Anda di halaman 1dari 75

DIPLOMASI INDONESIA-MALAYSIA DALAM PENYELESAIAN KASUS

KEPEMILIKAN PULAU SIPADAN DAN PULAU LIGITAN

Disusun Oleh :

Aan Fourdes Lubis

130906059

Dosen Pembimbing : Dr. Warjio, MA, Ph.D

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2017

Universitas Sumatera Utara


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU POLITIK

AanFourdesLubis (130906059)

DIPLOMASI INDONESIA-MALAYSIA DALAM KASUS KEPEMILIKAN PULAU


SIPADAN DAN LIGITAN
Rincian Isi SkripsiTerdiridari, 114 halaman, 4 gambar, 20 buku, 8situs internet.

ABSTRAK

Hubungan diplomatik Indonesia dengan negara sahabat khususnya dengan Malaysia


secara resmi terjalin sejak 31 Agustus 1957 saat Malaysia menyatakan kemerdekaannya.
Pada masa awal hubungan bilateral, kedua negara sempat mengalami era konfrontasi pada
tahun 1963-1965. Namun dengan visi jauh ke depan, para pemimpin kedua negara telah
mengambil sikap yang bijak untuk segera memulihkan hubungan dan bahkan menjadi
pelopor dalam pembentukan organisasi regional ASEAN pada tahun 1967. Ketidakjelasan
batas-batas negara dan status wilayah sering menjadi sumber persengketaan di antara negara-
negara yang berbatasan atau berdekatan.Persengketaan muncul akibat penerapan prinsip
yang berbeda terhadap penetapanbatas-batas landas kontinen di antara negara-negara
bertetangga sehingga menimbulkan wilayah tumpang tindih yang dapat menimbulkan
persengketaan. Yang dimana pada akhirnya hakim-hakim Mahkamah Internasional akhirnya
memutuskan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi yurisdiksi Malaysia.
Pertimbangan hakim-hakim Mahkamah Internasional dalam memenangkan Malaysia
adalah didasarkan pada beberapa faktor yaitu : kehadiran terus menerus,pendudukan efektif,
pengelolaan dan pelestarian alam. Hal tersebut ditegaskan dalam Report of International
Court of Justice 1 Agustus- 31 Juli 2012, keputusan Mahkamah Internasional dilakukan
melaluibargaining atau tawar-menawar yang dipimpin oleh hakim ketua Gilbert Guillaume
dari Perancis yang menetapkan Malaysia mempunyai kedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Ligitan. Dengan demikian Malaysia berhak menarik garis pangkal sebagai batas wilayahnya
sampai titik terluar Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
Penelitian ini mencoba untuk menjelaskan diplomasi Indonesia dan Malaysia serta
penyelesaian kepemilikan pulau Sipadan dan pulau Ligitan. Penelitian ini adalah jenis
penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Penelitian ini adalah jenis
penelitian studi pustaka. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder, yang diperoleh melalui buku-buku, situs internet, jurnal, dan lainnya yang
berkaitan dengan penelitian ini.

Kata Kunci :Diplomasi, Sipadan dan Ligitan, MahkamahInternasional.

Universitas Sumatera Utara


UNIVERSITY OF NORTHERN SUMATRA
FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE
DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

AanFourdesLubis (130906059)

DIPLOMACY INDONESIA-MALAYSIA IN CASE OF OWNERSHIP OF SIPADAN


AND LIGITAN ISLAND
Content Details Thesis Consists of, 114 pages, 4 pictures, 20 books, 8 websites.

ABSTRACT

Indonesia's diplomatic relations with friendly countries especially with Malaysia was
formally established since 31 August 1957 when Malaysia declared its independence. In the
early days of bilateral relations, both countries experienced an era of confrontation in 1963-
1965. But with a far-sighted vision, leaders of both countries have taken a wise stance to
immediately restore relations and even pioneered the establishment of the ASEAN regional
organization in 1967. The uncertainty of state boundaries and territorial status is often a
source of dispute among nations adjacent or adjacent. The dispute arises from the application
of different principles to the determination of the boundaries of the continental shelf among
neighboring countries, causing a region of overlap which can cause disputes. Which is where
finally the judges of the International Court of Justice finally decided Sipadan and Ligitan
Islands became the jurisdiction of Malaysia.
The consideration of the judges of the International Court of Justice in winning
Malaysia is based on several factors: continuous presence, effective occupation, management
and conservation of nature. This is confirmed in the Report of International Court of Justice
August 1 to July 31, 2012, the decision of the International Court of Justice conducted
through bargaining or bargaining led by the presiding judge Gilbert Guillaume of France
who determined Malaysia has sovereignty over Sipadan and Ligitan islands. Thus Malaysia
is entitled to draw the base line as the boundary of its territory to the outermost point of
Pulau Sipadan and Pulau Ligitan.
This research tries to explain the diplomacy of Indonesia and Malaysia as well as the
settlement of ownership of Sipadan island and Ligitan island. This research is a type of
qualitative research using descriptive method. This research is kind of research literature
study. Sources of data used in this study are secondary data, obtained through books, internet
sites, journals, and others related to this research.

Keywords: Diplomacy, Sipadan and Ligitan, International Court of Justice.

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Dengan penuh kerendahan hati. Segala puji, hormat dan syukur penulis haturkan

kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan karuniaNya yang tak terhingga yang telah

diberikan oleh penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

“Diplomasi Indonesia-Malaysia dalam Kasus Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan”.

Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada kedua Orangtua

penulis, Bapak saya yang saya hormati Ikat Lubis dan Ibu saya yang saya cintai Dormauli

Parhusip, untuk cinta dan kasih, juga pengorbanan yang besar dalam mendidik dan

membesarkan saya selama ini, serta doa dan dukungan yang sangat besar kepada saya untuk

menyelesaikan skripsi ini. Dan juga kepada adik-adik saya tercinta Ipan Lubis dan Eka Rama

Messi Lubis.

Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan

skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang memerlukannya. Karena

penulis menyadari apa yang telah ditulis ini masih jauh dari kata memuaskan dan

kesempurnaan.

Dalam kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-

besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu S.H, M.Hum selakuPejabat RektorUniversitas

Sumatera Utara;

2. Bapak Dr. Muriyanto Amin. S.Sos, M.Si

selakuDekanFakultasIlmuSosialdanIlmuPolitik;

Universitas Sumatera Utara


3. Bapak Dr. Warjio, Ph.DselakuKetuaDepartemenIlmuPolitik FISIP USU, dan juga

selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis. Terimakasih atas bimbingan dan arahan

dari Bapak sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Kepada seluruh Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP USU yang telah membagi

ilmunya kepada penulis, baik dalam hal akademik maupun kegiatan di luar akademik

yang akan penulis jadikan pengalaman yang berharga dan memanfaatkannya sebaik

mungkin.

5. Kepada seluruh kawan-kawan dari Ilmu Politik 2013 atas kebersamaannya selama ini.

Terkhusus kepada sahabat-sahabat seperjuangan penulis, Boan Anderson Girsang,

Reynaldi Tua Utama Siregar, Sopiyan, Samuel Siregar, Vernanda, Rasyid, Haris

Afif, Fadli Ashyari, Arga Nugraha, Heri Laksana, Putri Epi, Novi Ardila, Fida, Kikin,

Indah Nurul Fajar, Nattaya, Nena, Angela. Dan juga kepada kawan-kawan lainnya

yang tidak bisa penulis ucapkan satu persatu.

6. Kepada adik-adik stambuk 2014 dan 2015, terkhusus kepada Tomi Josua, Reynaldo,

Rahmat Riady, Erik Barus, Dody Anry,Agus, Samuel Silalahi, Reza.

7. Kepada S2BF Iskandar Hrp, Ryan Nasution, M. Yuda Firmansyah, Andri Josua, Tony

Sitanggang, susah senang selalu bersama yaa !

8. Kepada anak-anak SOTO, Indra Sitorus, Ican Anwar, Affandy Noor, Hanif, Juandri,

Kagawa,

9. Kepada Anak gg Murni Bg Leo Sibuea, Bg Ferry, Sandro, Kris panjaitan, Gendo boy

10. Kepada seluruh manusia-manusia pilihan yang ada dalam kehidupan penulis selama

penulisan skripsi ini yang namanya tidak dapat penulis tulis satu persatu.

Medan, 23 Januari 2018

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ................................................................................... i

Abstract..................................................................................... ii

Kata Pengantar......................................................................... iii

Daftar Isi .................................................................................. v

BAB I : PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang ............................................................... 1

1.2.Rumusan Masalah.......................................................... 11

1.3.Batasan Masalah ............................................................. 11

1.4.Tujuan Penelitian ............................................................ 12

1.5.Manfaat Penelitian .......................................................... 12

1.6.Kerangka Teori ............................................................... 13

1.6.1. Teori Diplomasi.................. .................................... 13

1.6.2. Teori Kepentingan Nasional..................................... 21

1.6.3. Teori Konflik ..................................................... 33

1.7.Metodologi Penelitian ..................................................... 45

1.7.1. Metode Penelitian ................................................. 45

1.7.2. Jenis Penelitian ..................................................... 46

1.7.3. Teknik Pengumpulan Data ................................... 47

1.8.Sistematika Penulisan ...................................................... 47

1.9.

Universitas Sumatera Utara


BAB II : PROFIL NEGARA INDONESIA DAN NEGARA MALAYSIA SERTA

PULAU SIPADAN DAN LIGITAN

2.1 Profil Negara Indonesia................................................ 49

2.2 Profil Negara Malaysia............................................................ 52

2.3 Profil Pulau Sipadan dan Ligitan............................................ 56

BAB III : ANALISIS DIPLOMASI INDONESIA-MALAYSIA DALAM


PENYELESAIAN KEPEMILIKAN PULAU SIPADAN DAN PULAU LIGITAN

3.1 Hubungan Bilateral antara Indonesia dan Malaysia................... 58

3.1.1. Perundingan Bilateral antara Indonesia dan Malaysia...... 64

3.2. Kepentingan Nasional Indonesia..................................... 69

3.2.1. Kepentingan Strategis yang Bersifat Permanen.................. 72

3.2.2. Kepentingan Strategis yang Bersifat Mendesak................. 73

3.2.3. Kepentingan Strategis di bidang Kerjasama Pertahanan..... 75

3.3. Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan ................................ 79

3.3.1. Urutan Penyelesaian Sengketa Wilayah atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
melalui International Court of Justice (ICJ)............. 86

3.3.2. Proses Persidangan Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau


Ligitan............................................................................ 91

3.3. Pokok-pokok Argumentasi Hukum Indonesia dan Malaysia........ 92

3.3.1. Written dan Oral Hearings........................................... 93

3.4. Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah Internasional Mengenai Klaim


Kedaulatan Atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan........ 98

3.4.1. Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah Internasional Mengenai


Dalil-dalil “Effectivites”............................... 102

Universitas Sumatera Utara


BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ..................................................................... 109

4.2 Saran............................................................................... 110

Daftar Pustaka ............................................................................. 111

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hubungan Diplomatik merupakan hubungan yang dijalankan antara negara satu


dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing negara, hal ini
sudah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu. Untuk dapat menjalankan hubungan
diplomatik dengan negara lain perlu adanya pengakuan (recognition) terlebih dahulu terhadap
negara tersebut, terutama oleh negara yang akan menerima perwakilan diplomatik suatu
negara (Receiving State). Tanpa adanya pengakuan terhadap negara tersebut, maka
pembukaan hubungan dan perwakilan diplomatik tidak bisa dilakukan. Misalnya, Indonesia
tidak dapat membuka perutusan diplomatiknya di Israel karena belum mengakui Israel
sebagai sebuah negara. 1

Pada awalnya, pelaksanaan hubungan diplomatik itu sendiri hanya dilaksanakan


berdasarkan kebiasaan internasional yang ada di antara masyarakat-masyarakat internasional
dahulu kala. Setelah mengalami perkembangan, pada akhirnya negara-negara kemudian
mengkodifikasikan kebiasaan-kebiasaan internasional yang berkaitan dengan perwakilan
diplomatik asing yang dianggap penting pelaksanaannya kedalam Vienna Convention on
Diplomatic Relations, 1961, yang kemudian disusul dengan pembentukan Vienna Convention
on Consular Relations, 1963, beserta protokol tambahannya masing-masing.

Di dalam prakteknya, untuk menjalankan hubungan diplomatik diperlukan adanya


perwakilan diplomatik dari tiap-tiap negara. Perwakilan-perwakilan tersebut akan dipilih oleh
negara yang mengutusnya dan akan menjalankan diplomasi sebagai salah satu cara
komunikasi yang biasanya dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara wakil-
wakil yang sudah diakui. 2

Jika suatu negara telah menyetujui pembukaan hubungan diplomatik dengan negara
lain melalui suatu instrumen atas dasar asas timbal balik (principle of reciprocity) dan asas
saling menyetujui (mutual consent), 3 negara-negara tersebut sudah harus memikirkan
pembukaan suatu perwakilan diplomatik dan penyusunan keanggotaan perwakilan tersebut
baik dalam tingkatannya maupun jumlah anggota staf perwakilan yang telah disetujui
bersama atas dasar kewajaran dan kepantasan (reasonable and normal). 4

Hubungan luar negeri Indonesia dengan negara-negara lain telah dimulai sejak
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Berbagai
forum baik bilateral, regional maupun multilateral telah dirancang oleh Indonesia bersama-
sama dengan negara-negara sahabat. Dalam menjalin hubungan tersebut Indonesia senantiasa

1
Sumaryo Suryokusumo. Hukum Diplomatik dan Konsuler Jilid I. Jakarta : Tatanusa. 2013. Hal.8.
2
Ibid., hal. 3.
3
Konvensi Wina 1961, Pasal 2.
4
Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., Hal. 53

Universitas Sumatera Utara


mempromosikan suatu bentuk kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
saling menghormati, tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain, penolakan
penggunaan kekerasaan serta konsultasi dan mengutamakan konsensus dalam proses
pengambilan keputusan.

Hubungan diplomatik Indonesia dengan negara sahabat khususnya dengan Malaysia


secara resmi terjalin sejak 31 Agustus 1957 saat Malaysia menyatakan kemerdekaannya.
Pada masa awal hubungan bilateral, kedua negara sempat mengalami era konfrontasi pada
tahun 1963-1965. Namun dengan visi jauh ke depan, para pemimpin kedua negara telah
mengambil sikap yang bijak untuk segera memulihkan hubungan dan bahkan menjadi
pelopor dalam pembentukan organisasi regional ASEAN pada tahun 1967. Hubungan
bilateral antara Indonesia dan Malaysia yang dilandasi oleh adanya semangat serumpun telah
mendorong terus berkembangnya kerjasama kedua negara di berbagai sektor. 5

Walaupun demikian terdapat beberapa permasalahan yang senantiasa menjadi salah


satu isu yang menonjol dalam hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia.Pada penelitian ini
lebih lanjut melihat kepada konflik yang terjadi antara Malaysia dan Indonesia yaitu
mengenai perebutan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang menjadikannya sebagai sengketa
wilayah. Ketidakjelasan batas-batas negara dan status wilayah sering menjadi sumber
persengketaan di antara negara-negara yang berbatasan atau berdekatan.Persengketaan
muncul akibat penerapan prinsip yang berbeda terhadap penetapanbatas-batas landas
kontinen di antara negara-negara bertetangga sehingga menimbulkan wilayah “tumpang
tindih” yang dapat menimbulkan persengketaan. Yang dimana pada akhirnya hakim-hakim
Mahkamah Internasional akhirnya memutuskan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi yurisdiksi
Malaysia. 6

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika
dalam pertemuan teknis mengenai hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara
ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya.
Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status
quo, akan tetapi ternyata perbedaan pemahaman diantara kedua negara tersebut. Pihak
Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena
Malaysia menganggapstatus quo wilayah tersebut masih berada di bawah Malaysia sampai
persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa status kedua pulau tadi
tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.
Namun Malaysia malah membangun permukiman di sana. Oleh karena itu, pemerintah
Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala
Lumpur meminta agar pembangunan di sana dihentikan terlebih dahulu. Alasannya, Sipadan
dan Ligitan itu masih dalam sengketa, dan belum diputus siapa pemiliknya. Pada tahun 1969

5
Kerjasama Bilateral. Dikutip melalui http://www.deplu.go.id. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2017 pukul 21.33
6
Hadi Soesastro dan A.R. Sutopo (ed). Strategi dan Hubungan Internasional Idonesia dan Kawasan Asia Pasifik. Jakarta
: CSIS. 1981. Hal. 80

Universitas Sumatera Utara


pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta
nasionalnya. 7

Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC
(Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di Bali
antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN. Akan tetapi pihak
Malaysia menolak. Mereka beralasan karena Malaysia juga mengalami sengketa dengan
Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta
sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina,
Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pada Tahun 1991 pihak Malaysia menempatkan sepasukan polisi
hutan (setara dengan Brimob) untuk melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia
serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau. Sikap pihak
Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu
menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala
Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM
Malaysia waktu itu, Mahathir Mohammad, yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg
Moerdiono dan Wakil PM Malaysia Anwar Ibrahim, untuk membentuk kesepakatan "Final
and Binding". Dan pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan
tersebut. Indonesia meratifikasi persetujuan tersebut pada tanggal 29 Desember 1997 dengan
Keppres Nomor 49 Tahun 1997, demikian pula dengan Malaysia pada 19 November 1997. 8

Pertimbangan hakim-hakim Mahkamah Internasional dalam memenangkan Malaysia


adalah didasarkan pada beberapa faktor yaitu : kehadiran terus menerus,pendudukan efektif,
pengelolaan dan pelestarian alam.Hal tersebut ditegaskan dalam Report of International Court
of Justice 1 Agustus- 31 Juli 2012, keputusan Mahkamah Internasional dilakukan
melaluibargaining atau tawar-menawar yang dipimpin oleh hakim ketua Gilbert Guillaume
dari Perancis yang menetapkan Malaysia mempunyai kedaulatan atasPulau Sipadan dan
Ligitan. Dengan demikian Malaysia berhak menarik garis pangkal sebagai batas wilayahnya
sampai titik terluar Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. 9

Wilayah perbatasan Indonesia khususnya yang berkaitan dengan pulau-pulau terluar,


masih dihadapkan pada permasalahan kejahatan perbatasan seputarpelanggaran batas
wilayah,penyelundupan barang dan orang, infiltrasi terorisme,penangkapan ikan ilegal, illegal
logging, dan kejahatan HAM. Berbagai bentukpelanggaran ini kemudian memberikan
dampak serius terhadap dimensi kedaulatan negara dan keamanan warga negara. Hingga saat
ini, Indonesia masihmemiliki wilayah laut yang ‘mengambang’ statusnya jika dilihat dari
perspektifhak berdaulat (Zona Tambahan, Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia,dan
LandasKontinen) sehingga seringkali memicu konflik.

7
Sengketa Sipadan Dan Ligitan. Dikutip melalui https://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan. Diakses
pada tanggal 25 Oktober 2017 pukul 22.31.
8
Ibid.,
9
O.C. Kaligis. Sengketa Sipadan-Ligitan : Mengapa Kita Kalah?. Jakarta : O.C Kaligis & Associates. 2003. Hal. 185

Universitas Sumatera Utara


Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan pulau kecil yang luasnya 23 hektar. Pulau
Ligitan terdiri dari semak belukar dan pohon. Sementara itu, Sipadan merupakan pucuk
gunung merapi di bawah permukaan laut dengan ketinggian sekitar 700 meter. Sampai 1980-
an, dua pulau ini tak berpenghuni.

Bagi Indonesia dan Malaysia, dua pulau ini punya arti penting, yakni batas tegas
antardua negara. Sengketa pemilik Sipadan dan Ligitan sebenarnya sudah terjadi sejak masa
kolonial antara pemerintah Hindia Belanda dan Inggris. Pulau Sipadan pernah dimasukkan
dalam Peraturan tentang Perlindungan Penyu (Turtle Preservation Ordinance) oleh
pemerintah Inggris pada 1917. Keputusan ini ditentang pemerintah Hindia Belanda yang
merasa memiliki pulau tersebut. Sengketa kepemilikan pulau itu tak kunjung reda, meski
gejolak bisa teredam. Sengketa Sipadan dan Ligitan kembali muncul ke permukaan pada
1969. 10Pulau Sipadan dan ligitan merupakan dua pulau dari rangkaian kepulauan yang
terletak di Selat Makasar, di perbatasan antara kalimantan timur dan Sabah (Malaysia Timur).
Pulau Sipadan memiliki luas 50000 m2 dan dengan luas 10,4 ha terletak 15 mil laut (sekitar
24 km) dari pantai sabah (malaysia) dan 40 mil laut (sekitar 64 km) dari pantai pulau sebatik
(Indonesia). Sementara Pulau Ligitan merupakan gugus pulau karang seluas 18.000m2 dan
luas 7,9 ha yang terletak 21 mil laut (34 km) dari pantai daratan Sabah dan 57,6 mil (93 km)
dari pantai Pulau Sebatik diujung timur laut pulau Kalimantan / Borneo ini luasnya 7,9 Ha.

Pulau ini dari sejarahnya merupakan wilayah kesatuan Republik Indonesia dan
menjadi sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Konflik bermula ketika Indonesia
dan Malaysia menyelenggarakan pertemuan teknis hukum laut pada tahun 1967. Perselisihan
pendapat mulai mencuat dua tahun berikutnya, yaitu tahun 1969 ketika kedua negara
merundingkan penetapan batas landas kontinen. Indonesia dan Malaysia saling meng-klaim
dan menyatakan kedua pulau itu merupakan bagian integral dari wilayah negaranya. Pada
awalnya pemerintah indonesia bersikap lunak dan beralasan, tidak tepat untuk bertindak
dengan keras dengan Malaysia karena menyusul persetujuan rujuk kedua negara 11 Agustus
1966.

Sengketa Ligitan dan Sipadan sebenarnya sudah terjadi sejak masa kolonial antara
pemerintah Hindia Belanda dan Inggris. Pulau Sipadan pernah dimasukkan dalam peraturan
tentang Perlindungan Penyu ( Turtle Preservation Ordinance ) oleh pemerintah Inggris pada
tahun 1917. Keputusan ini ditentang oleh pemerintah Hindia Belanda yang merasa memiliki
pulau tersebut. Sengketa kepemilikan pulau itu tak kunjung reda, me ski gejolak bisa
teredam.

Sementara itu yang menjadikan dasar klaim Indonesia atas Sipadan dan Ligitan
adalah isi dari Pasal IV Konveksi Belanda dan Inggris tahun 1891 yang di tanda tangani di
London, dalam pasal itu menyatakan bahwa kedua negara itu sepakat bahwa batas antara
jajahan Belanda dan negara-negara yang dilindungi Inggris di pulau yang sama di ukur dari
titik 4 menit 10 detik lintang utara di pantai timur Kalimantan. Dari titik posisi itu lantas di

10
http://pendidikan60detik.blogspot.co.id/2017/03/lepasnya-pulau-sipadan-dan-ligitan-dari.html diakses
pada tanggal 5 November 2017 pukul 23.30

Universitas Sumatera Utara


tarik ketimur mengikuti garis paralel melintasi Pulau Sebatik. Bagian pulau yang terletak
sebelah utara garis paralel sepenuhnya milik British North Borneo Company. Sedangkan
Bagian selatan garis paralel menjadi hak milik Belanda. Berdasarkan kesepakatan itu, Pulau
Sipadan dan Ligitan menjadi masuk ke wilayah Belanda dan di wariskan ke Indonesia yang
merdeka pada tahun 17 Agustus 1945. Selain itu juga Indonesia meng-klaim kedua wilayah
tersebut adalah wilayah milik Sultan Bulungan dan menjadi wilayah dari kerajaan Kutai di
Kalimantan.

Sedangkan Malaysia juga memiliki dasar yang kuat untuk mendapatkan klaim kedua
pulau tersebut yaitu dengan berdasar Traktat Paris tahun 1809 yang merupakan perjanjian
perbatasan Malaysia dan Filipina. Kemudian perjanjian Spanyol-Amerika pada tahun 1900
dan perjanjian Inggris-Amerika Serikat pada tahun 1930. Selain dengan dasar perjanjian-
perjanjian tersebut Sipadan dan Ligitan merupakan hak turun temurun dari Sultan Sulu yang
menyerahkan kepada Spanyol, Amerika Serikat, Inggris dan kemudian kepada Malaysia
setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1963. Sehingga Indonesia tidak
cukup kuat untuk meng-klaim Sipadan dan Ligitan karena Indonesia setelah ditinggalkan
Belanda, dan telah lama menelantarkan kedua pulau itu. Sesuai dengan aturan hukum
internasional hak atas wilayah bisa diperoleh pihak ke tiga bila wilayah tersebut di
telantarkan untuk kurun waktu tertentu oleh pemilik aslinya.

Walaupun dilakukan dengan cara yang sangat hati-hati, namun perundingan bilateral
tidak mampu menemukan titik temu bagi kedua negara untuk menyelesaikan konflik
perebutan pulau Sipadan dan Ligitan, sehingga pada tahun 1988 indonesia dan Malaysia
sepakat menempatkan kedua pulau pada kondisi “status quo”. Kesepakatan ini diambil ketika
PM Mahathir Muhammad mengunjungi Jakarta padatahun 1988. Kesepakatan ini kemudian
dikukuhkan saat Presiden Soeharto berkunjung ke Kuala Lumpur dua tahun berikutnya.

Selama ditetapkan “status quo” pada tahun 1991 banyak terjadi konflik di kedua
pulau tersebut seperti pada awal juni 1991 melalui Menlu Ali Alatas Indonesia melayangkan
nota protes karena Malaysia membangun fasilitas di daerah sengketa. Kemudian Juga TNI
AL menangkap kapal pukat MV Pulau Banggi ketika menangkap ikan di perairan Sipadan.
Kapal yang terbuat dari bahan fiberglass sempat diseret ke pangkalan TNI AL di Tarakan.

Kemudian pada Oktober 1991, kedua negara sepakat melakukan pendekatan dan
membentuk kesepakatan RI-Malaysia. Indonesia berusaha agar kedua negara terus berupaya
menemukan perundingan terbaik melalui jalan bilateral. Jika tidak bisa melalui jalan bilateral
Indonesia mengajak Malaysia menyelesaikannya melalui ”Treaty of Amity and
Coorporation”, suatu lembaga di bawah naungan ASEAN. Lembaga ini memiliki High
Council atau dewan tinggi yang beranggotakan para Menlu para anggota ASEAN

Meski sudah di bantu dengan Dewan tinggi ASEAN namun kontak antara kedua
negara di daerah sengketa terus saja berlangsung seperti pada tahun 1993 yang nyaris terjadi
baku tembak ketika kapal TNI AL mendekati pulau Sipadan. Kemudian pada 29 September
1996 sempat terjadi baku tembak antara kapal TNI AL dengan kapal patroli Malaysia.Pulau-
pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak berpenduduk dan jauh

Universitas Sumatera Utara


dari perhatian pemerintah. Keberadaan pulau-pulau inisecara geografis sangatlah strategis,
karena berdasarkan pulau inilah batas negara ditentukan. Indonesia memiliki sekitar 17.504
pulau yang beberapa diantaranya merupakan pulau-pulau yang berbatasan dengan negara
tetangga atau dapatdisebut dengan pulau perbatasan atau pulau terluar. Berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 78 Tahun 2005, Indonesia memiliki 92 pulau terluar yang berbatasan
langsung dengan negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, Filipina,Palau, Australia, Timor
Leste, India, Singapura, dan Papua Nugini. Di antara 92pulau terluar ini, ada 12 pulau yang
harus mendapatkan perhatian serius di antaranya: pulau Rondo, pulau Berhala, pulau Nipa,
pulau Sekatung, pulau Marore, pulau Miangas, pulau Fani, pulau Fanildo, pulau Bras, pulau
Batek,pulau Marampit dan pulau Dana karena posisi dan keberadaan pulau-pulau
iniseharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar tidakmenimbulkan
permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia, khususnya pulau yang
terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/ belum memiliki perjanjian
(agreement) dengan Indonesia. 11 Atas latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan
penelitiandengan judul : “Diplomasi Indonesia-Malaysia dalam Kasus Kepemilikan Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan”, dalam penulisan skripsi ini.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

Dalam penelitian ini penulis merumuskan masalah yang akan diteliti Bagaimana diplomasi
Indonesia-Malaysia dalam penyelesaian kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan?

1.3 Batasan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti akan memerlukan batasan masalah, sehingga masalah
yang diangkat tidak menyimpang dari tujuan yang ingin di capai. Oleh karena itu adapun
yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Hanya mendeskripsikan diplomasi Indonesia-Malaysia terhadap kepemilikan


Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

2. Hanya mendeskripsikan penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau Sipadan


dan Pulau Ligitan

11
A. Hamzah. Laut, Teritorial dan Perairan Indonesia 1984. Himpunan Ordonansi, Undang-undang dan Peraturan
Lainnya. Jakarta : Akademika Pressindo. 1984. Hal. 20.

Universitas Sumatera Utara


1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui bagaimana kronologi sengketa Indonesia-Malaysia


terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan

2. Untuk menganalisis bagaimana penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau


Sipadan dan Ligitan

1.5 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian diharapkan mampu menerapkan beberapa teori yang


diharapkan mampu untuk memberikan kontribusi dalam ilmu politik, yang nantinya akan
digunakan oleh penulis sebagai acuan analisisnya, diantaranya teori diplomasi, teor
kepentingan nasional dan teori konflik

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan


referensi penelitian bagi Departemen Ilmu Politik , Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan


pengetahuan dan informasi kepada publik mengenai diplomasi Indonesia-Malaysia dalam
kasus kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan

1.6 Kerangka Teori

1.6.1 Diplomasi

Diplomasi merupakan salah satu instrumen penting dalam pelaksanaan kepentingan


nasional suatu negara. Diplomasi sebagai alat utama dalam pencapaian kepentingan nasional
yang berkaitan dengan negara lain atau organisasi internasional. Melalui diplomasi ini sebuah
negara dapat membangun citra tentang dirinya. Dalam hubungan antar negara, pada
umumnya diplomasi dilakukan sejak tingkat paling awal sebuah negara hendak melakukan
hubungan bilateral dengan negara lain hingga keduanya mengembangkan hubungan
selanjutnya.

Diplomasi merupakan praktek pelaksana perundingan antar negara melalui


perwakilan resmi. Perwakilan resmi dipilih oleh negara itu sendiri tanpa ada campur tangan
pihak lain atau negara lain. Diplomasi antar negara dapat mencakup seluruh proses hubungan
luar negeri, baik merupakan pembentukan kebijakan luar negeri dan terkait pelaksanaannya.
Diplomasi dikatakan juga mencakup teknik operasional untuk mencapai kepentingan nasional
di luar batas wilayah yuridiksi. Ketergantungan antar negara yang semakin tinggi yang

Universitas Sumatera Utara


kemudian menyebabkan semakin banyak jumlah pertemuan internasional dan konferensi
internasional yang dilakukan sampai saat ini.

Diplomasi juga diartikan sebagai suatu relasi atau hubungan, komunikasi dan
keterkaitan. Selain itu diplomasi juga dikatakan sebagai proses interaktif dua arah antara dua
negara yang dilakukan untuk mencapai poltik luar negeri masing-masing negara. 12

Diplomasi dan politik luar negeri sering diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang
tidak dapat dipisahkan. Dikatakan demikian karena politik luar negeri adalah isi pokok yang
terkandung dalam mekanisme pelaksanaan dari kebijakan luar negeri yang dimiliki oleh suatu
negara, sedangkan diplomasi adalah proses pelaksanaan dari politik luar negeri. Oleh karena
itu baik diplomasi dan politik luar negeri saling berkaitan dan mendukung satu sama lain.

Diplomasi terus mengalami perkembangan seiring dengan adanya saling


ketergantungan antara suatu negara dengan negara lain. Dalam kegiatan diplomasi salah satu
proses yang sering dilakukan adalah dengan menggunakan cara negosiasi disamping bentuk
kegiatan diplomasi lainnya, seperti pertemuan, kunjungan, dan perjanjianperjanjian. Oleh
karena itu negosiasi merupakan salah satu teknik dalam diplomasi untuk menyelesaikan
perbedaan secara damai dan memajukan kepentingan nasional suatu negara.

Sir Ernest Satow dalam bukunya, guide to diplomati Practice memberikan


karakterisasi terkait tata cara diplomasi yang baik. Sir Ernest Satow mengatakan bahwa
diplomasi adalah “ the application of intelligence and tact to conduct of official relations
between the government of independent states “. 13

Diplomasi menjadi bagian yang sangat penting untuk dijadikan salah satu solusi atau
jalan keluar untuk mengupayakan penyelesaian secara damai. Diplomasi dilakukan untuk
mencapai suatu kepentingan nasional suatu negara. Meskipun diplomasi berhubungan dengan
aktivitas-aktivitas yang damai, dapat juga terjadi di dalam kondisi perang atau konflik
bersenjata karena tugas utama diplomasi tidak hanya manajemen konflik, tetapi juga
manajemen perubahan dan pemeliharaannya dengan cara melakukan persuasi yang terus
menerus di tengah-tengah perubahan yang tengah berlangsung. 14

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa diplomasi adalah perpaduan antara ilmu
dan seni perundingan atau metode untuk menyampaikan pesan melalui perundingan guna
mencapai tujuan dan kepentingan negara yang menyangkut bidang politik, ekonomi,
perdagangan, social, budaya, pertahanan, militer, dan berbagai kepentingan lain dalam
bingkai hubungan internasional.

Suatu negara untuk dapat mencapai tujuan dan diplomatiknya dapat dilakukan
dengan berbagai macam cara. Menurut Kautilya, yaitu dalam bukunya Kautilya’s concept of
diplomacy : a new interpretation bahwa tujuan utama diplomasi yaitu pengamanan
kepentingan negara sendiri. 15 Dapat dikatakan bahwa tujuan diplomasi merupakan

12
S.L , Roy, 1995, Diplomasi, Jakarta Utara, PT Raja Grafindo persada. hlm. 35.
13
S.L Roy, op. cit, hlm. 2.
14
Watson Adam, , 1984, The Dialogues Between States, London, Methuem. hlm. 1.
15
Jayanti, E. (2014, Maret 4). Retrieved April 18, 2017, from ejournal.hi.fisipunmul.ac.id:

Universitas Sumatera Utara


penjaminan keuntungan maksimum negara sendiri. Selain itu juga terdapat kepentingan
lainnya, seperti ekonomi, perdagangan dan kepentingan komersial, perlindungan warga
negara yang berada di negara lain, pengembangan budaya dan ideologi, peningkatan prestise
bersahabat dengan negara lain, dan lain-lain.

Suatu negara untuk memulai atau melakukan hubungan diplomatik dengan negara
lain terdapat tata cara yang mengaturnya, tata cara tersebut diatur di dalam Konvensi Wina
tahun 1961 tentang hubungan diplomatik yang digunakan sebagai acuan dasar hukum
kediplomatikan dan konvensi tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia menjadi
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang pengesahan Konvensi Wina tentang
Hubungan Diplomatik beserta Protokol Opsionalnya tentang Hal Memperoleh
Kewarganegaraan. 16

Dengan adanya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1982 tersebut diharapkan dapat


memperlancar tugas masing-masing instansi yang berkepentingan dalam rangka
melaksanakan ketentuan-ketentuan Konvensi Wina tersebut. Dengan kata lain hal tersebut
dapat dijadikan petunjuk bagi pemerintah Indonesia dalam membantu kelancaran
pelaksanaan diplomasi Indonesia terhadap negara lain. Selain hubungan-hubungan
diplomatik yang telah diatur dalam Konvensi Wina tahun 1961 terdapat pula konvensi
mengenai hubungan konsuler yang diatur dalam Konvensi Wina tahun 1963. Hukum
kekonsulan terbentuk melalui berbagai jaringan perjanjian bilateral antar negara. Hal tersebut
terakhir tertuang dalam Vienna Convention on Consular Relation, 1963 dan mulai belaku
tanggal 19 Maret 1967 setelah diratifikasi oleh sejumlah negara peserta seperti yang
disyaratkan.

Meskipun telah ada konvensi tersebut, namun tidak berarti perjanjian-perjanjian


bilateral yang sudah ada tidak berlaku lagi, sama sekali tidak benar. Keabsahan dipertegas
dalam mukadimah Konvensi yang antara lain berbunyi:“ Affirming that rules of customary
Internasional Law continues to govern matters not expressly regulated by the provisions of
the present Convention “. 17

Sesuatu yang dibenarkan oleh Vienna Convention on Consuler Relations, 1963 yang
diuraikan pada ayat 3 yang berbunyi : “ Consular functions are exercised by consular post.
They are also exercised by diplomatic missions in accordance with the provisions of the
present convention “. 18

Suatu negara penerima yang belum terdapat perwakilan diplomatik, maka


kedudukan dan fungsinya dapat digantikan oleh perwakilan konsuler, begitu juga sebaliknya.
Karena dalam hal ini, perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler pada hakikatnya sama.
Namun dalam beberapa aspek terdapat perbedaan diantara keduanya. Namun secara garis

http://ejournal.hi.fisipunmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/2014/03/Artikel%20Ejournal%20Genap-eRhiin%20%2803-04-
14-05-46-53%29.pdf . diakses pada tanggal 25 Oktober 2017 pukul 22.36.
16
S. L. Roy, op. cit, hlm. 15
17
Kementerian Luar Negeri. (1982). Retrieved April 1, 2017, from pih.kemlu.go.id:
http://pih.kemlu.go.id/files/UU%20No.01%20Tahun%201982%20Tentang%20Pengesahan% 20Konvensi%20
WIna.pdf . diakses pada tanggal 25 Oktober 2017 pukul 22.36.
18
ibid

Universitas Sumatera Utara


besar antara perwakilan diplomatik dan konsuler tetap sama yang dimana kesamaan tersebut
akan penulis uraikan sebagai berikut:

a. Kedua jenis perwakilan, baik perwakilan diplomatik maupun perwakilan konsuler


merupakan perwakilan luar negeri sebuah negara yang sama. Perbedaanya terletak pada
tingkat hubungan dengan negara setempat. Jika perwakilan diplomatik hubungannya dengan
pemerintah pusat, maka hubungan perwakilan konsuler adalah dengan pemerintah daerah
setempat, ditempat perwakilan itu berkedudukan.

b. Umumnya para diplomat dan konsul mempunyai tingkat pendidikan permulaan


yang sama seperti yang dipersyaratkan, begitu pula pendidikan-pendidikan jenjang
selanjutnya. 19

Inti dari diplomasi adalah kesediaan untuk memberi dan menerima guna mencapai
saling pengertian antara dua negara (bilateral) atau beberapa negara (multilateral). Diplomasi
biasanya dilakukan secara resmi antar pemerintah negara, namun bisa juga secara tidak resmi
melalui antar lembaga informal atau antar penduduk atau antar komunitas dari berbagai
negara yang berbeda. Idealnya, diplomasi harus memberikan hasil berupa pengertian yang
lebih baik atau persetujuan tentang suatu masalah yang dirundingkan. Ada berbagai ragam
diplomasi, yaitu:

a. Diplomasi Boejuis-Sipil, merupakan diplomasi yang dalam penyelesaian


permasalahan lebih mengutamakan cara-cara damai melalui negosiasi untuk mencapai tujuan
(win-win solution)

b. Diplomasi demokratis, yaitu diplomasi yang berlangsung secara terbuka dan


memperhatikan suara rakyat.

c. Diplomasi totaliter, merupakan diplomasi yang lebih menonjolkan peningkatan


peran negara (pemujaan patriotism dan loyalitas kepada negara berapa pun harga
pengorbanannya). Diplomasi ini marak pada fasisme Italia, fasisme Spanyol, dan nazi
Jerman.

d. Diplomasi Preventif, biasanya diluncurkan ketika masyarakat menghadapi


suasana genting yang akan memunculkan konflik besar atau pecah perang.

e. Diplomasi Provokatif, bertujuan untuk menyudutkan posisi suatu negara untuk


menimbulkan sikap masyarakat internasional agar menentang politik suatu negara.

f. Diplomasi Perjuangan, diperlukan saat negara mengahadapi situasi genting untuk


mempertahankan posisinya dalam memperjuangkan hak-hak untuk mengatur urusan dalam
negerinya dan menghindari campur tangan negara lain.

19
Repository UMY, Skripsi Ika Hanis Tyasanti, 21310233, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. hlm 16.

Universitas Sumatera Utara


g. Diplomasi Multilajur (Multitrack Diplomasi), merupakan diplomasi total yang
dilakukan Indonesia dimana penggunaan seluruh upaya pada aktor dalam pelaksanaan poltik
luar negeri.

h. Diplomasi Publik (Softpower Diplomacy), diplomasi ini menekankan gagasan


alternatis penyelesaian masalah melalui pesan-pesan damai, bukan melalui provokasi, agitasi
atau sinisme.

Diplomasi adalah suatu alat yang digunakan terutama untuk menjamin penyerahan
kedaulatan. 20 Diplomasi juga diartikan sebagai penggunaan sebagai kecerdasan dan
kelincahan dalam melaksanakan hubungan resmi antara pemerintah dari negara-negara
merdeka. 21

Diplomatic berasal dari kata “diplomacy” yang berarti sarana yang sah atau legal,
terbuka dan terang-terangan yang digunakan oleh sesuatu negara dalam melaksanakan politik
luar negerinya.

Dalam arti luas diplomasi meliputi seluruh kegiatan polotik luar negeri suatu negara
dalam hubungannya dengan bangsa dan negara lain .

Diplomasi meliputi kegiatan :

1. menentukan tujuan dengan mempergunakan semua daya dan tenaga


untukmencapai tujuan tersebut.

2. penyesuaian kepentingan dari bangsa lain dengan kepentingan nasionalsesuai


dengan daya dan tenaga yang ada padanya.

3. menentukan apa tujuan nasional sejalan atau berbeda dengan kepentingan bangsa
atau negara lain.

4. mempergunakan sarana dan kesempatan yang ada sebaik-baiknya.

Perwakilan Indonesia di luar negeri dapat berupa :

1. Perwakilan diplomatik yaitu perwakilan yang kegiatannya meliputi semua


kepentingan negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah
negara penerima atau kegitannya meliputi bidang kegiatan suatu organisasi Internasional.

2. Perwakilan konseler adalah perwakilan yang kegitannya meliputi semua


kepentingan negara negara Republik Indonesia di bidang konseler dan mempunyai
wilayahkerja tertentu didalam wilayah negera penerima. 22

20
K.J. Holsti dan M. Tahir Azhary, politik internasional, 1988, hal. 113
21
Hidayat Mukmin, Peran serta TNI dalam Politik Luar negeri Indonesia, 1991, hal. 102-105
22
Ahmad Rustandi SH dan Zul Afdi Ardian SH, Tata Negara Jilid 2, 1988, hal.202

Universitas Sumatera Utara


Diplomasi dalam ketegangan dua negara hanya sebatas ultimatum belaka. Begitu
tindakan permusuhan bermula, masalah yang diambil alih oleh militer. Setelah perang atau
pertikaian fisik berakhir, maka diplomasi dapat dimulai kembali. Hal ini dialami oleh
Indonesia ketika memutuskan bahwa konfrontasi dengan Malaysia harus dihentikan.
Konfrontasi dianggap membawa dampak buruk bagi Indonesia terutama dalam ekonomi,
maka Indonesia memutuskan untuk mengakhiri konfrontasi. Indonesia mulai melakukkan
misi diplomatiknya dengan melakukan perundingan dengan pihak Malaysia. 23

Jadi dari pendapat diatas dapat simpulkan bahwa diplomasi adalah pelaksanaan
hubungan luar negeri secara nyata yang bertujuan sebagai alat negosiasi atau perundingan
antar dua negara atau lebih untuk mencapai suatu kesepakatan..

1.6.2 Kepentingan Nasional

Dalam kepentingan nasional peran ‘negara’ sebagai aktor yang mengambil


keputusan dan memerankan peranan penting dalam pergaulan internasional berpengaruh bagi
masyarakat dalam negerinya. Demikian pentingnya karena ini yang akan menjadi
kemaslahatan bagi masyarakat yang berkehidupan di wilayah tersebut. Seorang ahli, Thomas
Hobbes menyimpulkan bahwa negara dipandang sebagai pelindung wilayah, penduduk, dan
cara hidup yang khas dan berharga. Demikian karena negara merupakan sesuatu yang
esensial bagi kehidupan warga negaranya. Tanpa negara dalam menjamin alat-alat maupun
kondisi-kondisi keamanan ataupun dalam memajukan kesejahteraan, kehidupan masyarakat
jadi terbatasi. 24 Sehingga ruang gerak yang dimiliki oleh suatu bangsa menjadi kontrol dari
sebuah negara.

Kepentingan nasional tercipta dari kebutuhan suatu negara. Kepentingan ini dapat
dilihat dari kondisi internalnya, baik dari kondisi politik-ekonomi, militer, dan sosial-budaya.
Kepentingan juga didasari akan suatu ‘power’ yang ingin diciptakan sehingga negara dapat
memberikan dampak langsung bagi pertimbangan negara agar dapat pengakuan dunia. Peran
suatu negara dalam memberikan bahan sebagai dasar dari kepentingannasional tidak
dipungkiri akan menjadi kacamata masyarakat internasional sebagai negara yang menjalin
hubungan yang terlampir dari kebijakan luar negerinya. Dengan demikian, kepentingan
nasional secara konseptual dipergunakan untuk menjelaskan perilaku politik luar negeri dari
suatu negara. 25 Seperti yang dipaparkan oleh Kindleberger mengenai kepentingan nasional;

hubungan antara negara tercipta karena adanya perbedaan keunggulan yang dimiliki tiap
negara dalam berproduksi. Keunggulan komparatif (comparative advantage) tersebut
membuka kesempatan pada spesialisasi yang dipilih tiap negara untuk menunjang
pembangunan nasional sesuai kepentingan nasional. 26

23
Yusuf Sufri. Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri. 1989. hal. 122
24
Robert Jackson dan Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.
89
25
P.Anthonius Sitepu. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal.163
26
https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_keunggulan_komparatif diakses pada tanggal 05 November 2017 pukul 22.37

Universitas Sumatera Utara


Pengertian tersebut menjelaskan bahwa keberagaman tiap-tiap negara yang ada di
seluruh dunia memiliki kapasitas yang berbeda. Demikian tercipta dapat terpengaruh dari
domografi, karekter, budaya, bahkan history yang dimiliki negara tersebut. Sehingga negara
saat ingin melakukan kerjasama dapat melihat kondisi dari keunggulan-keungulan yang dapat
menjadi pertimbangan. Pelaksanaan kepentingan nasional yang mana dapat berupa kerjasama
bilateral maupun multilateral kesemua itu kembali pada kebutuhan negara. Hal ini didukung
oleh suatu kebijakan yang sama halnya dengan yang dinyatakan oleh Hans J. Morgenthau
bahwa kepentingan nasional merupakan;

Kemampuan minimum negara-negara untuk melindungi dan mempertahankan


identitas fisik, politik, dan kultural dari gangguan negara-negara lain. Dari tinjauan itu, para
pemimpin suatu negara dapat menurunkan suatu kebijakanspesifik terhadap negara lain
bersifat kerjasama maupun konflik. 27

Adanya kepentingan nasional memberikan gambaran bahwa terdapat aspek-aspek


yang menjadi identitas dari negara. Hal tersebut dapat dilihat dari sejauh mana fokus negara
dalam memenuhi target pencapaian demi kelangsungan bangsanya. Dari identitas yang
diciptakan dapat dirumuskan apa yang menjadi target dalam waktu dekat, bersifat sementara
ataupun juga demi kelangsungan jangka panjang. Hal demikian juga seiring dengan seberapa
penting identitas tersebut apakah sangat penting maupun sebagai hal yang tidak terlalu
penting.

Konsep kepentingan nasional bagi Hans J. Morgenthau memuat artian berbagai


macam hal yang secara logika, kesamaan dengan isinya, konsep ini ditentukan oleh tradisi
politik dan konteks kultural dalam politik luar negeri kemudian diputuskan oleh negara yang
bersangkutan. 28 Hal ini dapat menjelaskan bahwa kepentingan nasional sebuah negara
bergantung dari sistem pemerintahan yang dimiliki, negara-negara yang menjadi partner
dalam hubungan diplomatik, hingga sejarah yang menjadikan negara tersebut menjadi seperti
saat ini, merupakan tradisi politik. Sedangkan tradisi dalam konteks kultural dapat dilihat dari
cara pandang bangsanya yang tercipta dari karakter manusianya sehingga menghasilkan
kebiasaan-kebiasaan yang dapat menjadi tolak ukur negara sebelum memutuskan
menjalankan kerjasama.

Dalam bukunya Mohtar Mas’oed menjelaskan konsep ini sama dengan menjalankan
kelangsungan hidup. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa kelangsungan hidup tercipta dari
adanya kemampuan minimum. Kemampuan minimum tersebut dapat dilihat dari kepentingan
suatu negara yang dihubungkan dengan negara lain. Hal tersebut menjelaskan bagaimana
sebuah kepentingan dapat menghasilkan kemampuan akan menilai kebutuhan maupun
keinginan pribadi yang sejalan dengan itu berusaha menyeimbangkan akan kebutuhan
maupun keinginan dilain pihak. Konsep ini juga menjelaskan seberapa luas cakupan dan
seberapa jauh sebuah kepentingan nasional suatu negara harus sesuai dengan

27
Theodore A. Coulumbis dan James H. Walfe. Op.Cit. Hal.115
28
P.Anthonius Sitepu. 2011. Op,Cit. Hal. 165

Universitas Sumatera Utara


kemampuannya. 29 Kemampuan disini menjadi batasan yang didukung dari Sumber Daya
Manusia (SDM) maupun Sumber Daya Alam (SDA).

Kepentingan-kepentingan suatu negara dalam menjelaskan identitas mereka,


memiliki kegunaan-kegunaan. Hal ini dalam penjelasan kepentingan nasional itu sendiri
digambarkan oleh penjabaran James N. Rosenau yang mana kegunanaan pertama, sebagai
istilah analitis untuk menggambarkan, menjelaskan atau mengevaluasi politik luar negeri dan
yang berikutnya yaitu sebagai alat tindakan politik yaitu sebagai sarana guna mengecam,
membenarkan ataupun mengusulkan suatu kebijakan. 30 Dari demikian negara yang menjalin
kerjasama tidak akan menyesal suatu saat nanti. Kondisi ini memperjelas akan tindakan
langsung maupun tidak langsung yang dapatmenjadi bahan rujukan bagi pihak-pihak yang
berencana melakukan kerjasama. Ini juga dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran dan
pengamatan akan kondisi internal negara yang akan menjadi partner kerjasama. Dalam
kepentingan nasional, terdapat pembedaan yang mendasar yakni; kepentingan nasional yang
bersifat vital atau esensial juga kepentingan nasional yang bersifat non-vital atau sekunder.
Kepentingan nasional yang bersifat vital biasanya berkaitan dengan kelangungan hidup
negara tersebut serta nilai-nilai inti (core values) yang menjadi identitas kebijakan luar
negerinya. Sedangkan kepentingan nasional non-vital atau sekunder tidak berhubungan
secara langsung dengan eksistensi negara itu namun tetap diperjuangkan melalui kebijakan
luar negeri. 31 Kepentingan vital menjelaskan seberapa jauh kepentingan tersebut ada dan
digunakan, dimana lebih kepada keadaan darurat suatu negara sehingga harus segera
diputuskan. Berbeda dengan kepentingan non-vital yang digunakan karena prosesnya
berlangsung lama namun hasilnya dan fungsinya dapat dirasakan lebih baik dikemudian hari
dengan jangka waktu yang lama.

Dalam analisis kepentingan nasional, peran aktor dalam hal ini negara, akan
mengejar apapun yang dapat membentuk dan mempertahankan, pengendalian suatu negara
atas negara lain. Pengendalian tersebut berhubungan dengan kekuasaan yang tercipta melalui
teknik-teknik paksaan ataupun kerjasama. 32 Tindakan demikian tergantung dari seberapa
besar ‘power’ yang dimiliki negara tersebut. Sejalan dengan itu jika telah menemui poinnya,
maka negara akan merubah alur yang tadinya hanya demi kepentingan awal namun dapat
menjadi kepentingan baru. Kepentingan baru ini dilakukan dengan tetap menjalankan
kepentingan awal atau betul-betul merubah kepentingannya tanpa menggunakan dasar dari
kepentingan yang ingin dicapai sebelumnya. Hal ini diperjelas ketika melihat suatu negara
dalam kepentingan nasionalnya dimana kepentingan A dari negara X terhadap negara Y
menjadi awal dari hubungan bilateral tercipta kemudian muncul kepentingan B dari negara X
yang mana dapat timbul sebelum dilakukan kerjasama ataupun selama melakukan kerjasama.

Kepentingan yang demikian itu merupakan strategi dalam menjalankan sebuah


kerjasama demi memenuhi kepentingan satu, dua, tiga dan seterusnya. Negara menggunakan
strategi untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya. Dimana strategi dilakukan untuk

29
Ibid, hal.166
30
Mochtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES. Hal. 34
31
Aleksius Jemadu. 2008. Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 67-69
32
Ibid, hal. 68

Universitas Sumatera Utara


memperkirakan seberapa jauh hasil yang akan dicapai nantinya. Selain itu negara sebagai
aktor utama dalam percaturan internasional harus memiliki nilai yang menjual dalam arti ada
kemampuan yang dimilikinya, sehingga ia disegani oleh lawannya yang menjadi bahan
pertimbangan kerjasama. Seperti yang digambarkan oleh Jon C. Pevehouse dalam bukunya
yang berjudul International Relations:

Actors use strategy to pursue good outcomes in bargaining with one or


more other actors. States deploy power capabilities as leverage to influence each
other’s actions. Bargaining is interactive, and requires an actor to take account of
other actor’s interests even while pursuing its own. 33

Dalam ranah internasional, kerjasama juga merupakan tindakan yang dipandang


sebagai panggung atau arena dalam tuntutan-tuntutan yang mana membahas mengenai
kepentingan akan aktor-aktor yang disebabkan karena keterbatasan yang melekat dalam diri
negara yang menjalin kerjasama. Sehingga dalam hal ini negara berusaha menggunakan
kepentingan nasional sebagai komponen yang dirumuskan dan kemudian diperjuangkan
dalam sebuah ‘relation’.

B. Hubungan Bilateral

Di zona globalisasi saat ini, negara-negara bersaing dalam menentukan kekuatan


atau power menjadi keunggulan suatu negara sehingga menempuh kekuasaan yang menjadi
incaran. Kekuatan suatu negara dalam pembuktian tersebut, bukan lagi dari ‘doktrin’ sebuah
negara sebagai peringkat politik dan militer, dimana sepanjang sejarah negara berupaya
mencari kekuasaan dengan alat-alat kekuatan militer dan perluasan wilayah. Hal itu bukan
menjadi fokus negara saat ini. Negara lebih melirik pada bagaimana membentuk tata
pembangunan ekonomi yang baik dengan melakukan kerjasama berupa perdagangan luar
negeri. Hal demikian dapat mencapai keunggulan dan kesejahteraan yang lebih mencukupi.
Seperti pada penjelasanRosecrance, dimana kondisi yang terjadi saat ini adalah karakter yang
berubah dan dasar dari produksi ekonomi, yang terkait pada modernisasi.

Di masa lalu penguasaan wilayah dan sumber daya alam yang banyak adalah kunci
kejayaan. Namun dalam dunia saat ini, bukan hal demikian melainkan kekuatan tenaga kerja
yang sangat berkualifikasi, akses informasi, dan modal keuangan yang menjadi kunci
keberhasilan. Sehingga demi membangun negaranya harus dilakukan hubungan bilateral atau
kerjasama.

Hubungan bilateral pada dasarnya merupakan hubungan yang terjadi antara dua
pihak. Dalam hal ini terdapat dua aktor yang berperan yang disebut dengan negara. Aktor
disini bukan hanya sebatas pemerintah yang mewakilinamun juga dapat berupa instansi atau
pihak swasta yang berada dalam naungan sebuah negara. Hal demikian sejalan dengan
kepentingan seperti apa yang diinginkan negara dalam menjalin kerjasama.

33
Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse. 2010. International Relations. Longman: New York. Hal.71

Universitas Sumatera Utara


Hubungan bilateral tidak terlepas dari kata ‘cooperation’. Cooperation atau
kerjasama tentu didukung oleh aktor-aktor yang menjalankan kerjasama dan kepentingan
seperti apa yang ingin dicapai. Dalam hal ini aktor dapat berupa negara ke negara, negara ke
organisasi pemerintah, maupun negara ke organisasi non-pemerintah. Fungsinya tentu
kembali pada subjek yang menjalankan kerjasama. Seperti yang dikemukakan oleh Kusumo
Hamidjojo tentang hubungan bilateral adalah;

Suatu bentuk kerjasama diantara negara baik yang berdekatan secara geografis
ataupun jauh diseberang lautan dengan sasaran utama menciptakan perdamaian, dengan
memperhatikan kesamaan politik, kebudayaan, dan stuktur ekonomi. 34

Hal ini diperjelas bahwa kerjasama dilakukan sesuai dengan kompenen-komponen


yang mendukung dilakukannya kerjasama dan kepentingan nasional dari masing-masing
negara. Seperti halnya hubungan bilateral yang dilakukan antara Indonesia dan Korea Selatan
dalam pengiriman tenaga kerja dimana kedua negara sama-sama melihat kondisi negara
masing-masing bahwa kerjasama yang dilakukan mengarah pada perkembangan ekonomi
mereka masing-masing. Dengan melihat kesamaan struktur ekonomi, kedua negara ini sama-
sama membutuhkan kontribusi lebih.

Bentuk hubungan bilateral dapat berupa kerjasama dalam berbagai bidang.


Kerjasama dalam hubungan diplomatik yang memfokuskan pada kondisi politik negara yang
menjalin kerjasama, kemudian kerjasama ekonomi yang diciptakan guna memenuhi
pembangunan pereknonomian, kerjasama militer sebagai security of the state dan juga
kerjasama sosial-budaya hingga pendidikan yang kesemua itu menjadi step-step bagi negara-
negara yang terus ingin maju.

Dalam hubungan bilateral, dimana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa
negara satu dengan negara lain yang menjalin kerjasama memiliki kepentingan masing-
masing. Kepentingan tersebut yang saat ini membuat negara memiliki sifat saling
ketergantungan antara satu sama lain. Seperti yang dijelaskan Teuku May juga berpendapat
mengenai hubungan bilateral bahwa;

Hubungan bilateral adalah saling ketergantungan antara negara satu dengan negara
lain di dunia yang merupakan realitas yang harus dihadapi oleh semua negara. Untuk
memenuhi kebutuhannya masing-masing, maka terjalinlah suatu kerjasama diantara negara
dalam berbagai bidang kehidupan. 35

Pada umumnya negara menjadikan fokus sebuah negara dari segi politik maupun
ekonomi. Dan dalam hal segi sosial-budaya maupun pendidikan sebagai faktor pendukung
dalam hubungan bilateral. Pendidikan dalam hal ini bidang keilmuan seperti alih teknologi
menjadi kerjasama yang banyak dilakukan oleh negara-negara. Hal ini terjadi karena
kepentingan negara yang melakukan kerjasama negara yang dituju sebagai alih teknologi
mendapatkan pengaruh besar melihat alih teknologi dapat merubah sebuah negara.

34
Budiono Kusumohamidjojo. Op.Cit. Hal.48
35
T. May Rudy. Loc.Cit.

Universitas Sumatera Utara


Pola interaksi hubungan internasional tidak dapat dipisahkan dari segala bentuk
interaksi yang berlangsung dalam pergaulan masyarakat internasional, baik oleh para pelaku
negara (state-actor) maupun dari pelaku bukan negara (non-state actor). Pola hubungan dan
interaksi tersebut dapat berupa kerjasama, persaingan, dan pertentangan. Kerjasama yang
terjadi merupakan bentuk kerjasama yang dijalankan seiring dengan meluasnya globalisasi.
Globalisasi merupakan suatu proses hubungan sosial secara relatif yang memperlihatkan
tidak adanya batasan-batasan secara nyata, dimana ruang lingkup kehidupan manusia itu
semakin bertambah dengan memainkan peranan yang lebih luas dalam dunia sebagai satu
kesatuan tunggal. 36 Melalui proses globalisasi secara tidak langsung masyarakat internasional
dalam hal ini negara-negara mengikuti arus yang menciptakan persaingan antara negara-
negara karena tidak adanya sekat yang membatasi. Hal ini demikian mendukung ketika
globalisasi menciptakan hal-hal modern sebagai metamorfosis perkembangan dari modal
teknologi.

Hubungan bilateral terbentuk dilihat dari kondisi diplomatik yang terjalin antara
kedua negara. Korea Selatan dan Indonesia merupakan negara yang saat ini sudah berumur
46 tahun sejak diresmikannya hubungan tingkat konsulat. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Didi Krisna, bahwa hubungan bilateral merupakan keadaan yang menggambarkan
adanya hubungan yang saling mempengaruhi atau adanya hubungan timbal balik diantara
kedua belah pihak atau didalam kedua negara. 37 Keuntungan timbal balik yang demikian jika
hasil positif lebih didominasi maka akan terjadi tindakan saling ketergantungan
(interdependensi) yang akan mengakibatkan kerjasama berlangsung dalam kurun waktu yang
lama.

Sejak awal mulanya kerjasama yang menghasilkan kondisi saling menguntungkan,


negara-negara secara tidak langsung mengalami saling ketergantungan antara satu sama lain.
Begitu juga dengan pembagian tenaga kerja yang tinggi dalam perekonomian internasional,
meningkatkan interdependensi antara negara dan hal tersebut menekan dan mengurangi
konflik kekerasan antara negara. 38 Meskipun suatu saat nanti bahwa resiko terhadap negara
modern akan masuk kembali pada pilihan militer, yang berujung pada konfrontasi kekerasan
akan minim.

Dengan melakukan hubungan bilateral terlebih dengan waktu yang cukup lama,
maka secara tidak langsung akan terjadi suatu dinamika yang memiliki keterkaitan antara
kedua negara akibat adanya kepentingan nasional dari masing-masing pihak. Seperti halnya
dalam kerjasama yang terjalin cukup lama dapat memudahkan dilakukan kerjasama-
kerjasama baru dalam bidang lain. Sehingga jika suatu saat dari salah satu pihak akan tidak
enggan dalam memberikan bantuan yang pada dasarnya kembali lagi demi kepentingan
nasionalnya.

Pelaksanaan kerjasama melalui pengiriman tenaga kerja dengan strategi alih


teknologi, secara tidak langsung akan memberikan nilai lebih bagi perekonomian Indonesia.

36
Ibid, hal.5
37
Didi Krisna. 1993. Hubungan Bilateral dan Politik Internasional. Jakarta: Gramedia. Hal.18
38
Robert Jackson. 2009. Op.Cit. Hal.148

Universitas Sumatera Utara


Disatu sisi Indonesia dengan rencana awal yang mempekerjakan TKI dengan mengirimkan
ke Korea Selatan sebagai devisa negara namun disisi lain TKI yang digunakan sebagai
muliti-fungsi ini dengan mengharapkan ilmu dan pengetahuan dari modal-modal teknologi
yang dimiliki Korea Selatan agar dapat diserap oleh pekerja. Sehingga terciptanya
penguasaan ilmu dan pengetahuan seperti awal mula harapan dikirimkannya TKI agar
berguna bagi TKI maupun negara.

Dalam kerjasama yang menjadi tujuan adalah bagaimana cara memelihara,


mempertahankan dan meningkatkan kerjasama yang berlangsung secara adil dan saling
menguntungkan, cara mencegah dan menghindari konflik, serta cara mengubah kondisi-
kondisi persaingan dalam hal pertentangan dengan menjadikannya sebuah kerjasama. Sejalan
dengan itu kerjasama terbentuk lebih kepada kondisi tingkat ekonomi. Kondisi ekonomi
mendukung tercapainya segala bentuk kepentingan dalam keeksistensian sebuah negara.
Melihat kondisi ini kerjasama yang dilakukan antara dua negara, peran pemerintah meski
bukan lagi hal yang utama namun tetap memegang peranan penting dalam melakukan
kerjasama.

1.6.3 Teori Konflik

Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga
konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu,
dimana saja dan kapan saja.

Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan
dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial
merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong
timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial.

Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki
kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan
sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, akan tetapi
ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan.
Kekerasan merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan
kekerasan dari model kekerasan yang terkecil hingga peperangan.

Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti
bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. 39 Pada umumnya istilah konflik
sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi
melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional.

Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan
pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber
pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya. 40

39
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori,
Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal 345.
40
Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998),hal.156

Universitas Sumatera Utara


Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan konflik
sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh
dikehidupan. 41 Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan,
tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku. 42

Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang
berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling
menantang dengan ancaman kekerasan. 43

Menurut lawang konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal


yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik
itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untk menundukkan pesaingnya. Konflik
dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan
kelompok lain dalam proses perebutan sumber2 kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan
budaya) yang relatif terbatas. 44

Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik adalah
percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau masyarakat
dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara saling menantang
dengan ancaman kekerasan. konflik sosial adalah salah satu bentuk interaksi sosial antara
satu pihak dengan pihak lain didalam masyarakat yang ditandai dengan adanya sikap saling
mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan. Konflik sosial sesungguhnya
merupakan suatu proses bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunnyai kepentingan
yang relative sama terhadap hal yang sifatnya terbatas.

Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik itu dilangsungkan tidak hanya sekedar
untuk mempertahankan hidup dan eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf
pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau
saingannya.

2. Bentuk-bentuk Konflik

Secara garis besar berbagai konflik dalam masyarakat dapat diklasifikasikan ke


dalam beberapa bentuk konflik berikut ini :

a. Berdasarkan sifatnya

Berdasarkan sifatnya, konflik dapat dibedakan menjadi konflik destruktuif dan


konflik konstruktif.

1. Konflik Destruktif Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak
senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain. Pada

41
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.587.
42
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal.99.
43
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005), hal 68.
44
Robert lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi, (Jakarta:universitas terbuka 1994).hal.53

Universitas Sumatera Utara


konflik ini terjadi bentrokan-bentrokan fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta
benda seperti konflik Poso, Ambon, Kupang, Sambas, dan lain sebagainya.

2. Konflik Konstruktif

Merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya
perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan.
Konflik ini akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan
menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi. 45

b. Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik

1. Konflik Vertikal Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu


struktur yang memiliki hierarki. Contohnya, konflik yang terjadi antara atasan dengan
bawahan dalam sebuah kantor.

2. Konflik Horizontal Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok
yang memiliki kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi
massa.

3. Konflik Diagonal

Merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke
seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim. Contohnya konflik
yang terjadi di Aceh. 46

Soerjono Soekanto membagi konflik sosial menjadi lima bentuk yaitu:

1. Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu
atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.

2. Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-
perbedaan ras.

3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang terjadi
disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.

4. Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya
kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.

5. Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi
karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan negara. 47

Sementara itu, Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa konflik dapat dibedakan atas
empat macam, yaitu sebagai berikut :

45
Dr. Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2001), hal.98
46
Kusnadi, Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja, (Malang : Taroda, 2002), hal. 67
47
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,(Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hal.86.

Universitas Sumatera Utara


1. Konflik antara atau yang terjadi dalam peranan sosial, atau biasa disebut dengan
konflik peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana individu menghadapi
harapanharapan yang berlawanan dari bermacam-macam peranan yang dimilikinya.

2. Konflik antara kelompok-kelompok sosial.

3. Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisir dan tidak terorganisir.

4. Konflik antara satuan nasional, seperti antar partai politik, antar negara, atau
organisasi internasional. 48

3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Konflik

Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya
hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber
kepemilikan, status sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya sangat terbatas dengan
pembagian yang tidak merata di masyarakat. 49

Ketidak merataan pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap


sebagai bentuk ketimpangan. Ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak tertentu
berjuang untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi yang perolehan asset sosial relatif
sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan pembagian asset sosial tersebut
berusaha untuk mempertahankan dan bisa juga menambahinya. Pihak yang cenderung
mempertahankan dan menambahinya disebut sebagai status quo dan pihak yang berusaha
mendapatkannya disebut sebagai status need. Pada dasarnya, secara sederhana penyebab
konflik dibagi dua, yaitu:

1. Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang mejemuk


secara kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti perbedaan
pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer,
wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan. Kemajemukan horizontal-kultural
menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik
sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik
budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada
konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan
perang saudara.

2. Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi


berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat
menimbulkan konflik sosial kerena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki
kekayaan, pendidikan yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara
sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki

48
Dr. Robert H. Lauer J. Op.Cit.,hal.102
49
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. Op.Cit.,

Universitas Sumatera Utara


kekuasaan dan kewenangan. Pembagian masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi
timbulnya konflik sosial. 50

Namun beberapa sosiolog menjabarkan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya


konflik-konflik, diantaranya yaitu:

1. Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik


antar individu. Dalam konflik-konflik seperti ini terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian,
dan masing-masing pihak pun berusaha membinasakan lawannya. Membinasakan disini tidak
selalu diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan dalam bentuk
pemusnahan simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tidak disetujui.

Di dalam realitas sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang
sama sehingga perbedaan pendapat, tujuan, keinginan tersebutlah yang mempengaruhi
timbulnya konflik sosial.

2. Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan


konflik antar individu, akan tetapi bisa juga antar kelompok. Pola-pola kebudayaan yang
berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan pola-pola prilaku yang berbeda pula
dikalangan khalayak kelompok yang luas.

Selain itu, perbedaan kebudayaan akan mengakibatkan adanya sikap etnosentrisme


yaitu sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah yang paling
baik. Jika masing-masing kelompok yang ada di dalam kehidupan sosial sama-sama. 51
memiliki sikap demikian, maka sikap ini akan memicu timbulnya konflik antar penganut
kebudayaan.

3. Perbedaan kepentingan. Mengejar tujuan kepentingan masing-masing yang


berbeda-beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan
kesempatan dan sarana.

Perbedaan pendirian, budaya, kepentingan, dan sebagainya tersebut diatas sering


terjadi pada situasi-situasi perubahan sosial. Dengan demikian perubahan-perubahan sosial
itu secara tidak langsung dapat dilihat sebagai penyebab juga terjadinya (peningkatan)
konflik-konflik sosial. Perubahan-perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat akan
mengakibatkan berubahnya sistem nilai-nilai yang berlaku di dalammasyarakat. Dan
perubahan nilai-nilai di dalam masyarakat ini akan menyebabkan perbedaan-perbedaan
pendirian dalam masyarakat.

4. Dampak dari Adanya Konflik terhadap Masyarakat

Tak perlu diragukan lagi, proses sosial yang namanya konflik itu adalah suatu proses
yang bersifat disosiatif. Namun demikian, sekalipun sering berlangsung dengan keras dan
tajam, proses-proses konflik itu sering pula mempunyai akibat-akibat yang positif bagi
masyarakat. Konflik-konflik yang berlangsung dalam diskusi misalnya, jelas akan unggul,

50
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. Op.Cit.,
51
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. Op.Cit.,

Universitas Sumatera Utara


sedangkan pikiran-pikiran yang kurang terkaji secara benar akan tersisih. Positif atau
tidaknya akibat konflik-konflik memang tergantungdari persoalan yang dipertentangkan, dan
tergantung pula dari struktur sosial yang menjadi ajang berlangsungnya konflik. Oleh karena
itu ada dua dampak dari adanya konflik terhadap masyarakat yaitu:

a. Dampak positif dari adanya konflik

1. Bertambahnya solidaritas intern dan rasa in-group suatu kelompok. 52 Apabila


terjadi pertentangan antara kelompok-kelompok, solidaritas antar anggota di dalam masing-
masing kelompok itu akan meningkat sekali. Solidaritas di dalam suatu kelompok, yang pada
situasi normal sulit dikembangkan, akan langsung meningkat pesat saat terjadinya konflik
dengan pihak-pihak luar.

2. Konflik di dalam masyarakat biasanya akan menggugah warga masyarakat yang


semula pasif menjadi aktif dalam memainkan peranan tertentu di dalam masyarakat.

b. Dampak negatif dari adanya konflik

1. Hancurnya kesatuan kelompok. Jika konflik yang tidak berhasil diselesaikan


menimbulkan kekerasan atau perang, maka sudah barang tentu kesatuan kelompok tersebut
akan mengalami kehancuran.

2. Adanya perubahan kepribadian individu. Artinya, di dalam suatu kelompok yang


mengalami konflik, maka seseorang atau sekelompok orang yang semula memiliki
kepribadian pendiam, penyabar menjadi beringas, agresif dan mudah marah, lebih-lebih jika
konflik tersebut berujung pada kekerasan. 53

3. Hancurnya nilai-nilai dan norma sosial yang ada. Antara nilai-nilai dan norma
sosial dengan konflik terdapat hubungan yang bersifat korelasional, artinya bisa saja terjadi
konflik berdampak pada hancurnya nilai-nilai dan norma sosial akibat ketidak patuhan
anggota masyarakat akibat dari konflik. 54

5. Upaya-upaya Untuk Mengatasi Konflik

Secara sosiologi, proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat
menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan (dissociative
processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada terwujudnya nilai-nilai seperti
keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas. Sebaliknya proses sosial yang bersifat
dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai negatif atau asosial, seperti kebencian,
permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecahan dan sebagainya. Jadi proses
sosial asosiatif dapat dikatakanproses positif. Proses sosial yang dissosiatif disebut proses
negatif. Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan
sebagai usaha menyelesaikan konflik. 55

52
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. Op.Cit.,
53
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. Op.Cit.,hal 378.
54
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. Op.Cit.,hal 70.
55
Drs. Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), hal.77

Universitas Sumatera Utara


Adapun bentuk penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi, mediasi,
arbitrasi, koersi (paksaan). Urutan ini berdasarkan kebiasaan orang mencari penyelesaian
suatu masalah, yakni cara yang tidak formal lebih dahulu, kemudian cara yang formal, jika
cara pertama membawa hasil. 56

Menurut Nasikun, bentuk-bentuk pengendalian konflik ada enam yaitu:

1. Konsiliasi (conciliation)

Pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang


memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan diantara
pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan.

2. Mediasi (mediation)

Bentuk pengendalian ini dilakukan bila kedua belah pihak yang bersengketa
bersama-sama sepakat untk memberikan nasihat-nasihatnya tentang bagaimana mereka
sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka.

3. Arbitrasi berasal dari kata latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan
seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi
dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang
bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak
menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai
instansi pengadilan nasional yang tertinggi.

4. Perwasitan

Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk memberikan
keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara mereka. 57

B. Kerangka Teoretik

1. Teori Konflik Ralf Dahrendorf

Teori ini dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori
Fungsional Struktural. Karena itu tidak mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan
oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam teori Fungsional
Struktural. 58

Kalau menurut teori Fungsional Struktural masyarakat berada dalam kondisi statis
atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan maka menurut teori konflik malah
sebaliknya. Masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh
pertentangan yangterus menerus diantara unsur-unsurnya. Kalau menurut teori Fungsional
Struktural setiap elemen atau setiap institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas maka

56
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal.22.
57
Nasikun.Op.Cit., hal.25.
58
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal.26.

Universitas Sumatera Utara


teori Konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi
sosial.

Kontras lainnya adalah bahwa kalau penganut teori Fungsional Struktural melihat
anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas
umum, maka teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah
disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang
berkuasa. 59

Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, menganggap teori
itu merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. Dahrendorf
menganggap masyarakat berisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama.25 60

Dahrendorf adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai


dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua
bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus harus menguji nilai integrasi
dalam masyarakat dan teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan
kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dihadapan tekanan itu. Dahrendorf mengakui
bahwa masyarakat tak kan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu
sama lain. Jadi, kita tidak akan punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya. 61

Konsep teori ini adalah wewenang dan posisi. Keduanya merupakan fakta sosial. Inti
tesisnya sebagai berikut. Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa
kecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis. Perbedaan
wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Perbedaan
posisi serta perbedaan wewenang di antara individu dalam masyarakat itulah yang harus
menjadi perhatian utama para sosiolog. Struktur yang sebenarnya dari konflik-konflik harus
diperhatikan di dalam susunan peranan sosial yang dibantu oleh harapan-harapan terhadap
kemungkinan mendapatkan dominasi. Tugas utama menganalisa konflik adalah
mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat. 62 Posisi tertentu di dalam
masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta
kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan
didistribusikan otoritas “selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis”.

59
George Ritzer. Op.Cit., hal.26.
60
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: CV. Rajawali, 2000), hal.131.
61
George Ritzer. Op.Cit., hal.154.
62
George Ritzer. Op.Cit., hal.26.

Universitas Sumatera Utara


1.7 Metodologi Penelitian

1.7.1 Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode
deskriptif merupakan suatu cara untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta
dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu, penelitian ini berusaha
untuk menggambarkan situasi atau kejadian. 63 Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat
komparatif. Kata “komparasi ‟ dalam bahasa inggris yaitu comparation yang berarti
perbandingan. Makna dari kata tersebut menunjukan bahwa dalam penelitian ini peneliti
bermaksud mengadakan perbandingan kondisi yang berbeda yang ada di satu tempat, apakah
kondisi di tempat tersebut sama atau ada perbedaan, dan kalau ada perbedaan, kondisi mana
yang lebih baik.

Menurut Ulber Silalahi, penelitian komparatif adalah penelitian yang


membandingkan dua gejala atau lebih. Penelitian komparatif dapat berupa komparatif
deskriptif (descriptive-comparative) maupun komparatif korelasional (correlation-
comparative). Komparatif deskriptif membandingkan variabel yang sama untuk sampel yang
berbeda. Komparatif deskriptif juga dapat digunakan untuk membandingkan variabel yang
berbeda untuk sampel yang sama. Perbandingan korelasional juga bisa dengan variabel yang
berbeda dalam hubungan dengan variabel yang sama. Selain itu, perbandingan korasional pun
bisa dengan membandingkan korelasi variabel yang sama untuk sampel yang berbeda. 64

1.7.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian studi pustaka (library research). Studi
kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap
buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya
dengan masalah yang dipecahkan. Sehingga nantinya menghasilkan sebuah kesimpulan baru
yang terbebas dari kesimpulan sebelumnya. 65

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan cara studi pustaka.
Melalui studi pustaka, data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang di dapat dari buku,
jurnal, website, artikel, ataupun sumber-sumber lain yang berkaitan dengan judul penelitian
ini. Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca, menganalisis, kemudian mengutip
dari sumber-sumber tersebut. 66

63
Saifuddin Azwar.Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2010. hal. 7.
64
Ulber Silalahi. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama. 2009. hal.35
65
Mohammad Nazir. 1998. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. hal. 75.
66
Saifuddin Azwar, op.cit., hal. 92.

Universitas Sumatera Utara


Dalam penelitian ini, penulis menggunakan cara studi pustaka yang didapatkan
melalui buku, jurnal, artikel maupun website untuk menjabarkan tentang latar belakang dari
penelitian ini, teori-teori yang akan digunakan didalam penelitian ini, teori diplomasi, teori
kepentingan nasional dan teori konflik.

8. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk lebih


mempermudah dan terarah dalam penulisan skripsi. Agar mendapatkan gambaran yang jelas
dan terperinci membagi penulisan skripsi ini ke dalam empat bab. Adapun susunan
sistermatika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab satu terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan
masalah, tujuan penelitian, mamfaat penelitian, kerangka teori, kerangka konsep, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : PROFIL NEGARA INDONESIA DAN NEGARA MALAYSIA SERTA


PULAU SIPADAN DAN LIGITAN

Bab ini menguraikan profil dari negara Indonesia dan negara Malaysia serta Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan

BAB III : ANALISIS DIPLOMASI INDONESIA-MALAYSIA DALAM


PENYELESAIAN KEPEMILIKAN PULAU SIPADAN DAN PULAU LIGITAN

Bab ini akan menyajikan data dan analisa data mengenai diplomasi yang dilakukan
Indonesia dan Malaysia dalam penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan
Ligitan.

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab terakhir ini penulis akan membuat rangkuman, kesimpulan dari hasil
penelitian yang telah dilakukan serta penulis akan menambahkan beberapa saran terkait hasil
dari penelitian.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

PROFIL NEGARA INDONESIA DAN NEGARA MALAYSIA SERTA PULAU


SIPADAN DAN LIGITAN

2.1 PROFIL NEGARA INDONESIA

Gambar 2.1 Bendera Negara Indonesia

Berikut ini adalah Profil Negara Indonesia :

Nama Lengkap : Republik Indonesia

Bentuk Pemerintahan : Republik Presidensil

Kepala Negara : Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla (sejak 20 Oktober
2014)

Kepala Pemerintahan : Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla (sejak 20
Oktober 2014)

Ibukota : Jakarta

Luas Wilayah : 1.904.569 km2

Jumlah Penduduk : 258.316.051 jiwa (2016)

Pertumbuhan Penduduk : 0,89%

Bahasa Resmi : Bahasa Indonesia

Universitas Sumatera Utara


Agama : Islam 87.2%, Kristen 7%, Katolik 2.9%, Hindu 1.7%, agama lainnya 0.9%
(Termasuk Buddha dan Kong Hu Cu), (estimasi tahun 2010)

Suku Bangsa : Jawa 40.1%, Sunda 15.5%, Melayu 3.7%, Batak 3.6%, Madura 3%, Betawi
2.9%, Minangkabau 2.7%, Bugis 2.7%, Banten 2%, Banjar 1.7%, Bali 1.7%, Aceh 1.4%,
Dayak 1.4%, Sasak 1.3%, Tionghoa 1.2%, suku bangsa lainnya 15% (estimasi tahun 2010)

Mata Uang : Rupiah

Hari Nasional : 17 Agustus 1945

Lagu Kebangsaan : Indonesia Raya

Kode Domain Internet : .id

Kode Telepon : 62

Waktu : GMT +7

Pendapatan Per Kapita : US$ 11.700,- (2016)

Pendapatan Domestik Bruto : US$ 941 miliar (2016) 67

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara.
Jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia adalah sebanyak 17.508 pulau dengan keseluruhan
luas wilayahnya adalah sebesar 1,904,569 km2. Pulau-pulau utama Indonesia adalah Pulau
Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, Pulau Sulawesi dan Pulau Papua. Sebagai Negara
Kepulauan Terbesar di dunia, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki
garis pantai terpanjang di dunia.

Secara astronomis, Indonesia yang berada diantara Benua Asia dan Benua Australia
ini terletak di antara 6°LU – 11°08’LS dan dari 95°’BT – 141°45’BT. Selain diapit oleh dua
benua, Indonesia juga berada diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta dilintasi
oleh garis khatulistiwa. Indonesia berbatasan darat dengan negara Papua Nugini di Pulau
Papua, Malaysia di pulau Kalimantan dan Timor Leste di Pulau Timor. Sedangkan Negara
yang berbatasan laut dengan Indonesia adalah Singapura, Filipina, Australia dan India
(Kepulauan Andaman dan Nikobar).

Indonesia memiliki populasi sebanyak 258.316.051 jiwa dengan mayoritas


penduduknya adalah penganut agama Islam (sekitar 87,2%). Jumlah penduduk sebanyak 258
juta jiwa tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk

67
http://ilmupengetahuanumum.com/profil-negara-indonesia/ diakses pada tanggal 28 Desember 2017
pukul 15.00

Universitas Sumatera Utara


terbanyak keempat di dunia sekaligus juga merupakan negara yang berpenduduk muslim
terbesar di dunia (sekitar 225 juta jiwa penduduk Indonesia adalah beragama Islam). 68

Dalam bentuk pemerintahannya, Indonesia menganut sistem pemerintahaan


Republik Presidensil yang Kepala Negara dan Kepala Pemerintahannya dipegang oleh
seorang Presiden. Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dipilih langsung oleh
Rakyat Indonesia melalui Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres)
diselenggarakan 5 Tahun sekali. Nama lengkap Indonesia adalah Republik Indonesia dengan
Ibukotanya adalah Kota Jakarta.

2.2 Profil Negara Malaysia

Gambar 2.2. Bendera Negara Malaysia

Bentuk Pemerintahan : Monarki Konstitusional Federal

Kepala Negara : Yang di-Pertuan Agong MUHAMMAD V (sebelumnya dikenal sebagai


Tuanku Muhammad Faris Petra (sejak 13 Desember 2016)

Kepala Pemerintahan : Perdana Menteri Mohamed NAJIB bin Abdul Najib Razak (sejak 3
April 2009);

Ibukota : Kuala Lumpur

Luas Wilayah : 329.847 km2

68
https://dhepthweb.wordpress.com/2017/04/12/indonesia-2/ diakses pada tanggal 28 Desember 2017
pukul 15.30

Universitas Sumatera Utara


Jumlah Penduduk : 30.949.962 jiwa

Pertumbuhan Penduduk : 1,4%.

Agama : Islam (61,3%), Buddha (19,8%), Kristen (9,2%), Hindu (6,3%) dan agama lainnya
(3,4%)

Bahasa Resmi : Malaysia

Mata Uang : Ringgit Malaysia

Hari Nasional : 31 Agustus 1957 (dari Inggris)

Lagu Kebangsaan : “Negaraku” (My Country)

Kode Domain Internet : .my

Kode Telepon : 60

Pendapatan Domestik Bruto (PPP) : US$ 863,8 miliar

Pendapatan Per Kapita : US$ 27.200,- 69

Malaysia adalah sebuah negara monarki konstitusional federal yang terletak di Asia
Tenggara. Kepala Negara Malaysia adalah Yang di-Pertuan Agong yang digilirkan setiap
lima tahun diantara sembilan Sultan Negeri Melayu. Kesembilan Sultan Negeri Melayu yang
dapat dipilih menjadi Yang di-Pertuan Agong maupun memilih Yang di-Pertuan Agong
adalah Sultan Johor, Sultan Kedah, Sultan Kelantan, Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan,
Sultan Pahang, Sultan Perak, Raja Perlis, Sultan Selangor dan Sultan Terengganu. Sedangkan
kepala pemerintahan Malaysia adalah seorang Perdana Menteri yang dipilih melalui
Pemilihan Umum yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. Secara Administratif, Malaysia
yang merupakan negara berbentuk federasi ini terbagi atas 13 Negara Bagian dan 3 Wilayah
Persekutuan.

Malaysia yang memiliki luas wilayah sebesar 329.847 km2 ini terpisah menjadi dua
kawasan oleh Laut Tiongkok Selatan yaitu Malaysia Barat yang berada di semenanjung
Malaysia benua Asia dan Malaysia Timur yang berada di Pulau Kalimantan. Di Malaysia
Barat, Malaysia berbatasan darat dengan Thailand di sebelah utaranya, sedangkan di sebelah
barat adalah selat Malaka dan sebelah timur adalah laut Tiongkok Selatan. Di Selatan
Malaysia Barat adalah Singapura yang dipisahkan oleh selat Johor. Di Malaysia Timur,
Malaysia berbatasan dengan Brunei Darussalam di sebelah Utaranya sedangkan di sebelah
Selatan adalah Indonesia. Sebelah Timur Malaysia Timur adalah Laut Sulu dan Laut
Sulawesi, sebelah utaranya adalah laut Tiongkok Selatan. Ibukota Malaysia adalah Kuala
Lumpur sedangkan Putrajaya merupakan pusat pemerintahan persekutuan.

69
http://ilmupengetahuanumum.com/profil-negara-malaysia/ diakses pada tanggal 28 Desember 2017
pukul 15.38

Universitas Sumatera Utara


Jumlah penduduk Malaysia sebanyak 30.949.962 jiwa yang mayoritas penduduknya
adalah beragama Islam (61,3%). Bahasa Malaysia yang pada dasarnya berasal dari Bahasa
Melayu adalah bahasa resmi negara Malaysia. Suku Melayu merupakan suku terbesar di
Malaysia yaitu sebanyak 50,1% sedangkan suku lainnya seperti Tionghoa sebanyak 22,6%,
suku asli Sabah/Sarawak (Indigenous) sebanyak 11,8% dan suku India sebanyak 6,7%.
Angka pertumbuhan penduduk Malaysia adalah sekitar 1,4%.

Hubungan luar negeri, Malaysia merupakan salah satu negera pendiri ASEAN.
Malaysia juga merupakan anggota APEC, PBB dan lembaga-lembaga dibawah PBB lainnya.

Di bidang Perekonomian, Malaysia merupakan negara penghasil Karet dan Minyak


Sawit Terbesar di dunia. Pendapatan Domestik Bruto Malaysia berdasarkan Paritas Daya Beli
adalah sebesar US$ 863,8 miliar. Sedangkan Pendapatan Perkapita Malaysia adalah sebesar
US$ 27.200,-. Komoditas Agrikultur utama yang dihasilkan oleh Malaysia diantaranya
adalah Minyak Sawit, Karet, Kakao, Beras dan Kayu. Di Perindustrian, beberapa Industri
penting Malaysia diantaranya seperti pengolah minyak sawit dan karet, perminyakan dan gas
bumi, farmasi dan produk-produk elektronika.

Universitas Sumatera Utara


2.3 Profil Pulau Sipadan dan Ligitan

Gambar 2.3. Peta Pulau Sipadan dan Ligitan

2.3.1. Pulau Sipadan

Universitas Sumatera Utara


2.3.2. Pulau Ligitan

Pulau Sipadan adalah terletak 15 mil laut sekitar 24 kilometer dari pantai daratan
Sabah Malaysia, dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik dimana
bagian utara merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur selatan merupakan wilayah
Indonesia. Pulau dengan luas sekitar 50.000 m bujur sangkar ini diduga memiliki kekayaan
alam bawah laut yang sangat indah dengan ribuan habitat penyu dengan tebaran karang
menjalar dari utara ke selatan dan diduga memiliki kandungan bahan-bahan mineral, minyak
dan gas bumi. Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari pantai daratan
Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik. Posisi
Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan
57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik, Pulau Ligitan adalah 7,9
hektar. 70

70
O.C. Kaligis. Sengketa Sipadan-Ligitan : Mengapa Kita Kalah?. Jakarta : O.C Kaligis & Associates. 2003. Hal.
187

Universitas Sumatera Utara


BAB III

ANALISIS DIPLOMASI INDONESIA-MALAYSIA DALAM PENYELESAIAN


KEPEMILIKAN PULAU SIPADAN DAN PULAU LIGITAN

Pembahasan ini meliputi hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia, periode
orde baru, perundingan bilateral antara Indonesia dan Malaysia, kepentingan nasional
Indonesia, kekuatan nasional Indonesia dan keamanan nasional Indonesia. Untuk bagian
pertama akan membahas mengenai sejarah hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia
disertai pergolakan peristiwa yang dialami oleh kedua negara. Bagian kedua tinjauan
mengenai masa orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto serta kebijakan luar negeri yang
berlangsung selama orde baru. Bagian ketiga membahas mengenai perundingan bilateral
yang terjadi sebelum sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diserahkan kepada ICJ antara
Indonesia dan Malaysia. Dan bagian keempat, kelima dan keenam akan memberikan
penjelasan tentang kepentingan nasional yang didukung oleh kekuatan nasional dan
keamanan nasional.

3.1 Hubungan Bilateral antara Indonesia dan Malaysia

Dilihat dari perspektif formal memang hubungan Indonesia dengan Malaysia


merupakan fenomena yang baru berumur sekitar tiga dasawarsa saja, yaitu sejak hubungan
diplomatik dengan Malaysia terselenggara pada akhir dasawarsa 1950-an dan paruh kedua
dasawarsa 1960-an. Walaupun kurun waktu hubungan formal itu dalam wawasan
kesejahteraan relatif masih singkat, dinamika yang terjadi dalam hubungan itu telah diisi
oleh berbagai persoalan.

Persoalan-persoalan itu pula yang menyebabkan Indonesia, yang dalam beberapa hal
jauh lebih besar ukurannya dari Malaysia yang merupakan negara tetangga, tidak dapat
begitu saja menerima hubungan itu sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja karena segi formal
hubungan itu dipengaruhi oleh segi historis di dalamnya yang melibatkan faktor-faktor
politik, ekonomi dan sosial budaya serta perbedaan-perbedaan objektif. Jauh ke belakang,
hubungan itu telah terselenggara dengan intensitas tinggi sebelum Indonesia dan Malaysia
menjadi negara-negara merdeka. Selain karena faktor geografis, secara historis, hubungan itu
telah mempunyai akar-akarnya jauh sebelum masing-masing berdiri sebagai negara merdeka.
Bahkan dari segi pengalaman, suatu generalisasi dapat diajukan bahwa kedua negara ini,
walaupun mungkin dalam derajat yang berbeda-beda, memiliki kesamaan dalam meniti
perjalanannya menghadapi lingkungan luar, dan oleh karena itu juga menghadapi penetrasi,
atau dipengaruhi oleh interaksi budaya luar yang kurang lebih serupa. Ikatan budaya antara
Indonesia dan Malaysia seringkali diberi bobot yang demikian penting. Salah satu cerminan
darinya adalah besarnya keyakinan di kalangan masyarakat Malaysia betapa pentingnya
pengertian serumpun yang melandasi hubungan Indonesia dan Malaysia. Ini agaknya
mengherankan bagi masyarakat Indonesia yang pada dasarnya merupakan suatu masyarakat

Universitas Sumatera Utara


pluralistik yang tidak mengandalkan diri pada asas serumpun dalam membentuk bangsa.
Konsekuensinya bagi Indonesia adalah bahwa dalam membentuk hubungan dengan luar luar,
termasuk dengan Malaysia, ia tidak memberikan tekanan yang besar terhadap asas serumpun
itu. Sebabnya ialah, jika Indonesia mengikuti sendi keserumpunan itu, Malaysia akan
menghadapi sekurang-kurangnya dua masalah, yaitu masalah identitas bangsa Indonesia yang
tidak dapat dibatasi dan tidak identik dengan Melayu. 71

Hubungan intensif menunjuk kepada dua sisi sifat hubungannya pada umumnya,
yaitu di satu sisi bersifat konfrontatif dan sisi lainnya kolaboratif, dan di antara keduanya
terdapat demikian banyak ragam dan nuansa hubungan. Maka dari itu, satu sisi ekstrem
tonggak intensitas itu adalah era Konfrontasi, yaitu ketika Indonesia menentang pembentukan
Federasi Malaysia. Kampanye Indonesia untuk “mengganyang” Malaysia yang dipandang
sebagai boneka Nekolim (neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme) merupakan
cerminan bahwa persepsi mereka tentang bagaimana hidup berdampingan sebagai tetangga
dan dalam mengorganisasi diri maupun alam hubungan dengan dunia di luar mereka, berbeda
satu sama lain.

Situasi politik pada tahun 1960-an diwarnai dengan ketegangan dunia yang
diakibatkan oleh perseteruan politik antara dua blok. Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika
serikat dan Blok Timur pimpinan Uni Soviet. Pada masa itu Indonesia percaya akan adanya
ruang bagi kekuatan ketiga karena dalam konflik dunia yang berakar dari konflik endemik
antara keadilan dan ketidakadilan masih terdapat kesempatan untuk dapat hidup
berdampingan secara damai. Indonesia dibawah Presiden Soekarno berpendapat bahwa saat
itu dunia terbagi antara kekuatan baru yang sedang bangkit (New Emerging Forces) yaitu
bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Negara-negara sosialis dan kekuatan
progesif di negara-negara kapitalis berhadapan dengan kekuatan-kekuatan lama yang telah
mapan. Dengan didasari cara berpikir yang demkian, Indonesia pun menentang pembentukan
negara Federasi Malaysia. Melalui kebijakannya Indonesia bermaksud meninggalkan
pembentukan Federasi Malaysia sebagaimana yang telah direncanakan oleh Pemerintah
Inggris bersama-sama dengan para pemimpin Malaya. Presiden Soekarno ketika itu
menafsirkan bahwa pembentukan Malaysia tersebut sebagai suatu usaha dari negaranegara
kolonialis dan neo-kolonialis untuk mengepung Indonesia. Hal tersebut merupakan ancaman
terhadap keselamatan negara dan bangsa Indonesia. Diadakannya pertemuan pada September
1963 antara Indonesia, Malaysia dan Filipina gagal untuk mencari penyelesaian masalah
tersebut Kegagalan ini menyebabkan Indonesia secara penuh melancarkan kebijakan
konfrontasinya terhadap Malaysia. Konfrontasi dengan Malaysia adalah cermin
ketdakpercayaan Indonesia terhadap rencana pembentukan Malaysia. Indonesia memandang
bakal negara federasi tersebut sebagai suatu negara yang tidak terwakili aspirasi rakyat
setempat, tetapi lebih merupakan bentukan asing untuk mempertahankan kepentingan politik,
militer, dan ekonomi Malaysia di Asia Tenggara. Hal ini dinilai merupakan ancaman
terhadap bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia menyatakan dukungan

71
Bantarto Bandoro (1994). Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru. Centre For

Strategic And International Studies : Jakarta.

Universitas Sumatera Utara


terhadap pemberontakan di Brunei yang pada waktu itu merupakan protektorat Inggris.
Pemberontakan di Brunei pada 5 Desember 1962 yang terjadi di Sarawak yang berbatasan
dengan Sabah, Kalimantan Utara mendapat tanggapan simpati umum dari Indonesia karena
perjuangan rakyat Kalimantan Utara tersebut dirasa sama dengan perjuangan bangsa
Indonesia dalam upaya mencapai kemerdekaannya dari kolonialisme.

Konfrontasi dengan Malaysia juga memunculkan tuduhan bahwa ambisi teritorial


juga menjadi tujuan utama dalam kebijakan luar negeri Soekarno. Ambisi ini sebagi bagian
dari mitos ‘great Indonesia’, dimana luas wilayah teritorial Indonesia sama seperti yang telah
dicapai pada masa kejayaan kerjaan Sriwijaya dan Majapahit. 72 Jika pandangan ekspansionis
tersebut benar, Indonesia seharusnya melakukan klaim atas wilayah Sarawak yang terletak di
kepulauan Kalimantan, Sabah, dan Brunei. Sebetulnya masalah politik konfrontasi Indonesia-
Malaysia menyangkut pertikaian Indonesia-Malaysia mengenai pembentukan Federasi
Malaysia pada tahun 1963 dengan memasukkan Sarawak ke dalamnya. Indonesia
menganggap tindakan Malaysia tersebut dapat mengancam stabilitas di kawasan karena
tindakan tersebut bukan saja kehendak Inggris tetapi juga karena tanpa konsultasi dengan
negara tetangganya, seperti Indonesia yang berbatasan langsung.

Dalam rangka mencapai sasaran-sasaran politik tersebut, Indonesia ingin menempuh


kemungkinannya melalui penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika II dimana Indonesia
menempuh strategi diplomasi tersendiri dalam menghadapi konferensi tersebut dengan
memperkenalkan konsep New Emerging Forces versus Old Established Forces (Nefos vs
Oldefos), namun konsep tersebut ternyata tidak memperoleh tanggapan yang positif di
kalangan anggota peserta konferensi. 73 Akhirnya, politik konfrontasi Indonesia terhadap
Malaysia telah menyebabkan keluarnya Indonesia dari PBB tahun 1965. Hal ini disebabkan
setelah Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Indonesia
menganggap bahwa pemilihan Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan tersebut
merupakan cemooh bagi Dewan Keamanan sendiri karena sesuai dengan Pasal 23 Piagam,
pemilihan keanggotaan tidak tetap Dewan Keamanan PBB itu haruslah didasarkan atas
pentingnya dan sumbangan negara tersebut terhadap usaha-usaha pemeliharaan perdamaian
dan keamanan internasional. Namun, dengan jatuhnya Presiden Soekarno serta adanya
pemberontakan 30 September 1965 oleh PKI membuat pulihnya hubungan dengan Malaysia
dibawah rezim Orde Baru dan pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali masuk
PBB. Konfrontasi itu berangsur reda menyusul terjadinya perubahan politik besar di Jakarta.

Sedangkan tonggak intensitas lainnya adalah sisi sebaliknya dalam hubungan itu
yang terwujud dalam pembentukan ASEAN, yaitu ketika Indonesia dan Malaysia bersama-
sama sepakat untuk “mengubur” era Konfrontasi dan membangun suatu hubungan yang
penuh dengan kerjasama. Era kerjasama inilah yang pada dasarnya merupakan kurun waktu

72
Ganewati Wuryandari (2007). Mencermati Kembali Enam Dekade Politik Luar Negeri Indonesia.

Pusat Penelitian Politik (LIPI) : Jakarta. hal : 85


73
Syafaruddin Usman & Isnawita Din (2009). Ancaman Negeri Jiran : Dari “Ganyang Malaysia”

sampai Konflik Ambalat. Medpress : Jakarta. hal : 32

Universitas Sumatera Utara


terpanjang sepanjang sejarah hubungan Indonesia dan Malaysia yaitu sejak berdirinya
ASEAN tahun 1967 hingga sekarang. Kenyataan bahwa Indonesia berada dalam satu kondisi
geografis dengan Malaysia menyebabkan hubungan Indonesia dengan Malaysia itu tidak
dapat dimengerti hanya dengan mengacu kepada segi-segi rasional hubungan antar negara
saja. Secara rasional, sebagai negara bertetangga dekat, Indonesia dan Malaysia telah
berusaha sedapat mungkin untuk menata secara jelas batas-batas kedaulatan intern masing-
masing.

3.1.1. Perundingan Bilateral antara Indonesia dan Malaysia

Diplomasi memiliki peran yang sangat beragam dan banyak untuk bermain di dalam
hubungan internasional. Upaya manusia untuk memecahkan persoalan perang dan damai
telah dianggap sebagai metode manusia yang paling tua. Dalam menjalankan hubungan
antara masyarakat yang terorganisasi yaitu diplomasi dengan penerapan metode negosiasi,
persuasi, tukar pikiran dan sebagainya dapat mengurangi kemungkinan penggunaan kekuatan
yang sering tersembunyi di latar belakang. Di dalam dunia yang terdiri dari berbagai negara
berdaulat ini dua faktor yaitu diplomasi dan hukum internasional merupakan paling penting
dalam pemeliharaan perdamaian. Di samping hukum internasional telah memberikan tatanan
bagi dunia yang bagaimanapun anarkis namun bagi pemeliharaan perdamaian diplomasi telah
selalu memainkan peran yang vital. Pentingnya diplomasi sebagai pemelihara keseimbangan
dan kedamaian tatanan internasional telah sangat meningkat dalam dunia modern ini. 74

Diplomasi yang digambarkan sebagai “The Politics of International Relations”


dalam sejarahnya terus berkembang sebagai suatu metode yang berhubungan dengan dunia
yang keras dimana berlaku sistem hubungan antar bangsa negara yang kompetitif sifatnya.
Negara-negara saling bersaing untuk mempertahankan hidupnya, memajukan kepentingan-
kepentingan nasional mereka dan bahkan menguasai negara lain. Persaingan antar negara
tersebut terus berlanjut karena mereka mengejar tujuan masing-masing dan sering satu negara
mengejar lebih dari satu tujuan. Negara dalam mengejar tujuan yang erat berkaitan dengan
kepentingan nasionalnya masing-masing, tidak jarang terjadi perbedaan-perbedaan
kepentingan bahkan kadang-kadang terjadi bentrokan-bentrokan kepentingan. Oleh sebab itu,
diplomasi berperan untuk mendamaikan beragamnya kepentingan, paling tidak membuatnya
berkesesuaian. Secara umum diakui bahwa fungsi utama diplomasi adalah melakukan
negosiasi, sedangkan ruang lingkup diplomasi adalah menyelesaikan perbedaan-perbedaan
dan menjamin kepentingan-kepentingan negara melalui negosiasi yang berhasil. 75

Efektivitas diplomasi dan atau politik luar negeri tidak terlepas dari pergolakan di
dalam negeri, sebab politik luar negeri pada dasarnya merupakan refleksi dari kebijakan
politik domestik. Untuk mencapai hasil yang optimal dalam diplomasi, perlu ada gerakan
kuat di dalam negeri sebagai sebuah sendi dari gerakan diplomasi tersebut. Diplomasi
Indonesia secara prinsipal menganut politik luar negeri bebas dan aktif. Prinsip itu diakui dan
dipegang secara kukuh dan konsisten. Isu yang dihadapi berubah dari waktu ke waktu,
sehingga pendekatan terhadap isuisu tersebut sering berubah. Dengan demikian prinsip bebas
74
S.L Roy (1991). Diplomasi. Rajawali Pers : Jakarta. hal : 23
75
Soeprapto. Op.cit, hal : 211-212

Universitas Sumatera Utara


aktif hakekatnya tetap memberikan peluang pada pemerintah untuk secara kreatif menyikapi
berbagai masalah yang timbul. Isu yang utama pada awal kemerdekaan adalah upaya bangsa
Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dari dunia atas kemerdekaan negara dan pada
akhirnya pada zaman Soekarno berhasil mendapat pengukuhan. Dalam konteks pada masa
kini, di era reformasi, tujuan utama tetap sama dan senantiasa konsisten untuk kepentingan
nasional Indonesia hanya saja arah kebijakan luar negeri terfokus pada kerangka mewujudkan
nasionalisme pembangunan, yaitu mewujudkan kesejahteraan bangsa yang berdiri tegak
sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Fokus ini bahkan menjadi sedemikian berarti terutama
mengingat sejak tahun 1998 Indonesia mengalami keterpurukan yang luar biasa dalam
berbagai dimensi, serta menjadi penyebab bangsa Indonesia terpuruk pula dalam konstelasi
politik internasional. Diplomasi Indonesia dan Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan dan
Malaysia, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Mohamad menugaskan Menteri
Luar Negeri kedua negara untuk membicarakan prosedur paling tepat dalam membawa
masalah tersebut ke Mahkamah Internasional. Keputusan itu terjadi dalam pertemuan antara
Presiden Soeharto dengan Perdana Menteri Mahathir Mohamad di Kuala Lumpur Malaysia.
Pembicaraan antara kedua pemimpin negara terjadi dalam suasana sangat bersahabat, ramah,
dan terbuka. Pada pemikiran tradisional yang dikemukakan oleh Martin Wright, diplomasi
yang dijalankan oleh Indonesia dalam penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan dengan Malaysia berprinsip kepada pemikiran rasionalis dimana rasionalis adalah
mereka para teoritis yang yakin bahwa manusia selalu menggunakan akal pikiran, dapat
mengenali hal yang benar untuk dilakukan, dan dapat belajar dari kesalahannya dan dari yang
lainnya. Kaum rasionalis yakin bahwa masyarakat kiranya dapat diatur untuk hidup bersama
sekalipun ketika mereka tidak memiliki pemerintahan bersama, seperti dalam kondisi
hubungan internasional yang anarkis. Rasionalisme pada sisi yang ekstrim adalah dunia
sempurna saling menghargai, perjanjian, dan aturan hukum diantara negara-negara. Dalam
hal ini rasionalisme menunjukkan “jalan tengah” dari politik internasional, memisahkan
kaum realis pesimis di satu sisi dari kaum revolusionis optimis di sisi lain. 76

Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan masalah lama yang terus
dibicarakan kedua pihak. Perundingan sengketa tersebut dimulai kembali tahun 1991 melalui
pembicaraan di tingkat pejabat tinggi dalam Komite Bersama Indonesia-Malaysia. Namun
pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan di antara kedua pihak. Untul itu tahun
1994, kedua pemimpin sepakat mengangkat Wakil Pribadi (Special Representatives) guna
menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam hal ini, Presiden Soeharto menunjuk Mensesneg
Moerdiono, sedangkan Perdana Menteri Mahathir Mohamad menunjuk Wakil Perdana
Menteri Anwar Ibrahim yang kemudian mengadakan empat kali pertemuan di Kuala Lumpur
dan Jakarta. Melalui pertemuan terakhir pada tanggal 21 Juni 1996 di Kuala Lumpur, kedua
pihak menandatangani laporan bersama yang diajukan kepada Presiden Soeharto dan Perdana
Menteri Mahathir Mohamad. Pada pertemuan terakhir tersebut, akhirnya kedua negara

76
Robert Jackson & Georg Sorensen (2005). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Penerjemah :

Dadan Suryadipura. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. hal : 191

Universitas Sumatera Utara


menyetujui pertimbangan kedua Wakil Pribadi mereka untuk membawa masalah tersebut ke
Mahkamah Internasional. 77

Keputusan Malaysia untuk membawa sengketa Sipadan dan Ligitan ke Mahkamah


Internasional dan tidak membawanya melalui penyelesaian di ASEAN, lebih disebabkan oleh
posisi Malaysia yang juga mempunyai masalah serupa dengan anggota ASEAN lainnya. Oleh
karena itu Malaysia memilih jalur Mahkamah Internasional serta Malaysia tidak ingin
mewariskan masalah tersebut kepada generasi mendatang.

Perundingan yang dilakukan antara Indonesia dan Malaysia tetap mengutamakan


persahabatan kedua negara dalam menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
mengingat Indonesia dan Malaysia adalah sesama anggota ASEAN sesuai dengan norma dan
prinsip yang melandasi kehidupan ASEAN.

Pertama, menentang penggunaan kekerasan dan mengutamakan solusi damai.

Kedua, otonomi regional.

Ketiga, prinsip tidak mencampuri urusan negara lain.

Keempat, menolak pembentukan aliansi militer dan menekankan kerjasama pertahanan


bilateral. 78

Permufakatan ASEAN (ASEAN Concord) dan Perjanjian Persahabatan dan


Kerjasama ASEAN (Treaty of Amity and Cooperation) yang menentukan untuk
diperbaikinya mekanisme atau wahana ASEAN untuk meningkatkan kerjasama politik dan
dengan ditetapkannya enam prinsip dasar untuk kerjasama antara negaranegara di wilayah
Asia Tenggara dimana prinsip untuk menghindari ancaman atau penggunaan kekerasaan itu
merupakan pula dasar fundamental politik luar negeri RI yang bebas dan aktif dalam
menghadapi masalah konflik internasional. 79

3.2. Kepentingan Nasional Indonesia

Pengertian kepentingan nasional secara umum ialah tujuan-tujuan yang ingin dicapai
sehubungan dengan kebutuhan bangsa atau negara atau sehubungan dengan hal yang dicita-
citakan. 80 Menurut Hans Morgenthau, kepentingan nasional setiap negara adalah mengejar

77
Kesepakat an Soeharto-Mahathir Bawa Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional. May 17, 2010.

http://www.hamline.edu diakses pada tanggal 08 Januari 2018 pukul 17.33 WIB


78
Amitav Acharya (2001). Constructing a Security Community in Southeast Asia : ASEAN and the

Problem of Regional Order. Routledge : London and New York. hal. 45-46.
79
Mohtar Kusumaatmadja (1983). Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini.

Alumni : Bandung. hal. 167-68.


80
T. May Rudy (2002). Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang

Dingin. Bandung.

Universitas Sumatera Utara


kekuasaan, yaitu apa saja yang bisa membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu
negara atas negara lain. 81 Perilaku aktor negara dalam sistem internasional cenderung untuk
mengejar kepentingan nasional, dan kepentingan nasional itu ialah memperoleh atau
mempertahankan kekuatan negaranya. Oleh karena itu, keputusan mengenai penetapan
kepentingan nasional harus selalu dibuat berdasarkan keuntungan nasional yang konkrit dan
bukan aspek abstrak.

Kepentingan nasional seringkali diidentikkan dengan tujuan nasional (national


goals), tetapi perbedaan mendasarnya ialah pada tujuan nasional konsepnya memiliki
cakupan yang sangat luas, dan umumnya berjangka panjang, sementara pada kepentingan
nasional merupakan konsep yang lebih spesifik dan terfokus pada program tertentu serta
disesuaikan dengan kebutuhan negara pada suatu periode tertentu.

Kepentingan nasional Indonesia adalah kepentingan bangsa Indonesia dalam


mewujudkan cita-cita nasional dan kepentingan tercapainya tujuan nasional. Citacita nasional
merupakan karsa nasional pada strata paling tinggi dalam dimensi waktu tak terbatas
sebagaimana ditegaskan pada Pembukaan UUD 1945 yaitu “Negara yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila”.

Sedangkan tujuan nasional juga tertuang dalam UUD 1945 yaitu “ Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Dalam mewujudkan kepentingan nasional terdapat setidaknya tiga kaidah pokok


yaitu :

1. Wujud tujuan nasional adalah tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;

2. Cara dalam mencapai tujuan nasional dilaksanakan melalui pembangunan


nasional secara konsepsional berdasarkan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;

3. Sarana yang digunakan adalah seluruh potensi dan kekuatan nasional meliputi
geografi, demografi dan kondisi sosial yang di dayagunakan secara menyeluruh dan terpadu,
terarah, efektif, dan efisien.

Kepentingan nasional akan senantiasa diorientasikan pada kepentingan keamanan


dan kepentingan kesejahteraan. Kepentingan keamanan adalah kelangsungan hidup bangsa
dan negara, yang menjamin dan mempertahankan negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, serta terwujudnya tujuan nasional. Sedangkan kepentingan kesejahteraan adalah
perkembangan kehidupan bangsa dan negara menjamin dan mengembangkan negara
Indonesia yang adil dan makmur, untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Upaya mewujudkan kepentingan nasional, pemerintah melalui
pembangunan nasional wajib menjamin adanya keseimbangan antara kepentingan

81
Mohtar Mas’oed (1994). Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi. Jakarta.

Universitas Sumatera Utara


kesejahteraan dan keamanan, bersifat dinamis berdasarkan prioritas yang dihadapi bangsa
namun tetap berpijak dengan tidak boleh mengorbankan salah satu diantaranya.

Konstelasi geografi dan demografi Indonesia yang berbentuk negara kepulauan


beserta masyarakatnya yang sangat beragam, keberadaan Indonesia di posisi silang antara dua
benua dan dua samudera, serta kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia,
merupakan faktor-faktor yang sangat mempengaruhi dinamika politik, ekonomi, dan
keamanan nasional Indonesia. Bertitik tolak dari konstelasi geografis seperti itu, maka
Indonesia menyusun dan mengembangkan pandangan geopolitik Wawasan Nusantara
(Archipelagic Outlook) dan implementasinya berupa geostrategi ketahanan nasional
(National Resilience).

Pandangan tersebut secara bertahap terus dikembangkan ke dalam konteks yang


lebih luas berupa wawasan regional dan ketahanan regional. Karakteristik geografi dan
demografi Indonesia mengisyaratkan bahwa Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
juga harus terus ditumbuhkembangkan kepada setiap Warga Negara Indonesia. Oleh
karenanya terus diupayakan peningkatan pemahaman dan implementasi Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional di daerah, terutama di wilayah perbatasan dan wilayah terpencil
termasuk pulau-pulau terluar. Hal utama yang menyangkut dengan pulau-pulau terluar
khususnya Pulau

Sipadan dan Pulau Ligitan dimana Indonesia berusaha mengajukan klaim agar kedua
pulau tersebut masuk kedalam kedaulatan wilayah Indonesia semata-mata adalah demi
kepentingan keamanan negara. NKRI sebagai negara kepulauan memiliki lebih dari 17.504
pulau, dengan panjang garis pantai lebih dari 80.290 km, dan berbatasan dengan 10 negara
tetangga. Kawasan perbatasan ini memiliki nilai strategis dari aspek hankam karena
merupakan batas terluar teritorial NKRI yang berpengaruh terhadap pertahanan dan
keamanan nasional.

Pertahanan negara diselenggarakan untuk mewujudkan kepentingan nasional.


Kepentingan strategis pertahanan Indonesia merupakan bagian dari kepentingan nasional
dalam menjamin tegaknya NKRI dengan segala kepentingannya. Pertahanan negara memiliki
peran dan fungsi untuk mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia dari setiap ancaman dan
gangguan, baik dari luar maupun yang timbul di dalam negeri.

Berdasarkan perkiraan ancaman serta kepentingan nasional Indonesia, kepentingan


strategis pertahanan negara meliputi kepentingan strategis yang bersifat permanen,
kepentingan strategis yang bersifat mendesak, dan kepentingan strategis di bidang kerjasama
pertahanan. 82

82
Depart emen Pertahanan Republik Indonesia (2008). Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008.

Jakarta. December 2, 2009. http://www.dephan.go.id diakses pada tanggal 07 Januari 2018 pukul 17.40 WIB

Universitas Sumatera Utara


3.2.1. Kepentingan Strategis yang Bersifat Permanen

Kepentingan strategis pertahanan negara yang bersifat permanen adalah perwujudan


satu kesatuan pertahanan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara serta keutuhan
wilayah NKRI, serta keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman, baik yang berasal dari
luar maupun yang timbul di dalam negeri. Kepentingan strategis pertahanan tersebut dicapai
melalui usaha membangun dan membina daya tangkal negara dan bangsa serta kemampuan
menanggulangi setiap ancaman, baik yang datang dari luar maupun yang timbul di dalam
negeri, langsung atau tidak langsung. Pembangunan pertahanan yang berdaya tangkal
merupakan kehormatan bangsa Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat untuk
menyejajarkan diri dengan bangsa lain. Pertahanan Indonesia dipersiapkan sejak dini dengan
sistem pertahanan, tanpa mempermasalahkan ada atau tidak adanya ancaman nyata.

Dalam melaksanakan kepentingan pertahanan yang bersifat tetap, bangsa Indonesia


senantiasa memegang prinsip sebagai bangsa yang cinta damai, tetapi lebih cinta akan
kemerdekaan dan kedaulatannya. Prinsip cinta damai tersebut diwujudkan dalam pergaulan
internasional yang bebas aktif serta hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara
lain. Penggunaan kekuatan pertahanan untuk tujuan perang hanya merupakan jalan terakhir
setelah usaha-usaha diplomatik sudah ditempuh dan mengalami jalan buntu. Dalam
menyelesaikan setiap bentuk pertikaian dan persengketaan, bangsa Indonesia akan
mengedepankan penggunaan cara-cara damai. Sejalan dengan prinsip tersebut, bangsa
Indonesia menentang segala penjajahan dan intervensi bangsa lain terhadap suatu negara.

3.2.2. Kepentingan Strategis yang Bersifat Mendesak

Kepentingan strategis pertahanan yang bersifat mendesak pada dasarnya merupakan


pelaksanaan dari kepentingan strategis pertahanan yang bersifat permanen, yakni
terselenggaranya pertahanan negara untuk merespons setiap bentuk ancaman, baik yang
bersifat nyata maupun potensial. Kepentingan strategis yang bersifat mendesak juga
mencakupi kewajiban dan komitmen Indonesia untuk ikut aktif dalam usaha-usaha
perdamaian dunia dan regional. Dari dinamika interaksi dengan bangsa-bangsa lain, serta
implikasi dari perkembangan lingkungan strategis, terbentuk kondisi keamanan global,
regional, dan dalam negeri yang penuh ketidakpastian. Bersamaan dengan itu, terdapat
beberapa isu keamanan nyata yang memerlukan respons melalui fungsi pertahanan. Fungsi
pertahanan negara menyadari bahwa setiap isu keamanan harus segera diatasi agar tidak
berkembang menjadi ancaman yang besar yang mengganggu eksistensi dan kepentingan
NKRI.

Wilayah Indonesia yang sangat luas menuntut pertahanan negara yang cukup kuat
yang mampu menjangkau secara maksimal seluruh wilayah. Wilayah Indonesia yang luas dan
dapat dimasuki dari segala penjuru berimplikasi terhadap potensi ancaman yang cukup tinggi.
Wilayah perairan dan Dirgantara Indonesia menjadi salah satu fokus kepentingan pertahanan
Indonesia yang mendesak. Fungsi pertahanan berkewajiban untuk mengambil langkah-
langkah yang lebih intensif untuk mencegah dan menanganinya. Dalam hal ini kerjasama
dengan fungsi-fungsi lain di luar pertahanan perlu dikembangkan secara terpadu dan sinergi.

Universitas Sumatera Utara


Dalam lingkup kepentingan yang bersifat mendesak, pengamanan perbatasan dan
pulau-pulau kecil terluar menjadi salah satu prioritas fungsi pertahanan negara. Pengamanan
perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar merupakan pelaksanaan fungsi pertahanan negara
dalam menegakkan kedaulatan negara. Pada saat ini masih terdapat sejumlah segmen
perbatasan, baik perbatasan darat maupun maritim, yang permasalahannya belum tuntas.
Menegakkan kedaulatan NKRI adalah amanat segenap rakyat Indonesia untuk dilaksanakan
melalui tindakan konkret, antara lain melalui kehadiran kekuatan pertahanan di wilayah-
wilayah NKRI yang memerlukan pengamanan khusus, seperti wilayah perbatasan dan pulau-
pulau kecil terluar. Oleh karena itu, pemerintah masih menempatkan penanganan keamanan
oleh TNI di wilayah-wilayah perbatasan dan penempatan pasukan TNI di pulau-pulau kecil
terluar masih sebagai satu prioritas. Gelar kekuatan TNI di wilayah perbatasan dan pulau-
pulau kecil terluar merupakan langkah untuk mendinamisasikan dan mengefektifkan
pengamanan wilayah perbatasan. Kehadiran kekuatan di wilayah perbatasan sekaligus
diarahkan untuk melaksanakan fungsi pembinaan teritorial dalam mendinamisasikan
pelaksanaan bela negara untuk mewujudkan ketahanan masyarakat di wilayah perbatasan.

3.2.3. Kepentingan Strategis di bidang Kerjasama Pertahanan

Pertahanan negara bukanlah hal yang eksklusif. Meskipun Indonesia


mengembangkan pertahanan yang mandiri dalam pengertian tidak menyandarkan
kepentingan pertahanan pada negara lain, Indonesia tetap menganut prinsip menjalin
hubungan dengan negara lain melalui kerjasama pertahanan. Sebagai negara yang cinta
damai, Indonesia terus mengembangkan hubungan diplomatik dengan negara- negara lain di
dunia. Kepentingan Indonesia di bidang kerjasama pertahanan dengan negara lain di waktu-
waktu akan datang semakin penting ditingkatkan, seiring dengan perkembangan isu-isu
keamanan di lingkup regional dan global yang memerlukan penanganan bersama.

Pada lingkup yang lebih luas, Indonesia menempatkan keamanan kawasan yang
mengitari Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kepentingan pertahanan
Indonesia secara utuh. Secara geografis, Indonesia berdampingan dengan sejumlah negara,
baik sesama anggota ASEAN maupun di luar ASEAN. Dalam hubungan kepentingan karena
posisi geografis yang berbatasan dengan wilayah Indonesia, stabilitas keamanan di negara-
negara yang berdampingan dengan Indonesia menjadi prioritas perhatian Indonesia.

Kasus Sipadan dan Ligitan merupakan masalah yang muncul sejak tahun 1961,
sebelum Malaysia merdeka. Pada saat itu, Indonesia mengklaim perairan di sekitar Pulau
Sipadan dan Ligitan, kemudian Indonesia juga memberikan konsesi pengeboran minyak
kepada beberapa perusahaan asing termasuk Shell. 83 Konfrontasi yang terjadi antara
Indonesia-Malaysia pada tahun 1963-1965 telah mengaburkan masalah kedua Pulau tersebut.
Sehingga Pada tahun 1969 tim teknis Indonesia Malaysia melakukan pembicaraan terhadap
batas dasar laut antara kedua Negara. Di peta Malaysia terlihat bahwa kedua pulau tersebut
merupakan bagian dari wilayah Indonesia, akan tetapi pada lampiran peraturan pemerintah

83
“DPR: Lawan Malaysia”, http://www.osdir.com.mlculture.region.indonesia2005-

03msg00284.html. diakses pada tanggal 08 Januari 2018 pukul 17.33 WIB

Universitas Sumatera Utara


Indonesia PERPU No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja tim teknis Indonesia tidak tertera
dua pulau tersebut. Kedua negara akhirnya sepakat untuk menjadikan status kedua pulau
tersebut menjadi status quo. 84Penetapan status quo disetujui oleh Malaysia karena melihat
posisi Indonesia yang lebih kuat saat itu, dan juga kondisi dalam negeri Malaysia sedang
dalam keadaan krisis politik antar etnis. 85

Pada tahun 1979 pemerintah Malaysia secara resmi mengeluarkan peta wilayahnya,
dalam peta tersebut Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Malaysia. Selain
itu, pemerintah Malaysia juga membangun kawasan wisata di kedua pulau tersebut. 86 Hal ini
menimbulkan protes dari pihak Indonesia, pada tanggal 26 Maret 1980 Presiden Soeharto
bertemu dengan PM Dato' Hussein Onn di kuantan Malaysia, pertemuan itu tidak
menghasilkan keputusan yang signifikan dalam penyelesaian kasus kedua pulau tersebut.

Forum-forum ASEAN juga tidak mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. 87


Permasalahan tersebut berlangsung berlarut-larut, tahun 1989 Presiden Soeharto bertemu
dengan PM Mahattir Mohammad di Yogyakarta. Pertemuan tersebut juga tidak menghasilkan
keputusan yang berarti, karena keduanya tetap tidak dapat mengambil keputusan yang baku
mengenai Pulau tersebut. Malaysia memperoleh keuntungan besar dari berlarut- larutnya
masalah ini, hal ini terlihat dari terus berkembangnya kawasan wisata yang dibangun di
kedua pulau tersebut. Selain itu, Malaysia juga membangun pulau buatan di sekitar Pulau
Sipadan dan Ligitan. 88

Tahun 1998 merupakan puncak dari penanganan sengketa kedua pulau tersebut.
Karena senior official meeting, joint commission meeting dan join working group yang dibuat
oleh kedua pihak berkesimpulan bahwa sengketa mengenai kedua pulau ini sulit untuk
diselesaikan dalam kerangka perundingan bilateral, kedua pihak kemudian sepakat untuk
mengajukan penyelesaian sengketa ini ke Mahkamah Internasional dengan menandatangani "
Special Agreement for the submission to the International Court of Justice on the Dispute
Between Indonesia and Malaysia Concerning the Sovereignty Over Pulau Sipadan and Pulau

84
“Implementasi Strategi Pertahanan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan Timur

dalam Rangka Menjaga Keutuhan NKRI”

http://www.buletinlitbang.dephan.go.id.index.aspmnorutisi=6&vnomor=IO.html. Diakses pada tanggal 06


Januari 2018 pukul 20.00
85
Bambang Cipto, "Hubungan Internasional di Asia Tenggara", Pustaka pelajar, Yogyakarta:

2007, hal. 122


86
http://www.3.itu.intmissions.indonesiapresspr020603sipadan. htrnl. diakses pada tanggal 06 Januari 2018
pukul 17.33 WIB
87
http://www.fisip-pemerintahanunila.ac.id.index.phpoption=com.articles&task=viewarticle&artid

=18&ltemid=66. Html diakses pada tanggal 04 Januari 2018 pukul 20.00


88
http://www.sinarharapan.co. id/berita021217sh03.htrn1. diakses pada tanggal 08 Januari 2018 pukul 17.33
WIB

Universitas Sumatera Utara


Ligitan" di Kuala Lumpur pada tanggal 31 Mei 1997. Special Agreement ini disampaikan
kepada Mahkamah Internasional pada tanggal 2 November 1998 melalui suatu Joint Letter. 89

Upaya-upaya yang dilakukan oleh Malaysia untuk memenangkan kedua pulau


tersebut sangat kompleks, mulai dari pengkajian sejarah kedua pulau tersebut, sampai pada
pengelolaan kedua pulau tersebut sebagai sebuah kawasan wisata. Pengelolaan pulau yang
dilakukan oleh Malaysia dianggap Indonesia sebagai sebuah tindakan okupasi, karena
Malaysia dianggap melanggar perjanjian 1969. Satu hal yang perlu dicatat adalah Malaysia
berhasil memanfaatkan kelemahan Indonesia dalam hal diplomasi dan pengawasan terhadap
pulau tersebut, yang pada akhirnya membawa Malaysia pada kemenangan dalam keputusan
Mahkamah Internasional pada 17 Desember 2002 dengan kemenangan 16:1 dan berhasil
memperoleh pengakuan bahwa kedua pulau tersebut milik Malaysia.

3.3. Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan

Secara tradisinya, apabila sebuah negara menghadapi pertikaian, negara tersebut


akan mengumumkan perang. Sebaliknya, pada saat ini, negara-negara anggota ASEAN tidak
memilih untuk menggunakan kekuatan senjata atau militer tetapi menggunakan bahasa
sebagai suatu mekanisme untuk menyelesaikan pertikaian diantaranya melalui perundingan
diplomatik. Pada umumnya penyelesaian sengketa digolongkan dalam dua kategori 90 :

1. Cara-cara penyelesaian secara damai yaitu apabila para pihak telah dapat
menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. Dalam metode, menurut
sifatnya dibagi dua yaitu secara politik dan secara hukum. Penyelesaian damai yang bersifat
politik meliputi perundingan (negotiation), jasa-jasa baik (good-offices), penyelidikan
(inquiry), penengahan (mediation) dan konsiliasi (conciliation). Sedangkan penyelesaian
secara damai yang bersifat hukum atau prosedur hukum meliputi arbitrase (arbitration) dan
penyelesaian hukum (judical settlement);

2. Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan cara kekerasan, yaitu apabila
solusi yang digunakan adalah melalui kekerasan. Penyelesaian melalui kekerasan meliputi
perang dan bersenjata non-perang seperti retorasi (retorsion), dikenakan tindakan-tindakan
pembalasan (reprisals), blokade secara damai (pasific blockade), dan intervensi
(interventation).

Jika timbul sengketa yang menyangkut kedaulatan atas sejumlah wilayah, maka
sudah merupakan kebiasaan untuk menelaah negara-negara mana saja yang mengklaim
kedaulatan tersebut, yang memiliki alas hak yang sah lebih tinggi (baik itu melalui

89
http//:www.3.itu.intmissions.indonesiapresspr020603sipadan.html. diakses pada tanggal 05 Januari 2018
pukul 21.44
90
Penyelesaian Perselisihan Kasus Sipadan Ligitan Mel alui Mahkamah Internasional. November 26,

2009. http://www.scribd.com diakses pada tanggal 08 Januari 2018 pukul 18.00 WIB

Universitas Sumatera Utara


penyerahan, penaklukan, maupun okupasi) atas negara-negara lainnya yang juga mengajukan
klaim yang sama.

Meskipun demikian, jika perseteruan didasarkan pada kenyataan bahwa pihak


lainnya juga telah mengumumkan kedaulatan, maka hal itu tidak cukup untuk membentuk
alas hak, karena harus ditunjukkan pula bahwa kedaulatan atas wilayah tersebut juga telah
berlangsung dan tetap ada pada saat putusan untuk perselisihan itu ditetapkan. Alas hak dari
penyerahan kedaulatan wilayah dalam hukum internasional juga berdasarkan atas tindakan
okupasi efektif, dengan mengasumsikan bahwa negara yang menerima memiliki kemampuan
untuk mengatur secara efektif wilayah yang diserahkan tersebut. Dalam cara yang sama,
penambahan wilayah secara alami dapat dianggap sebagai sesuatu penambahan atas bagian
wilayah yang telah ada kedaulatan yang sesungguhnya. Oleh karena itu merupakan hal yang
wajar apabila untuk mewujudkan kedaulatan dibutuhkan suatu tindakan yang terus menerus
dan juga dilakukan secara damai.

Keharusan untuk menyelesaikan sengketa secara damai pada mulanya dicantumkan


dalam Pasal 1 Konvensi mengenai penyelesaian Sengketa-sengketa Secara Damai yang
ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh
Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB dan selanjutnya oleh

Deklarasi Prinsip-prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan


Kerjasama antar Negara yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 24 Oktober
1970. Deklarasi tersebut meminta agar semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan
cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan internasional dan keadilan tidak
sampai terganggu.

Prinsip penyelesaian sengketa internasional secara damai didasarkan pada prinsip-


prinsip hukum internasional yang berlaku secara universal, dan dimuat dalam Deklarasi
mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antar Negara tanggal 24 Oktober 1970 serta
Deklarasi Manila tanggal 15 November 1982 mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional
secara Damai, yaitu 91 :

1. Prinsip bahwa negara tidak akan menggunakan kekerasan yang bersifat mengancam
integritas teritorial atau kebebasan politik suatu negara, atau menggunakan cara-cara lainnya
yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan PBB;

2. Prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri dan luar negeri suatu negara;

3. Prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa;

4. Prinsip persamaan kedaulatan negara;

5. Prinsip hukum internasional mengenai kemerdekaan, kedaulatan dan integritas teritorial


suatu negara;

6. Prinsip itikad baik dalam hubungan internasional;


91
Boer Mauna (2005). Op. cit. hal : 194

Universitas Sumatera Utara


7. Prinsip keadilan dan hukum internasional.

Penyelesaian sengketa secara damai merupakan konsekuensi langsung dari


ketentuan Pasal 2 ayat 4 Piagam yang melarang negara anggota menggunakan kekerasan
dalam hubungannya satu sama lain. Dengan demikian pelarangan penggunaan kekerasan dan
penyelesaian sengketa secara damai merupakan normanorma imperatif dalam pergaulan antar
bangsa. Oleh karena itu hukum internasional telah menyusun berbagai cara penyelesaian
sengketa secara damai dan menyumbangkannya kepada masyarakat dunia demi
terpeliharanya perdamaian dan keamanan serta terciptanya pergaulan antar bangsa yang
serasi.

Konvensi Hukum Laut 1982 menyediakan berbagai metode dalam rangka


penyelesaian sengketa hukum laut. Dilihat dari perkembangan sistem peradilan internasional,
mekanisme konvensi ini merupakan yang pertama kali dapat mengarahkan negara-negara
peserta untuk menerima prosedur memaksa (compulsory procedures), dengan sistem
konvensi maka tidak ada lagi ruang bagi negara-negara pihak konvensi untuk menunda-
nunda sengketa hukum lautnya dengan bersembunyi dibelakang konsep kedaulatan negara,
karena konvensi secara prinsip mengharuskan negara-negara pihak untuk menyelesaikan
sengketanya melalui mekanisme konvensi.

Penyelesaian sengketa diatur dalam Bab XV tentang Settlement of Disputes, Pasal


279 pada intinya menyebutkan bahwa negara-negara pihak diberi kebebasan yang luas untuk
memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu disepakati bersama. Pada sengketa wilayah
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, Indonesia menginginkan adanya penyelesaian secara damai
dengan Malaysia. Hal ini berdasarkan pada prosedural penyelesaian melalui Mahkamah
Internasional sesuai dengan Bab VI Pasal 33 Penyelesaian Pertikaian Secara Damai dalam
Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa dan Statu Mahkamah Internasional serta Pasal 36 ayat 1
Statuta Mahkamah Internasional. 92 Bab VI Pasal 33 Penyelesaian Pertikaian Secara Damai
dalam Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional adalah :

1. Pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu pertikaian yang jika berlangsung


terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan jalan perundingan,
penyelidikan, dengan mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum melalui
badan-badan atau pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang
dipilih mereka sendiri;

2. Bila dianggap perlu, Dewan Keamanan meminta kepada pihak-pihak


bersangkutan untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara serupa itu.

92
Pasal 36 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional secara lengkap berbunyi sebagai berikut, “The

Jurisdiction of the Court comparises all cases which the parties refer to it and all matters specially

provided for the in the Charter of the United Nation or in treaties and conventions in force.”

Universitas Sumatera Utara


Metode-metode penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara damai atau
bersahabat dapat dibagi dalam klasifikasi berikut ini : pertama, Arbitrasi (arbitration); kedua,
penyelesaian yudisial (judicial settlement); ketiga, negosiasi, jasa-jasa baik (good offices),
mediasi, konsiliasi; keempat, penyelidikan (inquiry); dan kelima, penyelesaian di bawah
naungan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hubungannya dengan persengketaan yang
terjadi antara Indonesia dan Malaysia, kedua negara memilih untuk menggunakan metode
negosiasi atau perundingan diplomatis sebagai langkah awal untuk menyelesaikan
persengketaan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Hal ini terlihat dari pertemuan-pertemuan
yang dilakukan oleh perwakilan kedua negara. Melihat sejarah hubungan Indonesia dan
Malaysia, cara negosiasi ini merupakan langkah yang tepat dalam menyelesaikan sengketa.

Indonesia dan Malaysia adalah dua negara besar di kawasan Asia Tenggara yang
bersahabat, dan persahabatan inilah yang bisa dijadikan dasar untuk mengadakan sebuah
perundingan negosiasi dalam rangka mencari solusi yang tepat.

Pada dasarnya metode penyelesaian sengketa melalui mekanisme perundingan ini


adalah cara konvensional yang selalu digunakan dalam rangka upaya penyelesaian sengketa
oleh pihak manapun yang bersengketa. Cara ini terkadang memerlukan waktu yang sangat
lama, hal ini bisa terjadi karena dalam perundingan dimungkinkan para pihak tetap bersikeras
dengan pendapatnya dan berusaha untuk mematahkan argumentasi-argumentasi yang
diberikan pihak lawan kadang hal ini dilakukan sebagai implementasi dari kedaulatan yang
dimiliki oleh masing-masing pihak, sehingga sulit untuk mencari titik temu penyelesaian.

Biasanya, arbitrasi menunjukkan prosedur yang persis sama sebagaimana dalam


hukum nasional, yaitu menyerahkan sengketa kepada orang-orang tertentu yang dinamakan
para arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh para pihak, mereka itulah yang memutuskan
tanpa terlalu terikat pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Namun, pengalaman yang
diperlihatkan oleh praktek internasional menunjukkan bahwa beberapa sengketa yang hanya
menyangkut masalah hukum yang diserahkan kepada para arbitrator untuk diselesaikan
berdasarkan hukum. 93

Lebih lanjut, dalam berbagai macam traktat yang menyepakati bahwa


sengketasengketa harus diajukan kepada arbitrasi, seringkali sebagai tambahan pada arahan
untuk memutuskan menurut dasar keadilan atau ex aequo et bono, pengadilanpengadilan
arbitrasi secara khusus diinstruksikan untuk menerapkan hukum internasional.

Klausula-klausula yang mengatur pengajuan sengketa-sengketa kepada arbitrasi juga


sering dimasukan ke dalam traktat-traktat, khususnya konvensi “yang membuat hukum”
(law-making). Arbitrasi pada hakikatnya adalah suatu prosedur konsensus. Negara-negara
tidak dapat dipaksa untuk dibawa ke muka arbitrasi kecuali jika mereka bersetuju untuk
melakukan hal tersebut, baik secara umum dan sebelumnya maupun ad hoc berkenaan

93
J.G Starke (2001). Pengantar Hukum Internasional : Edisi Kesepuluh. Penerj emah:Bambang

Iriana Djajaatmadja, S.H. Jakarta : Sinar Grafika.

Universitas Sumatera Utara


dengan suatu sengketa tertentu. Kesepakatan negara-negara itu pun mencakup penentuan
karakter dari pengadilan yang akan dibentuk.

Senantiasa akan ada tempat bagi arbitrasi dalam hubungan-hubungan antara negara-
negara. Proses arbitrasi lebih memuaskan dibandingkan dengan penyelesaian yudisial atas
sengketa-sengketa teknis, juga lebih murah, sedangkan, apabila dianggap perlu, arbitrasi
dapat dilakukan tanpa ada publisitas, bahkan sampai tingkat tertentu para pihak boleh
menyepakati bahwa putusan-putusan tidak akan dipublikasikan. Lebih lanjut, prinsip-prinsip
umum yang mengatur praktek dan wewenang pengadilan-pengadilan arbitrasi cukup dikenal.
Yang terakhir, prosedur arbitrasi cukup luwes untuk dikombinasikan dengan proses-proses
pencarian fakta yang disediakan dalam kasus negosiasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi dan
penyelidikan.

Untuk itu, Indonesia dan Malaysia telah membuat sebuah perjanjian yang diberi
nama Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute
between Indonesia dan Malaysia concerning Soverignty over Pulau Ligitan dan Pulau
Sipadan (Special Agreement). Dalam Pasal 2 Special Agreement disebutkan bahwa
Mahkamah Internasional diminta untuk menentukan siapakah yang mempunyai kedaulatan
atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan. 94

3.3.1. Urutan Penyelesaian Sengketa Wilayah atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
melalui International Court of Justice (ICJ)

Konflik Sipadan-Ligitan mencuat sejak tahun 1969, ketika Malaysia dan Indonesia
membahas mengenai Landas Kontinen. Perselisihan berawal dari perbedaan penafsiran atas
Perjanjian 1891 yang dibuat dua kolonialis, yakni Inggris- Belanda, untuk membagi
Kalimantan.

Pada awalnya kedua pihak sepakat untuk tidak melakukan aktivitas apapun di atas
kedua pulau yang sedang dalam sengketa. Namun Malaysia bukan hanya mengamankan
kedua pulau ini, melainkan juga membangun resor pariwisata dan penangkaran penyu.

Dalam mengadili perkara ini, Mahkamah Internasional tidak mendasarkan diri pada
Perjanjian kedua belah pihak antara Inggris dan Belanda, namun lebih kepada aktivitas
okupasi secara efektif dari Malaysia. Menyangkut efektifitas yang ditunjukkan oleh
Indonesia, Mahkamah Internasional memulai dengan menunjukkan bahwa tidak ada
peraturan perundang-undangan satupun yang mengatur tentang Sipadan dan Ligitan. Terlebih
lagi, Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/1960 yang menarik garis
pangkal bagi wilayah Indonesia, tidak memasukkan Sipadan dan Ligitan sebagai titik-titik
garis pangkal.

94
Bunyi lengkap dari Pasal 2 adalah sebagai berikut, “ The Court is requested to determine on the basis

of the treaties, agreements and any other evidence furnished by the Parties, whether sovereignty

over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan belongs to the Republic of Indonesia or to Malaysia.”

Universitas Sumatera Utara


Menurut opini Mahkamah Internasional, tidak dapat ditarik kesimpulan dari laporan
komandan kapal patroli Belanda Lynx atau dari dokumen lain yang disajikan oleh Indonesia
dalam kaitannya dengan kegiatan patroli laut Indonesia atau Belanda, bahwa otoritas kelautan
terkait meliputi Sipadan dan Ligitan dan perairan disekitarnya di bawah kedaulatan Belanda
atau Indonesia.

Malaysia memenangkan kasus ini karena Mahkamah Internasional menganggap


bahwa Malaysia telah dapat menunjukkan pelaksanaan okupasi secara efektif terhadap kedua
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yaitu berkaitan dengan efektivitas terhadap kedua Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan, dalam Butir 132 Putusan ICJ dikemukakan Malaysia menyatakan
bahwa negaranya telah mengatur pengurusan penyu dan pengumpulan telur penyu. Malaysia
menyatakan bahwa pengumpulan telur penyu di kedua pulau ini merupakan kegiatan
ekonomi yang paling penting selama bertahun-tahun.

Tahun 1914 Inggris Raya mengambil langkah-langkah untuk mengatur dan


mengendalikan pengambilan telur penyu di kedua pulau tersebut. Malaysia juga
mengandalkan pembentukan usaha penangkaran burung pada tahun 1933. Malaysia juga
menyebutkan British North Borneo Colonial (BNBC) Authorities telah membangun
Mercusuar di atas kedua pulau tersebut pada tahun 1960an, dan mercusuar tersebut masih
tetap ada sampai sekarang dan dipelihara oleh Otoritas Malaysia. Terakhir, Malaysia
menyatakan adanya Peraturan perundang-undangan

Pemerintah Malaysia mengenai Pariwisata di Sipadan dan kenyataan menyebutkan


bahwa sejak 25 September 1977, Sipadan dan Ligitan menjadi daerah yang dilindungi
dibawah Malaysia’s Protected Areas. 95

Berkenaan dengan efektivities yang disandarkan oleh Malaysia, maka Mahkamah


Internasional pertama mengamati bahwa sesuai dengan Konvensi tahun 1930 AS melepaskan
klaim bahwa AS memiliki kedaulatan di atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, dan tidak ada
negara lain yang mengemukakan kedaulatannya di atas kedua pulau tersebut pada saat itu,
atau merasa keberatan dengan pemerintahan yang berkelanjutan oleh State of North Borneo.
Lebih lanjut Mahkamah mengamati bahwa aktivitas-aktivitas yang terjadi sebelum dibuatnya
Konvensi tidak dapat dianggap sebagai tindakan “a little de souverain”, karena Inggris Raya
pada saat itu tidak mengajukan klaim kedaulatan atas nama State of North Borneo atas
pulaupulau terluar batas 3 marine-league. Karena Mahkamah beranggapan bahwa British
North Borneo Colonial (BNBC) mempunyai hak untuk memerintah kedua pulau tersebut,
posisi yang setelah tahun 1907 secara formal diakui oleh AS, maka kegiatan-kegiatan
administratif ini tidak dapat diabaikan begitu saja.

Sebagai bukti administratif efektif terhadap kedua pulau, Malaysia menyatakan


bahwa ukuran yang diambil oleh Otoritas North Borneo untuk mengatur dan mengendalikan
tindakan pengumpulan telur penyu di Sipadan dan Ligitan merupakan sebuah aktivitas
ekonomi yang nyata di daerah tersebut pada saat itu.

95
Kumpulan Makalah dan Diskusi Ilmiah (2003). Op.cit. hal : 12-14

Universitas Sumatera Utara


Hal ini merujuk kepada Turtle Preservation Ordinance 1917, yang bertujuan untuk
membatasi penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu dalam wilayah State of North
Borneo atau perairan wilayahnya. Mahkamah juga mencatat bahwa Ordonansi dibuat dalam
kaitan sistem pemberian lisensi dan untuk penciptaan native reserves untuk pengumpulan
telur penyu, dan Sipadan terdaftar diantara pulau-pulau yang termasuk dalam native reserves.

Malaysia mengemukakan bukti dokumen yang menunjukkan bahwa Ordonansi


Pelestarian Penyu 1917 berlaku setidaknya sampai tahun 1950. Dalam kaitan ini, Malaysia
menyatakan bahwa izin yang dikeluarkan pada tanggal 28 April 1954 oleh Pejabat Distrik
Tawau memperkenankan penangkapan penyu yang sesuai dengan Bagian 2 dari Ordonansi
tersebut. Mahkamah mengamati bahwa izin ini meliputi area yang termasuk di dalamnya
“pulau-pulau Sipadan, Ligitan, Kapalat, Mabul, Dinawan dan Siamil”.

Lebih lanjut Malaysia menyebutkan beberapa kasus tertentu sebelum dan setelah
tahun 1930 dimana ditunjukkan, bahwa otoritas administratif telah berhasil menyelesaikan
sengketa mengenai pengumpulan telur penyu di Sipadan. Malaysia merujuk kepada fakta
bahwa tahun 1933 Pulau Sipadan berdasarkan Bagian 28 dari Ordonansi Tanah 1930
dinyatakan sebagai reserve bagi tujuan penangkaran burung. Mahkamah berpendapat bahwa
baik ukuran yang diambil untuk mengatur dan mengendalikan pengumpulan telur penyu dan
usaha penangkaran burung harus dilihat sebagai pernyataan tegas tentang pengaturan dan
pernyataan administratif dari otoritas terhadap wilayah tersebut.

Malaysia kemudian mengemukakan fakta bahwa otoritas koloni North Borneo


membangun mercusuar di Pulau Sipadan pada tahun1962 dan yang lainnya di Pulau Ligitan
tahun 1963 dimana mercusuar tersebut tetap ada sampai kini dan bahwa mercusuar tersebut
dipelihara oleh Otoritas Malaysia sejak kemerdekaannya.

Malaysia beragumen bahwa pembangunan dan pemeliharaan dari mercusuar seperti


itu merupakan “bagian dari pola pelaksanaan otoritas Pemerintah yang tepat”. Mahkamah
mengamati bahwa pembangunan dan pengoperasian mercusuar dan bantuan navigasi pada
umumnya tidak berdasarkan perwujudan otoritas Negara. Mahkamah memberikan catatan
bahwa kegiatan yang dilakukan oleh Malaysia baik itu atas namanya sendiri atau sebagai
suksesor Inggris Raya memang sedikit jumlahnya, tetapi hal ini sangat beragam dalam
karakternya termasuk dalam tindakan-tindakan legislatif, administratif dan quasi-peradilan.
Hal-hal tersebut meliputi periode waktu yang panjang dan menunjukkan pola penampakan
kehendak untuk melaksanakan fungsi kenegaraan yang berkaitan dengan kedua pulau
tersebut dalam konteks administrasi dalam lingkup yang lebih luas dari pulau-pulau tersebut.

Mahkamah terlebih tidak dapat mengabaikan fakta bahwa pada saat itu ketika
kegiatan-kegiatan ini dilaksanakan, baik Indonesia maupun pendahulunya Belanda, tidak
pernah menyatakan pertentangan atau protes. Dalam hal ini, Mahkamah memberikan catatan
bahwa pada tahun 1962 dan 1963 Pemerintah Belanda tidak pernah mengingatkan otoritas
Koloni North Borneo atau Malaysia setelah kemerdekaannya, bahwa pembangunan
mercusuar pada masa-masa itu berlangsung di wilayah yang mereka anggap sebagai milik
Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan fakta-fakta yang diberikan dalam kasus ini, dan khususnya dalam hal
bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak, maka Mahkamah Internasional menyimpulkan
bahwa Malaysia memiliki hak terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan
effectivites.

3.3.2. Proses Persidangan Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

Dalam persidangan pemerintah kedua negara telah menyiapkan sejumlah pengacara


setingkat internasional, disamping para pejabat kedua pemerintahan. Proses persidangan yang
dilakukan dihadapan Mahkamah Internasional oleh Indonesia dan Malaysia terbagi menjadi
dua bagian utama, yaitu sesi Argumentasi Tertulis (Written Pleadings) dan Argumentasi
Lisan (Oral Pleadings).

Dalam Argumentasi Tertulis dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu penyampaian dasar
dari klaim yang disebut sebagai Memorial . Atas Memorial yang disampaikan, masing-
masing negara diberi kesempatan untuk menjawab dalam bentuk Counter Memorial. Counter
Memorial yang disampaikan oleh masing-masing negara kemudian dijawab kembali dalam
bentuk Reply.

Indonesia dan Malaysia menyampaikan Memorial mereka pada bulan November


1999. Selanjutnya kedua negara menyampaikan Counter Memorial pada bulan Agustus
2000. Atas Counter Memorial yang disampaikan oleh masing-masing negara, masing-masing
telah menanggapinya dalam Reply yang disampaikan ke Mahkamah Internasional pada bulan
Maret 2001. Pada bulan Juni 2002, para pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan
Argumentasi Lisan mereka.

3.3. Pokok-pokok Argumentasi Hukum Indonesia dan Malaysia

Indonesia dalam argumentasi hukumnya berdasarkan kepemilikannya atas kedua


pulau berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris (atau yang disebut
sebagai “Conventional Title”. 96 Indonesia berpendapat bahwa Konvensi 1891 merupakan
perjanjian yang menyelesaikan ketidakjelasan batas-batas wilayah antara Inggris dan Belanda
di Kalimantan. Dalam hubungan ini Indonesia menafsirkan bahwa garis 4 10’ tersebut tidak
hanya berhenti pada bagian timur Pulau Sebatik, tetapi terus berlanjut ke arah laut sebelah
timur pulau tersebut. Dengan demikian, pulau-pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di
bagian selatan garis tersebut merupakan wilayah Hindia Belanda. Pandangan Indonesia ini
didukung oleh kenyataan bahwa konsesi minyak yang diberikan oleh kedua pihak secara

96
Pasal 4 Konvensi 1891 berbunyi : “ From 4 10’ latitude in the east coast the boundary line shall be

continued eastward along the parallel, across the Island of Sebatik; that portion of the island

situated to the north of that parallel shall belong unreservedly to the British North Borneo

Company, and the portion south of that parallel to the Netherlands”.

Universitas Sumatera Utara


jelas menghormati garis 4 10’. Selain itu kunjungan Kapal Perusak Lynx (milik Belanda) ke
pulau Sipadan pada tahun 1921 menunjukkan adanya kontrol yang efektif pihak pemerintah
Hindia Belanda atas kedua pulau.

Malaysia dalam argumentasinya menyatakan bahwa garis 4 10’ tersebut berhenti


pada bagian timur Pulau Sebatik, karena perjanjian 1891 hanya bertujuan untuk mengatur
batas wilayah daratan. Berkaitan dengan kepemilikannya atas kedua pulau, Malaysia
menitikberatkan pada dua alur pemikiran (atau yang disebut sebagai “Chain of Title”),
sebagai berikut 97 :

1. Kedaulatan atas kedua pulau diperoleh dari serangkaian transaksi yang dimulai
dari grant Sultan Sulu kepada British North Borneo Company (BNBC) tahun 1878,
pengakuan Spanyol atas kedaulatan Inggris di Borneo melalui Perjanjian 1885, dan
pertukaran Nota antara Amerika Serikat (AS) dengan Inggris tahun 1907 mengenai
pengakuan AS atas pengelolaan pulau-pulau yang sedang dipermasalahkan (termasuk Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan) yang berada dalam administrasi BNBC meskipun kedaulatannya
masih tetap berada di bawah AS. Malaysia juga merujuk pada Perjanjian AS-Inggris tahun
1930 tentang penyerahan kedaulatan AS kepada Inggris atas pulau-pulau di selatan dan barat
garis batas antara Filipina dengan Borneo, dan penyerahan kedaulatan Inggris kepada
Malaysia tahun 1963 melalui prinsip suksesi negara; 2. Kedaulatan atas kedua pulau
diperoleh dari fakta bahwa Inggris kemudian Malaysia sejak tahun 1878 secara damai dan
terus-menerus telah mengadministrasikan kedua pulau itu. Di pihak lain, Belanda dan
kemudian Indonesia tidak pernah melakukan klaim atas kedua pulau sampai tahun 1969.
Argumentasi Malaysia tersebut dikenal dengan istilah effectivities.

3.3.1. Written dan Oral Hearings

Sesuai dengan prosedur yang berlaku di Mahkamah Internasional, masing-masing


pihak yang bersengketa harus menyampaikan argumentasi tertulis (Written Pleadings) ke
Mahkamah dan pihak lawan sengketa, yang terdiri dari penyampaian Memorial, Counter
Memorial, dan Relpy. Memorial Indonesia berisi argumentasi klaim Indonesia atas pulau-
pulau Sipadan dan Ligitan dan disampaikan pada tanggal 2 September 1999, Counter
Memorial yang berisi tanggapan RI atas Memorial-nya Malaysia disampaikan tanggal 2
Agustus 2000. Sedangkan Reply Indonesia yang berisi tanggapan atas Counter Memorial
Malaysia disampaikan tanggal 2 Maret 2001.

Setelah proses argumentasi tertulis (Written Pleading) selesai, penyelesaian kasus


sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan memasuki tahap akhir, yaitu penyampaian Lisan dan
Oral Hearing. Kedua Agent dari masing-masing pihak yang bersengketa menyampaikan
presentasi berupa sikap dan posisinya, terutama yang mengandung sikap politis dan
penekanan yuridis. Walaupun sebenarnya argumentasi yang bersifat yuridis juga disampaikan

97
Abdul Irsan (2009). Pelajaran Yang Dapat Ditarik dari Kasus Sipadan dan Ligitan. Jurnal

Intelijen & Kontra Intelijen.Volume V No. 27 : Jakarta. hal : 252-252

Universitas Sumatera Utara


oleh kedua pihak yang bersengketa di tahapan Written Pleading. Malaysia menyampaikan
argumen lisannya tanggal 6 Juni 2002 dan Indonesia tanggal 12 Juni 2002. Masing-masing
pihak diberi hak menjawab argumentasi lawannya.

Pada pelaksanaan Oral Hearing tanggal 12 Juni 2002, delegasi Indonesia yang
diketuai Menteri Luar Negeri RI, dalam kedudukannya sebagai Agent, didampingi oleh dua
orang anggota Komisi I DPR-RI, sejumlah pejabat dari

Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan, MABES TNI, Departemen


Energi dan Sumber Daya Mineral, Wakil dari Kabupaten Nunukan, Prof. Lapian sebagai
pakar sejarah, juga unsur-unsur dari KBRI Den Haag dan KBRI Paris. Oral Hearing pihak
Indonesia merupakan pernyataan terakhir posisi Indonesia di Mahkamah mengenai masalah
sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan oleh Menteri Luar Negeri RI yang berfungsi
sebagai Agent yang dilanjutkan dengan presentasi oleh para pakar hukum internasional yang
membantu tim Indonesia. Terdapat tenggang-waktu yang cukup lama antara proses Written
Pleadings dengan Oral Pleadings, disebabkan adanya permohonan mendadak untuk
intervensi dari Pemerintah Filipina tanggal 13 Maret 2001 yang disampaikan oleh Duta Besar
Filipina untuk Kerajaan Belanda kepada Registrar Mahkamah Internasional Philippe
Couvreur.

Mahkamah Internasional menyampaikan keinginan pihak Filipina ini kepada pihak


Indonesia dan Malaysia untuk ditanggapi. Apabila satu pihak atau kedua pihak yang
bersengketa (Indonesia dan Malaysia) merasa keberatan atas intervensi Filipina, maka
Mahkamah akan mengadakan hearing dengan mempertimbangkan tanggapan para pihak dan
kepentingan Filipina. Sesuai dengan surat aplikasi pihak Filipina kepada Mahkamah
Internasional, alasan utama intervensi Filipina tersebut adalah untuk melindungi
kepentingannya (legal status) atas Sabah (North Borneo). Mahkamah Internasional membagi
hak intervensi dalam dua kategori yaitu hak intervensi sebuah negara atas keputusan sebuah
kasus Mahkamah Internasional dan atas konstruksi sebuah perjanjian internasional.
Pengajuan hak intervensi harus mengandung tiga hal yaitu kepentingan yang mempunyai
karakter hukum (interest of legal nature), objek yang jelas dan pasti (precise object) dan
hubungan yuridiksi (jurisdictional link). Kepentingan yang mempunyai karakter hukum
(interest of legal nature) memiliki kelemahan bahwa tidak ada definisi yang jelas dalam
hukum internasional yang berkenaan dengan kata “interest of legal nature”. Setiap negara
bebas menginterpretasikan kepentingannya dalam mengajukan hak intervensi berkenaan
dengan kasus yang sedang berlangsung di Mahkamah Internasional. 98

Dalam hubungan ini Konstitusi Filipina menganggap wilayah Sabah masih diklaim
sebagai wilayah yang pernah dimiliki oleh Kesultanan Sulu dan pihak Filipina masih terus
berusaha melalui negosiasi diplomatik untuk memperjuangkan haknya. Mengenai klaim
Filipina atas wilayah Sabah, Malaysia dan Filipina pernah melakukan perundingan untuk

98
Hakim ad hoc Weeramantry dalam kasus Soverignty Over Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

memberikan pernyataan yang sama yang berkaitan dengan definisi dari kepentingan yang

mempunyai karakter hukum.

Universitas Sumatera Utara


membahas klaim tersebut tetapi tidak pernah tercapai kesepakatan. Filipina dan Malaysia
kemudian dengan dasar demi memelihara hubungan baik sebagai negara sahabat, bersepakat
menunda negosiasi ini sampai waktu yang belum dapat ditentukan. Sementara Konstitusi
Filipina tetap menganggap Sabah sebagai wilayah warisan dari Kesultanan Sulu. Setelah
mendengarkan intervensi pihak Filipina dan setelah berkonsultasi dengan tim dan pakar
hukum Indonesia serta Malaysia, tanggal 23 Oktober 2001 MahkamahInternasional
menyampaikan keputusannya (Reading for the judgement) bahwa permohonan Filipina tidak
dapat dikabulkan.

Setelah para hakim anggota mempelajari dan mendiskusikan semua argumentasi


hukum yang disampaikan oleh pihak-pihak yang bersengketa (Indonesia dan Malaysia), maka
sesuai prosedur Mahkamah Internasional, tanggal 17 Desember 2002 Ketua Mahkamah
Internasional membacakan keputusannya dan menetapkan bahwa Indonesia dan Malaysia
kurang memiliki dasar hukum yang kuat untuk membuktikan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan merupakan bagian dari wilayah Indonesia maupun Malaysia. Karena Mahkamah telah
diminta kedua pihak yang bersengketa dan harus memutuskan bahwa Malaysia berdasarkan
pertimbangan “effectivities” memiliki kedaulatan penuh atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
melalui perbandingan voting suara 16 hakim mendukung dan seorang hakim menolak.

Universitas Sumatera Utara


3.4. Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah Internasional Mengenai Klaim
Kedaulatan Atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

Terhadap klaim Indonesia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa 99 :

1. Garis 4 10’ berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891 dapat berarti “berhenti” atau
“terus” melewati suatu pulau tertentu (Sebatik). M ahkamah menolak argumentasi Indonesia
bahwa garis perpanjangan terebut merupakan “allocation line” di luar Pulau Sebatik sehingga
timbul keraguan pengertian garis perpanjangan. Pasal 4 Konvensi 1891 tidak menyebut
secara tegas bahwa garis 4 10’ terus berlanjut melampaui Pulau Sebatik dan memisahkan
pulau-pulau yang berada dibawah kedaulatan Inggris dan Belanda. Oleh karena itu
Mahkamah berpendapat bahwa sangat sulit untuk menyatakan bahwa Inggris Belanda
memang bersepakat untuk menganggap garis dimaksud juga sebagai “allocation line”;

2. Mahkamah mencatat bahwa tidak ada satu pun bukti yang meyakinkan kalau
pulau-pulau Sipadan dan Ligitan dan pulau-pulau lain seperti Mabul, merupakan wilayah
yang dipersengketakan oleh Inggris dan Belanda pada saat Konvensi 1891 dibuat. Atas dasar
tersebut Mahkamah tidak dapat menerima bahwa garis batas yang disetujui tersebut terus
dilanjutkan dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa di laut sebelah timur Pulau
Sebatik dimana konsekuensinya Pulau Ligitan dan Sipadan berada dibawah kedaulatan
Belanda;

3. Mahkamah tidak menemukan di dalam Konvensi 1891 hal yang meyakinkan


bahwa Belanda dan Inggris memang mengatur perbatasan wilayah kepemilikan mereka di
sebelah timur Pulau Kalimantan (Borneo) dan Sebatik, ataupun mengatur masalah kedaulatan
atas pulau-pulau lain.

Dalam kaitan dengan Pulau Sipadan dan Ligitan, Mahkamah juga berpendapat
bahwa batasan di dalam Pembukaan Konvensi 1891 sulit untuk diterapkan mengingat saat itu
letak kedua pulau tidak begitu banyak diketahui, sebagaimana juga dimaklumi oleh Indonesia
dan Malaysia, dan bukan menjadi sengketa antara Belanda dengan Inggris;

4. Mahkamah juga menyimpulkan bahwa teks Pasal 4 Konvensi 1891, apabila


dibaca sesuai dengan konteks, objek dan maksudnya bahwa Konvensi tidak dapat ditafsirkan
sebagai menetapkan “allocation line” yang menentukan kedaulatan atas pulau-pulau yang
terdapat di wilayah laut sebelah timur Pulau Sebatik. Pasal 4 Konvensi hanya menentukan
batas-batas wilayah Belanda dan Inggris sampai dengan pantai timur Pulau Sebatik;

5. Mahkamah berpendapat bahwa “travaux preparatoires” sebelum Konvensi 1891


serta hal-hal yang berkaitan dengan Konvensi tidak dapat mendukung interpretasi Indonesia
bahwa Konvensi 1891 bukan hanya mengatur perbatasan darat tetapi juga mengatur
“allocation line” di luar pantai timur Pulau Sebatik;

6. Mahkamah menolak klaim Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan yang
didasarkan pada “treaty based title” Konvensi 1891. Mahkamah juga berpendapat bahwa

99
Abdul Irsan (2009). Op. cit. hal : 256-257

Universitas Sumatera Utara


hubungan antara Belanda dengan Kesultanan Bulungan diatur berdasarkan serangkaian
perjanjian. Perjanjian tanggal 12 November 1850 dan 2 Juni 1878 mengatur masalah batas
wilayah Kesultanan Bulungan. Batas ini mencapai bagian utara melewati garis yang sudah
disetujui Belanda dan Inggris berdasarkan Konvensi 1891, termasuk Pulau Tarakan,
Nunukan, sebagaian Pulau Sebatik dan beberapa pulau kecil di sekitarnya yang terletak di
selatan garis 4 10’ LU. Hal ini tidak berlaku bagi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
Mahkamah juga menolak argumentasi Indonesia bahwa Indonesia mewarisi kedaulatan atas
Sipadan dan Ligitan dari Belanda. Perjanjian antara Belanda dengan Kesultanan Bulungan
hanya meliputi pulau Tarakan, Nunukan dan sebagian Pulau Sebatik;

7. Dalam kaitan dengan konsesi minyak, Mahkamah mencatat bahwa batas konsesi
minyak yang diberikan oleh Indonesia dan Malaysia tidak sampai ke Pulau Sipadan dan
Ligitan dan tidak tepat di garis 4 10’ LU, tetapi berhenti di 30’ di sebelah utara atau selatan
garis 4 10’. Mahkamah tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa pemberian konsesi minyak
tersebut merupakan hasil penafsiran dari Pasal 4 Konvensi 1891.

Terhadap klaim Malaysia, Mahkamah berpendapat bahwa 100 :

1. Tidak ada satu pun dari dokumen hukum yang diajukan Malaysia menyebutkan Pulau
Sipadan dan Ligitan dapat mendukung klaimnya atas kedua pulau tersebut berdasarkan
“transfer of title”;

2. Mahkamah menjelaskan bahwa kedua pulau tidak termasuk dalam grant Sultan Sulu yang
menyerahkan seluruh hak dan kekuasaan atas kepemilikannya di Borneo, termasuk pulau-
pulau dalam batas 3 marine leagues, kepada Afred Dent dan Baron van Overbeck tanggal 22
Januari 1878;

3. Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti bahwa Spanyol menganggap Pulau
Sipadan dan Ligitan termasuk dalam Protokol 1878 antara Spanyol dengan Kesultanan Sulu
atau menyimpulkan bahwa Jerman dan Inggris mengakui kedaulatan Spanyol atas Sipadan
dan Ligitan berdasarkan Protokol 1885. Pada tahun 1903 Sultan Sulu tidak dalam posisi
menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut dimasukkan dalam grant 1878 kepada Alfred Dent
dan Baron van Overbeck. Karena itu Mahkamah berpendapat bahwa Spanyol adalah satu-
satunya negara yang dapat mengklaim Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan instrumen
hukum yang relevan. Tetapi tidak ada bukti bahwa Spanyol melakukannya. Mahkamah juga
berpendapat bahwa pada saat itu baik Inggris atas nama State of Nort Borneo maupun
Belanda tidak pernah mengklaim kedaulatannya, baik secara eksplisit maupun implisit;

4. Mahkamah mencatat bahwa meskipun tidak dapat disangkal bahwa Pulau Sipadan dan
Ligitan tidak termasuk dalam lingkup Treaty of Peace tahun 1898, “Perjanjian 1900” juga
tidak secara khusus menjelaskan pulaupulau selain Cagayan Sulu dan Sibutu beserta pulau-
pulau yang menjadi bagiannya yang diserahkan Spanyol kepada AS, yang mungkin juga
termasuk pulau-pulau Sipadan dan Ligitan. Di lain pihak, AS tidak mengetahui dengan pasti
pulau-pulau mana saja yang diperolehnya berdasarkan Perjanjian 1900 tersebut;

100
Abdul Irsan (2009). Ibid. hal : 258-259

Universitas Sumatera Utara


5. Mahkamah tidak dapat menyimpulkan, baik berdasarkan Exchange of Notes tahun 1907,
Konvensi 1903 atau dokumen-dokumen lain yang berasal dari AS, bahwa AS mengklaim
kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Karena itu tidaklah dapat dikatakan bahwa
berdasarkan Konvensi 1930 AS menyerahkan hak atas Pulau Sipadan dan Ligitan kepada
Inggris sebagaimana diyakini oleh Malaysia;

6. Mahkamah menolak dalil M alaysia tentang tidak terputusnya mata rantai kepemilikan
yang diperolehnya dari Kesultanan Sulu. Tidak ada suatu kepastian bahwa Pulau Sipadan dan
Ligitan berada di bawah kepemilikan Sultan Sulu atau para ahli waris lainnya yang
disebutkan dalam mata rantai “treaty based line” atas kedua pulau tersebut.

Keputusan akhir Mahkamah Internasional mengenai klaim kedaulatan yaitu menolak


klaim kedaulatan baik yang dilakukan oleh Indonesia maupun Malaysia atas

Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan dalil “treaty based title” dan “chain of title”,
karena keduanya tidak mampu mengajukan bukti-bukti kuat yang mendukung argumentasi
masing-masing.

3.4.1. Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah Internasional Mengenai Dalil-


dalil “Effectivites”

Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan bahwa 101 :

1. Dalil “effectivites” yang telah diajukan oleh Indonesia dan Malaysia sebagai pertimbangan
untuk memutuskan siapa yang paling berhak memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Ligitan. Indonesia dan Malaysia mengklaim bahwa bukti-bukti effectivites yang diajukan
sematamata untuk mengkonfirmasikan “treaty based title” masing-masing. Dengan
menggunakan dalil alternative, Malaysia berhak mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan berdasarkan rangkaian kepemilikan dan administrasi yang berkelanjutan
secara damai tanpa penolakan dari pihak Indonesia atan pendahulunya. Mahkamah
berpendirian karena Indonesia maupun Malaysia tidak memiliki “treaty based title” atas
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, maka Mahkamah mempertimbangkan effectivites sebagai
masalah yang berdiri sendiri;

2. Mahkamah berpendapat tidak akan mempertimbangkan tindakan-tindakan yang dilakukan


setelah terjadi “critical date” sebagai bukti adanya “effectivites”, kecuali apabila tindakan
dimaksud merupakan kelanjutan normal dari tindakan-tindakan sebelumnya dan tidak
dimaksudkan memperkuat posisi hukum pihak yang bersengketa. Mahkamah hanya akan
mempertimbangkan praktek-praktek effectivites sebelum tahun 1969, yaitu saat Indonesia dan
Malaysia pertama kali menyatakan klaim masing-masing atas Pulau Sipadan dan Ligitan;

101
Abdul Irsan (2009). Ibid. hal : 259-260

Universitas Sumatera Utara


3. Mahkamah juga berpendapat bahwa peraturan dan tindakan administrasi umum dapat
dipertimbangkan sebagai bukti effectivites atas Pulau Sipadan dan Ligitan, hanya jika
peraturan dan tindakan tersebut jelas dan dikhususkan dikedua pulau tersebut.

Terhadap klaim Indonesia Mahkamah berpendapat bahwa :

1. Dalam kaitannya dengan bukti effectivites yang diajukan oleh Indonesia, Mahkamah
mencatat fakta bahwa Undang-Undang No.4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia tidak
mencantumkan atau mengindikasikan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai “base
points” atau “turning points” yang relevan;

2. Bahwa laporan komandan kapal destroyer Belanda “Lynx” dan dokumen yang diajukan
oleh Indonesia berkaitan dengan kegiatan pengawasan dan patroli di sekitar Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan, yang dilakukan baik oleh kapal “Lynx” pada November 1921 maupun
Angkatan LautIndonesia pada Desember 1967, tidak dapat menunjukkan bahwa baik Belanda
maupun Indonesia menganggap bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan serta perairan di sekitarnya
merupakan wilayah yang berada di bawah kedaulatan Belanda atau Indonesia;

3. Mahkamah menilai bahwa kegiatan penangkapan ikan secara tradisional yang dilakukan
oleh nelayan Indonesia di perairan sekitar Pulau Sipadan dan Ligitan tidak dapat
dipertimbangkan sebagai tindakan “a titre de souverain” yang mencerminkan maksud dan
keinginan untuk bertindak dalam kapasitas dimaksud.

Terhadap klaim Malaysia bahwa 102 :

1. Bukti-bukti “effectivites” yang diajukan Malaysia, Mahkamah berpendapat bahwa tindakan


yang dilakukan oleh Otorita Koloni Nort Borneo dalam mengatur dan mengontrol kegiatan
pengumpulan telur penyu dan penetapan konservasi burung harus dipertimbangkan sebagai
suatu pernyataan pengaturan dan administrasi yang tegas dari penguasa atas suatu wilayah. M
ahkamah mencatat fakta bahwa tahun 1914 Inggris menerbitkan peraturan serta melakukan
tindakan pengawasan atas kegiatan pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan dan Ligitan,
ditetapkannya Pulau Sipadan sebagai “bird sanctuary” tahun 1933, serta dibangunnya
mercusuar oleh Inggris di kedua pulau dimaksud tahun 1962 dan 1963;

2. Mahkamah berpendapat bahwa pembangunan dan pengoperasian mercusuar dan alat bantu
pelayaran tidak dapat dianggap sebagai manifestasi kekuasaan negara;

3. Mahkamah berpendapat bahwa tindakan yang dijadikan bukti “effectivites” Malaysia


sangat sedikit dalam jumlah, tetapi bervariasi dalam karakternya termasuk di dalamnya
tindakan legislative, administrative dan quasi-judisial;

102
Abdul Irsan (2009). Ibid. hal : 261-262

Universitas Sumatera Utara


4. Mahkamah mencatat bahwa pada tahun 1962 dan 1963 pemerintah Indonesia tidak
melakukan tindakan apapun, termasuk mengingatkan pihak Otorita Koloni North Borneo,
atau kemudian Malaysia setelah merdeka, jika seandainya mercusuar itu dibangun di wilayah
Indonesia.

Seadainya pembangunan mercusuar tersebut dianggap sebagai tindakan untuk


keselamatan navigasi di wilayah perairan North Borneo, maka sikap mendiamkan tindakan
yang dilakukan di wilayah Indonesia tentunya bukan merupakan hal yang wajar.

Persoalan mengenai Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan muncul baru pertama kali pada
bulan September 1969 dalam perundingan batas landas kontinen di Kuala Lumpur antara
Indonesia dan Malaysia. Pada kesempatan perundingan tersebut Malaysia menyatakan
kepemilikannya atas kedua pulau tersebut yang terletak di pantai Timur Laut Kalimantan dan
di bagian Barat Laut pulau Sulawesi. Sebaliknya Indonesia juga menuntut bahwa kedua pulau
tersebut berada di bawah kedaulatannya.

Kedua negara baik Indonesia maupun Malaysia tidak memiliki argumentasi hukum
yang kuat untuk mendukung tuntutan mereka masing-masing. Dalam upaya untuk
menyelesaikan sengketa, antara kedua negara Indonesia dan Malaysia mengadakan
perundingan-perundingan pada berbagai tingkat namun tidak berhasil mencapai penyelesaian
yang dapat diterima kedua pihak.

Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir
Muhammad sepakat untuk mengangkat Special Envoy-nya (utusan khusus) masing-masing
untuk mencari solusi alternatif. Setelah mengadakan pertemuan beberapa kali di Jakarta dan
Kuala Lumpur utusan khusus tersebut setuju mengusulkan kepada pemerintahannya masing-
masing untuk mencari penyelesaian damai atas sengketa mereka melalui Mahkamah
Internasional dan menerima keputusan Mahkamah sebagai final dan mengikat.

Demikianlah pada tanggal 31 Mei 1997 bertempat di Kuala Lumpur, Menteri Luar
Negeri Ali Alatas dan Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Abdullah Ahmad Badawi, atas
nama pemerintahnya masing-masing menandatangani Persetujuan Khusus (Special
Agreement) untuk mengajukan sengketa tersebut ke Mahkamah Internasional.

Pokok-pokok kesepakatan yang dimuat dalam Persetujuan Khusus tersebut adalah :

a. Meminta dan memberikan kewenangan kepada Mahkamah Internasional untuk


menentukan status kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan semua
bukti yang ada.

b. Memberikan kewenangan kepada Mahkamah Internasional untuk menguji


keabsahan tuntutan masing-masing negara berdasarkan sumber-sumber hukum internasional
yang berlaku sesuai Pasal 38 Statuta Mahkamah.

c. Penyampaian naskah Special Agreement ke Mahkamah Internasional akan


dilakukan kedua pihak bersamaan melalui Joint Notification, setelah masing-masing pihak
meratifikasi dan menukarkan naskah ratifikasinya.

Universitas Sumatera Utara


Special Agreement tersebut diratifikasi oleh Malaysia pada tanggal 19 November
1997 dan oleh Indonesia dengan Keppres tanggal 29 Desember 1997 dan mulai berlaku
tanggal 14 Mei 1998. Selanjutnya kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diajukan ke
Mahkamah Internasional sesuai Pasal 40 ayat 1 Statuta Mahkamah melalui notifikasi bersama
dan yang diterima oleh Panitera tanggal 2 November 1998.

Ditengah-tengah proses acara, muncul pula upaya hukum lain yang ditentukan oleh
negara ketiga, yaitu permohonan intervensi oleh Filipina terhadap perkara ini, dengan alasan
bahwa perkara ini menyangkut perjanjian-perjanjian yang oleh Filipina merupakan dasar
klaimnya terhadap Sabah. Sesuai dengan hukum acara Mahkamah, F ilipina dimungkinkan
untuk memohon intervensi jika keputusan Mahkamah nantinya akan dapat mempengaruhi
kepentingan hukumnya sebagai pihak ketiga. Pada keputusannya pada tanggal 23 Oktober
2001, Mahkamah Internasional menolak permohonan intervensi Filipina ini dengan
pertimbangan bahwa Filipina tidak berhasil mendefinisikan apa yang menjadi kepentingan
hukum Filipina dalam perkara ini akan memberikan dampak pada keputusan Mahkamah
Internasional.

Akhirnya pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional dalam


sidangnya telah mengeluarkan keputusannya yaitu bahwa kedua pulau tersebut adalah milik
Malaysia berdasarkan pertimbangan bahwa kedua pulau itu telah lama diadministrasikan oleh
Inggris dan selanjutnya oleh Malaysia atau yang dikenal dengan prinsip effectivies.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan penulis mengenai, maka
penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Awal permasalahan sengketa wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bermula dari
pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan
Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu pembicaraan landas
kontinen di laut Sulawesi, kedua negara sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan sebagai miliknya.

Permasalahan selanjutnya berawal setelah disepakatinya status quo terhadap wilayah


tersebut kemudian Malaysia melakukan kegiatan pemerintahan dan membangun tempat
wisata. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar kesepakatan
yang telah dicapai dalam status quo.

Indonesia dan Malaysia sepakat bahwa untuk menyelesaikan masalah sengketa wilayah Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan diselesaikan melalui Mahkamah Internasional (International Court
of Justice) Malaysia memenangkan kasus sengketa wilayah tersebut, maka Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan jatuh kepada daerah kekuasaan Malaysia.

Penyebab kalahnya Indonesia adalah Indonesia kurang memiliki data dan bukti historis yang
dapat menunjukan bahwa Belanda juga memiliki kehendak dan tindakan untuk menjadikan
Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai warisan penjajah

Penyebab lainnya adalah faktor kependudukan. Selama bertahun-tahun, fasilitas-fasilitas


yang ada di pulau tersebut adalah milik Malaysia. Indonesia tidak memiliki andil apapun
terhadap proses pembangunan yang terjadi di pulau tersebut.

4.2. Saran

Sebagai negara kepulauan yang berwawasan nusantara, maka Indonesia harus menjaga
keutuhan wilayahnya. Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan
tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian Pemerintah. Keberadaan pulau-pulau kecil ini
secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita
ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar
tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia,
khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/ belum
memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Pemerintah juga perlu mengembangkan
pengelolaan pulau-pulau di wilayah di perbatasan, antara lain sebagai wilayah konservasi dan

Universitas Sumatera Utara


objek wisata bahari. Pembangunan sarana pengamanan, antara lain membangun Pos
Pengamatan TNI-AL dengan personil yang memadai jumlahnya dan sarana pendukungnya.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Buku :

A. Hamzah. Laut, Teritorial dan Perairan Indonesia 1984. Himpunan Ordonansi, Undang-
undang dan Peraturan Lainnya. Jakarta : Akademika Pressindo. 1984.

Abdul Irsan (2009). Pelajaran Yang Dapat Ditarik dari Kasus Sipadan dan Ligitan. Jurnal

Intelijen & Kontra Intelijen.Volume V No. 27 : Jakarta. hal : 253\

Aleksius Jemadu. 2008. Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Amitav Acharya (2001). Constructing a Security Community in Southeast Asia : ASEAN and
the

Problem of Regional Order. Routledge : London and New York. hal. 45-46.

Bambang Cipto, "Hubungan Internasional di Asia Tenggara", Pustaka pelajar, Yogyakarta:

2007, hal. 122

Bantarto Bandoro (1994). Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru. Centre For

Strategic And International Studies : Jakarta.

Didi Krisna. 1993. Hubungan Bilateral dan Politik Internasional. Jakarta: Gramedia.

Ellycv M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.

Ganewati Wuryandari (2007). Mencermati Kembali Enam Dekade Politik Luar Negeri
Indonesia.

J.G Starke (2001). Pengantar Hukum Internasional : Edisi Kesepuluh. Penerj emah:Bambang

Iriana Djajaatmadja, S.H. Jakarta : Sinar Grafika.

George Ritzer. 2010. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Hadi Soesastro dan A.R. Sutopo (ed). 1981. Strategi dan Hubungan Internasional Idonesia
dan Kawasan Asia Pasifik. Jakarta : CSIS.

Irving M. Zeitlin. 1998. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.

Universitas Sumatera Utara


J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2005.

Joshua S. Goldstein dan Jon C. Pevehouse. 2010. International Relations. Longman: New
York.

Mohtar Kusumaatmadja (1983). Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa
Ini.

Alumni : Bandung. hal. 167-68.

Mochtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
PT. Pustaka LP3ES.

Nasikun. 2003. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

O.C. Kaligis. 2003. Sengketa Sipadan-Ligitan : Mengapa Kita Kalah?. Jakarta : O.C Kaligis
& Associates.

P.Anthonius Sitepu. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Robert lawang. 1994. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta:universitas terbuka.

Robert Jackson dan Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saifuddin Azwar. 2010. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

S.L , Roy, 1995, Diplomasi, Jakarta Utara, PT Raja Grafindo persada.

Sumaryo Suryokusumo. 2013. Hukum Diplomatik dan Konsuler Jilid I. Jakarta : Tatanusa.

Soerjono Soekanto. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Ulber Silalahi. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama.

Watson Adam. 1984. The Dialogues Between States. London. Methuem.

Internet :

Kerjasama Bilateral. Dikutip melalui http://www.deplu.go.id. Diakses pada tanggal 25


Oktober 2017 pukul 21.33

Sengketa Sipadan Dan Ligitan. Dikutip melalui


https://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan. Diakses pada tanggal 25
Oktober 2017 pukul 22.31.

Kesepakat an Soeharto-Mahathir Bawa Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional. May


17, 2010.

Universitas Sumatera Utara


http://www.hamline.edu diakses pada tanggal 08 Januari 2018 pukul 17.33 WIB

Jakarta. December 2, 2009. http://www.dephan.go.id diakses pada tanggal 07 Januari 2018


pukul 17.40 WIB

“DPR: Lawan Malaysia”, http://www.osdir.com.mlculture.region.indonesia2005-


03msg00284.html. diakses pada tanggal 08 Januari 2018 pukul 17.33 WIB

“Implementasi Strategi Pertahanan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan Timur


dalam Rangka Menjaga Keutuhan NKRI”

http://www.buletinlitbang.dephan.go.id.index.aspmnorutisi=6&vnomor=IO.html. Diakses
pada tanggal 06 Januari 2018 pukul 20.00

http://www.3.itu.intmissions.indonesiapresspr020603sipadan. htrnl. diakses pada tanggal 06


Januari 2018 pukul 17.33 WIB

http://www.fisip-
pemerintahanunila.ac.id.index.phpoption=com.articles&task=viewarticle&artid

=18&ltemid=66. Html diakses diakses pada tanggal 04 Januari 2018 pukul 20.00

http://www.sinarharapan.co. id/berita021217sh03.htrn1. diakses pada tanggal 08 Januari 2018


pukul 17.33 WIB

http//:www.3.itu.intmissions.indonesiapresspr020603sipadan.html. diakses pada tanggal 05


Januari 2018 pukul 21.44

Penyelesaian Perselisihan Kasus Sipadan Ligitan Mel alui Mahkamah Internasional.


November 26, 2009. http://www.scribd.com diakses pada tanggal 08 Januari 2018 pukul
18.00 WIB

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai