Anda di halaman 1dari 198

UNIVERSITAS INDONESIA

KEGAGALAN FORMULASI KEBIJAKAN POLITIK LUAR


NEGERI INDONESIA DAN LEPASNYA PULAU SIPADAN -
LIGITAN DARI INDONESIA TAHUN 2002 DALAM PERSPEKTIF
GEOPOLITIK NEGARA KEPULAUAN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister


Ilmu Politik

KURNIAWAN SETYANTO
1006745423

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


DEPARTEMEN ILMU POLITIK
PROGRAM PASCASARJANA ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA
NOVEMBER 2012

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012
Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012
KATA PENGANTAR

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terjadinya peristiwa permasalahan sengketa


wilayah Pulau Sipadan- Ligitan antara Indonesia dan Malaysia yang berlangsung
selama 33 tahun dari tahun 1969 sampai dengan tahun 2002. Oleh karena itu, penulis
memutuskan untuk mengangkatnya sebagai topik dalam tesis ini. Selain minat khusus
terhadap topik dalam tesis ini, penulis ingin menjunjung kembali akan rasa
nasionalisme kebangsaan. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia wilayah
teritorialnya harus tetap dipertahankan dari klaim negara lain.

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan nikmat dan rahmat-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan
tesis dengan judul “ Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan
Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia Tahun 2002 dalam Perspektif
Geopolitik Negara Kepulauan”. Tesis ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk
menyelesaikan pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia pada Program
Studi Ilmu Politik.

Penulis berharap saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dan
kesempurnaan tesis ini, sehingga lebih bermanfaat bagi penelitian selanjutnya. Penulis
menyadari dengan keterbatasan waktu, karena penulis disibukkan dengan aktivitas
pekerjaan, maka penelitian ini mungkin jauh dari rasa memuaskan. Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa tesis ini dapat diselesaikan bukan semata-mata karena faktor pribadi, tetapi
juga karena adanya banyak pihak yang telah membantu.

Pada kesempatan ini penulis pertama-tama mengucapkan terima kasih yang


sebesar-besarnya kepada kedua orang tua tercinta ( Bapak Djunawan (Almarhum) dan
Ibu Sartini) yang telah memberikan doa, masukan dan dukungan semangat moril dan
materiil, sehingga cita-cita melanjutkan S2 di Universitas Indonesia dapat diraih dan
Alhamdulillah selesai dengan lancar selama mengikuti perkuliahan sampai dengan

iv Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


proses penulisan tesis ini. Semoga doa orang tua kepada penulis agar menjadi orang
yang jujur, disiplin, bertanggungjawab dan menjadi Perwira Angkatan Darat yang
tangguh dan trengginas serta mengembalikan kejayaan negara dan bangsa Indonesia
demi menuju tercapainya masyarakat yang aman, adil, makmur dan sejahtera dapat
terwujud sesuai dengan cita-cita penulis dan para pendiri bangsa Indonesia.

Kepada istri ( Niko Fitria, S.H.) yang selama ini selalu memberikan doa,
semangat dan masukan saran. Selama proses penyelesaian penulisan tesis ini mungkin
sering menerima limpahan emosi, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis
juga tidak lupa mengucapkan kepada keluarga besar yang telah memberikan doa dan
dorongan semangat.

Kepada Mas Bakuh Prakoso (adik kandung kesembilan dari Jenderal TNI
(Purn) Djoko Santoso) dan keluarga besar di Solo yang selama ini dari awal telah
memberikan semangat dan doa selama pertama kali menjadi seorang Perwira AD dan
memberikan saran yang baik dalam proses pemilihan jurusan saat mendaftarkan tes
masuk S2 di Universitas Indonesia.

Kepada Brigjen TNI Tisyanto, S.H., M.H. (Dirkumad) yang telah memberikan
motivasi belajar, memberikan tambahan referensi dan memberikan ijin mengikuti
perkuliahan.

Kepada Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H (Kababinkum TNI) yang telah
memberikan motivasi belajar, doa dan semangat serta memberikan ijin mengikuti
perkuliahan.

Kepada Kolonel Chk Mulyono, S.H., S.IP., M.H. (Wadirkumad) yang selama ini
memberikan motivasi belajar dan semangat untuk tetap berbuat yang terbaik serta
menjadi orang yang amanah dan disiplin. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Kolonel Chk Agus Dhani MD, S.H., M.Hum (Sesditkumad) yang selama ini
memberikan arahan dan motivasi.

v Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


Kepada seluruh Perwira atasan dan anggota Ditkumad yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu yang selama ini memberikan semangat dan membantu dalam
proses penyelesaian penulisan tesis ini.

Kepada Rektor dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia beserta staff yang telah memberikan pelayanan serta fasilitas terbaik selama penulis
menempuh kegiatan perkuliahan.

Kepada Bapak Meidi Kosandi, S.IP., M.A sebagai pembimbing Reading


Course dan tesis (pertengahan karena sebelum penulisan tesis sempurna Bapak Meidi
melanjutkan pendidikan di Jepang) yang selama ini memberikan masukan dan saran serta
diskusi selama melaksanakan bimbingan Reading Course dan tesis (sebagian dari bab dalam
tesis telah mendapat persetujuan).

Kepada Bapak Cecep Hidayat, S.IP., IMRI sebagai pembimbing tesis yang selama
ini mengorbankan waktu dan tenaga untuk melanjutkan bimbingan dan memberikan
koreksi, saran dan masukan serta diskusi, sehingga tesis dapat diselesaikan tepat waktu. Dari
diskusi dan berbagai masukan dari beliau sangat membantu dalam menyelesaikan tesis ini.

Kepada Ketua dan Sekretaris Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI,
masing-masing Ibu Dr. Valina Singka Subekti, M.Si dan Bapak Syaiful Bahri, S.Sos.,
M.Si, saya mengucapkan terima kasih atas segala masukan yang diberikan selama
proses pengerjaan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf
Sekretariat yang telah memberikan informasi dan kepada staf pengajar di Program
Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI yang telah memberikan transfer ilmu pengetahuan selama
mengikuti proses belajar selama perkuliahan berlangsung.

Kepada Bapak Prof. Dr. Burhan D. Magenda, MA sebagai Penguji Ahli yang telah
memberikan masukan positif bagi penulisan tesis ini. Sehingga tesis ini dapat disusun secara
sistematis.

vi Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


Kepada seluruh teman-teman di Pascasarjana Ilmu Politik UI Angkatan 2010,
penulis mengucapkan terima kasih atas segala bentuk bantuan baik secara langsung
maupun tidak langsung selama dalam proses pengerjaan dan penyelesaian tesis ini.
Ucapan terima kasih khususnya kepada Mas Eko, Mas Ridho, Mas Lukman, Mas
Agung, Mbak Sarifah, Mas Moudy yang telah memberikan dukungan dan masukan
kepada penulis.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Ibu Megawati
Soekarnoputri (melalui Sekjen PDI Perjuangan Bapak Tjahjo Kumolo), Bapak Susilo
Bambang Yudhoyono, Bapak Hassan Wirajuda (mantan Menlu RI), Bapak Effendi
Choirie (anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKB), Letjen TNI (Purn) Syaiful Rizal
(mantan Pangdam IX/Udayana dan Dankodiklat TNI AD) dan Letjen TNI (Purn) Hadi
Waluyo (mantan Pangdam VI/Mulawarman dan Pangkostrad) serta narasumber dari
Departemen Luar Negeri yaitu Dian Triansyah Djani, MA (Direktur Jenderal Kerjasama
ASEAN) yang ikut terlibat selama proses penyelesaian permasalahan sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dan narasumber dari Departemen Pertahanan yaitu
Kolonel Ctp Drs. Umar S. Tarmansyah (Peneliti Puslitbang SDM Balitbang Dephan yang
mengikuti proses lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan).

Jakarta, November 2012


Penulis

vii Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012
ABSTRAK

Nama : Kurniawan Setyanto


Program Studi : Ilmu Politik
Judul : Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia
dan Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia Tahun 2002
dalam Perspektif Geopolitik Negara Kepulauan,
xvi+182halaman, 45 buku, 2 jurnal,9 artikel koran, 3 majalah, 11
sumber online, 8 wawancara narasumber.
Tesis ini dilatarbelakangi oleh sengketa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan persoalan
konflik yang bermuara dari persengketaan dua negara yaitu antara Indonesia dan
Malaysia terhadap suatu wilayah yang mana klaim terhadap wilayah tersebut dilandasi
oleh tujuan memperoleh keuntungan dan penguatan negara melalui penambahan
wilayah. Indonesia dan Malaysia menghadapi sengketa wilayah selama 33 tahun, yakni
sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2002. Pada bulan Desember 2002, Mahkamah
Internasional memutuskan untuk memberikan hak kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan
kepada Malaysia.
Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori kebijakan publik, teori
kebijakan politik luar negeri dan teori geopolitik. Tesis ini lebih menekankan pada teori
kebijakan politik luar negeri Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif kualitatif yang menerapkan pula metode historis dan analisis
interpretatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi kepustakaan (library research). Dalam penelitian ini digunakan alat pengumpulan
data dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang
terkait dengan pokok permasalahan baik berupa buku, surat kabar, majalah, website dan
sebagainya yang dikumpulkan dan diolah berdasarkan klasifikasi masalahnya. Data-data
yang mendukung penelitian ini akan dikonseptualisasikan, digenerelasikan, dan
dianalisis dengan menggunakan kerangka pemikiran yang ada.
Perundingan bilateral ditempuh sebagai upaya penyelesaian melalui jalur politik
diplomasi, menjadi tidak efektif ketika Indonesia dan Malaysia memiliki tujuan yang
saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Ketidakefektifan dan kebuntuan
perundingan bilateral ini membuka jalan bagi penyelesaian melalui jalur hukum melalui
Mahkamah Internasional (International Court Justice).Penyelesaian sengketa ini ke
Mahkamah Internasional (International Court Justice) adalah jalan damai yang
ditempuh oleh kedua negara untuk menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan yang
sudah cukup lama. Kegagalan formulasi kebijakan Pemerintah Indonesia
mengakibatkan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia. Indonesia adalah negara
kepulauan dan banyaknya wilayah perbatasan yang dimiliki Indonesia, ke depan harus
mampu dikelola tidak hanya melalui pendekatan pertahanan dan keamanan namun juga
menggunakan pendekatan pembangunan ekonomi wilayah perbatasan.
Kata kunci:
Kebijakan Pemerintah, Sengketa, Pulau Sipadan-Ligitan

ix Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


ABSTRACT

Name : Kurniawan Setyanto


Study Programme : Political Science
Title : The Failed of Formulating Indonesia Foreign Policy and
The Lose of The Sipadan-Ligitan Islands from Indonesian at
Year 2002 in Perspective of Geopolitics Archipilagic Country,
xvi+182 pages,45 books, 2 journals, 9 articles, 3 magazine, 11online
sources, 8 respondents interview.
This thesis are directed by dispute on the Sipadan-Ligitan islands was a conflict derived
from dispute between two countries, there are Indonesia and Malaysia over the territory, in
which the claim on the territory was based on the intention of gaining benefits and
nation reinforcement through territorial extension. Indonesia and Malaysia faced this
territorial dispute for 33 years, since year 1969 up to year 2002. In December 2002, the
International Court Justice decided to give the ownership right of the Sipadan -Ligitan
islands to Malaysia.

As the theoritical basis, this research used public policy theory, foreign policy theory
and geopolitical theory. This thesis more press up that Indonesian foreign policy theory.
The method of data collection used in this research was the library research method.
This research, the researcher also used equipment for collecting the documentation data
by searching for data about items or variables related to the main problems from books,
newspaper, magazine, websites and the others. The data that supported the research was
conceptualized, generalized and analyzed using the available frameworks.

The bilateral negotiation taken as an effort to settle problem through diplomatic course
became uneffective when both Indonesia and Malaysia had an opposing intention that
could not be compromised. The uneffectiveness and dead lock of the bilateral
negotiation had given way to the settlement of the dispute through the law course by the
International Court Justice. The settlement to International Court Justice was a peace
way taken by both countries to solve their long term problem Sipadan-Ligitan islands.
The failed of formulating policy Indonesian Government resulting the release Sipadan-
Ligitan islands. Indonesia is archipilagic countries and has many territorial border that,
in the future, should be good managed, not only through defense and security
approaches but also through those of economics development of the territories.

Keywords:
Government Policy, Conflict, Sipadan-Ligitan Islands

x Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... .......................................................................................................... . ..i
PERNYATAAN ORIGINALITAS... ................................................................................... . . ii
LEMBAR PENGESAHAN... ................................................................................................ . ..iii
KATA PENGANTAR............................................................................................................. . .iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ...................................... ...viii
ABSTRAK... ............................................................................................................................. . .ix
ABSTRACT...................................................................................................................................x
DAFTAR ISI............................................................................................................................. .. .xi

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah... .................................................................................................... .1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................... . .4
1.3 Tujuan Penelitian... ........................................................................................................12
1.4 Signifikansi Penelitian... ............................................................................................. ..12
1.5 Kerangka Teori... ...........................................................................................................13
1.5.1 Kebijakan Publik dilihat dari Formulasi Kebijakan... .................................... . .13
1.5.2 Kebijakan Politik Luar Negeri........................................................................... .17
1.5.2.1 Realisme Politik oleh Hans J. Morgenthau....................................... ...19
1.5.3 TeoriGeopolitik... ............................................................................................. . ..21
1.5.3.1 Teori Geopolitik Hans J. Morgenthau... ................................................... . ..25
1.5.4 Teori Hukum Internasional... ...............................................................................26
1.5.5 Teori Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia... .......................................... ..27
1.5.6 Teori Regional Coorperation (Kerjasama Regional).................................... .. .28
1.6 Metode Penelitian... ................................................................................................... .. .28
1.7 Sistematika Penulisan... ............................................................................................. .. .30
2. LATAR BELAKANG HISTORIS SENGKETA PULAU SIPADAN -LIGITAN
SERTA PENYELESAIANNYA MELALUI INTERNATIONAL COURT OF
JUSTICE (ICJ)
2.1 Kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dalam Perspektif Historis... ................................. . ..31
2.2 Latar Belakang Kasus Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia Terhadap
Pulau Sipadan-Ligitan ... .......................................................................................................... .. .39
2.3 Arti Penting Pulau Sipadan - Ligitan bagi Indonesia dan Malaysia.............................. .42
3. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEGAGALAN
PEMBUATAN KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI DAN LEPASNYA
PULAU SIPADAN-LIGITAN TAHUN 2002
3.1 Kegagalan Pemerintah Indonesia Menghasilkan Formulasi Kebijakan Politik
Luar Negeri dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Melalui Perundingan
Bilateral... ...................................................................................................................... .. .54
3.1.1 Perundingan Bilateral Indonesia dengan Malaysia Tahun 1989... ................ . ..56
3.1.2 Perundingan Melalui Mekanisme Joint Working Group (JWG)..................... ..57
3.1.3 Perundingan Indonesia dan Malaysia Tahun 1995... ...................................... . ..60

xi Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


3.1.4 Perundingan Tingkat Tinggi antara Kepala Negara...................................... ...62
3.2 Faktor yang Menyebabkan Kegagalan Pemerintah Indonesia Membuat
Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri... ................................................................ . ..64
3.2.1 Faktor Masyarakat yang Tinggal di Daerah Perbatasan... ............................ ..65
3.2.2 Faktor Internal dan Politik Luar Negeri Indonesia... ...................................... .68
3.2.3 Faktor Aktor Negara Sebagai Pembuat Kebijakan Politik... ......................... ..70
3.3 Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Terkait Lepasnya
Pulau Sipadan - Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto dan Presiden
Megawati Soekarnoputri............................................................................................. .75
3.4 Politik Luar Negeri Indonesia dalam Usaha Intergritas Teritorial... .........................79
a.) Masa Pemerintahan Presiden prof. Dr.Ing. Dr.Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf
Habibie.................................................................................................................... . ..79
b.) Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid... ..................................... ..80
c.) Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri................................... ..81
3.5 Aktor Negara yang Menyebabkan Kegagalan Pemerintah Indonesia
Menghasilkan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri... ...................................... . .83
3.5.1 Faktor dan Tanggungjawab Aktor Negara Sebagai Pembuat Kebijakan
Politik... ................................................................................................................ . ..86
a.) Peran dari Menteri Luar Negeri dan Menteri Politik dan Keamanan dan
Keamanan Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri... ..90
b.) Peran dari Lembaga Legislatif (Parlemen) dalam hal ini Komisi I DPR
RI... .............................................................................................................................................. .. .92
3.6 Sikap Saling Mempengaruhi antara Menteri Luar Negeri, Menteri Koordinator
Politik dan Keamanan dengan Komisi I DPR RI dalam Penyelesaian Sengketa
Pulau Sipadan-Ligitan... ................................................................................................. .96
3.7 Hasil Pendapat dari Aktor Negara Berkaitan dengan Kegagalan Formulasi
Kebijakan Politik Luar Negeri................................................................................. ...98
4. PROSES GAGALNYA PEMBUATAN KEBIJAKAN POLITIK LUARNEGERI
DAN LEPASNYA PULAU SIPADAN - LIGITAN DARI INDONESIA
4.1 Gagalnya Proses Pembuatan Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia.................... .102
4.2 Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau
Sipadan-Ligitan melalui International Court of Justice (ICJ)... ...................................... ...113
4.3 Mahkamah Internasional... ....................................................................................... ...118
a. Permanent Court of Arbitration... ....................................................................... ...119
b. Permanent Court of International Justice... ........................................................ ..119
c. International Court of Justice... ............................................................................ . .120
4.4 Urutan Penyelesaian Sengketa Wilayah Atas Pulau Sipadan-Ligitan Melalui
International Court of Justice (ICJ)... ..................................................................................122
4.5Proses Persidangan Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan... ...................... ...126
4.5.1 Pokok-pokok Argumentasi Hukum Indonesia dan Malaysia... ...................... .126
4.5.2 Written dan Oral Hearings... ............................................................................. .128
4.53Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah Internasional Mengenai Klaim
Kedaulatan Atas Pulau Sipadan-Ligitan... ........................................................130

xii Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


4.5.4 Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah Internasional Mengenai
Dalil-dalil “Effectivites”... .............................................................................................135
4.6 Hasil Keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) Atas
Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan... ...................................................................................... .139
4.7 Konsekuensi yang Harus Dilakukan Indonesia Pasca Keputusan Mahkamah
Internasional... .................................................................................................................... ..141
4.7.1 Keputusan Mahkamah Internasional Pengaruhnya Terhadap Penetapan Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia... ............................................................................... . ..144
4.8 Dinamika Perubahan Politik Indonesia dalam Menyikapi Sengketa Pulau Sipadan-
Ligitan................................................................................................................................. . .149
4.9 Usaha Perubahan Kebijakan Politik Luar Negeri Presiden Soeharto... ............... ..160
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan... ........................................................................................................... . .167
5.2 Saran... ........................................................................................................................ .170
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... ..172

xiii Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


DAFTAR TABEL

Tabel 4.7 Hasil Pendapat dari Aktor Negara Berkaitan dengan Kegagalan
Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri... ...................................... .98

xiv Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta Letak Pulau Sipadan-Ligitan pada Laut Sulawesi... ............................ . .40

xv Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


DAFTAR LAMPIRAN

Gambar 1 Peta Wilayah Pulau Sipadan-Ligitan... ...................................................... . ..178


Gambar 2 Peta Pulau Sipadan dan Resort Yang Telah Dibangun.............................. .179
Gambar 3 Papan Tanda Pengumuman Yang Dipasang Malaysia
di Pulau Sipadan...............................................................................................180
Gambar 4 Foto Daerah Lokasi Sumber Daya Laut Berupa Ikan, Jenis Hewan Laut
dan Daerah Penyelaman di Pulau Sipadan................................................. . ..181
Gambar 5 Peta Pulau Ligitan Dan Resort Yang Telah Dibangun Malaysia.............. . .182

xvi Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Wilayah merupakan salah satu unsur terpenting bagi suatu negara, karena
wilayah merupakan tempat negara melaksanakan kedaulatannya. Wilayah merupakan
ruang di mana orang menjadi warganegara yang bersangkutan hidup dan menjalankan
segala aktivitasnya. Wilayah negara sebagai suatu ruang tidak saja terdiri atas daratan
atau tanah tetapi juga perairan dan ruang udara. Wilayah daratan dan wilayah ruang
udara dimiliki oleh negara pantai.Mengingat pentingnya wilayah bagi suatu negara,
maka batas-batasnya harus jelas untuk menghindari kemungkinan sengketa dengan
negara-negara yang lain.1Dalam sejarah manusia maupun negara-negara, kerap terjadi
konflik antarnegara yang bersumberkan pada masalah batas wilayah. Konflik ini bisa
disebabkan oleh karena keinginan untuk melakukan ekspansi wilayah maupun
ketidakjelasan batas-batas wilayah antarnegara.
Salah satu fungsi dari batas wilayah itu telah berkembang menjadi sebuah
kontribusi untuk identitas nasional dan sebagai pelindung dari hasil kekayaan sumber
daya alam yang langka atau sulit untuk diperbaharui. Sengketa wilayah biasanya
dimulai oleh salah satu atau beberapa pihak yang merasa memiliki wilayah tersebut atau
berkepentingan besar terhadap wilayah tersebut. Negara yang memulai sengketa itu
mempunyai bermacam tujuan yang dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan:2Pertama,
klaim terjadi ketika sebuah negara benar-benar menginginkan wilayah tersebut dan
percaya bahwa ia akan memperoleh beberapa keuntungan. Tujuan ini berkaitan dengan
penguatan negara melalui penambahan wilayah. Peningkatan kekuatan mungkin berasal
dari sumber-sumber yang ditemukan di wilayah tersebut atau dari penduduk yang
tinggal di sana, atau dari peningkatan akses wilayah tersebut melalui laut maupun

1
LB. Moerdani, Menegakkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Pandangan dan Ucapan Jenderal TNI
(Purn) LB. Moerdani 1988-1991, Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman, 1992,
hlm. 39.
2
Ibid.

1 Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


2

saluran-saluran utama komunikasi. Kedua, klaim dibuat tanpa banyak harapan


memperoleh hasil atau keuntungan. Sengketa dilakukan dalam rangka menjalankan
politik dalam negeri atau politik luar negeri. Kadang perbatasan tidak dapat menjamin
sengketa atau konflik dapat berakhir secara total. Setelah berjalan beberapa tahun,
konflik seringkali masih muncul bahkan menjadi perang (krisis) apabila konflik-konflik
kepentingan berubah menjadi situasi yang mengandung ancaman.3
Wilayah perbatasan suatu negara memiliki nilai strategis dalam mendukung
keberhasilan pembangunan nasional. Hal ini dapat terjadi antara lain karena wilayah
perbatasan mempunyai dampak penting bagi kedaulatan sebuah negara, mempunyai
faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di
sekitarnya, mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang
dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan antarwilayah maupun antarnegara, dan
mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan baik dalam skala
regional maupun nasional.Masalah ketidakjelasan batas-batas negara dan status wilayah
sering menjadi sumber persengketaan di antara negara-negara yang berbatasan atau
berdekatan. Persengketaan muncul akibat penerapan prinsip yang berbeda terhadap
penetapan batas-batas landas kontinen di antara negara-negara bertetangga sehingga
menimbulkan wilayah “tumpang tindih” yang dapat menimbulkan persengketaan.4
Contoh nyata yang melibatkan Indonesia yaitu permasalahan sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada
tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-
masing negara ternyata memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam batas-batas
wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Pulau Sipadan-Ligitandinyatakan dalam
keadaan status quo, akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Permasalahan sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ini secara sederhana mengandung makna tradisional
sekaligus modern. Secara tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat dari
kolonialisme masa lalu yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang menjajah

3 J.R.VPrescot, Boudaries and Frontiers, London: Croom Helm, 1973, hlm. 90-125.
4
LB. Moerdani, Op. Cit., hlm. 45.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


3

Malaysia dan Belanda yang menjajah Indonesia, menyisakan garis perbatasan yang
tidak tegas ketika mereka meninggalkan tanah jajahannya. Itulah yang kemudian
membuat sengketa itu berkembang, menurun kepada negara yang mewarisi tanah bekas
jajahan tersebut. Dalam konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak bisa
dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang
dikandungnya. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua
pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tersebut ke Malaysia merupakanpelajaran
bagi Indonesia agar dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebenarnya Indonesia masih bisa membicarakan masalah tersebut dengan Malaysia
dengan menganggap masalah teritorial adalah persoalan politik bukan hanya persoalan
hukum. Masalah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas kebijakan politik pada
masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri.5 Sumber dari permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan adalah
kesalahan kebijakan politik pada era Pemerintahan Presiden Soeharto yang hanya
mempersoalkan wilayah negara dari segi hukum saja sehingga mencari solusi ke
Mahkamah Internasional.6 Wilayah kedaulatan negara merupakan suatu permasalahan
politik, karena sangat erat dengan suatu perumusan kebijakan politik yang nantinya
akan dijadikan sebagai pedoman oleh Pemerintah dalam menentukan arah kebijakan
politiknya dalam membawa negara Indonesia ke arah yang lebih baik dan mempunyai
kedudukan yang dihormati di dunia internasional. Suatu kebijakan yang menyangkut
teritorial suatu negara perlu adanya ketegasan kebijakan Pemerintah agar wilayah
negaranya aman dari ancaman gangguan permasalahan perbatasan darat maupun laut
dengan negara lain.
Ancaman terhadap negara yang berubah bukan hanya berasal dari aktor negara,
tetapi juga aktor-aktor bukan negara. Bentuk-bentuk ancaman tersebut juga semakin
banyak, bukan hanya dari ancaman terhadap kesatuan teritori saja atau yang terkait

5
“Memanasnya Hubungan RI-Malaysia”, diperoleh dari http://www.politik.lipi.go.id. [Diakses pada hari
Selasa tanggal 26 April 2011 pukul 21.45].
6
LB. Moerdani, Op. Cit., hlm. 51.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


4

dengan batas wilayah negara, tetapi juga ancaman-ancaman yang bersifat non-politik
dan non-ekonomi. Perkembangan teknologi dan industri, termasuk revolution in
military affairs telah semakin menunjukkan betapa dunia kini semakin tanpa
batas.7Revolution in military affairs mempunyai maksud yaitu untuk mewujudkan
kekuatan minimal (MEF atau Minimal Essential Force) sebagai instrumen negara untuk
melaksanakan fungsi negara berdasarkan keputusan politik.Negara adalah aktor penting
atau aktor utama dalam dunia internasional, jadi segala urusan dalam dan luar negeri
diserahkan pada negara. Maka negara bertanggungjawab atas keamanan nasional dan
batas-batas negara. Jadi, aktor-aktor negara mempunyai peranan yang sangat penting
terhadap suatu kebijakan politik luar negeri.
Dalam permasalahan penyelesaian sengketa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan
sebuah kegagalan formulasi kebijakan politik luar negeri Indonesia dan lepasnya Pulau
Sipadan-Ligitan dari Indonesia pada tahun 2002 dalam perspektif Geopolitik negara
kepulauan. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki pulau -pulau
terbanyak di dunia, sehingga wilayah teritorialnya harus dijaga dengan baik agar
keutuhan dan kedaulatan wilayahnya tidak terusik oleh negara lain.8

1.2 Rumusan Masalah


Permasalahan awal dari persengketaan Pulau Sipadan-Ligitanantara Indonesia
dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut
antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan Pulau Sipadan-
Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya.9 Kedua negara lalu sepakat agar Pulau
Sipadan-Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo akan tetapi ternyata pengertian
ini berbeda.10 Pihak Malaysia membangun resort pariwisata baru yang dikelola pihak
swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah
Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa
dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati atau diduduki

7 Ibid, hlm. 76.


8 Norman J.G. Pounds, Political Geography, New York: Mogrow-Hill Book co. Inc, 1963, hlm.89.
9 Aspiannor Masrie,“Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses pada hari
Jum‟ at tanggal 29 April 2011].
10
Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


5

sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak
Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Dengan kondisi demikian maka Pulau Sipadan-Ligitan terbuka untuk klaim
kepemilikan.Klaim kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan mengandung dua motif, yaitu
motif politik dan motif ekonomi. Alasan politis tersebut adalah untuk mewujudkan
kedaulatan negara, sehingga dapat menjalankan fungsi eksekutif dan legislatif di kedua
pulau yang disengketakan oleh kedua negara. Sedangkan untuk motif ekonomi yang
melatarbelakangi klaim tersebut adalah karena Pulau Sipadan-Ligitan mempunyai daya tarik
tersendiri untuk pariwisata.11
Dalam kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan jelas bahwa peran kebijakan
politik Pemerintah Indonesia tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan
kebijakan politik Indonesia yang telah disusun oleh para pemimpin bangsa pendahulu.12
Pada saat kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari kesalahan
Pemerintah pada era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil
Presiden Hamzah Haz dalam melaksanakan perumusan kebijakan politik pada saat itu.
Dalam perannya sebagai perumus kebijakan politik, Presiden Megawati Soekarnoputri
juga dibantu oleh kedua Menteri yang duduk pada masa Pemerintahannya. Kedua
Menteri tersebut adalah Menteri Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Luar
Negeri Hasan Wirajuda. Kedua Menteri tersebut memiliki peranan penting bagi
Presiden Megawati Soekarnoputri sebelum mengeluarkan kebijakan politik. Peran
penting juga tidak terlepas dari lembaga legislatif, karena lembaga legislatif dalam hal
ini DPR yang berperan dalam perumusan kebijakan politik sebelum dikeluarkan oleh
Pemerintah yang menyangkut kepentingan negara.13Pemerintah merupakan pengambil
keputusan kebijakan politik untuk kepentingan negara, sehingga kesalahan sekecil
apapun akan membuat pengaruh besar kepada sistem politik dalam negeri dan luar
negeri Indonesia. Suatu sistem politik domestik yang sedang berjalan akan secara
otomatis mempengaruhi sistem politik luar negeri.
11
Ibid
12
Ibid.
13
Ganewati Wuryandari , Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P
LIPI dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2008, hlm. 195.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


6

Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tersebut ke Malaysia merupakanpelajaran


bagi Pemerintah agar dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masalah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas kebijakan politik pada masa
Pemerintahan Presiden Soeharto dan Pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri.14Pada era Pemerintahan Presiden Soeharto penyelesaian permasalahan
sengketa Pulau Sipadan-Ligitan hanya mempersoalkan wilayah negara dari segi hukum
saja sehingga mencari solusi ke Mahkamah Internasional. 15 Wilayah kedaulatan negara
merupakan suatu permasalahan politik, karena sangat erat dengan suatu perumusan
kebijakan politik yang nantinya akan dijadikan sebagai pedoman oleh Pemerintah dalam
menentukan arah kebijakan politiknya dalam membawa negara Indonesia ke arah yang lebih
baik dan mempunyai kedudukan yang dihormati di dunia internasional. Persoalan kebijakan
yang menyangkut teritorial suatu negara perlu adanya ketegasan kebijakan Pemerintah
agar wilayah negaranya aman dari ancaman gangguan permasalahan perbatasan darat
maupun laut dengan negara lain.
Apabila ditelusuri lebih lanjut mengenai lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia justru dari peran aktor-aktor politik baik
sebagai eksekutif maupun legislatif. 16 Peran aktor-aktor politik dalam lepasnya Pulau
Sipadan-Ligitan tidak berjalan dengan baik dan sinergi, karena saling menyalahkan
setelah Indonesia mengalami kekalahan dalam sidang di Mahkamah Internasional yang
menyebabkan akhirnya Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ke dalam bagian dari wilayah
Malaysia. Sejak masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan Presiden
Megawati Soekarnoputri, persoalan Pulau Sipadan-Ligitan hanya dipandang sebagai
permasalahan hukum dan pada kenyataannya Indonesia tidak mempunyai cukup bukti
yang dihadirkan selama proses yang panjang selama persidangan di Mahkamah
Internasional.17Sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan apabila dibawa dalam

14
“Memanasnya Hubungan RI-Malaysia”, diperoleh dari http://www.politik.lipi.go.id. [Diakses pada hari Selasa
tanggal 26 April 2011].
15
Ibid, hlm. 199.
16
Ibid. hlm. 45.
17
“Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.dephan.go.id. [Diakses pada hari
Selasa tanggal 26 April 2011].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


7

permasalahan hukum ke Mahkamah Internasional, maka seharusnya Indonesia harus


banyak meratifikasi dasar-dasar hukum yang akan dijadikan sebagai alat bukti kepada
Hakim agar dapat dipercaya dan dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh Hakim dalam
masa persidangan masalah sengketa yang melibatkan kedua negara dalam
memperebutkan Pulau Sipadan-Ligitan.18
Yang harus dilakukan oleh para aktor-aktor politik adalah melihat
permasalahan sengketa perbatasan wilayah dari segi politik bukan dari segi hukum.
Permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan menyangkut teritorial suatu negara, di
mana peran Pemerintah sangat penting dalam mengeluarkan suatu kebijakan politiknya
yang tegas tetapi tetap menjaga kaidah politik sesuai dengan Piagam ASEAN yang telah
disepakati oleh anggota-anggota negara ASEAN. Sebelum kebijakan politik dikeluarkan
oleh Pemerintah, antara Pemerintah dan DPR RI, dalam hal ini khususnya Komisi I
DPR RI, telah mengadakan rapat dengar pendapat sebagai tempat untuk berkonsultasi
sebelum perumusan kebijakan politik yang disodorkan oleh Pemerintah pada waktu itu
mendapat persetujuan dari DPR RI.19 Dari masa Pemerintahan Presiden Soeharto
hingga pada saat lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden
Megawati Soekarnoputri, antara Pemerintah dan DPR RI sendiri tetap hanya
memandang permasalahan Pulau Sipadan-Ligitan tersebut dari segi hukum saja. Dari
permasalahan tersebut jelas bahwa antara Pemerintah dan DPR RI tidak mempunyai
konsep dalam perumusan kebijakan politik yang jelas dan terarah, karena kedua
lembaga yang berisi aktor-aktor politik tersebut tidak mampu membuat suatu keputusan
kebijakan politik luar negeri sebagai arah bagi negara yang mempunyai luas wilayah
kepulauan sangat besar.20
Negara yang mempunyai luas wilayah kepulauan yang sangat besar dan
memiliki beribu-ribu pulau merupakan suatu ancaman besar dalam permasalahan
perbatasan baik di darat maupun di laut. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu
18
“Keputusan Mahkamah Internasional tentang kasus perebutan Pulau Sipadan-Ligitanantara Indonesia dan
Malaysia” diperoleh dari http://diplomacy945.blogspot.com. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26
April 2011].
19
Ganewati Wuryandari , Op. Cit, hlm. 197.
20
Kasus Sipadan-Ligitan. Dalam http://www.metronews.com oleh Aspiannor Masrie. [Diakses tanggal 29 April
2011].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


8

lebih fokus terhadap ancaman-ancaman tersebut oleh negara lain terutama aktor-aktor
politik yang menduduki lembaga eksekutif maupun legislatif. 21Kenyataannya antara
Pemerintah dan DPR RI saling bermanuver menyalahkan dan menyerang atas
keputusan politik yang telah dikeluarkan dan hasilnya membuat kerugian yang besar
bagi kepentingan negara dan rakyatlah yang sangat kecewa dengan apa yang telah
dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI.22Rakyat telah memberikan mandat dan
kepercayaan penuh kepada kedua lembaga tersebut dalam pengambilan kebijakan
politik yang akan membawa negara Indonesia menjadi negara yang mempunyai
integritas politik yang tegas dan terarah, sehingga menjadikan negara lain menghormati
kebijakan politik Indonesia. Hal tersebut sangat berbeda dengan yang ditunjukkan oleh
Presiden Soekarno dalam kebijakan politik pada saat pengambilan kebijakan politik
mengenai wilayah Irian Barat dan menjadikan Irian Barat sebagai wilayah Negara
Kesatuan Rebublik Indonesia. Kebijakan politik yang diambil Presiden Soekarno pada
waktu itu juga tidak terlepas dari peran legislatif yang sangat mendukung langkah -
langkah yang diambil Pemerintah terutama kebijakan politik.23 Suatu ketegasan
kebijakan politik Pemerintah mencerminkan keberhasilan politik dalam negeri sehingga
sistem politik luar negeri juga berpengaruh.

Permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari peran dan


hubungan yang sinergis antara lembaga eksekutif dan legislatif yang seharusnya satu
sama lain mendukung dan bukan saling menyalahkan setelah keputusan kebijakan
politik tersebut diambil. 24Aktor politik yang berada di dalam kedua lembaga tersebut
seharusnya menyikapi permasalahan yang berhubungan dengan teritorial negara bukan
pada cermin hukum, tetapi harus bercermin pada politik. Permasalahan perbatasan
sendiri menyangkut pada suatu kedaulatan negara yang seharusnya tidak dapat diganggu
gugat dan diusik oleh negara manapun, karena permasalahan perbatasan sangat rentan

21
Ibid.
22
Ganewati Wuryandari , Op. Cit, hlm. 45.
23
Mohammad Hatta, Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1953, hlm. 78.
24
Pandangan Morgenthau mengenai konsep ini dapat ditemukan dalam Theodore A. Columbis dan James
H. Wolve, “Introduction to International Relations, Power and Justice”, New Jarsey: Prentice Hall, 1982, ditulis
di dalam tulisan Bantarto Bandoro dalam Analisis CSIS “Aspek-Aspek Internasional dalam Intergrasi Nasional”,
Tahun XXIII No. 5, September-Oktober 1994.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


9

dengan konflik dan berujung pada suatu peperangan antarkedua negara yang sedang
bersengketa.25Suatu kebijakan politik diambil merupakan sebuah keputusan yang
memberikan arah kepada negara tersebut akan suatu integritas dan kedaulatan suatu
wilayah. Apabila kebijakan politik yang dikeluarkan Pemerintah dinilai oleh Malaysia
sangat tegas, maka tidak akan mungkin Malaysia berani membawa permasalahan
sengketa wilayah Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional.26 Kebijakan
politik yang dikeluarkan Pemerintah seharusnya merupakan harga mati sebagai bangsa
yang besar dengan wilayah kepulauan yang sangat luas, karena apabila kebijakan politik
yang dikeluarkan oleh Pemerintah tidak diindahkan oleh negara lawan dalam
permasalahan perbatasan maka jalan terakhir adalah peperangan.27
Tetapi dalam melihat permasalahan kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan,
peran dari aktor-aktor politik Indonesia yang berada pada lembaga eksekutifmaupun
legislatif tidak tampak.28Hal tersebut terbukti bahwa tidak sinergisnya kedua lembaga
tersebut dalam mengambil alih permasalahan dan penyelesaian dengan jalan politik. Hal
tersebut dapat dibuktikan setelah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan, DPR RI langsung
melalui Komisi I DPR RI mengajukan hak interpelasi atau hak bertanya kepada
Presiden Megawati Soekarnoputri. Melalui Wakil Ketua Komisi I Effendy Choirie,
Ketua Sub Bidang Luar Negeri Amris Hasan,anggota Djoko Susilo, Arief Mudatsir dan
Franky Kaihatu, hak menggalang pengajuan hak interpelasi kepada Presiden Megawati
berkaitan dengan kekalahan Indonesia di Mahkamah Internasional, Den Haag, atas
sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.29 Terlihat jelas bahwa para aktor politik Indonesia
tidak pernah saling sinergis dalam berhubungan dan bekerjasama untuk kepentingan

25
Aspiannor Masrie,“Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum
‟ at tanggal 29 April 2011].
26
Ibid.
27
“Memanasnya Hubungan RI-Malaysia”, diperoleh dari http://www.politik.lipi.go.id. [Diakses pada hari Selasa
tanggal 26 April 2011].
28
“Nasib Pulau Sipadan dan Ligitan Semakin Jelas”, diperoleh dari http://wap.gatra.com. [Diakses pada hari
Senin tanggal 25 April 2011].
29
Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


10

bangsa dan negara, sehingga kebijakan politik Indonesia yang dikeluarkan Pemerintah
masih sangat tumpul.30
Komisi I DPR RI melalui Wakil Ketua Komisi I Effendy Choirie mengatakan
bahwa interpelasi itu semata mempertanyakan usaha Pemerintah memperoleh kedua
pulau yang selama ini sudah diduduki Malaysia itu.31 Hak interpelasi Komisi I DPR RI
itu juga untuk mempertanyakan kebijakan politik Pemerintah dalam mengawasi dan
mempertahankan pulau-pulau di perbatasan khususnya pada kasus lepasnya Pulau
Sipadan-Ligitan.32 Setelah peristiwa lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah
Indonesia banyak pulau di perbatasan yang sudah dihuni oleh penduduk dari negara
tetangga. Dari pihak Pemerintah mempunyai argumen lain dalam menjawab pertanyaan
dari Komisi I DPR RI tersebut bahwa pada saat itu Pemerintah memang gencar
melakukan pendekatan secara politik dengan Malaysia, tapi mengalami
kegagalan.33Pemerintah Indonesia memutuskan untuk meneruskan permasalahan
sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional atas
pertimbangan dari DPR RI karena pada waktu itu Pemerintah berpendapat bahwa
permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan permasalahan hukum.34
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan khususnya dalam
kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan pada umumnya dipengaruhi oleh kegiatan sosial
ekonomi di negara tetangga (Malaysia).35 Kondisi tersebut berpotensi untuk
mengundang kerawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat masih
terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, namun dimungkinkan adanya kecenderungan
untuk bergeser ke soal politik, terutama apabila kehidupan ekonomi masyarakat daerah
perbatasan mempunyai ketergantungan kepada perekonomian negara tetangga, maka hal

30
Robert Eyestone, The Threads of Public Policy, Indianapolis: Bobbs Merrill, Ratzel, ditulis di dalam buku RM.
Sunardi, 1971, hlm. 57.
31
„Memanasnya Hubungan RI-Malaysia”, diperoleh dari http://www.politik.lipi.go.id. [Diakses pada hari Selasa
tanggal 26 April 2011].
32
Ibid.
33
“Statistik Vital Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh dari http://www.unisosdem.org. [Diakses pada hari Selasa
tanggal 26 April 2011].
34
Aspiannor Masrie ,“Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh dari http://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum
‟ at tanggal 29 April 2011].
35
Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


11

inipun selain dapat menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat menurunkan
harkat dan martabat bangsa. Untuk itu, diperlukan upaya Pemerintah Indonesia dalam
memperhatikan permasalahan penegakan kedaulatan negara dengan lebih
mengefektifkan kebijakan politik secara tegas. Dalam perumusan atau formulasi
kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, agar memiliki ketegasan
sikap dalam berpolitik, maka diperlukan harmonisasi yang dibarengi dengan
maksimalisasi kinerja seluruh elemen dan kesungguhan semua pihak seluruh pihak
untuk mewujudkan suatu perumusan atau formulasi kebijakan politik yang akan diambil yang
berguna untuk menjadikan sebagai bentuk kedaulatan negara yang nyata.36
Dengan memperhatikan permasalahan gagalnya formulasi kebijakan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah diharapkan dapat muncul beberapa pertanyaan yang dapat
dibahas dan dievaluasi pada bab berikutnya sesuai dengan latar belakang permasalahan yang
sudah diuraikan. Jadi, pertanyaanutama yang akan berusaha dijawab dalam tesis yang
berjudul “Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan Lepasnya
Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia Tahun 2002 dalam Perspektif
Geopolitik Negara Kepulauan”adalah:
Bagaimana terjadinya proses gagalnya pembuatan kebijakan politik luar
negeri sehingga Indonesia tidak dapat mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan sebagai
bagian dari kedaulatan wilayah Indonesia? Selain itu tesis ini juga berusaha menjawab
pertanyaan tambahan, antara lain:
1.) Mengapa Pulau Sipadan-Ligitan menjadi obyek sengketa dan
mempunyai arti penting bagi Indonesia dan Malaysia sejak tahun
1969?
2.) Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan PemerintahIndonesia
gagal menghasilkan formulasi kebijakan politik luar negeri sehingga
Pulau Sipadan-Ligitan terlepas pada tahun 2002?

George Modelsky, Theory of Foreign Policy. New York: Praeger, 1962, hlm. 36.
36

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


12

1.3 Tujuan Penelitian

Sebagaimana tergambar di dalam perumusan masalah, penelitian ini bertujuan


untuk mengetahui :
1. Untuk mengetahui Pulau Sipadan-Ligitan menjadi obyek sengketa dan
mempunyai arti penting bagi Indonesia dan Malaysia dan untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
PemerintahIndonesia gagal menghasilkan formulasi kebijakan politik luar
negeri sehingga terlepas.
2. Untuk mengetahui aktor-aktor yang terlibat dalam gagalnya perumusan
atau formulasi kebijakan politik luar negeri Indonesia sehingga Pulau
Sipadan-Ligitan lepas.
3. Untuk mengetahui proses gagalnya pembuatan kebijakan politik luar
negeri sehingga Indonesia tidak dapat mempertahankan Pulau Sipadan-
Ligitan sebagai bagian dari kedaulatan wilayah Indonesia.
1.4 Signifikansi Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu untuk :
1. Menjadi referensi bagi wacana geopolitik khususnya bagi peneliti
yang berminat pada studi ilmu sosial dan politik dimanaPulau
Sipadan-Ligitan dapat menjadi obyek sengketa antara Indonesia dan
Malaysia.
2. Bermanfaat bagi para ilmuwan sosial untuk mengkaji permasalahan
aktor-aktor yang terlibat dalam gagalnya perumusan atau formulasi
kebijakan politik luar negeri Indonesia dalam hal ini kasus lepasnya
Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia Tahun 2002.
3. Memberikan sebuah gambaran pentingnya aktor-aktor negara dalam
menghasilkan sebuah kebijakan bagi negara kepulauan, khususnya
Indonesia, sehingga tidak akan terulang kembali kasus lepasnya
Pulau Sipadan-Ligitan.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


13

1.5 Kerangka Teori

Untuk memperoleh interprestasi dan kesimpulan yang lebih terarah di dalam


menganalisis topik tesis ini digunakan teori kebijakan publik, teori politik luar negeri
dan teori geopolitik. Teori kebijakan publik sesuai dengan tujuan penulisan tesis ini
karena dapat mendeskripsikan formulasi kebijakan Indonesia yang melibatkan elit
politik dalam menciptakan suatu kebijakan sedangkan teori politik luar negeri sesuai
dengan tujuan penulisan tesis karena dapat mendeskripsikan kebijakan politik luar
negeri Indonesia. Teori geopolitik digunakan karena Indonesia sebagai negara
kepulauan dan harus diberikan perhatian khusus karena wilayah merupakan wujud
kedaulatan negara. Teori Hukum Internasional digunakan karena kasus lepasnya Pulau
Sipadan-Ligitan merupakan permasalahan sengketa wilayah antarnegara. Teori
kebijakan politik luar negeri Indonesia digunakan sebagai tolok ukur pemerintah dalam
pengambilan kebijakan politik luar negeri. Pada penelitian yang dilakukan, teori
tersebut sangat bermanfaat sebagai alat analisis dalam mengkaji Kegagalan Formulasi
Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari
Indonesia Tahun 2002 dalam Perspektif Geopolitik Negara Kepulauan.
Berikut ini adalah kerangka umum teori-teori yang dikemukakan di atas, yang
tentunya akan dibahas lebih mendalam pada uraian di bawah ini.
1.5.1. Kebijakan Publik dilihat dari Formulasi Kebijakan

Pengertian kebijakan publik menurut Thomas R. Dye adalah apa yang dipilih
oleh Pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan. Kebijakan publik ini dapat
diklasifikasikan sebagai keputusan (decision making), di manaPemerintah mempunyai
wewenang untuk menggunakan keputusan otoritatif, termasuk keputusan untuk
membiarkan sesuatu terjadi, demi teratasinya suatu persoalan publik.37 Definisi lain dari
kebijakan publik menurut Robert Eyestone adalah konsepsi bahwa kebijakan
merupakan serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok, atau Pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu di mana terdapat
hambatan-hambatan dan kemungkinan-kemungkinan di mana kebijakan tersebut
37
Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, New York: Prentice Hall, 1972, hlm. 12-13.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


14

diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud.38
Kebijakan yang dirumuskan bermaksud untuk penyelesaian suatu masalah atau tujuan.
Kebijakan publik merupakan suatu keputusan politik yang dikembangkan oleh
badan dan pejabat Pemerintah. Oleh karena itu, kebijakan publik termasuk dalam
otoritas yang dimaksud dalam sistem politik, yaitu para senior, kepala tertinggi,
eksekutif, legislatif, para Hakim, administrator, penasehat, para raja, dan lain
sebagainya. Dalam hal ini ditegaskan bahwa mereka yang terlibat dalam otoritas
formulasi kebijakan adalah orang yang terlibat dalam urusan sehari-hari dan mempunyai
tanggungjawab dalam suatu masalah tertentu di mana dia bertanggungjawab untuk
mengambil keputusan yang berdampak pada kondisi di kemudian hari dan mengikat
sebagian besar anggota masyarakat.
Kebijakan publik sebagai suatu sistem kebijakan (policy system) mencakup
hubungan timbal balik yang terjadi pada tiga unsur yaitu: (1) kebijakan publik, (2 )
pelaku kebijakan, dan (3) lingkungan kebijakan. Kebijakan publik merupakan hasil dari
sebuah proses atau respons atas berbagai gejala yang terjadi dalam suatu lingkungan.
Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah tentunya melalui berbagai tuntutan atau tekanan
maupun dukungan dari masyarakat. Tuntutan dan dukungan dari masyarakat
mengindikasikan perbedaan suatu kepentingan tertentu. Artikulasi kepentingan yang
berasal dari kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, organisasi-organisasi
kemasyarakatan atau juga internal instansi Pemerintah harus mewujudkan sebagai
sebuah proses dalam penetapan kebijakan publik. Dengan demikian, kebijakan
merupakan resultante atau hasil dari suatu konflik yang berasal dari sektor atau pelaku
kebijakan yang terlibat. Konflik antar pelaku kebijakan disebabkan oleh adanya
perbedaan suatu kepentingan. Oleh karena itu, kebijakan publik adalah sebuah proses akhir
dari pergesekan kepentingan baik antara masyarakat dan pelaku kebijakan maupun antar
sesama pelaku kebijakan.
Kebijakan publik yang telah disahkan oleh pejabat berwenang, secara otomatis
telah siap untuk diimplementasikan. Implementasi kebijakan publik akan mendapat

38
Robert Eyestone, The Threads of Public Policy, Indianapolis: Bobbs Merrill, 1971, hlm 79.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


15

kesulitan jika diterapkan pada kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki


perbedaan kepentingan yang tinggi. Kondisi ini disebabkan oleh adanya perbedaan
dalam melakukan interpretasi terhadap implementasi kebijakan tersebut. Tugas
Pemerintah adalah menjaga performance (kinerja) dan kualitas kebijakan serta
implementasinya. Dalam kenyataannya banyak manajer publik kurang mendiseminasi
(mensosialisasikan) kebijakan yang telah ditetapkan kepada masyarakat. Hal ini
tentunya dapat menghambat proses pelaksanaan implementasi kebijakan publik
tersebut. Untuk itu, proses diseminasi harus dikelola dengan baik sehingga dapat
memperlancar proses implementasi kebijakan publik.
Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut:39

1. Penyusunan Agenda
Agenda adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas
kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang
disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika
sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik dan mendapatkan
prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya
publik yang lebih daripada isu yang lain.

Dalam agenda setting, sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang
akan diangkat dalam suatu agenda Pemerintah. Isu kebijakan (policy issues) sering
disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul
karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang
telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter
permasalahan tersebut. Menurut William Dunn isu kebijakan merupakan produk atau
fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun
penilaian atas suatu masalah tertentu.
Dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan
Malaysia, Pemerintah Indonesia pada saat proses pengambilan kebijakan politik luar

39
William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998, hlm.
24.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


16

negeri telah menyusun agenda sebagai langkah awal. Penyusunan agenda sebagai
langkah awal tersebut dilakukan antara lain dengan mengumpulkan beberapa bukti
sejarah atas status Pulau Sipadan-Ligitan dan kemudian memberikan kajian agar
memperoleh bukti yang mendukung dalam proses pengambilan kebijakan politik luar
negeri.
2. Formulasi Kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh
para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu
masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan
masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk
memecahkan masalah.
Dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan
Malaysia dalam hal ini Pemerintah sebelum membuat formulasi kebijakan harus melihat
dari hasil penyusunan agenda yaitu dengan memberikan bukti-bukti yang sudah ada dan
telah mendapatkan kajian tentang kebenaran atas bukti-bukti tersebut. Sehingga dari
bukti-bukti tersebut maka akan dapat dijadikan dasar yang kuat dalam merumuskan
suatu formulasi kebijakan.
3. Adopsi atau Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar
Pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan
rakyat, warga negara akan mengikuti arahan dari Pemerintah. Namun warga negara
harus percaya bahwa tindakan Pemerintah yang sah. Dukungan untuk suatu rezim
cenderung berdifusi, cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan
Pemerintah yang membantu anggota mentolerir Pemerintahan disonansi. Legitimasi
dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu, di mana melalui proses ini
orang akan belajar untuk mendukung Pemerintah.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


17

Dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan


Malaysia dalam hal ini Pemerintah dalam mengambil kebijakan harus mendapatkan
legitimasi. Dalam permasalahan sengketa kedua pulau tersebut Pemerintah
mengupayakan langkah-langkah dengan mengumpulkan bukti-bukti sejarah yang dapat
mendukung kebenaran dalam merumuskan suatu kebijakan. Apabila bukti-bukti sejarah
tersebut telah cukup untuk memberikan keterangan maka dalam merumuskan suatu
kebijakan dalam langkah selanjutnya harus mendapatkan legitimasi dari legislatif.

4. Penilaian atau Evaluasi


Secara umum dikatakan evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan
yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi,
implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan
yang fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir
saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi
kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program
yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap
dampak kebijakan.
Dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan
Malaysia dalam hal ini Pemerintah apabila telah menempuh langkah-langkah dalam
membuat sautu kebijakan mulai dari menyusun suatu agenda, merumuskan formulasi
kebijakan dan memperoleh legitimasi agar mendapatkan dukungan dari semua pihak.
Maka langkah terakhir dalam membuat suatu kebijakan adalah dengan memberikan
penilaian atau evaluasi dari langkah-langkah yang telah ditempuh mencapai tujuan atau
tidak.

1.5.2. Kebijakan Politik Luar Negeri


Dalam mempelajari politik luar negeri, pengertian dasar yang harus diketahui
yaitu politik luar negeri itu pada dasarnya merupakan “action theory”, atau kebijakan
suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu.
Secara umum, politik luar negeri (foreign policy) merupakan suatu perangkat formula
nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


18

kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional. 40 Suatu komitmen yang


pada dasarnya merupakan strategi dasar untuk mencapai suatu tujuan baik dalam
konteks dalam negeri dan luar negeri serta sekaligus menentukan keterlibatan suatu
negara di dalam isu-isu internasional atau lingkungan sekitarnya.
Salah satu cara untuk memahami konsep politik luar negeri adalah dengan
jalan memisahkannya ke dalam dua komponen: politik dan luar negeri. Politik (policy)
adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman untuk bertindak, atau seperangkat
aksi yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
Policy itu sendiri berakar pada konsep “pilihan (choices)”: memilih tindakan atau
membuat keputusan-keputusan untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan gagasan
mengenai kedaulatan dan konsep “wilayah” akan membantu upaya memahami konsep luar
negeri (foreign). Kedaulatan berarti kontrol atas wilayah (dalam) yang dimiliki oleh suatu
negara. Jadi, politik luar negeri (foreign policy) berarti seperangkat pedoman untuk
memilih tindakan yang ditujukan ke luar wilayah suatu negara.
Pemahaman konsep ini diperlukan agar dapat membedakan antara politik luar negeri
dan politik domestik (dalam negeri). Namun, tidak dapat dipungkiri pula
bahwasanya pembuatan politik luar negeri selalu terkait dengan konsekuensi -
konsekuensi yang ada di dalam negeri. Meminjam istilah dari Henry Kissinger, seorang
akademisi sekaligus praktisi politik luar negeri Amerika Serikat, menyatakan bahwa
“foreign policy begins when domestic policy ends”.41 Dengan kata lain studi politik luar
negeri berada pada intersection antara aspek dalam negeri suatu negara (domestik) dan
aspek internasional (eksternal) dari kehidupan suatu negara. Oleh karena itu, studi
politik luar negeri tidak dapat menisbikan struktur dan proses baik dari sistem
internasional (lingkungan eksternal) maupun dari sistem politik domestik. Sementara
menurut Holsti, lingkup kebijakan luar negeri meliputi semua tindakan serta aktivitas
negara terhadap lingkungan eksternalnya dalam upaya memperoleh keuntungan dari

40
Wolfram F. Hanrieder, Comparative Foreign Policy: Theoretical Essays, New York: DavidMcKay Co, 1971,
hlm. 15.
41
Ibid. hlm.22.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


19

lingkungan tersebut, serta hirau akan berbagai kondisi internal yang menopang
formulasi tindakan tersebut.42
Dalam permasalahan segketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan
Malaysia, kebijakan politik luar negeri Indonesia tidak dapat dihasilkan dengan baik.
Disebabkan antara Pemerintah dengan DPR RI tidak berjalan secara sinergis dalam
merumuskan kebijakan politik luar negeri yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang
nantinya akan dijadikan landasan dalam melaksanakan perundingan bilateral sebagai
upaya politik untuk memperoleh kedaulatan wilayah atas Pulau Sipadan-Ligitan.

1.5.2.1. Realisme Politik oleh Hans J. Morgenthau


Menurut Morgenthau, pria dan wanita secara alami adalah binatang politik,
mereka dilahirkan untuk mengejar kekuasaan dan untuk memperoleh hasil dari
kekuasaan. Pengharapan kekuasaan bukan hanya menghasilkan pencarian keuntungan
relatif tetapi juga pencarian wilayah politik yang terjamin keamanannya yang dapat
digunakan untuk memperoleh kebebasan diri dari pihak lain.
Gagasan utama Hans J. Morgenthau yang telah menempatkan dirinya sebagai
seorang penganut aliran pemikiran realis berkenaan dengan konsepnya tentang “power”
sebagai yang dominan dalam politik internasional. Konsep dasar yang dimaksudkan
oleh Hans J. Morgenthau adalah Konsep kepentingan (interest) yang
dikonseptualisasikan ke dalam istilah “power” antara nalar (reason) yang berusaha
memahami politik internasional dengan fakta-fakta yang merupakan arah memilah-
milah antara fakta-fakta politik dan bukan fakta politik, arah mana akan memberikan
suatu tertib sistematis terhadap lingkup politik, yang sekaligus pula akan menempatkan
politik sebagai lingkup kegiatan dan pemahaman yang otonom. Artinya, lingkup ini
akan membedakan lingkup kegiatan lainnya. Konseptualisasi kepentingan (interest)
dalam formulasi “power” dimanifestasikan ke dalam tataran politik

42
K.J. Holsti,Politik International: Suatu Kerangka Analisis, Bandung: Bina Cipta, 1992. hlm. 21.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


20

internasional,mendasari pemikiran teori realisme politik akan memberikan kerangka


bangunan teoritis terhadap politik luar negeri.43
Teori realisme politik internasional dicirikan oleh tiga hal yakni (1) negara dan
politik luar negeri sebagai unit dan tingkat analisis, (2) konsep power, dan (3) konsep
balance of power:
1. Unit analisis dan tingkat analisis dikenakan pada negara -negara sebagai
aktor utama dalam panggung politik internasional. Pengamatan terhadap tingkah laku
negara, akan terlihat dalam politik luar negeri yang dijalankan oleh Pemerintah negara
yang bersangkutan. Negara dan politik luar negerinya merupakan unit dalam tingkat
analisanya.
2. Dalam konteks konsep tentang “power” bahwa tingkah laku negara-negara
dipanggung politik internasional selalu dilihat sebagai perwujudan atas perjuangannya untuk
memelihara, meningkatkan, serta menunjukkan powernya.
3. Pola interaksi hubungan antarnegara yang sama-sama berjuang untuk
memelihara, meningkatkan, dan menunjukkan powernya digunakan konsep
perimbangan kekuatan (balance of power).
Interest atau kepentingan sendiri adalah setiap politik luar negeri suatu negara
yang didasarkan pada suatu kepentingan yang sifatnya relatif permanen yang meliputi
tiga faktor yaitu sifat dasar dari kepentingan nasional yang dilindungi, lingkungan
politik dalam kaitannya dengan pelaksanaan kepentingan tersebut, dan kepentingan
yang rasional. Kepentingan nasional merupakan pilar utama tentang politik luar negeri
dan politik internasional yang realistis karena kepentingan nasional menentukan
tindakan politik suatu negara. Apabila menggunakan pendekatan realis atau neorealis
maka kepentingan nasional diartikan sebagai kepentingan negara sebagai unitary actor
yang penekanannya pada peningkatan national power (kekuasaan nasional) untuk
mempertahankan keamanan nasional dan survival dari negara tersebut. Yang dianggap
sebagai kepentingan nasional menurut kaum realis mungkin merepresentasikan

43
Antonius Sitepu, Teori Realisme Politik Hans. J. Morgenthau Dalam studi Politik dan Hubungan
Internasional, hlm. 52.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


21

kepentingan yang kebetulan pada momen tertentu mempengaruhi para pembuat


kebijakan luar negeri.
Dalam permasalahan segketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan
Malaysia, realisme politik yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia tidak berjalan
dengan baik sehingga perumusan suatu kebijakan politik tidak dapat terlaksana dengan
baik.

1.5.3 Teori Geopolitik


Geopolitik menurut Rudolf Kjellen adalah ilmu yang mengkaji
masalahmasalah geografi, sejarah dan ilmu sosial dengan merujuk kepada politik
internasional. Salah satu pokok teorinya adalah negara merupakan suatu sistem politik yang
meliputi ekonomi politik.44 Untuk itu, negara harus mempertahankan integritas
wilayahnya ekonomi politik yang dijalankan dapat terlaksana sesuai dengan tujuan
geopolitik negara tersebut. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah
geografi yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut.45
Tetapi apabila konsep tersebut dikaji secara lebih dalam lagi, terutama yang
menyangkut aspek mempertahankan identitas fisik, maka sebuah negara yang berdaulat
seharusnya juga mempunyai tugas untuk mempertahankan integritas wilayahnya
terhadap tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan (TAHG) baik yang datang dari
dalam maupun dari luar.46 Upaya negara mempertahankan integritas wilayah, antara lain
dilakukan melalui pengembangan doktrin atau konsep-konsep pertahanan tertentu.
Selanjutnya Hausshofer mengatakan juga bahwa Geopolitik mengandung
pengertian yaitu:
a) Suatu doktrin kekuasaan negara di atas permukaan bumi, suatu doktrin
perkembangan politik yang didasarkan atas hubungannya dengan bumi.
b) Ilmu pengetahuan yang mempelajari organisme politik dalam hubungannya
dengan ruang bumi.

44
A. Harsawaskita, Great Power Politics, Bandung: Graha Ilmu, 2007, hlm. 45.
45
Ibid
46
LB. Moerdani, “Menegakkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Pandangan dan Ucapan Jenderal TNI
(Purn) LB. Moerdani 1988-1991”, Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman, 1992,
hlm. 51.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


22

c) Landasan ilmiah bagi tindakan politik dalam perjuangan mati hidupnya suatu
negara untuk mendapatkan ruang hidup (lebensraum, living space).47
Haushofer mengatakan bahwa Geopolitik pada hakikatnya merupakan suatu
prasyarat dan harus dipenuhi secara nasional, maka dapat juga disebut sebagai doktrin dasar
suatu negara. Sebagai satu doktrin dasar Geopolitik sendiri mengandung empat unsur
utama, antara lain yaitu:
a) Konsepsi ruang, yang merupakan pengejawantahan dari pemikiran negara
sebagai organisasi hidup.
b) Konsepsi frontier, yang merupakan konsekuensi dari kebutuhan dan
lingkungan hidup.
c) Konsepsi politik kekuatan, yang menerangkan tentang kehidupan negara.
d) Konsepsi keamanan negara dan bangsa, yang kemudian melahirkan
geostrategi.48

Konsep Haushofer yaitu ruang merupakan inti dari Geopolitik, sebab ruang
merupakan suatu wadah atau tempat dinamika politik dan militer. Dengan demikian,
sesungguhnya Geopolitik merupakan cabang dari ilmu pengetahuan yang mengaitkan
ruang dengan kekuatan fisik, di mana pada kenyataannya kekuatan politik selalu
menginginkan penguasaan ruang dalam arti ruang pengaruh, atau sebaliknya,
penguasaan ruang secara de facto dan de jure merupakan sebuah legitimasi dari sebuah
kekuasaan politik. Intinya, apabila ruang pengaruh diperluas maka akan ada yang
diuntungkan dan ada yang dirugikan, dan kerugian tersebut akan mengakibatkan
menjadi lebih besar lagi apabila hal itu dicapai melalui perang.
Geopolitik Indonesia merupakan suatu kajian yang melihat masalah atau
hubungan internasional dari sudut pandang ruang atau geosentrik. Konteks teritorial di
mana hubungan itu terjadi bervariasi dalam fungsi wilayah dalam interaksi, lingkup
wilayah, dan hirarki aktor: dari nasional, internasional, sampai benua-kawasan, juga
provinsi atau lokal. Geopolitik adalah suatu studi yang mengkaji masalah-masalah

47
Widoyo Alfandi, Reformasi Indonesia Bahasan dari Sudut Pandang Geografi Politik dan Geopolitik,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002, hlm. 8-9.
48
Ratzel, ditulis di dalam buku RM. Sunardi, Op.Cit., hal. 168.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


23

geografi, sejarah dan ilmu sosial, dengan merujuk kepada percaturan politik
internasional. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi,
yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut. Geopolitik
mempunyai empat unsur pembangun, yaitu keadaan geografis, politik dan strategi,
hubungan timbal balik antara geografi dan politik, serta unsur kebijaksanaan. Keempat
unsur tersebut dapat menjadikan sarana bagi pengembangan geopolitik bagi Indonesia
yang terdiri dari beribu-ribu pulau, sehingga potensi pulau-pulau tersebut dapat
dimanfaatkan dan dijaga dari gangguan negara lain yang ingin mengklaimnya agar
dapat masuk ke dalam wilayahnya dan supaya kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak
terulang kembali.
Negara tidak akan pernah mencapai persamaan yang sempurna dalam segala hal.
Keadaan suatu negara akan selalu sejalan dengan kondisi dari kawasan geografis yang
mereka tempati. Hal yang paling utama dalam mempengaruhi keadaan suatu negara adalah
kawasan yang berada di sekitar negara itu sendiri, atau dengan kata lain, negara-negara
yang berada di sekitar (negara tetangga) memiliki pengaruh yang besar terhadap
penyelenggaraan suatu negara. Geopolitik dibutuhkan oleh setiap negara di dunia, untuk
memperkuat posisinya terhadap negara lain, untuk memperoleh kedudukan yang penting di
antara masyarakat bangsa-bangsa, atau secara lebih tegas lagi, untuk menempatkan diri pada
posisi yang sejajar di antara negara-negara raksasa dengan cara mengembangkan strategi
geopolitik bagi kepentingan nasional untuk menjaga stabilitas nasional dan internasional.
Hal ini berkaitan langsung dengan peranan -peranan geopolitik. Adapun peranan-peranan
tersebut adalah;
1. Berusaha menghubungkan kekuasaan negara dengan potensi alam yang tersedia.
2. Menghubungkan kebijaksanaan suatu Pemerintahan dengan situasi dan kondisi
alam.
3. Menentukan bentuk dan corak politik luar dan dalam negeri.
4. Menggariskan pokok-pokok haluan negara, misalnya pembangunan.
5. Berusaha untuk meningkatkan posisi dan kedudukan suatu negara berdasarkan
teori negara sebagai organisme, dan teori-teori geopolitik lainnya.
6. Membenarkan tindakan-tindakan ekspansi yang dijalankan oleh suatu negara.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


24

Indonesia merupakan suatu negeri yang amat unik. Hanya sedikit negara di
dunia, yang bila dilihat dari segi geografis, memiliki kesamaan dengan Indonesia.
Indonesia adalah suatu negara, yang terletak di sebelah tenggara benua Asia,
membentang sepanjang 3,5 juta mil, atau sebanding dengan seperdelapan panjang
keliling bumi, serta memiliki tak kurang dari 17.000 pulau. Hal tersebut merupakan
suatu kebanggaan dan kekayaan, yang tidak ada tandingannya lagi di dunia ini. Tapi
bila dipikirkan lebih jauh, hal ini merupakan suatu kerugian tersendiri bagi bangsa dan
negara Indonesia. Indonesia terlihat seperti pecahan -pecahan yang berserakan.
Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah negara yang amat sulit untuk dapat
dipersatukan. Maka, untuk mempersatukan Bangsa Indonesia, diperlukan sebuah
konsep Geopolitik yang benar-benar cocok digunakan oleh negara.Ada beberapa jenis
kondisi geografis bangsa Indonesia. Yaitu kondisi fisik serta kondisi Indonesia ditinjau
dari lokasinya. Kondisi fisik Indonesia berupa:Letak geografis; Posisi Silang; Iklim;
Sumber-Sumber Daya Alam; dan Faktor-Faktor Sosial Politik. Lokasi fisik Indonesia
merupakan kondisi geopolitik yang kedua. Keberadaan lokasi adalah faktor geopolitik
utama yang mempengaruhi perpolitikan di Indonesia. Berdasarkan kondisi fisiknya,
negara Indonesia berada pada dua benua yang dihuni oleh berbagai bangsa yang
memiliki karakteristik masing-masing, yaitu benua Asia dan Australia. Selain itu,
Indonesia pun berada di antara dua samudera yang menjadi jalur perhubungan berbagai
bangsa, yaitu Samudera Pasifik dan Hindia.
Selain menjadi daerah Bufferzone, Indonesia pun memperoleh beberapa
keuntungan disebabkan kondisinya yang silang tersebut. Tiga keuntungan tersebut antara
lain:
1. Berpotensi menjadi jalur perdagangan internasional;
2. Dapat lebih memainkan peranan politisnya dalam percaturan politik
internasional;
3. Lebih aman dan terlindung dari serangan-serangan negara kontinental.
Dalam permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan sebenarnya
tidak terlepas dari isu ekonomi banyaknya potensi kandungan minyak dan gas bumi di
Laut Sulawesi. Potensi hidrokarbon itulah yang menjadi salah satu faktor pendorong

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


25

Malaysia mengklaim perairan teritorial dan ZEE Indonesia di Laut Sulawesi pasca
lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan. Konsep dasar peperangan generasi keempat adalah
sikap politik yang lebih kuat dapat mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer yang
lebih besar. Dengan kata lain, peperangan generasi keempat karakteristiknya bersifat
politik, berkepanjangan (protracted) dan terhubung dalam jaringan (networked).
Sebagian pihak berpendapat bahwa dalam peperangan generasi keempat, musuh yang
dihadapi bukan saja aktor bukan negara, tetapi dapat pula aktor negara yang
menggunakan cara-cara non tradisional untuk mengalahkan musuh yang lebih kuat.
Cara-cara non tradisional yang dimaksud antara lain adalah ekonomi, diplomatik, cyber, media
dan lain sebagainya.
1.5.3.1 Teori Geopolitik Hans J. Morgenthau
Geopolitik dapat diartikan sebagai politik atau kebijakan dan strategi nasional
yang didorong oleh aspirasi nasional suatu negara, yang apabila dilaksanakan dan
berhasil akan berdampak langsung atau tidak langsung kepada sistem politik suatu
Negara. Geopolitik setiap negara membutuhkan suatu perlindungan dari sistem
pertahanan negara, oleh karena itu sistem pertahanan negara, demokrasi, politik,
ekonomi dan hukum hanya dapat benar-benar terlindungi apabila didasarkan pada
kekuatan negara itu sendiri.Kondisi geografis suatu negara atau wilayah menjadi sangat
penting dan menjadi pertimbangan pokok berbagai kebijakan, termasuk juga dalam
merumuskan kebijakan keamanan nasional (national security) atau keamanan manusia
(human security).Teori Geopolitik dari Morgenthau yang dapat diambil berkaitan
dengan kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan, antara lain:49

1. Stabilitas geografi
Bahwa kondisi geografi, letak strategis geopolitik, dan batas wilayah
teritorial yang unik sebagai modal kekuatan pertama.
2. Kualitas diplomasi

49
Hans J. Morgenthau, “Politik Antar Bangsa”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010, hlm. 195.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


26

Bahwa diplomasi yang berkualitas, diisi insan-insan genius yang dimiliki


bangsa, selalu menjadi pengawal bagi sebuah negara berdaulat.
3. Kualitas Pemerintahan
Bahwa sebuah negara yang kuat memiliki sususan dan kualitas
Pemerintahan yang kuat, yang mampu mensinergikan sumber daya
nasional yang kuat dengan kebijakan politik yang ditetapkan.
4. Kesiapan militer
Bahwa demi kekuatan defensibilitas, setiap negara berhak membangun
angkatan bersenjata yang kuat dan siap siaga setap saat untuk
mempertahankan negara.

1.5.4 Teori Hukum Internasional


Pengertian Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-
asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara
antarnegara dengan negara, negara dengan subjek hukum internasional lainnya.50 Dalam
permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan maka dihubungkan dengan Hukum
Publik Internasional, yaitu hukum internasional yang mengatur negara yang satu dengan
lainnya dalam hubungan internasional (hukum antarnegara). Hukum Internasional
mempunyai fungsi untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi karena masalah politik dan
masalah batas wilayah.
Penyelesaian permasalahan sengketa internasional dapat dilakukan dengan 2
(dua) cara antara lain dengan cara damai dan dengan cara paksaan atau kekerasan.
Dihubungkan dengan permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, maka dapat
dilakukan dengan cara damai yaitu dengan cara arbritasi dan negoisasi (perundingan).
Cara arbritasi dalam penyelesaian sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dengan membawa
penyelesaian pemasalahan sengketa ke Mahkamah Internasional (International Court of
Justice).

50
Prof. DR. Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: PT. Bina Cipta, 1978, hlm. 34.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


27

Dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan harus


dilakukan dengan cara arbitrasi dan negoisasi (perundingan), maka yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan prosedur.
1.5.5 Teori Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia
Studi politik luar negeri kerapkali melibatkan tinjauan domestik dan
internasional.Banyak anggapan bahwa faktor-faktor domestik sama kuatnya
mempengaruhi out put politik luar negeri. Kerangka teoritis pun selalu mengambil dua
pertimbangan yakni unsur domestik dan elemen eksternal.Jika faktor-faktor domestik
itu menentukan kebijakan luar negeri maka kondisinegara-negara itupun ditinjau dari
segi perkembangan ekonomi memberikan nuansaterhadap perilakunya di dunia
internasional. Klasifikasi sederhana terhadap sebuah negaradalam konteks ekonomi
adalah negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Ada lima model dalam
pembuatan kebijakan politik luar negeri:51Pertama adalah model strategis ataurasional,
Kedua adalah pengambilan keputusan, Ketigaadalah model lain politik birokratik,
Keempatadalah model adaptif dan Kelimaadalah pengambilan keputusan tambahan.
Sementara, untuk politik luar negeri Indonesia mempunyai tiga
model:52Pertama, mempertahankan kemerdekaan bangsa melawan ancaman yang
dipersepsikan. Kedua, mobilisasi sumber-sumber eksternaluntuk pembangunan dalam
negeri dan Ketiga, mencapai sasaran-sasaran yang berkaitandengan politik dalam negeri
seperti mengisolasi salah satu oposisi politik dari dukunganluar negeri, memanfaatkan
legitimasi untuk tuntutan-tuntutan politik domestik danmenciptakan simbol-simbol
nasionalisme dan persatuan nasional.
Dalam kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ketiga model politik luar negeri
tersebut digunakan dalam melakukan perundingan diplomasi dengan Malaysia, karena
sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Ketiga model politik luar negeri
tersebut dinilai mendukung dalam pelaksanaan proses penyelesaian kasus sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan.

51
Lyod Jensen, Explaining Foreign Policy., New Jersey: Prentice Hall. Inc., 1982, hlm. 5-11.
52
Franklin B Weinstein, Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno
toSoeharto, Ithaca: Cornel University Press, 1976, hlm. 58.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


28

1.5.6 Teori Regional Coorperation (Kerjasama Regional)


Suatu rezim internasional memungkinkan sebuah negara untuk membentuk pola
suatu kerjasama, dan pada akhirnya rezim ini sendiri dapat mampu memfasilitasi dan
mengkoordinasikan kebijakan negara-negara sehingga menghasilkan pencapaian dalam
bidang isu tertentu.53Dijelaskan bahwa melalui pendekatan rasionalis bahwa
terbentuknya suatu institusi dapat mengurangi jumlah costs berupa informasi,
pengawasan, dan penegakan aturan hukum melalui kerjasama yang efektif berdasarkan
kesepakatan norma yang telah dibangun.
Kerjasama regional suatu kawasan didefinisikan sebagai sekumpulan negara yang
memiliki kedekatan geografis dan struktur masyarakat karena berada pada satu wilayah
tertentu.54Dengan adanya kebutuhan dalam memenuhi kepentingan nasional dalam hal
sumber daya maka interdependensi menjadi sebuah kecenderungan yang tidak dapat
55
dipisahkan antar negara satu kawasan. Dari sinilah muncul sebuah keinginan bersama
yang terdapat dalam satu region untuk dapat menyelesaikan isu-isu yang bisa mengganggu
stabilitas di kawasan.
Dalamkasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan teori ini digunakan karena
Indonesia dan Malaysia masih dalam satu kawasan ASEAN. Sehingga sangat dapat
dimungkinkan penyelesaian permasalahan sengketa tersebut dapat dijalankan melalui
perundingan diplomasi cukup diserahkan melalui organisasi ASEAN.
1.6 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Pengertian penelitian kualitatif adalah penelitian yang mempelajari suatu
gejala atau realita sosial dan mencoba menemukan suatu pemahaman akan interpretasi
atau makna terhadap gejala tersebut. 56 Data-data yang mendukung penelitian ini akan
dikonseptualisasikan dan dianalisis dengan menggunakan kerangka pemikiran yang ada.

53
Robert O. Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy, New
Jersey:Princeton University Press,1984, hlm. 56-57.
54
Craig A. Snyder, Contemporary security and Strategy, Palgrave: Macmillan, 2008, hlm. 228.
55
Joseph S. Nye, Jr, International Regionalism, Boston: Little Brown & Co, 1968 , hlm. 12.
56
Jane Ritchie and Jane Lewis (ed), Qualitative Research Pratice : A Guide for Social Science Students and
Researchers, London : SAGE Publications Ltd., 2003, hlm. 109.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


29

Orientasi yang ditekankan pada penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan segi
proses dan jalinan peristiwa sehingga penelitian bersifat siklus yang dapat dilakukan
berulang-ulang.57
Pendekatan atau penelitian kualitatif ini untuk mengkaji secara mendalam
terhadap setiap masalah yang dilakukan dengan mengetahui dan memverifikasi berbagai
konsep. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan (library research). Metode yang seperti ini secara singkat dapat dikatakan
sebagai pengamatan terhadap gejala-gejala obyek yang diteliti dengan jalan meneliti
dokumen yang digunakan dalam penelitian sebagai sumber data. Pendekatan kualitatif
yang digunakan dalam penelitian ini selain dengan studi kepustakaan (library research),
tetapi juga dengan metode wawancara langsung dengan narasumber oleh Ibu Megawati
Soekarnoputri (melalui Sekjen PDI-P Tjahjo Kumolo), mantan Menlu RI Hasan
Wirajuda, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (mantan Menkopolkam era Presiden
Megawati Soekarnoputri), Bapak Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI Fraksi
PKB) dari Departemen Luar Negeri yaitu Dian Triansyah Djani, MA (Direktur Jenderal
Kerjasama ASEAN) yang terlibat selama proses penyelesaian permasalahan sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dan narasumber dari Departemen Pertahanan yaitu
Kolonel Ctp Drs. Umar S. Tarmansyah (Peneliti Puslitbang SDM Balitbang Dephan
yang mengikuti proses lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan), wawancara dengan Letjen TNI
(Purn) Syaiful Rizal (mantan Pangdam IX/Udayana dan Dankodiklat TNI AD) dan
wawancara dengan Letjen TNI (Purn) Hadi Waluyo (mantan Pangdam VI/Mulawarman dan
Pangkostrad).

Dalam penelitian tesis terkait dengan gagalnya formulasi kebijakan politik luar
negeri Indonesia yang mengakibatkan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia
pada tahun 2002 dalam perspektif geopolitik negara kepulauan digunakan alat
pengumpulan data dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel-
variabel yang terkait dengan pokok permasalahan baik berupa traktat, konvensi, jurnal,
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda dan sebagainya

Sugiono, Metode Penelitian Administrasi, Bandung : CV. Alfabeta, 2004, hlm. 15.
57

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


30

yang dikumpulkan dan diolah berdasarkan klasifikasi masalahnya. Dokumen kerapkali


digunakan sebagai sumber data yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bahkan
untuk meramalkan.58 Perolehan data dokumentasi dalam mendukung penulisan tesis
dengan judul Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia Dan
Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan Dari Indonesia Tahun 2002 Dalam Perspektif
Geopolitik Negara Kepulauan dapat diperoleh dari berbagai lembaga terkait,
perpustakaan dan internet.

1.7 Sistematika Penulisan


Tesis ini terdiri atas beberapa bagian sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan. Yang membahas mengenai latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasi penelitian, kerangka teori, metode
penelitian serta sistematika penelitian. Bab I secara garis besar merupakan bab
pendahuluan atau pengantar kepada isi penelitian ini.

Bab 2 Latar Belakang Historis Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.Yang


membahas sejarah Pulau Sipadan-Ligitan sebelum dan sesudah menjadi obyek sengketa dan
arti penting bagi Indonesia dan Malaysia.
Bab 3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kegagalan Pembuatan
Kebijakan Politik Luar Negeri dan Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan Tahun 2002.
Yang membahas faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Pemerintah Indonesia gagal
menghasilkan formulasi kebijakan politik luar negeri Indonesia sehingga Pulau
Sipadan-Ligitan terlepas pada tahun 2002.
Bab 4 Proses Gagalnya Pembuatan Kebijakan Politik Luar Negeri
Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia. Yang membahas
bagaimana proses terjadinya pembuatan kebijakan politik luar negeri Indonesia
sehingga Indonesia tidak dapat mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan sebagai bagian dari
kedaulatan wilayah Indonesia.
Bab 5 Penutup. Yang merupakan bab penutup yang terdiri atas kesimpulan dan
saran.

Ibid, hlm. 3.
58

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


BAB 2
LATAR BELAKANG HISTORIS SENGKETA PULAU SIPADAN-LIGITAN
SERTA PENYELESAIANNYA MELALUI ICJ
(INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE)

Bab ini berisi tentang gambaran umum tentang latar belakang historis sengketa
Pulau Sipadan-Ligitan. Bahwa hal yang akan dibahas antara lain kepemilikan Pulau
Sipadan-Ligitan dalam Perspektif Historis,Latar Belakang Kasus Sengketa Wilayah
antara Indonesia dan Malaysia Terhadap Pulau Sipadan-Ligitandan Arti penting Pulau
Sipadan-Ligitan bagi Indonesia dan Malaysia.

2.1 Kepemilikan Pulau Sipadan - Ligitan dalam Perspektif Historis


Konflik Pulau Sipadan dan Ligitan ini secara sederhana mengandung makna
tradisional sekaligus modern. Secara tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat
dari kolonialisme masa lalu yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang
menjajah Malaysia dan Belanda yang menjajah Indonesia, menyisakan garis perbatasan
yang tidak tegas ketika mereka meninggalkan tanah jajahannya. Itulah yang kemudian
membuat sengketa itu berkembang, menurun kepada negara yang mewarisi tanah bekas
jajahan tersebut. Dalam konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak bisa
dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang
dikandungnya. Negara modern selalu berupaya mencari tambahan penghasilan nasional
melalui eksplorasi sumber daya alam. Hangatnya sengketa antara Malaysia dan
Indonesia ini bisa dikatakan mulai memuncak pada dekade delapan puluhan ketika di
dua pulau itu dijumpai potensi pariwisata bawah air yang luar biasa bagusnya. Didorong
oleh potensi tersebut, Malaysia membangun kompleks pariwisata di Pulau Sipadan.
Menurut survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga dunia, pemandangan bawah laut yang
ada di Pulau Sipadan, konon memiliki nilai terbaik di dunia.
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967
ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara
ternyata memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua

31 Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


32

negara lalu sepakat agar Pulau Sipadan-Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo
akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resort
pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status
quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan
pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi
tidak boleh ditempati atau diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini
selesai.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau
tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau
TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN
di Pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi
ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota
ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa
dengan Singapura untuk klaim Pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan
Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei
Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu
menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua
warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas
kedua pulau.
Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia
atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu Pulau Sipadan
(luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E / 4.1146833°LU
118.6287556°BT / 4.1146833; 118.6287556 dan Pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²)
dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E / 4.15°LU 118.883°BT / 4.15; 118.883. Sikap
Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN tetapi
Malaysia menolaknya.
Pada masa sebelum kolonialisme terjadi di kawasan Asia Tenggara, di wilayah
Kalimantan bagian timur laut terdapat dua daerah kekuasaan yang diperintah oleh dua
Kesultanan. Wilayah utara yaitu Sabah merupakan daerah kekuasaan KesultananBrunei.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


33

Sementara wilayah selatan merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Bulungan. Kedua


penguasa pada waktu itu tidak pernah terlibat dalam sengketa mengenai batas wilayah
masing-masing Kesultanan. Batas wilayah kedua tersebut cukup di dasarkan pada
tanda-tanda alam. Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan tidak mungkin dipisahkan dari
sengketa perbatasan yang terjadi pada abad ke-19 antara dua kolonialis di Kalimantan
yaitu Belanda yang menjajah Indonesia dan Inggris yang menjajah Kalimantan Utara
(Malaysia).
Sultan Abdul Munim dari Kesultanan Brunei pada tanggal 29 Desember 1877
memberikan konsesi kepada Gustavus Baron de Von Overbeck dan Alfred Dent, kedua
tokoh konglomerat berasal dari Austria dan Inggris. Kedua orang tersebut berhasil
mendapatkan hak mengelola wilayah Sabah. Karena kedekatannya dengan Sultan
Brunei maka Gustavus Baron de Von Overbeck diangkat sebagai Raja Sabah di
Kalimantan Utara dengan kekuasaan penuh yang tidak lagi dapat diganggu gugat.
Gustavus Baron de Von Overbeck berhak mengelola kekayaan alam di wilayah
kekuasaannya di Sabah meliputi pengelolaan atas seluruh hasil pertanian, peternakan dan
tambang di kawasan tersebut. Dan lebih dari itu Gustavus Baron de Von Overbeck juga
memperoleh ijin untuk menerbitkan uang, menarik hasil cukai hingga membentuk pasukan
darat dan laut sendiri.59
Sebagai ungkapan terima kasihnya atas pengangkatan tersebut Gustavus Baron
de Von Overbeck memberikan upeti sebesar $ 12.000 dollar per tahun. Selain
memberikan upeti kepada pihak Kesultanan Brunei, Gustavus Baron de Von Overbeck
mengirimkan upeti $ 5.000 dollar kepada Sultan Sulu yang pernah mengklaim wilayah
Sabah sebagai wilayah kekuasaannya. Upeti diberikan kepada Sultan Sulu atas dasar
kesepakatan yang dibuat pada tanggal 22 Januari 1878. Dengan kesepakatan ini,
Gustavus de Von Overbeck memperoleh konsesi untuk seluruh wilayah antara aliran
Sungai Sebuku sampai aliran Sungai Pandasan di daerah timur laut Kalimantan.
Gustavus Baron de Von Overbeck telah menguasai wilayah yang luas di
sepanjang pantai Barat Laut dan Timur Laut Kalimantan. Luas wilayahnya diperkirakan

59
Afrizal, “Kasus lepasnya Pulau Sipadan Pulau Ligitan”, dalam Kompas, 20 Februari 1995, hlm.1.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


34

sekitar 30.000 mil dan 850 mil. Akan tetapi Pemerintah Austria tidak mendukung
Gustavus Baron de Von Overbeck untuk berkuasa di kawasan tersebut. Untuk menjaga
loyalitasnya kepada Pemerintah negaranya, Gustavus de Von Overbeck menjual
kepemilikan wilayahnya kepada Alfred Dent yang memperoleh dukungan dari
Pemerintah Inggris.
Pemerintah Belanda yang sebelumnya telah menguasai wilayah Kesultanan
Bulungan dan sebagian wilayah Sabah, termasuk Pulau Sipadan-Ligitan merasa resah
dengan penjualan kepemilikan wilayah Gustavus Baron de Von Overbeck. Pada tahun 1891,
Belanda kemudian menyewa wilayah Sabah untuk dikembangkan menjadi daerah
perkebunan dan pertambangan minyak bumi. Politik Belanda pada saat itu dimaksudkan
untuk membendung kemungkinan pedagang Inggris dan Austria mendapatkan konsesi yang
besar dari Kesultanan setempat.
Spanyol yang menjalankan kolonialisme di Filipina mengeluarkan reaksi
dengan penjualan kepemilikan Gustavus Baron de Von Overbeck wilayah. Spanyol
yang pernah mendapatkan cessi60 atas sebagian wilayah timur Kalimantan Utara dari
Sultan Sulu sejak lama merasa tidak rela wilayahnya dikuasai oleh BNBC (British
North Borneo Company)yang didirikan oleh Gustavus Baron de Von Overbeck. Oleh
karena itu, Spanyol mengirimkan kapal perang ke Sandakan pada bulan September
1878. Dengan pengiriman kapal perang ke Sandakan, Spanyol mengingatkan
Pemerintah Inggris bahwa Spanyol pernah mengadakan perjanjian dengan Sultan Sulu pada
tahun 1877. Berdasarkan perjanjian tahun 1877, seluruh wilayah timur laut Borneo
(Kalimantan) mulai dari Teluk Maruda sampai wilayah perbatasan yang dikuasai
Belanda di bagian selatannya adalah milik Kerajaan Spanyol.
Sebagai respon atas tindakan Spanyol, pada bulan Januari 1878 Gustavus
Baron de Von Overbeck dan Alfred Dent serta H.W. Treacher yang menjabat sebagai
Gubernur Inggris di Borneo Utara meminta penjelasan Sultan Sulu mengenai cessi yang
diberikan kepadanya oleh Sultan Abdul Munim dari Kesultanan Brunei. Hal tersebut

60
Cessi atau penyerahan adalah salah satu cara memperoleh kedaulatan teritorial yang bersandar pada
prinsip pemindahan suatu wilayah dari satu negara ke negara lain yang bersifat sukarela. Lihat K.J. Holsti,
Politik Internasional:Kerangka untuk Analisis, Jilid 1, Erlangga: Jakarta, 1988, hlm. 22.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


35

dilakukan karena Kesultanan Sulu di Filipina Selatan juga menuntut kepemilikan


kedaulatan atas sebagian wilayah Sabah. Pada waktu itu, Gustavus Baron de Von
Overbeck ternyata mendapatkan cessi baru dari Sultan Jamalul Alam dari Sulu di
wilayah antara Sungai Pandasan dan Sungai Sebuku. Sebagai imbalannya Gustavus
Baron de Von Overbeck harus membayar upeti sebesar $5000 dollar per tahun.
Akan tetapi enam bulan kemudian, Sultan Jamalul Alam dari Sulu
memindahkan cessi kepada Spanyol. BNBC milik Inggris yang dikelola oleh Gustavus
Baron de Von Overbeck dan Alfred Dent menolak pengalihan cessi yang pernah
diberikan kepada Gustavus Baron de Von Overbeck. Ketegangan antara Inggris dan
Spanyol terjadi dan akhirnya diadakan penyelesaian sengketa dengan cara pembuatan
perjanjian dalam Protokol pada tanggal 7 Maret 1885 yang ditandatangani oleh
Spanyol, Inggris dan Jerman. Dalam perjanjian tersebut, Spanyol bersedia membatalkan
semua tuntutan kedaulatan atas pulau-pulau yang terletak di 9 mil dari pantai
Kalimantan Utara. Sebagai penghargaan atas pembatalan tuntutan Spanyol ini, Inggris
dan Jerman mengakui Spanyol menjadi penguasa atas wilayah Kepulauan Sulu.61
Sementara itu, persengketaan antara Belanda dan Inggris masih terjadi. Pada
bulan September 1879, kapal perang Belanda mendarat di Batu Tinagat yang berjarak
sekitar 40 mil di sebelah utara muara Sungai Sebuku. Di wilayah itu terjadi pengibaran
bendera Belanda. Setelah Belanda meninggalkan Batu Tinagat, bendera Belanda
dibuang oleh penduduk setempat. Kejadian ini merupakan reaksi penduduk setempat
atas kedatangan Belanda di wilayah tersebut. Tindakan Belanda pada tahun 1879 itu
semakin memancing eskalasi konflik dengan Inggris.
Persengketaan Belanda dan Inggris semakin memanas setelah Inggris
mengesahkan pembentukan BNBCpada akhir tahun 1881. Dengan berdirinya
perusahaan tersebut, Inggris memulai masa penjajahannya atas wilayah Kalimantan
Utara. Tindakan Inggris diprotes Belanda karena dipandang sebagai bentuk pelanggaran

61
Diambil dari artikel J. Soedjati Djiwandono, Intra-ASEAN Territorial Disputes: The Sabah Claim dalam Teh
Indonesian Quarterly, Vol. XXII, No. 1, First Quarter, 1994, hal. 36-37 dan Ahmad Syafii Maarif, Sekitar
Tuntutan Filipina Atas Sabah: Masihkah Akan Diteruskan? dalam Jurnal Informasi, No. 3, Tahun III, 1973,
hlm. 4-6.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


36

terhadap Perjanjian 1824. Karena berdasarkan Perjanjian 1824, Inggris dilarang


menjajah daerah-daerah di Kalimantan.
Perebutan hak kedaulatan teritorial antara Belanda dan Inggris akhirnya dapat
diselesaikan dengan pembentukan komisi bersama pada tahun 1884. Komisi bersama
Inggris dan Belanda mulai menentukan perbatasan kedua negara di timur luat
Kalimantan pada bulan Juli 1889. Sengketa perbatasan kemudian diakhiri dengan
penandatanganan perjanjian tentang perbatasan di timur laut Kalimantan pada tanggal 20
Juni 1891. Konvensi 1891 memutuskan batas wilayah daratan Inggris dengan Belanda di
Kalimantan dengan garis yang ditarik dari Pulau Sebatik. Hal ini tercantum dalam Pasal I
dan Pasal IV Konvensi 1891. Adapun Pasal I Konvensi I 1891
menetapkan sebagai berikut:

“The boundary between the Netherland possessions in Borneo and those of the
British Protected states in the same Island, shall start from 4010’ north latitude on
the east coast of Borneo.”62
Di dalam Pasal IV Konvensi 1891 ditetapkan wilayah kekuasaan Inggris dan
Belanda di Kalimantan Utara yang ditegaskan sebagai berikut:
“From 4010’ north latitude on the east coast the boundary-line shall be
continued east ward along the parallel, across the island of Sebatik, that
partion of the island situated to the north of that parallel shall belong
unreservedly to the British North Borneo Company and the portion south of that
parallel to the Netherlands.”63
Konvensi 1891 antara Inggris dan Belanda inilah yang kemudian menjadi dasar
klaim antara Indonesia dan Malaysia dalam masalah sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.
Indonesia yang merupakan bekas jajahan Belanda dan Malaysia yang pernah dijajah
Inggris memiliki perbedaan persepsi mengenai isi Konvensi 1891. Pada tahun 1969
ketika diadakan perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia

62
Lihat “Summary of the Judgment of 17 December 2002” dalam http://www.icj-
cij.org/icjwww/ipresscom/ipress2002/ipresscom2002-39bis_inma_20021217.htm. [ Diakses pada tanggal 12
Februari 2012].
63
Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


37

ditemukan ketidakjelasan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan. Kedua negara


yang sama-sama menginginkan kedaulatan teritorial atas Pulau Sipadan-Ligitan
kemudian mencari bukti-bukti sejarah pada masa lalu. Konvensi 1891 merupakan salah satu
perjanjian yang sama-sama dijadikan sebagai alat pembuktian, akan tetapi kedua negara
memiliki persepsi yang berbeda tentang Konvensi 1891 ini.
Perbedaan persepsi ini ditunjukkan dengan pendapat masing-masing pihak
yang saling bertolak belakang. Malaysia menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki
hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan kerena letaknya jauh di luar garis pangkal
wilayah laut Indonesia yang ditetapkan Undang-Undang No. 4 Prp. 1960 tentang
Perairan Indonesia, yang mana tidak sesuai juga dengan klaim Indonesia berdasarkan
Konvensi 1891 karena letaknya yang jauh tersebut. Adapun Malaysia berhak atas Pulau
Sipadan-Ligitan berdasarkan prinsip chain of title. Pendapat Malaysia ini didasarkan
pada serangkaian transaksi pengelolaan yang dilakukan oleh BNBC yaitu perusahaan
yang menjadi cikal-bakal kehadiran Inggris di wilayah koloni dan diperoleh melalui
transfer kedaulatan dari Spanyol dan Amerika Serikat. Sesuai dengan bukti sejarah yang
tercantum dalam Konvensi 1891 pada Pasal I dan IV, maka kedua pulau tersebut semula
merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Sulu dan beralih menjadi milik Malaysia
berdasarkan chain of title.
Sedangkan Indonesia menyatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti sejarah,
wilayah Indonesia meliputi seluruh kekuasaan Hindia Belanda. Oleh karena itu, sejak
kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Pulau Sipadan-Ligitan yang pernah
dikuasai Belanda berdasarkan Konvensi 1891 secara otomatis masuk dalam kedaulatan
teritorial Indonesia menafsirkan Pasal IV Konvensi 1891 sebagai berikut bahwa garis 40
10‟ Lintang Utara memberikan petunjuk tentang batas kepemilikan Belanda dan Inggris
sebelah selatan dan utara 40 10‟ Lintang Utara tersebut adalah garis yang memotong
Pulau Sebatik dan terus menjulur ke laut di arah sebelah timur pulau tersebut. Indonesia
mengklaim kedua pulau tersebut menjadi miliknya karena terletak di sebelah selatan
garis batas ini. Perbedaan pendapat ini kemudian berkembang menjadi persengketaan
sejak tahun 1969. Sengketa atas Pulau Sipadan-Ligitan dapat dikatakan sebagai warisan
sejarah kolonialisme yang pernah terjadi di kawasan Asia Tenggara, di mana pada

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


38

waktu itu Belanda menguasai wilayah Indonesia dan Inggris menjadikan wilayah
Malaysia sebagai daerah jajahannya.
Pulau Sipadan-Ligitan muncul menjadi sumber persengketaan antara Indonesia
dan Malaysia sejak tanggal 19 September 1969 ketika delegasi Pemerintah Indonesia
dan Malaysia merundingkan batas landas kontinen kedua negara. Pada waktu itu, Pulau
Sipadan-Ligitan merupakan dua pulau yang belum diketahui hak kepemilikannya. Pihak
Pemerintah Indonesia dan Malaysia sama-sama belum dapat menentukan negara mana
yang berhak memiliki kedua pulau tersebut. Akhirnya status Pulau Sipadan -Ligitan
dinyatakan dalam posisi status quo. Artinya, kedua tidak akan menempati, menduduki dan
mengelola Pulau Sipadan-Ligitan.
Bermula dari ketidakjelasan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan dalam
perundingan kedua negara pada tahun 1969, Indonesia dan Malaysia akhirnya terlibat
dalam kasus sengketa yang berkepanjangan. Jika ditinjau dari aspek sejarahnya,
sengketa antara Indonesia dan Malaysia tidak terlepas dari peranan sejarah di masa lalu.
Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan yang dihadapi Indonesia dan Malaysia adalah bagian
dari warisan sejarah kolonialisme Belanda dan Inggris yang terjadi pada abad ke-19.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV
Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan
kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-
Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia. Malaysia
juga berpendirian bahwa kedaulatannya atas kedua pulau tersebut berdasarkan fakta
bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak 1878 secara damai terus menerus
mengadministrasi kedua pulau itu. Sengketa ini lalu dibicarakan dalam pertemuan
antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir Muhamad di Yogyakarta pada 1989.
Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun, kedua belah pihak berkesimpulan
sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


39

2.2 Latar Belakang Kasus Sengketa Wilayah antara Indonesia dan


MalaysiaTerhadap Pulau Sipadan-Ligitan
Sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia bermula dari pertemuan
kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysiadi
Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu pembicaraan landas
kontinen di laut Sulawesi, kedua delegasi sama-sama mengklaim Pulau Sipadan-Ligitan
sebagai miliknya. Pulau Sipadan terletak 15 mil laut sekitar 24 kilometer dari pantai
daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau
Sebatik di mana bagian utara merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur selatan
merupakan wilayah Indonesia. Posisi Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34
kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari
pantai timur Pulau Sebatik. Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektar dan Pulau Ligitan
adalah 7,9 hektar.
Konflik Pulau Sipadan dan Ligitan ini secara sederhana mengandung makna
tradisional sekaligus modern. Secara tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat
dari kolonialisme masa lalu yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang
menjajah Malaysia dan Belanda yang menjajah Indonesia, menyisakan garis perbatasan
yang tidak tegas ketika mereka meninggalkan tanah jajahannya. Itulah yang kemudian
membuat sengketa itu berkembang, menurun kepada negara yang mewarisi tanah bekas
jajahan tersebut. Dalam konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak bisa
dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang
dikandungnya. Titik awal klaim Pemerintah Indonesia tampaknya lemah dan tidak
mencantumkan kedua pulau tersebut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
UndangUndang yakni, Perpu No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.64 Di pihak
lain, kelemahan Malaysia tampakpada peta yang diterbitkan hingga tahun 1970 -an
tidak pernah mencantumkan kedua pulau tersebut.

64
Boer Mauna, Hukum Internasional : Perngertian, Peranan dan Fungsi Dalam era Dinamika Global. PT
Almuni : Bandung, 2005, hlm. 280.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


40

P. Ligitan

P. Sipadan

Gambar 2.1 Peta Letak Pulau Sipadan-Ligitan pada Laut Sulawesi


Sumber : David A. Colson, The American Journal of International Law, 2003
Selanjutnya dalam meja perundingan kedua belah pihak baik Pemerintah
Indonesia maupun Pemerintah Malaysia sepakat untuk menetapkan sebagai status quo
atas kedua pulau tersebut. Sehubungan dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal
22 September 1969 menyetujui Memorandum of Understanding (MoU) yang
menetapkan Pulau Sipadan-Ligitan dalam status quo yang berarti tidak boleh ditempati,
diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Namun, mulai
tahun 1979 Malaysia berubah sikap dan mengambil langkah-langkah secara unilateral
dengan menerbitkan peta-peta yang menunjukkan kedua pulau sebagai bagian dari
Malaysia, memberikan sejumlah izin kepada sejumlah perusahaan swastanya untuk
menyelenggarakan kegiatan pariwisata di Pulau Sipadan dan mendirikan instalasiinstalasi
listrik di pulau tersebut. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut
melanggar kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo.
Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara, Indonesia
dan Malaysia mengadakan perundingan-perundingan pada berbagai tingkat
sepertiSenior Official Meetings, Joint Working Group Meetings dan Joint Commision
Meetings, namun tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima keduapihak.

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


41

Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir
Muhammad sepakat untuk mengangkat utusan khusus dari masing-masingnegara untuk
mencari solusi alternatif. Setelah melakukan empat kali pertemuanJakarta -Kuala
Lumpur secara bergantian, kedua wakil dari Pemerintah Indonesia danPemerintah
Malaysia berhasil menemukan solusi, yakni merekomendasikan agarperlu adanya
penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum Internasional (ICJ).
Selanjutnya, pada tanggal 31 Mei 1997 kedua negara menyepakati Special
Agreement for the submission to the International Court of Justice the dispute between
Indonesia and Malaysia concerning the soverignty over Pulau Sipadan andPulau
Ligitan. Naskah tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia padatanggal 29
Desember 1997 melalui Keputusan Presiden Nomor 49 tahun 1997 dan oleh Pemerintah
Malaysia pada tanggal 19 November 1997. Special Agreement ini merupakan syarat
prosedural yang memungkinkan ICJ memiliki kewenanganjuridiksi atas perkara ini.
Special Agreement tersebut kemudian disampaikan kepada Mahkamah Hukum
Internasional pada tanggal 2 November 1998 melalui suatu Joint Letter atau Notifikasi
Bersama. Masalah pokok yang diajukan dan dimintakan dalam Special Agreement
adalah agar Mahkamah Hukum Internasional memutuskan siapakah yang berdaulat atas
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang ada, bukti-
bukti dan dokumen-dokumen yangtersedia dari Pemerintah Indonesia maupun dari
Pemerintah Malaysia. Special Agreement ini juga mencantumkan putusan Mahkamah
Hukum Internasional sebagaibersifat akhir dan mengikat (final and binding).65

Dalam penyampaian Notifikasi Bersama tersebut kepada Panitera Mahkamah


Hukum Internasional, maka proses litigasi masalah Pulau Sipadan-Ligitan diforum
internasional secara resmi mulai berlangsung dan untuk selanjutnya penyelesaian
masalah ini sepenuhnya terletak pada penelitian Mahkamah HukumInternasional.
Tanggal 3 hingga 12 Juni 2002 Mahkamah Hukum Internasional telahmendengarkan
argumentasi lisan dari Indonesia dan Malaysia sehubungan dengansengketa wilayah
(territorial dispute) Pulau Sipadan-Ligitan. Dan padatanggal 17 Desember 2002
65
Steven Y. Pailah, Archipelagic State : Tantangan dan Perubahan Maritim, Klub Studi Perbatasan :
Jakarta, 2009, hlm. 45.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


42

Mahkamah Hukum Internasional telah memberikan kedaulatan atas Pulau Sipadan -


Ligitan kepada Malaysia. Dalam hal iniMahkamah Hukum Internasional tidak terlalu
tertarik dengan argumentasi Indonesiatentang akar kepemilikannya yang didasarkan
pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun1891, yang pada Pasal IV menyebutkan bahwa
garis batas kedua negara adalah garislintang 4º 10‟ di pantai timur Pulau Kalimantan
terus ke Timur memotong PulauSebatik dan menempatkan kedua pulau itu di bawah
garis lintang tersebut yang berarti milik Belanda. Menurut Mahkamah Internasional,
perjanjian itu adalah perjanjian daratdan sulit diinterpretasikan sebagai perjanjian
wilayah laut. Dengan ditolaknya perjanjian ini sebagai perjanjian alokasi laut, maka
tidak ada lagi yang dapat diandalkan oleh Indonesia. Berbeda dengan Indonesia, bukti
efektif Malaysia ataskedua pulau tersebut dan dalam periode yang cukup lama, antara
lain, bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi legislatif atas kedua
pulau tersebut misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Penyu, serta
mengeluarkan Perizinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telahmembangun
mercusuar di Pulau Sipadan-Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus dipelihara
sejak kemerdekaan Malaysia. Kegiatan kedaulatan Malaysia ini menurut pengamatan
Mahkamah Internasional tidak pernah diprotes oleh Indonesia.Semua fakta sejarah ini
cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan berdaulatannya atas
kedua pulau tersebut dan sudah cukup membuktikanadanya keefektifan untuk syarat
kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu. Dalamhal ini, apa pun yang dilakukan
oleh Indonesia sejak tahun 1969 seperti halnya menduduki kedua pulau tersebut, tetap
tidak akan dapat menghapus keefektifan Inggris atau Malaysia.

2.3 Arti Penting Pulau Sipadan-Ligitan bagi Indonesia dan Malaysia


Indonesia dan Malaysia memperebutkan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-
Ligitan, karena kedua pulau tersebut memiliki letak geografis yang strategis dan sumber
daya alamnya berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek pariwisata. Berdasarkan
kedua alasan tersebut, Indonesia dan Malaysia menambahkan dengan alasan lain yang
berupa komitmen untuk mempertahankan kedaulatan teritorial. Alasan-alasan seperti ini
dapat dibuktikan dengan melihat letak geografis dan potensi alam yang terdapat di

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


43

Pulau Sipadan-Ligitan. Dalam konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini


tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam
yang dikandungnya. Negara modern selalu berupaya mencari tambahan penghasilan
nasional melalui eksplorasi sumber daya alam. Hangatnya sengketa antara Malaysia dan
Indonesia ini bisa dikatakan mulai memuncak pada dekade delapan puluhan ketika di
dua pulau itu dijumpai potensi pariwisata bawah air yang luar biasa bagusnya. Didorong
oleh potensi tersebut, Malaysia membangun kompleks pariwisata di Pulau Sipadan.
Menurut survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga dunia, pemandangan bawah laut yang
ada di Pulau Sipadan, konon memiliki nilai terbaik di dunia.
Pulau Sipadan-Ligitan yang menjadi sumber sengketa antara Indonesia dan
Malaysia adalah dua pulau kecil yang merupakan rangkaian kepulauan yang terletak di
sebelah timur Kalimantan dan Negara bagian Sabah (Malaysia timur) di Laut Sulawesi.
Pulau Sipadan-Ligitan secara geografis adalah bagian dari rangkaian kepulauan yang
terletak di Laut Sulawesi atau di sebelah tmur Pulau Kalimantan (Indonesia) dan Sabah
(Malaysia). Pulau Sipadan berada di posisi 1180 38‟ 02” Bujur Timur dan 40 06‟ 12”
Lintang Utara. Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektare dan terletak 15 mil (24 km) dari pantai
daratan Sabah, Malaysia dan 40 mil (64 km) dari pantai timur Pulau Sebatik, Indonesia.
Sedangkan Pulau Ligitan lebih kecil daripada Pulau Sipadan. Luas Pulau Ligitan hanyalah
7,9 hektare dan berada pada posisi 1180 53‟ 01” Bujur Timur dan 40 08‟ 03” Lintang Utara.
Pulau Ligitan terletak 21 mil (34 km) dari pantai daratan Sabah dan 57,6 mil (93 km) dari pantai
Pulau Sebatik.
Pulau Sipadan-Ligitan dikenal memiliki pantai yang sangat indah. Kedalaman
perairan di sekeliling Pulau Sipadan-Ligitan berkisar antara 10-15 meter dengan
temperatur rata-rata 25-300C. Temperatur air laut yang terendah terjadi pada bulan
November dan Februari. Akan tetapi kedalaman laut di sekitar Pulau Sipadan memiliki
keunikan tersendiri, karena hanya berjarak 15 kaki dari pantai, air laut akan berubah
menjadi biru tua karena kedalaman lautnya berubah menjadi 2.850 kaki. Pulau Sipadan
memiliki potensi wisata bahari yang indah dan spektakuler, pantai Pulau Sipadan sangat

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


44

bervariasi sebagian landai dan sebagian berupa patahan palung yang kedalamannya
mencapai 100 meter, dengan batu-batu karang yang sangat indah.
Konon laut Pulau Sipadan yang indah merupakan salah satu tempat wisata
terindah di dunia mengalahkan taman laut Bunaken di Sulawesi Utara. Brosur promosi
pariwisata Malaysia menyebut Pulau Sipadan sebagai satu-satunya pulau di Malaysia
yang berada di lautan “Samudera” yang digambarkan sebagai “pulau surga”. Pulau yang
bentuknya seperti tapak sepatu ini memang cukup mempesona karena kelandaian
pantainya. Dengan keindahan dalam lautnya ini Pulau Sipadan pernah memenangkan
penghargaan “Best Beach Dive in the World” pada tahun 1993.66 Pantainya yang indah
dengan pasir putih yang lembut juga menjadi tempat yang nyaman bagi penyu-penyu
hijau. Penyu-penyu hijau ini bertelur setiap minggunya bisa mencapai 7.000 butir. Pada
tahun 1977, tercatat sebanyak 220.000 butir telur penyu yang dapat dipanen. Pada tahun
1998 jumlah telur penyu yang dapat dipanen mengalami banyak peningkatan menjadi
330.000 butir.
Pulau Ligitan adalah sebuah pulau yang berbentuk gundukan terumbu karang
yang berada di sebelah timur Pulau Sipadan 916 mil. Ketika air pasang pulau kecil ini
seakan-akan tenggelam, bagian daratnya tampak lebih luas pada saat air surut. Pulau
Ligitan tidak banyak menyimpan potensi dan tidak berpenghuni. Pulau Ligitan memiliki
sumber daya perikanan tangkap yang melimpah dan dikelilingi pepohonan mangrove.
Perairan di Pulau Sipadan-Ligitan merupakan tempat pertemuan kehidupan laut yang
berasal dari Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Oleh karena itu, kehidupan dasar laut
di kedua pulau tersebut dipenuhi oleh ikan-ikan dan spesies laut lainnya yang
beranekaragam. Keindahan dasar laut ini didukung pula dengan hamparan pasir putih yang
sering digunakan tempat bertelurnya penyu hijau.
Pulau Sipadan menjadi pulau yang unik, karena jika dilihat dari dalam laut
bentuk pulau ini lebar di permukaan laut dan semakin mengerucut di dasar laut,
sehingga dikatakan seperti jamur. Sementara itu, jika dilihat dari atas, Pulau Sipadan

66
Lihat“PulauSipadan”dalamhttp://www.marimari.com/content/malaysia/popular_places/islands/sipadan/s
ipadan.html. [ Diakses pada tanggal 12 Februari 2012]. Pada sumber data tidak disebutkan keterangan lebih lanjut
mengenai lembaga yang memberi penghargaan tersebut.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


45

berbentuk seperti tapak sepatu. Menurut keterangan dari Menlu Hassan Wirajuda, Pulau
Ligitan sebagian besar berbentuk karang atol yang jika air pasang seakan-akan pulau
tersebut terlihat tenggelam. Kedua pulau tersebut merupakan pulau kecil di wilayah laut
Sulawesi, namun meskipun kedua pulau tersebut kecil tetapi kedua pulau tersebut
memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi terutama sebagai obyek eksploitasi
pariwisata terutama wisata penyelaman di dasar laut.
Potensi alam yang dapat diambil dari Pulau Sipadan-Ligitan selain obyek
pariwisata yaitu juga dapat dimanfaatkan sebagai usaha perikanan laut. Pertimbangan
tersebut didasarkan pada melimpahnya sumber daya perikanan di perairan di Pulau
Sipadan-Ligitan. Selain itu, Pulau Sipadan-Ligitan juga dikenal memiliki kandungan
bahan-bahan mineral seperti cadangan minyak dan gas yang melimpah.67
Berdasarkan fakta-fakta dalam letak geografis dan potensi alam dari Pulau
Sipadan-Ligitan, maka Indonesia dan Malaysia sama-sama menuntut hak kepemilikan
atas kedua pulau tersebut. Apalagi Pulau Sipadan dan Pualu Ligitan juga memiliki
potensi strategis di bidang pertahanan dan keamanan untuk menangkal infiltrasi dan
agitasi dari kekuatan asing. Apabila Indonesia dapat memiliki Pulau Sipadan-Ligitan
maka perairan di sebelah selatan Pulau Sipadan dan di sebelah timur laut Pulau Ligitan
akan menjadi bagian dari kedaulatan teritorial Indonesia. Dengan demikian, potensi
alam di wilayah tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak Indonesia. Hal tersebut berlaku
sama dengan Malaysia, apabila Pulau Sipadan-Ligitan menjadi milik Malaysia, maka
Malaysia dapat melanjutkan pengelolaan obyek wisata di Pulau Sipadan-Ligitan yang
sudah dilakukan sejak tahun 1980. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah
penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang
belum bisa disebut memadai. Tapi Pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki
pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di
sana diberhentikan dahulu. Alasannya, Pulau Sipadan-Ligitan itu masih dalam sengketa,
belum diputus siapa pemiliknya.Alasan-alasan tersebut berkaitan juga dengan adanya

67
Diolah dari berbagai sumber yaitu “Seperti Apa Pulau Sipadan-Ligitan”
http://www.freelists.org/archives/geologiugm/12-2002/msg00034.html. [Diakses pada tanggal
12 Februari 2012], Penanganan Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan” dalam http://www.w3.org/TR/REC-
html40. [Diakses pada tanggal 12 Februari 2012 dan Suara Pembaruan, 5 Juni 1991].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


46

dugaan bahwa perairan di sekeliling Pulau Sipadan-Ligitan mengandung bahan-bahan


mineral. Jika Pulau Sipadan-Ligitan berhasil dimiliki oleh salah satu pihak antara
Indonesia dan Malaysia, maka pengembangan sumber daya alam tidak hanya terbatas pada
bidang pariwisata dan perikanan laut tetapi pihak yang menang juga dapat
mengeksploitasi kandungan mineral di kawasan tersebut.
Sementara itu bagi negara yang tidak berhasil mendapatkan hak kepemilikan
atas Pulau Sipadan-Ligitan akan menghadapi kesulitan dalam penentuan batas-batas
wilayah laut. Sebab negara tersebut akan kehilangan batas landas kontinennya. Landas
kontinen suatu negara pantai adalah dasar laut dan tanah di bawahnya dari wilayah
dasar laut yang meluas sampai di luar laut teritorialnya melalui perpanjangan alamiah
wilayah daratannya. Lebar landas kontinen adalah sampai ujung batas kontinen atau
sampai jarak sejauh 200 mil laut dari garis pangkal yang darinya diukur lebar laut
teritorial apabila ujung terluar batas kontinen tidak meluas sampai jarak tersebut.
Artinya, apabila batas kontinen dari kontinen meluas sampai melebihi 200 mil laut,
lebar landas kontinen diperkenankan sampai sejauh 350 mil laut.
Negara-negara pantai memiliki hak-hak berdaulat atas landas kontinen untuk
tujuan eksplorasi sumber-sumber alamnya. Hak tersebut bersifat eksklusif dalam arti
apabila negara pantai tidak mengeksploitasi landas kontinen atau tidak mengeksploitasi
sumber daya alamnya, maka tidak ada satupun negara diperkenankan melakukan
aktifitas di kawasan ini tanpa persetujuan negara pantai yang memiliki landas kontinen di
tempat tersebut.68
Oleh karena itu, baik Indonesia maupun Malaysia ingin mempertahankan batas
landas kontinen yang telah diklaimnya. Jika salah satu dari kedua negara ini tidak
berhasil mempertahankan kedaulatan teritorial atas Pulau Sipadan-Ligitan, berarti
negara tersebut akan kehilangan hak-hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber-sumber
alam di wilayah tersebut.69 Hal ini akan berpengaruh terhadap perubahan batas teritorial
yang telah dibuat oleh kedua negara. Pihak yang memenangkan sengketa tentu memiliki

68
K.J. Holsti, Politik Internasional:Kerangka untuk Analisis, Jilid 1, Erlangga: Jakarta, 1988, hlm. 68.
69
Prof.DR. Hasjim Djalal, Penyelesaian Sengketa Sipadan Ligitan, Interpelasi?, dalam Kompas, Jakarta, 13
Januari 2003.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


47

peluang untuk mendapatkan batas-batas yang lebih luas daripada batas yang dibuat
sebelumnya dalam perundingan pasca sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.
Akhirnya sengketa Indonesia dan Malaysia tentang hak kepemilikan atas Pulau
Sipadan-Ligitan memiliki dimensi kepentingan yang luas bagi kedua negara. Adapun
kepentingan utama Indonesia dan Malaysia adalah kepentingan atas kedaulatan teritorial
yang akhirnya didukung dengan kepentingan ekonomi. Hal ini akan terbukti apabila
satu negara dapat memperoleh kedaulatan teritorialnya atas Pulau Sipadan-Ligitan, maka
negara tersebut akan memanfaatkan hak-hak eksklusif untuk mengelola sumbersumber
alam di Pulau Sipadan-Ligitan. Di antara kedua negara yang bersengketa, Malaysia
memang telah terlebih dahulu membuktikan keinginannya untuk mengelola potensi alam
Pulau Sipadan-Ligitan dengan cara membangun fasilitas pariwisata dan telah melakukan
promosi wisata negara-negara lain sejak tahun 1980.
Soal ini bukan hanya memancing ketidaksenangan beberapa wakil rakyat, tapi
juga Menhankam L.B. Moerdani. Dalam kesempatan rapat kerja dengan Komisi I,
Moerdani mengkritik Malaysia yang cenderung tidak mengindahkan kesepakatan status
quo atas kedua pulau itu, bahkan ceroboh membiarkan daerah tersebut dijadikan obyek
pariwisata. Namun, kasus dua pulau itu bukan satu-satunya soal yang akhir-akhir ini
mengganggu hubungan dua negeri sesama rumpun Melayu itu. Perundingan penetapan
landas kontinen tahun 1969 gagal menetapkan status pemilik kedua pulau tersebut.
Indonesia berpendirian, bila garis batas lurus dibuat dari Pulau Sebatik, yang sudah
dibagi dua dengan Malaysia, dua pulau itu mestinya masuk wilayah Indonesia. Malaysia
berpendapat, garis batas itu hanya sampai Pulau Sebatik, sehingga kedua pulau itu bisa
diklaim sebagai wilayah Sabah. Karena gagal dicapai kesepakatan, akhirnya, disepakati
pulau itu bersifat status quo. Artinya, tidak ada kegiatan apa pun di sana sebelum ada
penyelesaian. Namun, Desember 1979, Malaysia mengklaim dua pulau itu sebagai
miliknya berdasar peta baru. Walau Indonesia sudah mengirim nota protes, negara
tetangga itu menegaskan de facto dan de jure, kedua pulau itu miliknya, meski ada juga
kesediaan mereka untuk berunding. Belum lagi perundingan dibuka, Indonesia sudah
membuat nota peringatan kembali tahun 1988 karena adanya kegiatan di Pulau Sipadan.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


48

Pulau Sipadan-Ligitan adalah merupakan pulau yang tak berpenghuni,


keduanya menjadi penting bagi Indonesia karena bisa dijadikan titik untuk menentukan
lebar laut wilayah, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif. Oleh karena itu, pulau
tersebut menjadi penting bukan hanya karena pertimbangan ekonomi tetapi juga untuk
keutuhan wilayah negara.70 Pengakuan Malaysia atas Pulau Sipadan-Ligitan merupakan
upaya Malaysia dalam power seeking. Dengan mengambil alih Pulau Sipadan-Ligitan
berarti wilayahnya bertambah luas dan tentunya Malaysia berhak mengelola segala
sesuatu (Sumber Daya Alam) yang ada di kedua pulau maupun yang terkandung di
dalam lautnya. Bahkan ada kemungkinan untuk mengakui wilayah lain di Indonesia
sebagai miliknya. Padahal Malaysia tahu bahwa kedua pulau tersebut merupakan
wilayah Indonesia, hal ini terbukti melalui peta zaman Belanda yang dikukuhkan
Malaysia pada tahun 1979 di mana tertera Pulau Sipadan-Ligitan merupakan bagian dari
wilayah Indonesia.
Upaya Malaysia untuk merebut Pulau Sipadan-Ligitan membuat Indonesia
semakin berusaha untuk mempertahankan kedua pulau tersebut. Indonesia berusaha
mempertahankan kawasan tersebut sebab secara historis dalam Peta zaman Penjajahan
Belanda kedua pulau tersebut masuk dalam wilayah Indonesia walaupun tidak tertera
pada peta yang menjadi lampiran Perpu No 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim
Teknis Indonesia. Indonesia beranggapan bahwa penduduk yang ada di kedua pulau
tersebut adalah penduduk Indonesia. Alasan ini tidak kuat sebab seperti yang diketahui
bahwa Indonesia dan Malaysia merupakan satu rumpun yaitu Rumpun Melayu sehingga
sangatlah susah untuk membedakan hanya dari ciri fisik dan bahasa yang dipergunakan.
Apalagi penduduk yang berada di daerah perbatasan merupakan campuran dari kedua
negara bersangkutan.
Dalam konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak bisa
dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang
dikandungnya. Negara modern selalu berupaya mencari tambahan penghasilan nasional
melalui eksplorasi sumber daya alam. Hangatnya sengketa antara Malaysia dan

70
Lihat http://www.icj-cij.org/docket/index.php?p1=3&p2=3&k=df&case=102&code=inma&p3=0
Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia).

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


49

Indonesia ini bisa dikatakan mulai memuncak pada dekade delapan puluhan ketika di
dua pulau itu dijumpai potensi pariwisata bawah air yang luar biasa bagusnya. Didorong
oleh potensi tersebut, Malaysia membangun kompleks pariwisata di Pulau Sipadan.
Menurut survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga dunia, pemandangan bawah laut yang
ada di Pulau Sipadan, konon memiliki nilai terbaik di dunia. Karena itu, Malaysia telah
berhasil meraih jutaan dolar dari sektor pariwisata di pulau itu sebelum kemudian dihentikan
sementara menyusul proses ini dibawa ke Mahkamah Internasional. Di tengah makin
berkurangnya energi minyak di seluruh dunia, potensi pariwisata menjadi rebutan sebagai
lahan penyumbang devisa nasional.
Pulau Sipadan-Ligitan menjadi arti penting sebagai obyek sengketa, karena
kedua pulau tersebut dapat dijangkau dengan menggunakan kapal hanya dengan waktu
30 menit. Kekayaan alam laut berupa biota laut dan taman laut yang sangat indah yang
ada di perairan Pulau Sipadan-Ligitan mempunyai beranekaragam spesies yang jarang
ditemukan di perairan laut di belahan bumi. Karena perairan yang terdapat di Pulau
Sipadan-Ligitan merupakan pertemuan arus dari Laut Sulawesi, sehingga banyak ikan-
ikan yang bermigrasi dan melewati di sekitar perairan di Laut Sulawesi. Pulau Sipadan-
Ligitan semenjak di klaim oleh Malaysia banyak didirikan resort-resort sebagai tujuan
wisata.
Pulau Sipadan terletak di jantung Indo-Pasifik cekungan, pusat salah satu
habitat laut terkaya di dunia. Lebih dari 3.000 spesies ikan dan ratusan spesies karang
telah diklasifikasikan dalam ekosistem ini.71 Pulau Sipadan telah dinilai oleh para
penyelam banyak dunia sebagai salah satu tujuan utama untuk menyelam di dunia.
Sering terlihat di perairan laut di sekitar Pulau Sipadan oleh para penyelam bahwa di
sekitar Pulau Sipadan terdapat penyu hijau dan penyu sisik (yang menetap dan
bersarang di Pulau Sipadan). Di Pulau Sipadan juga terdapat pula berbagai spesies
pelagis seperti pari manta, pari elang , hiu martil dan hiu paus juga mengunjungi Pulau
Sipadan.72 Pulau Sipadan sendiri menurut para peneliti kelautan (oceanografi) diduga
memiliki kekayaan alam bawah laut yang sangat indah dengan ribuan habitat penyu
71
Lihat http://www.sabah.gov.my/pd.sprn/sipadan.html.
72
Lihathttp://www.scubatravel.co.uk/topdives.html.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


50

dengan tebaran karang menjalar dari utara ke selatan dan diduga memiliki kandungan
bahan-bahan mineral, minyak dan gas bumi yang dapat dimanfaatkan dan dikelola
secara maksimal sebagai bahan bakar yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan
dapat digunakan sebagai penambah devisa negara dalam menumbuhkan perekonomian
negara.
Untuk itu, Pulau Sipadan-Ligitan menjadi arti penting bagi Indonesia maupun
Malaysia untuk diperebutkan, karena kedua pulau tersebut memiliki keistimewaan
dalam berbagai hal selain kekayaan laut yang dapat dimanfaatkan sebagai obyek
pariwisata yang dapat menumbuhkan perekonomian negara tetapi juga dapat
dimanfaatkan sebagai garis pertahanan pulau terluar bagi kedua negara dalam menjaga
kedaulatan negara dari serangan negara lain. Sehingga, antara Indonesia dan Malaysia
dalam memperjuangkan argumentasi dengan membawa bukti-bukti yang dimiliki ke
tingkat internasional harus memakan banyak biaya yang tidak sedikit. Indonesia bahkan
dalam memperjuangkan Pulau Sipadan-Ligitan untuk tetap menjadi bagian dari wilayah
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia harus mengeluarkan uang negara
sebesar 16 miliar rupiah pada waktu itu untuk membayar pengacara.73
Dalam kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sehubungan dengan terus
bertambahnya jumlah penduduk dunia serta semakin meningkatnya intensitas
pembangunan (industrialisasi), maka perebutan wilayah perbatasan dengan motif utama
penguasaan sumber daya alam baik yang terbarukan (renewable resources) maupun tak
terbarukan (non-renewable resources),74 akan semakin menggejala di masa-masa
mendatang. Terlebih-lebih perairan laut dan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan
Indonesia pada umumnya kaya akan sumber daya alam. Pulau Sipadan-Ligitan memiliki
potensi kekayaan laut yang mempunyai potensi yang banyak dimanfaatkan. Karena di
dalam laut terutama di perairan laut Pulau Sipadan-Ligitan terdapat aneka ragam
potensi, seperti ikan yang tak pernah habis, bahan tambang dan mineral, minyak dan

73
Hasil wawancara dengan Dian Triansyah Djani, MA (Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN) Kemenlu RI pada
tanggal 10 November 2011.
74
Lihathttp://www.sabah.gov.my/pd.sprn/sipadan.html.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


51

gas, energi yang ditimbulkan dari air pasang surut, tenaga ombak, tenaga angin laut,
serta tenaga panas air laut.
Jika dikaji dari aspek ekonomi, bangsa Indonesia telah mengalami kerugian
yang tidak dapat di hitung baik dari segi kerugian akan sumberdaya hayati perairan
pesisir dan laut, maupun dari segi luasan wilayah. Perubahan garis pantai yang secara
jelas mengandung makna bahwa dengan hilangnya Pulau Sipadan-Ligitan memberikan
arti penting dalam perubahan luasan wilayah teritorial kawasan laut Indonesia. Dengan
adanya kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan telah memberikan jawaban bagi negara
lain yakni betapa lemahnya Kedaulatan Negara Indonesia. Indonesia sebagai bangsa
yang besar dan yang memiliki sumber kekayaan alam laut yang begitu melimpah perlu
melakukan berbagai tindakan preventif dalam mengatasi tindakan-tindakan negara lain
yang sengaja ingin merampas akan kedaulatan negara ini selangkah demi selangkah.
Pulau Sipadan-Ligitan menyediakan sumber daya alam yang produktif untuk
dapat dikembangkan misalnya terumbu karang, padang lamun (sea grass), hutan
mangrove, perikanan dan kawasan konservasi serta menjadi faktor penting dalam
menggerakkan pariwisata bahari. Kekayaan alam tersebut dapat memungkinkan adanya
pertumbuhan ekonomi yang pesat khususnya yang bersumber dari kekayaan alam
tersebut. Kekayaan laut di Pulau Sipadan-Ligitan itulah yang menjadi sumber sengketa
antara Indonesia dan Malaysia, karena pemanfaatan kekayaan alam itu nantinya akan
dapat menumbuhkan geliat sektor pariwisata sebagai sumber perekonomian. Menurut
peneliti dari lembaga kelautan bahwa di sekitar perairan Pulau Sipadan-Ligitan
memiliki kandungan mineral, gas dan minyak bumi. Bahkan para peneliti tersebut
mengatakan bahwa kandungan minyak bumi yang berada di sekitar perairan Pulau
Sipadan-Ligitan intensitas cadangan minyak bumi hampir sama dengan cadangan
minyak bumi yang berada di Pulau Ambalat.
\Oleh karena itu, Indonesia dan Malaysia memperebutkan Pulau Sipadan-
Ligitan yang sempat mengakibatkan ketegangan hubungan bilateral di kedua negara.
Pulau Sipadan-Ligitan memang pulau yang tidak berpenduduk, tetapi memang
sebelumnya Malaysia telah membangun sebuah mercusuar di Pulau Sipadan. Malaysia
juga telah membangun berbagai resort bahkan menambah resort-resort tersebut karena

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


52

pariwisata di Pulau Sipadan semakin ramai dan Malaysia juga mendirikan cagar alam
bagi penangkaran penyu-penyu hijau yang menetaskan telurnya di Pulau Sipadan.
Keindahan pasir putih yang disuguhkan di Pulau Sipadan-Ligitan sangat menarik
wisatawan yang mengunjungi Pulau Sipadan-Ligitan. Pulau Ligitan sendiri memang
lebih sedikit kekayaan lautnya yang dapat dimanfaatkan daripada Pulau Sipadan, tetapi
Pulau Ligitan sangat cocok untuk berbagai olah raga air karena keindahan lautnya yang
jernih dan bersih serta gelombang laut yang sedikit besar dibandingkan dengan Pulau
Sipadan yang gelombang lautnya lebih kecil, sehingga banyak biota laut dan ikan-ikan laut
yang berkumpul di perairan laut di sekitar Pulau Sipadan.
Akhirnya sengketa antara Indonesia dan Malaysia tentang hak kepemilikan atas
Pulau Sipadan-Ligitan memiliki dimensi kepentingan yang luas bagi kedua negara.
Adapun kepentingan utama kedua negara adalah kepentingan atas kedaulatan teritorial
yang akhirnya didukung dengan kepentingan ekonomi. Hal ini akan terbukti jika satu
negara dapat memperoleh kedaulatan teritorialnya atas Pulau Sipadan-Ligitan, maka
negara tersebut akan memanfaatkan hak eksklusif untuk mengelola sumber-smber alam
Pulau Sipadan-Ligitan. Dalam kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan terbukti bahwa
kepentingan ekonomi begitu kuat mempengaruhi proses penyelesaian sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan bagi Indonesia dan Malaysia. Kepentingan ekonomi mempengaruhi
proses penyelesaian sengketa, karena diyakini Pulau Sipadan-Ligitan memiliki
kekayaan sumber daya laut yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dan
dipergunakan sebagai devisa negara dari sektor pariwisata. Kedua negara yang sedang
bersengketa sangat menginginkan Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ke kedaulatan wilayah
salah satu negara yang bersengketa karena nilai ekonomi yang menjadi alasannya.
Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah kedaulatan negara Indonesia
merupakan bukti nyata bahwa upaya politis yang dilaksanakan oleh Pemerintah hanya
setengah-setengah. Justru upaya hukum yang diambil dengan membawa penyelesaian
sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional (ICJ atau International
Court of Justice) dan selanjutnya hasil dari keputusan para Hakimakan ditulis ICJ.
Dengan keyakinan memiliki bukti-bukti sejarah dan argumentasi yang mendukung

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


53

permasalahan tersebut Pemerintah menempuh penyelesaian permasalahan sengketa


tersebut melalui upaya hukum, karena upaya politis gagal ditempuh Pemerintah.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


BAB 3
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEGAGALAN PEMBUATAN
KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI DAN LEPASNYA PULAU SIPADAN-
LIGITAN TAHUN 2002

Bab ini berisi tentang gambaran umum tentang faktor-faktor yang


menyebabkan kegagalan pembuatan kebijakan politik luar negeri dan lepasnya Pulau
Sipadan-Ligitan tahun 2002. Bahwa hal yang akan dibahas antara lain Kegagalan
Pemerintah Indonesia Menghasilkan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri dalam
Upaya Penyelesaian Sengketa Melalui Perundingan Bilateral, Faktor yang
Menyebabkan Kegagalan PemerintahIndonesia Membuat Formulasi Kebijakan Politik
Luar Negeri, Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Terkait Lepasnya
Pulau Sipadan-Ligitan Pada Masa Presiden Megawati Soekarnoputri, Politik Luar
Negeri Indonesia dalam Usaha Integritas Teritorial,Aktor Negara yang Menyebabkan
Kegagalan Pemerintah Indonesia Menghasilkan Formulasi Kebijakan Politik Luar
Negeri,Sikap Saling Mempengaruhi antara Menteri Luar Negeri, Menteri Koordinator
Politik dan Keamanan dengan Komisi I DPR RI dalam Penyelesaian Sengketa Pulau
Sipadan-Ligitandan Hasil Pendapat dari Aktor Negara Berkaitan dengan Kegagalan
Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri.
3.1 Kegagalan Pemerintah Indonesia Menghasilkan Formulasi Kebijakan
Politik Luar Negeri dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Melalui Perundingan
Bilateral

Pada tanggal 9-22 September 1969 adalah awal dari sengketa terhadap
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan di mana saat itu diadakan perundingan bilateral
mengenai batas landas kontinen antara Indonesia dengan Malaysia. Dalam perundingan
bilateral yang akan merumuskan batas-batas wilayah Indonesia dan Malaysia itu
ternyata Pulau Sipadan-Ligitan belum diketahui secara jelas kepemilikannya. Pada
waktu proses pelaksanaan perundingan bilateral antara Indonesia dan Malaysia belum
ditentukan negara mana yang mempunyai hak atas kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.

54 Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


55

Akhirnya pada tahap akhir perundingan bilateral yaitu pada tanggal 22 September 1969
kedua negara membuat kesepakatan bahwa Pulau Sipadan-Ligitan dinyatakan dalam
posisi status quo. Artinya bahwa Pulau Sipadan-Ligitan tidak boleh ditempati dan diduki
oleh pihak manapun baik Indonesia maupun Malaysia.
Kesepakatan pada tahun 1969 ini ternyata dilanggar oleh Malaysia. Pada tahun
1976, Direktorat Pemetaan Negara Malaysia dan Department of Lands and Surveys
Sabah memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam Peta Bumi Sabah di wilayah
hukum Samporna. Peta yang dikeluarkan pada tahun 1976 merupakan pengganti dari
Peta Bumi Sabah Sarawak yang dikeluarkan Directorat of National Mapping Malaysia
pada tahun 1972. Di dalam peta tahun 1972 tidak dicantumkan Pulau Sipadan dalam
Peta Bumi Wilayah Malaysia, tetapi peta yang dibuat pada tahun 1976 telah
memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan secara resmi ke dalam kedaulatan wilayah teritorial
Malaysia. Pihak Malaysia juga sekaligus menarik garis pangkal (base line) laut teritorial
yang ditetapkan secara sepihak di Laut Sulawesi dan Malaysia yang menghubungkan
bagian dari Pulau Sebatik dengan Pulau Sipadan-Ligitan. Kebijakan Pemerintah
Malaysia yang memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam peta nasionalnya ini masih
dilanjutkan dengan melakukan pengelolaan keindahan Pulau Sipadan-Ligitan menjadi
sebuah objek pariwisata. Sehingga dari kegiatan tersebut Pemerintah Indonesia
melakukan protes terhadap Pemerintah Malaysia, namun tidak mendapatkan tanggapan dari
Pemerintah Malaysia.
Serangkaian aksi unilateral yang dilakukan Malaysia yang melanggar
kesepakatan status quo dengan Indonesia mengenai wilayah teritorial Pulau Sipadan-
Ligitan pada tahun 1969 menjadi sebuah awal persengketaan antara Indonesia dan
Malaysia. Upaya untuk menyelesaikan persoalan mengenai status Pulau Sipadan-
Ligitan serta sekaligus untuk mengantisipasi berkembangnya konflik, maka antara
Indonesia sepakat mengambil jalan politis dengan mengadakan berbagai rangkaian
perundingan bilateral dengan Malaysia sebagai bentuk penyelesaian sengketa secara
diplomatik. Penyelesaian secara politis yaitu dengan mengadakan perundingan bilateral yang
diupayakan Indonesia merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan dalam
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


56

Karena paling sedikit ada empat cara penyelesaian permasalahan sengketa


kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan pada waktu itu, yaitu Pertama mengadakan
perundingan bilateral. Kedua, yaitu dengan status quo selama lima tahun dan baru
diadakan kembali perundingan. Ketiga, yaitu melalui Dewan Agung (High Council)
seperti yang termaktub dalam Treaty of Amity and Coorporation in Southeast Asia atau
dikenal sebagai Deklarasi Bali tahun 1976. Keempat, yaitu melalui Jasa Baik (Good
Office) Negara yang menjadi Ketua ASEAN Regional Forum (ARF Chair). Pemerintah
Indonesia mengambil langkah pertama yaitu melalui jalan politis dengan mengajak
Malaysia mengadakan perundingan bilateral dalam penyelesaian permasalahan sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan
Pulau Sipadan-Ligitan secara politis yang dilakukan oleh Indonesia melalui
perundingan bilateral telah sesuai dengan Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
berbunyi “Sengketa Internasional harus diselesaikan melalui penyelesaian
diplomatik, penyelesaian regional atau cara-cara dari penyelesaian pilihan para pihak yang
bersengketa”.

Perundingan bilateral yang dilaksanakan oleh Indonesia dengan Malaysia


dalam penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan antara lain terdiri dari:
3.1.1.Perundingan Bilateral Indonesia dengan Malaysia Tahun 1989
Perundingan bilateral antara Indonesia dan Malaysia dimulai pertama kali pada
tahun 1989. Presiden Soeharto (Indonesia) dan PM Mahathir Mohammad (Malaysia)
mengadakan sebuah pertemuan di Yogyakarta. Kedua pemimpin negara tetangga di
kawasan Asia Tenggara tersebut membahas penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau
Sipadan-Ligitan yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia. Kesepakatan di antara
kedua belah pihak ternyata tidak tercapai, bahkan Presiden Soeharto dan PM Mahathir
Mohammad mengaku kesulitan menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilikan
Pulau Sipadan-Ligitan dalam kerangka perundingan bilateral. Dalam perundingan
bilateral tersebut bahkan belum dapat mencapai kesepakatan mengenai cara
penyelesaian yang harus dilakukan.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


57

Setelah pertemuan di Yogyakarta pada tahun 1989 tidak menghasilkan


kesepakatan antara kedua belah pihak, pada bulan Juni tahun 1991 TNI Angkatan
Lautan Republik Indonesia menangkap sebuah kapal nelayan berbendera Malaysia
yang menagkap ikan di perairan dekat Pulau Sipadan-Ligitan yang sedang menjadi
obyek sengketa. Aksi penangkapan tersebut dilakukan oleh pihak Indonesia dengan
maksud untuk memperingatkan Malaysia bahwa Pulau Sipadan-Ligitan masih dalam
status quo. Di samping itu Malaysia juga mengembangkan Pulau Sipadan-Ligitan
sebagai lokasi pariwisata.75
Pada tanggal 5 Juni 1991, Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas meminta
Malaysia untuk menghentikan pembangunan tempat wisata (resort) di Pulau Sipadan-
Ligitan, karena status Pulau Sipadan-Ligitan masih bergantung pada kesepakatan
pembicaraan dalam perundingan bilateral yang masih berlangsung. Kesepakatan dalam
pembicaraan dalam perundingan bilateral tersebut bahwa Pulau Sipadan-Ligitan dalam
keadaan status quo. Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1991 diadakan pertemuan ke-16
Komite Perbatasan Bersama (GBC atau General Border Committee)Indonesia dan
Malaysia di Yogyakarta yang membahas tentang Survey dan Pemetaan Daerah
Perbatasan. Kemudian, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk tidak melakukan aktivitas
apapun di Pulau Sipadan-Ligitan sampai ada kejelasan status kepemilikan.

3.1.2.Perundingan Melalui Mekanisme JWG(Joint Working Group)

Perundingan bilateral antara Indonesia dan Malaysia pada tanggal 22 Juli 1991
di Kuala Lumpur kemudian berhasil membentukJCM (Joint Commission
Meeting)Indonesia-Malaysia atau Komisi Bersama Indonesia-Malaysia. Komisi
Bersama Indonesia-Malaysia ini kemudian membentuk sub komisi untuk mengatasi
sengketa wilayah di Pulau Sipadan-Ligitan yang disebut dengan Joint Working Group
in Sipadan and Ligitan (JWG). Dengan pembentukan komisi ini, persoalan Pulau
Sipadan-Ligitan diharapkan dapat diselesaikan dengan kerangka perundingan bilateral antara
Indonesia dan Malaysia. Pada pertemuan Komisi Perbatasan Bersama (GBC)

75
“Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan Takkan Ganggu Hubungan Indonesia-Malaysia” dalam Kompas, 30 Juni 1993
hlm .9.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


58

Indonesia-Malaysia ke-20 di Kuala Lumpur tanggal 28 Januari 1992, Indonesia dan


Malaysia menyetujui suatu kebijakan non agresi untuk menyelesaikan sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.
Perundingan diadakan lagi pada tanggal 6 Juli 1992 bertempat di Jakarta yaitu
Pertemuan Kelompok Kerja Gabungan (JWG atau Joint Working Group) tentang Pulau
Sipadan-Ligitan. Antara Indonesia dan Malaysia pada pertemuan tersebut saling
menyerahkan dokumen dan peta yang dimiliki mengenai posisi Pulau Sipadan-Ligitan.
Dokumen yang diserahkan oleh Indonesia dan Malaysia antara lain adalah Konvensi
1891, Traktat Paris 1898, Konvensi Amerika Serikat-Spanyol 1930, Konvensi Inggris-
Amerika Serikat 1930 dan Traktat antara Sultan Sulu dan Spanyol. Pada pertemuan
tersebut yang menjadi Ketua Delegasi Indonesia adalah Direktur Jenderal Politik
Departemen Luar Negeri Wiryono Sastrohandoyo dan adapun dari pihak Malaysia
dipimpin oleh Ketua Setia Usaha Malaysia (Sekjen Kemenlu Malaysia) Tan Sri Ahmad
Kamil Jaafar.76
Setelah pertemuan yang diadakan pada tanggal 6 Juli 1992 yang bertempat di
Jakarta, kemudian Deputi Perdana Menteri Malaysia Ghafar Baba mengeluarkan
pernyataan yang bernada konfrontatif pada tanggal 20 Desember 1992. Pernyataan dari
Deputi Perdana Menteri Malaysia Ghafar Baba berisi bahwa mengharapkan Indonesia
mencabut klaimnya atas kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Tetapi pernyataan Deputi
Perdana Menteri Malaysia Ghafar Baba tersebut tidak mendapatkan tanggapan apapun
dari pihak Indonesia.
Perundingan antara Indonesia dan Malaysia dilanjutkan kembali pada tanggal
5 Februari 1993. Pertemuan Komisi Bersama Indonesia-Malaysia (JCM atau Joint
Commission Meeting) bertempat di Jakarta. Di dalam kesempatan tersebut, Indonesia
dan Malaysia sepakat untuk menangguhkan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau
Sipadan-Ligitan untuk kemudian dibicarakan dalam pertemuan lanjutan kelompok kerja
bersama Indonesia-Malaysia tentang Pulau Sipadan-Ligitan. Selanjutnya pada tanggal
17 Juli 1993 Presiden Soeharto bertemu dengan Perdana Menteri Mahathir Mohammad
76
Lihat“Indonesia-Malaysia Tukar Menukar Dokumen Tentang Pulau Sipadan-Ligitan” dalamKompas, 8 Juli 1992
hlm. 6.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


59

dalam rangkaian kunjungan atas undangan Perdana Menteri Malaysia. Dalam


pertemuan tersebut bahwa kedua pemimpin negara sepakat akan segera menyelesaikan
permasalahan sengketa kepaemilikan Pulau Sipadan-Ligitan yang telah terjadi sejak
tahun 1969 dan hingga sampai saat ini belum ada titik temu penyelesaian permasalahan
sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.
Pada tanggal 26-28 Januari 1994 berlangsung pertemuan Kelompok Kerja
Gabungan (JWG atau Joint Working Group) Pulau Sipadan-Ligitan di Kuala Lumpur,
Malaysia. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Izhar Ibrahim sementara delegasi Malaysia
dipimpin oleh Budiarto Shambazy. Ketua delegasi Indonesia pada waktu itu
mengharapkan agar pertemuan Kelompok Kerja Gabungan Pulau Sipadan-Ligitan dapat
menghasilkan sebuah langkah maju dam penyelesaian sengketa secepatnya. Izhar
Ibrahim juga menegaskan perlu adanya peningkatan usaha untuk menuntaskan sengketa
antara Indonesia dan Malaysia. Untuk itu, argumen-argumen yang dikemukakan oleh
masing-masing pihak harus dibahas secara rinci. Pihak Indonesia dan Malaysia sepakat untuk
mencari bukti-bukti tambahan untuk memperkuat argumen dan posisi mereka di
perundingan selanjutnya.77
Pada tanggal 7-9 September 1994 diadakan pertemuan ke-3 JWG (Joint
Working Group) di Jakarta. Indonesia menyatakan posisinya yang kuat sebagai pemilik
sah atas Pulau Sipadan-Ligitan. Dalam perundingan bilateral tersebut Indonesia
mengajak Malaysia untuk menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilkikan Pulau
Sipadan-Ligitan ke Dewan Tinggi ASEAN sebagai mekanisme yang memadai untuk
menuntaskan sengketa tersebut. Karena Indonesia menganggap bahwa perundingan
bilateral masih diperlukan dan mekanisme penyelesaian permasalahan sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan harus melibatkan pihak ketiga. Dan pelibatan pihak
ketiga yang dimaksud menurut Indonesia sebaiknya melalui Dewan Agung ASEAN
atau ASEAN High Council. Dewan Agung ASEAN atau ASEAN High Council
merupakan sebuah lembaga yang didirikan untuk menyelesaikan konflik antar angota

77
Lihat “Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan Agar Lebih Cepat Selesai” dalam Kompas, 27 Januari 1994,
hlml. 4 dan “Pulau Sipadan-Ligitan Dibahas Bulan Mei di Indonesia” dalam Kompas, 29 Januari 1994
hlm. 9.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


60

negara-negara ASEAN. Dan pada pertemuan ke-3 Kelompok Kerja Bersama (JWG atau
Joint Working Group) di Jakarta ini tidak membuahkan kesepakatan bersama. Akhirnya
kedua delegasi akan melaporkan hasil pertemuan tersebut kepada Menteri Luar Negeri
masing-masing negara melalui JCM atau Joint Commission Meeting.

3.1.3.Perundingan Indonesia dan Malaysia Tahun 1995


Pada tanggal 13 Februari 1995, Malaysia menyelidiki laporan bahwa Indonesia
telah memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah kedaulatan Indonesia di
peta nasionalnya. Untuk meredam situasi yang mengarah kepada ketegangan antara
Indonesia dengan Malaysia, maka pada tanggal 22 Februari 1995 Menteri Luar Negeri
Malaysia Abdullah Badawi mendesak diselenggarakannya perundingan bilateral
lanjutan antara Indonesia dan Malaysia. Oleh karena itu, Pemerintah Malaysia
mengusulkan untuk melaksanakan perundingan bilateral tingkat tinggi dengan
Pemerintah Indonesia. Permintaan Pemerintah Malaysia untuk dilaksanakan
perundingan bilateral tingkat tinggi tersebut dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia.
Pada tanggal 6-9 Juni 1995 diadakan Pertemuan Komisi Bersama
IndonesiaMalaysia bertempat di Jakarta. Indonesia dan Malaysia sepakat segera
menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan secara bilateral
dengan jalur konsultasi informal yang bersifat politis di tingkat Menteri. Indonesia dan
Malaysia juga sepakat menunjuk wakil khusus, untuk Indonesia diwakili oleh Menteri
Sekretaris Negara Moerdiono dan Malaysia diwakili oleh Wakil Perdana Menteri Anwar
Ibrahim. Wakil khusus yang ditunjuk oleh kedua negara tersebut akhirnya mengadakan 4
(empat) pertemuan perundingan bilateral yaitu pada tanggal 17 Juli 1995 bertempat di
Jakarta, 22 September 1995 bertempat di Kuala Lumpur, 26 September 1995
bertempat di Jakarta, dan 21 Juni 1996 bertempat di Kuala Lumpur.
Pertemuan wakil khusus yang diadakan pada tanggal 17 Juli 1995 bertempat di
Jakarta membahas dan mempelajari serta mengevaluasi hasil perundingan bilateral yang
telah dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam rangka Komisi Kerja Bersama
(JWG atau Joint Working Group). Berdasarkan pertemuan tersebut, kedua wakil khusus
menyatakan bahwa dokumen-dokumen dan argumentasi-argumentasi baik dari pihak

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


61

Indonesia maupun dari pihak Malaysia yang disampaikan dalam perundingan-


perundingan bilateral terdahulu ternyata tidak dapat menyelesaikan permasalahan
sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Akhirnya kedua wakil khusus tersebut
menegaskan perlu diadakannya perundingan bilateral lanjutan untuk mencari solusi atas
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dengan mempertimbangkan
suasana bersahabat antara Indonesia dan Malaysia sebagai negara yang bertetangga.
Pertemuan kedua wakil khusus diadakan kembali pada tanggal 22 September
1995 bertempat di Kuala Lumpur. Pertemuan tersebut diadakan dalam 3 tahap
perundingan bilateral, yaitu 2 tahap perundingan pribadi dan 1 tahap perundingan yang
melibatkan senior officials dari Indonesia dan Malaysia yang menyampaikan verbal
presentation dan counter-arguments.78 Setelah penyampaian verbal presentation dan
counter-arguments, kemudian kedua wakil khusus menyatakan bahwa
argumentasiargumentasi yang disampaikan tidak jauh berbeda dengan
argumentasi-argumentasi pada perundingan-perundingan bilateral yang terdahulu,
sehingga tidak ada arguments dan counter-arguments yang baru. Kedua wakil khusus
tersebut menyadari bahwa permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan sulit
untuk diselesaikan karena pihak-pihak yang bersengketa merasa mempunyai atau memiliki
bukti-bukti yang kuat yang terus dipertahankan.
Pertemuan wakil khusus yang diselenggarakan kembali pada tanggal
26 September 1995 bertempat di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, kedua wakil
khusus kedua negara mencari penyelesaian yang tepat. Akhirnya kedua wakil khusus
kedua negara menyepakati bahwa penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan
Pulau Sipadan-Ligitan adalah melalui hukum internasional. Langkah tersebut diambil
karena menurut kedua wakil khusus bahwa melalui jalur hukum internasional akan
mendorong negara-negara lain yang terlibat permasalahan sengketa akan menyelesaikan
sengketa secara bilateral. Dari langkah yang telah disepakati tersebut, maka Indonesia

78
Lihat “Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan”, diperoleh dari http://www.dephan.go.id. [Diakses pada hari
Selasa tanggal 26 April 2011].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


62

mau tidak mau harus mengikuti kesepakatan penyelesaian permasalahan sengketa


kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui jalur hukum internasional dengan
melibatkan pihak ketiga yaitu Mahkamah Internasional. Untuk itu Indonesia harus
menerima konsekuensi tersebut, karena dari hasil keputusan Mahkamah Internasional
nantinya hasilnya tidak akan dapat mendukung dalam proses perumusan kebijakan
politik internasional.

3.1.4. Perundingan Tingkat Tinggi antara Kepala Negara

Sebagai tindak lanjut dari pertemuan antara wakil khusus kedua negara
tersebut, maka pada tanggal 7 Oktober 1996 Presiden Soeharto (Indonesia) dan Perdana
Menteri Mahathir Mohammad (Malaysia) setuju menyelesaikan permasalahan sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui Mahkamah Internasional. Sementara itu
Pemerintah Malaysia sejak tanggal 19 Oktober 1996 memutuskan untuk menghentikan
proyek-proyek di Pulau Sipadan-Ligitan. Selanjutnya pada tanggal 13 Desember 1996
antara Indonesia dan Malaysia sepakat untuk membentuk sebuah tim tingkat pejabat
tinggi guna memformulasikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau SipadanLigitan
yang sebenarnya untuk dibawa ke Mahkamah Internasional.
Pada tanggal 31 Mei 1997 bertempat di Kuala Lumpur, Indonesia dan Malaysia
resmi memulai proses penentuan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan dengan
menyerahkan permasalahan sengketa kepada Mahkamah Internasional. Kemudian,
Indonesia dan Malaysia menandatangani “Special Agreement for the Submission the
International Court of Justice on the Dispute between Indonesian and Malaysia
concerning the Sovereignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan.79 Indonesia dan
Malaysia saling tukar menukar naskah Piagam Ratifikasi Persetujuan Khusus bagi
penyempurnaan ke Mahkamah Internasional pada tanggal 14 Mei 1998. Proses
pertukaran instrumen ratifikasi ditandatangani oleh Direktur Jenderal Politik
Departemen Luar Negeri Indonesia Nugroho Wisnumurti dan Duta Besar Malaysia
untuk Indonesia Dato‟ Zainal Abidin bin Alias. Akhirnya pada tanggal 2 November

79
Lihat “Kesepakatan Soeharto-Mahathir bawa Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional”, diperoleh dari
http://www.hamline.edu.[Diakses pada hari Senin, 25 April 2011].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


63

1998 Indonesia dan Malaysia menyampaikan Notifikasi Bersama mengenai Pengajuan


Sengketa Kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional. Dengan
langkah yang telah disepakati yaitu menyerahkan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau
Sipadan-Ligitan, maka Indonesia tidak dapat melanjutkan langkah politisnya yaitu melalui
perundingan bilateral agar dapat mendapatkan hasil yang akan digunakan dalam proses
perumusan kebijakan politik luar negeri.
Permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan berlanjut pada masa
pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan mengutus Menlu Hasan
Wirajuda dan Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono pada saat itu. Sebagai kepala
negara, Presiden Megawati Soekarnoputri bertanggungjawab atas segala kebijakan
politiknya yang berdampak pada politik dalam negeri dan luar negeri. Peran Presiden
Megawati Soekarnoputri dalam penyelesaian sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sebagai
pengambil kebijakan politik untuk menentukan arah Pada masa pemerintahan Presiden
Megawati Soekarnoputri bukannya tidak melakukan langkah-langkah nyata dalam
proses penyelesaian sengketa Pula Sipadan-Ligitan. Perundingan diplomasi dengan
Malaysia yang dilakukan oleh Menlu Hasan Wirajuda dan Menkopolkam Susilo
Bambang Yudhoyono telah dilaksanakan dengan optimal tetapi tidak mendapatkan hasil
yang diharapkan oleh Pemerintah. Pemerintah berharap dari setiap perundingan yang
dilaksanakan dengan Malaysia dapat menghasilkan keputusan yang dapat digunakan
sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan politik luar negeri.
Peran Menlu Hasan Wirajuda adalah sebagai ketua delegasi dalam perundingan
diplomasi dengan Malaysia telah melaksanakan tugas sesuai arah diplomasi dan misi
yang dibawa oleh pemerintah Indonesia. Menlu Hasan Wirajuda dalam setiap
perundingan diplomasi mengajak Malaysia untuk menyelesaikan sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan ke tingkat regional dengan cukup membawa permasalahan sengketa
tersebut ke Dewan Agung ASEAN atau ASEAN High Council. Dikatakan demikian,
karena Indonesia dan Malaysia merupakan bagian dari negara ASEAN dan merupakan
negara penggagas berdirinya ASEAN, sehingga tidak perlu permasalahan sengketa

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


64

tersebut dibawa ke Mahkamah Internasional. 80Menlu Hasan Wirajuda hanya bertugas


melanjutkan perundingan secara diplomasi agar dapat membujuk Malaysia untuk tidak
meneruskan permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional.
Sedangkan peran Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono dalam proses
diplomasi adalah sebagai mediator politik dalam kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.
Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono mempunyai tugas menjembatani proses
diplomasi dengan Malaysia untuk langkah-langkah secara politik yang harus diambil
supaya penyelesaian sengketa diselesaikan pada tingkat ASEAN. Bukan hal yang
mudah untuk membujuk Malaysia agar tetap melaksanakan perundingan secara
diplomasi meskipun hasil yang dicapai mengalami kebuntuan, karena setiap hasil
perundingan tersebut sangat berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan politik luar
negeri oleh Pemerintah. Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono terus mencari
solusi untuk membujuk wakil delegasi Malaysia untuk menyelesaikan permasalahan
sengketa Pulau Sipadan-Ligitan cukup di tingkat ASEAN melalui Dewan Agung
ASEAN atau ASEAN High Council.

3.2 Faktor Yang Menyebabkan Kegagalan PemerintahIndonesia Membuat


Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri
Penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan yang
diambil oleh Pemerintah Indonesia dengan jalan membawa persoalan sengketa ke
Mahkamah Internasional dipandang merupakan langkah yang salah. Indonesia melalui
wakil khususnya memberanikan diri untuk memutuskan bahwa dalam menyelesaikan
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melului pihak ketiga tetapi
ditempuh lewat jalur hukum internasional dan membawa persoalan sengketa tersebut ke
Mahkamah Internasional. Wakil khusus dari Indonesia dengan berbagai pertimbangan
bahwa telah cukup dengan adanya bukti-bukti yang dimiliki Indonesia maka apabila
diselesaikan melalui jalur hukum internasional akan diperoleh hasil yang diharapkan,
karena menurut wakil khusus Indonesia penyelesaian permasalahan sengketa

80
Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat
seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di Gedung Kemlu RI).

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


65

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui upaya politis yaitu dengan cara perundingan
bilateral telah mengalami kebuntuan. Sehingga hasil yang diharapkan Indonesia dari
perundingan bilateral yang akan dijadikan dasar dalam proses perumusan kebijakan
politik luar negeri selalu mengalami kegagalan.
Upaya politis Indonesia melalui perundingan bilateral gagal diupayakan,
karena dengan sikap yang optimis wakil khusus lebih mempercayakan penyelesaian
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur hukum
internasional. Apabila diperjuangkan dengan sungguh-sungguh tanpa harus membawa
bukti-bukti sejarah, Indonesia bisa terus melanjutkan upaya politisnya melalui Dewan
Agung ASEAN atau ASEAN High Council.81 Indonesia melalui wakil khusus
seharusnya mampu mengajak Malaysia untuk lebih mengutamakan membawa
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan apabila dalam
berdiplomasi lebih profesional. Karena Indonesia merupakan penggagas berdirinya
ASEAN, sehingga dengan kekuatan politiknya dapat mempengaruhi anggota
negaranegara ASEAN lainnya untuk membantu dalam penyelesaian permasalahan
sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dan pada saat itu pula Malaysia juga
sedang berkonflik dengan Filipina yaitu mengenai perbatasan.
Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan PemerintahIndonesia membuat
formulasi kebijakan politik luar negeri antara lain terdiri dari:

3.2.1 Faktor Masyarakat yang Tinggal di Daerah Perbatasan


Masalah batas negara merupakan masalah politis dan kompleks, di mana
perubahan batas negara terkadang terjadi setiap saat yang diakibatkan karena masalah
fenomena alam. Masalah yang berkaitan dengan fenomena alam misalnya tsunami,
kenaikan permukaan laut, abrasi dan reklamasi pantai, serta masalah aktivitas manusia
yang dapat menyebabkan terjadinya Perubahan Garis Pangkal. Permasalahan lain adalah
pergeseran dalam struktur dan tata kehidupan politik, bisa terjadi akibat perang,

81
Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada
hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


66

persetujuan-persetujuan baru ataupun penggabungan wilayah. Faktor penduduk di


daerah perbatasan juga sangat penting untuk dibina. Karena ditemukan bahwa dalam
kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sebelum diperebutkan antara Indonesia dan
Malaysia, bahwa penduduk Pulau Sipadan-Ligitan telah banyak yang memiliki Kartu
Tanda Penduduk Malaysia, sehingga kedudukannya menguatkan bagi Malaysia padahal
Pulau Sipadan-Ligitan masih dalam sengketa.82
Untuk memperkuat penduduk di perbatasan dalam hal ini penduduk di Pulau
Sipadan-Ligitan, seharusnya Pemerintah Indonesia memberikan fasilitas-fasilitas untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat atau penduduk di Pulau Sipadan-
Ligitan. Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus mengusahakan agar perekonomian
masyarakat atau penduduk di Pulau Sipadan-Ligitan lebih sejahtera dibandingkan
dengan perekonomian Malaysia. Biasanya patok atau pagar perbatasan dapat saja
berpindah tempat karena dipindahkan oleh penduduknya sendiri yang merasa
kehidupannya tidak diperhatikan oleh negaranya atau dalam hal ini Pemerintah pusat.
Artinya, karena di wilayah negara tetangganya lebih makmur dan diperhatikan
kesejahteraannya, sehingga kemakmuran tersebut ternyata hanya dibatasi oleh garis
pembatas negara.
Faktor masyarakat juga menjadi salah satu penyebab Indonesia kehilangan
wilayah kedaulatan, yaitu lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan. Pemerintah Indonesia
mengakui sangat kesulitan dalam mendata penduduk yang tinggal di pulau-pulau yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke karena penduduknya yang tinggal menyebar.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia mengalami hambatan dalam upaya perundingan
bilateral salah satunya dengan adanya penduduk yang telah mempunyai kartu tanda
penduduk Malaysia secara otomatis penduduk tersebut telah menjadi warga negara
Malaysia.83 Hambatan tersebut diakui oleh Pemerintah Indonesia karena tidak adanya
perhatian dari Pemerintah pusat akan tingkat kesejahteraan ekonomi, sehingga
penduduk sekitar Pulau Sipadan-Ligitan lebih baik meninggalkan kewarganegaraan
82
Wawancara dengan Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo pada hari ,
Senin, 10 Desember 2012.
83
Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat
seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di Gedung Kemlu RI).

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


67

demi memperbaiki kualitas hidupnya. Upaya tersebut merupakan usaha politik ekonomi
yang sengaja dilakukan Malaysia untuk memberikan kesempatan kepada penduduk yang
berada di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan.84
Pemerintah Indonesia sebenarnya berupaya untuk memberikan kesejahteraan
ekonomi dan kehidupan yang layak bagi penduduk di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan
dengan cara memberi alokasi dana melalui Pemerintah daerah setempat tetapi kurang
optimal. Upaya politik lain Pemerintah Indonesia selain melalui perundingan bilateral
dengan upaya mengajak penduduk di sekitar wilayah Pulau Sipadan-Ligitan untuk
kembali ke wilayah Indonesia melalui pemahaman wawasan nusantara. Faktor
masyarakat merupakan salah satu penyebab kegagalan Pemerintah Indonesia dalam
proses perumusan pembuatan kebijakan politik luar negeri, karena PemerintahIndonesia
tidak mendapatkan dukungan politik dari penduduk di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan
mengenai persoalan penyelesaian permasalahan sengketa yang melibatkan Malaysia.85
Hal lain penyebab masyarakat tidak memberikan atas proses politik Pemerintah
Indonesia, karena penduduk di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan kecewa atas ketidakadilan
pemerataan pembangunan dan kesejahteraan perekonomian yang diberikan Pemerintah
pusat.Kurangnya rasa kesadaran bangsa Indonesia terhadap negaranya sebagai negara
kepulauan yang berciri nusantara. Belum tumbuh dan berkembangnya pemahaman dan
rasa bangga terhadap realita “Indonesia sebagai Negara Kepulauan” juga menjadi faktor
utama penyebab masyarakat kurang mendukung Pemerintah dalam pembuatan
perumusan kebijakan politik luar negeri.
Penduduk yang tinggal di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan merasa telah diberikan
kesejahteraan ekonomi oleh Pemerintah Malaysia, sehingga enggan untuk kembali
menjadi warga negara Indonesia. Upaya Malaysia menurut Pemerintah Indonesia
merupakan upaya politik ekonomi guna memberikan pengaruhnya kepada penduduk di
sekitar Pulau Sipadan-Ligitan yang masih menjadi obyek sengketa antara Indonesia dan

84
Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada hari
Kamis, 13 Desember 2012.
85
Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember
2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


68

Malaysia. Fungsi kesejahteraan dan kemakmuran terletak pada negara, untuk mencapai
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat diperlukan campur tangan dan peran aktif dari
negara. Jadi, faktor masyarakat juga mempengaruhi dalam proses perumusan
pembuatan kebijakan politik luar negeri, karena masyarakat dibutuhkan guna
mendapatkan masukan dan saran yang dapat dijadikan pertimbangan bagi
Pemerintahdalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri.
Pertimbanganpertimbangan dari masyarakat juga sebagai bentuk kepedulian terhadap
keutuhan wilayah negara Indonesia. Di samping itu, peran aktif masyarakat
khususnya masyarakat atau penduduk di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan sangat
dibutuhkan karena masyarakat atau penduduk tersebut yang mempunyai informasi
tentang aktivitasaktivitas yang dilakukan Pemerintah Malaysia dalam berbagai hal
menyangkut proses penyelesaian permasalahan sengketa.
Faktor masyarakat merupakan dukungan bagi suatu proses perumusan
kebijakan politik luar negeri, karena kurangnya dukungan suara dan peran aktif dari
masyarakat akan mendapatkan hasil yang kurang maksimal dalam proses perumusan
kebijakan politik luar negeri. Dibutuhkan suatu desakan dari Pemerintah Indonesia
untuk memobilisir seluruh sumber daya yang ada dalam masyarakat untuk membantu
mendukung proses perundingan bilateral atau diplomasi internasional Indonesia dalam
mengatasi persoalan permaslahan sengketa wilayah kedaulatan. Hal tersebut diperlukan,
karena tantangan politik luar negeri Indonesia sebagai negara kepulauan semakin keras,
belum lagi perubahan-perubahan permasalahan di dunia internasional yang begitu
mendadak dan sulit untuk segera dilakukan antisipasi.
3.2.2 Faktor Internal dan Politik Luar Negeri Indonesia
Kembalinya minat atau keinginan untuk memainkan peranan internasional
yang lebih efektif dalam menyikapi penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan
Pulau Sipadan-Ligitan hendaknya harus diimbangi dengan upaya secara politis dengan
sungguh-sungguh. Politik luar negeri tidak hanya dapat dijalankan berdasarkan
keinginan para elit negara sebagai pembuat keputusan (Pemerintah) dan pelaksana
kebijakan (diplomat). Di samping pentingnya memperhitungkan konteks strategis di

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


69

lingkungan internasional yang telah banyak berubah sejak dirumuskannya politik luar
negeri bebas aktif pada tahun 1948, Indonesia juga harus memperhitungkan keadaan
dan perubahan-perubahan dalam konteks domestik. Keinginan-keinginan di bidang
politik luar negeri harus selalu disesuaikan dengan kapasitas, kepentingan dan keadaan
di dalam negeri. Dengan kata lain, dibutuhkan suatu desain politik luar negeri yang
baru, yang tidak lagi terpenjara dalam romantisme masa lalu atau bukti-bukti sejarah,
namun lebih mencerminkan kebutuhan masa sekarang dan masa depan.
Faktor-faktor internal mempengaruhi proses perumusan kebijakan politik luar
negeri dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, sehingga
menyebabkan suatu kegagalan:86Pertama, politik luar negeri yang dijalankan oleh
Pemerintah selama perundingan belum sepenuhnya diabdikan untuk kepentingan
nasional. Hal demikian terjadi, karena Pemerintah belum menjamin hak dan kebutuhan
masyarakat atau penduduk di sekitar wilayah Pulau Sipadan-Ligitan untuk memperoleh
kehidupan yang layak sebagai tujuan inti nasional yang harus dipenuhi. Kedua, opini
dari masyarakat atau publik dalam proses perumusan kebijakan kurang mendapatkan
respon atau tanggapan dari Pemerintah, terutama pada masa Pemerintahan Orde Baru.
Politik luar negeri tidak dapat lagi dianggap sebagai ranah (domain) eksklusif para elit
negara sebagai pembuat kebijakan. Sebagai negara demokrasi, politik luar negeri
Indonesia harus mencerminkan aspirasi publik atau masyarakat secara luas. Namun
terkadang opini publik atau masyarakat tidak selalu rasional dan ada kalanya dapat
menjadi kontraproduktif bagi kepentingan nasional sehingga perlu untuk dikaji ulang.
Ketiga, berubahnya struktur pengambilan keputusan di mana Pemerintah bukan
lagi merupakan satu-satunya aktor dalam sebuah perundingan bilateral untuk
memperoleh hasil sebagai dasar proses perumusan kebijakan politik. Seiring dengan
terkonsolidasinya demokrasi, maka peran masyarakat warga (civil society) akan
semakin penting. Dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau
Sipadan-Ligitan peran masyarakat untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan
politik sama sekali tidak ada. Dunia semakin ditandai oleh kecenderungan koalisi dan

86
Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


70

interaksi yang semakin intensif yang bersifat lintas batas negara (transnational) di
antara organisasi-organisasi masyarakat warga. Oleh karena itu, keikutsertaan
masyarakat warga dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri merupakan suatu
keniscayaan apabila Pemerintah menginginkan adanya politik luar negeri yang legitimate
serta didukung secara luas oleh konstituen di dalam negeri.
Faktor lain yang menyebabkan Pemerintah Indonesia dinilai gagal
merumuskan kebijakan politik luar negeri antara lain:87

1. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap isu tapal batas (border).


2. Kurang fokusnya Pemerintah dalam mengakomodasikan aspek geopolitik dalam
menentukan kepentingan pertahanan.
3. Kurang akuratnya analisis Pemerintah terhadap perkembangan negara-negara
major power di kawasan regional.
4. Belum optimal dan seriusnya pemerintah dalam memperhatikan karakteristik
geografi/wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia guna mengakomodasikan
geopolitik berkaitan dengan pembangunan.

3.2.3 Faktor Aktor Negara Sebagai Pembuat Kebijakan Politik


Aktor negara sebagai pembuat kebijakan politik merupakan elemen paling
utama bagi kepentingan nasional. Sebagai aktor negara (Pemerintah) seharusnya
mengikutsertakan peran masyarakat warga untuk ikut aktif dalam mengikuti
perkembangan dan situasi politik di dalam negeri maupun luar negeri melalui opini
publik. Kepemimpinan sebagai aktor negara diperlukan dalam mengeluarkan sebuah
kebijakan politik. Di mana kebijakan politik luar negeri dapat digunakan sebagai alat
untuk menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim autoritarian yang digantikannya.
Di Indonesia telah mengalami pergantian rezim atau masa Pemerintahan, dari Orde
Lama menjadi Orde Baru dan sampai saat ini masa Reformasi. Masa transisi masing -
masing Pemerintahan memiliki catatan-catatan politik luar negeri yang berbeda-beda.

87
Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada
hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


71

Permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan telah muncul sejak tahun


1967 pada masa Pemerintahan Orde Baru (Presiden Soeharto) sampai dengan masa
Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Dalam kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan jelas bahwa peran kebijakan
politik Pemerintah Indonesia tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan
kebijakan politik Indonesia yang telah disusun oleh para pemimpin bangsa pendahulu.
Pada saat kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari kesalahan
Pemerintah pada era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil
Presiden Hamzah Haz dalam melaksanakan perumusan kebijakan politik pada saat itu.
Dalam perannya sebagai perumus kebijakan politik, Presiden Megawati Soekarnoputri
juga dibantu oleh kedua Menteri yang duduk pada masa Pemerintahannya. Kedua
Menteri tersebut adalah Menteri Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Luar
Negeri Hasan Wirajuda. Kedua Menteri tersebut memiliki peranan penting bagi
Presiden Megawati Soekarnoputri sebelum mengeluarkan kebijakan politik. Peran
penting juga tidak terlepas dari lembaga legislatif, karena lembaga legislatif dalam hal
ini DPR yang berperan dalam perumusan kebijakan politik sebelum dikeluarkan oleh
Pemerintah yang menyangkut kepentingan negara. Pemerintah merupakan pengambil
keputusan kebijakan politik untuk kepentingan negara, sehingga kesalahan sekecil
apapun akan membuat pengaruh besar kepada sistem politik dalam negeri dan luar
negeri Indonesia. Karena sistem politik domestik yang sedang berjalan akan secara
otomatis mempengaruhi sistem politik luar negeri.
Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tersebut ke Malaysia merupakan pelajaran
bagi Pemerintah agar dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Sebenarnya Indonesia masih bisa membicarakan masalah tersebut dengan
Malaysia dengan menganggap masalah teritorial adalah persoalan politik bukan hanya
persoalan hukum.88 Masalah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas kebijakan
politik pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan Presiden
Megawati Soekarnoputri. Sumber dari permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan

88
Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember
2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


72

adalah kesalahan kebijakan politik pada era Pemerintahan Presiden Soeharto yang
hanya mempersoalkan wilayah negara dari segi hukum saja sehingga mencari solusi ke
Mahkamah Internasional. Wilayah kedaulatan negara merupakan suatu permasalahan
politik, karena sangat erat dengan suatu perumusan kebijakan politik yang nantinya
akan dijadikan sebagai pedoman oleh Pemerintah dalam menentukan arah kebijakan
politiknya dalam membawa negara Indonesia ke arah yang lebih baik dan mempunyai
kedudukan yang dihormati di dunia internasional. Karena kebijakan yang menyangkut
teritorial suatu negara perlu adanya ketegasan kebijakan Pemerintah agar wilayah
negaranya aman dari ancaman gangguan permasalahan perbatasan darat maupun laut
dengan negara lain.Lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke tangan Malaysia
adalah kegagalan Pemerintah dalam mempertahankan wilayah Republik Indonesia,
bahwa ini adalah persoalan lama sejak tahun 1997 dan proses hukumnya pun
merupakan kemauan bersama antara Indonesia dan Malaysia.89
Apabila ditelusuri lebih lanjut mengenai lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia justru dari peran aktor-aktor politik baik
sebagai eksekutif maupun legislatif. 90 Peran aktor-aktor politik dalam lepasnya Pulau
Sipadan-Ligitan tidak berjalan dengan baik dan sinergi, karena saling menyalahkan
setelah Indonesia mengalami kekalahan dalam sidang di Mahkamah Internasional yang
menyebabkan akhirnya Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ke dalam bagian dari wilayah
Malaysia. Karena sejak masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan
Presiden Megawati Soekarnoputri, persoalan Pulau Sipadan-Ligitan hanya dipandang
sebagai permasalahan hukum dan pada kenyataannya Indonesia tidak mempunyai cukup
bukti yang dihadirkan selama proses yang panjang selama persidangan di Mahkamah
Internasional.91 Karena dalam membawa permasalahan hukum ke Mahkamah
Internasional, maka seharusnya Indonesia harus banyak meratifikasi dasar-dasar hukum
yang akan dijadikan sebagai alat bukti kepada Hakim agar dapat dipercaya dan dapat
89
Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat
seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di Gedung Kemlu RI).
90
Ganewati Wuryandari , Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI
dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2008, hlm. 45.
91
Lihat “Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan”, diperoleh dari http://www.dephan.go.id. [Diakses pada hari
Selasa tanggal 26 April 2011].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


73

dijadikan bahan pertimbangan oleh Hakim dalam masa persidangan masalah sengketa yang
melibatkan kedua negara dalam memperebutkan Pulau Sipadan-Ligitan.
Yang harus dilakukan oleh para aktor-aktor politik adalah melihat
permasalahan sengketa perbatasan wilayah dari segi politik bukan dari segi hukum.
Karena permasalahannya menyangkut teritorial suatu negara, di mana peran Pemerintah
sangat penting dalam mengeluarkan suatu kebijakan politiknya yang tegas tetapi tetap
menjaga kaidah politik sesuai dengan Piagam ASEAN yang telah disepakati oleh
anggota-anggota negara ASEAN. Sebelum kebijakan politik dikeluarkan oleh
Pemerintah, antara Pemerintah dan DPR RI, dalam hal ini khususnya Komisi I DPR RI,
telah mengadakan rapat dengar pendapat sebagai tempat untuk berkonsultasi sebelum
perumusan kebijakan politik yang disodorkan oleh Pemerintah pada waktu itu mendapat
persetujuan dari DPR RI.92 Dari masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga pada saat
lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri, antara Pemerintah dan DPR RI sendiri tetap hanya memandang
permasalahan Pulau Sipadan-Ligitan tersebut dari segi hukum saja.Dari permasalahan
tersebut jelas bahwa antara Pemerintah dan DPR RI tidak mempunyai konsep dalam
perumusan kebijakan politik, karena kedua lembaga yang berisi aktor-aktor politik
tersebut tidak mampu membuat suatu keputusan kebijakan politik sebagai arah bagi negara
yang mempunyai luas wilayah kepulauan sangat besar.93
Permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan setelah pemerintahan Orde Baru
telah diupayakan untuk dibicarakan atau diselesaikan kembali melalui jalan diplomasi
tetapi seringkali mengalami kebuntuan. Malaysia tetap ingin kasus sengketa tersebut
diselesaikan di Mahkamah Internasional. Permasalahan yang ada karena pada bahwa
masa pemerintahan Orde Baru menginginkan sengketa tersebut dibawa ke Mahkamah
Internasional dengan membawa bukti-bukti dan dokumentasi yang dirasa cukup dan
beberapa prinsip yang berlaku di Mahkamah Internasional salah satunya adalah

92
Ganewati Wuryandari , Op. Cit., hlm. 197.
93
Lihat “Kasus Sipadan-Ligitan”. Dalam http://www.metronews.com oleh Aspiannor Masrie. Diakses
tanggal 29 April 2011.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


74

sengketa yang masuk harus dengan persetujuan pihak-pihak yang bersengketa.94


Presiden Megawati Soekarnoputri juga telah meminta Malaysia untuk bersama -sama
mencabut gugatan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan tetapi Malaysia menolak.
Suatu negara yang mempunyai luas wilayah kepulauan yang sangat besar dan
memiliki beribu-ribu pulau merupakan suatu ancaman besar dalam permasalahan
perbatasan baik di darat maupun di laut. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu
lebih fokus terhadap ancaman-ancaman tersebut oleh negara lain terutama aktor-aktor
politik yang menduduki lembaga eksekutif maupun legislatif. 95 Jangan sampai antara
Pemerintah dan DPR RI saling bermanuver saling menyalahkan dan saling menyerang
atas keputusan politik yang telah dikeluarkan dan hasilnya membuat kerugian yang
besar bagi kepentingan negara dan rakyatlah yang sangat kecewa dengan apa yang telah
dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI.96 Karena rakyat telah memberikan mandat dan
kepercayaan penuh kepada kedua lembaga tersebut dalam pengambilan kebijakan
politik yang akan membawa negara Indonesia menjadi negara yang mempunyai
integritas politik yang tegas dan terarah, sehingga menjadikan negara lain menghormati
kebijakan politik Indonesia. Hal tersebut sangat berbeda dengan yang ditunjukkan oleh
Presiden Soekarno dalam kebijakan politik pada saat pengambilan kebijakan politik
mengenai wilayah Irian Barat dan menjadikan Irian Barat sebagai wilayah Negara
Kesatuan Rebublik Indonesia. Kebijakan politik yang diambil Presiden Soekarno pada
waktu itu juga tidak terlepas dari peran legislatif yang sangat mendukung langkahlangkah
yang diambil Pemerintah terutama kebijakan politik.97 Karena ketegasan kebijakan
politik Pemerintah mencerminkan keberhasilan politik dalam negeri sehingga sistem politik
luar negeri juga berpengaruh.
Permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari peran dan
hubungan yang sinergis antara lembaga eksekutif dan legislatif yang seharusnya satu
sama lain harus mendukung dan bukan saling menyalahkan setelah keputusan kebijakan
94
Wawancara dengan Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo pada hari ,
Senin, 10 Desember 2012.
95
Ibid, Op.cit.
96
Ganewati Wuryandari , Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI
dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2008, hal. 45.
97
Mohammad Hatta, Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta:Tintamas, 1953, hlm. 78.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


75

politik tersebut diambil.98 Para aktor-aktor politik yang berada di dalam kedua lembaga
tersebut seharusnya menyikapi permasalahan yang berhubungan dengan teritorial
negara bukan pada cermin hukum, tetapi harus bercermin pada politik. Permasalahan
perbatasan sendiri menyangkut pada suatu kedaulatan negara yang seharusnya tidak
dapat diganggu gugat dan diusik oleh negara manapun, karena permasalahan perbatasan
sangat rentan dengan konflik dan berujung pada suatu peperangan antar kedua negara
yang sedang bersengketa.99 Karena suatu kebijakan politik diambil merupakan sebuah
keputusan yang memberikan arah kepada negara tersebut akan suatu integritas dan
kedaulatan suatu wilayah. Apabila kebijakan politik yang dikeluarkan Pemerintah
dinilai oleh Malaysia sangat tegas, maka tidak akan mugkin Malaysia berani membawa
permasalahan sengketa wilayah Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional.100
Kebijakan politik yang dikeluarkan Pemerintah seharusnya merupakan harga mati
sebagai bangsa yang besar dengan wilayah kepulauan yang sangat luas, karena apabila
kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Pemerintah tidak diindahkan oleh negara lawan
dalam permasalahan perbatasan maka jalan terakhir adalah peperangan.
3.3 Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Terkait Lepasnya
Pulau Sipadan-Ligitan Pada Masa Pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri

Situasi ketidakpastian yang melingkupi proses transisi politik sebetulnya


membuat sebuah negara yang sedang menjalani demokratisasi sangat mudah
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Pengaruh internasional dari sebuah proses
demokratisasi dapat terjadi dalam beberapa bentuk, misalnya: contagion, control,
consent dan conditionality. Contagion terjadi ketika demokratisasi di sebuah negara
mendorong gelombang demokratisasi di negara lain. Mekanisme control terjadi ketika
sebuah pihak di luar negara berusaha menerapkan demokrasi di negara tersebut.
98
Pandangan Morgenthau mengenai konsep ini dapat ditemukan dalam Theodore A. Columbis dan James
H. Wolve, Introduction to International Relations, Power and Justice, New Jarsey: Prentice Hall, 1982,
ditulis di dalam tulisan Bantarto Bandoro dalam Analisis CSIS Aspek-Aspek Internasional dalam
Intergrasi Nasional, Tahun XXIII No. 5, September-Oktober 1994.
99
Aspiannor Masrie, “Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum
‟ at tanggal 29 April 2011].
100
Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


76

Consent terjadi ketika harapan terhadap demokrasi muncul dari dalam negara sendiri
karena warga negaranya melihat bahwa sistem politik yang lebih baik seperti yang
berjalan di negara demokrasi lain yang telah mapan, akan dapat juga dicapai oleh negara
tersebut.
Untuk itu, muncul beberapa alasan bahwa faktor-faktor domestik yang diduga
akan menjadi faktor pendukung atau penghambat proses demokratisasi. Pertama,
karena aktor-aktor politik dalam proses demokratisasi senantiasa berkonsentrasi untuk
usaha-usaha mengkonsolidasi kekuasaannya masing-masing. Oleh karena itu, proses-
proses politik di masa transisi cenderung bersifat inward-looking. Kedua, karena adanya
anggapan bahwa pada akhirnya aktor-aktor politik domestik yang akan menentukan
tindakan politik apa yang akan diambil.101 Politik luar negeri dapat digunakan sebagai
alat untuk menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim Pemerintahan yang
digantikannya. Karena negara yang mengalami proses transisi demokratisasi akan
menggunakan cara diplomasi dan politik luar negeri untuk mengkonsolidasikan
demokrasinya. Untuk itu, akan di dapat prospek yang lebih baik bagi kerjasama
internasional, terutama dengan negara-negara yang telah mapan proses demokrasinya
akan semakin baik dan pada akhirnya memberi konstribusi positif bagi proses
konsolidasi internal di negara tersebut.
Permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan berlangsung sejak
Pemerintahan masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno.
Penyelesaian permasalahan sengketa antara Indonesia dan Malaysia berlangsung cukup
alot karena masing-masing negara mengklaim kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan
dengan bukti-bukti atau dokumentasi-dokumentasi sejarah yang dimilki. Hal tersebut
yang menjadikan proses penyelesaian permasalahan sengketa tidak kunjung
mendapatkan hasil dan kepastian politik dan hukum. Penyelesaian permasalahan
sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan kembali dilanjutkan pada masa
Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Akhirnya pada
tahun 1969 penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan -

101
Guillermo O‟ Donnel, Philippe Schmitter dan Laurence Whitehead, Transition from authoritarian
rule:prospect for democracy, Baltimore: Johns Hopkins University, Buku I, 1986, hlm. 5.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


77

Ligitandiselesaikan secara politis melalui perundingan bilateral, karena antara Indonesia


dan Malaysia menemukan ketidakjelasan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan.
Kasus Pulau Sipadan-Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis
Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia membicarakan batas dasar laut antar
kedua negara. Pulau Sipadan-Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari
wilayah negara Republik Indonesia, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta
yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis
Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk
mengukuhkan Pulau Sipadan-Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis
serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan kedua pulau tersebut. Di saat yang
sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan
mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk
sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “Status Quo”. Dua puluh tahun
kemudian tepatnya pada tahun 1989 masalah Pulau Sipadan-Ligitan baru dibicarakan
kembali oleh Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad.
Peristiwa tersebut menjadi titik tolak persengketaan mengenai batas teritorial kedaulatan
negara antara Indonesia dan Malaysia. Kedua negara saling mengeklaim kepemilikan
Pulau Sipadan-Ligitan dengan argumentasi-argumentasi serta bukti-bukti sejarah yang
dimiliki baik oleh Indonesia maupun Malaysia.
Tiga tahun kemudian tepatnya tahun 1992, Indonesia dan Malaysia sepakat
menyelesaikan masalah ini melalui jalur politik yaitu melalui perundingan secara
bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan
pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja
Bersama (Joint Commission atau JC dan Joint Working Groups atau JWG).102 Namun
dari serangkaian pertemuan Joint Commission dan Joint Working Groups yang
dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya
masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah Indonesia

102
Jack Plano & Ray Olton,International Relation Dictionary,New York : Holt, Rinehart &Winston,1969.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


78

kemudian menunjuk Menteri Sekretaris Negara Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk
Wakil Perdana Menteri Malaysia Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus
Pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum Joint Commission dan Joint Working
Groups. Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kuala Lumpur tidak pernah
mencapai hasil kesepakatan.
Hal demikian menunjukkan betapa lemahnya sebuah proses dan upaya
Pemerintah dalam menjalankan politik luar negeri. Bahwa dapat dilihat proses
penyelesaian kasus sengketa kepemilikan Pulau Sipadan -Ligitan dari masa
Pemerintahan Orde Lama, Orde Baru dan terakhir masa Reformasi yang berhenti pada
masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri sama sekali tidak mengalami
perubahan yang memiliki dasar yang kuat dalam pencapaian proses politik. Pencapaian
proses politik yang dimaksud yaitu dengan mengadakan perundingan bilateral yang
nantinya dari pencapaian hasil perundingan bilateral tersebut dapat dijadikan dasar
Pemerintah dalam membuat kebijakan politik luar negeri dalam penyelesaian
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.
Permasalahan mendasar yang dilakukan oleh Pemerintah dalam pembuatan
kebijakan politik luar negeri dan selama pelaksanaan proses penyelesaian permasalahan
sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan adalah tidak diikutsertakan atau
dilibatkannya peran dari warga negara.103 Peran dari warga negara atau masyarakat
merupakan suatu kewajiban karena warga negara merasa memiliki pulau-pulau yang
tersebar di seluruh wilayah teritorial Indonesia dan wajib menjaganya dari penyerobotan
pihak asing. Dalam proses pembuatan suatu kebijakan politik, Pemerintah tidak dapat
bekerja sendiri tanpa adanya dukungan dan masukan dari warga negara. Pemerintah
memang bekerjasama dengan parlemen dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi
fungsinya hanya sebatas sebagai tempat untuk berkonsultasi dan meminta persetujuan
untuk mengeluarkan suatu kebijakan politik saja.104 Warga negara justru secara
langsung memiliki peran penting dalam pelibatan proses pembuatan kebijakan politik,

103
Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember
2012.
104
Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


79

karena warga negara berhak atas penyampaian pendapat dan harus mendapatkan
apresiasi atau perhatian dari Pemerintah.
Dalam proses pembuatan kebijakan politik luar negeri dalam penyelesaian
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, Pemerintah berjalan sendiri
tanpa menyertakan perwakilan dari warga negara atau masyarakat melalui lembaga-
lembaga masyarakat yang ada di Indonesia. Pemerintah terlalu yakin dengan tindakan
atau langkah-langkah yang diambil dan keputusan yang dikeluarkan tanpa adanya
pelibatan dari warga negara. Pelibatan dari warga negara atau masyarakat dibutuhkan
untuk meminta dukungan dan saran bagi Pemerintah yang sedang melaksanakan proses
perundingan bilateral dalam proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan
Pulau Sipadan-Ligitan serta dukungan dalam proses pembuatan kebijakan politik luar
negeri. Tidak adanya pelibatan warga negara oleh Pemerintah pada tahapan proses
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dan proses
dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri. Justru kehadiran pelibatan warga negara
dalam suatu permasalahan negara dalam hal ini permasalahan perbatasan seharusnya
Pemerintah juga membuka komunikasi terhadap publik untuk diberikan kesempatan
dalam penyampaian pendapat untuk kepentingan bangsa dan negara.
3.4 Politik Luar Negeri Indonesia dalam Usaha Integritas Teritorial

a. Masa Pemerintahan Presiden Prof. Dr.Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin


Jusuf Habibie

Dapat dilihat dari masa ke masa kepemimpinan kepala negara pasca Orde Baru
selama menjabat Pemerintahan dalam proses politik luar negeri dan pembuatan
kebijakan politik luar negeri. Dimulai dengan Pemerintahan Presiden Prof. Dr.Ing. Dr.
Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie adalah Presiden ketiga Indonesia (1998-1999)
setelah lengsernya Presiden Soeharto dari jabatannya. Politik luar negeri yang
dijalankan pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie juga mencatatkan hasil yang
buruk bagi sejarah bangsa yaitu dengan lepasnya Timor-Timur dari wilayah Indonesia.
Pemerintahan Presiden B.J. Habibie yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


80

luar negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan
Pemerintahan transisi. Kebijakan Presiden B.J. Habibie dalam persoalan Timor-Timur
menunjukan hal ini dengan jelas. Presiden B.J. Habibie mengeluarkan pernyataan
pertama mengenai isu Timor-Timur pada bulan Juni 1998 di mana ia mengajukan
tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk Provinsi Timor-Timur.
Hingga pada akhirnya Indonesia harus kehilangan Timor-Timur melalui
jajakpendapat. Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian
memojokkanPemerintahan Presiden Habibie. Presiden Habibie kehilangan legitimasi
baik dimata masyarakat internasionalmaupun domestik. Di mata internasional,
Presiden Habibie dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalampernyataan -
pernyataannya mendukung langkah Presiden Habibie menawarkan
referendum,namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada
tindakan kekerasan diTimor-Timur setelah referendum.

b. Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid

Masa Pemerintahan selanjutnya yaitu masa Pemerintahan Presiden


Abdurrahman Wahid, di mana Presiden Aburrahman Wahid menjadi Presiden Indonesia
keempat. Pada masa Pemerintahan Presiden Abdurrahaman Wahid justru politik luar
negeri Indonesia cenderung mirip dengan politik luar negeri Indonesia yang dijalankan
oleh Presiden Soekarno pada masa Orde Lama, di mana lebih menekankan pada
peningkatan citra Indonesia pada dunia internasional. Pada masa Pemerintahannya,
politik internasional Republik Indonesia menjadi semakin tidak jelas arahnya. Termasuk
dalam hal ini selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti
dalamkasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi. Presiden Abdurrahman Wahid memiliki
cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional, untuk itu Presiden
Abdurrahman Wahid melakukan banyak kunjungan ke luar negeri selama satu tahun
awal Pemerintahannya sebagai bentuk implementasi dari tujuan tersebut. Dalam setiap
kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa Pemerintahannya yang singkat,
Presiden Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam
pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Namun, sebagian besar

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


81

kunjungan-kunjungannya itu tidak memiliki agenda yang jelas. Bahkan, dengan alasan
yang absurd, Presiden Abdurrahman Wahid berencana membuka hubungan diplomatik
dengan Israel, sebuah rencana yang mendapat reaksi keras di dalam negeri. Dan dengan
tipe politik luar negeri Indonesia yang seperti ini membuat politik luar negeri Indonesia
menjadi tidak fokus yang pada akhirnya hanya membuat berbagai usaha yang telah
dijalankan oleh Presiden Abdurrahman Wahid menjadi sia-sia karena kurang adanya
implementasi yang konkrit.

c. Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri

Pada proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-


Ligitan dilanjutkan kembali pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri
yang mencoba meneruskan kebijakan Pemerintahan yang terdahulu yaitu masa
Pemerintahan Presiden Soeharto dalam meneruskan perundingan bilateral maupun
dengan upaya-upaya lainnya. Untuk lebih meminimalkan kesalahan yang telah ada dan
belajar pada masa Pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, maka Presiden Megawati
Soekarnoputri lebih memperhatikan dan mempertimbangkan peran DPR dalam
penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan UUD 1945. Seperti
diketahui, selama ini Komisi I DPR RI telah menjalankan peran cukup signifikan dan
tegas dalam mempengaruhi dan mengontrol pelaksanaan aktivitas diplomasi
Indonesia. Karena itu, Presiden Megawati Soekarnoputri lebih mengupayakan sebuah
“mekanisme kerja” yang lebih solid dengan Komisi I DPR RI sehingga diharapkan
dapat memunculkan concerted and united foreign policy sebagai hasil kerja bersama
lembaga eksekutif dan legislatif yang lebih konstruktif dan bertanggungjawab atas dasar
prinsip check and balance. Andaikata memungkinkan, dapat diterapkan bipartisanship
foreign policy yang berlandaskan kolaborasi partai-partai yang ada.
Pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri telah
mengoptimalkan peran dari Departemen Luar Negeri (pada waktu itu) melalui Menteri
Luar Negeri sebagai koordinator pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi sebagai
salah satu aspek penting penyelenggaraan Pemerintahan. Dan yang lebih penting, untuk
membuktikan kepada rakyat bahwa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


82

memiliki sense of urgency dan sense of crisis yang belum berhasil dibangun
Pemerintahan sebelumnya. Melihat kinerja dari masa Pemerintahan pasca Orde Baru,
untuk itu diperlukan penataandan peningkatan kinerja suatu Pemerintahan sehingga
memerlukan suatu Effort dan National Commitment dari seluruh komponen bangsa,
penyelenggara Pemerintahan dan lapisan masyarakat, sehingga Accountable. Perlunya
kita menyadari suatu National Commitment, di mana National Commitment terbentuk
dari masing-masing individu, kelompok masyarakat suatu bangsa yang tertata di dalam
hati nurani yang dikenal sebagai qalbu. Di dalam qalbu itulah tertanam rasa kasih
sayang, mencintai kebenaran dan keadilan, kejujuran, rasa cinta tanah air serta membela
kepentingan nasional, bangsa dan negara Indonesia. Di dalam suatu Pemerintahan
yang cridible, accountable antara lain mencerminkan adanya Public
Accountability melalui visi dan misinya yang dilaksanakan secara transparansi dan
konsistensi. Permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan tidak lepas dari
kenyataan betapa lemahnya Indonesia dari sisi administratif, di mana Pemerintah tidak
berusaha mencari bukti-bukti sejarah, misalnya dari keluarga Sultan Bulungan yang ada
di Tanjung Selor, yang pernah menguasai kedua pulau tersebut. Di samping itu,
Indonesia lemah dari sisi eksistensi. Faktanya secara de factoPemerintah diam dan tidak
bertindak ketika Pemerintah Malaysia mempromosikan Pulau Sipadan-Ligitan sebagai
tujuan wisata sejak tahun 1988. Bahkan, Pemerintah Indonesia hanya berani
menetapkan status quo kedua pulau tersebut.
Proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan
Ligitan antara Indonesia dan Malaysia tidak terlepas dari uncertainty condition selama
57 tahun merdeka, Indonesia belum mempunyai Undang-Undang tentang batas-batas
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak semata-mata Indonesia
kehilangan pulau dari Peta dan Teritori Republik Indoesia tetapi mempunyai arti dan
makna kita kehilangan dan terganggu rasa kedaulatan dan harga diri sebagai bangsa dan
negara yang berdaulat.105 Malaysia telah terbiasa dengan legislasi nasional UK

105
Wawancara dengan Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo pada hari ,
Senin, 10 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


83

Systems dan para juri di International Tribunal adalah juri masyarakat Uni Eropa,
pemilihan tema untuk mengadakan kegiatan di Pulau Sipadan-Ligitan selama status quo
tentang perlindungan dan pelestarian alam merupakan cara yang sangat jeli tapi agak
tricky, dan secara hukum seolah-olah merupakan pengakuan diam-diam, dengan demikian
lex specialis lebih kuat dibandingkan lex generalis, dan pembiaran ini berlangsung lebih
dari 20 tahun.
3.5 Aktor Negara Yang Menyebabkan Kegagalan PemerintahIndonesia
Menghasilkan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri

Pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto seharusnya lebih


mempertimbangkan usulan Perdana Menteri Mahathir Mohammad, yang menginginkan
pembangian "fifty-fifty" terhadap kedua pulau tersebut. Tetapi, pada kenyataannya
Presiden Soeharto yang tanpa didukung bukti-bukti sangat percaya diri untuk
memperkarakan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui
jalur hukum dengan membawa permasalahan ke Mahkamah Internasional (International
Court of Justice atau ICJ). Penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau
Sipadan-Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto dinilai terlalu arogan dan
percaya diri, karena Presiden Soeharto mempunyai keyakinan bahwa dengan bukti-bukti
sejarah yang dimiliki Pemerintah yakin dengan membawa permasalahan sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur hukum akan dimenangkan oleh Indonesia.
Penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan yang
diambil oleh Pemerintah Indonesia dengan jalan membawa persoalan sengketa ke
Mahkamah Internasional dipandang merupakan langkah yang salah. Indonesia melalui
wakil khususnya memberanikan diri untuk memutuskan bahwa dalam menyelesaikan
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melului pihak ketiga tetapi
ditempuh lewat jalur hukum internasional dan membawa persoalan sengketa tersebut ke
Mahkamah Internasional. Wakil khusus dari Indonesia dengan berbagai pertimbangan
bahwa telah cukup dengan adanya bukti-bukti yang dimiliki Indonesia maka apabila
diselesaikan melalui jalur hukum internasional akan diperoleh hasil yang diharapkan,
karena menurut wakil khusus Indonesia penyelesaian permasalahan sengketa

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


84

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui upaya politis yaitu dengan cara perundingan
bilateral telah mengalami kebuntuan. Sehingga hasil yang diharapkan Indonesia dari
perundingan bilateral yang akan dijadikan dasar dalam proses perumusan kebijakan
politik luar negeri selalu mengalami kegagalan.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional
ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional sangat minimal perannya
dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu
negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN
sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Agung (High Council)
untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan Agung ini bertugas untuk
memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun
keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan
hambatan utama dari terbentuknya Dewan Agung (High Council) ini.
Upaya politis Indonesia melalui perundingan bilateral gagal diupayakan,
karena dengan sikap yang optimis wakil khusus lebih mempercayakan penyelesaian
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur hukum
internasional. Apabila diperjuangkan dengan sungguh-sungguh tanpa harus membawa
bukti-bukti sejarah, Indonesia bisa terus melanjutkan upaya politisnya melalui Dewan
Agung ASEAN atau ASEAN High Council. Indonesia melalui wakil khusus seharusnya
mampu mengajak Malaysia untuk lebih mengutamakan membawa penyelesaian
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan apabila dalam berdiplomasi lebih
profesional. Karena Indonesia merupakan penggagas berdirinya ASEAN, sehingga dengan
kekuatan politiknya dapat mempengaruhi anggota negara-negara ASEAN lainnya untuk
membantu dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan
dan pada saat itu pula Malaysia juga sedang berkonflik dengan Filipina yaitu mengenai
perbatasan.106

106
Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember
2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


85

Kembalinya minat atau keinginan untuk memainkan peranan internasional


yang lebih efektif dalam menyikapi penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan
Pulau Sipadan-Ligitan hendaknya harus diimbangi dengan upaya secara politis dengan
sungguh-sungguh. Politik luar negeri tidak hanya dapat dijalankan berdasarkan
keinginan para elit negara sebagai pembuat keputusan (Pemerintah) dan pelaksana
kebijakan (diplomat). Di samping pentingnya memperhitungkan konteks strategis di
lingkungan internasional yang telah banyak berubah sejak dirumuskannya politik luar
negeri bebas aktif pada tahun 1948, Indonesia juga harus memperhitungkan keadaan
dan perubahan-perubahan dalam konteks domestik. Keinginan-keinginan di bidang
politik luar negeri harus selalu disesuaikan dengan kapasitas, kepentingan dan keadaan
di dalam negeri. Dengan kata lain, dibutuhkan suatu desain politik luar negeri yang
baru, yang tidak lagi terpenjara dalam romantisme masa lalu atau bukti-bukti sejarah,
namun lebih mencerminkan kebutuhan masa sekarang dan masa depan.
Faktor-faktor internal mempengaruhi proses perumusan kebijakan politik luar
negeri dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, sehingga
menyebabkan suatu kegagalan. Pertama, politik luar negeri yang dijalankan oleh
Pemerintah selama perundingan belum sepenuhnya diabdikan untuk kepentingan
nasional. Hal demikian terjadi, karena Pemerintah belum menjamin hak dan kebutuhan
masyarakat atau penduduk di sekitar wilayah Pulau Sipadan-Ligitan untuk memperoleh
kehidupan yang layak sebagai tujuan inti nasional yang harus dipenuhi. Kedua, opini
dari masyarakat atau publik dalam proses perumusan kebijakan kurang mendapatkan
respon atau tanggapan dari Pemerintah, terutama pada masa Pemerintahan Orde Baru.
Politik luar negeri tidak dapat lagi dianggap sebagai ranah (domain) eksklusif para elit
negara sebagai pembuat kebijakan. Sebagai negara demokrasi, politik luar negeri
Indonesia harus mencerminkan aspirasi publik atau masyarakat secara luas. Namun
terkadang opini publik atau masyarakat tidak selalu rasional dan ada kalanya dapat
menjadi kontraproduktif bagi kepentingan nasional sehingga perlu untuk dikaji ulang.
Ketiga, berubahnya struktur pengambilan keputusan di mana Pemerintah bukan
lagi merupakan satu-satunya aktor dalam sebuah perundingan bilateral untuk
memperoleh hasil sebagai dasar proses perumusan kebijakan politik. Seiring dengan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


86

terkonsolidasinya demokrasi, maka peran masyarakat warga akan semakin penting.


Dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan peran
masyarakat untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan politik sama sekali
tidak ada. Dunia semakin ditandai oleh kecenderungan koalisi dan interaksi yang
semakin intensif yang bersifat lintas batas negara (transnational) di antara
organisasiorganisasi masyarakat warga. Oleh karena itu, keikutsertaan masyarakat
warga dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri merupakan suatu
keniscayaan apabila Pemerintah menginginkan adanya politik luar negeri yang
legitimate serta didukung secara luas oleh konstituen di dalam negeri.
3.5.1 Faktor dan Tanggungjawab Aktor Negara Sebagai Pembuat Kebijakan
Politik
Aktor negara sebagai pembuat kebijakan politik merupakan elemen paling
utama bagi kepentingan nasional. Sebagai aktor negara (Pemerintah) seharusnya
mengikutsertakan peran masyarakat warga untuk ikut aktif dalam mengikuti
perkembangan dan situasi politik di dalam negeri maupun luar negeri melalui opini
publik. Kepemimpinan sebagai aktor negara diperlukan dalam mengeluarkan sebuah
kebijakan politik. Di mana kebijakan politik luar negeri dapat digunakan sebagai alat
untuk menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim autoritarian yang digantikannya.
Di Indonesia telah mengalami pergantian rezim atau masa Pemerintahan, dari Orde
Lama menjadi Orde Baru dan sampai saat ini masa Reformasi. Masa transisi
masingmasing Pemerintahan memiliki catatan-catatan politik luar negeri yang
berbeda-beda. Permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan telah muncul
sejak tahun 1967 pada masa Pemerintahan Orde Baru (Presiden Soeharto) dan masa
Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2002.
Dalam kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan jelas bahwa peran kebijakan
politik Pemerintah Indonesia tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan
kebijakan politik Indonesia yang telah disusun oleh para pemimpin bangsa pendahulu.
Pada saat kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari kesalahan
Pemerintah pada era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


87

Presiden Hamzah Haz dalam melaksanakan perumusan kebijakan politik pada saat itu.
Dalam perannya sebagai perumus kebijakan politik, Presiden Megawati Soekarnoputri
juga dibantu oleh kedua Menteri yang duduk pada masa Pemerintahannya. Kedua
Menteri tersebut adalah Menteri Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Luar
Negeri Hasan Wirajuda. Kedua Menteri tersebut memiliki peranan penting bagi
Presiden Megawati Soekarnoputri sebelum mengeluarkan kebijakan politik. Peran
penting juga tidak terlepas dari lembaga legislatif, karena lembaga legislatif dalam hal ini
DPR yang berperan dalam perumusan kebijakan politik sebelum dikeluarkan oleh
Pemerintah yang menyangkut kepentingan negara. Pemerintah merupakan pengambil
keputusan kebijakan politik untuk kepentingan negara, sehingga kesalahan sekecil
apapun akan membuat pengaruh besar kepada sistem politik dalam negeri dan luar
negeri Indonesia. Karena sistem politik domestik yang sedang berjalan akan secara
otomatis mempengaruhi sistem politik luar negeri.
Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tersebut ke Malaysia merupakan pelajaran
bagi Pemerintah agar dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Sebenarnya Indonesia masih bisa membicarakan masalah tersebut dengan
Malaysia dengan menganggap masalah teritorial adalah persoalan politik bukan hanya
persoalan hukum. Masalah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas kebijakan
politik pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan Presiden
Megawati Soekarnoputri. Sumber dari permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan
adalah kesalahan kebijakan politik pada era Pemerintahan Presiden Soeharto yang
hanya mempersoalkan wilayah negara dari segi hukum saja sehingga mencari solusi ke
Mahkamah Internasional. Wilayah kedaulatan negara merupakan suatu permasalahan
politik, karena sangat erat dengan suatu perumusan kebijakan politik yang nantinya
akan dijadikan sebagai pedoman oleh Pemerintah dalam menentukan arah kebijakan
politiknya dalam membawa negara Indonesia ke arah yang lebih baik dan mempunyai
kedudukan yang dihormati di dunia internasional. Karena kebijakan yang menyangkut
teritorial suatu negara perlu adanya ketegasan kebijakan Pemerintah agar wilayah

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


88

negaranya aman dari ancaman gangguan permasalahan perbatasan darat maupun laut
dengan negara lain.107
Apabila ditelusuri lebih lanjut mengenai lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia justru dari peran aktor-aktor politik baik
sebagai eksekutif maupun legislatif.108 Peran aktor-aktor politik dalam lepasnya Pulau
Sipadan-Ligitan tidak berjalan dengan baik dan sinergi, karena saling menyalahkan
setelah Indonesia mengalami kekalahan dalam sidang di Mahkamah Internasional yang
menyebabkan akhirnya Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ke dalam bagian dari wilayah
Malaysia. Karena sejak masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan
Presiden Megawati Soekarnoputri, persoalan Pulau Sipadan-Ligitan hanya dipandang
sebagai permasalahan hukum dan pada kenyataannya Indonesia tidak mempunyai cukup
bukti yang dihadirkan selama proses yang panjang selama persidangan di Mahkamah
Internasional.109 Karena dalam membawa permasalahan hukum ke Mahkamah
Internasional, maka seharusnya Indonesia harus banyak meratifikasi dasar-dasar hukum
yang akan dijadikan sebagai alat bukti kepada Hakim agar dapat dipercaya dan dapat
dijadikan bahan pertimbangan oleh Hakim dalam masa persidangan masalah sengketa
yang melibatkan kedua negara dalam memperebutkan Pulau Sipadan-Ligitan.
Yang harus dilakukan oleh para aktor-aktor politik adalah melihat
permasalahan sengketa perbatasan wilayah dari segi politik bukan dari segi hukum.
Karena permasalahannya menyangkut teritorial suatu negara, di mana peran Pemerintah
sangat penting dalam mengeluarkan suatu kebijakan politiknya yang tegas tetapi tetap
menjaga kaidah politik sesuai dengan Piagam ASEAN yang telah disepakati oleh
anggota-anggota negara ASEAN. Sebelum kebijakan politik dikeluarkan oleh
Pemerintah, antara Pemerintah dan DPR RI, dalam hal ini khususnya Komisi I DPR RI,
telah mengadakan rapat dengar pendapat sebagai tempat untuk berkonsultasi sebelum
perumusan kebijakan politik yang disodorkan oleh Pemerintah pada waktu itu mendapat

107
Ibid.
108
Ganewati Wuryandari , Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI
dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2008, hlm. 45.
109
“Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan”, diperoleh dari http://www.dephan.go.id.
[Diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2011].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


89

persetujuan dari DPR RI. 110 Dari masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga pada
saat lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri, antara Pemerintah dan DPR RI sendiri tetap hanya memandang
permasalahan Pulau Sipadan-Ligitan tersebut dari segi hukum saja. Dari permasalahan
tersebut jelas bahwa antara Pemerintah dan DPR RI tidak mempunyai konsep dalam
perumusan kebijakan politik, karena kedua lembaga yang berisi aktor-aktor politik
tersebut tidak mampu membuat suatu keputusan kebijakan politik sebagai arah bagi negara
yang mempunyai luas wilayah kepulauan sangat besar.111
Karena negara yang mempunyai luas wilayah kepulauan yang sangat besar dan
memiliki beribu-ribu pulau merupakan suatu ancaman besar dalam permasalahan
perbatasan baik di darat maupun di laut. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu
lebih fokus terhadap ancaman-ancaman tersebut oleh negara lain terutama aktor-aktor
politik yang menduduki lembaga eksekutif maupun legislatif.112 Jangan sampai antara
Pemerintah dan DPR RI saling bermanuver saling menyalahkan dan saling menyerang
atas keputusan politik yang telah dikeluarkan dan hasilnya membuat kerugian yang
besar bagi kepentingan negara dan rakyatlah yang sangat kecewa dengan apa yang telah
dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI.113 Karena rakyat telah memberikan mandat dan
kepercayaan penuh kepada kedua lembaga tersebut dalam pengambilan kebijakan
politik yang akan membawa negara Indonesia menjadi negara yang mempunyai
integritas politik yang tegas dan terarah, sehingga menjadikan negara lain menghormati
kebijakan politik Indonesia. Karena ketegasan kebijakan politik Pemerintah
mencerminkan keberhasilan politik dalam negeri sehingga sistem politik luar negeri
juga berpengaruh.
Permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari peran dan
hubungan yang sinergis antara lembaga eksekutif dan legislatif yang seharusnya satu
sama lain harus mendukung dan bukan saling menyalahkan setelah keputusan kebijakan

110
Ganewati Wuryandari ,Op. Cit., hlm. 197.
111
Aspiannor Masrie, “Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum
‟ at tanggal 29 April 2011].
112
Ibid.
113
Ganewati Wuryandari , Op. Cit., hlm. 45.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


90

politik tersebut diambil.114 Para aktor-aktor politik yang berada di dalam kedua lembaga
tersebut seharusnya menyikapi permasalahan yang berhubungan dengan teritorial
negara bukan pada cermin hukum, tetapi harus bercermin pada politik. Permasalahan
perbatasan sendiri menyangkut pada suatu kedaulatan negara yang seharusnya tidak
dapat diganggu gugat dan diusik oleh negara manapun, karena permasalahan perbatasan
sangat rentan dengan konflik dan berujung pada suatu peperangan antar kedua negara
yang sedang bersengketa.115 Karena suatu kebijakan politik diambil merupakan sebuah
keputusan yang memberikan arah kepada negara tersebut akan suatu integritas dan
kedaulatan suatu wilayah. Apabila kebijakan politik yang dikeluarkan Pemerintah
dinilai oleh Malaysia sangat tegas, maka tidak akan mugkin Malaysia berani membawa
permasalahan sengketa wilayah Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional
(International Court of Justice atau ICJ).116 Kebijakan politik yang dikeluarkan
Pemerintah seharusnya merupakan harga mati sebagai bangsa yang besar dengan
wilayah kepulauan yang sangat luas, karena apabila kebijakan politik yang dikeluarkan oleh
Pemerintah tidak diindahkan oleh negara lawan dalam permasalahan perbatasan maka jalan
terakhir adalah peperangan.
a.) Peran dari Menteri Luar Negeri dan Menteri Politik dan Keamanan Masa
Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri
Proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan -
Ligitan merupakan tanggungjawab Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri
dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Setiap pelaksanaan perundingan
bilateral antara Indonesia dan Malaysia, Menteri Luar Negeri sebagai ketua delegasi
yang mewakili Pemerintah dengan didampingi Menteri KoordinatorPolitik dan
Keamanan. Menteri Luar Negeri mempunyai peran dalam pembuatan kebijakan politik
luar negeri melalui jalur diplomatik yang nantinya menjadi bahan pertimbangan bagi
114
Pandangan Morgenthau mengenai konsep ini dapat ditemukan dalam Theodore A. Columbis dan James
H. Wolve, Introduction to International Relations, Power and Justice, New Jarsey: Prentice Hall, 1982,
ditulis di dalam tulisan Bantarto Bandoro dalam Analisis CSIS Aspek-Aspek Internasional dalam
Intergrasi Nasional, Tahun XXIII No. 5, September-Oktober 1994.
115
Aspiannor Masrie, “Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum
‟ at tanggal 29 April 2011].
116
Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


91

Presiden dalam mengeluarkan kebijakan politik luar negeri. Sedangkan peran nyata
Menteri KoordinatorPolitik dan Keamanan pada proses penyelesaian permasalahan
sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan hingga proses pembuatan kebijakan politik
luar negeri oleh Pemerintah adalah dalam mengkaji tentang kedaulatan wilayah
teritorial Indonesia. Antara Menteri Luar Negeri dan Menteri KoordinatorPolitik dan
Keamanan mempunyai peran masing-masing sesuai dengan fungsi masing-masing.
Tetapi dengan melihat langkah yang diambil dalam penyelesaian permasalahan
sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden
Soeharto yang arogan dan percaya diri tanpa mempertimbangkan upaya politik luar
negeri yang lebih efektif, maka Pemerintahan selanjutnya hanya dapat menerima hasil
yang tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam proses perumusan kebijakan politik luar
negeri. Kinerja daripada Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menteri
KoordinatorPolitik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya sudah tepat
dan sesuai prosedur dalam mengambil langkah-langkah diplomasi yang diperlukan
selama proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.
Kedua menteri tersebut telah mengupayakan langkah-langkah secara politik dengan
tepat dan profesional sehingga dapat mencegah ketegangan-ketegangan selama proses
perundingan bilateral berlangsung.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menteri KoordinatorPolitik dan
Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono bertindak hanya sebagai wakil dari Pemerintah
yang mempunyai tugas untuk melakukan perundingan bilateral dalam penyelesaian
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Dari hasil yang dicapai
selama proses perundingan bilateral akan dilaporkan kepada Presiden Megawati
Soekarnoputri sebagai bahan pertimbangan dalam proses perumusan kebijakan politik
luar negeri. Tetapi hasil yang dicapai selama proses perundingan bilateral tidak seperti
yang diharapkan oleh Pemerintah, karena hasil yang dicapai tetap saja Malaysia ingin
membawa penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke
jalur hukum melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ).
Hal tersebut disepakati oleh Indonesia melalui keputusan berani dari Presiden Soeharto
yang percaya diri bahwa dengan bukti-bukti sejarah yang dimiliki dari

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


92

KesultananBulungan dan argumentasi-argumentasi memberikan keyakinan bahwa


Indonesia akan menang.
Kedua menteri tersebut hanya melanjutkan proses perundingan bilateral yang
sudah berjalan, tetapi selalu mengalami kebuntuan dan tidak ada hasil yang dicapai
karena baik Indonesia dan Malaysia tetap mengklaim kepemilikan Pulau Sipadan-
Ligitan. Dalam hal ini peran Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menteri
KoordinatorPolitik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono hanya sebatas sebagai
wakil dari Pemerintah dalam proses perundingan bilateral dalam penyelesaian
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, sehingga tidak tepat apabila
menjadi penanggung kesalahan akibat lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan. Kesalahan dapat
ditujukan pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto yang mewariskan proses
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan yang tidak ada
kebijakan politik luar negeri yang dikeluarkan. Justru penyelesaian permasalahan
sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur hukum, yang seharusnya dapat
diselesaikan dengan langkah politik yaitu dengan mengoptimalkan diplomasi.

b.) Peran dari Lembaga Legislatif (Parlemen) dalam hal ini Komisi I DPR RI
Dalam proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau
Sipadan-Ligitan dan proses pembuatan kebijakan politik luar negeri lembaga legislatif
dalam hal ini DPR RI melalui Komisi I karena merupakan mitra kerja Departemen Luar
Negeri, Departemen Pertahanan dan Departemen Politik dan Keamanan. Dalam setiap
tahap penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan,
Pemerintah melalui Menteri Luar Negeri dan Menteri Koordinator Politik dan
Keamanan selalu mengadakan konsultasi dengan lembaga legislatif untuk membahas
setiap perkembangan dari hasil perundingan bilateral dengan Malaysia. Pemerintah
melalui perwakilan yang ditunjuk untuk melakukan perundingan bilateral dengan
Malaysia menemui kebuntuan. Tetapi upaya politik tetap dijalankan oleh Pemerintah,
yaitu dengan meminta Dewan Agung ASEAN atau ASEAN High Council untuk menjadi

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


93

penengah dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau


117
SipadanLigitan.
Peran lembaga legislatif dalam hal ini Komisi I DPR RI dalam proses
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dan proses
pembuatan kebijakan politik luar negeri oleh Pemerintah yaitu dengan memberikan
masukan terhadap Pemerintah untuk tetap melaksanakan upaya politik luar negeri
dengan jalan melalui perundingan bilateral.118 Karena proses perundingan bilateral tidak
menghasilkan suatu keputusan politik bagi kedua negara, maka melalui Komisi I DPR
RI Pemerintah tidak dapat merumuskan kebijakan politik luar negeri yang akan diambil.
Selama proses konsultasi antara Pemerintah dengan lembaga legislatif, telah
diagendakan untuk Pemerintah tetap mengambil upaya-upaya politik untuk menekan
Malaysia. Karena menurut pertimbangan Komisi I DPR RI waktu itu, Pemerintah tidak
banyak mempunyai cukup bukti, baik yang berupa dokumentasi-dokumentasi atau
bukti-bukti sejarah yang menyatakan bahwa Pulau Sipadan-Ligitan masuk dalam peta
wilayah Indonesia. Komisi I DPR RI tetap mendukung upaya Pemerintah untuk
mempertahankan wilayah Pulau Sipadan-Ligitan, karena setiap perundingan bilateral
telah dilaksanakan Pemerintah langsung mengkonsultasikan hasil dari perundingan
tersebut. Pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri tercatat yang
paling sering mengkonsultasikan setiap hasil yang dicapai dalam perundingan bilateral
dengan Malaysia. Karena pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri
lebih mengoptimalkan dan mensinergikan peran antara eksekutif (Pemerintah) dengan
legislatif (DPR).

Lembaga eksekutif melalui Komisi I DPR RI dan Pemerintah terus berupaya


untuk menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dengan
mengambil upaya politik. Melalui Komisi I DPR RI terus berupaya untuk

117
Kenneth Waltz ,Theory of International Politics, Cambridge: Cambridge Unversity Press, 1979,
hlm.90
118
Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember
2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


94

membuka konsultasi dengan Pemerintah dalam membahas penyelesaian sengketa


tersebut agar Pemerintah segera mengeluarkan kebijakan politik luar negeri. Diakui
memang setiap jalannya konsultasi antara Pemerintah dengan Komisi I DPR RI terdapat
deadline karena hasil-hasil dari perundingan yang dilakukan oleh Pemerintah
mengalami kebuntuan, sehingga sulit untuk Komisi I DPR RI menyetujui langkah yang
akan diambil oleh Pemerintah yaitu akan membawa permasalahan sengketa kepemilikan
Pulau Sipadan-Ligitan ke permasalahan hukum. Komisi I DPR RI sangat
memperdebatkan dan tidak menyetujui apabila Pemerintah berencana membawa
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan -Ligitan ke
permasalahan hukum. Karena menurut Komisi I DPR RI permasalahan sengketa
wilayah merupakan permasalahan yang menyangkut mengenai suatu kedaulatan sebuah
negara yang harus dipertahankan. Komisi I DPR RI tetap mendesak kepada Pemerintah
untuk tetap melakukan upaya politik untuk memberikan tekanan kepada Pemerintah
Malaysia.
Bahkan Komisi I DPR RI melalui Effendi Choirie dari Fraksi PKB,
menyatakan mengajukan hak interpelasi kepada Pemerintah yang diwakili oleh Menteri
Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menteri KoordinatorPolitik dan Keamanan Susilo
Bambang Yudhoyono. Komisi I DPR RI mempertanyakan kepada Pemerintah tentang
langkah hukum yang diambil bukan langkah politik dalam penyelesaian permasalahan
wilayah kedaulatan negara. Komisi I DPR RI menyesalkan langkah yang diambil oleh
Pemerintah yaitu menjadikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-
Ligitan ke permasalahan hukum, padahal jelas-jelas terbukti bahwa yang akan dijadikan
bukti-bukti oleh Pemerintah dirasa sangat tidak dapat mendukung dalam
mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan.119 Menurut Komisi I DPR RI, Pemerintah
berupaya memberikan bukti-bukti sejarah dari Kesultanan Bulungan yang dirasa telah
cukup kuat untuk membawa permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan
ke jalur hukum dengan membawa ke Mahkamah Internasional (International Court of
Justice atau ICJ).

119
Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


95

Upaya Komisi I DPR RI dalam memberikan saran agar Pemerintah segera


membuat kebijakan politik luar negeri tidak mendapat respon positif dari Pemerintah.
Karena Pemerintah tetap optimis pada pendirian bahwa dengan bukti-bukti sejarah yang
dimiliki dan disertai dengan argumentasi-argumentasi yang ada, Pemerintah bersikukuh
untuk tetap melanjutkan sesuai dengan kesepakatan dengan Pemerintah Malaysia untuk
membawa penyelesaian permaasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke
jalur hukum melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ).
Langkah yang diambil oleh Pemerintah disikapi oleh Komisi I DPR RI dengan keras,
Komisi I DPR RI merasa diremehkan dengan keputusan secara sepihak yang diambil
oleh Pemerintah tanpa adanya persetujuan dari lembaga legislatif. Hal ini memicu sikap
para anggota legislatif, terutama anggota Komisi I DPR RI sebagai mitra kerja
Pemerintah khususnya Departemen Luar Negeri dan Departemen Politik dan
Keamanan. Komisi I DPR RI mempertanyakan sikap Pemerintah yang tidak
menanggapi usulan untuk tetap menjalankan upaya politik dengan segera membuat
kebijakan politik yang setidaknya dapat menekan usaha Pemerintah Malaysia untuk
tetap membawa permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur
hukum melalui Mahkamah Internasional Internasional (International Court of Justice
atau ICJ).120
Tetapi pada kenyataannya, hak interpelasi yang disuarakan oleh anggota DPR
melalui Komisi I DPR RI pada sidang paripurna ternyata hanya gertakan pada
Pemerintah. Karena setelah hak interpelasi itu disuarakan, yang terjadi adalah para
anggota dewan bersikap acuh terhadap Pemerintah. Anggota dewan tidak
mendengarkan penjelasan yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri dan Menteri
KoordinatorPolitik dan Keamanan. Segala penjelasan yang disampaikan kedua Menteri
sebagai perwakilan Pemerintah tidak ada satupun yang mendapat tanggapan dan
perhatian dari anggota dewan. Anggota dewan meminta penjelasan secara langsung oleh
Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai pengambil kebijakan politik luar negeri.
Tetapi Presiden Megawati Soekarnoputri hanya mengutus Menteri Luar Negeri dan

120
Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


96

Menteri KoordinatorPolitik dan Keamanan sebagai wakil Pemerintah dalam


menyampaikan segala hasil yang telah dicapai dalam perundingan bilateral dan
langkahlangkah yang akan diambil Pemerintah selanjutnya. Hal ini menjadi bukti bahwa
pada saat proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau
Sipadan-Ligitan tidak berjalan dengan harmonis, sehingga proses perumusan
kebijakan politik luar negeri tidak membuahkan hasil yang diharapkan untuk
kepentingan negara. Karena Pemerintah dan DPR RI yang diwakili oleh Komisi I DPR
RI justru memperlihatkan sikap dan hubungan yang kurang harmonis satu sama lain.
Terbukti bahwa DPR RI melalui Komisi I DPR RI yang akan mengajukan hak
interpelasi kepada Pemerintah tidak jadi dilaksanakan, hal yang demikian
membuktikan bahwa tidak ada tanggungjawab sebagai salah satu aktor politik negara.
3.6 Sikap Saling Mempengaruhi antara Menteri Luar Negeri, Menteri
Koordinator Politik dan Keamanan dengan Komisi I DPR RI dalam Penyelesaian
Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.

Dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan Menteri Luar


Negeri dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan selaku perwakilan atau utusan
dari Pemerintah sering melakukan rapat konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
melalui Komisi I DPR RI untuk mendapatkan saran masukan dari hasil perundingan
yang dilakukan dengan Malaysia. Ketiga aktor negara tersebut berusaha mencari solusi
terbaik guna mempertahankan kedaulatan wilayah Pulau Sipadan-Ligitan agar tetap
masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua Menteri yang
mewakili Pemerintah dalam perundingan bilateral dengan Malaysia juga terus mencari
solusi politik agar permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dapat diputuskan tanpa
campur tangan pihak ketiga, karena Indonesia dan Malaysia merupakan sesama anggota
ASEAN.

Dalam setiap konsultasi mengenai perkembangan perundingan bilateral tersebut,


antara Pemerintah dengan Komisi I DPR RI berbeda argumentasi mengenai bukti-bukti
mengenai dokumen sejarah yang dimiliki Indonesia. Pemerintahmenjelaskan bahwa
bukti-bukti sejarah yang dimiliki kurang begitu kuat untuk mendukung upaya untuk

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


97

dapat mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan yang sedang disengketakan dengan


Malaysia. Pada setiap konsultasi antara Pemerintah dengan DPR RI bahwa sesuai
dengan Undang-Undang (UU) Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesiapada saat
dirumuskan batasan-batasan wilayah Indonesia yang merupakan penjabaran dari konsep
Wawasan Nusantara yang dideklarasikan Perdana Menteri Djuanda 10 Desember 1957
dijelaskan ditarik garis melingkar seluruh Wawasan Nusantara yang didasarkan pada
posisi Indonesia dengan menarik garis pangkal yang menghubungkan titik terluar dari
pulau terluar sehingga Pulau Sipadan-Ligitan di luar klaim kewilayahan.121Menurut
Pemerintah bukti-bukti sejarah yang dimiliki oleh Malaysia lebih cukup kuat
dibandingkan dengan bukti-bukti sejarah yang dimiliki oleh Indonesia. Pemerintah
didesak untuk tetap melakukan perundingan bilateral sebagai upaya politik luar negeri
Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki wilayah kedaulatan atas Pulau
Sipadan-Ligitan.122 Sikap saling mempengaruhi dalam setiap rapat konsultasi antara
Pemerintah dengan Komisi I DPR RI untuk membahas langkah yang harus diambil
untuk mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan agar tetap berada dalam wilayah
kedaulatan Indonesia terlihat pada saat Komisi I DPR RI mendesak Pemerintah untuk
tegas dalam mengambil sikap politik luar negerinya dengan segera mengambil
kebijakan sebagai langkah nyata yang berguna untuk mempertahankan Pulau
SipadanLigitan.

Dalam setiap kesempatan konsultasi antara Pemerintah dengan Komisi I DPR RI


merupakan pernyataan sikap politik masing-masing sebagai bahan masukan dan
pertimbangan kepada Pemerintah untuk segera mengambil kebijakan politik luar
negerinya. Kebijakan politik luar negeri yang nantinya dikeluarkan oleh Pemerintah
tersebut nantinya akan berdampak pada upaya diplomatik dalam melaksanakan
perundingan bilateral dengan Malaysia. Komisi I DPR RI sangat mendukung upaya dan
langkah politik yang telah diambil oleh Pemerintah, karena sikap positif Pemerintah

121
Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada
saat menghadiri seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di kantor Kemlu RI).
122
Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember
2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


98

dalam melakukan konsultasi mengenai hasil perundingan bilateral dengan Malaysia


walaupun hasil yang diperoleh dari setiap perundingan bilateral tersebut mengalami
kebuntuan. Dalam setiap upaya politis melalui perundingan bilateral yang dilaksanakan
selalu mengalami kebuntuan dikarenakan kedua negara tetap pada argumentasi dan
bukti-bukti sejarah yang dimiliki masing-masing, sehingga kedua negara sulit
menemukan kesepakatan yang juga berdampak pada pengambilan kebijakan politik luar
negeri masing-masing negara.123 Dengan demikian kemungkinan kecil untuk
Pemerintah dapat merumuskan kebijakan politik luar negeri yang akan dikeluarkan,
apabila kebijakan tersebut dikeluarkan akan dapat mempengaruhi keadaan politik di
dalam negeri.

Tabel 3.7
Hasil Pendapat dari Aktor Negara Berkaitan dengan Kegagalan
Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri
No. Aktor negara Pendapat
1. Komisi I DPR RI yang diwakili Apabila sistem diplomatik yang
Effendy Choirie dari Fraksi PKB. dijalankan oleh Pemerintah dilaksanakan
dengan baik, sistematik dan profesional,
maka kasus lepasnya Pulau Sipadan-
Ligitan dapat dihindari. Upaya politis
seharusnya dapat diupayakan
semaksimal mungkin apabila Pemerintah
mendengarkan saran masukan dari publik
yang mempunyai suara mayoritas
menyangkut kedaulatan negara.
Pemerintah terlalu optimis dengan
keputusan membawa permasalahan
sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dengan

123
Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada
hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


99

upaya hukum ke persidangan Mahkamah


Internasional Internasional (International
Court of Justice atau ICJ) dengan
minimnya bukti sejarah yang dimiliki
oleh Pemerintah, sehingga upaya politis
secara diplomatik dikesampingkan.
Untuk itu, setelah lepasnya Pulau
Sipadan-Ligitan melalui rapat dengar
pendapat antara Komisi I DPR RI dengan
Pemerintah dengan tegas Effendy
Choirie mengajukan hak interpelasi
kepada Pemerintah. Maksud dari hak
interpelasi yang diajukan untuk
mendapat penjelasan dari Pemerintah
mengenai kegagalan perumusan
kebijakan politik luar negeri yang
menyebabkan lepasnya Pulau Sipadan-
Ligitan.

2. Menteri Luar Negeri Hassan Bahwa memang melihat dari sejarah


Wirajuda. Pulau Sipadan-Ligitan bukan merupakan
bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia
karena telah masuk ke dalam peta
wilayah Malaysia, sehingga bukan
diakibatkan dari lemahnya proses
diplomatik Indonesia. Upaya yang telah
dilakukan oleh Pemerintah sudah
maksimal, karena pada dasarnya terletak
pada bukti-bukti sejarah yang tidak

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


100

dimiliki oleh Pemerintah Indonesia yang


dapat menguatkan argumentasi untuk
dijelaskan pada proses persidangan di
Mahkamah Internasional Internasional
(International Court of Justice atau ICJ).

3. Menteri Politik dan Keamanan Bahwa upaya politis melalui jalan


Susilo Bambang Yudhoyono. diplomatik telah diupayakan semaksimal
mungkin oleh Pemerintah Indonesia
untuk menjamin Pulau Sipadan-Ligitan
masuk ke dalam kedaulatan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Malaysia tetap saja ingin menyelesaikan
permasalahan sengketa Pulau Sipadan-
Ligitan menempuh upaya hukum melalui
Mahkamah Internasional (International
Court of Justice atau ICJ). Sebagai
Menteri yang membidangi masalah
Politik dan Keamanan, Bapak Susilo
Bambang Yudhoyono juga telah
mengupayakan jalur politis dengan jalan
diplomatik dengan mengajak Malaysia
melaksanakan berbagai perundingan
bilateral tetapi berjalan alot dan tidak
menghasilkan keputusan politik luar
negeri yang diharapkan Pemerintah.
Dijelaskan bahwa dokumentasi dan alat-
alat bukti yang dimiliki dan dibawa oleh
delegasi dan pengacara dari pihak

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


101

Indonesia sebagai bahan penjelasan


kepada Hakim Mahkamah Internasional
(International Court of Justice atau ICJ)
dinilai kurang untuk meyakinkan bahwa
Pulau Sipadan-Ligitan merupakan bagian
wilayah kedaulatan Indonesia. Kesalahan
Indonesia tidak segera merevisi Undang-
Undang yang dinilai sudah relevan dan
tidak mengikuti perkembangan
permasalahan sengketa kepemilikan
Pulau Sipadan-Ligitan.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


BAB 4
PROSES GAGALNYA PEMBUATAN KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI
DAN LEPASNYA PULAU SIPADAN- LIGITAN DARI INDONESIA

Bab ini berisi tentang gambaran umum tentang proses gagalnya pembuatan
kebijakan politik luar negeri dan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia. Bahwa
hal yang akan dibahas antara lainGagalnya Proses Pembuatan Kebijakan Politik Luar
Negeri Indonesia, Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia
terhadap Pulau Sipadan-LigitanmelaluiICJ (International Court of Justice), tentang
Mahkamah Internasional, Urutan Penyelesaian Sengketa Wilayah atas Pulau Sipadan-
Ligitan melalui ICJ, Proses Persidangan Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan
yang terdiri dari Pokok-pokok Argumentasi Hukum Indonesia dan Malaysia, Written
dan Oral Hearings,Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah
InternasionalMengenai Klaim Kedaulatan Atas Pulau Sipadan-Ligitan, Pokok-pokok
Pendapat dan Keputusan Mahkamah InternasionalMengenai Dalil-dalil
“Effectivites”,Hasil Keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) Atas
Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, Konsekuensi yang Harus Dilakukan Indonesia Pasca
Keputusan Mahkamah Internasional, Keputusan Mahkamah Internasional Pengaruhnya
Terhadap Penetapan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia,Dinamika Perubahan Politik
Indonesia dalam Menyikapi Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dan Usaha Perubahan
Kebijakan Politik Luar Negeri Presiden Soeharto.
4.1 Gagalnya Proses Pembuatan Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia
Kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan yang muncul sejak tahun 1969 pada
awalnya diselesaikan melalui perundingan bilateral oleh kedua negara. Proses negoisasi
dilangsungkan oleh kedua negara sebagai pilihan prioritas untuk menyelesaikan
sengketa secara damai. Akan tetapi, rangkaian negoisasi yang diadakan bertahun-tahun tidak
dapat memberikan keputusan yang berkaitan dengan pokok persengketaan yaitu masalah
kejelasan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan.

102 Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


103

Mengacu pada rangkaian proses negoisasi yang dijalankan kedua negara sejak
tahun 1969 dapat dinyatakan bahwa perundingan bilateral antara kedua negara ternyata
tidak efektif untuk menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Kerangka
penyelesaian secara politis akhirnya mengalami kebuntuan dan pada tanggal
2 November 1998, proses perundingan bilateral dihentikan. Sengketa Pulau Sipadan -
Ligitan kemudian diselesaikan oleh kedua negara melalui jalur internasional. Dengan
perubahan model penyelesaian sengketa tersebut maka perundingan bilateral antara
Indonesia dan Malaysia menjadi tidak efektif atau gagal untuk mencari solusi terbaik.
Di dalam kasus sengketa antara Indonesia dan Malaysia ini, perundingan
bilateral diadakan untuk mencari solusi atas sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-
Ligitan. Namun, tujuan yang paling penting dalam perundingan tersebut adalah
memenangkan klaim kedaulatan teritorial atas Pulau Sipadan-Ligitan. Perundingan
dilakukan sebelum kedua negara membuat suatu kebijakan politik untuk menentukan
sikap atas sengketa Pulau Sipadan-Ligitan agar dapat masuk ke dalam wilayah teritorial
masing-masing antara Indonesia dengan Malaysia. Perundingan antara Indonesia dan
Malaysia menjadi tidak efektif ketika kedua negara yang bersengketa memiliki tujuan
yang bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Klaim kedaulatan teritorial dari
Indonesia atas Pulau Sipadan-Ligitan ditentang oleh Malaysia dan sebaliknya klaim
Malaysia atas Pulau Sipadan-Ligitan ditolak Indonesia.124 Karena kedua negara
tersebut saling klaim kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan, maka pelaksanaan
pembuatan kebijkan politik oleh kedua negara yang dijadikan alat atau dasar dalam
pengambilan keputusan untuk negara masing-masing tidak terlaksana.
Sementara itu, perundingan antara Indonesia dan Malaysia untuk mencari
solusi dalam sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak efektif karena kedua negara
125
mempertahankan argumentasinya masing-masing. Indonesia dan Malaysia sejak awal
mengadakan pembahasan atas sengketa ini tidak pernah menyepakati kompromi yang
akan merugikan kepentingan negaranya. Akibatnya, perundingan yang dilaksanakan

124
Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada
saat menghadiri seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di kantor Kemlu RI).
125
Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


104

antara Indonesia dan Malaysia mengalami kebuntuan sebab tidak adanya argumen baru
diajukan oleh kedua negara dan tidak adanya keinginan untuk berkompromi. 126 Oleh
karena itu, klaim kedaulatan teritorial dari masing-masing negara dianggap mutlak dan tidak
dapat diganggu gugat oleh pihak lawan.
Penjelasan mengenai ketidakefektifan suatu perundingan dapat dibuktikan
dalam kasus sengketa antara Indonesia dan Malaysia yang memperebutkan wilayah
teritorial Pulau Sipadan-Ligitan. Adapun inefektivitas perundingan antara Indonesia dan
Malaysia ditunjukkan dengan fakta-fakta sebagai berikut:127
Pertama, sejak pertama kali melakukan pembahasan mengenai status
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, baik Indonesia maupun Malaysia mempunyai
maksud untuk memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan menjadi wilayah kedaulatan
teritorial masing-masing negara. Akhirnya, tujuan yang dibawa dalam perundingan oleh
masing-masing pihak saling bertentangan dengan kepentingan pihak lawan. Munculnya
pertentangan terbukti ketika Indonesia dan Malaysia mengadakan perundingan pada
tahun 1989 di Yogyakarta sebelum kedua negara mengambil langkah dalam membuat
kebijakan untuk mempertahankan wilayah kedaulatan teritorial Pulau Sipadan-Ligitan.
Pada saat pelaksanaan perundingan tersebut, telah disadari bahwa tujuan atau
kepentingan kedua negara saling bertentangan. Hal ini tercermin dalam pernyataan
kedua pemimpin negara Indonesia dan Malaysia. Pada akhir pertemuan yang
dilaksanakan pada saat itu, Presiden Soeharto (Indonesia) dan Perdana Menteri
Mahathir Mohammad (Malaysia) mengaku kesulitan menyelesaikan permasalahan
sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Akhirnya, posisi status quo yang dibuat pada tahun 1969
kembali dipertahankan oleh Indonesia dan Malaysia.
Kedua, beberapa aksi unilateral Malaysia pada saat itu merupakan sebuah bukti
bahwa Malaysia berniat menguasai Pulau Sipadan-Ligitan, di mana aksi unilateral
Malaysia diprotes oleh Indonesia. Aksi unilateral Malaysia antara lain penerbitan peta
nasional pada tahun 1976 yang memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan, pembangunan
126
Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember
2012.
127
K.J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, Jilid I, Jakarta: PT.Erlangga, 1988, hlm.
45.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


105

obyek-obyek pariwisata di pulau yang sedang menjadi permasalahan sengketa,


pernyataan konfrontatif Deputy PM Malaysia Ghafar Bab pada tanggal 20 Desember
1992 agar Indonesia mencabut klaimnya atas Pulau Sipadan-Ligitan, dan penerbitan
peraturan perundang-undangan Malaysia pada tanggal 25 September 1997 bahwa Pulau
Sipadan-Ligitan menjadi daerah yang dilindungi di bawah Malaysia’s Protected Areas.
Dengan adanya aksi unilateral Malaysia, pihak Indonesia melancarkan protes
keras dan terlibat dalam ketegangan hubungan dengan Malaysia. Beberapa kejadian
telah menggambarkan bentuk protes Indonesia kepada Malaysia. Pada tanggal 5 Juni
1991, Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas meminta Malaysia menghentikan
pembangunan tempat wisata di Pulau Sipadan-Ligitan. Pada waktu yang sama, tentara
Angkatan Laut Republik Indonesia menangkap sebuah kapal nelayan Malaysia yang
menangkap ikan di perairan Pulau Sipadan-Ligitan, aksi ini dimaksudkan untuk
memperingatkan Malaysia yang masih mengelola tempat wisata di Pulau Sipadan-
Ligitan. Selain kejadian tersebut, akibat terbunuhnya 2 (dua) orang anggota Tentara
Nasional Indonesia dalam kontak senjata pada bulan Desember 1996 kemudian Tentara
Nasional Indonesia melancarkan protes terhadap Malaysia. Tentara Nasional Indonesia
menyebut insiden tersebut sebagai pelanggaran atas kesepakatan status quo dan
menuduh Malaysia secara agresif mengembangkan potensi kepariwisataan di Pulau
Sipadan-Ligitan yang masih dipersengketakan oleh Indonesia dan Malaysia.128
Ketiga, antara Indonesia dan Malaysia sama-sama mempertahankan komitmen
yang kuat terhadap pandangannya masing-masing atas kepemilikan Pulau Sipadan-
Ligitan. Hal tersebut dibuktikan dengan penegasan wakil khusus kedua negara pada saat
dilaksanakan perundingan pada tanggal 22 September 1995 di Kuala Lumpur, bahwa
sengketa antara Indonesia dan Malaysia sulit untuk diselesaikan karena pihak-pihak
yang bersengketa merasa memiliki bukti-bukti kuat yang terus dipertahankan. Proses
tersebut mengganggu dalam pelaksanaan perumusan dalam pengambilan sebuah
kebijakan politik bagi Indonesia maupun Malaysia karena pelaksanaan perundingan
tidak mendapat kejelasan. Argumentasi-argumentasi yang disampaikan oleh Indonesia

128
Lihat “Penanganan Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan” dalam http://www.w3.org/TR/REC -html40.
[Diakses pada tanggal 12 Maret 2012].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


106

maupun Malaysia tidak jauh berbeda dengan argumentasi pada


perundinganperundingan terdahulu yang telah dilaksanakan, sehingga tidak ada
arguments dan counter-arguments yang baru.
Suasana perundingan yang statis dan tidak adanya peluang kompromi terhadap
pokok persengketaan mengakibatkan perundingan bilateral menjadi tidak efektif lagi
untuk dijalankan oleh Indonesia maupun Malaysia yang sedang bersengketa.
Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam proses perundingan bilateral Indonesia
dan Malaysia tersebut, maka penyelesaian secara politis juga sudah tidak efektif
dijalankan lagi. Penyelesaian secara politis sudah tidak efektif dilaksanakan pada saat
itu, sehingga menghambat proses perumusan pembuatan sebuah kebijakan politik bagi
kedua negara yang sedang bersengketa mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan.
Akhirnya, upaya secara politis sulit untuk dilaksanakan mengingat perundingan bilateral
yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1997 mengalami
kebuntuan.
Kegagalan proses perundingan bilateral sangat berdampak secara politis bagi
Indonesia maupun Malaysia dalam proses perumusan kebijakan politik dalam
mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial Pulau Sipadan-Ligitan. Dalam proses
perundingan yang dilaksanakan Indonesia dan Malaysia tidak efektif dikarenakan kedua
belah pihak yang bersengketa masing-masing tetap mempertahankan klaim kepemilikan
yang tidak dapat dikompromikan satu sama lain. Selain itu pula, jalannya proses
perundingan antara Indonesia dan Malaysia bersifat monoton karena kedua belah pihak
yang bersengketa tidak memiliki kebijakan politik yang tegas dalam upaya perundingan
bilateral tersebut. Artinya, baik Indonesia maupun Malaysia sebagai pihak yang
bersengketa tidak mengeluarkan argumentasi-argumentasi baru untuk mendukung klaim
atas kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Sehingga, upaya proses perumusan dalam
pembuatan kebijakan politik oleh kedua negara juga mengalami hambatan, karena
kedua negara masih mempertahankan argumentasi-argumentasi atas bukti-bukti
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.
Dengan kondisi yang demikian, maka perundingan bilateral yang dilaksanakan
antara Indonesia dan Malaysia tidak pernah menghasilkan keputusan yang berkaitan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


107

dengan pokok persoalan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Kesepakatan yang akhirnya


dicapai oleh Indonesia dan Malaysia pada saat itu membawa kasus sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan melalui Mahkamah Internasional, sehingga proses perumusan
kebijakan politik yang sedang disusun oleh Indonesia pada saat berjalannya
perundingan masih berhenti di tingkat legislatif. Karena pada saat perundingan
dianggap mengalami kegagalan, maka Indonesia dan Malaysia memutuskan untuk
membawa ke Mahkamah Internasional yang didasarkan pada kesepakatan kedua
pemimpin negara masing-masing. Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir
Mohamad pada saat bertemu di Kuala Lumpur pada tanggal 6-7 Oktober 1996
menyepakati bahwa permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dibawa ke
Mahkamah Internasional.
Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Mohamad mengambil
keputusan bahwa permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan diselesaikan melalui
Mahkamah Internasional berdasarkan masukan dari wakil-wakil khusus yang ditugasi
oleh kedua pemimpin negara untuk melaksanakan perundingan bilateral. Kedua wakil
yang ditunjuk oleh pemimpin masing-masing kedua negara adalah Mensesneg
Moerdiono (Indonesia) dan Deputi Perdana Menteri Anwar Ibrahim. Keduanya memang
mendapat tugas dari masing-masing pemimpin kedua negara untuk menjajaki
kemungkinan penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Penyelesaian
permasalahan sengketa tersebut setelah sejak tahun 1992-1996 memang tidak
mengalami kemajuan yang dicapai di meja perundingan karena Indonesia maupun
Malaysia masih mempertahankan argumentasi masing-masing. Selama proses
perundingan yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia tidak memperoleh hasil yang
dapat dijadikan dasar dalam proses perumusan suatu kebijakan politik terutama oleh
Indonesia. Indonesia mempunyai tujuan politik yang kuat dengan diadakannya
perundingan penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dalam rangka
mempertahankan wilayah teritorialnya dari Malaysia. Apabila dengan upaya
perundingan bilateral itu berhasil, maka Indonesia segera menentukan dan mengambil
langkah politik yaitu dengan membuat kebijakan politik yang nantinya akan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


108

memberikan suatu pengakuan wilayah dari masyarakat dunia pada umumnya dan pada
masyarakat ASEAN pada khususnya.
Namun demikian, penyelesaian politis yang dilakukan Indonesia melalui
perundingan bilateral akhirnya gagal karena antara Indonesia dan Malaysia saling
mempertahankan klaim kepemilikan tanpa mengenal kompromi. Hal ini dibuktikan
dengan serangkaian proses perundingan bilateral di mana antara Indonesia dan Malaysia
hanya menyertakan bukti-bukti sejarah saja. Keputusan politik yang seharusnya diambil
pada saat perundingan bilateral dilaksanakan misalnya dengan cara membagi kedua
pulau yang menjadi objek permasalahan sengketa atau dengan cara mengelola Pulau
Sipadan-Ligitan secara bersama-sama. Pada kenyataannya untuk Indonesia sendiri
proses pembuatan kebijakan politik juga mengalami hambatan. Karena Pemerintah juga
tidak mempunyai dasar yang kuat dalam merumuskan kebijakan politik yang nantinya
akan dikonsultasikan bersama dengan lembaga legislatif dalam hal ini DPR sebelum
dikeluarkan sebagai pernyataan sikap Pemerintah Indonesia atas permasalahan sengketa
Pulau Sipadan-Ligitan.
Kebijakan politik luar negeri yang nantinya dikeluarkan oleh Pemerintah
dengan persetujuan dari lembaga legislatif merupakan pernyataan sikap Pemerintah
Indonesia dalam politik. Indonesia dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan dengan Malaysia telah mengupayakan dengan jalan politik yaitu
dengan membawa kasus sengketa dengan melibatkan organisasi ASEAN. Langkah
tersebut diambil oleh Indonesia karena kedua negara tersebut termasuk dalam anggota
ASEAN, di mana anggota negara-negara ASEAN memiliki wilayah-wilayah yang
berbatasan langsung dengan negara-negara ASEAN baik darat maupun laut. Alasan
Indonesia mengambil langkah tersebut bertujuan juga mengumpulkan dan meminta
saran mengenai permasalahan sengketa wilayah khususnya bagi anggota negara
ASEAN agar tidak timbul lagi permasalahan sengketa di kemudian hari yang
melibatkan anggota negara ASEAN. Tetapi yang terjadi pada saat Indonesia
menginginkan permasalahan sengketa dapat diselesaikan melalui forum perundingan
ASEAN, Malaysia menolak permintaan Indonesia tersebut.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


109

Dengan pernyataan penolakan Malaysia tersebut Indonesia tidak lantas


berdiam diri, karena Indonesia tetap berusaha melalui jalur politik yang lain agar
memperoleh dasar perumusan kebijakan politik yang akan dipakai dalam menyatakan
suatu sikap politik luar negeri. Karena proses politik dalam negeri juga dapat
mempengaruhi proses politik luar negeri suatu negara. Proses perumusan kebijakan
politik Indonesia tidak berhasil atau hanya sampai dengan rapat konsultasi dengan
lembaga legislatif dalam hal ini DPR saja, karena dalam perundingan bilateral
penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan tidak berhasil atau
mengalami kebuntuan. Dalam pernyataan sikap politik suatu negara akan menentukan
suatu kebijakan politik yang akan berpengaruh pada intregitas suatu negara di mata
internasional terhadap wilayah teritorial suatu negara, karena wilayah merupakan suatu
kedaulatan sebuah bangsa dan negara yang harus dijaga dan dipertahankan.
Penyelesaian secara politik melalui perundingan bilateral dimulai ketika
Indonesia dan Malaysia menemukan ketidakjelasan hak kepemilikan atas Pulau
Sipadan-Ligitan pada tahun 1969. Peristiwa tersebut menjadi titik tolak permasalahan
sengketa antara Indonesia dan Malaysia mengenai batas teritorial wilayah kedaulatan.
Upaya untuk mencari pemecahan konflik yang dimulai sejak tahun 1969 tersebut selalu
berakhir atau menemui jalan buntu. Tanda-tanda kebuntuan dalam penyelesaian
kebuntuan dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara
Indonesia dan Malaysia melalui jalur perundingan bilateral tersebut muncul pada saat
diadakan perundingan pada tahun 1989 antara Presiden Soeharto (Indonesia) dan
Perdana Menteri Mahathir Mohammad (Malaysia) di Yogyakarta. Inefektifitas dari
mekanisme perundingan bilateral diungkapkan dengan pernyataan pemimpin kedua
negara yang mengaku kesulitan menyelesaikan permasalahan sengketa Pulau Sipadan-
Ligitan melalui perundingan bilateral. Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir
Mohammad menyadari bahwa klaim kepemilikan Indonesia dan Malaysia atas
permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sama-sama kuat dan cenderung sulit
untuk dipertemukan kepada satu keputusan yang dapat diterima baik oleh Indonesia
maupun Malaysia.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


110

Dengan upaya Indonesia mengefektifkan perundingan bilateral, maka politik


luar negeri Indonesia juga bertujuan untuk mengantisipasi perkembangan politik dan
keamanan menunjukkan peningkatan untuk mendudukkan Indonesia sebagai anggota
masyarakat internasional yang aktif, serta memperkuat kemampuan suatu negara untuk
melakukan tawar menawar. Untuk merespons perkembangan-perkembangan dalam
permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, maka
kebijakan politik luar negeri Indonesia harus dapat memperkenalkan pendekatan
intermestik (faktor internasional dan faktor domestik). Dalam konteks ini, kebijakan
politik luar negeri Indonesia memiliki kewajiban untuk memperjuangkan kepentingan
nasional di luar negeri namun juga mendorong agar badan-badan multilateral
memperhatikan kepentingan-kepentingan negara berkembang.
Kebijakan politik luar negeri Indonesia apabila dapat dikeluarkan oleh
Pemerintah pada permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, maka dalam
konteksnya akan terjadi perubahan politik dan keamanan intermestik (faktor
internasional dan faktor domestik). Sehingga, dapat dicatat terjadinya peristiwa atau
konteks yang kondusif bagi pencitraan Indonesia di dunia internasional. Perubahan
tersebut akan berdampak langsung terhadap: Pertama, reformasi dan demokratisasi
merupakan fondasi untuk lebih percaya diri pada tingkatinternasional. Kedua,
reorganisasi internal departemen khususnya Departemen Luar Negeri yang
dilaksanakan tahun 2001 memberikan kekuatan kelembagaan untuk operasionalisasi
diplomasi. Ketiga, perkembangan politik domestik berkaitan dengan perkembangan
pelembagaan dan praktik demokrasi dan resolusi damai atas berbagai perkembangan
persoalan internal bangsa. Perlu juga digarisbawahi bahwa antisipasi Indonesia untuk
merespons perkembangan internasional dan dinamika domestik khususnya pada
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dengan Malaysia, tetapi juga
melakukan penyesuaian organisasi. Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden
Nomor 109 Tahun 2001 merestrukturisasi dan mereorganisasi Departemen Luar Negeri
pada saat itu, termasuk di dalamnya dengan pembentukan Direktur Jenderal (Dirjen)
Informasi dan Diplomasi Publik.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


111

Perkembangan lingkungan internasional yang dinamis seperti permasalahan


sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, menuntut Indonesia mampu menjalankan kebijakan
politik luar negeri secara cepat merespons dan memanfaatkannya untuk kepentingan
nasional. Kompleksitas persoalan politik-keamanan dan perubahan pada saat
permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan kaitannya dengan politik luar negeri tidak
lagi dapat dilihat dari perspektif negara semata (state-centric) dengan pendekatan
diplomasi klasik, namun harus memperhatikan aspek-aspek yang berdimensi lebih
membumi yaitu manusia. Dalam konteks tersebut, maka diperlukan pemahaman tentang
kedaulatan negara perlu diperkuat dengan mengutamakan kepada perlindungan
masyarakat.
Untuk dapat mencapai tujuan politik luar negeri secara maksimal, maka
penyusuanan strategi dan kebijakan politik luar negeri Indonesia serta praktik
diplomasinya perlu mempertimbangkan pendekatan sistemik yang multidimensi yang
meletakkan agenda politik-keamanan secara komprehensif dalam penyelesaian
permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Berbagai faktor mempengaruhi politik-
keamanan pada saat perundingan bilateral dalam penyelesaian permasalahan sengketa
Pulau Sipadan-Ligitan. Faktor-faktor tersebut antara lain persinggungan antarberbagai
variable politik, ekonomi, sosial, teknologi, bahkan gaya kepemimpinan serta sejarah
dan budaya (strategic culture) akan turut mempengaruhi dinamika perundingan bilateral
suatu bangsa.
Seiring dengan semakin kuatnya keterkaitan antara aspek eksternal-internal
ataupun internasional-domestik pada penyelesaian permasalahan sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan, maka persoalan keamanan intermestik (faktor internasional dan faktor
domestik) akan semakin menguat dalam agenda politik luar negeri Indonesia.
Permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan persoalan-persoalan
globalisasi bagi Indonesia yang juga memiliki pengaruh langsung terhadap keamanan
domestik, kerena berlangsungnya perundingan bilateral Tentara Nasional Indonesia
melalui TNI Angkatan Laut terlibat kontak senjata dengan Tentara Angkatan Laut serta
Patroli Laut Diraja Malaysia. Sehingga mempengaruhi proses perumusan kebijakan
politik luar negeri Indonesia yang sedang dikonsultasikan dengan DPR RI pada saat itu

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


112

sebagai dasar pertimbangan dari Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan politik luar
negeri untuk mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial Indonesia.
Dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, Indonesia
telah menentukan diri sebagai negara demokratis dan oleh karena itu demokrasi
merupakan modalitas bagi fondasi politik luar negeri dan perumusan kebijakan politik
luar negeri Indonesia. Kepentingan nasional, kebijakan politik luar negeri serta
perundingan bilateral sebagai proses diplomasi sebagai operasionalitasnya sudah
semestinya bermuarakan kepada nilai-nilai demokrasi tersebut. Di dalam negara
demokrasi seperti Indonesia, negara bertindak sebagai fasilitator dan pelindung bagi
keamanan negara dan warganya. Meski demikian, walaupun ada kenyataan semakin
terkikisnya kedaulatan negara dalam arti klasik, keberadaan institusi negara sebagai
regulator, protektor dan fasilitator bagi keamanan masyarakat tetap tidak bisa
dikesampingkan.
Dalam menyikapi permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, maka dalam
proses perumusan kebijakan politik luar negeri Indonesia harus secara cepat
berkemampuan untuk beradaptasi dan/atau dapat memimpin di dalam percaturan
internasional. Indonesia telah berupaya melakukan proses perumusan kebijakan politik
luar negeri, namun hasil perundingan bilateral yang dilakukan dengan Malaysia
mengalami kebuntuan. Proses politik tetap diusahakan oleh Indonesia dalam
mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial Pulau Sipadan-Ligitan supaya tidak jatuh ke
tangan Malaysia. Pemerintah terus mengadakan konsultasi dengan DPR RI untuk
membahas proses perumusan kebijakan politik luar negeri yang akan dikeluarkan
menyangkut permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, sehingga setiap hasil
perundingan bilateral yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda
menjadi bahan pertimbangan konsultasi dengan Komisi I DPR RI dalam proses
perumusan kebijakan politik luar negeri.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


113

4.2 Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap


Pulau Sipadan-Ligitan melalui ICJ (International Court of Justice)
Secara tradisinya, apabila sebuah negara menghadapi pertikaian, negara
tersebut akan mengumumkan perang. Sebaliknya, pada saat ini negara-negara anggota
ASEAN tidak memilih untuk menggunakan kekuatan senjata atau militertetapi
menggunakan bahasa sebagai suatu mekanisme untuk menyelesaikan pertikaian
diantaranya melalui perundingan diplomatik. Pada umumnya penyelesaiansengketa
digolongkan dalam dua kategori129:
1. Cara-cara penyelesaian secara damai yaitu apabila para pihak telah dapat
menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. Dalam metode,
menurut sifatnya dibagi dua yaitu secara politik dan secara hukum.
Penyelesaian damai yang bersifat politik meliputi perundingan (negotiation),
jasa-jasa baik (good-offices), penyelidikan (inquiry), penengahan (mediation) dan
konsiliasi (conciliation). Sedangkan penyelesaian secara damai yang bersifat
hukum atau prosedur hukum meliputi arbitrase (arbitration) dan
penyelesaian hukum (judical settlement);
2. Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan cara kekerasan, yaitu
apabila solusi yang digunakan adalah melalui kekerasan. Penyelesaianmelalui
kekerasan meliputi perang dan bersenjata non-perang sepertiretorasi
(retorsion), dikenakan tindakan-tindakan pembalasan (reprisals), blokade
secara damai (pasific blockade) dan intervensi (interventation).
Jika timbul sengketa yang menyangkut kedaulatan atas sejumlah wilayah,
maka sudah merupakan kebiasaan untuk menelaah negara-negara mana saja
yangmengklaim kedaulatan tersebut, yang memiliki alas hak yang sah lebih tinggi
(baikitu melalui penyerahan, penaklukan, maupun okupasi) atas negara-negara
lainnyayang juga mengajukan klaim yang sama.
Meskipun demikian, jika perseteruan didasarkan pada kenyataan bahwa
pihaklainnya juga telah mengumumkan kedaulatan, maka hal itu tidak cukup untuk

129
Penyelesaian Perselisihan Kasus Sipadan Ligitan Melalui Mahkamah Internasional. November 26, 2009.
http://www.scribd.com.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


114

membentuk alas hak, karena harus ditunjukkan pula bahwa kedaulatan atas
wilayahtersebut juga telah berlangsung dan tetap ada pada saat putusan untuk
perselisihan itu ditetapkan. Alas hak dari penyerahan kedaulatan wilayah dalam hukum
internasionaljuga berdasarkan atas tindakan okupasi efektif, dengan mengasumsikan
bahwanegara yang menerima memiliki kemampuan untuk mengatur secara efektif
wilayahyang diserahkan tersebut. Dalam cara yang sama, penambahan wilayah secara
alamidapat dianggap sebagai sesuatu penambahan atas bagian wilayah yang telah
adakedaulatan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, merupakan hal yang wajar
apabilauntuk mewujudkan kedaulatan dibutuhkan suatu tindakan yang terus menerus
danjuga dilakukan secara damai.
Keharusan untuk menyelesaikan sengketa secara damai pada mulanya
dicantumkan dalam Pasal 1 Konvensi mengenai penyelesaian sengketa-sengketa secara
damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yangkemudian
dikukuhkan oleh Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-
prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat danKerjasama
antarnegara yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 24Oktober 1970.
Deklarasi tersebut meminta agar semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara
damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamananinternasional dan keadilan tidak sampai
terganggu.
Prinsip penyelesaian sengketa internasional secara damai didasarkan pada
prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku secara universal, dan dimuat
dalamDeklarasi mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antarnegara tanggal 24
Oktober 1970 serta Deklarasi Manila tanggal 15 November 1982 mengenai
Penyelesaian Sengketa Internasional secara Damai, yaitu130:
1. Prinsip bahwa negara tidak akan menggunakan kekerasan yang
bersifat mengancam integritas teritorial atau kebebasan politik suatu
negara, ataumenggunakan cara-cara lainnya yang tidak sesuai dengan
tujuan-tujuan PBB;

130
Boer Mauna, Op. Cit., hlm.194.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


115

2. Prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri dan luar negeri


suatunegara;
3. Prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi setiap
bangsa;
4. Prinsip persamaan kedaulatan negara;
5. Prinsip hukum internasional mengenai kemerdekaan, kedaulatan dan
integritas teritorial suatu negara;
6. Prinsip itikad baik dalam hubungan internasional;
7. Prinsip keadilan dan hukum internasional.
Penyelesaian sengketa secara damai merupakan konsekuensi langsung
dariketentuan Pasal 2 ayat 4 Piagam yang melarang negara anggota
menggunakankekerasan dalam hubungannya satu sama lain. Dengan demikian,
pelaranganpenggunaan kekerasan dan penyelesaian sengketa secara damai merupakan
norma-normaimperatif dalam pergaulan antarbangsa. Oleh karena itu, hukum
internasionaltelah menyusun berbagai cara penyelesaian sengketa secara damai dan
menyumbangkannya kepada masyarakat dunia demi terpeliharanya perdamaian
dankeamanan serta terciptanya pergaulan antar bangsa yang serasi.
Konvensi Hukum Laut 1982 menyediakan berbagai metode dalam
rangkapenyelesaian sengketa hukum laut. Dilihat dari perkembangan sistem
peradilaninternasional, mekanisme konvensi ini merupakan yang pertama kali
dapatmengarahkan negara-negara peserta untuk menerima prosedur memaksa
(compulsory procedures), dengan sistem konvensi maka tidak ada lagi ruang bagi
negara-negarapihak konvensi untuk menunda-nunda sengketa hukum lautnya dengan
bersembunyidibelakang konsep kedaulatan negara, karena konvensi secara prinsip
mengharuskan negara-negara pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui
mekanisme konvensi.
Penyelesaian sengketa diatur dalam Bab XV tentang Settlement of Disputes,
Pasal 279 pada intinya menyebutkan bahwa negara-negara pihak diberi kebebasanyang
luas untuk memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu disepakati bersama.Pada

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


116

sengketa wilayah Pulau Sipadan-Ligitan, Indonesia menginginkanadanya penyelesaian


secara damai dengan Malaysia. Hal ini berdasarkan pada prosedural penyelesaian
melalui Mahkamah Internasional sesuai dengan Bab VIPasal 33 Penyelesaian Pertikaian
Secara Damai dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah
Internasional serta Pasal 36 ayat 1 Statuta MahkamahInternasional. 131Bab VI Pasal 33
Penyelesaian Pertikaian Secara Damai dalam Piagam PBB dan Statuta Mahkamah
Internasional adalah :
1. Pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu pertikaian yang jika
berlangsung terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaanperdamaian
dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan
jalan perundingan, penyelidikan, dengan mediasi, konsiliasi, arbitrasi,
penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan
regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri;
2. Bila dianggap perlu, Dewan Keamanan meminta kepada pihak -pihak
bersangkutan untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara serupaitu.
Metode-metode penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara damai
atau bersahabat dapat dibagi dalam klasifikasi berikut ini : Pertama, Arbitrasi
(arbitration); Kedua, penyelesaian yudisial (judicial settlement); Ketiga, negosiasi,jasa-
jasa baik (good offices), mediasi, konsiliasi; Keempat, penyelidikan (inquiry); dan
Kelima, penyelesaian di bawah naungan Organisasi Perserikatan Bangsa -
Bangsa.Hubungannya dengan persengketaan yang terjadi antara Indonesia dan
Malaysia,kedua negara memilih untuk menggunakan metode negosiasi atau
perundingandiplomatis sebagai langkah awal untuk menyelesaikan persengketaan Pulau
Sipadan-Ligitan. Hal ini terlihat dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan
olehperwakilan kedua negara. Melihat sejarah hubungan Indonesia dan Malaysia,
caranegosiasi ini merupakan langkah yang tepat dalam menyelesaikan
sengketa.Indonesia dan Malaysia adalah dua negara besar di kawasan Asia Tenggara

131
Pasal 36 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional secara lengkap berbunyi sebagai berikut,
“TheJurisdiction of the Court comparises all cases which the parties refer to it and all matters specially provided
for the in the Charter of the United Nation or in treaties and conventions in force.”

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


117

yangbersahabat, dan persahabatan inilah yang bisa dijadikan dasar untuk


mengadakansebuah perundingan negosiasi dalam rangka mencari solusi yang tepat.
Pada dasarnya metode penyelesaian sengketa melalui mekanisme perundingan
ini adalah cara konvensional yang selalu digunakan dalam rangka upayapenyelesaian
sengketa oleh pihak manapun yang bersengketa. Cara ini terkadangmemerlukan waktu
yang sangat lama, hal ini bisa terjadi karena dalam perundingandimungkinkan para
pihak tetap bersikeras dengan pendapatnya dan berusaha untukmematahkan
argumentasi-argumentasi yang diberikan pihak lawan kadang hal inidilakukan sebagai
implementasi dari kedaulatan yang dimiliki oleh masing-masingpihak, sehingga sulit
untuk mencari titik temu penyelesaian.
Biasanya, arbitrasi menunjukkan prosedur yang persis sama sebagaimana
dalam hukum nasional, yaitu menyerahkan sengketa kepada orang-orang tertentuyang
dinamakan para arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh para pihak, merekaitulah yang
memutuskan tanpa terlalu terikat pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Namun,
pengalaman yang diperlihatkan oleh praktek internasional menunjukkan bahwa
beberapa sengketa yang hanya menyangkut masalah hukumyang diserahkan kepada para
arbitrator untuk diselesaikan berdasarkan hukum. 132Lebih lanjut, dalam berbagai macam
traktat yang menyepakati bahwa sengketa-sengketaharus diajukan kepada arbitrasi,
seringkali sebagai tambahan pada arahan untuk memutuskan menurut dasar keadilan atau
ex aequo et bono, pengadilan-pengadilanarbitrasi secara khusus diinstruksikan untuk
menerapkan hukum internasional.
Klausula-klausula yang mengatur pengajuan sengketa-sengketa kepada
arbitrasi juga sering dimasukan ke dalam traktat-traktat, khususnya konvensi
“yangmembuat hukum” (law-making). Arbitrasi pada hakikatnya adalah suatu
prosedurkonsensus. Negara-negara tidak dapat dipaksa untuk dibawa ke muka
arbitrasikecuali jika mereka bersetuju untuk melakukan hal tersebut, baik secara umum
dan sebelumnya maupun ad hoc berkenaan dengan suatu sengketa tertentu.
Kesepakatannegara-negara itu pun mencakup penentuan karakter dari pengadilan yang

132
J.G Starke,Pengantar Hukum Internasional : Edisi Kesepuluh. Penerjemah:BambangIriana
Djajaatmadja, S.H. Jakarta : Sinar Grafika, 2001.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


118

akan dibentuk.Proses arbitrasi lebih memuaskan dibandingkan dengan


penyelesaianyudisial atas sengketa-sengketa teknis, juga lebih murah, sedangkan,
apabila dianggap perlu, arbitrasi dapat dilakukan tanpa ada publisitas, bahkan sampai
tingkattertentu para pihak boleh menyepakati bahwa putusan-putusan tidak akan
dipublikasikan. Lebih lanjut, prinsip-prinsip umum yang mengatur praktek dan
wewenang pengadilan-pengadilan arbitrasi cukup dikenal. Yang terakhir,
prosedurarbitrasi cukup luwes untuk dikombinasikan dengan proses-proses pencarian
faktayang disediakan dalam kasus negosiasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi dan
penyelidikan.
Untuk itu, Indonesia dan Malaysia telah membuat sebuah perjanjian yang diberi
nama Special Agreement for Submission to the International Court of Justiceof the Dispute
between Indonesia and Malaysia concerning Soverignty over Pulau Ligitan and Pulau
Sipadan(Special Agreement). Dalam Pasal 2 Special Agreementdisebutkan bahwa
Mahkamah Internasional diminta untuk menentukan siapakahyang mempunyai kedaulatan
atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan.133
4.3 Mahkamah Internasional
Pembentukan pengadilan menggambarkan puncak perkembangan yang cukup
lama dari metode atau cara-cara penyelesaian secara damai terhadap sengketa-
sengketainternasional. Pasal 33 dari Piagam PBB dibahas mengenai cara-cara
penyelesaian sengketa internasional secara damai di mana meliputi negotiation, enquiry,
mediation, arbitration, judical settlement, serta juga good-offices. Padaproses arbitrase
dan penyelesaian hukum (judical settlement) mempunyai perbedaanyang terletak adalah
penyelesaian sengketa atas hak-hak hukum para pihak, atasdasar hukum yang berlaku
(kecuali para pihak berpendapat lain) dan menghasilkan keputusan yang mengikat para
pihak.
Sejarah dari terbentuknya suatu Mahkamah Internasional dimulai dengan suatu
pembentukan lembaga Arbitrase yang merupakan lembaga penyelesaian sengketa

133
Bunyi lengkap dari Pasal 2 adalah sebagai berikut, “ The Court is requested to determine on the basisof the
treaties, agreements and any other evidence furnished by the Parties, whether sovereignty over Pulau Ligitan dan
Pulau Sipadan belongs to the Republic of Indonesia or to Malaysia.”

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


119

internasional secara damai. Arbitrase adalah suatu institusi yang sudahcukup tua, tetapi
sejarah arbitrase modern yang diakui sejak Jay Treaty 1794 antaraAmerika dan Inggris, yang
mengatur pengajuan sengketa-sengketa kepada arbitrasejuga sering dimasukan ke dalam
traktat-traktat, khususnya konvensi yang membuathukum (law making).
a. Permanent Court of Arbitration
Suatu langkah maju bagi perkembangan arbitrase, yaitu Konvensi The Haque
1899 dan 1907 mendirikan Permanent Court of Arbitration yangdalam
kenyataannya tidak permanen dan tidak membentuk pengadilan. Di mana
setiap negara peserta atau anggota dapat mengangkat empat orang yang
memenuhi syarat di bidang hukum internasional dan semua orang yang
ditunjuk tersebut merupakan sebuah panel para ahli hukum yang kompeten
yang dari mereka itulah diangkat para arbitrator apabila diperlukan. Arbitrase
pada hakikatnya adalah suatu prosedur konsensus. Negara-negara tidak dapat
dipaksa untuk dibawa ke muka arbitrase kecuali jika mereka setuju untuk
melakukan hal tersebut, baik secara umum dan sebelumnya maupun advoc
berkenaan dengan suatu sengketa tertentu. Proses arbitrase, di samping
berkeinginan untuk adanya sebuah pengadilan yang permanen, tetap menjadi
suatu proses yang bermanfaat guna mewujudkan kemajuan-kemajuan akan
adanya suatu kategori sengketa di mana menyerahkan ke Mahkamah
Internasional.
b. Permanent Court of International Justice
Dalam Pasal 14 Convenant Liga Bangsa-Bangsa diberikan tugas kepada dewan
liga untuk menyusun dan mengajukan rencana-rencana bagi pembentukan
sebuah Mahkamah Internasional Permanen kepada anggota-anggota liga untuk
disahkan. Dewan Liga kemudian mengangkat sebuahkomite penasihat yang
terdiri dari ahli-ahli hukum dan di dalam komite itulah digunakan untuk
memecahkan persoalan penting mengenaipemilihan para Hakim.Permanent
Court of International Justice bukan merupakan suatu organ dari Liga Bangsa-
Bangsa meskipun dalam beberapa tindakannya berhubungan dengan liga.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


120

c. International Court of Justice


International Court of Justice berkedudukan di Peace Palace, The Hague
(Netherland) yang bertindak sebagai pengadilan dunia di manamemutuskan
perkara-perkara dalam sengketa-sengketa hukum internasional dari suatu
negara dan juga memberikan pendapat dalam bentuk nasehat hukum (Advisory
Opinion). International Court of Justicedibentuk berdasarkan Pasal 92-96
Piagam PBB yang dirumuskan di San Fransisco pada tahun 1945. Pasal 92
menyatakan bahwa Mahkamah Internasional adalah organ utama PBB karena
itu maka negara-negara anggota PBB otomatis terikat kepada Mahkamah
Internasional (International Court of Justice) sebagaimana halnya kepada
organ-organ PBB lainnya. Mahkamah Internasional juga terikat pada tujuan
dan prinsip PBB yang dinyatakan pada Pasal 1 dan 2 Piagam PBB dan karena
statuta Mahkamah Internasional dilampirkan pada Piagam PBB serta
merupakan bagian integral dari Piagam PBB, maka konteks Piagam PBB
tersebut merupakan suatu faktor pengendali dalam penafsiran ketentuan -
ketentuan dari statuta.134
Sejak dibentuk tahun 1945, Mahkamah Internasional atau ICJ telah menangani
kasus-kasus internasional, baik yang bersifat sengketa antara dua pihak (countentious)
maupun advisory. Sebagai penerus dariPermanent Court International of Justice (PCIJ)
yang didirikan pada tahun 1921,Mahkamah Internasional telah diaggap sebagai salah
satu cara utama untuk penyelesaian konflik antarnegara di dunia.Sebagai salah satu
institusi hukum internasional, Mahkamah Internasional hanya menerima negara sebagai
pihak yang dapat beracara di dalamnya.135Perjanjiankhusus (special agreement) tentang
penundukan (consent to be bound) kepada juridiksi Mahkamah Internasional, harus
terlebih dahulu dibuat oleh para pihak sebelum beracara.136 Penundukan ini didasarkan

134
Penyelesaian Perselisihan Kasus Sipadan Ligitan Melalui Mahkamah Internasional. 26 November 2009.
http://www.scribd.com
135
Statuta MI, 1945, Pasal 34 (1), “Only States may be parties in cases before the Court.”
136
Statuta MI, 1945, Pasal 40 (1), “Cases are brought before the Court, as the case may be, either by the
notification of the special agreement or by a written application…..”

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


121

pada prinsip kedaulatan negara(state soverignty). Dari syarat ini dapat dilihat bahwa
Mahkamah Internasional menjunjung tinggi kedaulatan sebuah negara untuk tunduk
atas dasar free will. Lebihjauh lagi, pengakuan internasional akan kedaulatan negara ini
juga dapat dilihat darikekuatan mengikat dari keputusan Mahkamah Internasional.
Keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional hanya mempunyai kekuatan
mengikatbagi para pihak yang bersengketa dan terbatas pada kasus yang diajukan.137
Negara yang akan menjadi pihak bersengketa pada umumnya menyerahkan
perjanjian khusus yang berisikan subjek sengketa dan pihak yang bersengketa.138Salah
satu kasus yang memakai cara pembuatan perjanjian khusus antara para pihakuntuk
menerima juridiksi dari Mahkamah Internasional yaitu Soverignty over Pulau Sipadan-
Ligitan (Indonesia-Malaysia). Dalam bentuk ini, juridiksi Mahkamah Internasional
ditarik dari perjanjian internasional yang memang mengharuskan anggotanya untuk
tunduk kepada juridiksi Mahkamah Internasionaljika terjadi sengketa. Pada umumnya
juridiksi Mahkamah Internasional dari perjanjian internasional ini berkisar pada kasus
tentang aplikasi atau interpretasi dariperjanjian internasional yang akan dimintakan
kepada Mahkamah Internasional. Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau
aplikasi untuk beracara di Mahkamah Internasional, maka tahap yang selanjutnya
adalah tahap pembelaan,yaitu pembelaan tertulis (written pleadings) dan presentasi
pembelaan (oral pleadings). Pada dasarnya, Mahkamah Internasional memberikan
kebebasan kepadapara pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu
pembelaantertulis maupun presentasi pembelaan.Pada tahap pembelaan tertulis (written
pleadings), urutan pembelaannya jika tidak ditentukan lain oleh para pihak, baik dalam
hal perjanjian khusus maupunaplikasi, adalah Memorial dan tanggapan Memorial
(counter memorial). Jika ternyata para pihak meminta kesempatan pertimbangan dan

137
Statuta MI, Pasal 59 “The decision of the Court has no binding force except between the parties and in
respect of that particular case”.
138
Statuta MI, 1945, Pasal 40 (1) “…the subject of the dispute and the parties shall be indicated”, dan (Rules
of the Court) sel anjutnya Aturan Mahkamah, Pasal 39 “…indicate the precise subj ect of the dispute and
identify the parties to it”.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


122

Mahkamah Internasionalmenyetujuinya, maka dapat diberikan kesempatan untuk


139
memberikan jawaban (reply).
Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak,
maka mulailah proses presentasi pembelaan (oral pleadings). Mahkamah Internasional
menentukan tanggal hearing dari kasus yang diajukan dengan pertimbangan dari
Mahkamah Internasional dan para pihak. Para pihak mendapatdua kali kesempatan
untuk memberikan presentasi pembelaan di depan MahkamahInternasional. Waktu
untuk proses hearing ini biasanya 2 atau 3 minggu, akan tetapi jika Mahkamah
Internasional beranggapan dibutuhkan lebih lama, maka waktu untukhearing tersebut
dapat diperpanjang. Akan tetapi, menurut aturan Mahkamah Internasional
proseshearing tersebut berada di bawah pengawasan Mahkamah Internasional dan
waktunya disesuaikan dengan pertimbangan Mahkamah Internasional.Ada tiga cara
untuk sebuah kasus dianggap telah selesai oleh Mahkamah Internasional, yaitu:
1. Para pihak telah mencapai kesepakatan sebelum proses beracara berakhir;
2. Pihak applicant atau kedua pihak telah sepakat untuk menarik diri dari
proses beracara yang mana secara otomatis maka kasus itu dianggap selesai;
3. Mahkamah Internasional memutus kasus tersebut dengan keputusan yang
dibuat berdasarkan pertimbangan dari proses beracara yang telah dilakukan.
4.4 Urutan Penyelesaian Sengketa Wilayah Atas Pulau Sipadan-Ligitan
Melalui ICJ (International Court of Justice)
Konflik sengketaPulau Sipadan-Ligitan mencuat sejak tahun 1969, ketika
Malaysia dan Indonesia membahas mengenai Landas Kontinen. Perselisihan berawal
dari perbedaan penafsiran atas Perjanjian 1891 yang dibuat dua kolonialis, yakni
Inggris-Belanda, untuk membagi Kalimantan. Pada awalnya kedua pihak sepakat untuk
tidak melakukan aktivitas apapun diatas kedua pulau yang sedang dalam sengketa.
Namun Malaysia bukan hanya mengamankan kedua pulau ini, melainkan juga
membangun resort pariwisata danpenangkaran penyu.

139
Abdul Irsan, Pelajaran Yang Dapat Ditarik dari Kasus Sipadan dan Ligitan. JurnalIntelijen & Kontra
Intelijen.Volume V No. 27 : Jakarta, 2009, hlm. 253.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


123

Dalam mengadili perkara ini, Mahkamah Internasional tidak mendasarkan diri


pada Perjanjian kedua belah pihak antara Inggris dan Belanda, namun lebih kepada
aktivitas okupasi secara efektif dari Malaysia. Menyangkut efektifitas yangditunjukkan
oleh Indonesia, Mahkamah Internasional memulai dengan menunjukkanbahwa tidak ada
peraturan perundang-undangan satupun yang mengatur tentangPulau Sipadan-Ligitan.
Terlebih lagi, Mahkamah Internasional tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No.
4/1960 yang menarik garis pangkal bagi wilayah Indonesia, tidakmemasukkan Pulau
Sipadan-Ligitan sebagai titik-titik garis pangkal.Menurut opini Mahkamah
Internasional, tidak dapat ditarik kesimpulan dari laporan komandan kapal patroli
Belanda Lynx atau dari dokumen lain yang disajikanoleh Indonesia dalam kaitannya
dengan kegiatan patroli laut Indonesia atau Belanda,bahwa otoritas kelautan terkait
meliputi Pulau Sipadan-Ligitan dan perairan disekitarnya di bawah kedaulatan Belanda atau
Indonesia.
Malaysia memenangkan kasus ini karena Mahkamah Internasional
menganggap bahwa Malaysia telah dapat menunjukkan pelaksanaan okupasi
secaraefektif terhadap kedua Pulau Sipadan-Ligitan yaitu berkaitan dengan efektivitas
terhadap kedua Pulau Sipadan-Ligitan, dalam Butir 132 Putusan ICJ dikemukakan
Malaysia menyatakan bahwa negaranya telah mengaturpengurusan penyu dan
pengumpulan telur penyu. Malaysia menyatakan bahwa pengumpulan telur penyu di
kedua pulau ini merupakan kegiatan ekonomi yangpaling penting selama bertahun -
tahun.
Tahun 1914 Inggris Raya mengambil langkah-langkah untuk mengatur dan
mengendalikan pengambilan telur penyu di kedua pulau tersebut. Malaysia
jugamengandalkan pembentukan usaha penangkaran burung pada tahun 1933.
Malaysiajuga menyebutkan BNBCAuthorities telah membangun mercusuar di atas
kedua pulau tersebut pada tahun 1960-andan mercusuar tersebut masih tetap ada sampai
sekarang dan dipelihara oleh OtoritasMalaysia. Terakhir, Malaysia menyatakan adanya
Peraturan perundang-undanganPemerintah Malaysia mengenai Pariwisata di Pulau
Sipadan dan kenyataan menyebutkanbahwa sejak 25 September 1977, Pulau Sipadan-
Ligitan menjadi daerah yang dilindungi dibawah Malaysia’s Protected Areas.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


124

Berkenaan dengan efektivitas yang disandarkan oleh Malaysia, maka


Mahkamah Internasional pertama mengamati bahwa sesuai dengan Konvensi tahun1930
Amerika Serikat melepaskan klaim bahwa Amerika Serikat memiliki kedaulatan di atas
Pulau Sipadan-Ligitan, dan tidak ada negara lain yang mengemukakan kedaulatannya
diatas kedua pulau tersebut pada saat itu, atau merasa keberatan dengan
Pemerintahanyang berkelanjutan oleh State of North Borneo. Lebih lanjut Mahkamah
Internasional mengamatibahwa aktivitas-aktivitas yang terjadi sebelum dibuatnya
Konvensi tidak dapat dianggap sebagai tindakan “a little de souverain”, karena Inggris
Raya pada saat itutidak mengajukan klaim kedaulatan atas nama State of North Borneo
atas pulau-pulauterluar batas 3 marine-league. Karena Mahkamah Internasional
beranggapan bahwa BNBC mempunyai hak untuk memerintah kedua pulautersebut,
posisi yang setelah tahun 1907 secara formal diakui oleh Amerika Serikat, maka
kegiatan-kegiatan administratif ini tidak dapat diabaikan begitu saja.
Sebagai bukti administratif efektif terhadap kedua pulau, Malaysia menyatakan
bahwa ukuran yang diambil oleh Otoritas North Borneo untuk mengaturdan
mengendalikan tindakan pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan-Ligitanmerupakan
sebuah aktivitas ekonomi yang nyata di daerah tersebut pada saat itu.Hal ini merujuk kepada
Turtle Preservation Ordinance 1917, yang bertujuan untukmembatasi
penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu dalam wilayah State of North
Borneoatau perairan wilayahnya. Mahkamah Internasional juga mencatat bahwa
Ordonansidibuat dalam kaitan sistem pemberian lisensi dan untuk penciptaan native
reservesuntuk pengumpulan telur penyu, dan Pulau Sipadan terdaftar di antara pulaupulau yang
termasuk dalam native reserves.
Malaysia mengemukakan bukti dokumen yang menunjukkan bahwa Ordonansi
Pelestarian Penyu 1917 berlaku setidaknya sampai tahun 1950. Dalamkaitan ini,
Malaysia menyatakan bahwa izin yang dikeluarkan pada tanggal 28 April1954 oleh
Pejabat Distrik Tawau memperkenankan penangkapan penyu yang sesuaidengan Bagian
2 dari Ordonansi tersebut. Mahkamah Internasional mengamati bahwa izin inimeliputi
area yang termasuk di dalamnya “Pulau Sipadan, Ligitan, Kapalat,Mabul, Dinawan dan
Siamil”.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


125

Lebih lanjut Malaysia menyebutkan beberapa kasus tertentu sebelum dan


setelah tahun 1930 di mana ditunjukkan, bahwa otoritas administratif telah
berhasilmenyelesaikan sengketa mengenai pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan.
Malaysiamerujuk kepada fakta bahwa tahun 1933 Pulau Sipadan berdasarkan Bagian 28
dariOrdonansi Tanah 1930 dinyatakan sebagai reserve bagi tujuan penangkaran
burung.Mahkamah Internasional berpendapat bahwa baik ukuran yang diambil untuk
mengatur dan mengendalikan pengumpulan telur penyu dan usaha penangkaran burung
harus dilihat sebagai pernyataan tegas tentang pengaturan dan pernyataan administratif
dariotoritas terhadap wilayah tersebut.
Malaysia kemudian mengemukakan fakta bahwa otoritas koloni North Borneo
membangun mercusuar di Pulau Sipadan pada tahun1962 dan yang lainnyadi Pulau
Ligitan tahun 1963 di mana mercusuar tersebut tetap ada sampai kini danbahwa
mercusuar tersebut dipelihara oleh Otoritas Malaysia sejak kemerdekaannya.Malaysia
beragumen bahwa pembangunan dan pemeliharaan dari mercusuar sepertiitu merupakan
“bagian dari pola pelaksanaan otoritas Pemerintah yang tepat”. Mahkamah Internasional
mengamati bahwa pembangunan dan pengoperasian mercusuar dan bantuan navigasi
pada umumnya tidak berdasarkan perwujudan otoritas Negara.Mahkamah Internasional
memberikan catatan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh Malaysia baik itu atas
namanya sendiri atau sebagai suksesor Inggris Raya memangsedikit jumlahnya, tetapi
hal ini sangat beragam dalam karakternya termasuk dalamtindakan-tindakan legislatif,
administratif dan quasi-peradilan. Hal-hal tersebut meliputi periode waktu yang panjang
dan menunjukkan pola penampakan kehendakuntuk melaksanakan fungsi kenegaraan
yang berkaitan dengan kedua pulau tersebut dalam konteks administrasi dalam lingkup
yang lebih luas dari pulau-pulau tersebut.
Mahkamah Internasional terlebih tidak dapat mengabaikan fakta bahwa pada
saat itu ketikakegiatan-kegiatan ini dilaksanakan, baik Indonesia maupun pendahulunya
Belanda,tidak pernah menyatakan pertentangan atau protes. Dalam hal ini, Mahkamah
Internasional memberikan catatan bahwa pada tahun 1962 dan 1963 Pemerintah
Belanda tidakpernah mengingatkan otoritas Koloni North Borneo atau Malaysia setelah
kemerdekaannya, bahwa pembangunan mercusuar pada masa-masa itu berlangsungdi

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


126

wilayah yang mereka anggap sebagai milik Indonesia. Berdasarkan fakta-fakta yang
diberikan dalam kasus ini, dan khususnya dalam hal bukti-bukti yang diajukan oleh para
pihak, maka Mahkamah Internasionalmenyimpulkan bahwa Malaysia memiliki hak
terhadap Pulau Sipadan-Ligitan berdasarkan effectivites.
4.5 Proses Persidangan Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan
Dalam persidangan Pemerintah kedua negara telah menyiapkan sejumlah
pengacara setingkat internasional, di samping para pejabat kedua Pemerintahan. Proses
persidangan yang dilakukan dihadapan Mahkamah Internasional oleh Indonesia dan
Malaysia terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu sesi ArgumentasiTertulis (Written
Pleadings) dan Argumentasi Lisan (Oral Pleadings).
Dalam Argumentasi Tertulis dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu penyampaian
dasar dari klaim yang disebut sebagai Memorial. Atas Memorial yang
disampaikan,masing-masing negara diberi kesempatan untuk menjawab dalam bentuk
Counter Memorial. Counter Memorial yang disampaikan oleh masing-masing negara
kemudian dijawab kembali dalam bentuk Reply. Indonesia dan Malaysia menyampaikan
Memorial mereka pada bulan November 1999. Selanjutnya kedua negara
menyampaikan Counter Memorial padabulan Agustus 2000. Atas Counter Memorial
yang disampaikan oleh masing-masingnegara, masing-masing telah menanggapinya
dalam Reply yang disampaikan keMahkamah Internasional pada bulan Maret 2001.
Pada bulan Juni 2002, para pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan Argumentasi
Lisan mereka.

4.5.1 Pokok-pokok Argumentasi Hukum Indonesia dan Malaysia


Indonesia dalam argumentasi hukumnya berdasarkan kepemilikannya
ataskedua pulau berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris
(atauyang disebut sebagai “Conventional Title”).140 Indonesia berpendapat bahwa
Konvensi 1891 merupakan perjanjian yang menyelesaikan ketidakjelasan batas-

140
Pasal 4 Konvensi 1891 berbunyi : “ From 4 10’ latitude in the east coast the boundary line shall be
continued eastward along the parallel, across the Island of Sebatik; that portion of the island situated to the north
of that parallel shall belong unreservedly to the British North Borneo Company, and the portion south of that parallel
to the Netherlands”.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


127

bataswilayah antara Inggris dan Belanda di Kalimantan. Dalam hubungan ini


Indonesiamenafsirkan bahwa garis 4 10‟ tersebut tidak hanya berhenti pada bagian
timur PulauSebatik, tetapi terus berlanjut ke arah laut sebelah timur pulau tersebut.
Dengan demikian, pulau-pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di bagian selatan garis
tersebut merupakan wilayah Hindia Belanda. Pandangan Indonesia ini didukungoleh
kenyataan bahwa konsesi minyak yang diberikan oleh kedua pihak secara
jelasmenghormati garis 4 10‟ . Selain itu kunjungan Kapal Perusak Lynx (milik Belanda) ke
Pulau Sipadan pada tahun 1921 menunjukkan adanya kontrol yang efektif
pihakPemerintah Hindia Belanda atas kedua pulau tersebut.
Malaysia dalam argumentasinya menyatakan bahwa garis 4 10‟ tersebut
berhenti pada bagian timur Pulau Sebatik, karena perjanjian 1891 hanya bertujuanuntuk
mengatur batas wilayah daratan. Berkaitan dengan kepemilikannya atas keduapulau,
Malaysia menitikberatkan pada dua alur pemikiran (atau yang disebut sebagai“Chain of Title”),
sebagai berikut:141
1. Kedaulatan atas kedua pulau diperoleh dari serangkaian transaksi yang
dimulai dari grant Sultan Sulu kepada BNBC tahun 1878, pengakuan Spanyol
atas kedaulatan Inggris di Borneo melalui Perjanjian 1885, dan pertukaran
Nota antara Amerika Serikat dengan Inggris tahun 1907 mengenai pengakuan
Amerika Serikat atas pengelolaan pulau-pulau yang sedang dipermasalahkan
(termasuk Pulau Sipadan-Ligitan) yang berada dalam administrasi BNBC
meskipun kedaulatannya masih tetap berada di bawah Amerika Serikat.
Malaysia juga merujuk pada Perjanjian Amerika Serikat-Inggris tahun 1930
tentang penyerahan kedaulatan Amerika Serikat kepada Inggris atas pulau-
pulau di selatan dan barat garis batas antara Filipina dengan Borneo, dan
penyerahan kedaulatan Inggris kepada Malaysia tahun 1963 melalui prinsip
suksesi negara;
2. Kedaulatan atas kedua pulau diperoleh dari fakta bahwa Inggris kemudian
Malaysia sejak tahun 1878 secara damai dan terus-menerus telah

141
Abdul Irsan, Op. Cit., hlm. 252.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


128

mengadministrasikan kedua pulau itu. Di pihak lain, Belanda dan kemudian


Indonesia tidak pernah melakukan klaim atas kedua pulau sampai tahun 1969,
argumentasi Malaysia tersebut dikenal dengan istilah effectivities.
4.5.2 Written dan Oral Hearings
Sesuai dengan prosedur yang berlaku di Mahkamah Internasional,
masing-masing pihak yang bersengketa harus menyampaikan Argumentasi
Tertulis (Written Pleadings) ke Mahkamah Internasional dan pihak lawan
sengketa, yang terdiri dari penyampaianMemorial, Counter Memorial, dan
Relpy. Memorial Indonesia berisi argumentasi klaim Indonesia atas Pulau
Sipadan dan Ligitan dan disampaikan pada tanggal2 September 1999, Counter
Memorial yang berisi tanggapan RI atas Memorial-nyaMalaysia disampaikan
tanggal 2 Agustus 2000. Sedangkan Reply Indonesia yangberisi tanggapan atas
Counter Memorial Malaysia disampaikan tanggal 2 Maret2001.
Setelah proses Argumentasi Tertulis (Written Pleading) selesai,
penyelesaiankasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan memasuki tahap akhir, yaitu
penyampaianLisan dan Oral Hearing. Kedua Agen dari masing-masing pihak yang
bersengketamenyampaikan presentasi berupa sikap dan posisinya, terutama yang
mengandungsikap politis dan penekanan yuridis. Walaupun sebenarnya
argumentasi yangbersifat yuridis juga disampaikan oleh kedua pihak yang
bersengketa di tahapanWritten Pleading. Malaysia menyampaikan argumen
lisannya tanggal 6 Juni 2002dan Indonesia tanggal 12 Juni 2002. Masing-masing pihak
diberi hak menjawab argumentasi lawannya.
Pada pelaksanaan Oral Hearing tanggal 12 Juni 2002, delegasi
Indonesia yang diketuai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, dalam
kedudukannya sebagai Agen,didampingi oleh dua orang anggota Komisi I DPR
RI, sejumlah pejabat dariDepartemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan,
MABES TNI, DepartemenEnergi dan Sumber Daya Mineral, Wakil dari
Kabupaten Nunukan, Prof. Lapiansebagai pakar sejarah, juga unsur-unsur dari
KBRI Den Haag dan KBRI Paris. Oral Hearing pihak Indonesia merupakan
pernyataan terakhir posisi Indonesia diMahkamah Internasional mengenai

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


129

masalah sengketa Pulau Sipadan-Ligitan olehMenteri Luar Negeri Republik


Indonesia yang berfungsi sebagai Agen yang dilanjutkan denganpresentasi oleh para
pakar hukum internasional yang membantu tim Indonesia.
Terdapat tenggang waktu yang cukup lama antara proses Written
Pleadings dengan Oral Pleadings, disebabkan adanya permohonan mendadak untuk
intervensidari Pemerintah Filipina tanggal 13 Maret 2001 yang
disampaikan oleh Duta BesarFilipina untuk Kerajaan Belanda kepada Registrar
Mahkamah Internasional PhilippeCouvreur.
Mahkamah Internasional menyampaikan keinginan pihak Filipina ini
kepada pihak Indonesia dan Malaysia untuk ditanggapi. Apabila satu pihak atau
kedua pihakyang bersengketa (Indonesia dan Malaysia) merasa keberatan atas
intervensi Filipina,maka Mahkamah Internasional akan mengadakan hearing
dengan mempertimbangkan tanggapanpara pihak dan kepentingan Filipina.
Sesuai dengan surat aplikasi pihak Filipinakepada Mahkamah Internasional,
alasan utama intervensi Filipina tersebut adalahuntuk melindungi
kepentingannya (legal status) atas Sabah (North Borneo).Mahkamah
Internasional membagi hak intervensi dalam dua kategori yaitu hakintervensi
sebuah negara atas keputusan sebuah kasus Mahkamah Internasional danatas
konstruksi sebuah perjanjian internasional. Pengajuan hak intervensi
harusmengandung tiga hal yaitu kepentingan yang mempunyai karakter hukum
(interest of legal nature), objek yang jelas dan pasti (precise object) dan
hubungan yuridiksi(jurisdictional link). Kepentingan yang mempunyai karakter
hukum (interest of legal nature) memiliki kelemahan bahwa tidak ada definisi
yang jelas dalam hukuminternasional yang berkenaan dengan kata “interest of
legal nature”. Setiap negarabebas menginterpretasikan kepentingannya dalam
mengajukan hak intervensi berkenaan dengan kasus yang sedang berlangsung di
Mahkamah Internasional.142Dalam hubungan ini Konstitusi Filipina

142
Hakim ad hoc Weeramantry dalam kasus Soverignty Over Pulau Sipadan-Ligitanmemberikan
pernyataan yang sama yang berkaitan dengan definisi dari kepentingan yang mempunyai karakter hukum.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


130

menganggap wilayah Sabah masih diklaimsebagai wilayah yang pernah dimiliki


oleh Kesultanan Sulu dan pihak Filipina masihterus berusaha melalui negosiasi
diplomatik untuk memperjuangkan haknya.Mengenai klaim Filipina atas
wilayah Sabah, Malaysia dan Filipina pernahmelakukan perundingan untuk
membahas klaim tersebut tetapi tidak pernah tercapai kesepakatan. Filipina dan
Malaysia kemudian dengan dasar demi memeliharahubungan baik sebagai
negara sahabat, bersepakat menunda negosiasi ini sampaiwaktu yang belum
dapat ditentukan. Sementara Konstitusi Filipina tetapmenganggap Sabah sebagai
wilayah warisan dari Kesultanan Sulu. Intervensi pihak Filipina dan setelah
berkonsultasi dengan tim danpakar hukum Indonesia serta Malaysia, tanggal 23
Oktober 2001 MahkamahInternasional menyampaikan keputusannya (Reading for
the judgement) bahwapermohonan Filipina tidak dapat dikabulkan.
Setelah para Hakim anggota mempelajari dan mendiskusikan semua
argumentasi hukum yang disampaikan oleh pihak-pihak yang bersengketa
(Indonesiadan Malaysia), maka sesuai prosedur Mahkamah Internasional, tanggal
17 Desember2002 Ketua Mahkamah Internasional membacakan keputusannya
dan menetapkanbahwa Indonesia dan Malaysia kurang memiliki dasar hukum yang
kuat untukmembuktikan bahwa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan bagian
dariwilayah Indonesia maupun Malaysia. Karena Mahkamah Internasional telah
diminta kedua pihakyang bersengketa dan harus memutuskan bahwa Malaysia
berdasarkan pertimbangan“effectivities” memiliki kedaulatan penuh atas Pulau
Sipadan-Ligitanmelalui perbandingan voting suara 16 Hakim mendukung dan seorang
Hakimmenolak.
4.5.3 Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah InternasionalMengenai
Klaim Kedaulatan Atas Pulau Sipadan-Ligitan
Terhadap klaim Indonesia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa:143
1. Garis 4 10‟ berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891 dapat berarti
“berhenti”atau “terus” melewati suatu pulau tertentu (Sebatik).

143
Abdul Irsan, Op. Cit., hlm. 256-257.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


131

Mahkamah Internasional menolakargumentasi Indonesia bahwa garis


perpanjangan terebut merupakan“allocation line” di luar Pulau
Sebatik sehingga timbul keraguanpengertian garis perpanjangan.
Pasal 4 Konvensi 1891 tidak menyebutsecara tegas bahwa garis 4 10‟
terus berlanjut melampaui Pulau Sebatikdan memisahkan pulau-pulau
yang berada dibawah kedaulatan Inggrisdan Belanda. Oleh karena
itu, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa sangat sulituntuk
menyatakan bahwa Inggris Belanda memang bersepakat
untukmenganggap garis dimaksud juga sebagai “allocation line”;
2. Mahkamah Internasional mencatat bahwa tidak ada satu pun
bukti yang meyakinkan apabila Pulau Sipadan-Ligitan dan pulau-
pulau lain sepertiMabul, merupakan wilayah yang
dipersengketakan oleh Inggris danBelanda pada saat Konvensi
1891 dibuat. Atas dasar tersebut Mahkamah Internasional tidak
dapat menerima bahwa garis batas yang disetujui tersebut
terusdilanjutkan dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa di
laut sebelahtimur Pulau Sebatik di mana konsekuensinya Pulau
Sipadan-Ligitan berada dibawah kedaulatan Belanda;
3. Mahkamah Internasional tidak menemukan di dalam Konvensi
1891 hal yangmeyakinkan bahwa Belanda dan Inggris memang
mengatur perbatasanwilayah kepemilikan mereka di sebelah
timur Pulau Kalimantan (Borneo)dan Pulau Sebatik, ataupun
mengatur masalah kedaulatan atas pulau-pulau lain.Dalam kaitan
dengan Pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah Internasional
jugaberpendapat bahwa batasan di dalam Pembukaan Konvensi 1891
sulituntuk diterapkan mengingat saat itu letak kedua pulau tidak
begitubanyak diketahui, sebagaimana juga dimaklumi oleh Indonesia
danMalaysia, dan bukan menjadi sengketa antara Belanda dengan
Inggris;

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


132

4. Mahkamah Internasional juga menyimpulkan bahwa teks Pasal 4


Konvensi 1891,apabila dibaca sesuai dengan konteks, objek dan
maksudnya bahwaKonvensi tidak dapat ditafsirkan sebagai
menetapkan “allocation line”yang menentukan kedaulatan atas
pulau-pulau yang terdapat di wilayahlaut sebelah timur Pulau
Sebatik. Pasal 4 Konvensi hanya menentukanbatas-batas wilayah
Belanda dan Inggris sampai dengan pantai timurPulau Sebatik;
5. Mahkamah Internasional berpendapat bahwa “travaux
preparatoires” sebelumKonvensi 1891 serta hal-hal yang
berkaitan dengan Konvensi tidak dapatmendukung interpretasi
Indonesia bahwa Konvensi 1891 bukan hanyamengatur
perbatasan darat tetapi juga mengatur “allocation line” di
luarpantai timur Pulau Sebatik;
6. Mahkamah Internasional menolak klaim Indonesia atas Pulau
Sipadan-Ligitan yangdidasarkan pada “treaty based title”
Konvensi 1891. Mahkamah Internasional jugaberpendapat bahwa
hubungan antara Belanda dengan KesultananBulungan diatur
berdasarkan serangkaian perjanjian. Perjanjian tanggal12
November 1850 dan 2 Juni 1878 mengatur masalah batas
wilayahKesultanan Bulungan. Batas ini mencapai bagian utara
melewati garisyang sudah disetujui Belanda dan Inggris
berdasarkan Konvensi 1891,termasuk Pulau Tarakan, Nunukan,
sebagaian Pulau Sebatik dan beberapapulau kecil di sekitarnya yang
terletak di selatan garis 4 10‟ LU. Hal initidak berlaku bagi Pulau
Sipadan-Ligitan. Mahkamah Internasional jugamenolak argumentasi
Indonesia bahwa Indonesia mewarisi kedaulatanatas Pulau
Sipadan-Ligitan dari Belanda. Perjanjian antara Belanda
denganKesultanan Bulungan hanya meliputi Pulau Tarakan,
Nunukan dansebagian Pulau Sebatik;

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


133

7. Dalam kaitan dengan konsesi minyak, Mahkamah Internasional


mencatat bahwa bataskonsesi minyak yang diberikan oleh
Indonesia dan Malaysia tidak sampaike Pulau Sipadan-Ligitan
dan tidak tepat di garis 4 10‟ LU, tetapiberhenti di 30‟ di sebelah
utara atau selatan garis 4 10‟ . Mahkamah Internasional tidakdapat
mengambil kesimpulan bahwa pemberian konsesi minyak
tersebutmerupakan hasil penafsiran dari Pasal 4 Konvensi 1891.
Terhadap klaim Malaysia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa:144
1. Tidak ada satu pun dari dokumen hukum yang diajukan Malaysia
menyebutkan Pulau Sipadan-Ligitan dapat mendukung klaimnya
atas kedua pulau tersebut berdasarkan “transfer of title”;
2. Mahkamah Internasional menjelaskan bahwa kedua pulau tidak
termasuk dalam grantSultan Sulu yang menyerahkan seluruh hak
dan kekuasaan ataskepemilikannya di Borneo, termasuk pulau-
pulau dalam batas 3 marine leagues, kepada Afred Dent dan
Baron van Overbeck tanggal 22 Januari1878;
3. Mahkamah Internasional menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-
bukti bahwa Spanyol menganggap Pulau Sipadan-Ligitan
termasuk dalam Protokol 1878antara Spanyol dengan Kesultanan
Sulu atau menyimpulkan bahwaJerman dan Inggris mengakui
kedaulatan Spanyol atas Pulau Sipadan-Ligitan berdasarkan
Protokol 1885. Pada tahun 1903 Sultan Sulu tidakdalam posisi
menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut dimasukkan dalamgrant
1878 kepada Alfred Dent dan Baron van Overbeck. Oleh karena
itu, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa Spanyol adalah
satu-satunya negara yangdapat mengklaim Pulau Sipadan-Ligitan
berdasarkan instrumenhukum yang relevan. Tetapi tidak ada
bukti bahwa Spanyol melakukannya. Mahkamah Internasional

144
Abdul Irsan, Ibid., hlm. 258-259.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


134

juga berpendapat bahwa pada saat itu baikInggris atas nama State of Nort
Borneo maupun Belanda tidak pernahmengklaim
kedaulatannya, baik secara eksplisit maupun implisit;
4. Mahkamah Internasional mencatat bahwa meskipun tidak dapat
disangkal bahwa Pulau Sipadan-Ligitan tidak termasuk dalam
lingkup Treaty of Peace tahun1898, “Perjanjian 1900” juga tidak
secara khusus menjelaskan pulau-pulauselain Cagayan Sulu dan
Sibutu beserta pulau-pulau yang menjadibagiannya yang
diserahkan Spanyol kepada Amerika Serikat, yang mungkin
jugatermasuk Pulau Sipadan dan Ligitan. Di lain pihak, Amerika
Serikat tidakmengetahui dengan pasti pulau-pulau mana saja
yang diperolehnyaberdasarkan Perjanjian 1900 tersebut;
5. Mahkamah Internasional tidak dapat menyimpulkan, baik
berdasarkan Exchange of Notes tahun 1907, Konvensi 1903 atau
dokumen-dokumen lain yangberasal dari Amerika Serikat, bahwa
Amerika Serikat mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan-
Ligitan. Oleh karena itu, tidaklah dapat dikatakan bahwa
berdasarkanKonvensi 1930 Amerika Serikat menyerahkan hak atas
Pulau Sipadan-Ligitankepada Inggris sebagaimana diyakini oleh
Malaysia;
6. Mahkamah Internasional menolak dalil Malaysia tentang tidak
terputusnya mata rantai kepemilikan yang diperolehnya dari
Kesultanan Sulu. Tidak ada suatukepastian bahwa Pulau Sipadan-
Ligitan berada di bawah kepemilikanSultan Sulu atau para ahli
waris lainnya yang disebutkan dalam matarantai “treaty based
line” atas kedua pulau tersebut.
Keputusan akhir Mahkamah Internasional mengenai klaim kedaulatan yaitu
menolak klaim kedaulatan baik yang dilakukan oleh Indonesia maupun Malaysia
atasPulau Sipadan-Ligitan berdasarkan dalil “treaty based title” dan “chain of

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


135

title”,karena keduanya tidak mampu mengajukan bukti-bukti kuat yang


mendukungargumentasi masing-masing.
4.5.4 Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah InternasionalMengenai
Dalil-dalil “Effectivites”
Mahkamah Internasional selanjutnya mempertimbangkan bahwa:145
1. Dalil “effectivites” yang telah diajukan oleh Indonesia dan Malaysia
sebagai pertimbangan untuk memutuskan siapa yang paling
berhakmemiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan-Ligitan. Indonesia
dan Malaysia mengklaim bahwa bukti-bukti effectivites yang
diajukan semata-matauntuk mengkonfirmasikan “treaty based title”
masing-masing.Dengan menggunakan dalil alternative, Malaysia
berhak mengklaimkedaulatan atas Pulau Sipadan-Ligitan
berdasarkan rangkaiankepemilikan dan administrasi yang
berkelanjutan secara damai tanpapenolakan dari pihak Indonesia atau
pendahulunya. Mahkamah Internasional berpendirian karena
Indonesia maupun Malaysia tidak memiliki “treaty based title” atas
Pulau Sipadan-Ligitan, maka Mahkamah Internasional
mempertimbangkan effectivites sebagai masalah yang berdiri sendiri;
2. Mahkamah Internasional berpendapat tidak akan mempertimbangkan
tindakan-tindakan yang dilakukan setelah terjadi “critical date”
sebagai bukti adanya“effectivites”, kecuali apabila tindakan
dimaksud merupakan kelanjutannormal dari tindakan-tindakan
sebelumnya dan tidak dimaksudkanmemperkuat posisi hukum pihak
yang bersengketa. Mahkamah Internasional hanyaakan
mempertimbangkan praktek-praktek effectivites sebelum tahun1969,
yaitu saat Indonesia dan Malaysia pertama kali menyatakan
klaimmasing-masing atas Pulau Sipadan-Ligitan;

145
Abdul Irsan, Ibid., hlm. 259-260.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


136

3. Mahkamah Internasional juga berpendapat bahwa peraturan dan


tindakan administrasi umum dapat dipertimbangkan sebagai bukti
effectivites atas Pulau Sipadan-Ligitan, hanya jika peraturan dan
tindakan tersebut jelas dandikhususkan dikedua pulau tersebut.
Terhadap klaim Indonesia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa:
1. Dalam kaitannya dengan bukti effectivites yang diajukan oleh
Indonesia,Mahkamah Internasional mencatat fakta bahwa Undang-
Undang No.4/Prp/1960 tentangPerairan Indonesia tidak
mencantumkan atau mengindikasikan bahwaPulau Sipadan-Ligitan
sebagai “base points” atau “turning points” yang relevan;
2. Bahwa laporan Komandan Kapal Destroyer Belanda “Lynx” dan
dokumen yang diajukan oleh Indonesia berkaitan dengan kegiatan
pengawasan danpatroli di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan, yang
dilakukan baik oleh Kapal “Lynx” pada November 1921 maupun
Angkatan LautIndonesia pada Desember 1967, tidak dapat
menunjukkan bahwa baikBelanda maupun Indonesia menganggap
bahwa Pulau Sipadan-Ligitan serta perairan di sekitarnya merupakan
wilayah yang berada dibawah kedaulatan Belanda atau Indonesia;
3. Mahkamah Internasional menilai bahwa kegiatan penangkapan ikan
secara tradisional yang dilakukan oleh nelayan Indonesia di perairan
sekitar Pulau Sipadan-Ligitan tidak dapat dipertimbangkan sebagai
tindakan “a titre de souverain” yang mencerminkan maksud dan
keinginan untuk bertindakdalam kapasitas dimaksud.
Terhadap klaim Malaysia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa:146
1. Bukti-bukti “effectivites” yang diajukan Malaysia, Mahkamah
Internasional berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan oleh
Otorita Koloni North Borneo dalam mengatur dan mengontrol
kegiatan pengumpulan telurpenyu dan penetapan konservasi burung

146
Abdul Irsan, Ibid,. hlm 261-262.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


137

harus dipertimbangkan sebagaisuatu pernyataan pengaturan dan


administrasi yang tegas dari penguasa atas suatu wilayah. Mahkamah
Internasional mencatat fakta bahwa tahun 1914 Inggrismenerbitkan
peraturan serta melakukan tindakan pengawasan ataskegiatan
pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan-Ligitan,ditetapkannya
Pulau Sipadan sebagai “bird sanctuary” tahun 1933,
sertadibangunnya mercusuar oleh Inggris di kedua pulau dimaksud tahun
1962dan 1963;
2. Mahkamah Internasional berpendapat bahwa pembangunan dan
pengoperasian mercusuar dan alat bantu pelayaran tidak dapat
dianggap sebagaimanifestasi kekuasaan negara;
3. Mahkamah Internasional berpendapat bahwa tindakan yang
dijadikan bukti “effectivites” Malaysia sangat sedikit dalam jumlah,
tetapi bervariasidalam karakternya termasuk di dalamnya tindakan
legislative,administrative dan quasi-judisial;
4. Mahkamah Internasional mencatat bahwa pada tahun 1962 dan 1963
PemerintahIndonesia tidak melakukan tindakan apapun, termasuk
mengingatkanpihak Otorita Koloni North Borneo, atau kemudian
Malaysia setelah merdeka, jika seandainya mercusuar itu dibangun
di wilayah Indonesia.Seandainya pembangunan mercusuar tersebut
dianggap sebagai tindakanuntuk keselamatan navigasi di wilayah
perairan North Borneo, makasikap mendiamkan tindakan yang
dilakukan di wilayah Indonesiatentunya bukan merupakan hal yang
wajar.
Persoalan mengenai Pulau Sipadan-Ligitan muncul baru pertama kali pada
bulan September 1969 dalam perundingan batas landas kontinen di KualaLumpur antara
Indonesia dan Malaysia. Pada kesempatan perundingan tersebutMalaysia menyatakan
kepemilikannya atas kedua pulau tersebut yang terletak dipantai Timur Laut Kalimantan
dan di bagian Barat Laut Pulau Sulawesi. SebaliknyaIndonesia juga menuntut bahwa
kedua pulau tersebut berada di bawahkedaulatannya. Kedua negara baik Indonesia

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


138

maupun Malaysia tidak memiliki argumentasi hukum yang kuat untuk mendukung
tuntutan mereka masing-masing.Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa, antara
kedua negara Indonesia danMalaysia mengadakan perundingan-perundingan pada
berbagai tingkat namun tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima kedua
pihak.
Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana MenteriMahathir
Mohammad sepakat untuk mengangkat Special Envoy-nya (utusan khusus)masing-
masing untuk mencari solusi alternatif. Setelah mengadakan pertemuanbeberapa kali di
Jakarta dan Kuala Lumpur utusan khusus tersebut setujumengusulkan kepada
Pemerintahannya masing-masing untuk mencari penyelesaiandamai atas sengketa
mereka melalui Mahkamah Internasional dan menerimakeputusan Mahkamah
Internasional sebagai final dan mengikat. Pada tanggal 31 Mei 1997 bertempat di Kuala
Lumpur, Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk
Abdullah AhmadBadawi, atas nama Pemerintahnya masing-masing menandatangani
PersetujuanKhusus (Special Agreement) untuk mengajukan sengketa tersebut ke
Mahkamah Internasional.
Pokok-pokok kesepakatan yang dimuat dalam Persetujuan Khusus tersebut
adalah :
a. Meminta dan memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Internasionaluntuk menentukan status kepemilikan atas Pulau
SipadanLigitan berdasarkan semua bukti yang ada.
b. Memberikan kewenangan kepada Mahkamah Internasional untuk
mengujikeabsahan tuntutan masing-masing negara berdasarkan
sumbersumberhukum internasional yang berlaku sesuai Pasal 38 Statuta
Mahkamah Internasional.
c. Penyampaian naskah Special Agreement ke Mahkamah Internasional akan
dilakukan kedua pihak bersamaan melalui Joint Notification,
setelahmasing-masing pihak meratifikasi dan menukarkan naskah
ratifikasinya.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


139

Special Agreement tersebut diratifikasi oleh Malaysia pada tanggal


19November 1997 dan oleh Indonesia dengan Keppres tanggal 29 Desember 1997
danmulai berlaku tanggal 14 Mei 1998. Selanjutnya kasus Pulau Sipadan-Ligitan
diajukan ke Mahkamah Internasional sesuai Pasal 40 ayat 1 StatutaMahkamah
Internasional melalui notifikasi bersama dan yang diterima oleh Panitera tanggal
2November 1998.
Ditengah-tengah proses acara, muncul pula upaya hukum lain yangditentukan
oleh negara ketiga, yaitu permohonan intervensi oleh Filipina terhadapperkara ini,
dengan alasan bahwa perkara ini menyangkut perjanjian-perjanjian yangoleh Filipina
merupakan dasar klaimnya terhadap Sabah. Sesuai dengan hukum acara Mahkamah
Internasional, Filipina dimungkinkan untuk memohon intervensi jika
keputusanMahkamah Internasional nantinya akan dapat mempengaruhi kepentingan
hukumnya sebagaipihak ketiga. Pada keputusannya pada tanggal 23 Oktober 2001,
MahkamahInternasional menolak permohonan intervensi Filipina ini dengan
pertimbanganbahwa Filipina tidak berhasil mendefinisikan apa yang menjadi
kepentingan hukumFilipina dalam perkara ini akan memberikan dampak pada
keputusan MahkamahInternasional.
Akhirnya pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional
dalamsidangnya telah mengeluarkan keputusannya yaitu bahwa Pulau
SipadanLigitanadalah milik Malaysia berdasarkan pertimbangan bahwa kedua pulau itu telah
lamadiadministrasikan oleh Inggris dan selanjutnya oleh Malaysia atau yang
dikenaldengan prinsip effectivies.
4.6 Hasil Keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
Atas Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan
Pada hari Selasa 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional (International
Court of Justice)mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau
Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga
itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 Hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak
kepada Indonesia. Dari 17 Hakim itu, 15 merupakan Hakim tetap dari Mahkamah
Internasional, sementara satu Hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


140

oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan


effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas
maritim), yaitu Pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan
administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung,
pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar
sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi
pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian
kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut
antara Malaysia dan Indonesia di Selat Makassar.Pokok-pokok Putusan Mahkamah
Internasional tersebut antara lain:

1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah


menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak
pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia.
Mahkamah Internasional juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua
pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian
diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title
Theory). Menurut Mahkamah Internasional tidak satupun dokumen hukum atau
pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan
kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk
kedua pulau sengketa.
2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan
wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas Pasal
IV Konvensi 1891. penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang
memotong Pulau Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah
timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima
Mahkamah Internasional. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau
tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van
Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas
Pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi
bagian dari Konvensi 1891. Mahkamah Internasional juga menolak dalil
alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


141

perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan
Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri
sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum
Republik Indonesia maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat
membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang
bersengketa.
Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah Internasional
menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan
oleh Belanda atas Pulau Sipadan-Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan
dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan
kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah
Internasional tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No.4/Prp/1960 tentang Perairan
yang ditetapkan pada 18 Februari 1960 yang merupakan produk hukum awal bagi
penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara juga tidak memasukkan Pulau
Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berkaitan dengan pembuktian effectivies Malaysia, Mahkamah Internasional
menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam
tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan Pemerintah
kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk
tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu
sejak 1917.
b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan
pada tahun 1930-an;
c. Penetapan Pulau Sipadan sebagai cagar burung, dan
d. Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di Pulau Sipadan dan pada
tahun 1963 di Pulau Ligitan.
4.7 Konsekuensi Yang Harus Dilakukan Indonesia Pasca Keputusan
Mahkamah Internasional
Dengan keluarnya keputusan dari Mahkamah Internasional dan Indonesia juga
terikat dengan UNCLOS 1982, maka Indonesia harus menerima konsekuensi dengan
melakukan beberapa perubahan. Beberapa perubahan tersebut antara lain:
1. Revisi PP No.38 Tahun 2002

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


142

Dalam Undang-Undang Perairan Indonesia yang terbaru yakni Undang-


Undang Nomor 6 Tahun 1996. Pengaturan penjelasan dari undang-undang ini
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat
Geografis. Titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia. Dalam Peraturan
Pemerintah tersebut Pulau Sipadan-Ligitan dijadikan sebagai salah satu titik
garis pangkal kepulauan Indonesia. Disitu disebutkanpada perairan Sulawesi,
Pulau Ligitan berada pada posisi 04˚ 10′ 00″ LU 118˚ 53′ 50″ BT dan 04˚ 08′
03″ LU 118˚ 53′ 01″ BT. Sedangkan Pulau Sipadan pada posisi 04˚ 06′12″
LU 118˚ 38′ 02″ BT.
Dengan demikian, maka daftar koordinat yang mencantumkan posisi Pulau
Sipadan-Ligitan tidak boleh lagi digunakan sebagai titik pengukuran garis pangkal
Indonesia. Keduanya tidak boleh lagi dicantumkan dalam daftar resmi titik pangkal
kepulauan Indonesia.
2. Menentukan rencana posisi titik-titik garis pangkal yang baru disekitar
perairan Sulawesi (disekitar Pulau Sipadan-Ligitan).
Rencana perubahan yang harus dilakukan tetap mengacu pada Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang daftar koordinat geografis Titiktitik
garis pangkal kepulauan Indonesia. Berdasarkan lampiran Peraturan
Pemerintah ini, posisi titik pangkal di perairan Sulawesi di sekitar Pulau
Sipadan-Ligitan adalah :
1. Tanjung Arang pada posisi 03˚ 27' 12″ LU dan 117˚ 52‟ 41″ BT
2. Pulau Maratua pada posisi 02˚ 15‟ 12″ LU dan 118˚ 32‟ 41″ BT
3. Pulau Sambit pada posisi 01˚ 46‟ 53″ LU dan 119˚ 02‟ 26″ BT
Jika kita hubungkan dengan Pulau Sipadan-Ligitan, maka seharusnya
titik-titik dasar perairan Sulawesi (di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan) adalah
titik Pulau Sipadan, Ligitan, Tanjung Arang, Pulau Maratua dan Pulau
Sambit. Karena Pulau Sipadan-Ligitan tidak lagi termasuk wilayah Indonesia,
maka titik-titik yang dipakai adalah Tanjung Arang, Pulau Maratua dan Pulau
Sambit. Dengan diperoleh titik-titik dasar pengukuran maka dapat ditentukan
posisi garis pangkal. Garis pangkal Indonesia sebagai negara kepulauan
ditarik dari Pulau Sebatik menuju Tanjung Arang lalu ke Pulau Maratua.
Posisi ini jelas berbeda dengan posisi jika garis pangkal yang ditarik
menghubungkan Pulau Sebatik-Pulau Sipadan-Pulau Ligitan-Tanjung ArangPulau
Maratua-Pulau Sambit.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


143

Garis pangkal yang diterapkan pada titik-titik tadi adalah garis pangkal
lurus kepulauan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UNCLOS 1982.
Garis pangkal ditarik dari titik-titik terluar pulau terluar Indonesia. Panjang
maksimal garis pangkal tadi tidak boleh melebihi 100 mil laut. Selain itu,
penarikan garis pangkal juga tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari
konfigurasi kepulauan.
3. Membuat rencana lebar laut territorial.
Pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia menetapkan lebar laut territorial Indonesia adalah jalur
selebar 12 mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Hal ini
sesuai Pasal 4 UNCLOS 1982 lebar maksimum laut territorial yang
diperkenankan bagi suatu negara adalah 12 mil laut. Dengan ditemukannya
posisi garis pangkal yang baru maka pengukuran garis pangkal di perairan
Sulawesi lebih mudah untuk ditentukan.
Yang perlu diperhatikan, posisi negara Indonesia dan Malaysia yang
pantainya berhadapan di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan, mengharuskan
penentuan lebar laut territorial ini melibatkan dua negara. Sesuai Pasal 15
UNCLOS 1982 Indonesia dan Malaysia harus membuat suatu persetujuan
penentuan batas laut territorial kedua negara.
4. Membuat rencana posisi batas kontinen.
Sejak tanggal 17 Februari 1969, Indonesia telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia. Pengumuman ini pada
pokoknya menyatakan bahwa :
“..... segala kekayaan alam yang terdapat pada dasar laut dan tanah di
bawahnya hingga kedalaman 200 meter atau lebih hingga kedalaman
yang masih memungkinkan eksploitasi merupakan hak mutlak Republik
Indonesia”.
Sayangnya, isi dari Pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen
tanggal 17 Februari 1969 yang kemudian dikukuhkan dengan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1973 isinya tidak sesuai lagi dengan UNCLOS
1982.Menurut Hakim Oda dalam descenting opinion, berdasarkan critical
date kasus ini yakni tahun 1969 maka kasus perselisihan penetapan batas
landas kontinen dapat diselesaikan dengan Konvensi tahun 1958 Pasal 6 ayat
(1), khususnya mengenai penggunaan baseline, apakah normal baseline (garis

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


144

pangkal biasa, berdasarkan air surut laut) ataukah straight baseline (garis
pangkal lurus, yaitu garis yang menghubungkan titik-titik terluar pantai pada
waktu air surut).Sedangkan ketentuan Pasal 84 juncto Pasal 74 UNCLOS
1982 yang menetapkan bahwa penentuan batas landas kontinen ditetapkan
berdasarkan kesepakatan kedua negara berdasarkan prinsip hukum
internasional di mana yang dipakai adalah prinsip penerapan jarak (distance
criteria). Rumusan yang sederhana ini berbeda dengan konvensi tentang Batas
Landas Kontinen 1958 yang secara tegas menambahkan adanya keadaan
khusus yang dapat mempengaruhi prinsip sama jarak (equidistance principle)
dalam penentuan batas maritim.
4.7.1 Keputusan Mahkamah Internasional Pengaruhnya Terhadap Penetapan
Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
Dalam sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, pada awalnya kedua belah pihak baik
Indonesia maupun Malaysia tidak mencantumkan kedua pulau tersebut sebagai bagian
dari peta mereka. Dalam Undang-Undang No.4 Prp tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia Pulau Sipadan-Ligitan tidak dicantumkan. Oleh karenanya, kedua pulau
tersebut tidak dijadikan titik dasar pengukuran. Direktorat Pemetaan Negara Malaysia
dan Department of Lands and Surveys Sabah memasukkan kedua pulau dalam peta
bumi sabah di wilayah hukum Samporna baru pada tahun 1976.Hal yang penting
berkenaan dengan keberadaan Undang-Undang Perairan Indonesia tersebut diatur pada
Pasal 1 ayat (2) yang memuat, ketentuan penarikan garis pangkal merubah cara
penetapan laut territorial Indonesia dari suatu cara penetapan laut bagi penetapan laut
territorial Indonesia. Undang-undang tersebut padahakekatnya telah territorial selebar 3
mil yang diukur dari garis air rendah (low water line) menjadi laut territorial selebar 12
mil diukur dari garis pangkal lurus (straight base lines) yang ditarik dari ujung ke ujung
pulau terluar Indonesia.Akibat dari ditetapkannya cara penarikan garis tersebut adalah :
1. Laut territorial Indonesia yang baru melingkari Indonesia.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


145

2. Perubahan status perairan yang terletak pada sebelah dalam garis


pangkal dari laut lepas menjadi perairan pedalaman. Perubahan ini
diimbangi dengan pemberian hak- hak lintas damai bagi kapal asing.
Dalam perkembangannya setelah wilayah perairan Indonesia diundangkan
dalam Undang-Undang No.4 Prp. Tahun 1960 tersebut, ternyata beberapa pulau atau
bagian pulau terluar yang seharusnya menjadi wilayah perairan Indonesia tidak terdaftar
dan tidak termasuk dalam wilayah perairan Indonesia atau berada di luar garis -garis
perairan Indonesia. Hal ini berdasarkan penelitian Dinas Hidrografi Angkatan Laut
terhadap ketentuan undang-undang Perairan Indonesia tersebut, telah tercatat beberapa
pulau yang berada di luar garis-garis dasar perairan Indonesia termasuk Pulau Sipadan-
Ligitan.Oleh karena itu, sesuai hasil penelitian dan laporan Dinas Hidrografi Angkatan
Laut di atas, maka pulau-pulau yang seharusnya menjadi wilayah perairan Indonesia
(termasuk Pulau Sipadan-Ligitan yang menjadi sumber sengketa Indonesia-Malaysia)
memang telah berada di luar laut territorial Indonesia yang berjarak 12 mil laut dari
garis pangkal.
Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tidak mengadopsi sistem penerapan
garis pangkal lainnya yang juga diatur dalam Konvensi Jenewa 1958, yaitu normal base
lines (garis pasang-surut). Dengan hanya dikenalnya satu cara penetapan garis pangkal
pada Undang-Undang No.4 Prp Tahun 1960, serta kekurang telitian mengukur titik
koordinat pulau-pulau terluardalam wilayah Indonesiamaka Pulau Sipadan-Ligitan
memang tidak termasuk dalam wilayah Indonesia berdasarkan Undang-Undang No.4
Prp Tahun 1960.Garis-garis pangkal yang digunakan Indonesia secara resmi tertuang
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar
Koordinat Titik-titik Geografis Garis Pangkal Kepulauan Indonesia sebagai peraturan
penjelas dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Untuk
itu, diperlukan adanya peta yang dengan jelas menentukan titik-titik serta garis-garis
yang dijadikan dasar untuk mengukur laut. Dengan demikian, kejelasan posisi garis
pangkal dalam mengatur batas laut antarnegara menjadi sangat penting karena dalam
Pasal 48 UNCLOS 1982 menetapkan bahwa pengukuran lebar laut wilayah, zona
tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen diukur dari garis pangkal.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


146

Masing-masing negara hampir dapat dipastikan berusaha membuat titik-titik


dasar pulaunya sebagai dasar penetapan garis pangkal semaksimal mungkin. Dalam
artian bahwa dicari posisi garis pangkal yang akan memperlebar posisi laut territorial,
jalur tambahan, landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif. Apalagi bagi negara
Indonesia sebagai negara kepulauan akan memiliki arti yang signifikan dengan posisi garis
pangkal yang signifikan tadi. Dalam kaitannya dengan sengketa Pulau SipadanLigitan kita
dapat melihat bahwa dalam Daftar Koordinat Geografis titik-titik Garis Pangkal Negara
Kepulauan Indonesia di Laut Sulawesi di sekitar garis 4˚ Lintang Utara dan 118˚ Bujur Timur,
kita temukan ada 3 titik yang menggunakan pulau sebagai titiktitik pengukuran garis pangkal.
Tepatnya adalah sebagai berikut :
1) Pulau Ligitan pada 04˚ 10‟ 00” Lintang Utara 118˚ 53‟ 50” Bujur
Timur;
2) Pulau Ligitan pada 04˚ 08‟ 03” Lintang Utara 118˚ 53‟ 01” Bujur
Timur;
3) Pulau Sipadan pada posisi 04˚ 06‟ 12” Lintang Utara 118˚ 38‟ 02” Bujur
Timur.
Posisi Pulau Sipadan-Ligitan memang cukup jauh dari pulau induk yakni Pulau
Sebatik. Sehingga, posisi garis pangkal yang ditarik melalui titik-titik kedua pulau
tersebut jelas menguntungkan bagi Indonesia. Pulau Sipadan yang berjarak 42 mil laut
daripantai timur Pulau Sebatik, yang masih jauh dari batas panjang maksimal garis
pangkal 100 mil laut ataupun garispanjang maksimal garis pangkal 125 mil laut
sebanyak 3% dapat menjadi titik terluar dari kepulauan Indonesia. Sehingga posisi
Pulau Sipadan tentu akan sangat signifikan dalam menambah zona-zona laut Indonesia
yang notabenediukur dari garis pangkal kepulauan ini. Indonesia harus menggunakan
titik garis pangkal yang selama ini ada dalam peraturan perundang-undangannya dengan
menghapus posisi Pulau Sipadan-Ligitan. Sehingga garis pangkal ditarik dari ujung-
ujung pulau terluar di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan yang masih termasuk wilayah
Indonesia.Pengaruh perubahan posisi garis pangkal ini juga akan berpengaruh pada
pengaturan batas laut yang lain yang masing-masing diuraikan sebagai berikut :

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


147

1) Wilayah Laut Territorial


Setiap negara mempunyai hak untuk menentukan lebar laut
territorialnya sampai batas tidak melebihi 12 mil laut diukur dari garis
pangkal. Batas terluar laut territorial adalah garis yang setiap titik-
titiknya ada pada suatu jarak yang terdekat dengan titik-titik garis
pangkal sejauh lebar laut territorial yang telah ditentukan.Lebar laut
territorial yang seharusnya diukur maksimal 12 mil laut dari Pulau
Sipadan-Ligitan tersebut menjadi bukan hak Indonesia lagi. Luas
wilayah laut yang didasari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 dan
peraturan penjelasnya menjadi berkurang. Kondisi ini membuat
Indonesia menjadi dirugikan karena berkurangnya kepemilikan terhadap
luas wilayah laut.Pasal 2 Konvensi menentukan bahwa kedaulatan
negara pantai meliputi laut territorialnya, termasuk ruang udara diatasnya
dan dasar laut serta tanah di bawahnya. Dalam hukum laut baru inipun
kedaulatan negara tetap dibatasi dengan hak lintas damai bagi kapal
asing (Pasal 7 Konvensi).Pada wilayah laut territorialnya, negara pantai
mempunyai kedaulatan penuh. Selain membuat peraturan-peraturan,
kedaulatan negara mempunyai akibat lain dalam hukum, yakni
wewenang untuk melakukan penuntutan atas pelanggaran-pelanggaran
ketentuan perundang-undangan umum negara pantai baik dibidang
pidana maupun perdata. Wewenang untuk memaksakan pentaatan
terhadap hukum demikian dinamakan yurisdiksi yang bisa berupa
yurisdiksi kriminal dan perdata.
2) Perairan Kepulauan Indonesia dan Perairan Pedalaman Indonesia
Kedaulatan negara kepulauan meliputi perairan yang dikelilingi
oleh garis-garis pangkal tersebut, termasuk udara di atasnya serta dasar
laut di bawahnya (Pasal 49). Namun tidak dapat disimpulkan bahwa
perairan kepulauan ini sama dengan perairan pedalaman. Konsep
perairan kepulauan adalah sesuatu yang baru dalam hukum laut

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


148

internasional. Perairan seperti ini bersifat sui generis, di mana tidak


termasuk perairan pedalaman maupun laut territorial. Perbedaannya
adalah bahwa perairan kepulauan tundukkepada suatu rezim khusus
tentang pelayaran dan lintas penerbangan.
Pada kasus sengketa ini, jika Pulau Sipadan-Ligitan menjadi
pengukuran titik garis pangkal, maka perairan yang ada pada sisi dalam
dari garis-garis pangkal yang terhubung akan termasuk dalam perairan
Indonesia. Dengan tidak dapat dijadikannya sebagai titik penetapan garis
pangkal, maka perairan yang tadinya menjadi perairan Indonesia
menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 menjadi laut territorial
Malaysia. Hal ini jelas suatu kerugian bagi posisi Indonesia.
3) Batas Landas Kontinen
Landas kontinen suatu negara pantai adalah dasar laut dan tanah
di bawahnya yang merupakan kelanjutan daratan wilayahnya sampai
jarak 200 mil dari garis dasar dan dalam hal tertentu dapat sampai 350
mil laut, tergantung jarak tepian kontinennya (continental margin).
Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 76 Konvensi. Negara pantai
mempunyai hak untuk melaksanakan kedaulatannya atas landas kontinen
untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber alamnya. Hak tersebut
eksklusif dalam arti apabila negara pantai tidak mengambilnya, tidak
satupun negara diperkenankan melakukannya.
Dengan adanya perubahan posisi garis pangkal Indonesia setelah
keluarnya putusan Mahkamah Internasional, maka lebar landas kontinen
Indonesia juga mengikuti perubahan garis pangkal tersebut. Indonesia
mengalami pengurangan lebar landas kontinen sebagaimana jika diukur
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 yang mencantumkan
kedua pulau tersebut sebagai titik pengukuran. Hal inilah yang
sebenarnya tidak diinginkan Indonesia, karena kekayaan dilandas
kontinen sangat besar artinya.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


149

4) Zona Ekonomi Eksklusif


Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) diartikan sebagai suatu daerah
diluar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur
dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial
(Pasal 55 dan 57). Menurut Pasal 56, di ZEE negara pantai dapat
menikmati :
a. Hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi,
konservasi dan pengelolaan segala sumber kekayaan alam di dasar laut
dan tanah di bawahnya serta pada perairan di atasnya. Demikian pula
terhadap semua kegiatan yang ditujukan untuk tujuan eksploitasi secara
ekonomis dari zona tersebut (seperti produksi energi, air, arus dan
angin).
b. Yurisdiksi sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi ini, atas
pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset ilmiah kelautan serta
perlindungan lingkungan laut.
c. Hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan
dalam Konvensi.
Dengan adanya perubahan posisi garis pangkalIndonesia setelah keluarnya
putusan Mahkamah Internasional, maka lebar ZEE Indonesia juga mengikuti perubahan garis
pangkal tersebut. Indonesia mengalami pengurangan lebar sebagaimana jika diukur
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 yang mencantumkan kedua pulau sebagai
titik-titik pengukuran. Artinya, hak-hak yang diterima Indonesia di wilayah ini juga
mengalami perubahan.
4.8 Dinamika Perubahan Politik Indonesia dalam Menyikapi Sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan
Tidak bisa ditolak bahwa demokratisasi dan perubahan politik terus
berlangsung di semua aspek kehidupan sosial politik di Indonesia. Perubahan tersebut

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


150

bahkan menyentuh bidang diplomasi dan politik luar negeri yang selama ini dianggap
murni merupakan kewenangan penuh pihak eksekutif atau Pemerintah. Permasalahan
sengketa Pulau Sipadan-Ligitan terjadi pada masa Pemerintahan Orde Baru yang
otoritarian, sehingga konsultasi antara Pemerintah dengan DPR RI (khususnya Komisi I
DPR RI) dan kalangan publik mengenai politik luar negeri dan diplomasi pada saat itu
hanya terjadi dalam level atau tingkat yang sangat minimal. 147 Oleh karena itu, proses
perumusan kebijakan politik luar negeri yang melibatkan semakin banyak aktor politik
akan membuka kemungkinan bahwa setiap kebijakan politik luar negeri akan
mempresentasikan kepentingan nasional Indonesia secara lebih luas.
Kritik politik luar negeri pada masa Pemerintahan Orde Baru yang merupakan
Pemerintahan transisi terus berlanjut, karena partai oposisi selalu menjadikan politik
luar negeri sebagai target karena merupakan arena terbuka yang proses perumusannya
dilihat sebagai monopoli Pemerintah yang berkuasa. Akibatnya, akan sangat mudah
diidentifikasi kekuatan atau kelemahan politisnya oleh pihak lawan seperti dengan
Malaysia dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.148 Sementara itu,
kenyataan yang terjadi di Indonesia yang merupakan buah dari proses demokratisasi
memperlihatkan bahwa sentra kekuasaan telah mengalami diversifikasi. Konsekuensi yang
diterima adalah akan terjadi perubahan dalam berbagai proses pengambilan keputusan,
termasuk dalam bidang politik luar negeri dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan. Oleh karena itu, input-input atau masukan-masukan untuk sebuah proses
perumusan kebijakan politik luar negeri menjadi sangat beragam, baik dari isi ataupun
sumbernya.
Dalam suatu proses perundingan bilateral suatu negara harus disadari bahwa
memiliki dua dimensi baik dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, langkah
perundingan bilateral dan proses perumusan kebijakan politik luar negeri secara
imperatif harus mendapatkan persetujuan sebanyak mungkin aktor politik dan salah
satunya adalah lembaga legislatif atau DPR RI (khususnya Komisi I DPR RI). Akan

147
Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Dese mber
2012.
148
Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


151

tetapi, pada saat yang sama aktor-aktor politik di dalam negeri juga harus menyadari
bahwa perundingan bilateral dan politik luar negeri dalam perumusan kebijakan politik
juga penting untuk selalu memperhatikan harapan atas peran yang dinantikan dari
negara tersebut oleh negara-negara lain, baik dalam konteks regional ataupun global.
Sehingga pencitraan diri Indonesia sebagai negara demokratis di luar negeri dalam
menyikapi permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan diharapkan dapat memberikan
sumbangan positif bagi proses konsolidasi demokrasi di dalam negeri.
Arah dan substansi kebijakan politik luar negeri negara manapun pada akhirnya
akan sangat dipengaruhi jika tidak ditentukan oleh perubahan-perubahan yang terjadi di
dalam maupun di luar negeri. Namun demikian, permasalahan sengketa Pulau Sipadan-
Ligitan mau tidak mau membuat Pemerintah Indonesia sulit untuk melakukan proses
perumusan kebijakan politik karena hasil perundingan bilateral terus mengalami
kebuntuan. Dari hal tersebut tercermin bahwa Indonesia tidak dapat menghindar dari
keharusan menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi selama perundingan bilateral
dengan Malaysia dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.149
Dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, komitmen
Indonesia ternyata belum memberikan efek serius terhadap policy network dalam proses
perumusan kebijakan politiknya. Dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan, meskipun proses perumusan kebijakan politik belum bisa dilaksanakan
karena dasar-dasar dari hasil perundingan bilateral tidak pernah diperoleh, karena baik
Indonesia maupun Malaysia masih kuat dalam mempertahankan argumentasi-
argumentasi dengan bukti-bukti sejarah yang dimiliki oleh kedua negara.
Sebenarnya Indonesia sudah mempunyai sebuah konsep pluralisme politik, di
mana terdapat keterlibatan warga negara secara langsung dalam policy network. Policy
network harus tetap dianggap sebagai sesuatu yang sentral bagi Pemerintah dalam
pembuatan kebijakan politik luar negeri. Hal tersebut diterapkan pada proses perumusan
kebijakan politik apabila dari perundingan bilateral dengan Malaysia memberikan titik
terang dan hasil yang dapat dijadikan sebagai dasar perumusan kebijakan politik oleh

149
Rahardjo Jamtomo, Politik Luar Negeri Indonesia Kini dan Kedepan dalam Semangat Kebangsaan dan
Politik Luar Negeri Indonesia, Bandung: Percetakan Angkasa, 2002, hlm. 68.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


152

Pemerintah Indonesia. Sistem demokrasi dan politik luar negeri Indonesia mungkin
akan menjadi lebih kuat karena partisipasi publik yang luas dalam policy
network.150Policynetwork muncul disebabkan karena isu-isu internasional termasuk
pada penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dengan Malaysia.
Bukan hanya itu saja policy network menuntut pluralisasi dalam pembuatan kebijakan
politik luar negeri, tetapi juga tentang pengakuan akan pentingnya kesetaraan yang
dianggap sebagai kebijakan politik luar negeri dan kebijakan politik dalam negeri.
Efek pembangunan demokrasi di Indonesia dikaitkan dengan penyelesaian
permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sangat luas. Sistem demokrasi menjadi
faktor positif bagi proses kebijakan (policy process)dan utamanya adalah kebijakan
politik luar negeri. Indonesia berusaha melakukan kerjasama dengan Malaysia dalam
penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan melalui perundingan
bilateral. Hal tersebut dilakukan sebagai proses tawar-menawar Indonesia dalam politik
dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, agar Pemerintah
memiliki dasar-dasar yang kuat dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri.
Upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia sulit terwujud apabila Malaysia tidak
mempunyai kemauan dan komitmen politik yang teguh. Keadaan domestik baik
Indonesia maupun Malaysia tentunya juga merupakan faktor kunci dari kemauan dan
komitmen politik dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.
Arah kebijakan politik luar negeri Indonesia terhadap Malaysia dalam
penyelesian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan tetap harus
memfokuskan pada bagaimana membawa kerjasama atau perundingan bilateral ke arah
yang lebih baik dan memberikan hasil.151 Bukan hanya itu, kemitraan antara Indonesia
dan Malaysia dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-
Ligitan harus ditingkatkan apabila Pemerintah Indonesia menginginkan proses
perumusan kebijakan politik dapat dilaksanakan. Kemitraan yang dilakukan Indonesia
melalui kerjasama atau perundingan bilateral juga akan memunculkan banyak tantangan
150
Philips J. Vermonte dalam tulisan Mengenai upaya Indonesia membangun citra diri.
151
Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember
2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


153

baru dalam mewujudkan tujuan yang ingin dicapai yaitu tujuan politik. Dalam
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan setidaknya
Indonesia telah menawarkan keuntungan dalam perundingan bilateral dengan Malaysia
dalam upaya politis. Sehingga, dalam proses perumusan kebijakan politik mampu
memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan dampak negatif yang mungkin akan
timbul.
Bagi Indonesia yang terpenting dalam perundingan bilateral dalam
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan adalah mencari
bentuk hubungan atau kemitraan strategis dengan Malaysia. 152 Pemberian fokus hanya
pada salah satu dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri hanya akan
menghasilkan suatu kebijakan politik yang tidak akan memberi keuntungan bagi suatu
negara. Perundingan bilateral yang dilakukan Indonesia dalam penyelesaian sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan sebagai upaya politis menjadi pilihan yang strategis
dalam memperjuangkan kepentingan nasional dalam mempertahankan kedaulatan
negara. Kemauan Pemerintah Indonesia yang dijalankan secara politis dalam
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan tentunya tidak
terlepas dari keadaan politik domestik. Karena sangat jelas bahwa kebijakan politik luar
negeri selalu menjadi refleksi dari suatu kebijakan politik domestik. Keadaan politik
domestik Indonesia yang stabil dan kondusif tentunya akan memberikan sebuah
jaminan keberhasilan dalam berbagai strategi yang dirancang dalam proses perumusan
kebijakan politik luar negeri Indonesia.153
Proses perumusan kebijakan politik luar negeri Indonesia dalam penyelesaian
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan -Ligitan bertujuan untuk
memperjuangkan suatu kepentingan melalui perundingan bilateral atau kerjasama.
Kepentingan politis yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia bersifat global, regional,
nasional maupun parokial. Sebenarnya Indonesia sejak akhir tahun 1960-an secara tegas

152
Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat
menghadiri seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di kantor Kemlu RI).
153
Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada
hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


154

menyatakan bahwa kebijakan politik luar negeri ditujukan untuk memperjuangkan


kepentingan nasional. Untuk itu, kebijakan politik luar negeri Indonesia dihadapkan
dengan penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan
menyangkut beberapa faktor. Faktor pertama adalah politik luarnegeri harus selalu
diabdikan untuk kepentingan nasional, dalam hal ini kepentingan nasional yang paling
utama adalah bagaimana mempercepat proses politis dihadapkan pada penyelesaian
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Faktor kedua adalah
semakin pentingnya opini publik dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri.
Politik luar negeri tidak dapat lagi dianggap sebagai ranah (domain) eksklusif
para elit politik pembuat suatu kebijakan politik. Indonesia sebagai sebuah negara
demokrasi, perumusan kebijakan politik luar negeri Indonesia juga harus mencerminkan
aspirasi publik atau masyarakat secara luas. Namun, dihadapkan pada penyelesaian
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, opini publik atau
masyarakat tidak selalu rasional dan adakalanya malah dapat kontraproduktif bagi
kepentingan nasional menyangkut kedaulatan negara. Oleh karena itu, dalam proses
perumusan kebijakan politik oleh Pemerintah dihadapkan pada penyelesaian
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan memiliki sebuah tantangan
bagaimana Pemerintah memilah opini publik atau masyarakat yang sejalan dengan
kepentingan bersama di satu pihak dengan opini yang hanya mencerminkan kepentingan
kelompok saja.
Faktor ketiga dihapkan pada penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan
Pulau Sipadan-Ligitan adalah berubahnya struktur pengambilan keputusan politik oleh
Pemerintah. Di mana Pemerintah bukan lagi merupakan satu-satunya aktor dalam
pembuatan kebijakan politik, tetapi juga diperlukan sebuah opini publik atau
masyarakat yang sejalan yang kemudian didukung oleh lembaga legislatif dalam hal ini
yaitu DPR RI (khususnya Komisi I DPR RI). Faktor keempat dihadapkan dengan
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan adalah
mengenai kapasitas nasional (national capacity) dalam menjalankan politik luar negeri.
Para pelaku perumus kebijakan politik harus rasional dalam menyusun agenda prioritas
yang tidak hanya mencerminkan kebutuhan-kebutuhan nyata bagi pemenuhan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


155

kepentingan nasional, tetapi juga harus realistis dalam penetapan prioritas. Kebijakan
politik Indonesia pada penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau
SipadanLigitan menentukan arah dalam mempertahankan kedaulatan wilayah negara.
Proses perumusan kebijakan politik luar negeri oleh Pemerintah tidak
maksimal karena adanya hambatan-hambatan yang berkaitan dengan hasil perundingan
bilateral yang dilaksanakan dengan Malaysia. Kerena kedua negara tetap
mempertahankan argumentasi-argumentasi berupa bukti-bukti sejarah yang dimiliki
kedua negara dengan menghiraukan lebih jauh kepentingan nasional masing-masing
negara. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia juga mengalami hambatan dalam
proses perumusan kebijakan politik yang akan dikonsultasikan dengan lembaga
legislatif untuk memperoleh saran dan masukan. Tetapi hal tersebut gagal dilaksanakan
secara maksimal karena dasar-dasar yang akan dijadikan bahan pertimbangan dalam
perumusan kebijakan politik belum mendukung dan sangat minim sekali apabila bahanbahan
pertimbangan tersebut dikonsultasikan dengan lembaga legislatif.
Pemerintah tidak mau setengah-setengah mengumpulkan dasar-dasar sebagai
bahan pertimbangan dalam proses perumusan kebijakan politik yang akan
dikonsultasikan dengan lembaga legislatif. Untuk itu, Pemerintah Indonesia berusaha
semaksimal mungkin melaksanakan perundingan bilateral dengan Malaysia dalam
penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dalam upaya politis untuk
memperoleh dasar dalam perumusan kebijakan politik.154 Hal tersebut penting
dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia mengingat bukti-bukti sejarah yang minim
untuk dapat memperoleh pengakuan atas kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Upaya
politis yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia bertujuan sangat penting dalam
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, karena dengan
pendekatan secara politis Indonesia dapat lebih agresif dalam perumusan kebijakan
politik yang nantinya akan dapat mempengaruhi keadaan politik domestik Malaysia.
Secara politis, Pemerintah Indonesia merasakan kegagalan yang sangat luar
biasa karena hasil yang diharapkan selama perundingan bilateral tidak pernah berjalan
154
Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat
menghadiri seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di kantor Kemlu RI).

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


156

mulus sesuai harapan Pemerintah. Sehingga berdampak pula dalam proses perumusan
kebijakan politik oleh Pemerintah Indonesia dengan lembaga legislatif. Di sisi lain,
opini publik atau masyarakat yang sejalan tidak mendapatkan tempat di mata para aktor
politik negara. Dalam proses perumusan kebijakan politik, opini publik seharusnya
dapat diikutsertakan sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah pada saat perumusan
kebijakan politik dikonsultasikan dengan lembaga legislatif. Dilihat dari proses
perumusan kebijakan politik dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan
Pulau Sipadan-Ligitan, kepentingan politik luar negeri Indonesia belum berada pada
upaya menjalankan agenda-agenda untuk melakukan perubahan-perubahan yang
dramatis dalam percaturan dan struktur politik global.
Dengan kata lain, seharusnya Pemerintah Indonesia dalam penyelesaian
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan yang menyangkut pada
proses perumusan kebijakan politik dengan cara memperbaiki dan meningkatkan
vitalitas politik domestik.155 Hal tersebut dilakukan dengan cara mempercepat
konsolidasi demokrasi dan penguatan integrasi nasional (teritorial dan sosial) melalui
dukungan internasional yaitu dengan menggandeng anggota negara-negara ASEAN
sebagai penengah. Upaya tersebut juga telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia,
tetapi dengan tegas Pemerintah Malaysia menolaknya dengan alasan politis bahwa
nantinya akan mendapatkan perlawanan dari anggota negara -negara ASEAN
dihadapkan dengan pencaplokan wilayah kedaulatan negara. Proses perumusan
kebijakan politik oleh Pemerintah Indonesia dapat dilakukan apabila dalam setiap
perundingan bilateral dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau
Sipadan-Ligitan dapat memberikan hasil pencapaian yang dapat dijadikan dasar
perumusan kebijakan politik sebagai bahan pertimbangan Pemerintah dalam
melaksanakan konsultasi dengan DPR.
Dihadapkan pada penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau
Sipadan-Ligitan, maka tantangan politik luar negeri Indonesia semakin keras. Belum
lagi terdapat perubahan-perubahan politik internasional dan politik domestik yang

155
Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada
hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


157

kemunculannya begitu mendadak dan sulit diantisipasi, itulah yang menjadi tantangan
Pemerintah Indonesia dalam melakukan proses perumusan kebijakan politik dihadapkan
dengan penyelesaian permasalahan yang tidak kunjung selesai dan memberikan hasil.
Dengan demikian, mendesak bagi Indonesia untuk memobilisir seluruh sumber daya
yang ada dalam masyarakat dan peran aktif masyarakat untuk memberikan masukan
atas permasalahan persengketaan kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Peran aktif
masyarakat untuk membantu mendukung upaya perundingan bilateral sebagai upaya
politis yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan
persengketaan kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.
Untuk itu, konsekuensi dari keharusan Pemerintah Indonesia dalam proses
perumusan kebijakan politik luar negeri adalah dengan menghadapi dan mengatasi
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Dari
pelaksanaan proses perumusan kebijakan politik yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia dimugkinkan untuk diadakan perubahan atau dibutuhkan perubahan desain
politik luar negeri. Perubahan desain politik luar negeri dihadapakan pada penyelesaian
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan untuk menampung beragam
kebutuhan kepentingan nasional dan kepentingan internasional Indonesia untuk jangka
panjang, sehingga kejadian tersebut agar tidak terulang kembali karena wilayah
teritorial Indonesia terdiri dari beribu-ribu kepulauan yang sebagian belum diberikan
nama dan rawan untuk lepas dari kedaulatan Indonesia.
Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, visioner, berkesinambungan dan
memiliki koherensi dalam upaya-upaya perundingan bilateral dengan Malaysia dalam
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Upaya politis
yang dilakukan Indonesia yaitu dengan melaksanakan perundingan bilateral dalam
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan merupakan
faktor yang sangat penting untuk meningkatkan bukan hanya independensi dan
kedaulatan Indonesia atas wilayah teritorialnya, tetapi juga upaya dalam posisi tawar -
menawar internasionalnya dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri. 156

156
Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


158

Apabila politik luar negeri yang demikian ini dapat diwujudkan oleh
PemerintahIndonesia dihadapakan dalam upaya penyelesaian permasalahan sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, maka proses perumusan kebijakan politik yang
dilakukan akan berjalan dengan baik.157 Sayangnya, dalam perundingan bilateral
tersebut tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh Pemerintah Indonesia,
sehingga Pemerintah dianggap tidak mampu dan gagal dalam menjalankan upaya
politis.
Dengan demikian, upaya Pemerintah untuk merumuskan kebijakan politiknya
tidak berjalan dengan apa yang telah direncanakan dengan mengikutsertakan lembaga
legislatif sebagai partner dalam melakukan konsultasi politik. Kenyataan yang
diaharapkan Pemerintah melalui perundingan bilateral dengan Malaysia dalam
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan sungguh
berbeda. Karena Pemerintah menginginkan hasil dari perundingan bilateral tersebut agar
dalam proses perumusan kebijakan politik mempunyai dasar yang kuat untuk
memberikan suatu ketegasan politis dalam mempertahankan kedaulatan negara yang
berhubungan dengan wilayah teritorial Indonesia. Perumusan kebijakan politik yang
dilakukan oleh Pemerintah untuk memberikan ketegasan mengenai permasalahan
kedaulatan negara terhalang oleh hasil dari perundingan bilateral dengan Malaysia yang tidak
memberikan hasil yang nyata.
Dalam proses perumusan kebijakan politik luar Indonesia dihadapkan dalam
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan -Ligitan harus
memperhatikan implikasi perkembangan dalam perundingan bilateral dengan Malaysia
terhadap integritas wilayah dan keadaan politik domestik.158 Untuk itu, diperlukan
kepekaaan antara aktor-aktor politik negara dan publik dalam memberikan opini yang
sejalan dengan Pemerintah sehigga dapat mendukung langkah Pemerintah dalam
merumuskan kebijakan politik. Kegagalan proses perumusan kebijakan politik oleh
Pemerintah merupakan suatu awal kehancuran dalam upaya politis dalam rangka
157
Wawancara dengan Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo pada hari ,
Senin, 10 Desember 2012.
158
Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada
hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


159

mempertahankan kedaulatan negara menyangkut wilayah teritorial Indonesia. Proses


perumusan kebijakan politik dapat berjalan dengan baik apabila dalam perundingan
bilateral dengan Malaysia mendapatkan hasil yang dapat dijadikan dasar bagi
Pemerintah yang nantinya akan dijadikan dasar yang kuat dalam proses perumusan
kebijakan politik oleh Pemerintah.
Pada saat ini, di masyarakat ataupun di jajaran eksekutif dan legislatif sedang
gencar membicarakan isu tentang perlunya sebuah undang-undang khusus tentang
perbatasan sebagai dasar hukum dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dukungan undang-undang khusus perbatasan wilayahNegara Kesatuan
Republik Indonesia kini terasa kian mendesak akibat dari peristiwa lepasnya Pulau
Sipadan-Ligitan, undang-undang itu ibaratsertifikat tanah untuk keabsahan kepemilikan
lahan guna menekan kemungkinan terjadinya penyerobotan. 159Di satu sisi pentingnya
dasar hukum sebuah wilayah negara sangat penting. Namun,apabila melihat perundang-
undangan kita, sesungguhnya apa yang dimaksud denganundang-undang perbatasan
sudah dimiliki oleh Indonesia, baik yang menunjukkan klaim integritas wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia maupun perundangan yang merupakan hasil kesepakatan
dengan negara tetangga.
Sebagai contoh perundangan nasional terkait dengan batas wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesiaadalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002
tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
(kini telah diperbaharui denganPeraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008). Di dalam
Peraturan Pemerintahtersebut dicantumkan daftar koordinat geografis dari titik-titik
garis pangkal Kepulauan Indonesia. Garis pangkal dimaksud adalah garis yang
menghubungkantitik-titik terluar dari pulau terluar dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Selanjutnya, titik-titik tersebutdihubungkan satu dengan yang lain
sehingga membentuk garis pangkal KepulauanIndonesia sebagai “fondasi pagar” batas
wilayah negara di laut. Dari garis pangkaltersebut diukur lebar laut teritorial sejauh 12
mil laut (nm) atau sesuai dengan kesepakatan apabila terjadi overlapping dengan laut

159
Hasil wawancara dengan Letjen TNI (Purn) Syaiful Rizal (mantan Pangdam IX/Udayana dan
Dankodiklat TNI AD) pada hari Jum‟ at, 10 Agustus 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


160

teritorial negara tetangga. Daribatasan itu jelas bahwa segala sesuatu yang berada di
dalam zona laut teritorial Indonesia mutlak merupakan wilayah kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang maka diperlukan
penataan kembali arsip-arsip maupun dokumen sejarah, khususnya menyangkut
dokumen wilayah kekuasaan Hindia Belanda dan perjanjian perbatasan yang pernah
dibuat dengan negaratetangga.160 Hal ini penting untuk ditindaklanjuti mengingat betapa
lemahnya sistem pengarsipan dinegara kita, disisi lain dokumen itu sangat diperlukan
dalam penyelesaian sengketa perbatasandengan negara lain. Untuk itu, seharusnya yang
diperlukan adalah sebuah komitmen dan kebijakan politik dari Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (eksekutif dan legislatif) untuk dapat menyempurnakan
kembali produk undang-undang yang mengatur tentang batas wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (UU No.6 Tahun 1996, PP.No.38 Tahun 2002 dan undang-undang
lain yang harus dibuat sesuai dengan UNCLOS 1982), selanjutnya produk undang -
undang tersebut disampaikan ke Sekretariat PBB untuk mendapatpengakuan
internasional.161

4.9 Usaha Perubahan Kebijakan Politik Luar Negeri Presiden Soeharto


Gambaran umum mengenai politik dan Pemerintahan pada masa Pemerintahan
Presiden Soeharto adalah politik luar negeri termasuk bidang dalam Pemerintahan Orde
Baru yang dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Hal
yang terpenting dan menjadi prioritas dalam politik Orde Baru adalah pembangunan
dan stabilitas. Hal ini menjadi panduan dalam politik luar negeri Orde Baru yang
menjadi antitesis dari politik luar negeri Orde Lama. Orde Lama atau masa Demokrasi
Terpimpin menjadikan politik luar negerinya sebagai alat untuk condong ke Blok
Timur. Hal ini kemudian diubah oleh Orde Baru, salah satunya dengan
memutushubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Walaupun

160
Hasil wawancara dengan Letjen TNI (Purn) Hadi Waluyo (mantan Pangdam VI/Mulawarman dan
Pangkostrad) pada hari Jum‟ at, 3 Agustus 2012.
161
Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


161

pada tahun 1990, Indonesia membuka kembali hubungan tersebut dengan alasan
ekonomi.162
Bahwa sistem politik luar negeri yang dianut Indonesia dari masa kemerdekaan
hingga saat ini tidak mengalami perubahan meskipun telah terjadi beberapa kali
pergantian masa Pemerintahan.Doktrin Bebas-Aktif pertama kali diungkapkan oleh
Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta. Mohammad Hatta dalam pidatonya
“Mendayung Antara Dua Karang”, “aktif” yang dimaksud menunjukkan suatu intensitas
Indonesia untuk ikut serta dalam usaha menjaga dan menciptakan perdamaian dunia. Ini
berarti Indonesia tidak menunjukkan suatu netralitas, yang diartikan sebagai keadaan tak
berpartisipasi. Yang dimaksudkan Bung Hatta adalah Indonesia tidak memihak
adidaya dunia namun bukan berarti Indonesia mundur dari arena pertentangan
internasional, melainkan Indonesia akan terus berusaha secara aktif untuk melakukan
upaya-upaya demi menciptakan perdamaian dunia.163
Landasan konstitusi politik bebas aktif baru dibuat tahun 1999, yaitu Undang-
Undang 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Pasal 3 menyatakan bahwa
Politik Luar Negeri menganut prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan
nasional. Namun undang-undang ini belum ada di masa Orde Baru. Sehingga prinsip
bebas aktif yang dianut dan dijadikan landasan hanya sebagai landasan moral, bukan
konstitusional. Teori persepsi dalam politik luar negeri bahwa persepsi para pembuat
kebijakan luar negeri berpengaruh pada dan memainkan peran dalam menentukan
kebijakan negara yang dilaksanakan pada politik luar negeri terhadap negara lain.
Bahwa dalam merumuskan formulasi politik luar negeri Indonesia cenderung dibentuk
oleh elit daripada oleh “massa” melalui proses demokrasi.164 Elit yang dimaksud banyak
dipengaruhi oleh budaya dan efek historis. Walaupun pembentukan politik luar negeri
dibentuk oleh beberapa lembaga, namun Pemerintahan Orde Baru yang didominasi

162
Lihat Sukamdani Sahid Gitosardjono, Dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok di era kebangkitan AS,
Lembaga Kerjasama Ekonomi, Sosial, Budaya Indonesia China, 2006, hlm. 56.
163
Politik-Luar-Negeri-Indonesia-Kebebasaktifan-Yang-Oportunis, diperoleh dari
http://www.scribd.com/doc/24673774 . [Diakses pada tanggal 12 Februari 2012 pukul 4:39].
164
Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri di bawah Soeharto, LP3ES: Jakarta, 1993. hlm. 54.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


162

militer dan sentralistik menjadikan Presiden Soeharto sebagai pembentuk dominan


politik luar negeri dibanding prinsip bebas aktif.
Untuk mencapai kepentingan nasionalnya, maka Pemerintah Orde Baru
membentuk beberapa kebijakan luar negeri. Merujuk dari penjelasan di atas, bahwa
politik luar negeri yang telah dibangun oleh Orde Baru bisa disimpulkan menjadi tiga
variabel: Perbaikan Ekonomi, Normalisasi hubungan dengan dunia Barat, dan
revitalisasi organisasi regional. Pertama, Perbaikan ekonomi yang menjadi prioritas
Pemerintah Orde Baru dituangkan dalam pembangunan lima tahun (Pelita). Pelita
direncanakan setiap lima tahun dan ditetapkan sebagai Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Untuk mendukung
terlaksananya Pelita, Indonesia membentuk negara-negara pendonor dalam forum
Intergovermental Group On Indonesia (IGGI). Selain itu, Pemerintah pun membuat
undang-undang investasi yang mempermudah investasi asing masuk ke dalam negeri.
Beberapa faktor yang menjadikan ini berhasil yaitu
• Kelompok Bappenas yang terkenal disebut “mafia Berkeley” yaitu tim
yang sebagian besar lulus dari University of California di Berkeley yang
diketuai oleh Prof. Widjojo Nitisastro. Ideologi ekonomi yang terlampau tidak
terlalu berbeda, yaitu ekonomi liberal, menjadikan kerjasama antara negara-
negara Barat menjadi lancar. Hal-hal krusial yang menjadi masalah di zaman
Orde Lama seperti investasi asing, dan lain-lain, tidak terlalu menjadi masalah.
• Komitmen Presiden Soeharto untuk memperbaiki perekonomiannya dan
meninggalkan isu politik tinggi (High Politics) sebagai landasan
Pemerintahannya.

Kedua, memperbaiki hubungan dengan negara-negara Barat adalah salah satu


politik luar negeri penting yang dilaksanakan Pemerintah Orde Baru. Salah satu yang
diperbaiki adalah kerjasama ekonomi. Di luar hal itu, masuknya kembali Indonesia ke dalam
keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi awal normalisasi hubungan Indonesia
dengan negara-negara Barat.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


163

Hal yang menjadi isyarat Presiden Soeharto berniat memperbaiki hubungan


dengan negara-negara Barat adalah pidato pada KTT Non Blok di Lusaka tahun 1970,
yang mengatakan bahwa hendaknya Indonesia harus bisa menjalin kerjasama dengan
negara manapun di dunia dalam berbagai bidang, kecuali bila tidak mempunyai
hubungan diplomatik dengan negara tesebut. Walaupun dalam pernyataannya tersebut,
Presiden Soeharto menyatakan belum perlu untuk masuk dalam aliansi atau kelompok
militer seperti NATO ataupun Pakta Warsawa.165 Dengan masuknya kembali Indonesia ke
dalam PBB, Indonesia semakin aktif dalam percaturan internasional. Faktor yang
menyebabkan keberhasilannya adalah,
• Kecenderungan Presiden Soeharto untuk menjalin hubungan baik
kembali dengan negara-negara barat.
• Sambutan negara Barat, terutama Amerika Serikat yang menganggap
peran Indonesia sangat vital di Asia Tenggara terutama dalam menjaga
stabilitas kawasan dan menjaga tersebarnya ideologi komunisme ketika perang
dingin.
• Pengaruh dari kebutuhan bantuan ekonomi seperti yang sudah dijelaskan
diatas dan juga fokus Pemerintah Orde Baru yang juga untuk pembangunan.

Ketiga, revitalisasi organisasi regional menjadi salah satu agenda penting


politik luar negeri Orde Baru. Hal ini menjadi respon dari politik luar negeri Orde Lama
yaitu konfrontasi dengan Malaysia. Kecurigaan dan prasangka pada tetangga terdekat
menjadikan Indonesia tidak pernah bisa maju untuk bekerjasama kemudian bersaing
secara sehat. Secara geopolitik dan geoekonomi, kawasan Asia Tenggara memiliki nilai
yang sangat strategis. Hal tersebut tercermin dari adanya berbagai konflik di kawasan
yang melibatkan kepentingan negara-negara besar pasca Perang Dunia II, sehingga Asia
Tenggara pernah dijuluki sebagai “Balkan-nya Asia”. Persaingan antarnegara adidaya
dan kekuatan besar lainnya di kawasan antara lain terlihat dari terjadinya Perang
Vietnam. Di samping itu, konflik kepentingan juga pernah terjadi di antara sesama

165
Lihat http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/222971735.pdf . [ Diakses pada tanggal12 Februari 2012 pukul
6:12].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


164

negara-negara Asia Tenggara seperti “konfrontasi” antara Indonesia dan Malaysia,


klaim teritorial antara Malaysia dan Filipina mengenai Sabah, serta berpisahnya
Singapura dari Federasi Malaysia.166 Faktor-faktor keberhasilannya adalah:
• Adanya keinginan kelima negara pembentuk ASEAN yaitu me-
revitalisasi kerja sama terutama di bidang ekonomi di negara-negara ASEAN
• Ada keinginan bersama untuk menjaga stabilitas kawasan dari Perang
Dingin.
• Kelima negara tersebut ingin melaksanakan pembangunan sekaligus
menjaga penyebaran ideologi komunisme.
• Dukungan dari Blok Barat terutama Amerika Serikat untuk menjaga
“efek domino komunisme” terutama dari negara-negara komunis di Asia
Tenggara seperti Vietnam.
Selain faktor-faktor di atas, terdapat sebab lainnya, terutama faktor eksternal
yang mendukung terbentuknya organisasi regional. Filipina misalnya, adalah negara
yang populasinya sebagian besar beragama Katholik, sehingga merasa terasing di
kawasan Asia Tenggara yang sebagian besar Islam dan Budha. Selain itu, integrasi
wilayah dalam suatu organisasi regional memberikan kedaulatan yang lebih kuat untuk
negara-negara kecil seperti Singapura dan Brunei Darussalam. Dalam hal ini,
sebenarnya alasan pragmatisme ekonomilah yang kuat, namun bukannya integrasi
ekonomi, melainkan stabilitas yang mendukung perekonomian tumbuh. Namun dalam
efektivitas kinerja organisasi regional untuk memenuhi ekspektasi ideal tersebut, masih
kurang berhasil.

Kebijakan politik luar negeri Indonesia diuraikan pertama kalinya oleh Drs.
Muhammad Hatta dalam rapat KNIP (Komite Nasional IndonesiaPusat) pada tanggal 2
September 1948 di Yogyakarta. Prinsip ideal politik luar negeri Indonesia yang
ditegaskan oleh Bung Hatta dan para founding fathers bangsa ini waktu itu tercantum
secara jelas dalam konstistusi negara yaitu menganut haluan politik “bebas

166
Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Deplu RI, Selayang pandang ASEAN, Deplu RI, hlm.1

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


165

aktif”.167Pada periode Demokrasi Parlementer, Pemerintah berusaha mencerminkan


citra politik luar negeri “bebas aktif” namun condong ke negara-negara Barat. Pada
periode Demokrasi Terpimpin masa Pemerintahan Presiden Soekarno, dalam
menangggapi perselisihan internasional menggunakan cara desakan yang kuat, tetapi
tidak menggunakan diplomasi dan mediasi dengan pihak ketiga. Sangatlah berbeda
dengan sikap politik luar negeri Indonesia pada periode Presiden Soeharto yang ditandai
dengan adanya sikap pragmatisme yang disertai dengan sikap penuh dengan kehati -
hatian, tetapi juga menunjukkan sikap ambisi regional. Politik luar negeri pada periode
Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno sebagai kekuatan politik yang sangat
dominan begitu pula dengan kebijakan luar negeri juga menjadi kewenangan Presiden
Soekarno pribadi. Pelaksanaan kebijakan politik luar negeri oleh Presiden Soekarno
merupakan suatu upaya untuk merubah peranan internasional yang terbatas dan juga
untuk mendapatkan kedudukan terkemuka di antara negara-negara pasca kolonial
lainnya.
Perubahan politik dalam negeri Indonesia juga turut mengubah arah politik luar
negeri Indonesia. Perubahan yang dimaksud terjadi setelah peristiwa kegagalan kudeta
pada tahun 1965. Kegagalan usaha kudeta mempengaruhi perimbangan politik domestik
yang rapuh yang sebagian dipertahankan selama ini melalui kebijaksanaan politik luar
negeri yang radikal. Dengan perubahan yang nyata dalam struktur sistem politik,
kebijakan politik luar negeri mengalami perubahan yang mencerminkan prioritas
pengganti Presiden Soekarno pada saat itu. Setelah usaha kudeta mengalami kegagalan
pada tahun 1965, citra Presiden Soekarno sebagai seorang Presiden semakin turun.
Sehingga pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno menyerahkan semua
kekuasaan eksekutifnya kepada Letnan Jenderal Soeharto. Setelah peralihan kekuasaan
internal tersebut dilaksanakan, maka kebijakan politik luar negeri Indonesia hanya
menyatakan kembali pada politik luar negeri “bebas aktif”.
Penerapan kebijakan politik luar negeri dalam penyelesaian permasalahan
sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sudah berjalan dengan baik dan sesuai prosedur yang

167
Michael Leifer, Politik Luar Negeri Indonesia , Jakarta: Gramedia, 1986, hlm. 26.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


166

berlaku. Tetapi hal lain yang menjadi permasalahan dalam penerapan perumusan
kebijakan politik luar negeri dalam permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-
Ligitan. Penerapan kebijakan politik luar negeri dalam kasus sengketa kepemilikan
Pulau Sipadan-Ligitan dalam penerapannya tidak optimal. Diakibatkan karena faktor dari
aktor negara dalam hal ini Pemerintah tidak menindaklanjuti dengan baik, karena pada
kenyataannya penerapan kebijakan politik luar negeri hanya sebatas pada tingkat
perundingan saja dan hasil dari perundingan bilateral tersebut tidak dilanjutkan dengan
adanya proses perumusan kebijakan politik luar negeri oleh Pemerintah.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Indonesia telahberupaya mempertahankan kepemilikan atas Pulau
SipadanLigitan melalui jalur politik yaitu dengan cara diplomasi atau perundingan
bilteral dengan Malaysia. Serangkaian perundingan bilateral dengan Malaysia telah
dilalui oleh Indonesia dan Malaysia sebagai upaya penyelesaian permasalahan
sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Namun cara diplomasi atau perundingan
bilateral yang telah dilaksanakan menjadi tidak efektif ketika Indonesia dan Malaysia
memiliki tujuan yang saling bertentangan dan tidak dapat lagi dikompromikan.
Sehingga berdampak juga dalam proses perumusan kebijakan politik yang akan
dilakukan oleh Indonesia dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan
Pulau SipadanLigitan. Kerugian tersebut juga berdampak bagi Indonesia dalam
menyikapi secara politis yang juga mempengaruhi politik domestik.
Ketidakefektifan dan kebuntuan pelaksanaan proses diplomasi atau
perundingan bilateral berdampak dalam proses perumusan kebijakan politik Pemerintah
Indonesia. Sebelumnya Pemerintah Indonesia memberikan usulan bahwa dalam
penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui
mekanisme di forum ASEAN, tetapi Malaysia menolak dengan alasan politis.
Penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui
mekanisme forum ASEAN yang diusulkan Indonesia ditolak Malaysia karena
pertimbangan politis, tetapi Malaysia juga terlibat sengketa perbatasan dengan negara-
negara anggota ASEAN lainnya. Langkah Pemerintah Indonesia untuk membawa
permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke forum ASEAN dinilai
tepat, karena menurut Pemerintah jalan politis yang hendak diambil setidaknya akan
memberikan keuntungan bagi Indonesia. Tujuan Indonesia memberikan usulan kepada

167 Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


168

Malaysia untuk menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau


SipadanLigitan ke forum ASEAN agar negara-negara anggota ASEAN ikut
membantu menyelesaikan permasalahan sengketa tersebut.
Dalam permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan hendaknya
menjadi pelajaran bagi Pemerintah Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan
wilayah teritorial terutama pulau-pulau terluar Indonesia yang tidak berpenghuni dan
belum diberikan nama. Melihat dari kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah
kedaulatan Indonesia, maka langkah yang paling penting dalam menyikapi
permasalahan serupa kedepannya diharapkan Pemerintah Indonesia lebih
mengefektifkan upaya politis. Upaya politis yang ditempuh Pemerintah Indonesia
tersebut nantinya akan memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan proses
perumusan kebijakan politik luar negeri yang juga akan mempengaruhi keadaan politik
dalam negeri. Untuk itu, kedepan Pemerintah Indonesia diharapkan pelaksanaan upaya
politis yaitu dengan cara perundingan bilateral apabila dihadapkan dengan
permasalahan sengketa wilayah atau perbatasan agar lebih diefektifkan kekuatan dan lebih
profesional dalam berdiplomasi.
Pada kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, seharusnya Pemerintah Indonesia paling tidak harus
memperhatikan keberadaan pulau-pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang tersebar
di perbatasan dengan negara-negara tetangga. Pada kasus lepasnya Pulau Sipadan-
Ligitan dari kekuasaan kedaulatan wilayah teritorial Indonesia, memunculkan akan
kewaspadaan terhadap paham realisme politik internasional. Orientasi penyelenggaraan
kerjasama antarnegara senantiasa mengarah kepada upaya memperoleh dan
memperbesar kekuasaan tersebut, karena hal tersebut merupakan upaya politis suatu
negara. Untuk itu, dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri sangat
diperlukan usaha-usaha untuk memperoleh dasar-dasar yang kuat sebagai bahan
pertimbangan dalam mengeluarkan kebijakan politik. Apabila dasar -dasar yang
diperoleh selama proses perundingan bilateral tidak diperoleh, maka akan berdampak
pada proses perumusan kebijakan politik. Dalam penyelesaian permasalahan sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


169

langkah politik yang tepat yaitu dengan mengajak Malaysia untuk menyelesaikan
dengan perundingan bilateral.
Paham realisme politik internasional mengandaikan konstelasi masyarakat
internasional sebagai suatu struktur hubungan yang bersifat anarkis. Dalam kasus
lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan, maka kata kunci adalah kekuatan agar negara dapat
terus mempertahankan jati dirinya mengingat politik internasional sebagai suatu
perjuangan untuk memperoleh suatu kekuasaan. Persoalan batas wilayah yang kerap
membuat Indonesia menelan kekecewaan, sebenarnya juga menegaskan bahwa bangsa
ini mengabaikan takdirnya sebagai pemilik negara kepulauan. Padahal sebagai negara
kepulauan di dalamnya memiliki implikasi strategis dalam penentuan batas wilayah
negara dan teritorinya. Meledaknya kasus sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan
antara Indonesia dan Malaysia, selain dipicu ketidaktegasan Pemerintah juga
mencerminkan beberapa hal. Pertama, minimnya pemahaman dan political
willPemerintah serta para pemangku kepentingan tentang kesadaran ruang dan
kesadaran garis batas wilayah negara. Hal itu tercermin dari berbagai implementasi
kebijakan yang ada. Menjadikan laut sebagai pusat kehidupan, belum menjadi agenda
penting untuk dilaksanakan.
Kedua, adanya kebijakan yang saling tumpang tindih, dan tidak menjadikan
laut dan perairan sebagai pemersatu bangsa dan wilayah. Salah satu indikasi yang jelas
adalah, mindset tentang pembangunan wilayah daratan yang begitu kuatnya. Sehingga
memperlakukan laut sebagai wilayah darat yang mudah dibagi-bagi. Ada 13 institusi
yang terlibat dalam persoalan keamanan laut ini. Padahal dengan menyandang status
negara kepulauan yang demikian luas ini, Indonesia tidak lagi sekumpulan pulau tetapi
lebih disebut a body of water dotted by islands, bahkan ada yang mengatakan“a
maritime continent”. Dan yang terpenting adalah ketegasan Pemerintah dalam
menyikapi persoalan ini sesuai dengan spektrum tanggungjawab yang melekat di
dalamnya. Untuk menjalankan strategi perjuangan kedaulatan dan nasionalisme,
tanggungjawab pokok berada di tangan negara. Negara adalah negara yang responsif
(responsive state). Negara yang sepenuhnya bertanggungjawab dalam penegakan
kedaulatan dan nasionalisme. Negara yang sepenuhnya bertanggungjawab dalam

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


170

menjaga integritas teritorial dan berdaulat dalam mengambil keputusan kebijakan


politik. Termasuk negara yang tidak dapat membebaskan diri dari kewajiban untuk
menjaga kedaulatan dan nasionalisme Indonesia. Fenomena sengketa perebutan Pulau
Sipadan-Ligitan tidak berdampak begitu luas karena factor civil society pada tahun 1979
atau pada era Presiden Soeharto sangat rendah pergerakannya. Karena faktor inilah
Pemerintah seakan lemah dalam berdiplomasi karena tidak ada tuntutan dari masyarakat
luas yang menyebabkan Pemerintah hanya bisa mengambil keputusan status quo dalam
perebutan wilayah itu, namun tidak dapat dipungkiri angkatan bersenjata dikerahkan
pada saat itu, hanya namun karena faktor kebijakan masing-masing negara yang
menekankan tidak menyerang dan hanya menggunakan konsep membela diri maka
konflik dapat meredam.

5.2 Saran
Dalam proses perumusan kebijakan politik ke depan yang lebih baik adalah
dengan mengedepankan upaya-upaya politis yaitu dengan meningkatkan perundingan
bilateral yang lebih berkualitas dan profesional. Pemerintah sebaiknya memperbaiki
kualitas cara melaksanakan proses perundingan bilateral atau diplomasi yang dijalankan
oleh Kementerian Luar Negeri agar kedepannya menjadi lebih baik. Untuk itu,
Pemerintah harus secepatnya mengambil langkah dalam dengan membuat keputusan dalam
hal kebijakan politik luar negeri apabila dihadapkan dengan suatu kasus yang menyangkut
kedaulatan negara dengan cara antar lain: Pertama, mensosialisasikan kepada masyarakat
tentang pentingnya arti pulau-pulau terluar bagi bangsa dan negara Indonesia.Kedua,
melakukan kerjasama dengan negara-negara yang berbatasan dengan wilayah-wilayah
Indonesia dalam pengelolaan wilayah perbatasan dalam rangka menghindari konflik
serta menjaga stabilitas kawasan.Ketiga, menegakkan kedaulatan baik melalui penguasaan
birokrasi, pendudukan terus menerus dan pemberdayaan kawasan di sekitar wilayah
perbatasan.Keempat, mempertegas penetapan batas wilayah dengan negara yang berbatasan
langsung dengan Indonesia.
Sesuatu kebijakan yang diambil Pemerintah yang berdampak pada resiko
kehilangan sebagian wilayah tanah air harus dipertimbangkan dengan seksama

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


171

melibatkan semua komponen bangsa, bahkan apabila bisa dihindari.Pemerintah dan


semua pihak saat ini adalah bagaimana mengamankan gugusan pulau-pulau yang rawan
sengketa dengan negara lain, terutama yang berada di wilayah perbatasan dan mulai saat
ini harus dilakukan pemetaan ulang atas seluruh wilayah dan pulau-pulau yang menjadi
milik Indonesia. Untuk itu, Pemerintah C.q. TNI harus lebih tegas lagi dalam
menangani dan mengawasi pulau-pulau terutama di perbatasan yang kini mulai dihuni
penduduk dari negara lain. Diperlukan upaya Pemerintah agar melaksanakan kebijakan
pengawasan dan penguasaan terorial yang selama ini terabaikan dan mulai dihuni
penduduk dari negara asing.Sejalan dengan perkembangan tata kehidupan berbangsa
dan bernegara dilingkungan dunia internasional, maka suatu negara dalam
mempertahankan eksistensi atau kelangsungan hidupnya memerlukan perjuangan
seluruh bangsa untuk mencapai atau mempertahankan kelestarian teritorialitas atau
kedaulatan teritorialnya. Menyadari adanya kompleksistas permasalahan, baik isu
mengenai tapal batas (border), keamanan nasional (national security) atau keamanan
manusia (human security) perlu adanya satu pemahaman wawasan nusantara di dalam
menentukan suatu kebijakan.
Indonesia kini menunggu undang-undang perbatasan hingga pulau-pulau kecil
dekat perbatasan dengan negara lain tidak mengalami nasib seperti Pulau
SipadanLigitan. Untuk merefleksikan masalah kedaulatan terhadap kasus Pulau
Sipadan-Ligitan perlu dilihat dari konteks permasalahannya. Kasus Pulau Sipadan-Ligitan
adalah kasus yang bersifat unik dan khusus. Kedua pulau tersebut menjadi objek
sengketa kepemilikan antara Indonesia dan Malaysia yangberawal pada tahun 1969 ketika
kedua negara merundingkan perbatasan landas kontinen di antara kedua negara. Dalam
perundingan tersebut ditemukan bahwaPulau Sipadan-Ligitan merupakan pulau yang ”tidak
bertuan” (terranulius).

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


172

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Alfandi, Widoyo. Reformasi Indonesia Bahasan dari Sudut Pandang Geografi Politik
dan Geopolitik.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2002.

A.Columbis, Theodore dan James H. Wolve. Introduction to International Relations.


Power and Justice. New Jarsey: Prentice Hall. 1982.

Abdulgani, Ruslan.Problem Nasionalisme, Regionalisme dan Keamanan di Asia


Tenggara. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. 1995.

Abdurrachmat. Pengantar Geografi Politik. Bandung: IKIP. 1982.


A. Snyder, Craig. Contemporary Security and Strategy, Palgrave: Macmillan. 2008.

Bahar, Saafroeddin.Sumbangan Daerah Dalam Proses Nation Building, dalam Ichlasul


Amal dan Armaedy Armawi. Regionalisme, Nasionalisme dan Ketahanan
Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1998.

Banerjee, Dipankar. Security and Diplomacy In The 21st Century. New Delhi: Institute
of Peace and Conflict Studies. 2003.

Baylis, John, Smith, Steve. The Globalization of World Politics.Oxford: Oxford


University Press. 1999.

C. Plano, Jack & Ray Olton. International Relation, Dictionary. New York : Holt,
Rinehart & Winston. 1969.

Carlson, Lucile and Philbrick, Allenk. Geography and World Polotics. New Jersey:
Prentice-Hall Inc. 1960.

Eyestone, Robert. The Threads of Public Policy. Indianapolis: Bobbs Merrill. 1971. Dye,
Thomas R. Understanding Public Policy. New York: Prentice Hall. 1972.
Dunn, William. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. 1998.
Departemen Luar Negeri. Buku Putih Politik Luar Negeri Republik Indonesia. Jakarta:
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Deplu RI dan
Indonesia Council on World Affairs. 2003.
F. Hanrieder,Wolfram. Comparative Foreign Policy: Theoretical Essays. New York:
David McKay Co. 1971.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


173

Franklin, B Weinstein. Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence:


From Sukarno toSoeharto, Ithaca: Cornel University Press. 1976.

Hayati,Dr. Hj. Sri, M.Pd dan Drs. Ahmad Yani, M.Si.. Geografi Politik. Bandung: PT.
Refika Aditama. 2007.

Hatta, Mohammad. Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia. Jakarta: Tintamas.
1953.

Hardjijo, Bantu. Pembinaan Daerah Perbatasan Dilihat dari Aspek Hankam. Jakarta:
Mabes ABRI dan Lembaga Pertahanan Nasional. 1991.

Holsti, K.J. Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, Jilid I. Jakarta: PT.
Erlangga. 1988.

Ikle, Fred C. How Nations Negotiate. New York: Harper and Row. 1964.

Jamtomo,Rahardjo. Politik Luar Negeri Indonesia Kini dan Kedepan. Bandung:


Percetakan Angkasa. 2002.

J. Morgenthau,Hans.Politik Antar Bangsa.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2010.

Jensen,Lyod.Explaining Foreign Policy, New Jersey: Prentice Hall. Inc.. 1982.


Kusumaatmadja, Mochtar, Prof. DR. Politik luar negeri Indonesia dan pelaksanaannya
dewasa ini: Kumpulan karangan dan pidato. The University of California:
Alumni. 1983.

Kusumaatmadja, Mochtar, Prof. DR. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: PT.


Bina Cipta. 1978.

Keohane, Robert dan Joseph Nye. Power and Interdependence: World Politics in
Transition. Boston: Little Brown. 1977.

Leifer, Michael. Indonesia’s Foreign Policy. London: George, Allen & Unwin. 1983. Leifer,

Michael. Politik Luar Negeri Indonesia. Gramedia: Jakarta. 1986.

Moerdani,LB.. Menegakkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Pandangan dan Ucapan


Jenderal TNI (Purn) LB. Moerdani 1988-1991. Jakarta: Yayasan Kejuangan
Panglima Besar Jenderal Soedirman. 1992.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


174

McCloud, Donald G.System and Process in Southeast Asia: The Evolution of a Region.
Boulder, Colorado: West-view Press. 1986.
Modelsky, George. Theory of Foreign Polic., New York: Praeger. 1962.
Morgenthau, Hans J. Politics Among Nations. New York: Alfred A. Knept.1975.
Manggala, Pandu Utama. Mencari Yang Hilang dari Politik Luar Negeri. Jakarta:
Gramedia. 2007.
Nur Alami, Atiqah. Landasan dan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia, dalam
Ganewati Wuryandari (ed.), Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran
Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar Yogyakarta. 2008.

Prescot, J.R.V. Boudaries and Frontiers. London:Croom Helm. 1973.


Panikkar, KM. The Principle and Practice of Diplomacy.
Pounds, Norman J.G. Political Geography. New York: Mogrow-Hill Book co. Inc.
1963.
Ritchie,Jane and Jane Lewis (ed). Qualitative Research Pratice : A Guide for Social
Science Students and Researchers.London : SAGE Publications Ltd.. 2003.

Sahid Gitosardjono, Sukamdani. “Dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok di era


kebangkitan AS. Lembaga Kerjasama Ekonomi, Sosial, Budaya Indonesia
China. 2006.
Suryadinata, Leo. Politik Luar Negeri di bawah Soeharto. LP3ES: Jakarta. 1993.
Sugiono. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : CV. Alfabeta. 2004.
Sihombing, Frans Bona. Ilmu Politik Internasional: Teori Konsep dan Sistem. Jakarta:
Ghalia Indonesia. 1986.
S. Nye, Jr, Joseph. International Regionalism, Boston: Little Brown & Co. 1968.
Wuryandari, Ganewati. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik
Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar Yogyakarta. 2008.
Waltz, Kenneth. Theory of International Politics. Cambridge: Cambridge Unversity
Press. 1979.
Jurnal:
Bandoro, Bantarto, dalam Analisis CSISAspek-Aspek Intenasional dalam Intergrasi
Nasional, Tahun XXIII No. 5, September-Oktober 1994.

Pandangan Morgenthau mengenai konsep ini dapat ditemukan dalam Theodore A.


Columbis dan James H. Wolve, “Introduction to International Relations,
Power and Justice”, New Jarsey: Prentice Hall, 1982, ditulis di dalam tulisan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


175

Bantarto Bandoro dalam Analisis CSIS “Aspek-Aspek Internasional dalam


Intergrasi Nasional”, Tahun XXIII No. 5, September-Oktober 1994.
Majalah:
Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN, Deplu RI, Selayang pandang ASEAN, 2007.
Energy Security and Southeast Asia: The Impact on Maritime Boundary and Territorial
Disputes. Harvard Asia Quarterly. Fall 2005.
Forum Keadilan, Sipadan dan Ligitan Dengan Damai, Tahun V No. 15, 4 November
1996.
Surat Kabar:
Kompas. RI-Malaysia Tukar Menukar Dokumen Tentang Sipadan dan Ligitan, 8 Juli
1992.
. RI Mempertahankan Pulau Sipadan dan Ligitan, 6 Februari 1993.

. Sengketa 2 Pulau Takkan Ganggu Hubungan RI-Malaysia, 30 Juni 1993.

. Sengketa Sipadan dan Ligitan Agar Cepat Selesai, 29 Januari 1994.

. Sipadan - Ligitan dan Konflik Warisan, 20 Februari 1995.

. Malaysia Minta Indonesia Tenang dalam Soal Sipadan, 23 Februari 1995.

. Sipadan dan Ligitan Masalah Integritas Wilayah, 13 Juni 2002.

Media Indonesia. Indonesia dan Malaysia Sepakati Batas Wilayah, 1 Mei 1999. Suara

Pembaruan. Penanganan Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, 3 Juni 1991. Situs

Internet:

Kesepakatan Soeharto-Mahathir bawa Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional.


Dalam http://www.hamline.edu. Diakses Senin tanggal 25 April 2011.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


176

Nasib Pulau Sipadan dan Ligitan Semakin Jelas. Dalamhttp://wap.gatra.com. Diakses


Senin tanggal 25 April 2011.

Statistik Vital Kasus Sipadan-Ligitan. Dalam http://www.unisosdem.org. Diakses


Selasa tanggal 26 April 2011.
Keputusan Mahkamah Internasional tentang kasus perebutan Pulau Sipadan-Ligitan
antara Indonesia dan Malaysia. Dalam http://diplomacy945.blogspot.com.
Diakses Selasa tanggal 26 April 2011.
Malaysia Telah Okupasi Sipadan. Dalam http://www.tempointeractive.com. Diakses
Selasa tanggal 26 April 2011.
Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan. Dalam http://www.dephan.go.id. Diakses
Selasa tanggal 26 April 2011.
Memanasnya Hubungan RI-Malaysia. Dalam http://www.politik.lipi.go.id. Diakses
Selasa tanggal 26 April 2011
Belajar dari Kasus Sipadan Ligitan. Dalam http://www.kompas.com. Diakses Jumat
tanggal 29 April 2011.
Kasus Sipadan-Ligitan. Dalam http://www.metronews.com oleh Aspiannor Masrie.
Diakses tanggal 29 April 2011.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


177

http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/222971735.pdf Diakses pada 12 Februari 2012


pukul 6:12.
http://www.scribd.com/doc/24673774/Politik-Luar-Negeri-Indonesia-Kebebasaktifan-
Yang-Oportunis diakses pada 12/02/12 pukul 4:39.
Wawancara:
Wawancara dengan Dian Triansyah Djani, MA (Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN)
Departemen Luar Negeri RI, Kamis, 10 November 2011 dan 17 Oktober 2011 di
Kantor Ditjen Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri.
Wawancara dengan Kolonel Ctp Drs. Umar S. Tarmansyah (Peneliti Puslitbang SDM
Balitbang Dephan), Jum‟ at, 11 November 2011 dan Jum‟ at, 25 November 2011
di Kantor Puslitbang SDM Balitbang Departemen Pertahanan.
Wawancara dengan Letjen TNI (Purn) Syaiful Rizal (mantan Pangdam IX/Udayana dan
Dankodiklat TNI AD) pada hari Jum‟ at, 10 Agustus 2012.
Wawancara dengan Letjen TNI (Purn) Hadi Waluyo (mantan Pangdam VI/Mulawarman
dan Pangkostrad) pada hari Jum‟ at, 3 Agustus 2012.
Wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember
2012 (pada saat menghadiri seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di
kantor Kemlu RI).
Wawancara dengan Effendy Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4
Desember 2012.
Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (mantan Menkopolkam era
Presiden Megawati Soekarnoputri) pada pembukaan Rakernister TNI dan
TMMD Ke-33 pada hari Kamis, 13 Desember 2012.
Wawancara dengan Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo
pada hari , Senin, 10 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


178

DAFTAR LAMPIRAN

1.) PETA WILAYAH PULAU SIPADAN - LIGITAN

Sumber : David A. Colson, The American Journal of International Law, 2003

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


179

2.) PETA PULAU SIPADAN DAN RESORT YANG TELAH DIBANGUN

Sumber : http://www.dephan.go.id. Diakses Selasa tanggal 26 April 2011.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


180

3.) PAPAN TANDA PENGUMUMAN YANG DIPASANG MALAYSIA DI


PULAU SIPADAN

Sumber : Kantor Puslitbang SDM Balitbang Departemen Pertahanan 2011

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


181

4.) FOTO DAERAH LOKASI SUMBER DAYA LAUT BERUPA IKAN, JENIS
HEWAN LAUT DAN DAERAH PENYELAMAN DI PULAU SIPADAN

Sumber :Kantor Puslitbang SDM Balitbang Departemen Pertahanan 2011

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


182

5.) PETA PULAU LIGITAN DAN RESORT YANG TELAH DIBANGUN


MALAYSIA

Sumber : http://www.dephan.go.id. Diakses Selasa tanggal 26 April 2011.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai