Nama Anggota :
Julia Elfany Shavira
Kevin Faris Ratu
Maharani Adhara Putri
Nadia Diva Safira
Tsabita Maulidya
PEMBAHASAN
Suku Sasak telah menghuni Pulau Lombok selama berabad-abad, Mereka telah
menghuni wilayahnya sejak 4.000 Sebelum Masehi. Ada pendapat yang mengatakan
bahwa orang Sasak berasal dari percampuran antara penduduk asli Lombok dengan
para pendatang dari Jawa. Ada juga yang menyatakan leluhur orang sasak adalah
orang Jawa.
Pulau Lombok merupakan kampung halaman Suku Sasak, terletak di sebelah timur
Pulau Bali, dipisahkan oleh Selat Lombok. Di sebelah barat Pulau ini berbatasan
dengan Selat Atas yang memisahkan pulau ini dengan Pulau Sumbawa. Luas
wilayah pulau yang termasuk ke dalam Provinsi Nusa Tenggara Barat ini kurang
lebih 5435 km2.
Pulau Lombok secara administratif terdiri dari lima Kabupaten dan Kota yakni
Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Lombok Timur,
Kabupaten Lombok Tengah, dan Kota Mataram. Kurang lebih ada sekitar 3 juta jiwa
yang mendiami pulau lombok, 80% di antaranya adalah Suku Sasak.
Menurut Goris S., Sasak secara etimologi, berasal dari kata sah yang berarti
pergi dan shaka yang berarti leluhur. Dengan begitu Goris menyimpulkan
bahwa sasak memiliki arti pergi ke tanah leluhur. Dari pengertian inilah diduga
bahwa leluhur orang Sasak itu adalah orang Jawa.
Etimologi: (Linguistik); cabang dari ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul serta
perubahan kata dalam bentuk dan makna.
Bukti lainnya merujuk kepada aksara Sasak yang digunakan oleh orang Sasak
disebut sebagai Jejawan, merupakan aksara yang berasal dari tanah Jawa, pada
perkembangannya, aksara ini diresepsi dengan baik oleh para pujangga yang telah
melahirkan tradisi kesusasteraan Sasak.
Pendapat lain menyoal etimologi Sasak beranggapan bahwa kata itu berasal dari
kata sak-sak yang dalam bahasa sasak berarti sampan. Pengertian ini dihubungkan
dengan kedatangan nenek moyang orang Sasak dengan menggunakan sampan dari
arah barat. Sumber lain yang sering dihubungkan dengan etimologi Sasak adalah
kitab Nagarakertagama yang memuat catatan kekuasaan Majapahit abad ke-14,
ditulis oleh Mpu Prapanca.
Dalam kitab Nagarakertagama terdapat ungkapan lombok sasak mirah adi yang
kurang lebih dapat diartikan sebagai kejujuran adalah permata yang utama.
Pemaknaan ini merujuk kepada kata sasak (sa-sak) yang diartikan sebagai satu atau
utama; Lombok (Lomboq) dari bahasa kawi yang dapat diartikan sebagai jujur atau
lurus; mirah diartikan sebagai permata dan adi bermakna baik.
Konon, pada masa pemerintahan Raja Rakai Pikatan di Medang (Mataram Kuno),
telah banyak pendatang dari Pulau Jawa ke Pulau Lombok. Banyak diantara mereka
kemudian melakukan pernikahan dengan warga setempat sehingga keturunan-
keturunan selanjutnya dikenal sebagai suku sasak.
Selanjutnya, dalam catatan sejarah abad ke-14-15 Masehi, Pulau Lombok ini
kemudian berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit. Bahkan
kabarnya Maha Patih Gajah Mada sendiri yang waktu itu datang ke Pulau Lombok
untuk menundukan beberapa kerajaan yang ada di Pulau itu.
Selama kurun waktu abad ke-16-17 Islam bahkan telah berhasil menguasai
Kerajaan Selaparang, salah satu kerajaan yang cukup kuat di Pulau Lombok. Islam
kemudian menyebar di Lombok, meski masih tetap tercampur dengan kebudayaan
lokal.
Belanda yang saat itu telah menguasai Sumbawa dibukakan jalan oleh bangsawan
Sasak untuk berkuasa di Lombok. Konon Kabarnya para bangsawan sasak meminta
campur tangan dari militer Belanda agar memerangi dinasti Bali di Lombok.
Bahasa Sasak yang digunakan di Lombok secara dialek dan lingkup kosakatanya
dapat digolongkan kedalam beberapa bahasa sesuai dengan wilayah penuturnya;
Mriak-Mriku (Lombok Selatan), Meno-Mene dan Ngeno-Ngene (Lombok Tengah),
Ngeto-Ngete (Lombok Tenggara), dan Kuto-Kute (Lombok Utara).
Golongan perwangsa ini terbagi lagi atas dua tingkatan, yaitu bangsawan
tingi (perwangsa) sebagai penguasa dan bangsawan rendahan (triwangsa).
Bangsawan penguasa (perwangsa) umumnya menggunakan gelar datu. Selain itu
mereka juga disebut Raden untuk kaum laki-laki dan Denda untuk perempuan.
Seorang Raden jika menjadi penguasa maka berhak memakai gelar datu.
Perubahan gelar dan pengangkatan seorang bangsawan penguasa itu umumnya
dilakukan melalui serangkaian upacara kerajaan.
Pola kekerabatan yang dalam tradisi suku sasak disebut Wiring Kadang ini
mengatur hak dan kewajiban anggota masyarakatnya. Unsur-unsur kekerabatan ini
meliputi Kakek, Ayah, Paman (saudara laki-laki ayah), Sepupu (anak lelaki saudara
lelaki ayah), dan anak-anak mereka.
Orang Sasak yang menganut kepercayaan Boda tidak mengenal dan mengakui
Sidharta Gautama (Sang Buddha) sebagai figur utama. Agama Boda orang Sasak ini
justru ditandai dengan penyembahan roh-roh leluhur mereka sendiri dan juga
percaya terhadap berbagai.
Sedangkan Agama Wetu telu awalnya memiliki ciri sama dengan Hindu-Bali dan
Kejawen. Di antara unsur-unsur umum, peran leluhur begitu menonjol. Hal itu
didasarkan pada pandangan yang berakar pada kepercayaan tentang kehidupan
senantiasa mengalir.
Pada perkembangannya Wetu telu justru lebih dekat dengan Islam. Konon,
sekarang hampir semua desa suku Sasak sudah menganut Agama Islam lima waktu
dan meninggalkan Wetu telu sepenuhnya. Sementara sinkretisme Islam-Wetu telu
kini berkembang terbatas di beberapa bagian utara dan selatan Pulau Lombok.
Meliputi Bayan, dataran tinggi Sembalun, Suranadi di Lombok Timur, Pujut di
Lombok Tengah, dan Tanjung di Lombok Barat.
Istilah Islam-Wetu Telu diberikan karena penganut kepercayaan ini beribadah tiga
kali di bulan puasa, yaitu waktu Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Di luar bulan
puasa, mereka hanya satu hari dalam seminggu melakukan ibadah, yaitu pada hari
Kamis dan atau Jumat, meliputi waktu Asar. Untuk urusan ibadah lainnya biasanya
dilakukan oleh pemimpin agama mereka; para kiai dan penghulu.
Dengan denah berbentuk persegi empat dan bagian atap seperti piramid
bertumpang yang disangga dengan tiang-tiang, beberapa ahli menilai arsitektur
masjid ini mirip dengan Arsitektur masjid lama di Ternate dan Tidore.
Di Lombok bagian utara, biasanya perkampungan Suku Sasak terdapat dua baris
rumah tipe bale, dengan sederet lumbung padinya di satu sisi yang lain. Bangunan
lain yang menjadi ciri khas perkampungan orang Sasak adalah rumah besar (bale
bele).
Di antara deretan rumah-rumah itu dibangun balai yang bersisi terbuka (beruga)
sebagai tempat pertemuan. Balai terbuka menyediakan panggung untuk kegiatan
sehari-hari dalam fungsi hubungan sosial masyarakat. Balai ini juga digunakan
untuk urusan keagamaan misalnya upacara penghormatan jenazah sebelum
dikuburkan. Sementara makam leluhur yang terdiri dari rumah-rumah kayu dan
bambu kecil dibangun di wilayah bagian atas dari perkampungan.
Lumbung Padi Suku Sasak.
Sedikitnya ada empat jenis dasar lumbung dengan ukuran yang berbeda-beda.
Semua lumbung, kecuali jenis lumbung padi yang berukuran kecil, memiliki
panggung di bawah.
Lumbung padi menjadi ciri khas yang sangat menarik dalam arsitektur suku Sasak.
Bangunan Lumbung itu didirikan pada tiang-tiang dengan cara dan ciri khas yang
mirip bangunan-bangunan Austronesia.
Bangunan ini memiliki atap berbentuk topi yang ditutup ilalang. Empat tiang
besar menyangga tiang-tiang melintang di bagian atas tempat kerangka utama
dibangun. Bagian atas penopang kayu kemudian menguatkan rangka-rangka
bambunya yang semua bagiannya ditutupi ilalang.
Satu-satunya yang dibiarkan terbuka adalah sebuah lubang persegi kecil yang
terletak tinggi di bagian ujung berfungsi untuk menaruh padi hasil panen. Untuk
mencegah hewan pengerat masuk. Piringan kayu besar yang mereka sebut
jelepreng, disusun di bagian atas puncak tiang dasarnya.
Rumah tradisional Suku Sasak berdenah persegi, tidak berjendela dan hanya
memiliki satu pintu dengan pintu ganda yang telah diukir halus. Di bagian dalam,
tidak terdapat tiang-tiang penyangga atap.
Bubungan atapnya curam, terbuat dari jerami yang memiliki ketebalan kurang
lebih 15 centimeter. Atap itu sengaja dibiarkan menganjur ke bagian dinding dasar
yang hampir menutupi bagian dinding.
Dinding terdiri dari dua bagian, bagian tengah yang menyatu dengan atap dibuat
dari bambu, bagian bawah dibuat dari campuran lumpur, dan jerami yang
permukaannya telah dipelitur halus.
Rumah Adat Suku Sasak.
Rumah digunakan terutama untuk tempat tidur dan memasak. Masyarakat Sasak
jarang menghabiskan waktu di dalam rumah sepanjang hari.
Di sisi sebelah kiri dibagi untuk tempat tidur anggota keluarga, juga terdapat rak di
langit-langitnya untuk menyimpan pusaka dan benda berharga.
Anak laki-laki tidur di panggung bawah bagian luar; anak perempuan tidur di atas
bagian dalam panggung.
Untuk kegiatan memasak, bagian dalam rumah berisi tungku yang berada di sisi
sebelah kanan yang dilengkapi rak-rak untuk menyimpan dan mengeringkan
jagung. Kayu bakar disimpan di belakang rumah, kadang juga disimpan di bawah
panggung.
F. Tradisi dan Seni
Dari sejarahnya yang panjang, Suku Sasak bisa saja diidentifikasikan sebagai budaya
yang banyak mendapat pengaruh dari Jawa dan Bali. Pun sejarah mencatatnya
demikian, kenyataannya kebudayaan Suku Sasak memiliki corak dan ciri budaya
yang khas, asli dan sangat mapan hingga berbeda dengan budaya suku-suku
lainnya di Nusantara.
Kini, Sasak bahkan dikenal bukan hanya sebagai kelompok masyarakat tapi juga
merupakan entitas budaya yang melambangkan kekayaan tradisi Bangsa Indonesia
di mata dunia.
Berikut beberapa seni dan tradisi yang cukup terkenal dari suku Sasak:
Bau Nyale. Nyale adalah sejenis binatang laut, termasuk jenis cacing (anelida) yang
berkembang biak dengan bertelur. Dalam alam kepercaan Suku Sasak, Nyale bukan
sekedar binatang, beberapa legenda dari Suku ini yang menceritakan tentang putri
yang menjelma menjadi Nyale.
Ritual Bau Nyale atau menangkap nyale digelar setahun sekali. Biasanya pada
tanggal 19 atau 20 pada bulan ke-10 atau ke-11 menurut perhitungan tahun suku
Sasak, kurang lebih berkisar antara bulan Februari atau Maret.
Rebo Bontong. Suku Sasak percaya bahwa hari Rebo Bontong merupakan hari
puncak terjadi bencana dan atau penyakit (Bala) sehingga bagi mereka sesuatu
yang tabu jika memulai pekerjaan tepat pada hari Rebo Bontong. Kata Rebo dan
juga Bontong kurang lebih artinya putus atau pemutus.
Bebubus Batu. Dari kata bubus, yaitu sejenis ramuan obat berbahan dasar beras
yang dicampur berbagai jenis tanaman, dan dari kata batu yang merujuk kepada
batu tempat melaksanakan upacara.
Bebubus Batu adalah upacara yang digelar untuk meminta berkah kepada sang
Kuasa. Upacara ini dilaksanakan tiap tahun, dipimpin oleh Penghulu (pemangku
adat) dan Kiai (ahli agama). Masyarakat ramai-ramai mengenakan pakaian adat
serta membawa dulang, sesajen dari hasil bumi.
Sabuk Beleq Merujuk kepada sebuah pustaka sabuk yang besar (Beleq) bahkan
panjangnya mencapai 25 meter, masyarakat Lombok khususnya mereka yang
berada di wilayah Lenek Daya akan menggelar upacara pada tanggal 12 Rabiul
Awal tahun Hijriah.
Tradisi pengeluaran Sabuk Bleeq ini mereka awali dengan mengusung Sabuk Beleq
mengelilingi kampung diiringi dengan tetabuhan gendang beleq. Ritual upacara
kemudian dilanjutkan dengan menggelar praja mulud hingga diakhiri dengan
memberi makan berbagai jenis makhluk.
Lomba Memaos. Memaos kurang lebih artinya membaca dan orang yang membaca
di sebut pepaos. Lomba memaos adalah lomba untuk membaca lontar yang
menceritakan hikayat dari leluhur mereka.
Tujuan lomba pembacaan cerita ini adalah agar generasi selanjutnya dapat
mengetahui kebudayaan dan sejarah masa lalu. Selain itu, Lomba ini juga dapat
berfungsi sebagai regenerasi nilai-nilai sosia, budaya, dan tradisi pada generasi
penerus. Satu kelompok pepaos biasanya terdiri dari 3-4 orang; pembaca,
pejangga, dan pendukung vokal.
Tandang Mendet. Tandang Mendet adalah tarian perang Suku Sasak. Konon Tarian
ini telah ada sejak zaman Kerajaan Selaparang. Tarian yang menggambarkan
keperkasaan dan perjuangan ini dimainkan oleh belasan orang dengan berpakaian
dan membawa alat-alat keprajuritan lenggap; kelewang (pedang), tameng,
tombak. Tarian diiringi dengan hentakan gendang beleq serta pembacaan syair-
syair perjuangan.
Peresean. Kadang ada yang menulisnya Periseian dan atau Presean adalah seni bela
diri yang dulu digunakan oleh lingkungan kerajaan. Peresean awalnya adalah
latihan pedang dan perisai bagi seorang prajurit. Pada perkembangannya, latihan
ini menjadi pertunjukan rakyat untuk menguji ketangkasan dan keberanian.
Tarung Peresean Tempo Doeloe.
Senjata yang digunakan adalah sebilah rotan yang dilapisi pecahan kaca. Dan untuk
menangkis serangan, pepadu (pemain) biasanya membawa sebuah perisai (ende)
yan terbuat dari kayu berlapis kulit lembu atau kerbau. Setiap pepadu memakai
ikat kepala dan mengenakan kain panjang.
Begasingan. Permainan rakyat yang mempunyai unsur seni dan olahraga, bahkan
termasuk permainan tradisional yang tergolong tua di masyarakat Sasak.
Permainan tradisional ini juga dikenal di beberapa wilayah lain di Indonesia.
Hanya saja, Gasing orang sasak ini berbeda baik bentuk maupun aturan
permainannya. Gasing besar, mereka namai pemantok, digunakan untuk
menghantam gasing pengorong atau pelepas yang ukurannya lebih kecil.
Begasingan berasal dari kata gang yang artinya lokasi, dan dari kata sing artinya
suara. Permainan tradisional ini tak mengenal umur dan tempat, bisa siapa saja,
bisa di mana saja.
Slober. Alat musik tradisional Lombok yang cukup tua, unik, dan bersahaja. Slober
dibuat dari pelepah enau dan ketika dimainkan alat musik ini biasanya didukung
dengan alat musik lainnya seperti gendang, gambus, seruling, dll. Kesenian yang
masih dapat anda saksikan hingga saat ini, sangat asyik jika dimainkan ketika
malam bulan purnama.
Gendang Beleq. Satu dari kesenian Lombok yang mendunia. Gendang Beleq
merupakan pertunjukan dengan alat perkusi gendang berukuran besar (Beleq)
sebagai ensembel utamanya. Komposisi musiknya dapat dimainkan dengan posisi
duduk, berdiri, dan berjalan untuk mengarak iring-iringan.
Ada dua jenis gendang beleq yang berfungsi sebagai pembawa dinamika yaitu
gendang laki-laki atau gendang mama dan gendang nina atau gendang
perempuan).
Sebagai pembawa melodi adalah gendang kodeq atau gendang kecil. Sedangkan
sebagai alat ritmis adalah dua buah reog, 6-8 buah perembak kodeq, sebuah petuk,
sebuah gong besar, sebuah gong penyentak , sebuah gong oncer, dan dua buah
lelontek.
Menurut cerita, gendang beleq dahulu dimainkan bila ada pesta-pesta yang
diselenggarakan oleh pihak kerajaan. Bila terjadi perang gendang ini berfungsi
sebagai penyemangat prajurit yang ikut berperang.
G. Pemberdayaan Suku Sasak
Sade adalah salah satu dusun di desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Dari
Bandara Udara Internasional Lombok, Desa Sade tidak begitu jauh sekitar kurang
setengah jam perjalanan dengan Mobil. Di desa Sade, saya masih bisa menyaksikan
bentuk rumah Sasak asli yang beratap rumput/alang-alang yang sudah di keringkan
dengan tradisi masyarakat setempat yang masih asli. walaupun desa ini persis
berada di pinggir jalan raya beraspal (mulus lagi), masyarakat masih tetap
mempertahankan keaslian Desa. Bisa dibilang, Sade adalah cerminan suku asli
Sasak Lombok. Yah, walaupun listrik dan program Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dari pemerintah sudah masuk ke sana, Desa
Sade masih menyuguhkan suasana perkampungan asli pribumi Lombok. desa ini
ada delapan jenis rumah bale yaitu Bale Tani, Jajar, Sekenam, Bonter, Beleq,
Berugag, Tajuk dan Bencingah. Bale-bale itu dibedakan berdasarkan fungsinya.
Dulu, penduduknya banyak yang menganut Islam Wektu Telu (hanya tiga kali
sholat dalam sehari). tapi sekarang sudah di jalankan secara 5 waktu. Uniknya desa
ini, mereka punya kebiasaan khas yaitu mengepel lantai menggunakan kotoran
kerbau. Jaman dahulu ketika belum ada plester semen, orang Sasak Sade
mengoleskan kotoran kerbau di alas rumah. Sekarang sebagian dari kami sudah
bikin plester semen dulu, baru kemudian kami olesi kotoran kerbau. Konon,
dengan cara begitu lantai rumah dipercaya lebih hangat dan dijauhi nyamuk.
Bayangkan saja, kotoran itu tidak dicampur apa pun kecuali sedikit air. waktu saya
memasuki salah satu bale yang di ceritakan, saya tidak melihat adanya kotoran
kerbau yang di maksud sekalipun baunya sama sekali tidak ada bau. karna saya
sudah membayangkan pasti baunya ada ternyata tidak ada.