Anda di halaman 1dari 6

LUHAK

A. Pengertian Luhak
Suku Minangkabau secara historis, dahulunya hidup dan menetap di dua daerah yang
mereka sebut sebagaidaerah darek (darat) dan daerah rantau. Darek adalah daerah asli orang
Minangkabau yang terdapat di daerah pedalaman sekitar tiga buah gunung, yaitu gunung Merapi,
gunung Singgalang, dan gunung Sago. Ketiga wilayah ini dikenal sebagai Luhak Nan Tigo
(Luhak yang tiga). Daerah rantau merupakan daerah yang berada di luar Luhak Nan Tigo dan
merupakan daerah migrasi (ekspansi) suku Minangkabau pada awalnya (Graves dalam Yulika,
2017). Sedangkan menurut Hakimy (1986), Minangkabau terdiri atas tiga daerah, yaitu darek
(daerah dataran tinggi), Pasise (daerah yang berada sepajang pantai barat/tengah pulau
sumatera), dan Rantau ( daerah tempat aliran sungai bermuarah ke sebelah timur).
Dari sejarah penyebarannya orang Minangkabau itu menyebar dari Pariangan Padang
Panjang dengan pintu gapuranya Lareh Nan Panjang di Pariangan sampai terbentuk wilayah
Luhak. Luhak adalah daerah inti Minangkabau yang terdiri dari tiga daerah, Luhak Tanah Data,
Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluah Koto. Ketiga luhak inilah yang di sebut Darek sebagai
daerah sentral budaya Minangkabau (Arifin, 1995).

Aturan adat Minangkabau menyebutkan daerah teritorialnya yang disebut dalam adat
barih babeh minangkabau ialah: Jauah nan bulieh ditunjukkan, dakek nan bulieh dikatokkan,
satitiak bapantang ilang, sabarih bupantang lupo. Kok ilang tulisan di batu, tulisan lumbago
tingga juo, seperti yang disebutkan dalam barih balabehnyo Minangkabau ialah:
Nan salilik Gunuang Marapi,
saedaran Gunuang Pasaman,
sajajaran Sagi ji Singgalang,
saputaran Talang Jo Kurinci.

Dari Singkarak nan badangkang,


Hinggo buayo putiah daguak,
sampai ka pintu rajo Ilie,
Durian di takuak rajo.

Sipisai-pisaiu anyuik,
Sialang balantak basi,
Hinggo aie babaliak mudiek,
sampai ka omba nan badabua.

Sailliran Batang Sikilang,


Hinnggo lawik nan sadidih
Ka timua ranah Aie Bangih,
Rao jo Mapa Tungguah, Gunung Mahalintang,
Pasisie Banda Sapuluah,
Hinggo Taratak Aie Itam,
Sampai ka Tanjung Simalidu,
Pucuak jambi Sampilan Lurah.

Artinya, batas-batas Minangkabau dimulai dari daerah daratan tinggi, dan


akhirnya di perbatasan Provinsi Jambi (Hakimy, 1986). Kata-kata ynag termuat di dalam tuturan
di atas, secara ringkas dapat menjelaskan bahwa pada dasarnya daerah cakupan kebudayaan
Minangkabau meliputi daerah di empat provinsi, yaitu Sumatera Barat, Jambi, Riau, dan
Bengkulu (Kato dalam Yulika, 2017).

B. Jenis-jenis Luhak

Luhak termasuk kedalam daerah darek yang terbagi ats tiga luhak (Luhak Nan Tigo),
yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota.

a. Luhak Tanah Datar (disebut luhak nan tuo)


1) Limo Kaum Duo Baleh Koto, sambilan koto di dalam duo baleh koto di lua.
2) Sei Tarap Salapan Batua dan nagari sekitarnya.
3) Ujung Labuah Kampuang Sungayang (tujuah koto)
4) Lintau Sambilan Koto, Limo Koto di ateh, ampek koto di bawah.
5) Batipuah Sapuluah koto.
6) Sambilan Koto di bawah Tujuah Koto di ateh.
7) Kubuang Tigo baleh jo Alam Surambi Sungai Pagu dan nagari-nagari sekitarnya.
b. Luhak Agam (disebut luhak nan tangah)
1) Ampek-ampek Angkek.
2) Lawang nan Tigo Balai.
3) Nagari sakaliliang Danau Maninjau.
c. Luhak Lima Puluh Koto (disebut luhak nan bungsu)
1) Sandi
2) Luhak
3) Lareh
4) Ranah
5) Hulu

C. Ciri-ciri dan Identitas Masing-masing Luhak


Setiap luhak mempunyai ciri dan identitas masing-masing yang saling mereka
pertahankan dan banggakan sebagai alat pemersatu dan pendorong semangat perlombaan dalam
memelihara harga diri mereka sendiri. Kepribadian masyarakat masing-masing luhak
diungkapkan dengan perumpamaan yang berpedoman kepada sifat-sifat alam. Pertama, Luhak
Tanah Datar diibaratkan; buminyo lapang, aianyo tawa, ikannyo banyak (buminya subur, airnya
tawar, ikannya banyak). Ungkapan tersebut menggambarkan bahwa wilayah tersebut berlekuk
atau tidak datar, dan penduduknya banyak. Memang Luhak Tanah Datar ini bukan berarti luhak
yang datar. Tapi justru kurang datar karena berada di lereng gunung dan juga bukit-bukit. Luhak
Tanah Datar dilambangkan dengan bendera warna kuning sebagai tafsiran dari bentuk
masyarakat yang ramah, suka damai, dan berjiwa sabar.
Kedua, Luhak Agam diibaratkan dengan; buminyo angek, aianyo karuah, ikannyo lia
(buminya panas, airnya keruh, ikannya liar). Luhak Agam yang disebut juga dengan Luhak
Tangah ini dianggap sebagai daerah yang masyarakatnya emosional. Barangkali karena
heterogennya masyarakat yang ada di Agam. Namun hal ini masih perlu dipahami dan dijelaskan
kembali melalui berbagai pendekatan. Karena jika pun buminya dianggap panas, justru sebagian
besar wilayah di Agam suhunya dingin. Utamanya yang dekat dengan Gunung Marapi atau
Gunung Singgalang. Sedangkan wilayah yang udaranya panas diantaranya adalah Lubuak
Basuang. Warna merah bendera Luhak Agam merupakan simbol akan penduduknya yang keras
hati, berani, dan suka berkelahi.
Ketiga, Luhak Lima puluh Kota yang diibaratkan dengan; buminyo sajuak, aianyo
Janiah, ikannyo jinak (buminya sejuk, airnya jernih, ikannya jinak). Ungkapan tersebut memberi
gambaran bahwa daerah Lima Puluh adalah wilayah yang sejuk dan masyarakatnya sangat
ramah. Sejuknya wilayah Lima Puluh sebenarnya dapat dikaitkan dengan iklim di daerah
tersebut yang termasuk pada iklim sedang. Tidak terlalu panas seperti di pesisir dan juga tidak
terlalu dingin seperti di daerah datarang tinggi. Bendera warna biru dari Luhak Lima Puluh Kota
melambangkan masyarakatnya yang mempunyai kepribadian berhati lembut, tenang dan suka
damai.
Dalam tambo dikatakan "Tatkalo bumi barambuang naiak, aia basintak turun". Keturunan
Sri Maharaja Diraja dengan "Si Harimau Campa" yang bersumur ditumbuhi agam berangkat ke
dataran tinggi yang kemudian bernama "Luhak Agam" (luhak = sumur). Disana mereka
membuka tanah-tanah baru. Huma dan teruka-teruka baru dikerjakan dengan sekuat tenaga.
Bandar-bandar untuk mengairi sawah-sawah dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Keturunan
"Kambing Hutan" membuka tanah-tanah baru pula di daerah-daerah Gunung Sago, yang
kemudian diberi nama "Luhak 50 Koto" (Payakumbuh) dari luhak yang banyak ditumbuhi
kumbuh. Keturunan "Anjing yang Mualim" ke Kubang Tigo Baleh (Solok), keturunan "Kucing
Siam" ke Candung-Lasi dan anak-anak raja beserta keturunannya dari si Anak Raja bermukim
tetap di Luhak Tanah Datar. Lalu mulailah pembangunan semesta membabat hutan belukar,
membuka tanah, mencencang melateh, meneruka, membuat ladang, mendirikan teratak,
membangun dusun, koto dan kampung.

D. Luhak Kubung 13
Selain Luhak Nan Tigo, Lareh Nan Panjang dan Kubung Tigo Baleh juga termasuk
daerah darek. Lareh Nan Panjang , yaitu selilit Batang Bangkaweh mulai Guguk Sikaladi Hilir
sampai Bukit Timatu Mudiek dengan pusatnya Padang Panjang. Kubung Tigo Baleh dengan
pusatnya Solok/ Selayo yang kemudian diperluas ke Alahan Panjang dan Muara labuh
(kabupaten Solok sekarang) (Arifin, 1995).
Kedua daerah ini tidak termasuk Luhak Nan Tigo tetapi merupakan pusat budaya
Minangkabau juga dengan prinsipnya dinyatakan dalam pantun
Pisang si kalek-kalek rotan
Pisang timatu nan batagah
Bodi Caniago inyo bukan
Koto Piliang ia entah

Dari pantun di atas jelaslah bahwa Lareh Nan Panjang dan Kubung Tigo Baleh tidak
dapat dimasukkan ke dalam Luhak Nan Tigo itu haruslah system pemerintahannya salah satu
dari keselarasan di atas. Bagi kedua daerah itu berlaku hukum Koto Piliang sedangkan Balai
adatnya datar ujung pangkalnya (Balai Adat Bodi Caniago) atau sebaliknya jadi system
pemerintahannya paduan Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Luhak Kubuang Tigo Baleh (Luhak Kubung Tiga Belas) adalah luhak termuda setelah
tiga luhak lainnya. Luhak ini terletak di dataran rendah dan kaki gunung Talang, sebelah
selatan Luhak Tanah Data, yaitu di wilayah kabupaten Solok dan kota Solok sekarang ini. Luhak
ini dibentuk pada masa agak belakangan, bukan pada masa pemerintahan Adityawarman.
Luhak ini berdiri dilatarbelakangi oleh masalah politik Kerajaan Pagaruyung dimana
terdapat sikap oposisi dari tiga belas orang Datuk yang tergolong kerabat Pagaruyung. Para
Datuk ini mempunyai perbedaan pandangan yang tajam mengenai suatu masalah politik dan adat
yang tidak membawa suatu kesepakatan.
Diduga waktu itu, Pagaruyung diperintah oleh seorang raja yang masih kental
dipengaruhi budaya aristokrat/feodalisme, terbukti dari titah rajanya yang melegenda dalam
ingatan masyarakat Solok hingga hari ini, dimana nama 'Luhak Kubuang Tigo Baleh' ini berasal
dari titah yang berbunyi "... Ku buang tigo baleh ninik mamak ini .. " (Kuusir 13 ninik mamak
ini). Maksudnya "saya usir tiga belas (datuk yang berseberangan dengan pendapat saya) ini,
supaya jangan lagi tinggal di Luhak Tanah Data. Maka Datuk yang tiga belas orang itu
melakukan migrasi ke arah selatan Tanah Data melewati perbukitan di pinggir danau Singkarak
yang kemudian terkenal dengan nama kabupaten dan kota Solok sekarang ini. Mereka membawa
serta anak kemenakan dan kaum menurut sukunya masing-masing. Mereka menyebar hampir ke
seluruh dataran Solok.
Di kemudian hari keturunan dari 13 leluhur itu berkembang sehingga membentuk 13
nagari yang terletak di kota Solok dan kabupaten Solok sekarang ini. Konfederasi Kubuang Tigo
Baleh (Kubung Tiga Belas) terdiri dari 13 nagari sebagai berikut:
1. Solok (kota Solok sekarang, dulu kecamatan Kubung)
2. Salayo (kecamatan Kubung)
3. Saok Laweh (kecamatan Kubung)
4. Panyakalan (kecamatan Kubung)
5. Gantuang Ciri (kecamatan Kubung)
6. Guguak (kecamatan Gunuang Talang)
7. Cupak (kecamatan Gunuang Talang)
8. Koto Anau (kecamatan Lembang Jaya)
9. Bukik Sileh (kecamatan Lembang Jaya)
10. Dilam (kecamatan Bukik Sundi)
11. Muaro Paneh (kecamatan Bukik Sundi)
12. Taruang-taruang (kecamatan IX Koto Sungai Lasi)
13. Sariak Alahan Tigo (kecamatan Hiliran Gumanti)
Solok, Guguak, Koto Anau, Saok Laweh dan Panyakalan merupakan penganut Lareh
Bodi Caniago. Sementara Di Koto Anau duduk seorang raja Datuak Bagindo Yang Pituan yang
menerapkan sistem Lareh Koto Piliang. Salayo dan beberapa nagari lainnya, yaitu Cupak,
Gantuang Ciri, Sirukam, Supayang, Kinari, Muaro Paneh dan Sariek Alahan Tigo juga menganut
kelarasan Lareh Koto Piliang.

Di kemudian hari Salayo pecah menjadi beberapa nagari yaitu Salayo, Koto Baru, Kubua
Harimau. Koto Baru sendiri memiliki masyarakat yang lebih egaliter dan tidak terlalu kaku
dibanding Salayo, walaupun dulunya satu nagari. Koto Baru sempat puluhan tahun menjadi ibu
kota Kabupaten Solok. Koto Baru dan Salayo memiliki dialek yang mirip yang menjadikan
mereka sebagai ikon dialek urang Solok.

Sementara nagari Talang dan Sungai Janiah (berasal dari satu nenek moyang) yang
dikelilingi oleh nagari Guguak, Cupak, Koto Anau, dan Bukik Sileh, tidak termasuk Kubuang
Tigo Baleh, karena nenek moyang orang Talang dan Sungai Janiah sudah terlebih dulu
membangkang kepada raja-raja Minangkabau. Talang berasal dari kata 'tualang', yaitu nagari
para petualang yang tidak pernah mau tunduk pada raja di Minangkabau. Seiring berjalannya
waktu, secara perlahan akhir nya nama 'tualang' berubah jadi 'talang'. Walaupun letak nya di
dalam Kubuang Tigo Baleh tetapi nagari Talang punya sejarahnya sendiri yang berbeda dengan
sejarah tiga belas datuk yang meninggalkan Luhak Tanah Data (dari berbagai sumber dan cerita
turun temurun).

REFERENSI

Bustanul Arifin, Dt. Bandaro Kayo. 1994. Budaya Alam Minangkabau. Jakarta: CV. Art Print.

Idrus Hakimy, Dt. Rajo Penghulu. 1986. Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabu.
Bandung: Remaja Karya CV.

Yulika, Febri. 2017. Epistemologi Minangkabau: Makna Pengetahuan dalam Filsafat Adat
Minangkabau. Padang Panjang: Institut Seni Indonesia Padang Panjang.

Anda mungkin juga menyukai