Anda di halaman 1dari 34

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam perkembangannya Karesidenan Kedu memiliki kondisi alam yang demikian
menguntungkan bagi kehidupan manusia, daerah ini memiliki kondisi ekologis yang
sesuai untuk pertanian persawahan maupun pertanian tanah kering bagi penduduknya.
Sebagai wilayah yang mungkin merupakan daerah persawahan yang sangat tua di Jawa,
Kedu telah mengawali perjalanan sejarahnya sejak lebih seribu tahun yang lampau yaitu
sekitar abad VIII. Kedu kembali tercatat dalam sejarah sejak masa menjadi wilayah
Mataram yaitu wilayah nagaragung, daerah inti kerajaan yang langsung diperintah dari
pusat.
Dari segi ekologis dan juga sejarah yang membuat Karesidenan Kedu menarik
perhatian Kolonial. Dengan segala cara mereka berusaha untuk mengelola tanah yang ada
di kedu, meskipun itu menggunakan cara yang buruk.

1.2. Rumusan Masalah


a. Masalah apa yang muncul dikalangan masyarakat Desa di Karesidenan Kedu dan
juga pelaksanaan perkembangan kerja wajib sebelum masa tanam paksa
b. Bagaimana dampak dengan adanya Kerja-Wajib di Karesidenan Kedu
c. Bagaimana sistem-sistem yang diberlakukan oleh Kolonial di Karesidenan Kedu

1.3. Tujuan Masalah


Dari rumusan masalah diatas bisa ditarik menjadi tujuan penelitian ini, yaitu:
a. Mengetahui apa saja masalaah yang muncul dikalangan masyarakat Desa di
Karesidenan Kedu dan juga pelaksanaan perkembangan kerja wajib sebelum masa
tanam paksa
b. Dapat di identifikasi dampak dari adanya Kerja-Wajib di Karesidenan Kedu
c. Paham akan sistem-sistem yang diberlakukan oleh Kolonial di Karesidenan Kedu

1
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Masyarakat Desa di Karesidenan Kedu dan Perkembangan Kerja Wajib Sebelum
Masa Tanam Paksa

2.1.1. Geografi Dan Ekologi

Keresidenan Kedu dari segi geografis terletak kurang lebih pada titik tengah pulau
Jawa dan merupakan satu-satunya keresidenan yang tidak berbatasan dengan laut. Konon
nama "Kedu" berasal dari kata kedung, yaitu tanah yang melekuk ke dalam dan berair atau
palung.' Asal-usul nama tersebut boleh jadi mengandung kebenaran. Keresidenan Kedu, yang
pada abad XIX hanya meliputi Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung, memang
menyerupai sebuah palung besar memanjang dari arah barat laut ke tenggara sampai batas
Daerah Istimewa Yogyakarta Tepian palung merupakan rantai pegunungan dengan beberapa
buah gunung berapi yang mengelilinginya. Beberapa gunung berapi yang turut berjasa
menyuburkan tanah adalah Gunung Merapi, Merbabu, dan Telomoyo di sebelah timur,
Gunung Sindoro, Sumbing dan Prahu di batas sebelah barat, dan Gunung Ungaran menutup
batas utara.

Selain anugerah kesuburan, hujan turun hampir sepanjang tahun di daerah Kedu. Di
dacrah-daerah dengan ketinggian sekitar 1.500 m seperti distrik Kedu, Jetis, Lempuyang,
Sumowono, dan Menoreh, curah hujan bahkan mencapai 600 m per tahun. Hawa di daerah
ini juga sangat sejuk, yaitu sekitar 18-26 derajat Celcius untuk daerah pegunungan, dan 22-27
derajat Celcius di dataran rendah. Dengan keadaan alam yang demikian menguntungkan bagi
kehidupan manusia, daerah ini memiliki kondisi ekologis yang sesuai untuk pertanian
persawahan maupun pertanian tanah kering bagi penduduknya. Maka tidak mengherankan
apabila keresidenan dengan luas 1.654,87 km2 dan merupakan keresidenan kedua yang
terkecil pada waktu itu, justru merupakan salah satu daerah yang paling padat penduduknya

Sebagai daerah permukiman kuna yang telah berkembang sejak abad VIII dan
merupakan daerah pertanian yang mungkin paling tua di Jawa penduduk Kedu adalah suatu
masyarakat petani yang telah lama mengenal budidaya padi, yang juga menjadi makanan
pokok mereka." Mereka telah mengenal teknologi pengairan sederhana dengan cara
membendung sungai-sungai kecil untuk mengairi sawah mereka

2
Dari kesaksian de Haan dapat diketahui bahwa telah terdapat beberapa desa besar
maupun kecil di sepanjang jalan raya Kedu menuju Yogyakarta pada abad XVII. Desa-desa
tersebut merupakan unit permukiman penduduk yang dikelilingi hamparan sawah-sawah
sampai ke kaki pegununganGarabaran ini menunjukkan bahwa 10 penduduk Kedu pada masa
tersebut telah merupakan petani-petani yang menetap, tinggal berkelompok di dukuh atau
desa, dan merupakan suatu komunitas

2.1.2. Latar Belakang Sejarah

Sebagai wilayah yang mungkin merupakan daerah persawahan yang sangat tua di
Jawa, Kedu telah mengawali perjalanan sejarahnya sejak lebih seribu tahun yang lampau
yaitu sekitar abad VIIIPada masaitu telah tumbuh kerajaan Mataram Kuna yang
menghasilkan kebudayaan klasik Jawa. setelah muncul kerajaan Mataram (Baru), sebuah
kekuasaan politik baru yang berpusat di daerah Yogyakarta, dan sejak awal abad XVII mulai
menguasai pulau Jawa, Kedu kembali tercatat dalam sejarahSejak masa itu Kedu menjadi
wilayah Mataram yaitu wilayah nagaragung, daerah inti kerajaan yang langsung diperintah
dari pusat. Sebagai wilayah nagaragung daerah Kedu terbagi menjadi tanah Bumi dan tanah
BumijoTanah Bumi seluas 7.500 cacah terletak di sebelah barat Sungai Progo berada di
bawah wewenang Wadana Bumi (wadana jaba), sedang tanah Bumijo dengan luas yang
sama, berada di sebelah timur Sungai Progo, berada di bawah wewenang Wadana Bumijo
(juga seorang wadana jaba).

Daerah kedu di kuasai dikuasai oleh beberapa orang demang yang mengurus masalah
pajak serta masalah umum pada subdaerah tertentu, sedang masalah keamanan diserahkan
kepada beberapa orang gunungPara demang dan mantri desa tersebut bertanggung jawab
kepada para patuh yaitu pejabat yang menguasai lungguh di daerah Kedu dan
menyewakannya kepada demang tersebut. Selanjutnya tanah Kedu terbagi dalam kapling-
kapling sawah atau tegal yang merupakan lungguh para priyayi (pejabat pegawai) Mataram.
Tampak bahwa raja tidak menghendaki penguasaan lungguh seseorang yang terlaiu luas
dalam satu kesatuan teritorial karena hal itu dapat mengakibatkan terbentuknya basis
kekuatan ekonomis dan militer (tenaga prajurit) pada si penguasa lungguh. Kekuatan
demikian dapat menjadi penentang raja yang potensial. Untuk menghindari hal tersebut, raja
menempatkan lungguh di daerah yang terpencar dengan patuh yang berbeda. Tetapi
kebijakan ini menyebabkan sering terjadinya konflik antar desa.

3
Terpecahnya mataram menjadi dua pada 1755 menyebabkan separuh dari pejabar
dipindahkan ke Kesultanan yogyakarta, dan separuhnya tetap menjadi punggawa kesunanan
Surakarta. Perkembangan ini membawa akibat tanah tunggu para pejabat Kesultanan dan
Kesunanan yang tumpang Paruk (campur aduk) di desa desa terbagi menjadi dua wilayah
kerajaan. Keadaan pedesaan Kedu terbagi menjadi dua wilayah kerajaan semakin bertambah
rawan. Terlebih dengan makin berkembangnya birokrasi kedua kerajaan, makin makin
bertambah pula jumlah pegawai, yang berarti lebih banyak Lungguh harus disediakan.
Sebagian besar tanah Kedu makin terkapling menjadi Lungguh yang semakin banyak dan
sempit. Tanah Lungguh itu oleh para patuh dalam bentuk pungutan pajak yang tinggi
menyebabkan banyak bekel (pemungut pajak) digantikan oleh orang lain yang sanggup
menyerahkan pajak yang lebih tinggi.

Pada tahun 1812 sultan Hamengkubuwono II gagal melawan kekuasaan Inggris


sehingga Inggris menyerbu Keraton Yogyakarta dan memaksa sultan menerima syarat syarat
yang diajukan nya. Antara lain sebagai bagian wilayah negaragung harus diserahkan kepada
Inggris termasuk Kedu, gudang beras kerajaan Mataram. Sejak waktu itu Kedu berada di
bawah kekuasaan kolonial Inggris, menjadi Keresidenan Kedu yang masih diperintah oleh
residen Pekalongan. Pada masa akhir pemerintahan kerajaan Yogyakarta dan Surakarta
bupati untuk Kedu adalah Tumenggung RanudiwiryaSuatu hal yang menarik pada
pemerintahan Inggris di Kedu adalah bahwa paling tidak pada masa-masa awal
pemerintahannya di Kedu, Residen Crawfurd memberikan wewenang kepada Kapitan Cina
dalam bidang pajak dan keuangan cukup besar seperti pada jaman Mataram. Walaupun
demikian

2.1.3. Masyarakat Desa pada Awal Abad XIX


2.1.3.1. Kesatuan Desa dan Sistem Lungguh

Sebagai daerah permukiman dan daerah pertanian sawah yang telah sangat tua
masyarakat desa Kedu pada awal abad XIX merupakan masyarakat petani. Para petani
tinggal berkelompok di dukuh-dukuh atau desa-desa yang dikelilingi sawah, tegal atau di tepi
jalan besar. Menurut catatan replace terdapat 3879 Dukuh dan desa pada tahun 1815. Dengan
jumlah penduduk 197.310 orang, kepadatan penduduk Kedu adalah sekitar 238 per mil²
(92/km²) nomor dua tertinggi di seluruh Jawa setelah Keresidenan Semarang (108/km²).
Keadaan ini menunjukkan bahwa Kedu pada masa itu termasuk salah satu desa paling
berkembang di jawa.

4
Mataram menggunakan sistem lungguh untuk menggaji para priyayi atau memberi
nafkah para sentana. Dalam hal ini raja memberikan hak memungut pajak atau hasil atas
tanah yang berfungsi sebagai lungguh tersebut kepada si penerima lungguh untuk sementara
waktu. Hak memungut pajak atau hasil tersebut hanya berlaku selama si penerima lungguh
memangku suatu jabatan. Dengan demikian pada prinsipnya penguasaan lungguh bersifat
sementara.

Inggris tetap mengangkat orang Jawa dari kalangan bangsawan sebagai bupati kepala
daerah. Bupati Magelang Danuningrat misalnya semula adalah punggawa Kepatihan
Kasultanan Yogyakarta. Pada tahun 1816 Kedu diserahkan kepada pemerintah Belanda dan
tahun 1817 menjadi keresidenan tersendiri. Suatu lungguh dapat juga bersifat permanen,
khususnya yang diberikan kepada keluarga raja, para sentana atau seseorang yang
dikasihinyaLungguh demikian disebut tanah ganjaran atau tanah pusaka apabila diperoleh
secara turun-temurun. Pada tahun 1867 di Kedu ditemukan sawah ganjaran di Desa Kradenan
(Distrik Remame) milik kepala Distrik (wedana) Remame, yaitu Raden Tumenggung
Wiriadiningrat, yang dahulu diperoleh nenek moyangnya sebagai anugerah dari Sultan
Yogyakarta. Selain itu, sawah pusaka juga terdapat di Desa Bebengan sebagai milik bekel
desa tersebut yang diperolehnya dari kakeknya Joyonegorosalah seorang bupati Mataram
demikian pula Wedana Prapak mempunyai sawah pusaka dari leluhurnya.

Dalam perkembangan selanjutnya sistem lungguh menjadi semakin eksploitatif


karena sistem penyerahan hasil berubah menjadi perjanjian sewa atau kontrak dalam bentuk
pembayaran sejumlah uang, hasil bumi atau tenaga kerja oleh bekel kepada patuh. Patuh
dapat pula menyewakan lungguh kepada demang, yaitu priyayi rendahan atau orang lain yang
kemudian menyewakannya kembali kepada bekel. Seorang demang desa adalah kontraktor
besar yang dapat mengontrak lungguh sampai 100 jung. Kiranya pernyataan Carey bahwa
demang mendapat imbalan 1/5 dari hasil kontrak lungguh yang membuatnya menjadi kaya
adalah kurang tepat karena bekel pun mendapat imbalan 1/5 bagian tanah dari patuh.

2.1.3.2. Pemerintah Desa dan Pelapisan Masyarakat

Pada masa itu seorang bekel kepala desa diangkat oleh penguasa lungguh
Pengangkatan ini berkaitan dengan peresmiannya sebagai pemungut pajak kerajaan dan
pengontrak lungguh. Di samping itu sebagai kepala desa bekel bertanggung jawab dalam
masalah keamanan desa, masalah pidana dan sengketa perdata. Eksploitasi Jungguh yang
berat, dalam arti uang kontrak yang semakin tinggi tidak banyak menyebabkan desa terpecah

5
menjadi beberapa lungguh Menurut Residen Valck, jabatan bekel kemudian dilelang kepada
siapa saja yang sanggup membayar kontrak tertinggi, sehingga jabatan bekel tidak lagi
permanen, melainkan sering berganti tangan.

Selain Jungguh yang dikontrakkan melalui para demang, di Kedu masih terdapat
lungguh yang langsung dikontrakkan kepada bekel. Hal itu menunjukkan adanya eksploitasi
yang berbeda antara satu dan lain tempat. Selanjutnya sistem ekonomi feodalistik Mataram
yang kehilangan perdagangan lautnya makin berwawasan ke dalam, kepada pajak natura,
pengontrakan lungguh dan pajak-pajak lain kepada perseoranganSistem ekonomi ini kurang
berorientasi pada peningkatan produksi petaniPara petani membangun sendiri saluran-saluran
pengairan dan tanggul-tanggul untuk mengairi sawah-sawah baru yang mereka cetak secara
ekspansif setelah tahun 1755.

Dari sekitar 200 km saluran air yang terdapat di Kedu 47 sampai tahun 1812, hanya
sebagian kecil yang dibangun dengan kerja-wajib di bawali pimpinan para demang,
khususnya saluran besar, misalnya Saluran Bojonegoro (Distrik Kedu) dan Saluran Kemloko
(Distrik Prapak). Di sisi lain kehidupan petani pada waktu itu lebih terkonsentrasi untuk
berproduksi secara maksimal agar dapat memenuhi tuntutan kontrak lungguh dan berbagai
pajak yang lain. Produksi berpusat pada para sikep yaitu petani penguasa tanah yang
menanam tanaman subsistensi maupun tanaman perdagangan serta sekaligus
menjualnyaMereka dibantu oleh para mondhok atau bujangyaitu orang luar yang bekerja dan
ditanggung hidupnya oleh sikepSelanjutnya para sikep tergantung pada bekel, pemegang
kontrak lungguh yang mengatur pembayaran kontrak dengan patuh dan pemungut pajak di
desanya.

Fungsi kepala desa pada waktu itu tidak banyak mengatur warga desanyaTugas
pokoknya adalah mengumpulkan hasil bumi atau uang pembayar kontrak dan pajak dari para
sikep yang lebih merupakan hubungan pribadi. Dengan demikian ia tidak memerlukan
banyak pengurus desa yang membantunya. Pengurus desa yang pertama adalah ketib atau
kaum yaitu pengurus desa yang melayani kehidupan sosial yang bersifat keagamaan, seperti
memimpin doa pada waktu kelahiran, kematian, menikahkan pasangan pengantin dan
mengurus langgar, apabila tidak ada pemuka agama yang tinggal di desa. Sebagai pembantu
yang mungkin satu- satunya kaum juga mengurus masalah pengairan di desa. Di samping itu
kepala desa mempunyai sejenis dewan penasehat untuk masalah-masalah khusus yang
memerlukan keputusan penting, misalnya masalah tanah atau warisan. Mereka adalah para

6
tetua desa yaitu sikep yang telah lanjut usia serta pemuka desa lainnya dengan sebutan
kamituwa.

2.1.3.3. Penguasa Tanah

Dalam tradisi petani Kedu, mereka yang membuka tanah pertama kali menjadi lahan
pertanian mempunyai hak untuk menguasainya secara permanen dan mewariskannya kepada
anak cucunya. Istilah "pemilikan" tanah tidak digunakan, karena hal ini mengandung
pengertian mempunyai hak mutlak (hak eigendom menurut konsep Barat), yang kurang
dikenal di Jawa, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada waktu itu. Sawah atau tegal
yang dibuka dengan modal pribadi petani seperti di atas disebut sawah yasa.

Di pihak lain raja adalah seorang yang menguasai baik penduduk maupun semua
tanah yang berada di wilayah kekuasaannyaMenurut Blusse' bahkan sebenarnya raja Jawa
bertumpu pada penguasaan manusia dan pajak dikenakan pada manusia (dalam jumlah
cacah)bukan pada tanah. Maka pada dasarnya raja memungut pajak tenaga kerja (labour tax),
kemudian berkembang menjadi kerja-wajib besar-besaran pada masa kolonialHal ini berarti
bahwa raja pada dasarnya tidak menguasai tanah, apabila penduduknya tidak dikuasainya.
Namun dalam kenyataan sesungguhnya raja Mataram dapat juga meminjamkan tanah hutan
yang belum berpenduduk sebagai lungguh, bahkan dapat memberi lungguh yang permanen.
Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa kekuasaan raja tidaklah terpisah-pisah antara
menguasai manusia atau tanah, karena keduanya merupakan satu kesatuan. Pada waktu
penduduk masih langka dan tanah masih luas maka pajak ditentukan dari jumlah cacah
(petani yang mengerjakan sawah atau berproduksi) Ketika semua tanah telah menjadi lahan
pertanian, pajak ditentukan berdasarkan luas tanah (jung), sedang kerja-wajib hanyalah
sebagian dari pajak natura yang sering dibayar dalam bentuk uang. Adanya hak raja untuk
menguasai semua tanah diakui oleh petani, akan tetapi raja hanya mempunyai hak milik
penuh tanah yang disediakan untuk biaya hidupnya beserta sanak keluarganyaTanah tersebut
dibangun menjadi tanah pertanian atas biaya sendiriyaitu siti narawita dalem atau tanah yang
dibangun dengan biaya sendiri oleh si penerima lungguh.

Hak petani atas tanah yang cukup kuat tampak pula dari usaha mereka untuk
menduduki tanah-tanah bekas lungguh yang rusak akibat perang suksesi yang sering terjadi.
Sebagai akibat peperangan tersebut banyak pemegang lungguh yang meninggal atau
diberhentikan. Hal ini menyebabkan berbagai lungguh menjadi tanah tak bertuan. Para petani
kemudian bersama-sama memperbaiki sawah-sawah tersebut beserta pengairannya agar

7
mereka dapat menanaminya kembali. Mereka kemudian membagi sawah-sawah tersebut di
antara mereka sendiri dan tanah tersebut menjadi sawah yasa.

Para petani sikep sebagai penguasa tanah memikul berbagai kewajiban. Kewajiban
tersebut meliputi pembayaran pajak dan menjalankan kerja-wajib untuk kerajaan dan untuk
kepentingan bersama di desanya Mereka yang tidak memenuhi kewajiban- kewajiban
tersebut akan kehilangan hak menguasai tanah. Kiranya pelepasan tanah tidak terjadi pada
penguasa sawah yasa dan jarang terjadi pada sawah desa, karena kedudukannya yang kuat
dan pajaknya relatif ringan. Sebaliknya pelepasan sawah kiranya terjadi pada sawah-sawah
lungguh akibat terus meningkatnya tuntutan kontrak dari para patuh.

2.1.3.4. Sistem Perpajakan

Akibat eksploitasi lungguh yang makin berat di Kedu makin banyak jenis pajak yang
dahulu berbentuk natura diubah menjadi pajak uang. Berkat tanahnya yang subur serta
teknologi pertanian yang telah maju banyak petani mengusahakan tanaman perdagangan.
Selain menanam beras yang juga diperdagangkanmereka menanam tembakau yang sangat
baik kualitasnya dan menjadi bahan perdagangan sampai ke luar negeri. Uang hasil
perdagangan digunakan untuk membayar pajak dan cukai. Jenis pajak pada masa kerajaan
Yogyakarta dan Surakarta terdiri dari pajeg, yaitu pajak tanah yang dapat dibayar dengan
uang atau natura, berjumlah setengah dari hasil sawah atau sepertiga dari hasil tegal dengan
padi sebagai standar pembayaran. Apabila pajeg berwujud uang pembayaran dilakukan di
muka setiap setengah tahun sekaliyaitu waktu Garebeg Maulud atau bulan puasa.

Sistem ini memberatkan petani sebab apabila lungguh berganti tangan sebelum akhir
masa pembayaran, patuh baru menuntut pajeg baru pulaPajak in natura kadang lebih ringan,
yaitu seluruh desa membayar padi, seekor lembu atau hasil lain. Selanjutnya pajak-pajak lain
ditentukan berdasarkan standar sawah per jung. Misalnya pacumpleng dan pangawang, yaitu
pajak pekarangan dan rumah sebanyak 1 ringgit Spanyol per jung sebagai standar, sedang
wang krigaji, yaitu iuran kerja-wajib untuk perbaikan jalan dan jembatan berjumlah ½ dari
pacumplengDi desa-desa tanpa jalan besar, wang krigaji bahkan lebih rendah yaitu sampai
1/8 ringgit Spanyol. Kemudian iuran taker turun, yaitu sejumlah uang (disesuaikan dengan
besarnya pajeg) untuk biaya bahan bangunan dan tenaga untuk raja atau patuh. Keempat
macam pajak dan iuran tersebut merupakan pajak tetap. Di samping itu masih terdapat
berbagai pungutan yang bersifat insidental untuk berbagai kepentingan pemerintah atau
pribadi raja, patuh atau bekel. Pungutan jenis ini dapat sangat bermacam-macam dan

8
dilakukan sewaktu-waktu. Sistem demikian disebut pajeg idup, yaitu pajak tetap yang masih
ditambah berbagai pungutan setiap waktuSelain itu terdapat pula sistem pajeg mati, pajak
yang diperhitungkan dengan seluruh pungutan lain, dibayar dalam wujud uangUntuk
selanjutnya selama satu tahun fiskal tidak dikenakan pungutan.

Selain pajak-pajak tersebut penduduk harus membayar pajak bandar palawang (toll-
gate)yaitu cukai bagi setiap barang yang diangkut melalui pintu gerbang khususDi samping
itu terdapat pajak pasar bagi semua barang yang dijual di pasar. Agar dapat memperoleh uang
kontan yang pasti, tanpa harus mengangkat dan membcayai petugas pajak, raja
mengontrakkan hak memungut cukai pasar dan bandar tersebut kepada kapitan Cina.
Selanjutnya mereka mengontrakkan kembali bandar-bandar tersebut, serta menciptakan sub-
bandar atau rangkah kepada orang-orang Cina yang lain. Dengan cara seperti ini pengontrak
pasar dan bandar memeras semua orang yang membawa barang melewati semua jalan yang
menuju ke pasar. Eksploitasi cukai ini menambah berat beban penduduk karena pengontrak
bandar dapat menggunakan kekerasan.

2.1.3.5. Kerja Wajib

Selain kewajiban membayar pajakbeban petani penguasa tanah adalah menjalankan


kerja-wajib atau krigajiSecara etimologis krigajiberarti segala pekerjaan yang dilakukan
bersama-sama (kerig) untuk kepentingan raja (aji). Dengan makin berkembangnya jenis
kerja-wajib maka istilah krigaji menyempit menjadi kerja-wajib di bidang pekerjaan umum,
yaitu membuat atau memperbaiki jalan dan jembatan. Jenis kerja-wajib yang lain adalah kerja
penjagaan di rumah pembesar (kemi), pekerjaan rumah tangga (ayeran), kerja membawa dan
mengangkut orang dan barang (gladhag). Di samping itu ada pula gugur gunungyaitu
pengerahan tenaga dari semua laki-laki dewasa untuk menanggulangi keadaan bahaya atau
musibah. Pada masa kemudian kerajaan Yogyakarta dan Surakarta menggunakan istilah
padamelan atau pagaweyan untuk semua jenis kerja-wajib.

Pada hakikatnya kerja-wajib adalah bagian dari pajak natura yang diperhitungkan
dalam jumlah pajak keseluruhan. Oleh sebab itu kerja-wajib dapat diganti dengan sejumlah
uang, Misalnya krigaji di Kedu, seperti juga wilayah nagaragung pada umumnya, selalu
dibayar dengan uang, yaitu ½ dari pajak pekarangan dan rumah (pacumpleng)sekitar 32-240
sen per jung Separuh dari wang krigs digunakan untuk menggaji para gunungyaitu pejabat
daerah yang bertanggung jawab terhadap keamanan da prasarana, sedang separuh sisanya
untuk membiayai perbaikan jalan dan jembatan

9
2.1.4. Segi-Segi Pembaharuan di Bawah Pemerintahan Barat dan Perkembangan
Kerja Wajib Tahun 1812-1830
2.1.4.1. Pembaharuan Kelembagaan Pada Masa Pemerintahan Inggris

Kekuasaan Barat yang makin mendesak Kerajaan Mataram, baik dengan menguasai
wilayah-wilayah strategis maupun campur tangan di bidang pemerintahan Mataram
menyebabkan terjadinya situasi konflik yang berkepanjangan antara Pemerintah Belanda dan
raja-raja Mataram. Di bawah kekuasaan Inggris daerah Kedu dijadikan wilayah administratif,
yaitu Keresidenan KeduUntuk sementara Kedu diperintah oleh Residen Yogyakarta John
Crawfurd, pembantu Raffles yang ahli dalam masalah Vorstenlanden (kerajaan Yogyakarta
dan Surakarta). Langkah pertama Crawfurd adalah mengadakan survei sosial- ekonomis dan
mempelajari sistem perpajakan yang berlaku di Kedu saat itu. Ini sesuai dengan sifat
penjajahan Inggris yang lebih melihat daerah jajahan sebagai pasar bagi hasil revolusi
Dengan menggalakkan pajak uang serta mendorong kemajuan di berbagai lapangan, baik
pertanian, kerajinan, perdagangan dan industri, maka ekonomi uang akan semakin
berkembang dan daya beli rakyat akan semakin meningkat. Meningkatnya daya beli rakyat
pada gilirannya akan meningkatkan impor barang-barang hasil industri Inggris yang semakin
ekspansif itu.

Dari hasil penelitiannya Crawfurd menemukan bahwa pajak uang di Kedu sudah agak
berkembang, namun sistem pemungutannya tidak efisien karena terlalu banyak perantara
antara petani pembayar pajak dan raja sebagai "pemilik" tanahla mengusulkan kepada Raffles
agar pemerintah Inggris menyewakan tanah pertanian langsung kepada bekel, seorang yang
menguasai tanah di desa tetapi juga seorang petani yang menggarap tanahnya sendiri disebut
landrent system (Inggris) atau landrente (Belanda)

Perubahan kelembagaan di bidang perpajakan dan pemerintah ini tampaknya tidak


mendapat perlawanan dari para demang lamaHal ini disebabkan karena Kedu semula
memang tidak merupakan daerah pemerintahan otonom seperti halnya kabupaten-kabupaten
mancanagara. Pembentukan pemerintahan daerah ini bahkan membuka kesempatan bagi elit
pribumi untuk menduduki jabatan pemerintahan. Selain bupati Magelang yang berasal dari
Yogyakarta, Raffles mengangkat priyayi dari daerah gubernemen (Pekalongan dan
Semarang) sebagai kepala distrik, demi menjamin loyalitas mereka kepada Inggris. Para
demang setempat, kecuali demang Cina, sebagian menjadi kepala subdistrik. Tampaknya
demang yang lain melebur menjadi penatus (kepala satu glondhong) Politik penampungan

10
pegawai ini menyebabkan keresidenan sekecil Kedu (2054 km², nomor dua paling kecil di
Jawa) memiliki 10 demang kepala distrik, 42 subdemang kepala onderdistrik dan masih
terdapat 562 penatus (1833) serta 2499 bekel.

Pergeseran fungsi demang dari pengontrak pajak menjadi kepala daerah tidak pula
mengakibatkan konflik, paling tidak secara terbuka dengan pemerintah, meskipun secara
formal mereka menerima gaji lebih kecil dari pendapatan mereka dahulu. Hal ini disebabkan
karena secara diam-diam para kepala pribumi ini masih melakukan pemerasan kepada petani
mereka seperti pada masa lalu untuk menambah pendapatan mereka. Di samping itu para
demang juga mempunyai kesempatan menjadi sub-collector (ondercollecteur) yaitu pejabat
penerima pajak untuk pemerintah dengan gaji yang jauh lebih besar daripada gaji seorang
subdemang.

Sebaliknya tindakan pemerintah Inggris untuk menetapkan bekel kepala desa sebagai
penarik pajak satu-satunya di desa jelas menguntungkan kedudukan kepala desa. Fungsi
bekeljustru mulai berkembang sebagai penguasa tunggal di desa, baik di bidang ekonomi,
politik maupun sosial. Perubahan ini menyebabkan tersisihnya para bekel yang bukan kepala
desa dalam penguasaan ekonomis di desa dan merupakan salah satu sumber ketidakpuasan.
Di samping kekuasaan tunggal yang diterimanya, bekel kini memikul tugas berat, terutama
menyukseskan program pelaksanaan dan peningkatan landrente. Keberhasilan sistem
landrente di Kedu sebagai keresidenan pertama yang melaksanakan sistem pajak baru ini
memberikan keyakinan kepada pemerintah Inggris untuk menetapkan landrente di seluruh
daerah Gupernemen (daerah kekuasaan kolonial)tanpa melihat bahwa monetisasi belum
berkembang di banyak daerah lain di Jawa.

Pada masa pemerintahan Inggris pembuatan prasarana di Kedu mulai digalakkan


Segera setelah menguasai Kedu, Crawfurd memerintahkan Tan Jin Sing, Kapitan Cina di
Yogyakarta (mantan Kapitan di Kedu), untuk memperbaiki jalan raya dari Bojong (Distrik
Probolinggo) sampai Pingit (Distrik Prapak) Kapitan yang sangat berpengaruh ini menyuruh
Demang Kalisat, Resodikorc, untuk mengerahkan tenaga kerja beserta pembiayaan
pembangunan jalan tersebut. Mulailah kerja-wajib dikerahkan besar-besaran di daerah Kedu.
Dengan adanya pembangunan prasarana ini beban rakyat semakin bertambah. Misalnya
rakyat di Distrik Prapak mengadukan demang mereka karena mengerahkan tenaga rakyat
guna permbuatan jalan tersebut 100 Dengan tetap memanfaatkan kerja-wajib umum (Krigaji,
Belanda: heerendiensten) untuk kepentingan pekerjaan umum dan pelayanan lain, tampak

11
ketidakmampuan Raffles untuk menggantikan sistem feodalisme Jawa dengan sistem yang
bersifat liberal adalah menarik, bahwa Crawfurd sejak semula mengusulkan untuk
memanfaatkan para batur atau gladhag pengangkut barang, kelas proletar yang telah
berjumlah puluhan ribu di Kedu, sebagai pekerja di bidang prasarana dan pelayanan. Apabila
hal itu dilaksanakan akan berarti pengeluaran biaya yang tidak sedikit dari pemerintah.
Mengingat banyaknya tunggakan landrente di berbagai daerah tidaklah mungkin bagi Raffles
menaikkan pajak lebih tinggi lagi untuk pembiayaan prasarana. Oleh sebab itu pemerintah
memilih mengganti wang krigaji dengan kerja-wajib, yaitu tenaga kerja yang sangat elastis
dan secara "formal" tidak menarik uang rakyat

2.1.4.2. Perkembangan Pada Masa Pemerintahan Belanda: Tanah, Pajak, dan


Kerja-Wajib

Dengan berakhirnya perang Napoleon di Eropa, Inggris harus mengembalikan jajahan


Belanda yang didudukinyaPada tahun 1816 Keresidenan Kedu dengan resmi diserahkan
kepada Residen Belanda, A.M.Tde Salis yang sekaligus merangkap sebagai Residen
Pekalongan. Bagaimana dampak kebijaksanaan pemerintah tersebut dapat dilihat dari
perkembangan ekonomis di Kedu sampai berakhirnya perang Diponegoro.

Paling tidak sejak akhir pemerintahan kerajaan, petani Kedu di lereng Gunung
Merbabu (Distrik Ngasinan) dan di lereng Gunung Ungaran (Distrik Sumowono) telah mulai
menanam kopi di pekarangan rumah mereka, meskipun masih dalam jumlah yang kecil.
Terdorong oleh harga kopi yang semakin baik, dorongan dari pemerintah untuk menanam
kopi sebanyak mungkin, kesediaan pemerintah untuk membelinya dengan harga pasar, dan
kebutuhan uang kontan pembayar landrente, makin banyak petani menanam kopi di
pekarangan serta kebun di sekitar rumah mereka (istilah Belanda: paggerkoffij) Paggerkoffij
dan Boschkoffij (kopi yang ditanam di hutan tanpa pemeliharaan khusus) merupakan kopi
yang diproduksi rakyat secara bebas atau kopi manasuka.

Dengan pembukaan kebun-kebun kopi secara paksa sebenarnya pemerintah telah


menuntut kerja-wajib tanam pada rakyat. Petani tidak dapat lagi menanam kopi secara bebas,
khususnya di kebun-kebun kopi yang dikuasai pemerintah. Pemeriksaan dan pengawasan
yang setiapkali dilakukan oleh para pengawas kopi (koffieopziener) di kebun-kebun kopi
justru membuat rakyat dan kepala desanya ketakutan. Rakyat makin membenci tanaman kopi
tersebut dan hasilnya adalah tanaman kopi pemerintah jauh lebih buruk dan tak terurus
daripada kopi manasuka yang tampak subur dan terpelihara dengan baik.

12
Praktik pembayaran pajak kopi seringkali merugikan rakyat. Menurut peraturan,
rakyat harus membayar pajak kopi sebanyak 2/5 dari hasil panen setiap tahun sedang sisanya
boleh dijual bebas di luar. Dalam praktiknya sering terjadi pemerintah menetapkan harga
kopi yang tinggi sementara harga kopi di Kedu lebih rendah. Hal ini berakibat rakyat terpaksa
menjual kopi kepada pemerintah dengan harga rendah, tetapi mereka harus membayar pajak
yang tinggi. Kecuali itu banyak terjadi penyelundupan kopi keluar daerah karena rakyat
menghindari tuntutan pajak kopi yang tinggi. Dengan menjual kopi di pasar bebas petani
mendapat untung lebih besar.

Di sisi lain di bawah pemerintahan kolonial makin dikembangkan berbagai prasarana


seperti jalan-jalan baru dan pengairan. Demikian pula pemerintah mulai mengembangkan tata
pemerintahan daerah yang makin teratur serta adminstrasi perpajakan yang makin rapi dan
terkontrol. Pemerintah juga berusaha menindak pejabat pribumi sampai bekel yang berbuat
curang atau alpa akan tugasnya sejauh dapat diketahuiKeadaan lebih teratur ini turut
mendorong perkembangan ekonomi daerah Kedu, kini berbagai bahan perdagangan semakin
berkembang seperti gula, tebu, kopi, kacang tanah dan tikar pandan.

Di samping tekanan pajak yang makin berat rakyat Kedu mendapat tambahan beban
baru, yaitu berbagai kerja-wajib yang makin besar. Keadaan yang demikian memberatkan
rakyat makin diperburuk, oleh harga bahan pangan pokok, yaitu padi yang semakin tinggi
pada tahun-tahun menjelang Perang Diponegoro, karena panen gagal akibat meletusnya
Gunung Merapi pada tahun 1822. Rakyat membenci orang Belanda yang menjadi penyebab
tingginya pajak dan beratnya kerja-wajib. Sasaran kebencian rakyat juga ditujukan kepada
orang-orang Cina. Rakyat menganggap Cina pachter bandar sebagai pemeras uang rakyat di
pintu gerbang cukai dan di pasar-pasar. Mereka juga sebagai pachter candu, pemilik rumah
madat, rumah gadai serta tengkulak tembakau yang memberi hutang dan menyita hasil panen
mereka sebagai penebus hutang.

Keadaan rakyat yang demikian kritis menjadi sangat responsif menerima ajakan untuk
berontak. Pemberontakan terjadi pada tahun 1822 di bawah pimpinan Pangeran Diponsono,
putra Hamengkubuwono I yang anti-BelandaDengan bantuan pegawai keraton Surakarta
Sinduratmojo, pemberontakan yang mulai terjadi di Desa Bendo (Distrik Probolinggo)
sempat membunuh beberapa orang Belanda dan Cina sebelum berhasil ditumpas dalam
waktu dua hari. Tiga tahun kemudian pecah Perang Diponegoro dengan dukungan seluruh
rakyat petani, menghancurkan 4 daerah pedesaan Kedu.

13
Selama Perang Diponegoro rakyat Kedu makin banyak dikerahkan oleh Pemerintah
Kolonial hagi kepentingan perangUntuk transportasi perang, rakyat harus mengurus 200 kuda
beban di pos Magelang, 100 kuda di Trayem dan 55 ekor kuda, puluhan pedati dan lembu di
pos MedonoKerja-wajib transport yang lain adalah pengangkutan bahan pangan untuk tentara
dari Bawen ke Magelang yang berjumlah 6.000 orang setiap hari. Kerja-wajib yang lain
adalah memperbaiki jalan-jalan dan jembatan jembatan yang dirusak pasukan Diponegoro
yang meliputi sebagian besar daerah Kedu. Sejak Perang Diponegoro maka kerja-wajib
menjadi pajak tetap yang secara rutin dituntut dari petani Kedu, seperti halnya pembayaran
landrente. Mereka menerimanya sebagai bagian dari kewajiban mereka kepada Kanjeng
GupermenRakyat menyebut kerja-wajib di bidang pekerjaan umum dan pelayanan umum
sebagai pegaweyan negeri.

Setelah perang Diponegoro pemerintah kolonial meninggalkan azas kebebasan dan


menerapkan sistem Tanam Paksa dengan dukungan kerja-wajib. Bagaimana perkembangan
kerja-wajib, khususnya kerja-wajib umum pada masa Tanam Paksa akan dipaparkan dalam
bab berikut.

2.2. Kerja-Wajib dan Tanam Paksa

2.2.1. Kebutuhan Kerja-Wajib Umum Untuk Pelaksanaan Tanam Paksa

2.2.1.1. Penggunaan Kerja-Wajib Umum (heerendiensten) oleh Penguasa


Kolonial Sebelum 1830

Seperti halnya raja-raja di Jawa, VOC juga menggunakan kerja-wajib umum untuk
memperoleh tenaga kerja. Sejak awal abad XVIII VOC menuntut penyerahan balok-balok
kayu dari daerah Pamanukan dan Ciasem dari para bupati setempatMelalui kekuasaan bupati
inilah rakyat dikerahkan untuk menebang pohon di hutan-hutan dan mengangkutnya melalui
sungai-sungai sampai ke pelabuhan. Kerja-wajib umum tertua (yang dipergunakan oleh
penguasa kolo- nial) ini disebut kerja blandhong. Pekerjaan ini ditugaskan kepada penduduk
yang tinggal di sekitar hutan jati

Pada dasarnya VOC memberikan upah sedikit kepada para blandhong tersebut, akan
tetapi beratnya pekerjaan sangat tidak sesuai dengan imbalan yang mereka terima. Mereka
harus berjalan jauh masuk hutan belukar, menebang pohon-pohonmemotong dan
membersihkannya menjadi balok-balok. Selanjutnya mereka menghela balok-balok melalui
semak dan jalan setapak berbukit- bukit menuju tepian sungai, kemudian mengangkutnya ke

14
Pelabuhan. Pekerjaan ini dilakukan berhari-hari di bawah pimpinan seorang serdadu
Kumpeni, sedang upah mereka sering dipotong oleh pejabat.

Selanjutnya VOC menggunakan balok-balok kayu untuk kepentingan peperangan


mercka, yaitu membangun benteng- benteng. Di samping itu mereka perlu membangun loji,
gedung penyimpan hasil bumi, pabrik indigo dan rumah tinggal pejabat. Tenaga kerja dalam
jumlah besar untuk pembangunan tersebut hanya mungkin mereka peroleh dari para bupati
dengan pengerahan kerja-wajib umum, karena kerja upah (bebas) masih langka dan mahal.
Demikan demi untuk kepentingan pelayanan perdagangan, pemerintahan dan militer, VOC
mencontoh sistem para bupati, yaitu menggunakan kerja-wajib umum petani.

Sebagian besar pelaksana kerja-wajib umum berasal dari petani-petani yang mendapat
bagian sawah desa sebagai imbalan. Besar kecilnya sawah yang mereka terima disesuaikan
dengan berat ringannya pekerjaan atau keahlian yang mereka miliki atau juga pada tinggi
rendahnya kedudukan merekaSeorang penabuh gemelan menerima sawah 1,25 jung (3,55
ha.), seorang tukang mendapat 1,65 jung (4,69 ha) sawah. Seorang batur pengangkat dan
pengangkut barang sebagai pekerjaan paling berat mendapat 1,45 jung (4,12 ha) sawah,
sedang seorang batur di pabrik indigo hanya mendapat 0,12 jung (0,34 ha) sawah sebagai
gajinya.

2.2.1.2. Tanam Paksa Sebagai Akselerator Kerja-Wajib Umum

Perang Diponegoro, yang berakhir pada bulan Maret 1830 dengan penangkapan
Pangeran Diponegoro selagi masih berunding dengan Belanda, membawa kerusakan
lingkungan dan kemerosotan ekonomi yang sangat parahPerang ini menelan korban 200.000
orang meninggal dunia dan pemerintah menanggung hutang f 32.000.000,-. Sebagian besar
daerah pedesaan Kedu dan daerah lain di Jawa Tengah mengalami kerusakan hebat. Dalam
usaha memenuhi kebutuhan untuk merehabilitasi perekonomian Hindia Belanda dan
membayar hutang yang sudah membengkak, pemerintah harus menentukan pilihan sistem
terbaik untuk meraih keuntungan secepat mungkin.

Konsep van den Bosch tentang sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) akhirnya diterima
sebagai pilihan paling tepat untuk kondisi Pulau Jawa pada waktu itu. Sistem ini pada
dasarnya adalah sistem monopoli VOC yang disempurnakanMenurut van den Bosch, dengan
sistem bebas petani segan menanam tanaman ekspor yang menjadi bahan perdagangan utama

15
untuk mengisi kas pemerintah. Tanaman ini (kopi, tarum) justru sangat berhasil dengan
sistem paksa seperti di daerah Priangan karena menggunakan kekuasaan kepala pribumi.
Maka sebaiknya rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor sebagai pengganti
pajakPelaksanaan Tanam Paksa dipimpin dan diawasi oleh pejabat Eropa (residen), tetapi
tetap menggunakan kekuasaan kepala pribumi (bupati) yang memerintah seperti
sediakalaPetani tetap bekerja dalam komunitas desa di bawah kepala desa.

2.2.2. Peningkatan Bangunan Prasarana

2.2.2.1 Kerja-Wajib Umum Sektor Jalan

Prasarana di Kedu mengalami kerusakan berat akibat meletusnya Perang Diponegoro.


Pemerintah makin banyak mengerahkan kerja-wajib umum untuk perbaikan jalan, jembatan
dan pengairanSementara itu Tanam Paksa mulai dilaksanakan di Kedu sejak tahun 1831
dengan penanaman kopi secara besar-besaran yang juga mengerahkan tenaga rakyat.
Terjadilah suatu pembangunan berantai untuk mendukung usaha besar ini. Pemerintah
memerlukan jaringan jalan menuju ke gudang-gudang kopi yang tersebar di 12 distrik di
Kedu.

Jalan-jalan penting perlu diperkeras atau diperlebar demi kelancaran arus angkutan
kopi yang mencapai 100.000 pikul (610.000 kg) ke pelabuhan Semarang. Apabila pada tahun
1812 jalan raya di Kedu hanya 45 km, tanpa fondasi batu, tahun 1870 jalan tersebut telah
menjadi 216 km dengan fondasi batu dan kerikil sebagai pengeras. Selain itu terdapat 43,5
km jalan rumput yang sebagian diperkeras dengan kerikil. Pada tahun 1887 panjang seluruh
jalan di Kedu menurut catatan Wiselius adalah 801,8 km (jalan yang diperkeras dan jalan
rumput). Jalan dan jembatan yang dibangun di Kedu ditujukan untuk kelancaran arus lalu
lintas angkutan ekspor pemerintah dan kepentingan militer. Terdapat tiga titik strategis dari
prasarana yang perlu ditingkatkan. Pertama adalah ujung utara jalan pos Magelang-
Semarang yang terhambat di Pingit (perbatasan Keresidenan Kedu dan Semarang). Titik
kedua adalah jembatan Kali Krasak yang menyambung perbatasan Keresidenan Kedu dengan
Kasultanan Yogyakarta. Titik strategis terakhir adalah jalan perbatasan Keresidenan Kedu
dengan Bagelen melintasi perbukitan Cacaban-Manoreh menuju Purworejo.

Dalam segi pembiayaan, pemerintah memberikan prioritas bagi kepentingan Tanam


Paksa dan kepentingan militerbaru kemudian kepentingan masyarakat. Untuk membangun
prasarana ini banyak menyerap tenaga kerja petani melalui pengerahan kerja-wajib umumDi
samping sifatnya yang menyerap banyak tenaga kerja, pekerjaan ini memakan waktu cukup

16
lama. Dengan makin banyaknya kerja-wajib umum yang harus dipikul petanimaka
pemerintah setempat mengadakan berbagai penyesuaianagar beban dapat lebih diperingan
dan petani tetap dapat menggarap tanahnya. Antara lain diadakan pembagian sawah desa
kepada lebih banyak orang untuk menciptakan lebih banyak kuli kenceng, yaitu petani
penguasa tanah sebagai pemikul beban utama dari semua kerja-wajib. Selain itu mereka yang
hanya memiliki pekarangaa (indhung pekarangan) mendapat tugas kerja- wajib dengan porsi
lebih kecil. Pemilik rumah (tanpa menguasai tanah pertanian atau pekarangan) yaitu para
mondhok tempel mendapat porsi kerja-wajib yang paling kecilAkhirnya orang laki- laki yang
tidak memiliki kekayaan seperti para buruh tani (mondhok glongsoratau numpang)kuli
angkatan atau pekerja lain (batur) dan para bujangan (perjaka) dibebaskan dari kerja-wajib.

Usaha lain untuk meringankan beban kerja-wajib petani adalah dengan menentukan
jam kerja yang tidak selalu sehari penuh untuk pekerjaan tertentuMisalnya untuk
memperbaiki jalan pos tidak dilaksanakan dalam waktu 10 sampai 12 jam seharimelainkan
cukup 4-5 jam atau sejak pagi hari hingga beduk lohor. Dengan demikian si petani masih
dapat bekerja di sawah setelah lepas tengah hari hingga sore hari sekitar tiga jam.

2.2.3. Kerja-Wajib Umum Bidang Pelayanan, Keamanan, dan Angkutan

2.2.3.1. Pelayanan Pejabat (Pancen) Dalam Birokrasi Kolonial

Seorang pejabat pribumi mendapat beberapa orang pancen (pelayan) untuk


kepentingan rumah tangganya. Dengan kata lain pancen adalah fasilitas pejabat di samping
uang gaji dan tanah. Sistem pancen sebenarnya berakar dari tradisi kerajaan Mataram. Para
bupati di daerah VOC mengikuti gaya hidup kraton Mataram yang tetap memiliki kharisma
sebagai pusat kekuasaan dan budaya tradisional. Antara lain mereka juga mempunyai banyak
pembantu dan pengiring. Tugas-tugas pokok seorang pancen (di Kedu lebih dikenal dengan
istilah kemit) ialah sebagai penjaga malam rumah pejabat dan sebagai pesuruh untuk berbagai
keperluan. Ia diharuskan datang pada sore hari dengan membawa rumput untuk kuda atau
kayu api, lalu berjaga di pendapa (atau tidur)Keesokan harinya ia membantu pekerjaan rumah
tangga, dan sore hari ia pulang. Rakyat menganggap kerja-wajib pancen atau kemit sebagai
salah satu tugas yang berat karena mereka bertugas hampir sehari semalam. Di samping itu
rakyat harus senantiasa siap sedia menjalankan perintah. Jumlah pancen untuk setiap pejabat
disesuaikan dengan kedudukan masing-masing. Pada tahun 1848 jumlah pancen bupati
Magelang sebanyak 58 orang dan untuk bupati Temanggung 30 orang.

17
Pada tahun 1856 masing-masing bupati hanya menguasai 38 pancen. Sebaliknya
pancen untuk wedana (kepala distrik) naik dari 10 menjadi 15 orang dan asisten wedana
(kepala onderdistrik) dari 10 menjadi 12 orang. Jumlah pancen secara keseluruhan terus
meningkat sejajar dengan makin berkembangnya birokrasi pemerintah kolonialPada tahun
1822 di Kedu hanya terdapat 10 jabatan pribumi di atas tingkat desa dengan sekitar 50 orang
pegawai. Pada tahun 1834 jumlah ini bertambah menjadi 15 jenis dengan 69 orang
pegawaisementara pegawai Belanda ada 9 orang. Pada tahun 1860 jumlah jabatan meningkat
menjadi 32 jenis dengan 165 orang pegawai dan pada tahun 1872 terdapat 171 orang pegawai
pribumi.

2.2.3.2. Penjagaan Keamanan Bangunan dan Lingkungan

Masalah pengamanan bangunan pemerintah, keamanan rumah pejabat dan keamanan


lingkungan juga menjadi perhatian pemerintah kolonial. Terutama di daerah-daerah dengan
monetisasi yang mulai berkembang pencurian dan perampokan lebih banyak terjadi daripada
daerah-daerah yang masih bersifat pertanian subsisten. Sasaran perampokan adalah pemungut
pajak pasar dan pajak bandar, tempat penjualan candu dan pedagang tembakau yang
umumnya orang-orang Cina. Perampokan juga dilakukan di rumah bekel dan demang
pengontrak pajak tanah. Selain itu para pencuri memasuki rumah penduduk, mencuri ternak,
uang dan barang lain. Perampokan dan pencurian di wilayah nagaragung tampak meningkat
sejak awal abad XIX ketika tekanan pajak uang makin berat dan monetisasi semakin
meningkat di bawah pemerintahan Eropa.

Pemerintah kolonial berusaha menanggulangi masalah keamanan ini dengan


mengadakan kerja-wajib jaga secara teratur baik di kota, desa dan disepanjang jalan besar
(heerendienst we- gen)Untuk itu pemerintah banyak mendirikan gardu-gardu jaga dengan
biaya seluruhnya dari rakyat. Kerja-wajib jaga ini semakin meningkat sejak sistem Tanam
Paksa dilaksanakan meningkat sejak sistem Tanam Paksa dilaksanakan.

Pemerintah membutuhkan pengamanan kebun-kebun kopi di sepanjang jalan.


Demikian pula keamanan angkutan demi kepentingan masyarakat perlu ditingkatkan.
Diperlukan pula penjagaan terhadap gudang kopi, gudang indigo, gudang garam serta
bangunan-bangunan pemerintah yang lain, rumah para pejabat dan bangunan umum seperti
pasar, jembatan atau bendungan. Kerja-wajib ini adalah yang terbesar menyerap tenaga kerja
setelah kerja-wajib memperbaiki jalan. Justru itulah sebabnya kedua jenis kerja wajib ini
dipertahankan paling lamaPada tahun 1848 jumlah pelaksana kerja-wajib jaga gardu adalah

18
625 orang per hari atau 228.125 hari kerja per tahun. Pada tahun 1856 jumlah itu meningkat
menjadi 667 orang atau 243.455 hari kerja dan tahun 1887 mencapai 1002 orang atau
365.730 hari kerja (jumlah gardu jaga jalan pos adalah 261 buah).

Dengan adanya akibat-akibat sampingan tersebut rakyat. menganggap kerja-wajib


jaga gardu juga berat. Residen Wiselius menganggap penjagaan keamanan dengan
menggunakan kerja-wajib jaga sangat membuang waktu petani dengan percumaSebaiknya
penjagaan dilakukan oleh petugas khusus penjaga gardu yang mendapat upah
tetapselanjutnya mengusulkan bahwa penjagaan gaya baru ini harus merupakan subsistem
dari lembaga kepolisian.

2.2.3.3. Kerja-wajib Umum Bidang Angkutan

Angkutan merupakan bidang yang cukup unik. Pada satu sisi sektor ini merupakan
kerja-wajib untuk kepentingan raja, pembesar dan kepentingan kerajaan pada umumnya.
Kerja-wajib angkutan (gladhag) diperlukan apabila raja, pembesar bepergian, baik ditandu,
naik kuda atau kereta. Wong gladhag memegang sektor angkutan kerajaan yang menyediakan
baik peralatan angkutan maupun pekerja pengangkut barang milik kerajaan.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda berkembang dua jenis angkutan, yaitu
angkutan orang dan barang (milik pemerintah atau perseorangan dalam jumlah kecil) dan
angkutan hasil bumi atau lain yang bersifat masal. Untuk angkutan masal pemerintah tetap
melaksanakan sistem kontrak dengan pembayaran uang. Sebaliknya angkutan orang dan
barang diselenggarakan dengan pengerahan kerja-wajib umum. Kerja-wajib ini dipergunakan
untuk pelayanan para pejabat yang bepergian untuk urusan dinas. Di Kedu terdapat dua
macam usaha angkutan. Yang pertama adalah gladhag, bali bandhang atau janggol untuk
mengangkut barang atau orang, baik milik pemerintah mau-pun swasta. Baik kuda maupun
para pekerjanya dikerahkan dari desa-desa sekitar pajanggolan (tahun 1848 terdapat 19
pajanggolan) Setiap pajanggolan mempunyai seorang kepala yang bertindak sebagai manajer.
Mereka yang menggunakan jasa angkutan ini seharusnya membayar sewa angkutan atau upah
kuliDalam kenyataan tidak semua penumpang memba-yar, apalagi pegawai rendahan yang
memang tidak diberi uang transport.

Usaha angkutan yang kedua adalah pelayanan kereta pos kabupaten


(regentspaardenposterij), yang didirikan atas inisiatif Residen Hartman pada tahun 1836.
Secara resmi usaha ini merupakan usaha bupati untuk melayani angkutar. pegawai dan
perwira militer yang melakukan perjalanan dinas. Selain beberapa buah kereta yang milik

19
pribadi bupati (Magelang dan Temanggung)kelengkapan lain seperti kuda dan peralatannya,
setasiun pos, kandang kuda beserta perawatan dan para pekerjanya dibebankan kepada para
kepala desa sekitar setasiun posSebagai usaha setengah swasta, kereta pos ini menarik sewa
para penumpangnamun pendapatan ternyata menjadi hak bupati dan kepala bawahannya.
Selain memberi upah kepada kusir kereta dan gameltidak diberikan beaya untuk makanan
kuda, para penjaga serta beaya untuk pemeliharaan dan penggantian kuda.

Pelaksanaan kerja-wajib ini dibebankan kepada sekitar 2.000 kuli kenceng dari desa-
desa sekitar setasiun pos. Untuk meringankan beban mereka dibebaskan dari beberapa kerja-
wajib yang lain. Pada tahun 1844 Residen Bousquet mengusulkan agar pemerintah
membangun sendiri kereta pos tanpa membebani rakyat seperti halnya kereta pos kabupaten.
Ia mengusulkan agar menaikkan landrente 1% untuk pembeayaan angkutan tersebut.
Pemerintah berkeberatan menaikkan landrente namun bersedia membantu pembeayaan kereta
pos kabupaten yaitu dengan membayar tarif f1,05 setiap 1,5 kilo-meter untuk mengantar
perjalanan dinas pegawai dan perwira (tanpa memperhitungkan jumlah orang). Dengan
pendapatan yang agak besar ini dan masih mendapat bantuan pemerintah bila diperlukan,
kereta pos kabupaten lambat laun dapat mandiri

2.2.4. Kerja-Wajib untuk Kepentingan Militer

Pada tahun 1833 Gubernur Jenderal J.C. Baud menyetujui pembangunan 7 buah
benteng di Jawa, 4 diantaranya terletak di bekas mancanegara, yaitu Ngawi, Ambarawa,
Gombong dan Cilacap. Selanjutnya sebuah benteng dibangun di pelabuhan Semarang, di
Batavia dan Surabaya. Benteng terbesar adalah benteng Willem I di Ambarawa, sekitar 75
kilometer sebelah uatara Yogyakarta, merupakan suatu poros perbentengan Semarang-
Ambarawa-Yogyakarta (benteng Vredeburg). Benteng Willem I ini merupakan kompleks
militer yang dapat memuat 12.000 tentara lengkap dengan tangsigudang senjata,
perbengkelan, lapangan tembak, lapangan latihan dan rumah sakit. Selama 18 tahun benteng
ini telah menelan biaya f 4.436.698,13, atau rata-rata f 246.483,- setiap tahun, suatu jumlah
yang melebihi bangunan apapun pada masa itu.

Pemerintah menghadapi masalah besar dalam pengadaan tenaga kerja, karena


pekerjaan raksasa ini menuntut tenaga kerja yang sangat besar secara ajeg selama bertahun-
tahun. Sebagai bangunan baru, terlebih lagi sebagai bangunan yang menggunakan teknologi
lebih maju daripada gedung biasa, pemerintah menghendaki kerja bebas. Untuk itu
disediakan upah cukup memadai, yaitu sekitar 10 sen (1833). Namun pemerintah dihadapkan

20
pada kenyataan bahwa pada waktu itu jumlah pekerja bebas masih sangat sedikit, sehingga
terpaksa menggunakan sistem pengerahan petani secara paksa yang sama dengan kerja-wajib.
12 Pekerjaan ini menjadi beban sangat berat bagi rakyat karena mengerahkan petani dari
tempat-tempat yang sangat jauh, dilaksanakan selama 12 jam sehari dalam disiplin kerja yang
ketat. Selain itu para petani yang bekerja di benteng harus menginap di barak-barak yang
disediakan, dengan fasilitas terbatas dan meninggalkan rumah yang kurang aman.

Apabila ditinjau dari besarnya upah pekerjaan ini seharusnya menguntungkan petani,
karena imbalan kerja-wajib umum paling tinggi hanya 10 sen. Namun demikian petani Kedu
menganggap kerja ini sangat berat. Petani yang berada lebih baik membayar seorang
pengganti (jagul) dengan tarif lebih tinggi. Ini disebabkan karena tempat kerja yang demikian
jauh dan jam kerja yang sangat panjangTerutama karena kuli kenceng asal Kedu mendapat
tugas menebang pohon jati di hutan Pringapus (Keresidenan Semarang) serta menghelanya
sendiri ke benteng. Sering mereka baru berhenti pada malam hari.

Keadaan petani yang telah bertambah berat karena kerja-wajib benteng di keempat
distrik tersebut kemudian bahkan diperluas ke seluruh distrik di Kedu, karena sejak tahun
1838 Kedu harus meningkatkan jumlah pekerja menjadi 1.200 orang per hari Keadaan petani
lambat laun makin melemah karena beban kerja dan beban ekonomis makin menghimpit
mereka.

Di samping itu Tanam Paksa kopi dengan pembukaan kebun-kebun baru telah
berjalan 15 tahun. Mereka yang mengerjakan kerja-wajib umum juga dikenakan kerja-wajib
tanam kopi, sejauh daerah mereka merupakan daerah kopi. Petani yang telah demikian
terserap waktunya untuk berbagai kerja-wajib ini masih dikenakan penanam tarum yang
diperkenalkan pada tahun 1840. Tanaman yang dikenal sangat berat dalam pemeliharaan
serta pengolahan menjadi indigo ini, menyebabkan sekitar 5.000 petani terpaksa dibebaskan
beberapa kerja-wajib lain, agar dapat menanam dan mengolah tarum. Ini berarti tugas kerja-
wajib mereka harus ditambahkan kepada para petani yang lain.

2.2.5. Sistem Kerja-Wajib Umum dan Kecenderungan Eksploitatif

Pertama-tama kerja-wajib umum sebagai suatu sistem mengandung unsur eksploitasi,


karena tenaga kerja terutama tidak dinilai sebagai jasa ekonomis, melainkan sebagai
kewajiban sosial. Sebagai kewajiban sosial pelaksanaan kerja-wajib sangat tergantung kepada

21
sifat kekuasaan yang menuntut kerja-wajib tersebut, baik perorangan ataupun lembaga.
Dalam konteks masyarakat tradisional dengan tuntutan kebutuhan hidup yang masih
sederhanakerja-wajib umum pada umumnya tidaklah berat. Namun demikian, mengingat
bahwa kekuasaan tradisional pada umumnya bersifat otoriter, maka penguasa mudah
menuntut kerja-wajib yang berlebihan, tanpa ada lembaga lain dapat mencegahnya, kecuali
rakyat sendiri melakukan protes.

Selain itu sebagai pajak natura kerja-wajib umum mempunyai sifat elastis, yaitu dapat
dituntut lebih banyak atau lebih sedikit menurut kepentingan penguasa atau pemerintah pada
suatu saattanpa terlalu dirasakan oleh rakyat sebagai tekanan pajak seperti halnya pajak uang.
Dari perkembangan kerja-wajib uinum di Kedu pada masa pemerintahan kolonial dapat
dikemukakan mengapa kerja-wajib seringkali dianggap berat oleh rakyat, meskipun menurut
catatan pemerintah jumlah hari kerjaper petani cukup rendah. Hal ini karena volume kerja
untuk membangun, memelihara prasarana dan jenis kerja yang lain bergerak secara elastis,
mudah diperbesar selama masih diperlukan, tanpa terlalu tergantung kepada biayaBanyak
kerja-wajib yang tidak tercatat, bahkan tidak diketahui jumlah pelaksana serta jumlah hari
kerja yang dikurbankan petani, karena mudahnya mengerahkan tenaga.

Selanjutnya baik kekuasaan pejabat kolonial yang ternyata juga bersifat otoriter,
maupun kekuasaan pelaksana para kepala pribumi yang bersifat feodalistik menyebabkan
mereka dapat menuntut kerja-wajib maupun bahan-bahan dari rakyat secara berlebihan.

Menyadari berbagai ekses penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan baik oleh


pejabat Belanda maupun kepala pribumipemerintah kolonial berusaha secara bertahap
menjadikan kerja- wajib umum suatu lembaga kerja dengan peraturan-peraturan yang lebih
terinci, yang lebih menjamin pemerataan beban kepada sebanyak mungkin lapisan petani
sesuai dengan kemampuan ekonomis masing-masingDi samping itu pemerintah juga
berusaha melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap para pejabat untuk mengurangi
ekses penyalahgunaan kerja-wajib umum

2.3. Kerja Wajib Tanam Paksa dan Kerja Wajib Desa Sebagai Pendukung Tanam
Paksa
2.3.1 Perkembunan Pemerintah Sebagai Perwujudan Tanam Paksa

22
Menurut batasan Fasseur, Tanam Paksa adalah suatu bentuk eksploitasi industri
pertanian pulau Jawa yang dengan menggunakan kekuasaan dan pengaruh pemerintah
memaksa rakyat pribumi menanam tanaman ekpor yang dijual untuk kepentingan negara
dengan penetapan upah tanam yang rendah secara sepihak.

Demikian pula tenaga kerja dapat diperoleh tanpa banyak tentangan dari petanikarena
seperti halnya kerja-wajib umum, kerja-wajib tanam untuk melaksanakan Tanam Paksa juga
dikaitkan dengan penguasaan tanah. Sebagai pengganti pajak tanah, maka penolakan untuk
melaksanakan Tanam Paksa sama dengan penolakan kewajiban yang terlekat pada
penguasaan tanah. Ini akan berakibat hilangnya hak petani atas tanahnya yang sedapat
mungkin akan dihindari oleh petani. Pada prinsipnya pemerintah hanya memilih lahan-lahan
terbaik saja untuk tanaman-tanaman tertentu di setiap keresidenanTernyata Kedu paling
cocok untuk tanaman kopi, karena di samping kesuburan tanahnya, juga terletak pada
ketinggian yang memenuhi syarat bagi tanaman ini.

2.3.2 Kerja-wajib Tanam Kopi

2.3.2.1. Perluasan tanaman paksa kopi

Mengingat prospek kopi yang begitu baik, pemerintah menginginkan produksi kopi
makin ditingkatkan. Sejak tahun 1820 pemerintah kolonial telah mulai memerintahkan rakyat
menanam kopi di kebun-kebun yang luas.

Dengan adanya kebijaksanaan pemerintah untuk membuka kebun kopi yang


dikerjakan secara komunal, maka di Kedu mulai terdapat dua macam tanaman kopi milik
desa atau pemerintah sebagai beban rakyat yang baru. Beban ini dianggap berat karena
kebun-kebun pada umumnya jauh dari tempat tinggal mereka, dibandingkan dengan kopi
manasuka yang ditanam di pekarangan sendiriMenurut seorang pejabat, W. van Hogendorp,
adanya sifat paksaan tidak memberikan peluang kepada petani untuk menentukan pilihan
yang paling menguntungkan bagi dirinyaPetani menggarap dan memelihara kebun
pemerintah dengan rasa enggan, sementara kopi manasuka miliknya dirawat dengan penuh
ketekunan. Melihat keadaan ini pemerintah mengadakan pemeriksaan dan pengawasan di
kebun-kebun, yang bahkan menyebabkan petani makin acuh tak acuh dan hanya bekerja
karena takut kepada atasan.

Sejak awal masa tanam paksa penanaman kopi terus meluas secara ekspansif.
Penanaman dilakukan baik di pekarangan penduduk maupun di kebun-kebun di seluruh

23
distrik di Kedu. Apabila pada awal-awal lebih banyak ditanam kopi pagar dan kopi kampung,
maka sejak tahun 1840-an penanaman kopi makin diperluas di tanah tegal milik penduduk.
Untuk memacu produksi yang semakin tinggi pemerintah membuka kebun-kebun kopi
dengan menggunakan tanah tegal rakyat untuk beberapa tahunSetelah pohon kopi
berproduksi tanah dikembalikan pada rakyat untuk tanaman pangan, sementara itu
pemerintah menggunakan tanah-tanah tegal yang lain untuk tanaman kopi baru. Keadaan ini
menyebabkan makin meluasnya areal kopi, meningkat pesatnya jumlah pohon kopi, diiringi
produktivitas yang cenderung makin menurun.

2.3.2.2. Pelaksanaan Kerja-Wajib Tanam Kopi

Tidak berbeda dengan kerja-wajib umum, mereka yang memikul beban kerja-wajib
tanam kopi adalah petani penguasa sawah, tegalatau hanya penguasa pekarangan. Bahkan di
sini prabot desa (pamong desa) tidak dikecualikan. Dalam kenyataan tidak semua desa
dibebani kerja-wajib tanam. Kopi hanya wajib ditanam di lokasi-lokasi tertentu disetiap
distrik dan jumlah pelaksana kerja- wajib tanam kopi pada umumnya lebih kecil daripada
pelaksana kerja-wajib umum.

Untuk meringankan beban pemerintah berusaha membagi kerja-wajib seadil mungkin


diantara petani. Mereka yang mendapat beban kerja-wajib umum, umumnya mendapat
keringanan dalam mengerjakan perkebunan kopi pemerintah. Petani bekerja 78 hari setahun,
setiap hari 3 hingga 12 jam, atau sekitar 5 jam per hari. Pada kedua contoh tersebut, beberapa
pekerjaan pada contoh yang pertama tidak terdapat pada contoh yang kedua, demikian pula
sebaliknya. Apabila keduanya saling melengkapi maka kerja-wajib tanam adalah sekitar 95-
100 hari kerja untuk 500 pohon.

Di samping itu petani masih mempunyai tugas yang berat, yaitu mengangkut kopi dari
kebun ke gudang-gudang penyimpanan kopiTernyata sampai sekitar tahun 1848, gudang kopi
hanya terdapat di ibukota Kabupaten, yaitu Magelang dan TemanggungHal ini tentu saja
menambah berat beban petani kopi yang tinggal tersebar di sebagian besar wilayah Kedu.
Setelah terjadi berbagai keresahan akibat beratnya berbagai kerja-wajib, antara lain adanya
desas-desus bahwa rakyat membuang kopi agar tidak perlu mengangkutnya ke gudang yang
begitu jauh, maka setelah tahun 1849 pemerintah membangun gudang-gudang kopi di sekitar
distrik.

Pembayaran upah tanam kopi pada umumnya cukup, dalam arti dapat dipakai untuk
memmbayar landrente, bahkan masih berlebih. Namun demikian, seperti telah disinggung di

24
muka, pendapatan ini tidak merata. Di distrik-distrik selatan yang kurang subur, upah tanam
terlalu kecilSeorang kontrolir mengusulkan agar dinaikkan dua kali dan diberikan upah untuk
penanaman bibit. Pada akhirnya penilaian petani mengenai cukup atau tidak cukupnya upah
tanam sangat tergantung kepada perimbangan antara beratnya pekerjaan dan hasil yang
diterimanya

2.3.3. Kerja-wajib Tanam Tarum

2.3.3.1 Perkembangan Tanam Tarum

Tidak berbeda dengan kopi, penyerahan wajib indigo untuk VOC juga dilaksanakan
dengan tanam paksa tarum dan menuntut pengorbanan lebih besar dari petani dibanding kopi,
baik dari segi material (menggunakan sawah) maupun dari segi tenaga dan waktu. Sementara
itu tarum umumnya sangat cepat menghisap kesuburan tanah.

Pada tahun 1840 pemerintah mulai menanam tarum di Kedu Selatan, yaitu distrik
Menoreh. Agaknya pemilihan lokasi ini berdasarkan kenyataan bahwa distrik ini memiliki
sawah dan penduduk yang cukup banyak, di samping kesuburan tanahnya. Pertama kali
pemerintah menggunakan 400-450 bahu. Tanaman yang relatif baru ini ternyata menyerap
tenaga dan waktu petani yang sangat banyak. Setelah 5 bulan daun tarum dipanen tahap
pertama, menyusul pengolahan tarum menjadi indigo yang tidak kurang berat selama 3 bulan.
Sementara itu pemetikan kedua kali dimulai, persiapan lahan baru menuntut waktu sepanjang
tahun.

Yang menjadi titik keberatan petani adalah bahwa pemerintah menggunakan sawah
yasa untuk tanaman indigo. Menurut adatsiapapun tidak berhak mengambil atau memakai
sawah yasa tanpa persetujuan petani penguasanya dan wajib memberikan ganti rugi.

Setelah terjadi aksi protes petani Menoreh tahun 1842, pemerintah mengurangi areal
tarum di distrik tersebut dan memperluasnya di daerah lain dengan lebih berhati-hati. Usul
Residen Hartman untuk memperluas tanaman tarum di distrik ProbolinggoBligo (waktu itu
masih merupakan distrik tersendiri) dan Remame, baru dilaksanakan tahun 1848. Agaknya
setelah pemerintah yakin bahwa hal itu tidak mengundang kemarahan petani. Areal tarum
ditambah dengan 300 bahu di distrik Probolinggo dan 100 bahu di Remame. Sebaliknya areal
tarum di Menoreh yang semula 450 bahu dipersempit menjadi 300 bahu. Usaha-usaha untuk
meringankan beban kerja petani ini ternyata masih beluin banyak menguntungkan petani.

25
Pendapatan petani tarum rata-rata jauh lebih kecil daripada petani kopi. Produksi indigo yang
meningkat karena makin luasnya areal tarum tidak banyak meningkatkan upah tanam petani.

Petani melakukan perlawanan pasif untuk menghindari tanam paksa tarum adalah
menyembunyikan sawah dan menyatakan diri bukan penguasa sawah sanggan. Dengan
demikian si petani tersebut menjadi wong mondhok yang bebas kerja-wajib tanam. Tentu saja
hal ini dengan sepengetahuan para bekel, karena hanya merekalah yang dapat memberikan
semua data mengenai sumberdaya desa. Ketika tersebar berita bahwa banyak orang di Distrik
Probolinggo melarikan diri, semula orang menyangka bahwa mereka adalah petani tarum.
Setelah diselidiki ternyata yang pergi adalah para petani kopi

2.3.4. Kerja-wajib Tanaman lain

2.3.4.1.Tanaman Tembakau

Melihat prospek yang sangat baik dari usaha tani tembakau rakyat, pemerintah pun
berusaha menanam tembakau dengan bibit luar negeri untuk kepentingan ekspor ke Eropah,
yaitu jenis Ha- vana dan Maryland. Pada tahun 1831 dan 1832 diadakan percobaan
penanaman di Distrik Jetis dan ProbolinggoPada tahun 1833 dimulai tanam paksa tembakau
di Kedu dengan luas 55 bahu dengan cara memberi bibit cuma-cuma kepada petani dan kelak
mereka menjual tembakau kepada pemerintah. Sampai tahun 1835 terus merugi karena
tanaman tidak begitu berhasil. Kemungkinan hal ini disebabkan karena petani kurang terbiasa
dengan jenis baru ini, disamping akibat musim kemarau panjang yang merusakkan tanaman
tembakau.

Adanya risiko tinggi dari usaha penanaman tembakau yang disebabkan kerentanannya
terhadap cuaca dan musim, menyebabkan pemerintah melepaskan tanam paksa
tembakauUntuk selanjutnya pemerintah membiarkan petani mengusahakan sendiri tanaman
tembakau seperti sedia kala, atau mengadakan kontrak penanaman atau penjualan dengan
fihak swasta tanpa campur tangan pemerintah secara langsungUsaha tani tembakau ternyata
menjadi tanaman perdagangan rakyat yang berhasil di Kedu.

2.3.4.2.Tanaman Teh

Penanaman teh yang dimulai pada tahun 1837 telah menghasilkan satu juta pohon
pada tahun 1843, dan pemerintah telah mendirikan beberapa pabrik pengolahan daun teh.
Namun demikian, pada tahun 1848 ketika penanaman teh mencapai 232 bahu dan keluarga
petani penanam teh mencapai 700, tanam paksa teh dihentikan dan tidak pula diambil alih

26
oleh fihak swasta atau menjadi perkebunan rakyat. Alasan utama adalah produktivitas pohon
yang makin rendah, dibandingkan investasi yang besarPada tahun 1847, 24 pohon
menghasilkan I pon teh, padahal tahun sebelumnya I pon cukup diperoleh dari 18 pohon.
Kemerosotan makin parah pada tahun 1848 ketika I pon teh diperoleh dari 136 pohon. Selain
itu upah tanam petani yang semula tinggi terus merosot sejak tahun 1844.

2.3.4.3. Tanaman Jati

Sejak awal abad XIX tidak lagi ditemukan hutan belantara di Kedu, kecuali di
gunung-gunung yang tinggi yang sulit dijangkau manusiaSebagai daerah permukiman
penduduk yang sangat kuna sebagian besar lahan yang terjangkau manusia telah
dibudidayakan menjadi sawah dan tegal. Di hutan-hutan belukar kecil-kecil atau di gunung-
gunung jarang pula ditemukan pohon jatiUntuk memenuhi kebutuhan akan bahan bangunan,
terutama pembangunan berbagai jembatan, pemerintah terpaksa mengambil kayu jati dari
hutan-hutan di Keresidenan Semarang. Pekerjaan ini diserahkan kepada para blandhong
sebagai pelaksanan kerja-wajib penebangan pohon yang dikenal sangat berat.

Guna mengatasi kesulitan akan kayu jati, pemerintah merintis penanaman kayu jati
sejak tahun 1830. Tampaknya tanah Kedu kurang cocok untuk pohon jati yang biasa tumbuh
di daerah bertanah kapur dan kurang hujan. Terbukti pohon ini tumbuh subur di pegunungan
Menoreh yang tanahnya berkapur. Penanaman diperluas di Distrik Remame, Prapak dan
Lempuyang sejak tahun 1834. Namun pemerintah ternyata menghadapi kesulitan lahan untuk
memperluas tanaman jati besar-besaran. Hal ini karena lahan yang tinggal sedikit akan lebih
menguntungkan bila ditanami kopi. Oleh sebab itu penanaman pohon jati hanya dilaksanakan
dalam skala kecil. Pohon jati terutama dimanfaatkan sebagai pohon peneduh di tepi jalan -
jalan pos. Mengingat penanaman pohon jati yang berskala kecil sehingga pemerintah tidak
menunjuk petani tertentu yang melulu melakukan kerja wajib tanam jati. Dapat dikatakan
bahwa kerja wajib tanam jayi adalah kerja wajib yang paling ringan. Akhirnya pemerintah
menghentikan usaha penanaman jati pada tahun 1866 karena langkanya lahan di lokasi yang
tidak jauh dari permukiman penduduk. Sebaliknya pemerintah menganjurkan rakyat banyak
menanam pohon nangka, bambu, dan waru untuk memenuhi kebutuhan kayu bangunan.

2.3.5. Kerja-Wajib Desa

Kerja-wajib desa, yang oleh pemerintah Belanda disebut Desadiensten atau


gemeentediensten, sebenarnya merupakan fenomena baru abad XIX meskipun untuk
sebagaian berakar pada tradisi lama masyarakat pedesaan di Kedu. Menurut pengertian

27
penduduk desa kerja-wajib desa adalah segala pekerjaan yang diperintahkan oleh kepala desa
di luar kerja-wajib umum. Keadaan desa mulai berubah setelah Daerah Kedu dikuasdai oleh
pemerintahan kolonial. Pemerintah kolonial lebih langsung menjangkau desa melalui
pemungutan pajak dan pengerahan tenaga kerja, yang dilakukan oleh penguasa tunggalnya,
yaitu beke/kepala desa. Perkembangan ini berlanjut dengan adanya proyek Tanam Paksa dan
pembangunan prasarana yang menyertainya. Keduanya membutuhkan desa yang menguasai
tanah dan tenaga kerja.

Kebun-kebun kopi yang terletak di sekitar desa harus dipelihara dengan baik dan pada
waktu berbuah perlu dijaga untuk menghadapi pencurian. Tugas ini merupakan bagian kerja-
wajib umum yang dikerjakan kuli kenceng yang tinggal di desa-desa. Selain penjagaan di
tingkat supra desa, di dalam desa juga perlu diadakan sistem keamanan guna menutup
lubang-lubang persembunyian serta pintu pelarian bagi para kecu (perampok) dan
malingPemerintah desa mengadakan penjagaan gardu-gardu desa dengan sistem ronda
keliling desa (patrol desa) Di samping itu ada pula ronda antar desa di bawah koordinasi
kepala onderdistrik (ronda golong dan patrol tamping).

Agak berbeda dengan kerja-wajib umum, tugas kerja-wajib desa dibebankan kepada
semua laki-laki yang mampu bekerja (werkbare mannen). Pertama adalah penguasa sawah
atau tegal (kuli kenceng)Kedua adalah mereka yang hanya menguasai pekarangan atau
indhung pekarangan dan yang hanya memiliki rumah atau indhung tempelMereka yang tidak
memiliki kekayaan atau wong mondhok, perjaka atau orang jompo, demikian pula
perempuan dewasa dan semua anak-anak dibebaskan dari semua kerja-wajib. Beban terberat
tetap dipikul oleh orang yang dianggap paling mampu (wong kuwat) yaitu kuli kenceng, dan
yang setengan mampu yaitu indhung pekarangan. Pekerjaan yang relatif berat seperti tugas
pancen, tugas jaga ronda dilakukan oleh kedua golongan iniPekerjaan selebihnya dikerjakan
semua pelaksana kerja-wajib desa.

2.4. Dampak Peningkatan Kerja-Wajib di Karesidenan Kedu


2.4.1 Pertumbuhan Penduduk dan Pertumbuhan Desa

Sejak berakhirnya perang yang berakibat terbaginya Kerajaan Mataram menjadi dua
pada tahun 1755, rakyat Kedu menikmati masa damai yang cukup panjangKhususnya para
petani sikep mengalami kemakmuran, karena dapat mencetak sawah-sawah baru di tanah
yang masih luas tanpa diganggu wajib prajurit, yang berarti meninggalkan kampung halaman

28
mereka. Sebagai akibatnya pertumbuhan penduduk hingga awal abad XIX cukup besar.
Pertumbuhan ini berlanjut setelah Kedu dikuasai Inggris dan kemudian Belanda. Pemerintah
Kolonial banyak mendorong perluasan persawahan, dan membagi sawah-sawah desa kepada
penduduk. Dengan jumlah penguasa sawah yang makin banyak, akan lebih banyak pula
landrente dapat dipungut dan lebih banyak tenaga kerja dapat diperoleh. Selama perang
Diponegoro penduduk Kedu berkurang sekitar 40.000-50.000 orang, mengingat yang tewas
seluruhnya sekitar 200.000 orang, dan Kedu adalah salah satu medan perang utama.

Periode Tanam Paksa merupakan tantangan bagi penduduk Kedu, karena Pemerintah
Hindia Belanda menuntut tenaga kerja yang semakin banyak. Beban kerja-wajib yang
dibebankan kepada unit rumah tangga petani, yaitu seorang laki-laki dewasa untuk setiap
rumah tangga, mengakibatkan petani memerlukan tambahan tenaga, agar dapat melakukan
kerja-wajib dan menggarap sawahnya. Untuk sebagian tenaga dapat diperoleh dari para
mondhok yang datang dari luar daerahJumlah mereka kiranya tidak sebanyak dahulu,
mengingat hampir semua daerah melaksanakan Tanam Paksa, atau membuka perkebunan
partikelir seperti di daerah Kesultanan dan Kesunanan. Tambahan tenaga yang lain adalah
dari keluarga petani sendiri, yaitu dengan menambah jumlah anakIstri dan anak-anak
merupakan tenaga bantuan yang sangat penting di sawah atau di kebun, terutama untuk
memetik dan menyortir kopi. Hal ini tampak dari pertumbuhan penduduk yang makin
meningkat.

2.4.2. Penguasaan Tanah dan Struktur Kekuasaan

Kebutuhan kerja-wajib yang makin dipacu oleh proyek Tanam Paksa membawa
pengaruh pula pada penguasaan tanah di desa. Sejak pemerintahan Inggris menghapuskan
sistem lungguh (kecuali sebagian kecil yang masih dibiarkan), sebenarnya telah terjadi proses
individualisasi tanah yang terbukaPetani membayar landrente atas tanah yang mereka garap
sebagai "milik" mereka, baik tanah itu berstatus tanah yasa, atau bekas tanah lungguh yang
kini menjadi tanah sanggan (tanah sanggeman, tanah desa). Petani atau kelompok petani yang
mencetak sawah baru berhak menguasainya seumur hidup, asal mereka membayar pajak dan
menjalankan kerja-wajib. Mereka dapat mewariskannya kepada keturunannya.

Adanya proses komunalisasi tanah mengakibatkan tanah yang dikuasai kuli kenceng
pada umumnya sempit dengan perbedaan luas yang tidak terlalu besar antara tanah yang satu
dan yang lain. Namun demikian, ini bukanlah merupakan pola yang baru terjadi pada masa
Tanam Paksa. Sejak akhir zaman Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta tanah yang dikuasai

29
petani kebanyakan adalah sempit sebagai akibat sistem lungguh yang sangat intensif Yang
menguasai tanah luas adalah para bekel yang mendapat sebagaian tanah lungguh sebagai
imbalan memungut pajakSelain itu juga para penguasa sawah yasa yaitu petani yang
mempunyai nilai ekonomis yang besar.

2.4.3. Pertanian Rakyat

2.4.3.1. Tanaman Pangan

Tuntutan kerja-wajib yang makin besar baik dalam volume kerja maupun jenisnya
menyebabkan petani terpaksa mengadakan penyesuaian waktu serta pembagian kerja, agar
dapat mengerjakan tugas-tugas kerja-wajib dan tugas mencari nafkah. Bila dahulu petani
dapat mencurahkan hampir seluruh waktunya untuk mencari nafkah, kini harus
mengorbankan lebih banyak waktu untuk kepentingan pemerintah. Akan sangat
menguntungkan apabila ia mempunyai anak laki-laki yang dapat menolongnya di sawah atau
melakukan kerja-wajib. Apabila tidak, ia akan mengambil seorang mondhok untuk
membantunya, agar pekerjaan di sawah ladangnya tidak tergangguKeadaan ini mendorong
pertambahan penduduk yang lebih banyak, dan mereka membutuhkan pangan lebih banyak
pula. Di tempat yang masih memungkinkan orang membuka tanah dan mencetak sawah-
sawah baru. Apabila semua tanah telah dibudidayakan, orang mencetak tanah tega! menjadi
sawah, atau mengadakan intensifikasi tanaman padi.

Ekspansi tanaman padi di Kedu tampak dengan terus bartambahnya areal persawahan
sejak awal masa Tanam Paksa. Selama 50 tahun luas persawahan telah bertambah tiga kali
lipat, dengan catatan kemungkinan adanya underreporting dan perbedaan besarnya ukuran
bahu Meningkatnya persawahan ini ternyata tidak disertai meningkatnya produksi padi yang
seimbang. Produksi padi pada kurun waktu yang sama hanya meningkat dua kali. Produksi
rata-rata per kapita pada awal Tanam Paksa adalah 37,4 pikul per tahun dan menurun menjadi
25,4 pikul pada masa pasca Tanam Paksa, seperti tampak pada tabel 13 berikut.

2.4.3.2. Tanaman Perdagangan

Salah satu dampak yang menarik adalah berkembangnya tanaman perdagangan yang
diusahakan rakyat pada periode Tanam Paksa dan sesudahnya. Berbagai tanaman
perdagangan yang telah diusahakan sejak masa pra-Tanam Paksa tetap berkembang meskipun
mengalami pasang surut. Mereka yang mengusahakan tanaman perdagangan ini pada
umumnya adalah para bekel dan petani-petani mampu, karena mereka memerlukan modal

30
yang lebih besar daripada petani yang hanya menanam padi. Kelas petani kaya ini tidak
menjumpai kesulitan dalam menjalankan kerja-wajib, karena mereka dapat mencari jagul
sebagai pengganti. Di samping itu para bekel mendapat banyak pembebasan kerja-wajib.

Dengan meningkatnya permintaan tanaman ekspor yang digalakkan melalui Tanam


Paksa terjadilah akibat berantaiyaitu meningkatnya permintaan berbagai tanaman
perdagangan yang lain, seperti tembakau, kopi dan tebu.

2.4.4. Monetisasi dan Keterbukaan Desa

Bersamaan dengan meningkatnya kerja-wajib untuk Tanam Paksa dan untuk


kepentingan membangun prasarana, mengalir pula uang ke desa dalam jumlah besar sebagai
upah tanam (plantioon) dan imbalan beberapa jenis kerja wajib. Uang yang diterima petani
sedikit banyak menambah pendapatannya yang dapat digunakan untuk membayar landrente.
Bila uang masih berlebih dapat digunakan untuk menambah biaya usaha tani atau konsumsi
keluargaPendapatan terbesar diterima para bekel, karena di samping menerima 2% dari hasil
kopi di desanya, atau imbalan sebagai mandor tarum, ia dapat memanfaatkan tanahnya yang
luas untuk tanaman kopi manasuka.

Meningkatnya tanaman ekspor pemerintah juga mendorong perkembangan ekonomi


dengan naiknya harga bahan perdagangan lain, seperti tembakau, gula, kacang tanah ataupun
bahan konsumsi penduduk seperti bahan pangan, tekstil dan lain-lain. Perkembangan ini di
satu fihak merangsang petani menanam tanaman perdagangan lebih banyak. Di samping itu
beberapa industri dan kerajinan rakyat yang telah ada sejak dahulu seperti kerajinan anyaman
tikar pandan dan minyak kacang juga mengalami perkembangan. Dengan demikian terjadilah
perluasan lapangan kerja, perluasan volume perdagangan dan perluasan monetisasi.
Peningkatan monetisasi di pihak lain juga berakibat makin tergantungnya rakyat kepada
uang, dalam arti makin banyak mereka harus mengeluarkan uang daripada sebelum masa
Tanam Paksa. Pada masa Tanam Paksa harga beras seringkali melonjak, sehingga
kebanyakan kuli kenceng yang hanya memiliki sawah sanggan sempit harus membeli beras
dengan harga mahal

Usaha petani yang tetap bertumpu pada pertanian subsistensikomersialisasi yang


terbatas dan adanya Tanam Paksa menyebabkan petani urnumnya masih dapat menjamin
hidupnya, mengatasi goncangan harga pasar. Jaminan sawah sanggan yang diperolehnya
mengurangi ketergantungan petani kepada bekelDi samping itu bekel tidak lagi merupakan

31
satu-satunya patron yang dapat menolong dalam kesulitan. Petani dapat datang kepada Cina,
mantri gudang kopi atau haji untuk meminjam uang.

2.4.5. Etos Kerja, Upah dan Pajak

Adanya sistem kerja yang bersifat wajib, tanpa motivasi, dan disertai suatu sanksi
bagi yang melalaikannya tidak mengembangkan etos kerja yang memberi semangat pada diri
seseorang untuk meningkatkan kualitas kerja, atau meningkatkan produktivitas kerja. Tidak
mengherankan bila kerja-wajib ini dinilai tidak produktif dan tidak efisienMereka bekerja
sangat lamban, tidak sistematis, dan tanpa inisiatifMereka baru bekerja apabila diperintah.
Pakerjaan mereka lakukan selama mandor langsung mengawasi mereka, dan segera
melalaikan pekerjaan setelah mandor meninggalkan para pekerja-wajib tersebut. Seorang
kontrolir dari Bojonegoro melaporkan betapa sulitnya memimpin petani bekerja dengan baik
dan teliti. Petani bekerja seperti mesin, tanpa berpikir, dan tidak dapat ditinggalkan barang
sekejap. Sebutan yang terlontar kepada para pekerja adalah malas, dungu, tanpa inisiatif, dan
tanpa tanggung jawab

Bagaimana pemerintah menekan upah dapat dikemukakan bahwa sampai tahun 1850-
an para pelaksana kerja-wajib umum, khusus untuk kerja pembanguann baru atau perbaikan
prasarana, mendapat imbalan paling tinggi 10 duit (8 sen), per hari kerjaUpah ini sering
diturunkan hingga 5 duit, bahkan tanpa imbalan. Sementara itu pelaksana kerja-wajib tanam
kopi di Kedu menerima upah tanam rata-rata 13 sen sehari. Dibandingkan harga beras yang
pada waktu itu sekitar 12 duit untuk 1 kg, berarti pemerintah menetapkan standar upah
maksimum berdasarkan 1 kg beras perorang per hari. Standar upah baru dinaikkan sekitar
tahun 1858 ketika Dinas Pengairan (Waterstaatsdienst) bertugas melaksanakan pembangunan
dan pemeliharaan jembatan dan bangunan pengairan, dengan memberikan upah kepada
semua pekerjanya yaitu 12,5 sen, sedang harga beras waktu itu di atas 14 sen per kg. Standar
upah ini masih terus dipertahankan hingga tahun 1880-an, dan sampai saat itupun masih ada
proyek pengairan yang tidak memberi upah kepada para pelaksana kerja-wajib umum.

32
BAB 3. PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini diperoleh gambaran bahwa kerja- wajib dalam masyarakat
Jawa yang feodalistik merupakan sistem pajak natura yang berkaitan dengan penguasaan
tanah. Dengan mengambil contoh daerah Kedu yang merupakan wilayah lungguh (tanah gaji,
apanage) pejabat Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, para petani pengelola tanah lungguh
membayar pajak kepada pejabat yang bersangkutan (patuh) dan kepada raja dalam bentuk
bahan, tenaga kerja dan uang. Sebagai daerah yang agak berkembang, sebagain kerja-wajib
telah diubah menjadi pajak uang (wang krigaji), sedang sebagian lain sebagai pajak
pelengkap atau pengganti yang hanya dikenakan kepada petani di daerah tertentu. Pada
umumnya pengerahan kerja-wajib pada masa pemerintahan kerajaan tradisional (Yogyakarta
dan Surakarta), atau kerja-wajib prakolonial tidak banyak, karena kerajaan tradisional kurang
memperhatikan perkembangan ekonomi dan pemeliharaan prasarana di daerah. Berbeda
dengan masa kolonial, kerja-wajib pada masa kolonial, terutama pada masa Tanam Paksa,
mengalami peningkatan sangat besar sebagai akibat pemanfaatan sistem kerja-wajib oleh
pemerintah kolonial untuk mengembangkan ekonomi ekspor (Tanam Paksa) dan prasarana
penunjangnya. Pemanfaatan kerja- wajib merupakan pilihan terbaik bagi pemerintah kolonial

33
baik karena faktor ekonomis, yaitu ringannya pembiyaan, maupun faktor sosial karena tanah
dan tenaga kerja masih terjalin dalam ikatan komunal dan feodal.

DAFTAR PUSTAKA

Suroyo, Djulianti, EKSPLOITASI KOLONIAL ABAD XIX: Kerja Wajib di


Karesidenan Kedu 1800-1890

34

Anda mungkin juga menyukai