Anda di halaman 1dari 32

1.

Sejarah Sosial Lombok


a. Geografis

Pulau Lombok terletak antara 8° 12’ dan 9° 1’ LS, dan antara 115°
44’-116° 40’ BT. Luasnya dengan pulau-pulau kecil sekitarnya mencapai
5.435 km² menempatkannya pada peringkat 108 dari daftar pulau
berdasarkan luasnya di dunia, terdiri atas dataran rendah dan dataran tinggi
dengan puncak tertinggi Gunung Rinjani ±3726 meter di atas permukaan
laut (mdpl) dan gunung ketiga tertinggi di Indonesia. Pulau Lombok
adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang
terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelah barat dan Selat Alas di
sebelah timur dari Sumbawa. Pulau ini kurang lebih berbentuk bulat
dengan semacam "ekor" di sisi barat daya yang panjangnya kurang lebih
70 km. Kota utama di pulau ini adalah Kota Mataram. Lombok Timur
merupakan kabupaten paling luas dengan wilayah 1.605,55 km2, setara
dengan 33,88% dari luas Pulau Lombok dibanding kabupaten/kota yang
ada di Pulau Lombok.

Pulau Lombok memiliki iklim tropis dengan temperatur berkisar


antara 19°c-35°c. Suhu terendah di Lombok terjadi bulan Juli-Agustus dan
malam hari bisa mencapai 18°c. Saat puncak kemarau, umumnya suhu
udara lebih dingin dan permukaan bumi lebih kering. Selain itu, adanya
pola tekanan udara yang relative tinggi di Australia menyebabkan
pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia semakin
signifikan sehingga berimplikasi pada penurunan suhu udara yang cukup
signifikan pada malam hari. Suhu tertinggi tahun 2021 terjadi bulan
Oktober-November, yakni mencapai 35°c. Suhu udara bulan tersebut
terasa lebih panas karena matahari berada tepat di atas wilayah NTB akibat
gerak semu matahari. Perubahan cuaca juga bisa menyebabkan cuaca
ekstrem, seperti hujan lebat, angin kencang atau petir.
Selat Lombok menandai batas flora dan fauna Asia. Mulai dari
Pulau Lombok ke arah timur, flora dan fauna lebih menunjukkan
kemiripan dengan flora dan fauna yang dijumpai di Australia daripada
Asia, yang dikenal dengan Garis Wallace. Topografi pulau Lombok
didominasi oleh gunung berapi Rinjani yang ketinggiannya mencapai
3.726 meter di atas permukaan laut. Gunung ini terakhir meletus pada
bulan Juni-Juli 1994. Tahun 1997 kawasan gunung dan danau Segara
Anak dinyatakan dilindungi oleh pemerintah. Daerah selatan pulau ini
sebagian besar terdiri atas tanah subur yang dimanfaatkan untuk pertanian.
b. Penduduk
Secara demografis, sekitar 80% penduduk Pulau Lombok beretnis
suku Sasak, kemudian yang relatif banyak datang dari suku Bali sekitar
15%. Selebihnya penduduk Lombok adalah orang yang berlatar belakang
suku; Jawa, Tionghoa, Arab, dan beberapa suku yang berasal dari kawasan
Sulawesi. Jumlah penduduk yang menghuni Pulau Lombok berdasarkan
catatan BPS NTB sebanyak 3.758.632 jiwa, dengan penduduk terbesar ada
Lombok Timur sebanyak 1.326.240 jiwa.
Penduduk asli yang mendiami Pulau Lombok disebut suku Sasak.
Istilah “sasak” berasal dari Bahasa Sansakerta, yakni “sahsaka”, terdiri
dari kata “sah” artinya pergi, “saka” artinya asal, sehingga “sahsaka”
diartikan pergi meninggalkan tanah asal dan menggunakan rakit sebagai
kendaraan, kemudian berdiam di Lombok, sehingga Lombok dikenal
dengan nama Gumi Sasak atau Pulau Sasak. Gumi Sasak dalam naskah
kuno disebutkan dengan adanya nama Negareng Sasak atau Negeri Sasak.
Nama ini diambil dari sebuah kerajaan yakni Kerajaan Sasak, letaknya
dikuatkan beberapa pendapat, seperti Kerajaan Sasak berada di bagian
barat daya Pulau Lombok tepatnya di kaki Gunung Sasak
(Faille, 1918: 135-140, van der Kraan, 2009: 1).
Peninggalan kebudayaan suku Sasak, seperti tradisi lisan,
manuskrip, bahasa dan dialek yang digunakan dalam percakapan sehari-
hari, ritus, adat istiadat, kesenian (seni kerajinan, musik, suara, rupa, dan
pertunjukan), sistem teknologi, sistem pengetahuan, permainan rakyat,
olahraga tradisional, dan lain-lain.
c. Sistem Sosial dan Ekonomi
Sebelum datangnya orang Bali secara berkelompok dan bertahap di
bagian barat Lombok, sudah ada bentuk pelapisan sosial masyarakat pada
setiap desa, yaitu: (1) perwangsa (aristokrasi) Sasak awal mulanya
merupakan penduduk desa terkemuka, seperti tokoh adat dan pemuka
masyarakat, (2) kawulabala atau petani bebas, dan (3) panjak atau buruh
tani. Stratifikasi sosial masyarakat Sasak di desa masing-masing,
menentukan hak kepemilikan atau pengolahan atas tanah desa secara
perorangan dan kolektif (van der Kraan, 2009).
Setelah Kerajaan Mataram-Karangasem berhasil menguasai
Lombok secara penuh, hak masyarakat desa dan para anggotanya bebas
menggunakan tanah yang tak diolah di dalam daerah pemilikan desa telah
ditarik menjadi hak raja. Ini berarti para petani yang ingin mengolah tanah
yang belum diolah harus memperoleh izin dari raja. Selain itu berburu di
daerah perburuan (hutan larangan) dan menggembala ternak di tempat
tersebut tanpa izin dari raja merupakan suatu pelanggaran yang dapat
dihukum.
Untuk tanah yang diolah, ada dua kategori utama, yakni tanah
druwe dalem dan tanah druwe jabe. Tanah druwe dalem adalah tanah-
tanah yang dikuasai oleh raja secara langsung, dengan kekuasaan di dalam
(dalem) istana. Tanah-tanah upeti kecil ini bebas dari pajak tanah dan kerja
korve.
Sebelum migrasi besar-besaran orang Bali ke Lombok, kondisi dan
keadaan Lombok merupakan daerah persawahan dan menjadi lumbung
padi atau gudang beras di daerah Nusa Tenggara, bahkan beras Lombok
termasuk beras terbaik dunia pada zaman itu. Kepemilikan tanah
persawahan di Lombok tidak merata dimiliki penduduk, karena ada
beberapa orang dari sekian banyak tuan tanah memiliki sawah sampai
hampir 1.000 ha., dan mereka ini secara langsung mengeksploitir para
petani desa yang miskin (Hakim, 1961).
Masyarakat Sasak sebagian besar menjadi petani, sedangkan
sebagiannya bertempat tinggal di pesisir pantai bekerja sebagai nelayan,
dan sebagian kecil lagi bekerja sebagai pedagang. Perdagangan dalam
masyarakat Lombok dilakukan dalam sistem ekonomi yang tertutup dalam
arti berlangsung dikalangan internal mereka. Jual beli tidak selalu
menggunakan alat tukar uang, tapi juga dilakukan dengan barter (tukar
menukar barang) sebelum ada uang kepeng. Zaman dahulu berdasarkan
Babad Selaparang, di Lombok terkenal jenis pare bulu atau pare beaq
ganggas. Produksi jenis padi ini mampu memenuhi kebutuhan pokok
masyarakat Sasak, bahkan mengalami surplus sehingga para pedagang
mengeksportnya ke luar negeri, seperti Cina, Champa, hingga ke
Mauritania (Azhar, et al., 1996). Selain ekspor beras, masyarakat Lombok
juga melakukan hubungan dagang ke luar daerah seperti Jawa dengan
mengeksport ternak, seperti lembu, kerbau dan kuda.
Masyarakat Sasak sejak zaman Kerajaan Selaparang dan
dilanjutkan dengan Kerajaan Pejanggik, penghidupan penduduk Lombok
melalui pertanian, begitu juga masa berkuasanya keturunan raja
Karangasem Bali di sebagian Lombok, terutama daerah Lombok Barat.
Salah satu motivasi Raja Karangasem menguasai Lombok sampai terjadi
berkali-kali peperangan yaitu menguasai ekonomi, di samping memperluas
wilayah penyebaran agama Hindu yang mulai terdesak oleh Islam dari
Jawa. Hasil bumi Lombok yang diperdagangkan waktu itu beras dan
ternak kuda dan sapi, kacang hijau, telor dan sarang burung, serta
tembakau dan tarum sebagai komoditi utama. Barang impor yang
memenuhi pasar-pasar di Lombok adalah barang industri, seperti kain
sutra (yang istimewa disebut sutra Cina dan ada sutra istimewa yang hanya
ada di Lombok disebut sutra Sasak), porselin, garam, minuman keras,
candu dan senjata api (Agung, 1992).
da.
Instrumen penindasan dan penghisapan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) sistem kepemilikan tanah jajahan,
dan (2) sistem pajak masyarakat terjajah. Sistem sosial dan ekonomi
masyarakat Lombok secara umum dikategorikan ke dalam masyarakat
tradisional dan perdagangan.
1) Masyarakat Tradisional
Kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Lombok akhir abad ke-
19 masih berpola pada tatanan kehidupan masyarakat tradisional,
artinya unsurunsur pengaruh kebudayaan luar belum tampak. Secara
umum corak kehidupan masyarakat tradisional Lombok dapat
digolongkan dalam dua tipe, yaitu masyarakat agraris dan masyarakat
pesisir atau pantai. Masyarakat pedesaan Lombok sebagai masyarakat
agraris telah memiliki sistem irigasi yang dikenal dengan sistem subak.
Organisasi subak bertugas mengatur perairan sawah dan memiliki
peraturan sendiri, baik tertulis maupun tidak tertulis disebut awig-awig
subak atau sima. Tugas dan kewajiban krama subak antara lain
membuat bendungan, membagi air melalui selokan, menjaga air.
Penghasilan subak didapat dari hasil denda pencurian air, denda warga
apabila ada yang melanggar awik-awik. Setiap warga masyarakat
tunduk pada awik-awik yang berlaku, baik menyangkut masalah adat
istiadat atau tradisi-tradisi, hal ini tampak dalam sistem beriuq tinjal
atau ngayahang desa (gotong royong). Setiap orang berkewajiban
berpartisipasi dalam ngayahang desa sewaktu tenaganya diperlukan
untuk desa, seperti pembangunan desa, pelaksanaan ritual dan begawe
desa (hajatan desa).

Seorang kepala desa dan aparaturnya memegang peranan penting,


segala hal menyangkut kesejahteraan maupun keamanan desa diurus
oleh kepala desa dibantu keliang (kepala dusun), sedangkan kas desa
didapatkan dari hasil pajeg tanah disebut tigasana carik. Tigasana
carik terdiri dari pajeg dan suwinih. Pajeg merupakan upeti yang telah
ditetapkan dari hasil bruto dan diambil dari hasil panen pertama,
dihitung atas kesatuan produksi tanah disebut tenah winih.
Sementara itu, suwinih merupakan pajeg atas dasar ketentuan
banyaknya winih yaitu benih padi dan tiap pembayaran pajeg dicatat di
atas pipil yaitu catatan hak milik tanah yang ditulis di atas lontar
memakai bahasa dan huruf kawi. Besarnya pajeg tanah yang berlaku
dan setiap daerah berbeda, ada yang menetapkan ⅙ (seperenam) dari
hasil panen, ada yang menetapkan ⅛ (seperdelapan) dari hasil panen,
serta sebagian besar pajeq waktu itu dibayar in natura, tetapi ada juga
yang dibayar dalam bentuk alat tukar (uang).
2) Perdagangan
Sejak permulaan abad ke-19 perdagangan di Lombok makin ramai,
antara Lombok, Bali, dan Batavia. Beberapa kapal dari Lombok
membawa muatan berupa beras, gula, asam, minyak kelapa, pinang,
malam, kayu, garam, itik untuk diangkut ke Batavia, sebaliknya dari
Batavia kapal barang-barang dikirim ke Bali dan Lombok, seperti
barang-barang pecah-belah porselin, kain, besi tua, obat-obatan, ikan
asin, benda tembaga, dan barang-barang dari negeri Cina, seperti
menyan dan ketumbar. Perdagangan hasil bumi pada abad tersebut di
Bali dan Lombok masih dijumpai aktivitas perdagangan budak yang
berakhir pada permulaan abad ke-20.
Sekitar tahun 1845 telah disebutkan salah satu jalur perdagangan di
Lombok, yakni Pelabuhan Pijot. Menurut Zollinger dalam Parimartha
(2016) bahwa Pelabuhan Pijot merupakan tempat yang baik setiap
musim untuk kapal-kapal berlabuh, airnya cukup dalam, sehingga
kapal-kapal besar dapat berlabuh
Saat itu, Lombok Timur lebih memungkinkan sebagai pusat
perdagangan dengan memiliki lima pelabuhan alam, yaitu Padangrea,
Sugian, Labuhan Lombok, Labuhan Aji (Labuhan Haji) dan Pijot.
Tempat-tempat ini menjadi persinggahan kapal-kapal dan perahu-
perahu yang berlayar dari wilayah timur, seperti Makassar, Sumba,
Ende, Bima, Sumbawa, dan pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara,
sedangkan dari wilayah barat, seperti Batavia, Surabaya, Madura, dan
Bali (Parimartha, 2016). Akibat ramainya perdagangan menyebabkan
corak masyarakat Lombok bagian Timur agak berbeda dengan corak
masyarakat Lombok bagian barat. Lombok bagian timur mewakili
corak masyarakat yang multikultural. Sejak ramainya perdagangan
tersebut, banyak pendatang bermukim di Lombok Timur, seperti di
Labuhan Lombok, Labuhan Haji, Pijot-Tanjung Luar, dan sekitarnya,
ada juga yang menetap dengan membangun perkampungan berbagai
suku bangsa, antara lain Kampung Bugis, Kampung Mandar,
Kampung Melayu, dan Kampung Jawa. Sejak Singaraja menjadi
ibukota Karesidenan Bali dan Lombok tahun 1882, pemerintah
Belanda memberikan perhatian dengan menertibkan orang-orang Cina
dan Arab di Lombok, khususnya Lombok Timur.
Peranan orang Cina dan Arab dalam hubungannya dengan
perkembangan perdagangan di Lombok sangat penting. Kontak
perdagangan masyarakat pantai dengan masyarakat pedesaan melalui
perantara orang-orang Cina dan Arab. Dampaknya masyarakat dapat
menerima ide-ide baru dalam perdagangan dan menjadi kebiasaan
masyarakat desa di Lombok Timur, setiap keluarga mengerjakan
produksi kerajinan sebagai pengisi waktu luang seusai mengerjakan
lahan pertanian, seperti anyaman bambu, menganyam tikar, nyesek
(menenun), membuat gerabah, dan kerajinan lainnya sebagai home
industry. Setelah timbul kontak perdagangan dengan pedagang asing
terutama pedagang Cina, timbul usaha untuk meluaskan industri
keluarga serta mencari tempat pemasaran hasil industrinya, sedangkan
dalam bidang permodalan, masyarakat mengenal sistem panjar (uang
muka) didapat dari pedagang Cina, dengan demikian sistem
permodalan dalam jumlah kecil sudah diterapkan. Pemeliharaan hewan
ternak, seperti sapi, kerbau, kambing, dan lain-lain diintensifkan untuk
dijual pada toke (pedagang perantara) Cina.
d. Alam Pikir dan Sistem Kepercayaan

Orang Sasak memiliki agama asli yang monoteis, yang mengakui


adanya Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Nēnēk. Orang Sasak sering
menyebut Allah Swt. dengan nama Nēnēk dē Kaji yang artinya "Yang
Maha Kuasa". Kata Nēk sudah digunakan sebelum agama Hindu-Buddha
masuk ke Lombok, yang ditemukan di dalam Kitab Urat Sari, keyakinan
Urat Sari (agama kuno) orang Sasak bermonoteis. Agama monoteis
meyakini ada satu Tuhan yang mengendalikan seluruh alam dan kehidupan
di dalamnya.

Orang yang mengimani monoteis harus tunduk dan pasrah kepada


Allah Swt. Konsepsi ini adalah makna substansi dari Islam, sehingga sikap
pasrah dan tunduk pada selain Tuhan Yang Esa bertentangan dengan
monoteisme agama Islam. Sebelum agama Hindu datang, masyarakat
Sasak sudah memiliki pandangan dan sistem kepercayaan tentang kosmos.
Masyarakat Sasak meyakini adanya kekuatan pemisah antara hidup dan
alam gaib yang menakjubkan, mengancam, melarang, dan menimbulkan
ketakutan. Bagi mereka, alam gaib dan semua isinya tidak dapat dijangkau
oleh akal pikiran, tetapi mempengaruhi jiwa dan kehidupan mereka. Oleh
karena itu, mereka percaya bahwa kekuatan ini dapat memberikan rahmat,
keselamatan, atau sebaliknya kutukan dan kesengsaraan.

Kepercayaan masyarakat Sasak pra-Islam, terdapat kepercayaan


animisme berkembangan sedemikian rupa di kalangan masyarakat primitif
Sasak, memuja roh nenek moyang berdasarkan keyakinan meskipun jasad
leluhur mereka yang telah tiada, karena sudah meninggal dunia, namun
roh-rohnya masih ada, mereka menginginkan agar hubungan mereka
dengan roh nenek moyang tersebut tetap berlanjut dan tidak terputus
sepanjang masa

Selain itu roh-roh tersebut dapat pula dimintai restu untuk


mensukseskan suatu program yang direncanakan oleh keluarga yang masih
hidup. Roh-roh tersebut biasanya bersemayam di gunung-gunung, pada
arca-arca di dalam candi, kuil, pura, pada mummi orang yang telah
meninggal, atau pada tubuh orang yang masih hidup.

Di samping itu, kepercayaan masyarakat Sasak pada benda atau


binatang atau disebut dinamisme Kepercayaan ini diyakini dapat
menghindarkan mereka dari gangguan mahluk halus yang jahat,
menghindarkan mereka dari malapetaka, dan kesengsaraan, seperti sakit
dan musibah lainnya. Benda tersebut dianggap dapat mendatangkan
kebahagian, rizki, panjang umur, disenangi orang dan lain sebagainya.
Benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib tersebut cukup
banyak, di antaranya batu akik yang dipergunakan pada cincin, besi yang
dibentuk sebagai keris, air yang diyakini mempunyai manna oleh para
dukun.

Perkembangan selanjutnya masyarakat Sasak memandang dalam


hidup ini terdapat kekuatan gaib yang maha dahsyat yang memisahkan
mereka dari alam lain yang sangat menakjubkan, yaitu Zat Tuhan Yang
Maha Kuasa mempunyai larangan serta ancaman sangat menakutkan,
sebagian besar masyarakat Sasak meyakini tidak ada pemisahan antara Zat
Tuhan Yang Maha Kuasa dengan alam arwah dalam alam semesta beserta
segala isinya. Perubahan yang sering terjadi di alam ini sangat dipengaruhi
kekuatan gaib tersebut, selanjutnya akan berpengaruh pada hidup dan
kehidupan mereka pada umumnya

Selain itu, agama Buddha juga cukup berkembang di Lombok,


namun sejarah kedatangan agama Buddha tidak begitu jelas, apakah dari
Bali ataukah dari Jawa. Kaitannya dengan ini, pengaruh agama Hindu dan
Buddha di Bali sebenarnya sudah ada sejak abad ke-8 Pendapat tersebut
didasarkan pada kenyataan agama Buddha diperkirakan telah ada di
Lombok sekitar abad ke-8 atau ke-9 M. Perkiraan ini didasarkan pada
penemuan 4 (empat) buah arca perunggu di Batu Pandang, Desa Sapit
Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur pada tahun 1960
diduga peninggalan abad ke-8 atau ke-9 M

Penganut agama tersebut kemungkinan penganut agama Buddha


Mahayana, sebab salah satu di antara arca-arca tersebut mirip dengan arca-
arca yang terdapat pada Candi Borobudur-Jawa Tengah, sedangkan dua
buah arca lainnya disebut Batara Guru, sedangkan kitab sucinya disebut
pelukatan, dan pemimpin Penganut kepercayaan Buddha-Buddhi tidak
mengenal pembakaran mayat, tetapi mayat tersebut dikuburkan (Wacana,
1991), sebagaimana terjadi di kalangan masyarakat Islam Sasak umumnya.
merupakan bagian dari penduduk Lombok yang pada permulaan
datangnya Islam tidak mau memeluk agama ini, bahkan lari ke gunung-
gunung dan selanjutnya mereka menetap, seperti di Deliman Ireng yaitu
suatu desa yang terkenal dengan sebutan Tebango atau Pemenang
(Wacana, 1993) terdapat di Lombok Utara sekarang. Selain itu, di antara
masyarakat Sasak terdapat penganut kepercayaan lama disebut dengan
Buddha-Keling. Islam kebanyakan bertempat tinggal di Pajarakan, Parwa,
Pengantap, Tawun, dan Tebango (Wacana, 1977), Dusun Pemenang serta
di Karang Panasan Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Utara,
sebagian di antara mereka bertempat tinggal di Tendaundan Ganjar
Kecamatan Sekotong Lombok Barat

Perkembangan selanjutnya, sebagian dari pengikut agama Buddha


tersebut telah berpindah keyakinan untuk menganut agama Hindu
(Wiratsari), kaitannya dalam Babad Lombok dijelaskan bahwa akibat
adanya pergantian keyakinan tersebut, timbullah kutukan dari Tuhan Yang
Maha Kuasa terhadap masyarakat Kutukan tersebut berupa meletusnya
Gunung Rinjani yang mengakibatkan hancurnya sawah, ladang, berikut
kampung halaman mereka. Peristiwa ini menyebabkan terpencar-
pencarnya masyarakat Sasak ke berbagai penjuru Pulau Lombok. Mereka
mulai membangun kampung halaman yang baru dipisahkan oleh hutan
belantara dan semak belukar. Lambat laun, kampungkampung tersebut
menjadi semacam ke-datu-an kecil, kemudian di antaranya Pejanggik,
Lombok, dan lain sebagainya

Diterimanya agama Hindu oleh masyarakat Lombok sangat wajar


terjadi, sebab ajaran agama Hindu berpusat pada penyembahan roh nenek-
moyang dan kekuatan alam, sebagaimana kepercayaan masyarakat Sasak
yang mengarah pada animisme dan dinamisme pada masa itu. Keberadaan
dan berkembangnya agama Hindu di Lombok dibuktikan dengan
terdapatnya peninggalan sejarah agama Hindu yang tersebar di beberapa
tempat, seperti di Batu Cangku dan Batu Pandang Kecamatan Pringgabaya
Lombok Timur serta di Orong Panggungan Desa Wanasaba yang terletak
di bagian utara Lombok Timur, berupa arca diduga sebagai peninggalan
dari Kerajaan Selaparang (Hindu).

Secara umum, bukti tersebut dapat dilihat bagaimana agama Hindu


dahulu mempengaruhi budaya masyarakat Sasak, meskipun pengaruhnya
kemungkinan belum begitu mendalam, seperti yang terjadi di kalangan
masyarakat Bali pada umumnya dewasa ini. Setelah runtuhnya Kerajaan
Majapahit tahun Jawa 1400 bumi, artinya hilang lenyap kemegahan
kerajaan itu, maka antara abad ke-15 sampai 18 berdirilah beberapa
kerajaan kecil merdeka di Pulau Lombok, seperti kerajaan Lombok,
Pejanggik, Langko, Sokong, Parwa, Bayan, dan beberapa kerajaan yang
lebih kecil lagi dalam bentuk desa-desa, seperti Pujut, Kedaro, Kuripan,
Tempit, Batu Dendeng, dan Kentawang, yang paling menonjol di antara
kerajaan tersebut adalah Kerajaan Lombok berpusat di Labuhan Lombok

Banyaknya pura (tempat ibadah masyarakat Hindu) yang


bertebarankhususnya di Lombok Barat dan Kota Mataram sekarang,
merupakan bukti kuat bagi perkembangan agama Hindu masa lampau di
Lombok. Pengaruh agama Hindu di Lombok ternyata tidak merata, hal ini
dapat dilihat dari tradisi dan adat-istiadat yang berkembang di masyarakat,
khususnya yang menyangkut budaya masyarakat Sasak pada era sekarang
ini. Meski demikian, masih ada di antara upacara tersebut yang berlaku,
bahkan membudaya di kalangan masyarakat Sasak, seperti merariq,
menggunakan pembayun, dan lain-lain, tetapi ada juga yang sudah hilang
dan tidak berlaku sama sekali, walaupun ada yang masih berlaku dan
membudaya tampaknya hal tersebut hanya terjadi di beberapa desa yang
masyarakatnya masih kuat menerapkan adat-istiadat para leluhur, seperti
kalangan Islam wetu telu di Bayan.

Selain itu, telah disinggung sebelumnya, stratifikasi sosial dikenal


dengan istilah kasta, yaitu kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.
masyarakat Sasak juga terdapat stratifikasi sosial dengan istilah berbeda,
namun stratifikasi sosial yang terdapat di kalangan masyarakat Sasak lama
kelamaan kurang mendapat perhatian, hal ini disebabkan pengaruh ajaran
Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat Sasak, tetapi ada di daerah
tertentu masyarakatnya masih patuh pada aturan strata sosial ini. Di
samping keempat kepercayaan tersebut, masih ada kepercayaan yang
dianggap sebagai agama oleh orang-orang Sasak asli, yaitu agama Boda.
Kepercayaan ini cenderung pada animisme dan panteisme. Orang-orang
Boda umumnya bertempat tinggal di Kecamatan Tanjung dan Gangga
Lombok Utara.

Hingga saat ini, komunitas Islam Wetu Telu masih terdapat di


kawasan Tanjung dan beberapa desa di Kecamatan Bayan, seperti Loloan,
Anyar, AkarAkar, dan Mumbul Sari. Sedangkan dusun-dusunnya memusat
di Senaru, Barung Birak, Jeruk Manis, Dasan Tutul, Nangka Rempek,
Semokan dan Lendang Jeliti. Kemunculan Islam Waktu Telu disebabkan
oleh hal-hal berikut:

1. Akibat dari proses Islamisasi yang belum tuntas sebagai penyebab


utama munculnya Islam Waktu Telu, sebagai berikut:
a. kedatangan Islam pada saat kuatnya kepercayaan tradisional seperti
animisme, dinamisme, antropomorlisme atau disebut Boda
b. dominasi ajaran Hindu Majapahit telah berakar kuat di masyarakat
c. para mubaligh menyampaikan ajaran agama Islam terburu
meninggalkan tempat tugasnya untuk menyebarkan agama Islam
ke tempat lain seperti Sumbawa, Dompu, dan Bima, sementara
para murid yang diserahi tugas melanjutkan pengajaran agama
Islam belum tuntas atau belum cukup memiliki wawasan keilmuan
tentang Islam secara mendalam,
d. keengganan dan ketidakmampuan menafsirkan ajaran Islam
dengan lebih sistematis, rasional dan aktual.
2. Metode Dakwah yang sangat toleran dengan komitmen untuk tidak
merusak adat istiadat setempat. Sikap toleran para mubaligh terhadap
kepercayaan lokal tradisional ini menimbulkan persepsi tersendiri di
kalangan masyarakat Sasak bahwa sejatinya ajaran Islam tidak berbeda
dengan kepercayaan leluhumya.
3. Secara umum kebijakan politik keagamaan para penguasa Hindu-Bali
di Lombok memang cukup menghambat proses pembinaan keagamaan
umat Islam. Hal-hal tersebut di antaranya:
a. menghalang-halangi umat Islam yang berangkat menunaikan ibadah
haji
b. para tokoh masyarakat dan agama diadu domba melalui pola-pola
sistematis seperti perempuan Sasak yang kawin dengan laki-laki Hindu
dipaksa pindah ke agama suami atau mencampuradukkan
keyakinannya
c. mobilisasi judi di setiap desa. Kenyataan ini seringkali menimbulkan
kerancuan dan secara simultan menyuburkan berkembangnya Islam
waktu telu
4. Penyebaran agama Hindu secara aktif dilangsungkan menyusul semakin
pudarnya keislaman pada masyarakat Sasak. Ada seorang "misionaris"
bernama Danhyang Nirartha (Dangkian Niraka), seorang pendeta
berkasta Brahmana yang aktif berusaha menyebarkan Hindu berdasar
mandat dari raja Gelgel Bali pada tahun 1530 (Budiwanti, 2000).
Dalam praktiknya, ia mencoba meramu antar unsur dalam ajaran Islam,
Hindu, dan aliran kepercayaan tradisional (Boda) di masyarakat Islam
Sasak.
5. Usaha Belanda dalam mewujudkan pertentangan antara kaum muslim
Lombok. Setelah menguasai pulau Lombok pada tahun 1894, Belanda
berusaha mencari taktik (politik pecah-belah) untuk bisa menguasai
orang-orang Sasak selaku penganut Islam Wetu Lima. Untuk itulah
diciptakanlah Islam Wetu Telu (Depdikbud, 1983)

e. sistem Kekuasaan

Secara prinsip, kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu kemampuan


yang dimiliki oleh individu atau kelompok untuk memengaruhi orang lain.
Bagi pemegang kuasa bisa dibilang memiliki tanggung jawab yang besar
karena bukan hanya memberikan pengaruh terhadap seseorang, tetapi juga
bisa memberikan pengaruh terhadap lingkungan. Kekuasaan itu sendiri
bisa berasal dari jabatan pribadi atau dari garis keturunan, dalam hal ini,
jabatan pribadi bisa didapatkan ketika menjabat atau memimpin suatu
organisasi atau lembaga. Sementara itu, kekuasaan yang didapatkan
melalui garis keturunan biasanya terjadi pada keturunan-keturunan raja.
Menjelaskan sistem kekuasaan di Lombok, terutama masa penjajahan,
maka hal penting yang perlu dipahami, yaitu aspek-aspek yang berkorelasi
langsung dan berpengaruh determinan, seperti sistem kepemimpinan
masyarakat Sasak. Dinamika sejarah peradaban masyarakat Sasak baik
sebelum maupun setelah masuk dan berkembangnya Islam di Lombok,
kepemimpinan dalam masyarakat Sasak mengalami dinamika sesuai
dengan perkembangan kehidupan sosial, budaya, dan agama yang menjadi
basis pengetahuan dan tindakan setiap individu sebagai anggota
masyarakat. Kepemimpinan dalam masyarakat Sasak sepertinya tidak
dapat dipisahkan dari silih bergantinya kekuasaan dan pengaruh
kebudayaan penguasa dalam setiap penggalan sejarah di Lombok, baik itu
penguasa kerajaan-kerajaan kuno atau awal di Lombok, maupun
kerajaankerajaan yang ditimbulkan oleh ekspansi kekuasaan Hindu-
Karangasem dan Belanda. Konteks sejarah, kekuasaan politik dan
kekuasaan (pemerintahan) di Lombok sebelum kemerdekaan Indonesia,
ada tiga jenis kepemimpinan dalam masyarakat Sasak yang tumbuh,
berkembang dan berganti sesuai konteks sosiokultural komunitas yang
melingkupinya. Jenis kepemimpinan ini memiliki landasan sendiri yang
berbeda-beda, sehingga berpengaruh terhadap tipologi dan gaya
kepemimpinan yang diterapkan oleh seorang pemimpin terhadap
masyarakat Sasak yang dipimpin.
1) Kepemimpinan adat
Kepemimpinan adat atau tradisional pada komunitas-komunitas adat
dalam masyarakat Sasak atau kelompok masyarakat adat seperti
Bayan memiliki kepemimpinan yang lebih variatif. Para pemimpin
adat (tradisi) mempunyai hubungan kuat dengan kepercayaan
setempat yang mistis, magis, spiritual, serba animistis dan
antropormorfis. Model kepemimpinan adat masyarakat Sasak, terdiri
atas dua bentuk, yaitu: (a) pemangku, perumbak, dan toaq lokaq
(berperan sebelum masuknya Islam), dan (b) kiai, ketip, dan modim
(figur yang berperan setelah Islam masuk). Kepemimpinan adat Sasak
biasanya bersifat turun-temurun yang ditarik dari garis keturunan yang
menentukan pengangkatan seseorang untuk menjadi pemimpin adat.
Kekuasaan turun-temurun ini mencegah orang luar menduduki
jabatan-jabatan dalam masyarakat. Mereka yang ditetapkan untuk
menduduki jabatan pemangku tidak akan memegang peranan sebagai
kiai, begitupun sebaliknya. Mereka yang secara patrilineal mewarisi
status kiai santri tidak akan pernah menduduki jabatan kiai kagungan,
meskipun kiai kagungan setelah menyelesaikan tugasnya akan
menjadi kiai santri. Kekuasaan turun-temurun ini diperkuat dengan
sanksi supranatural. Siapa saja yang berani melanggar aturan ini akan
mendapatkan hukuman supranatural yang tak terlihat dan tak terduga
seperti sakit keras, kecelakaan, kematian mendadak dan berbagai
nasib buruk lainnya, di setiap desa-dasan selain kepala desa sebagai
kepala pemerintahan dikenal juga pemimpin adat yang disebut
mangkubumi atau pemangku adat atau jintaka. Keberadaan suatu
wilayah kekuasaan dan sistem pemerintah secara otonom mengatur
dirinya sendiri, ada tiga kategori umum yang sering digunakan oleh
para pengkaji sejarah kuno atau klasik tentang Lombok sebelum dan
sesudah Majapahit serta pra-Bali. Seperti:
a) Kerajaan-kerajaan besar, seperti Desa Laek dalam Babad
Lombok dianggap tertua atau pertama kali berdiri di Lombok,
Kerajaan Suwung (dalam Babad Suwung juga dianggap tertua
dan pertama kali berdiri di Lombok), kemudian menjadi kerajaan
Lombok, kerajaan Selaparang Hindu dan Selaparang Islam;
b) Kerajaan-kerajaan sedang, seperti Kerajaan Mumbul, Kedaro,
Pejanggik, Langko, Parwa, Suradadi, Pujut, Kahuripan, Memelak
dan lain-lain. Kerajaan-kerajaan yang termasuk kategori ini
sering juga disebut dengan istilah kedatuan;
c) Kerajaan-kerajaan kecil, seperti Berangbantun, Brenga, Medayin,
Bayan, Sokong (pada era Selaparang Hindu), Sakra, Praya,
Kopang, Mantang, Batukliang dan lain-lain (pada era Selaparang
Islam) merupakan desadesa otonom (sejenis perdikan di Jawa)
diberikan kebebasan untuk mengatur desanya masing-masing
secara mandiri oleh raja.
2) Kepemimpinan Perkanggo
Kepemimpinan perkanggo (bangsawan) dalam masyarakat Sasak
terkait erat dengan struktur dan sistem sosial pada masa lalu secara
sosial-politik digolongkan dalam dua tingkatan sosial utama, yaitu
golongan bangsawan disebut perwangsa dan bangsa ama’ atau amaq
atau jajar karang sebagai golongan masyarakat kebanyakan. Golongan
perwangsa terbagi atas dua tingkatan, yaitu perwangsa (bangsawan
tinggi) sebagai penguasa, dan triwangsa (bangsawan rendahan).
Bangsawan penguasa (perwangsa) umumnya menggunakan gelar
datu, selain itu mereka disebut raden untuk kaum laki-laki dan denda
untuk perempuan. Seorang raden jika menjadi penguasa maka berhak
memakai gelar datu. Perubahan gelar dan pengangkatan seorang
bangsawan penguasa itu umumnya dilakukan melalui serangkaian
upacara kerajaan. Bangsawan rendahan (triwangsa) biasanya
menggunakan gelar lalu untuk kaum laki-laki dan baiq untuk kaum
perempuan. Tingkatan terakhir disebut jajar karang atau masyarakat
biasa. Panggilan untuk kaum laki-laki adalah lo’ atau loq dan untuk
perempuan adalah le’ atau laq. Golongan bangsawan baik perwangsa
dan triwangsa disebut permenak. Para permenak ini biasanya
menguasai sejumlah sumber daya dan juga tanah. Ketika Hindu-
Karangasem berkuasa di Lombok, permenak kehilangan haknya dan
hanya menduduki jabatan pembekel (pejabat pembantu kerajaan). Di
dalam melaksanakan tugasnya sebagai pembekel, triwangsa
menguasai masyarakat Sasak dengan mengikat para perwangsa, dan
memberikan kepada mereka hak-hak atas tanah. Hal ini bisa dimaknai
sebagai kelompok ”kolaborator” di kalangan masyarakat Sasak yang
berperan serta dalam melanggengkan kekuasaan Hindu-Karangasem
Lombok. Masyarakat Sasak sangat menghormati permenak baik
berdasarkan ikatan tradisi dan berdasarkan ikatan kerajaan. Sejumlah
desa, seperti wilayah Praya dan Sakra terdapat hak tanah perdikan
(wilayah pemberian kerajaan yang bebas dari kewajiban pajak).
3) Kepemimpinan Agama
Kepemimpinan agama dalam masyarakat Sasak berada pada otoritas
keulamaan seseorang yang dikenal dengan sebutan tuan guru. Tuan
guru sebagai fungsionaris agama, yakni orang-orang yang
menjalankan fungsifungsi kepemimpinan agama, memimpin dan
mengarahkan pemeluk agama, seperti dalam hal keimanan, ibadah,
ritual dan lain sebagainya, baik secara individual maupun kolektif.
Tuan guru dalam pandangan masyarakat Sasak dimaknai berbeda
dengan tokoh masyarakat lainnya, seperti tokoh adat, bangsawan,
pemerintahan, maupun tokoh-tokoh lainnya, Tuan guru memiliki
fungsi dan tanggungjawab yang kompleks terhadap masyarakat. Oleh
sebab itu, tuan guru lebih dikenal sebagai tokoh atau pemuka agama,
karena setiap perilakunya didasarkan pada ajaran agama, yaitu al-
Qur’an dan sunnah. Sejalan dengan transisi kekuasaan Islam Makassar
dan Hindu Bali, pada tahun 1740-1935 tumbuh otoritas baru yang
timbul dari rakyat yaitu para tuan guru, baik melalui para mubaligh
Jawa Timur (Sunan Prapen) maupun Islamisasi Makassar. Hal ini pula
terjadi pada era tuan guru, sampai datangnya Belanda yang diundang
oleh kaum bangsawan Sasak untuk mengusir Kolonialisme Bali,
dibantu oleh para tuan guru namun Belanda ibarat “ular yang
mematok tuannya”, mengambil alih kekuasaan Bali dan menjajah
Lombok. Masyarakat Sasak memandang sosok tuan guru sebagai
pemimpin yang “serba bisa”, dan berpengaruh. Menguatnya posisi
tuan guru berawal dari kehadiran orang-orang Bali dari Karangasem
menduduki daerah Lombok bagian barat sekitar tahun 1740 yang
menekan masyarakat Sasak. Tekanan tersebut telah memunculkan
reaksi keras dari kalangan bangsawan Sasak dan para tuan guru,
mereka bergabung untuk memimpin banyak peperangan untuk
mengusir penguasa Bali di Lombok. Akhir abad ke-19 atau awal abad
ke-20 tuan guru di Lombok tidak saja menunjukkan eksistensinya,
tetapi membuktikan peran dan tanggung jawab mereka terhadap masa
depan agama, nusa, dan bangsa.
2. Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok

Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Lombok pada dasarnya


hasil kontak perdagangan para pedagang muslim dengan pedagang dari
berbagai kerajaan di Nusantara sekitar abad ke-13 hingga abad ke-18. Masuk
dan berkembangnya Islam ke Lombok sekitar abad ke-15dan ke-16,
disebarkan melalui para mubaligh Islam dari kalangan penganut Islamesoteris
atau Islam Sufi (tasawuf).
Tujuan mereka datang ke Lombok tidak hanya untuk berdagang, tapi
misi menyebarkan Islam, maka banyak di antara mereka yang menetap,
mendirikan perkampungan dan menikah dengan warga lokal. Di antara
perkampungan yang mereka dirikan, yakni perkampungan muslim di
Labuhan Lombok atau Labuhan Kayangan (Lombok Timur), dan
perkampungan muslim di Labuhan Carik (Lombok Utara), meskipun ada
kesamaan persepsi bahwa para mubaligh awal yang menyebarkan Islam di
Lombok merupakan pedagang muslim yang menganut dan mempraktekkan
ajaran-ajaran sufi.

Sejak awal Islam masuk di Lombok sampai dewasa ini, sufisme


(kelompok kelompok tarekat) telah menjadi warna dominan dan ciri khas
Islam-Sasak. Di Lombok Timur, ada dua tarekat yang dominan, yaitu: (1)
tarekat Naqsabandiyah yang dinisbatkan pada Tuan Guru Ali Batu Sakra
sebagai mursyid utama sekaligus tokoh gerakan revolusi sosial masyarakat
Sasak, tumbuh subur dan lestari sampai hari ini, dan (2) tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah yang mengambil silsilah dari TGH. Muhammad Ali Mertasari
Labuhan Haji dan TGH. Ibrahim Tanjung Luar Keruak tetap eksis hingga saat
ini.

Masuknya Islam ke Lombok dari barat melalui jalur pulau Jawa


merupakan bagian dari proses penyebaran Islam yang dilakukan Wali Songo
dan kerajaan Islam Demak (1500-1550). Wali Songo menyebarkan Islam ke
Lombok dengan mengutus Sunan Giri IV (Raden Fatihal). Islam
diperkenalkan ke Lombok pada awal abad ke-16 (Haris, 2002). Setelah
pengaruh kerajaan Majapahit terus menurun dan berakhir pada
keruntuhannya. Salah seorang sunan dari Wali Songo yang menjadi penguasa
Islam Jawa, Sunan Giri III mengirimkan murid-muridnya ke berbagai daerah
di wilayah Nusantara.

Penyebaran Islam di wilayah Labuhan Carik oleh Sunan Prapen dan


pengikutnya tanpa menentang adat-istiadat, tapi menggunakan adat-istiadat
sebagai alat untuk menyebarkan Islam di Lombok. Sunan Prapen
menyebarkan agama Islam ke Lombok sebelum menjadi sultan. Beliau ke
Lombok menggunakan kapal laut dari Gresik. Selama di Lombok, ia sebagian
Raja ada yang membantunya untuk berdakwah. Sunan Prapen berada
Lombok selama kurang lebih lima tahun dibantu oleh raja Lombok
menyebarkan agama Islam. Setelah berhasil diislamkan oleh Sunan Prapen,
desa-desa di sekitar wilayah Labuhan Carik berubah namanya menjadi
Bayan. Meskipun raja Lombok memeluk Islam, rakyatnya menolak untuk
memeluk Islam dan melakukan perlawanan, pihak Sunan Prapen
memenangkan perlawanan ini, setelah rakyat raja Lombok memeluk Islam,
masjid pun dibangun dan rakyat dikhitan. Selain Sunan Prapen, menurut
sumber lain, Islam masuk ke Lombok melalui sebelah utara (Bayan) atas
peran Sunan Pengging yang berasal dari Jawa Tengah kira-kira pada
permulaan abad ke-16. Sunan Pengging merupakan pengikut Sunan Kalijaga
yang datang ke Lombok untuk menyebarkan ajaran sufi, karena ia menikahi
putri dari Kerajaan Parwa yaitu putri yang akan dinikahkan dengan pangeran
dari Kerajaan Gowa, sehingga menimbulkan kekecewaan raja Gowa.
Akibatnya, kerajaan Gowa menduduki sebagian wilayah Lombok dan Sunan
Pengging lari ke Bayan dan menyebarkan Islam Sufi di Bayan. Setelah
tinggal di Bayan, Sunan Pengging lebih dikenal dengan nama Pangeran
Mangkubumi. Di Bayan juga masa itu terkenal seorang mubaligh bernama
Titi’ Kumendur, sedangkan yang mengembangkan agama Islam di Sembalun
bernama Titi’ Selamin (TPMD-NTB, 1977). Berhasilnya penyebaran Islam
yang dilakukan oleh Wali Songo tidak terlepas dari dukungan kerajaan Islam
Demak (1500-1550) dipimpin oleh Raden Fatah dalam memelopori
perkembangan dan penyebaran Islam di Indonesia, baik melalui Labuhan
Carik atau melalui Labuhan Lombok. Kerajaan Islam Demak melibatkan para
sunan, murid dan pengikutnya dalam melaksanakan program penyebaran
Islam yang direncanakan kerajaan Islam Demak. Mengenai hal ini, dalam
kisah kisah etnis etnis Sasak dalam Babad Lombok, disebutkan tentang
peranan Sunan Prapen dalam penyebaran Islam.
Mubaligh Islam dari kalangan non-Jawa, menyebarkan Islam melalui
dua tahap, yaitu: pertama, memperkenalkan Islam pada masyarakat Lombok
dan tahap kedua, memantapkan keislaman masyarakat Lombok melalui media
santren dan penulisan kembali (penyaduran) teks-teks oleh masyarakat
Lombok sendiri. Di antara para mubaligh ini adalah mubaligh dari wilayah
Sumatera yang menyebarkan Islam melalui Makassar atau langsung ke
Lombok, diperkirakan antara abad ke-15 hingga abad ke-16. Di antara orang-
orang Sasak, seringkali mubaligh ini dikenal dengan nama Tuan Lebe
(Moestoko, 1979)

Ketangga Selaparang sebagai salah satu daerah yang menyebut


penyebar Islam di daerah ini dengan Tuan Lebe, melalui pengajaran ajaran-
ajaran sufi dan fiqh secara lisan dan tekstual dari rumah ke rumah dan
berpusat pada Masjid Ketangga. Tuan Lebe menyebarkan Islam di Ketangga
dan beberapa wilayah di Lombok bagian timur. Selain Tuan Lebe, mubaligh
yang berperan dalam dakwah Islam di wilayah Lombok bagian timur adalah
mubaligh yang diutus dari kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa diislamkan oleh
para mubaligh Minangkabau (Dato’ Ri Bandang, Dato’ Ri Patimang, dan
Dato’ Ri Tiro) tahun 1600, menyebarkan Islam ke Bima (1616-1618 dan
1623), Sumbawa (1618 dan 1626) dan Pula Buton (1626)

Penyebaran Islam dari Timur sebelumnya terjalin melalui hubungan


kerajaan Selaparang dengan Makassar (Gowa-Tallo). Hubungan tersebut
dibangun melalui sistem perkawinan. Secara kekerabatan, raja Tallo ke-9
Sultan Harun al-Rasyid memiliki saudara perempuan bernama Karaenta
Maleka yang dikawini oleh keluarga dari Sumbawa dan ada pertalian
darahnya dengan Selaparang. Jadi saudara perempuan cucu raja Tallo yang
pertama masuk Islam yaitu Sultan Harun al-Rasyid meninggal dalam
pertempuran Makassar melawan Belanda di perairan Lombok yang gugur di
Selaparang, dan saudara perempuannya kawin dengan orang Selaparang.
Perkawinan ini dilakukan untuk mengembangkan system kekerabatan dan
lebih menguatkan Islam
Eksistensi Kerajaan Selaparang yang tidak dijadikan daerah vatsal,
tetapi masuk dalam garis peta yang dibuat Gowa berdasarkan pertimbangan
posisi strategis secara geopolitik untuk membendung ekspansi dari barat yaitu
kerajaan-kerajaan besar di Bali, sehingga Kerajaan Selaparang tetap dihargai
sebagai kerajaan yang berdaulat. Legitimasi kekuasaan berada pada payung
Kerajaan Gowa direkatkan oleh hubungan ideologi Islam, karena Lombok
sebagai ring pertengahan wilayah timur bagi Gowa, sehingga tidak
mengherankan kalau dilihat pada bulan Mei 1700, putri Tumailalang
(Karaeng Jarannika) meninggal di Kerajaan Salaparang dalam medan perang
pada saat melawan Bali di perairan Selaparang (Depdikbud, 1985).

Penyebaran Islam di Lombok dipengaruhi oleh ajaran sufi yang


dibawa Syeikh Yusuf Makassar dan mengirim ulama-ulama untuk berdakwah
di Lombok, Sumbawa sampai Taliwang dan sekitarnya (Mattulada, 1996).
Salah seorang keturunan Syeikh Yusuf yaitu Syeikh Maulana Abdullah
diperintahkan oleh ayahnya untuk menyebarkan agama Islam ke Lombok atau
sekitarnya baik ke Bima dan Sumbawa. Hubungan Islam Lombok dengan
Islam Makassar bersifat timbal-balik, misalnya seniman dari Lombok dibawa
ke Makassar untuk dibina dan dibimbing, setelah mahir diantar kembali ke
Lombok yang ditemani oleh seorang pembina. Pembina inilah yang
bersentuhan darah dengan orang-orang Lombok dengan cara kawin dan
dengan catatan bahwa ada keturunanya yang bisa meneruskantermasuk juga
menguatkan pemahaman simbol-simbol Makassar Tidak terlalu banyak
formulasi hubungan keagamaan Kerajaan Selaparang dengan Kerajaan Gowa,
yang dominan adalah penguatan pemahaman melalui jalur tasawuf, tapi selalu
diawali oleh syariat.

Diperkirakan pada abad ke-17, para mubaligh dari Kerajaan Samawa


di Pulau Sumbawa yang telah ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa, mengutus
para mubalighnyauntuk menyebarkan Islam ke selat Alas dan Lombok,
serentak dengan penyebaranIslam di wilayah Lombok bagian timur, Islam
juga disebarkan secara langsung di wilayah Lombok bagian selatan. Islam
masuk ke wilayah Lombok bagian selatan melalui mubaligh dari Arab.
Mubaligh ini bernama Syeikh Nurur Rasyid dan beliau menyebarkan Islam di
wilayah Lombok bagian selatan bersama rombongannya. Syeikh Nurur
Rasyid pada dasarnya berniat menyebarkan Islam ke Australia, namun karena
satu dan lain hal, mereka singgah di Pulau Lombok dan selanjutnya menetap
di Lombok bagian Utara, yakni Bayan.

3. Hubungan Sejarah Sosial Lombok dan Kelahiran NWDI dan NBDI:


Perspektif Sosiologis

Salah satu teori yang menjelaskan tentang latar belakang kelahiran


Madrasah NWDI dan NBDI dalam konteks sejarah sosial Lombok adalah
teori struktural fungsional. Paradigma dan perspektif teori struktural-
fungsional melihat bahwa masyarakat dan lembaga sosial memiliki hubungan
saling bergantung satu dengan yang lainnya untuk menciptakan
keseimbangan, tidak menolak keberadaan konflik di dalam masyarakat, akan
tetapi percaya betul bahwa masyarakat itu sendiri akan mengembangkan
mekanisme yang dapat mengontrol konflik yang timbul.

Pandangan teori struktural fungsional, bahwa masyarakat sebagai


suatu sistem memiliki struktur yang terdiri atas banyak lembaga yang
memiliki fungsi sendiri-sendiri. Struktur yang bersifat fungsional dijelaskan
oleh salah satu penganut teori struktural-fungsional Parsons (1951) dalam
konsep adaptation, goal attainment, integration, laten pattern maintenance
(AGIL). Adaptasi, berarti keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk
menghadapi lingkungan dengan baik. Goal attainment,berarti persyaratan
fungsional yang muncul dari pandangan bahwa tindakan itu diarahkan pada
tujuan-tujuannya. Integrasi, berarti persyaratan yang berhubungan dengan
interelasi antarpara anggota dalam sistem sosial. Laten pattern maintenance
(pola pemeliharaan) merupakan konsep latensi yang menunjukkan
berhentinya interaksi.
Beberapa pokok pikiran yang dapat di deskripsikan berdasarkan teori
struktural-fungsional yang menjelaskan keterkaitan hubungan sistem sosial
dan ekonomi, sistem kepercayaan (religi), sistem kekuasaan atau
kepemimpinan dengan sistem pendidikan sebelum Indonesia merdeka antara
lain:

1. Sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh para tokoh agama Lombok


(tuan guru) pada masa penguasaan raja-raja Bali waktu itu bercorak Islam
melalui pesantren. Pesantren didirikan dengan maksud memenuhi
kebutuhan pendidikan agama bagi anak-anak dalam rangka usaha
menegakkan dan meninggikan mutu agama Islam. Pelajaran diberikan
selain membaca dan menulis Arab, diajarkan juga aqidah, tauhid, ushul,
fiqh, nahwu, dan syaraf. Pesantren tertua antara lain terdapat di Pagutan,
tahun 1919 di Kopang didirikan oleh Sayyid Alwi, tahun 1924 di Kediri
didirikan oleh TGH. Abdul Karim. Pelajaran yang diberikan ilmu agama
dan sejarah Nabi Muhammad Saw.

2. Didirikan lembaga pendidikan formal dengan pola klasikal dengan sekolah


pertama yang didirikan tahun 1896 di Mataram. Pendirian sekolah pertama
ini dimaksudkan untuk mewujudkan politik etis di bidang pendidikan oleh
Belanda setelah mengambil alih dan berkuasa penuh atas pulau Lombok.
Materi yg diajarkan adalah membaca, berhitung, menulis, bahasa malayu,
membaca menulis huruf arab-melayu dan huruf daerah. guru didatangkan
dari Jawa dan Bali, serta seorang guru hanya mengajar satu sekolah.
Setelah abad ke-20, pemerintah Belanda mengadakan Kursus Guru Bantu
yang dibina dari tamatan Vervolgschool

3. Pada masa pendudukan Jepang sekolah dijadikan sebagai tempat militer


dan propaganda sesuai konsepsi Jepang. Berdasarkan hal tersebut, guru-
guru dituntun untuk mampu meyakinkan murid-muridnya bahwa
kedatangan Jepang bukan untuk menjajah melainkan untuk membebaskan
Indonesia dari jajahan Belanda. Selain itu guru-guru juga harus
meyakinkan masyarakat sekitar bahwa Jepang dan Indonesia adalah
saudara tua, oleh sebab itu masyarakat harus membantu Jepang untuk
memenangkan perang Asia Timur Raya. Alat-alat propaganda lainnya
yang digunakan yakni radio dan surat kabar.

Lembaga pendidikan pada masa pendudukan jepang di Lombok


banyak dipelopori oleh tokoh-tokoh agama, seperti Muhammadiyah (1937) di
bawah pimpinan Asmo mendirikan sekolah Muallimin di Pancor. Pada tahun
yang sama Muhammadiyah juga mendirikan sekolah kemajuan islam di
bawah pimpinan Haji Muhammad Sedek. Selain itu, untuk kepentingan anak-
anak pegawai didirikan juga sekolah TK di selong oleh Nyonya Nyoman tahir
dan TK di mataram oleh Nyoman Subali. Disamping didirikan ole
Muhammadiyah, Lembaga pendidikan juga didirikan oleh tokoh-tokoh agama
dari NW di bawah pimpinan TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid yakni
Madrasah Ibtidaiyah di pancor.

TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid dikenal sebagai tokoh pembaru


pendidikan di NTB. Setelah kembali ke Indonesia tahun 1934, ia mendirikan
Pesantren al-Mujahidin, tahun 1936 mendirikan Madrasah NWDI, dan juga
NBDI. Latar belakang pendirian madrasah atau sekolah tersebut adalah sebab
kurang efektif dan efisiennya sistem pendidikan halaqah dan pengajian
tradisional yang lama berkembang di Lombok, selain itu beliau melihat
keadaan umum umat Islam yang terbelakang dan berada dalam kebodohan
dalam bidang ilmu agama dan dan pengetahuan. Pertimbangan lain pendirian
madrasah tersebut, bermula dari pandangan bahwa mengembangkan Islam
melalui pendidikan hukumnya fardlu’ain dan mendidik masyarakat utamanya
dalam bidang agama sebagai tugas mulia, melalui pendidikan lahir pribadi
yang mampu mengembangkan diri, keluarga, dan masyarakat bangsanya.

Pondok pesantren yang didirikan TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid


berbeda dengan ponpes yang ada di Indonesia. Penciri dan pembedanya dalah
bahwa pondok pesantren yang dibangun TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid
dengan mengambil lokus Pancor terletak pada menyatu dan meleburnya
elemen pondok pesantren dengan masyarakat di lingkungan sekitar pondok
pesantren, baik elemen geografis, sosiologis, maupun kultural. Upaya integrasi
sosial masyarakat Lombok melalui gerakan dakwah dan sosial, tercermin dari
makna filosofis NW. Integrasi ilmu agama dengan ilmu umum melalui
gerakan pembaruan pendidikan dengan mendirikan pondok pesantren yang
menerapkan sistem halaqah (tradisional) dan membangun madrasah yang
menerapkan sistem klasikal (modern), tercermin dari makna filosofis “Diniyah
Islamiyah”

4. Sistem Pendidikan Masa Kolonial


a. Masa Hindia Belanda
Lembaga pendidikan formal di Lombok pada masa Hndia-Belanda
pertama kali didirikan pada tahun 1898. Sekolah Kelas II tersebut didirikan di
Pajang Mataram. Murid-murid yang dapat mengakses pendidikan di sekolah
ini diutamakan anak-anak bangsawan dan tokoh-tokoh terkemuka di
masyarakat. Sedangkan guru-gurunya didatangkan dari luar daerah seperti
Jawa, dan Bali. Bentuk sekolah dasar yang didirikan pada masa Hindia
Belanda ada tiga jenis, yaitu:
1. Hollandsch-Indische School (Sekolah Belanda di Indonesia), dihadiri oleh
anak-anak dari pejabat-pejabat Eropa, Bali dan Sasak, tuan-tuan tanah
terkemuka dan sebagainya. Sekolah ini memberikan masa belajar tujuh
tahun dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
2. Sekolah Inlandsche Gouvernement (Sekolah Pribumi Pemerintah), dihadiri
oleh anak-anak dari kepala desa, pejabat-pejabat rendah, tuan-tuan tanah
dan lain sebagainya, memberikan masa belajar lima tahun dengan Bahasa
Melayu (Indonesia) sebagai bahasa pengantar.
3. Sekolah Desa (Volkschol), dihadiri oleh anak-anak dari petani-petani,
memberikan masa belajar tiga tahun dengan bahsa setempat (Bali atau
Sasak) sebagai bahasa pengantar.
Minimnya lembaga pendidikan di Lombok pada masa penjajahan
Kolonial Belanda digambarkan van der Kraan (2009: 184-185) sebagai berikut:
“haruslah jangan dilupakan bahwa dalam suatu masyarakat di Asia seperti
Lombok, anak-anak umur sekolah (antara umur 6 dan 12 tahun) merupakan
paling sedikit 17% dari jumlah seluruh penduduk. Ini berarti bahwa dalam
tahun 1920 hanya 2%, dalam tahun 1930 hanya 4,1%, dan dalam tahun 1940
tidak lebih dari 7,1% dari anak-anak usia sekolah yang menerima pendidikan
dasar sekedarnya”.Catatan lain yang penting bahwa pada masa Belanda di
Lombok, satuan pendidikan yang didirikan sebatas pada pendidikan dasar,
karena sampai pada tahun 1942 tidak ada satu pun sekolah menengah (SMP)
yang dibangun sebagai lanjutan dari Sekolah Rakyat dan sejenisnya.
Terbatasnya lembaga pendidikan yang didirikan oleh kolonial Belanda
dan tentu saja proses pendidikan yang diberikan tidak lepas dari adanya misi
untuk menguatkan posisinya sebagai penjajah menyebabkan adanya rasa
prihatin, dan inilah yang menyebabkan TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid
setelah tidak lama pulang dari Makkah tanpa kenal lelah tahun 1934
mendirikan Pesantren al-Mujahidin dua tahun kemudian tepatnya tahun 1936
bertransformasi menjadi NWDI.
NWDI yang sudah resmi diizinkan berdiri pada tanggal 17 Agustus
tahun 1936 sebagai lembaga pendidikan Islam ini baru beroprasi karena
diresmikan pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H, tepatnya tanggal 22
Agustus 1937. Bukan secara kebetulan, NBDI berdiri tanggal 17 Agustus.
Bagi TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid memiliki makna yang signifikan dan
monumental, sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945,
bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Kondisi ini merupakan
hikmah tersendiri dalam perjalanan sejarah Madrasah NWDI. Nama
Madrasah NW sarat dengan nilai-nilai perjuangan yang memiliki nilai
futuristik, dinamakan “Nahdlatul Wathan” berarti “Pergerakan Tanah Air”
sebagai bentuk sikap dan visi TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid yang sudah
meletakkan perjuangannya ke dalam konteks negara dan bangsa.
Tujuan praktis untuk mendukung penjajahan laten Belanda terutama
beberapa sekolah umum yang sudah dijelaskan tidak serta merta
menyebabkan masyarakat pada umumnya tertarik, maka keberadaan
madrasah yang didirikan oleh TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid tersebut
merupakan alternatif yang tidak akan didapatkan pada sekolah umum, beliau
sadar bahwa madrasah jauh lebih efektif, modern, sistematis dan outputnya
dapat bersaing di pasar kerja. Madarasah menjadi lembaga pendidikan
alternatif untuk mempertemukan antara nilai-nilai keislaman dan konteks
zaman lebih maju dan adaptif. Kurikulum yang digunakan oleh sekolah
negeri berbeda dengan NWDI, namun satu hal yang dikembangkan adalah
pembelajaran klasikal penuh, artinya proses pembelajaran dilakukan di dalam
kelas dan sudah ditentukan, lama masa belajar pun ditentukan dari tingkat
pendidikan, dan pemberian ijazah sebagai tanda tamat belajar, yang berarti
madrasah modern yang dikembangkan oleh NWDI tidak berkiblat pada
Belanda, namun faktor lain yang memicunya adanya pembaruan sistem
pendidikan di Madrasah ash-Syaulatiyyah Makkah yang membagi kelasnya
menjadi 3 tingkatan.
Pembaruan sistem pendidikan yang dilakukan TGKH. M. Zainuddin
Abdul Majid pada masa ini merupakan sebuah maha karya yang orisinil
karena hanya satu satunya madrasah yang mempertemukan pendidikan Islam
dengan nuansa modern. Perkembangan madrasah dalam nuansa kolonial tidak
mudah, apalagi semboyan yang melekat di dalamnya, sehingga Kolonal
Belanda tetap melakukan pengawasan yang ketat sebagai bagian dari
antisipasi, bahkan madrasah ini sempat mau ditutup karena dianggap dapat
membahayakan, namun upaya diplomasi dilakukan TGKH. M. Zainuddin
Abdul Majid sehingga Madrasah NWDI tetap beroperasi seperti biasa.
b. Sistem Pendidikan Masa Pendudukan Jepang
Tanggal 12 Mei 1942 Angkatan Darat Jepang mendarat di Labuhan Haji,
tanggal 18 Mei 1942 Angkatan Laut Jepang dengan dilindungi pesawat-
pesawat tempur mendarat di Ampenan. Sebagai gambaran umum di Hindia
Belanda, sekolah dasar menurun dari 21.500 menjadi 13.500, sekolah lanjutan
dari 850 menjadi 20, perguruan tinggi/fakultas terdiri dari 4 buah, dapat
dikatakan untuk beberapa lama belum dapat melakukan kegiaankegiatannya.
Jumlah murid sekolah merosot 30%, murid sekolah menengah merosot 90%,
guru-guru sekolah dasar berkurang 35%, guru sekolah menengah yang aktif
tinggal kira-kira 5%. Menurunnya jumlah sekolah di atas, sisi lain semakin
menguatkan eksistensi dari Madrasah NWDI. Salah satunya dengan alasan
sehingga madrasah ini tidak ditutup pada masa Jepang adalah karena adanya
kebutuhan imam dan penghulu bagi masyarakat Islam yang ada di Lombok,
akhirnya ororitas pemerintah Jepang di Lombok tetap membiarkan madrasah
ini beroperasi, tetapi dengan syarat sekolah ini dirubah sebutan menjadi
“Sekolah Penghulu dan Imam”. Terlepas dari adanya kontrol yang ketat dari
Jepang terhadap aktivitas TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid atau Madrasah
NWDI secara kelembagaan, masa ini juga merupakan priode yang sangat
menarik dalam perkembangan emansipasi pendidikan perempuan di Lombok.
Tanggal 15 Rabi’ul Akhir 1362 H, bertepatan dengan tanggal 21 April 1943
resmilah berdiri sebuah madrasah khusus bagi kaum perempuan yang diberi
nama Madrasah NBDI, materi pelajarannya mengacu pada kurikulum
madrasah NBDI.
Kelahiran NBDI seperti halnya NWDI memiliki makna yang istimewa,
karena tanggal dan bulan berdirinya di kemudian hari dikenal sebagai Hari
Kartini, yaitu sebagai tonggak bagi kebangkitan peran aktualisasi perempuan di
Indonesia, dan jelas ini merupakan hikmah yang kuat dari pandangan
futuristik, selain Jepang, yang menjadi tantangan pada saat itu sekaligus
berasal dari tradisi masyarkat Sasak sendiri yang cendrung paternalistik. Dalam
hal ini mereka menganggap bahwa mendidik wanita sama halnya dengan
menjadikan mereka sebagai orang-orang yang kurang sopan (tidak berakhlak)
dan menjual ilmu.
c. Sistem Pendidikan Pasca Kemerdekaan
Lembaga pendidikan umum berdiri sejak Indonesia merdeka sampai
penyerahan kedaulatan (1945-1949) telah dibuka 70 buah Sekolah Rakyat (SR)
yang baru, tersebar di seluruh Nusa Tenggara Barat. Perkembangan madrasah
NWDI dan NBDI setelah kemerdekaan beberapa tahun kemudian terutama
tahun ajaran 1949 setidaknya Madrasah NWDI dan NBDI telah mempunyai
cabang sebanyak 24 Madrasah, yaitu terdiri atas 19 buah madrasah disediakan
untuk kaum pria 5 buah madrasah lainnya disediakan bagi kaum wanita.
Jumlah madrasah NWDI dalam perjalanannya sangat signifikan, bahkan dalam
kurun waktu 16 tahun sudah melebihi pencapaian Belanda yang cukup lama
menguasai Lombok. Bagaimana tidak dalam kurun waktu 16 tahun (1937-
1953), lembaga pendidikan Pesantren NW berkembang menjadi 68 buah
madrasah, dan tersebar di seluruh Pulau Lombok, seperti Lombok Timur,
Lombok Tengah, dan Lombok Barat. Rata-rata setiap tahun berdiri empat
madrasah pada tempat yang berbeda. Perkembangan dan persebaran madrasah
ini terkait dengan dua hal, yaitu periode lulusan santri di madrasah induk yang
berpusat di Pancor dan di daerah asal lulusan.
Wilayah Pancor dan sekitarnya, perkembangan kedua madrasah ini
semakin eksis di tengah masyarakat Lombok, sehinga tahun ajaran 1952/1953
kedua Madrasah NWDI & NBDI sudah mempunyai cabang sebanyak 66
madrasah/ Sekolah. Kepesatan pertumbuhan madrasah/sekolah tersebut, yang
terbesar di Nusa Tenggara merupakan motif yang mendorong berdirinya suatu
badan (organisasi) berfungsi mengkordinir, membina, dan memelihara semua
kegiatan madrasah/sekolah. Wadah pendidikam sosial dakwah tersebut
bernama NW. Selain perluasan pembangunan lembaga pendidikan, tahun 1951
diadakan perubahan kurikulum baik pada Madrasah NWDI, maupun Madrasah
NBDI. Tahun 1952 sampai tahun 1959 didirikan sekolah lanjutan, misalnya
pada tanggal 2 November Sekolah Menengah Islam (SMI), dan Madrasah
Muallimin, serta Pendidikan Guru Agama Pratama (PGAP) pada tahun yang
sama. Tahap selanjutnya, cukup banyak banyak perubahan juga dilakukan
untuk menyesuaikan dengan kondisi saat itu, misalnya pada tahun 1955/1956
dibuka Madrasah Muallimin dan Madrasah Muallimat dengan lama sekolah
enam tahun. Keduanya merupakan perubahan dari Madrasah NWDI dan
NBDI.
Peningkatan lembaga pendidikan sejak tahun 1950-an, terutama
semenjak tahun 1953 dengan didirikannya organisasi induk Nahdlatul Wathan
menaungi madrasah-madrasah tersebut semakin menguatkan peran lembaga
pendidikan yang didirikan oleh TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid tersebut.
Tahun 1956 NW sudah memiliki perguruan tinggi pertama, yaitu Akademi
Pedagogik NW, dua tahun kemudian, tahun 1956 dibuka Ma’had Darul Qur’an
wal Hadits (MDQH) alMajidiyah Asy-Syafi’iyah untuk laki-laki, dan Ma’had
li al-Banat untuk perempuan tahun 1974, tidak berselang lama, tahun 1977
didirikan Universitas Hamzanwadi. Universitas Hamzanwadi pada mulanya
membua dua fakultas, yakni Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ilmu Pendidikan.
Dalam perkembangan selanjutnya Fakultas Ilmu Pendidikan berubah menjadi
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Hamzanwadi (saat ini
Universitas Hamzanwadi) dan Fakultas Tarbiyah menjadi Sekolah Tinggi
Tarbiyah.
Berpijak dari sejarah panjang madrasah NWDI dan NBDI, kemudian
menjadi embrio lahirnya organisasi NW, secara konseptual menurut Nahdi
(2013: 389), dibagi menjadi beberapa fase, yaitu:
• Fase I masih merupakan babak sejarah awal karena masih diwarnai oleh
keaslian pikiran dan cita-cita awal pendirian Pesantren NW cenderung
mementingkan keberadaan struktur, bukan variasinya.
• Fase II hingga IV masuk babak perubahan karena pada ketiga fase ini
Pesantren NW mengalami berbagai perubahan untuk maksud
penyesuaian dinamika pendidikan yang terjadi dalam konteks yang lebih
luas (nasional).
• Fase V masuk babak pengembangan karena Pesantren NW dengan
semua komponen strukturnya sudah memiliki bentuk dan pola yang
mapan. Perkembangan pendidikan yang digagas oleh TGKH. M.
Zainuddin Abdul Majid menunai kesuksesan yang cukup signifikan,
hampir disetiap desa di Lombok memiliki madrasah berafiliasi dengan
NW. Lembaga pendidikan yang didirikan oleh TGKH. M. Zainuddin
Abdul Majid sangat banyak mulai dari Raudatul Atfal (RA) hingga
perguruan tinggi.
Mengacu dari sejarah sosial Lombok dan sistem pendidikan masa
kolonial tersebut, bahwa pendidikan, khususnya pendidikan Islam
diselenggarakan secara terbatas, baik akses maupun tujuan pembelajarannya,
bahkan dapat dikatakan hanya untuk kepentingan untuk membantu bisnis
kolonial. Di samping itu, munculnya lembaga-lembaga pendidikan, seperti
lembaga pendidikan Islam turut mewarnai sistem pendidikan masyarakat
suku Sasak di Lombok, terutama dalam membebaskan mereka dari
cengkeraman, kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan yang sangat panjang.

Anda mungkin juga menyukai