipal menganut politik luar negeri bebas dan aktif. Prinsip itu diakui dan
dipegang secara kukuh dan konsisten. Isu yang dihadapi berubah dari waktu ke waktu,
sehingga pendekatan terhadap isuisu tersebut sering berubah. Dengan demikian prinsip bebas
74
S.L Roy (1991). Diplomasi. Rajawali Pers : Jakarta. hal : 23
75
Soeprapto. Op.cit, hal : 211-212
Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan masalah lama yang terus
dibicarakan kedua pihak. Perundingan sengketa tersebut dimulai kembali tahun 1991 melalui
pembicaraan di tingkat pejabat tinggi dalam Komite Bersama Indonesia-Malaysia. Namun
pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan di antara kedua pihak. Untul itu tahun
1994, kedua pemimpin sepakat mengangkat Wakil Pribadi (Special Representatives) guna
menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam hal ini, Presiden Soeharto menunjuk Mensesneg
Moerdiono, sedangkan Perdana Menteri Mahathir Mohamad menunjuk Wakil Perdana
Menteri Anwar Ibrahim yang kemudian mengadakan empat kali pertemuan di Kuala Lumpur
dan Jakarta. Melalui pertemuan terakhir pada tanggal 21 Juni 1996 di Kuala Lumpur, kedua
pihak menandatangani laporan bersama yang diajukan kepada Presiden Soeharto dan Perdana
Menteri Mahathir Mohamad. Pada pertemuan terakhir tersebut, akhirnya kedua negara
76
Robert Jackson & Georg Sorensen (2005). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Penerjemah :
Pengertian kepentingan nasional secara umum ialah tujuan-tujuan yang ingin dicapai
sehubungan dengan kebutuhan bangsa atau negara atau sehubungan dengan hal yang dicita-
citakan. 80 Menurut Hans Morgenthau, kepentingan nasional setiap negara adalah mengejar
77
Kesepakat an Soeharto-Mahathir Bawa Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional. May 17, 2010.
Problem of Regional Order. Routledge : London and New York. hal. 45-46.
79
Mohtar Kusumaatmadja (1983). Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini.
Dingin. Bandung.
Sedangkan tujuan nasional juga tertuang dalam UUD 1945 yaitu “ Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
1. Wujud tujuan nasional adalah tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
3. Sarana yang digunakan adalah seluruh potensi dan kekuatan nasional meliputi
geografi, demografi dan kondisi sosial yang di dayagunakan secara menyeluruh dan terpadu,
terarah, efektif, dan efisien.
81
Mohtar Mas’oed (1994). Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi. Jakarta.
Sipadan dan Pulau Ligitan dimana Indonesia berusaha mengajukan klaim agar kedua
pulau tersebut masuk kedalam kedaulatan wilayah Indonesia semata-mata adalah demi
kepentingan keamanan negara. NKRI sebagai negara kepulauan memiliki lebih dari 17.504
pulau, dengan panjang garis pantai lebih dari 80.290 km, dan berbatasan dengan 10 negara
tetangga. Kawasan perbatasan ini memiliki nilai strategis dari aspek hankam karena
merupakan batas terluar teritorial NKRI yang berpengaruh terhadap pertahanan dan
keamanan nasional.
82
Depart emen Pertahanan Republik Indonesia (2008). Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008.
Jakarta. December 2, 2009. http://www.dephan.go.id diakses pada tanggal 07 Januari 2018 pukul 17.40 WIB
Wilayah Indonesia yang sangat luas menuntut pertahanan negara yang cukup kuat
yang mampu menjangkau secara maksimal seluruh wilayah. Wilayah Indonesia yang luas dan
dapat dimasuki dari segala penjuru berimplikasi terhadap potensi ancaman yang cukup tinggi.
Wilayah perairan dan Dirgantara Indonesia menjadi salah satu fokus kepentingan pertahanan
Indonesia yang mendesak. Fungsi pertahanan berkewajiban untuk mengambil langkah-
langkah yang lebih intensif untuk mencegah dan menanganinya. Dalam hal ini kerjasama
dengan fungsi-fungsi lain di luar pertahanan perlu dikembangkan secara terpadu dan sinergi.
Pada lingkup yang lebih luas, Indonesia menempatkan keamanan kawasan yang
mengitari Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kepentingan pertahanan
Indonesia secara utuh. Secara geografis, Indonesia berdampingan dengan sejumlah negara,
baik sesama anggota ASEAN maupun di luar ASEAN. Dalam hubungan kepentingan karena
posisi geografis yang berbatasan dengan wilayah Indonesia, stabilitas keamanan di negara-
negara yang berdampingan dengan Indonesia menjadi prioritas perhatian Indonesia.
Kasus Sipadan dan Ligitan merupakan masalah yang muncul sejak tahun 1961,
sebelum Malaysia merdeka. Pada saat itu, Indonesia mengklaim perairan di sekitar Pulau
Sipadan dan Ligitan, kemudian Indonesia juga memberikan konsesi pengeboran minyak
kepada beberapa perusahaan asing termasuk Shell. 83 Konfrontasi yang terjadi antara
Indonesia-Malaysia pada tahun 1963-1965 telah mengaburkan masalah kedua Pulau tersebut.
Sehingga Pada tahun 1969 tim teknis Indonesia Malaysia melakukan pembicaraan terhadap
batas dasar laut antara kedua Negara. Di peta Malaysia terlihat bahwa kedua pulau tersebut
merupakan bagian dari wilayah Indonesia, akan tetapi pada lampiran peraturan pemerintah
83
“DPR: Lawan Malaysia”, http://www.osdir.com.mlculture.region.indonesia2005-
Pada tahun 1979 pemerintah Malaysia secara resmi mengeluarkan peta wilayahnya,
dalam peta tersebut Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Malaysia. Selain
itu, pemerintah Malaysia juga membangun kawasan wisata di kedua pulau tersebut. 86 Hal ini
menimbulkan protes dari pihak Indonesia, pada tanggal 26 Maret 1980 Presiden Soeharto
bertemu dengan PM Dato' Hussein Onn di kuantan Malaysia, pertemuan itu tidak
menghasilkan keputusan yang signifikan dalam penyelesaian kasus kedua pulau tersebut.
Tahun 1998 merupakan puncak dari penanganan sengketa kedua pulau tersebut.
Karena senior official meeting, joint commission meeting dan join working group yang dibuat
oleh kedua pihak berkesimpulan bahwa sengketa mengenai kedua pulau ini sulit untuk
diselesaikan dalam kerangka perundingan bilateral, kedua pihak kemudian sepakat untuk
mengajukan penyelesaian sengketa ini ke Mahkamah Internasional dengan menandatangani "
Special Agreement for the submission to the International Court of Justice on the Dispute
Between Indonesia and Malaysia Concerning the Sovereignty Over Pulau Sipadan and Pulau
84
“Implementasi Strategi Pertahanan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan Timur
3.3. Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan
1. Cara-cara penyelesaian secara damai yaitu apabila para pihak telah dapat
menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. Dalam metode, menurut
sifatnya dibagi dua yaitu secara politik dan secara hukum. Penyelesaian damai yang bersifat
politik meliputi perundingan (negotiation), jasa-jasa baik (good-offices), penyelidikan
(inquiry), penengahan (mediation) dan konsiliasi (conciliation). Sedangkan penyelesaian
secara damai yang bersifat hukum atau prosedur hukum meliputi arbitrase (arbitration) dan
penyelesaian hukum (judical settlement);
2. Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan cara kekerasan, yaitu apabila
solusi yang digunakan adalah melalui kekerasan. Penyelesaian melalui kekerasan meliputi
perang dan bersenjata non-perang seperti retorasi (retorsion), dikenakan tindakan-tindakan
pembalasan (reprisals), blokade secara damai (pasific blockade), dan intervensi
(interventation).
Jika timbul sengketa yang menyangkut kedaulatan atas sejumlah wilayah, maka
sudah merupakan kebiasaan untuk menelaah negara-negara mana saja yang mengklaim
kedaulatan tersebut, yang memiliki alas hak yang sah lebih tinggi (baik itu melalui
89
http//:www.3.itu.intmissions.indonesiapresspr020603sipadan.html. diakses pada tanggal 05 Januari 2018
pukul 21.44
90
Penyelesaian Perselisihan Kasus Sipadan Ligitan Mel alui Mahkamah Internasional. November 26,
2009. http://www.scribd.com diakses pada tanggal 08 Januari 2018 pukul 18.00 WIB
1. Prinsip bahwa negara tidak akan menggunakan kekerasan yang bersifat mengancam
integritas teritorial atau kebebasan politik suatu negara, atau menggunakan cara-cara lainnya
yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan PBB;
2. Prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri dan luar negeri suatu negara;
3. Prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa;
92
Pasal 36 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional secara lengkap berbunyi sebagai berikut, “The
Jurisdiction of the Court comparises all cases which the parties refer to it and all matters specially
provided for the in the Charter of the United Nation or in treaties and conventions in force.”
Indonesia dan Malaysia adalah dua negara besar di kawasan Asia Tenggara yang
bersahabat, dan persahabatan inilah yang bisa dijadikan dasar untuk mengadakan sebuah
perundingan negosiasi dalam rangka mencari solusi yang tepat.
93
J.G Starke (2001). Pengantar Hukum Internasional : Edisi Kesepuluh. Penerj emah:Bambang
Senantiasa akan ada tempat bagi arbitrasi dalam hubungan-hubungan antara negara-
negara. Proses arbitrasi lebih memuaskan dibandingkan dengan penyelesaian yudisial atas
sengketa-sengketa teknis, juga lebih murah, sedangkan, apabila dianggap perlu, arbitrasi
dapat dilakukan tanpa ada publisitas, bahkan sampai tingkat tertentu para pihak boleh
menyepakati bahwa putusan-putusan tidak akan dipublikasikan. Lebih lanjut, prinsip-prinsip
umum yang mengatur praktek dan wewenang pengadilan-pengadilan arbitrasi cukup dikenal.
Yang terakhir, prosedur arbitrasi cukup luwes untuk dikombinasikan dengan proses-proses
pencarian fakta yang disediakan dalam kasus negosiasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi dan
penyelidikan.
Untuk itu, Indonesia dan Malaysia telah membuat sebuah perjanjian yang diberi
nama Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute
between Indonesia dan Malaysia concerning Soverignty over Pulau Ligitan dan Pulau
Sipadan (Special Agreement). Dalam Pasal 2 Special Agreement disebutkan bahwa
Mahkamah Internasional diminta untuk menentukan siapakah yang mempunyai kedaulatan
atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan. 94
3.3.1. Urutan Penyelesaian Sengketa Wilayah atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
melalui International Court of Justice (ICJ)
Konflik Sipadan-Ligitan mencuat sejak tahun 1969, ketika Malaysia dan Indonesia
membahas mengenai Landas Kontinen. Perselisihan berawal dari perbedaan penafsiran atas
Perjanjian 1891 yang dibuat dua kolonialis, yakni Inggris- Belanda, untuk membagi
Kalimantan.
Pada awalnya kedua pihak sepakat untuk tidak melakukan aktivitas apapun di atas
kedua pulau yang sedang dalam sengketa. Namun Malaysia bukan hanya mengamankan
kedua pulau ini, melainkan juga membangun resor pariwisata dan penangkaran penyu.
Dalam mengadili perkara ini, Mahkamah Internasional tidak mendasarkan diri pada
Perjanjian kedua belah pihak antara Inggris dan Belanda, namun lebih kepada aktivitas
okupasi secara efektif dari Malaysia. Menyangkut efektifitas yang ditunjukkan oleh
Indonesia, Mahkamah Internasional memulai dengan menunjukkan bahwa tidak ada
peraturan perundang-undangan satupun yang mengatur tentang Sipadan dan Ligitan. Terlebih
lagi, Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/1960 yang menarik garis
pangkal bagi wilayah Indonesia, tidak memasukkan Sipadan dan Ligitan sebagai titik-titik
garis pangkal.
94
Bunyi lengkap dari Pasal 2 adalah sebagai berikut, “ The Court is requested to determine on the basis
of the treaties, agreements and any other evidence furnished by the Parties, whether sovereignty
over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan belongs to the Republic of Indonesia or to Malaysia.”
95
Kumpulan Makalah dan Diskusi Ilmiah (2003). Op.cit. hal : 12-14
Lebih lanjut Malaysia menyebutkan beberapa kasus tertentu sebelum dan setelah
tahun 1930 dimana ditunjukkan, bahwa otoritas administratif telah berhasil menyelesaikan
sengketa mengenai pengumpulan telur penyu di Sipadan. Malaysia merujuk kepada fakta
bahwa tahun 1933 Pulau Sipadan berdasarkan Bagian 28 dari Ordonansi Tanah 1930
dinyatakan sebagai reserve bagi tujuan penangkaran burung. Mahkamah berpendapat bahwa
baik ukuran yang diambil untuk mengatur dan mengendalikan pengumpulan telur penyu dan
usaha penangkaran burung harus dilihat sebagai pernyataan tegas tentang pengaturan dan
pernyataan administratif dari otoritas terhadap wilayah tersebut.
Mahkamah terlebih tidak dapat mengabaikan fakta bahwa pada saat itu ketika
kegiatan-kegiatan ini dilaksanakan, baik Indonesia maupun pendahulunya Belanda, tidak
pernah menyatakan pertentangan atau protes. Dalam hal ini, Mahkamah memberikan catatan
bahwa pada tahun 1962 dan 1963 Pemerintah Belanda tidak pernah mengingatkan otoritas
Koloni North Borneo atau Malaysia setelah kemerdekaannya, bahwa pembangunan
mercusuar pada masa-masa itu berlangsung di wilayah yang mereka anggap sebagai milik
Indonesia.
3.3.2. Proses Persidangan Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
Dalam Argumentasi Tertulis dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu penyampaian dasar
dari klaim yang disebut sebagai Memorial . Atas Memorial yang disampaikan, masing-
masing negara diberi kesempatan untuk menjawab dalam bentuk Counter Memorial. Counter
Memorial yang disampaikan oleh masing-masing negara kemudian dijawab kembali dalam
bentuk Reply.
96
Pasal 4 Konvensi 1891 berbunyi : “ From 4 10’ latitude in the east coast the boundary line shall be
continued eastward along the parallel, across the Island of Sebatik; that portion of the island
situated to the north of that parallel shall belong unreservedly to the British North Borneo
1. Kedaulatan atas kedua pulau diperoleh dari serangkaian transaksi yang dimulai
dari grant Sultan Sulu kepada British North Borneo Company (BNBC) tahun 1878,
pengakuan Spanyol atas kedaulatan Inggris di Borneo melalui Perjanjian 1885, dan
pertukaran Nota antara Amerika Serikat (AS) dengan Inggris tahun 1907 mengenai
pengakuan AS atas pengelolaan pulau-pulau yang sedang dipermasalahkan (termasuk Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan) yang berada dalam administrasi BNBC meskipun kedaulatannya
masih tetap berada di bawah AS. Malaysia juga merujuk pada Perjanjian AS-Inggris tahun
1930 tentang penyerahan kedaulatan AS kepada Inggris atas pulau-pulau di selatan dan barat
garis batas antara Filipina dengan Borneo, dan penyerahan kedaulatan Inggris kepada
Malaysia tahun 1963 melalui prinsip suksesi negara; 2. Kedaulatan atas kedua pulau
diperoleh dari fakta bahwa Inggris kemudian Malaysia sejak tahun 1878 secara damai dan
terus-menerus telah mengadministrasikan kedua pulau itu. Di pihak lain, Belanda dan
kemudian Indonesia tidak pernah melakukan klaim atas kedua pulau sampai tahun 1969.
Argumentasi Malaysia tersebut dikenal dengan istilah effectivities.
97
Abdul Irsan (2009). Pelajaran Yang Dapat Ditarik dari Kasus Sipadan dan Ligitan. Jurnal
Pada pelaksanaan Oral Hearing tanggal 12 Juni 2002, delegasi Indonesia yang
diketuai Menteri Luar Negeri RI, dalam kedudukannya sebagai Agent, didampingi oleh dua
orang anggota Komisi I DPR-RI, sejumlah pejabat dari
Dalam hubungan ini Konstitusi Filipina menganggap wilayah Sabah masih diklaim
sebagai wilayah yang pernah dimiliki oleh Kesultanan Sulu dan pihak Filipina masih terus
berusaha melalui negosiasi diplomatik untuk memperjuangkan haknya. Mengenai klaim
Filipina atas wilayah Sabah, Malaysia dan Filipina pernah melakukan perundingan untuk
98
Hakim ad hoc Weeramantry dalam kasus Soverignty Over Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
memberikan pernyataan yang sama yang berkaitan dengan definisi dari kepentingan yang
1. Garis 4 10’ berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891 dapat berarti “berhenti” atau
“terus” melewati suatu pulau tertentu (Sebatik). M ahkamah menolak argumentasi Indonesia
bahwa garis perpanjangan terebut merupakan “allocation line” di luar Pulau Sebatik sehingga
timbul keraguan pengertian garis perpanjangan. Pasal 4 Konvensi 1891 tidak menyebut
secara tegas bahwa garis 4 10’ terus berlanjut melampaui Pulau Sebatik dan memisahkan
pulau-pulau yang berada dibawah kedaulatan Inggris dan Belanda. Oleh karena itu
Mahkamah berpendapat bahwa sangat sulit untuk menyatakan bahwa Inggris Belanda
memang bersepakat untuk menganggap garis dimaksud juga sebagai “allocation line”;
2. Mahkamah mencatat bahwa tidak ada satu pun bukti yang meyakinkan kalau
pulau-pulau Sipadan dan Ligitan dan pulau-pulau lain seperti Mabul, merupakan wilayah
yang dipersengketakan oleh Inggris dan Belanda pada saat Konvensi 1891 dibuat. Atas dasar
tersebut Mahkamah tidak dapat menerima bahwa garis batas yang disetujui tersebut terus
dilanjutkan dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa di laut sebelah timur Pulau
Sebatik dimana konsekuensinya Pulau Ligitan dan Sipadan berada dibawah kedaulatan
Belanda;
Dalam kaitan dengan Pulau Sipadan dan Ligitan, Mahkamah juga berpendapat
bahwa batasan di dalam Pembukaan Konvensi 1891 sulit untuk diterapkan mengingat saat itu
letak kedua pulau tidak begitu banyak diketahui, sebagaimana juga dimaklumi oleh Indonesia
dan Malaysia, dan bukan menjadi sengketa antara Belanda dengan Inggris;
6. Mahkamah menolak klaim Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan yang
didasarkan pada “treaty based title” Konvensi 1891. Mahkamah juga berpendapat bahwa
99
Abdul Irsan (2009). Op. cit. hal : 256-257
7. Dalam kaitan dengan konsesi minyak, Mahkamah mencatat bahwa batas konsesi
minyak yang diberikan oleh Indonesia dan Malaysia tidak sampai ke Pulau Sipadan dan
Ligitan dan tidak tepat di garis 4 10’ LU, tetapi berhenti di 30’ di sebelah utara atau selatan
garis 4 10’. Mahkamah tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa pemberian konsesi minyak
tersebut merupakan hasil penafsiran dari Pasal 4 Konvensi 1891.
1. Tidak ada satu pun dari dokumen hukum yang diajukan Malaysia menyebutkan Pulau
Sipadan dan Ligitan dapat mendukung klaimnya atas kedua pulau tersebut berdasarkan
“transfer of title”;
2. Mahkamah menjelaskan bahwa kedua pulau tidak termasuk dalam grant Sultan Sulu yang
menyerahkan seluruh hak dan kekuasaan atas kepemilikannya di Borneo, termasuk pulau-
pulau dalam batas 3 marine leagues, kepada Afred Dent dan Baron van Overbeck tanggal 22
Januari 1878;
3. Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti bahwa Spanyol menganggap Pulau
Sipadan dan Ligitan termasuk dalam Protokol 1878 antara Spanyol dengan Kesultanan Sulu
atau menyimpulkan bahwa Jerman dan Inggris mengakui kedaulatan Spanyol atas Sipadan
dan Ligitan berdasarkan Protokol 1885. Pada tahun 1903 Sultan Sulu tidak dalam posisi
menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut dimasukkan dalam grant 1878 kepada Alfred Dent
dan Baron van Overbeck. Karena itu Mahkamah berpendapat bahwa Spanyol adalah satu-
satunya negara yang dapat mengklaim Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan instrumen
hukum yang relevan. Tetapi tidak ada bukti bahwa Spanyol melakukannya. Mahkamah juga
berpendapat bahwa pada saat itu baik Inggris atas nama State of Nort Borneo maupun
Belanda tidak pernah mengklaim kedaulatannya, baik secara eksplisit maupun implisit;
4. Mahkamah mencatat bahwa meskipun tidak dapat disangkal bahwa Pulau Sipadan dan
Ligitan tidak termasuk dalam lingkup Treaty of Peace tahun 1898, “Perjanjian 1900” juga
tidak secara khusus menjelaskan pulaupulau selain Cagayan Sulu dan Sibutu beserta pulau-
pulau yang menjadi bagiannya yang diserahkan Spanyol kepada AS, yang mungkin juga
termasuk pulau-pulau Sipadan dan Ligitan. Di lain pihak, AS tidak mengetahui dengan pasti
pulau-pulau mana saja yang diperolehnya berdasarkan Perjanjian 1900 tersebut;
100
Abdul Irsan (2009). Ibid. hal : 258-259
6. Mahkamah menolak dalil M alaysia tentang tidak terputusnya mata rantai kepemilikan
yang diperolehnya dari Kesultanan Sulu. Tidak ada suatu kepastian bahwa Pulau Sipadan dan
Ligitan berada di bawah kepemilikan Sultan Sulu atau para ahli waris lainnya yang
disebutkan dalam mata rantai “treaty based line” atas kedua pulau tersebut.
Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan dalil “treaty based title” dan “chain of title”,
karena keduanya tidak mampu mengajukan bukti-bukti kuat yang mendukung argumentasi
masing-masing.
1. Dalil “effectivites” yang telah diajukan oleh Indonesia dan Malaysia sebagai pertimbangan
untuk memutuskan siapa yang paling berhak memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Ligitan. Indonesia dan Malaysia mengklaim bahwa bukti-bukti effectivites yang diajukan
sematamata untuk mengkonfirmasikan “treaty based title” masing-masing. Dengan
menggunakan dalil alternative, Malaysia berhak mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan berdasarkan rangkaian kepemilikan dan administrasi yang berkelanjutan
secara damai tanpa penolakan dari pihak Indonesia atan pendahulunya. Mahkamah
berpendirian karena Indonesia maupun Malaysia tidak memiliki “treaty based title” atas
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, maka Mahkamah mempertimbangkan effectivites sebagai
masalah yang berdiri sendiri;
101
Abdul Irsan (2009). Ibid. hal : 259-260
1. Dalam kaitannya dengan bukti effectivites yang diajukan oleh Indonesia, Mahkamah
mencatat fakta bahwa Undang-Undang No.4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia tidak
mencantumkan atau mengindikasikan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai “base
points” atau “turning points” yang relevan;
2. Bahwa laporan komandan kapal destroyer Belanda “Lynx” dan dokumen yang diajukan
oleh Indonesia berkaitan dengan kegiatan pengawasan dan patroli di sekitar Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan, yang dilakukan baik oleh kapal “Lynx” pada November 1921 maupun
Angkatan LautIndonesia pada Desember 1967, tidak dapat menunjukkan bahwa baik Belanda
maupun Indonesia menganggap bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan serta perairan di sekitarnya
merupakan wilayah yang berada di bawah kedaulatan Belanda atau Indonesia;
3. Mahkamah menilai bahwa kegiatan penangkapan ikan secara tradisional yang dilakukan
oleh nelayan Indonesia di perairan sekitar Pulau Sipadan dan Ligitan tidak dapat
dipertimbangkan sebagai tindakan “a titre de souverain” yang mencerminkan maksud dan
keinginan untuk bertindak dalam kapasitas dimaksud.
2. Mahkamah berpendapat bahwa pembangunan dan pengoperasian mercusuar dan alat bantu
pelayaran tidak dapat dianggap sebagai manifestasi kekuasaan negara;
102
Abdul Irsan (2009). Ibid. hal : 261-262
Persoalan mengenai Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan muncul baru pertama kali pada
bulan September 1969 dalam perundingan batas landas kontinen di Kuala Lumpur antara
Indonesia dan Malaysia. Pada kesempatan perundingan tersebut Malaysia menyatakan
kepemilikannya atas kedua pulau tersebut yang terletak di pantai Timur Laut Kalimantan dan
di bagian Barat Laut pulau Sulawesi. Sebaliknya Indonesia juga menuntut bahwa kedua pulau
tersebut berada di bawah kedaulatannya.
Kedua negara baik Indonesia maupun Malaysia tidak memiliki argumentasi hukum
yang kuat untuk mendukung tuntutan mereka masing-masing. Dalam upaya untuk
menyelesaikan sengketa, antara kedua negara Indonesia dan Malaysia mengadakan
perundingan-perundingan pada berbagai tingkat namun tidak berhasil mencapai penyelesaian
yang dapat diterima kedua pihak.
Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir
Muhammad sepakat untuk mengangkat Special Envoy-nya (utusan khusus) masing-masing
untuk mencari solusi alternatif. Setelah mengadakan pertemuan beberapa kali di Jakarta dan
Kuala Lumpur utusan khusus tersebut setuju mengusulkan kepada pemerintahannya masing-
masing untuk mencari penyelesaian damai atas sengketa mereka melalui Mahkamah
Internasional dan menerima keputusan Mahkamah sebagai final dan mengikat.
Demikianlah pada tanggal 31 Mei 1997 bertempat di Kuala Lumpur, Menteri Luar
Negeri Ali Alatas dan Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Abdullah Ahmad Badawi, atas
nama pemerintahnya masing-masing menandatangani Persetujuan Khusus (Special
Agreement) untuk mengajukan sengketa tersebut ke Mahkamah Internasional.
Ditengah-tengah proses acara, muncul pula upaya hukum lain yang ditentukan oleh
negara ketiga, yaitu permohonan intervensi oleh Filipina terhadap perkara ini, dengan alasan
bahwa perkara ini menyangkut perjanjian-perjanjian yang oleh Filipina merupakan dasar
klaimnya terhadap Sabah. Sesuai dengan hukum acara Mahkamah, F ilipina dimungkinkan
untuk memohon intervensi jika keputusan Mahkamah nantinya akan dapat mempengaruhi
kepentingan hukumnya sebagai pihak ketiga. Pada keputusannya pada tanggal 23 Oktober
2001, Mahkamah Internasional menolak permohonan intervensi Filipina ini dengan
pertimbangan bahwa Filipina tidak berhasil mendefinisikan apa yang menjadi kepentingan
hukum Filipina dalam perkara ini akan memberikan dampak pada keputusan Mahkamah
Internasional.
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan penulis mengenai, maka
penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Awal permasalahan sengketa wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bermula dari
pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan
Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu pembicaraan landas
kontinen di laut Sulawesi, kedua negara sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan sebagai miliknya.
Indonesia dan Malaysia sepakat bahwa untuk menyelesaikan masalah sengketa wilayah Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan diselesaikan melalui Mahkamah Internasional (International Court
of Justice) Malaysia memenangkan kasus sengketa wilayah tersebut, maka Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan jatuh kepada daerah kekuasaan Malaysia.
Penyebab kalahnya Indonesia adalah Indonesia kurang memiliki data dan bukti historis yang
dapat menunjukan bahwa Belanda juga memiliki kehendak dan tindakan untuk menjadikan
Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai warisan penjajah
4.2. Saran
Sebagai negara kepulauan yang berwawasan nusantara, maka Indonesia harus menjaga
keutuhan wilayahnya. Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan
tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian Pemerintah. Keberadaan pulau-pulau kecil ini
secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita
ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar
tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia,
khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/ belum
memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Pemerintah juga perlu mengembangkan
pengelolaan pulau-pulau di wilayah di perbatasan, antara lain sebagai wilayah konservasi dan
Buku :
A. Hamzah. Laut, Teritorial dan Perairan Indonesia 1984. Himpunan Ordonansi, Undang-
undang dan Peraturan Lainnya. Jakarta : Akademika Pressindo. 1984.
Abdul Irsan (2009). Pelajaran Yang Dapat Ditarik dari Kasus Sipadan dan Ligitan. Jurnal
Aleksius Jemadu. 2008. Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Amitav Acharya (2001). Constructing a Security Community in Southeast Asia : ASEAN and
the
Problem of Regional Order. Routledge : London and New York. hal. 45-46.
Bantarto Bandoro (1994). Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru. Centre For
Didi Krisna. 1993. Hubungan Bilateral dan Politik Internasional. Jakarta: Gramedia.
Ellycv M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Ganewati Wuryandari (2007). Mencermati Kembali Enam Dekade Politik Luar Negeri
Indonesia.
J.G Starke (2001). Pengantar Hukum Internasional : Edisi Kesepuluh. Penerj emah:Bambang
George Ritzer. 2010. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Hadi Soesastro dan A.R. Sutopo (ed). 1981. Strategi dan Hubungan Internasional Idonesia
dan Kawasan Asia Pasifik. Jakarta : CSIS.
Irving M. Zeitlin. 1998. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse. 2010. International Relations. Longman: New
York.
Mohtar Kusumaatmadja (1983). Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa
Ini.
Mochtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
PT. Pustaka LP3ES.
Nasikun. 2003. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
O.C. Kaligis. 2003. Sengketa Sipadan-Ligitan : Mengapa Kita Kalah?. Jakarta : O.C Kaligis
& Associates.
Robert lawang. 1994. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta:universitas terbuka.
Robert Jackson dan Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumaryo Suryokusumo. 2013. Hukum Diplomatik dan Konsuler Jilid I. Jakarta : Tatanusa.
Ulber Silalahi. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama.
Internet :
http://www.buletinlitbang.dephan.go.id.index.aspmnorutisi=6&vnomor=IO.html. Diakses
pada tanggal 06 Januari 2018 pukul 20.00
http://www.fisip-
pemerintahanunila.ac.id.index.phpoption=com.articles&task=viewarticle&artid
=18<emid=66. Html diakses diakses pada tanggal 04 Januari 2018 pukul 20.00